Вы находитесь на странице: 1из 10

1

URGENSI PENGATURAN TATA CARA PENYELENGGARAAN JAMINAN


KESEHATAN BERPOLA MANAGED CARE DALAM PELAYANAN
1
KESEHATAN DI INDONESIA 2
Oleh : Anton Hardianto SH., S.Psi.
Abstraksi
Saat ini penyelenggaraan managed care dalam pelayanan kesehatan telah mulai banyak
dikembangkan di Indonesia baik oleh pelaku usaha perasuransian maupun diluar pelaku usaha
perasuransian, baik diselenggarakan dilingkungan asuransi sosial maupun pada asuransi
komersial. Namun perkembangan penyelenggaraan managed care di Indonesia, ketentuan
tata cara penyelenggaraan managed care dalam sistem hukum nasional masih belum tegas,
jelas dan konsisten dari sisi hukum. Disamping itu, di dalam peraturan perundang-undangan di
sektor kesehatan, jaminan sosial dan ketenagakerjaan, keberadaan managed care telah
dimanfaatkan dalam mengendalikan pemberian pelayanan kesehatan. Oleh karena itu,
diperlukan perlindungan hukum yang jelas, tegas dan konsisten bagi masyarakat, tenaga
kesehatan dan sarana kesehatan atas penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed
care yang ada.

A. PENDAHULUAN
Managed

care

merupakan

suatu

teknik

yang

menggunakan

pendekatan

terintegrasinya

pembiayaan dan pelayanan kesehatan melalui penerapan kendali mutu dan kendali biaya yang bertujuan
untuk mengurangi biaya dengan cara meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan. Atau
dengan kata lain, teknik managed care dimaksudkan untuk memerangi bahaya moral (moral hazard)
terhadap pelayanan kesehatan yang tidak menjadi kebutuhan medis pasien yang dapat mengakibatkan
kerugian kesejahteraan masyarakat, karena misalokasi biaya kesehatan masyarakat (social cost) yang
terselubung atau inefisiensi.
Sebagai suatu teknik untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan, managed care atau teknik
kendali mutu dan kendali biaya tidak hanya dapat diterapkan oleh perusahaan asuransi saja. Hal ini dapat
ditilik dari sejarah kelahiran teknik managed care di Amerika Serikat. Managed care lahir dan berkembang di
Amerika Serikat sejak 77 tahun yang lampau ketika negara itu menyaksikan pendirian program kesehatan
koperasi petani pedalaman oleh Dokter Michael di Elk City, Oklahoma, tahun 1929. Pada kurun waktu
hampir bersamaan, negara itu juga menyaksikan pembentukan program praupaya kesehatan yang
diselenggarakan oleh praktek kelompok dokter yang dikendalikan dan dimiliki oleh para dokter. Dua orang
dokter California yang mendirikan program praupaya tersebut di Los Angeles adalah Donald Ross dan
Clifford Loos. Praktek kelompok dokter tersebut menawarkan kontrak praupaya untuk memberikan
pelayanan kesehatan komprehensif bagi sekitar 2.000 (dua ribu) karyawan perusahaan air minum. Kedua
program tersebut, merupakan pionir bagi salah satu bentuk managed care terpenting saat ini, yakni Health
Maintenance Organization (HMO). Diantara program praktek dokter kelompok praupaya yang terpenting
adalah Asosiasi Kesehatan Kelompok di Washington DC., tahun 1937, Program Medis Kaiser-Permanente
tahun 1942, Koperasi Kesehatan Kelompok Puget Sound di Seattle tahun 1947, dan Program Kesehatan
Kelompok Minneapolis, tahun 1957.
1
2

Disampaikan dalam Konferensi Nasional Praktik Pelayanan Kesehatan Di Indonesia yang diselenggarakan oleh PAMJAKI, di
Hotel Borobudur, Jakarta, 29-31 Agustus 2006
Pengamat Praktik Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Berpola Managed Care dan Hukum Administrasi Negara.

HMO merupakan organisasi atau sekadar tatanan organisasi (bukan organisasi yang eksis
secara fisik dalam arti sesungguhnya), yang setuju memberikan pelayanan kesehatan komprehensif
(rawat jalan sampai rawat inap) kepada peserta selama suatu periode tertentu, sebagai imbalan dari premi
yang telah dibayarkan dimuka oleh peserta. Karena peserta HMO membayar premi tetap di muka, maka
pembayaran premi tersebut sering disebut prepayment (prabayar atau praupaya). Sebuah HMO
mengelompokkan beberapa rumah sakit, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya ke dalam suatu organisasi
atau sekadar ke dalam suatu tatanan. Jadi bentuk HMO bisa merupakan organisasi sesungguhnya, atau
sekadar suatu perjanjian kerjasama beberapa rumah sakit, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya yang ditata
sedemikian rupa menjadi suatu jaringan pemberi pelayanan kesehatan, atau disebut HMO tatanan. Pada
tahun 1990 terdapat terdapat 35 juta orang anggota di Amerika Serikat mengikuti 615 program HMO.
Dengan demikian, 14,4 % masyarakat di negeri itu menjadi peserta HMO. Menurut para analis, rata rata
jumlah anggota sebesar 50.000 per HMO yang dipandang menguntungkan untuk menjalankan bisnis
managed care. Oleh karena managed care dalam arti luas, yakni sistem apapun yang memadukan
pembiayaan pelayanan kesehatan melalui prinsip asuransi, penyediaan pelayanan kesehatan, dan
pengendalian biaya. Sehingga bentuk organisasi dan tatanan HMO bermacam macam, seperti HMO
Model Staf, HMO Model Kelompok, HMO Open-ended, HMO Model IPA, Preferred Provider Organization
dan HMO campuran.

Jadi managed care sebenarnya hanyalah teknik asuransi kesehatan dalam rangka mengurangi
biaya secara rasional dan sesuai kebutuhan medis dengan mengendalikan pelayanan kesehatan terhadap
peserta yang bukan hanya dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi saja. Bahkan kelompok dokter
praktek, kelompok klinik kesehatan, kelompok rumah sakit atau kelompok gabungan dari berbagai pemberi
pelayanan kesehatan yang terstruktur, juga dapat disebut HMO yang menerapkan managed care. Bukan
hanya itu saja, perusahaan sebagai pemberi kerja yang ingin menyelenggarakan program asuransi
kesehatan sendiri bagi pekerjanya, juga dapat menerapkan teknik managed care.
B. KARAKTERISTIK HUBUNGAN HUKUM DALAM JAMINAN KESEHATAN BERPOLA MANAGED
CARE DAN PENGARUHNYA PADA HUBUNGAN HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Pada dasarnya jaminan kesehatan berpola managed care, membentuk hubungan hukum antara
badan penyelenggara dengan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan antara badan

penyelenggara

dengan tertanggung. Hubungan hukum tersebut didasarkan pada suatu perikatan bagi para pihak yang
timbul dari perjanjian untuk jaminan kesehatan yang bersifat komersial atau timbul dari suatu undangundang untuk jaminan kesehatan yang bersifat sosial yang mengikat hanya antara badan penyelenggara
dengan tertanggung saja, tetapi biasanya antara badan penyelenggara dengan PPK tetap didasarkan pada
perjanjian. Bentuk prestasi dari perjanjian dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed
care adalah jaminan pelayanan kesehatan bagi peserta. Sehingga permasalahan hukum mulai timbul ketika
peserta program jaminan kesehatan berpola managed care memanfaatkan program jaminan kesehatan
yang diberikan PPK berdasarkan kontrak dengan badan penyelenggara. Dimana pemberian pelayanan
kesehatan diberikan sejauhmana kepada peserta, sangat dipengaruhi oleh ketentuan mutu dan pembiayaan
3

Bhisma Murti, Dasar Dasar Asuransi Kesehatan, Penerbit Kanisius, 2003, hal. 45-52

yang dibuat badan penyelenggara.


Padahal hubungan hukum antara peserta sebagai pasien dengan dokter sebagai PPK terikat dalam
sebuah transaksi terapeutik, yang pada dasarnya hanya memperjanjikan jasa pelayanan kesehatan yang
harus diupayakan oleh dokter / PPK semaksimal mungkin secara cermat dan hati hati berdasarkan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit dalam rangka mengusahakan kesembuhan
4

pasien (inspanningsverbintenis). Oleh karena secara prinsip hukum medis, telah terjadi penyimpangan dari
prinsip inspanningsverbintenis sebagai konsekuensi pengaruh penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola
managed care dalam pelayanan kesehatan. Penyimpangan tersebut diantaranya dapat dibuktikan dengan
menguji pengaruh konsep managed care dalam pelayanan kesehatan dan terjadi malpraktik medis.
Menurut teori Learned Hand bahwa suatu kelalaian dalam malpraktik medis dianggap terjadi, jika
dokter / PPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang biayanya lebih ringan daripada biaya kecelakaan,
maka ia dianggap berlaku lalai dan harus menanggung beban biaya kecelakaan itu. Sehingga pasien harus
menanggung biaya untuk menghindari terjadinya kecelakaan sampai suatu jumlah tertentu, hingga biaya
pencegahan lebih besar daripada perkiraan biaya kecelakaan. Pendapat Learned Hand didukung oleh teori
Schwarz & Komesar yang merumuskan kelalaian dalam malpraktik medis sebagai suatu kegagalan untuk
menginvestasikan sumber-sumber untuk pencegahan kecelakaan sampai suatu tingkat yang menyamai
biaya yang harus dikeluarkan dalam suatu kecelakaan. Kemudian teori-teori tersebut, dilengkapi teori
Kenneth Bridgewater bahwa adanya bahaya (danger) seperti kesalahan atau kelalaian dalam malpraktik
medis adalah sebagai akibat karena adanya ketimpangan antara resiko (Risk) dan hati-hati (Care).
Sehingga risiko akan menghadapi tuntutan malpraktik medis atau kelalaian menjadi lebih kecil, jika Care
diperbesar yang bisa dilakukan dengan memakai alat alat bantu monitoring yang akan memantau
perubahan yang terjadi pada diri pasien atau menambah tenaga asisten.

Dengan demikian dari uraian teori-teori kelalaian malpraktik medis diatas, dapat disimpulkan bahwa
tolok ukur adanya kelalaian adalah besarnya biaya pencegahan lebih kecil daripada biaya kecelakaan dan
kelalaian dapat dimaafkan jika biaya pencegahan besarnya atau diperbesar hingga melebihi biaya yang
harus dikeluarkan akibat kelalaian malpraktik medis. Padahal dalam konsep managed care, suatu bahaya
moral (moral hazard) dokter / PPK dikurangi dengan cara pembayaran kepada PPK dilakukan dengan
sistem pembayaran sebelum pelayanan medis diberikan (prospektif) yang bersifat tetap. Sehingga PPK
harus memikul sendiri kerugian jika pengeluaran sesungguhnya dari pelayanan medis yang diberikan lebih
besar daripada biaya yang sudah disepakati dan diberikan dimuka, yang pada akhirnya akan mendorong
dokter / PPK untuk mengontrol biaya atas keputusan terapinya.

Untuk itu, diperlukan suatu ketentuan yang membolehkan atas bentuk bentuk intervensi badan
penyelenggara dalam penentuan batas rasional dan yang mana diperlukan/dibutuhkan secara medis
terhadap suatu upaya medis yang seharusnya dilakukan semaksimal mungkin oleh dokter / PPK menjadi
terkendalikan oleh badan penyelenggara. Mekanisme hukum yang dapat membolehkan penyimpangan
prinsip inspanningsverbintenis dalam transaksi terapeutik pada pelayanan kesehatan adalah mekanisme
7

hukum perizinan. Menurut Prajudi Atmosudirdjo yang dikuti Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa izin
4
5
6
7

Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pusataka Publisher, 2005, hal. 43 dan 85-86.
J. Guwandi S.H.,Hukum Medis, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004, Hal 56-59.
Bhisma Murti, Loc.Cit., hal. 101.
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Perss, 1999, hal 142-143.

4
(vergunning) adalah dispensasi dari suatu larangan. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu suatu
ketentuan hukum dinyatakan tidak berlaku untuk hal tertentu yang ditetapkan dalam suatu keputusan tata
usaha negara (KTUN). Dengan demikian, segala bentuk tindakan intervensi badan penyelenggara yang
berkedudukan sebagai pengendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan bagi peserta dengan adanya
mekanisme hukum perizinan penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed care baru dapat
dipertanggungjawabkan, baik dari sisi hubungan hukum perdata antara badan penyelenggara dengan
tertanggung maupun dari sisi hukum praktik kedokteran dan pelayanan medis pada umumnya.
Apabila tidak ada mekanisme hukum perizinan terhadap penyelenggaraan jaminan kesehatan
berpola

managed

care,

inspanningsverbintenis

maka

dalam

telah
transaksi

terjadi

pelanggaran

terapeutik,

atas

yang

prinsip

akan

hukum

medis,

mengakibatkan

yaitu

kaburnya

pertanggungjawaban atas tindakan hukum dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed
care yang dilaksanakan badan penyelenggara dan dokter / PPK, apabila terjadi kesalahan dalam pelayanan
kesehatan pada peserta sebagai pasien, seperti diantaranya malpraktik medis.
Disamping itu, perlu diperhatikan pula kompetensi dan kedudukan hukum penanggungjawab
verifikasi klaim dan pemberian jaminan. Mengingat transaksi terapeutik dalam pelayanan medis hanya dapat
terjadi antara pasien dan tenaga kesehatan sebagai subyek hukum medis. Sehingga penanggungjawab
verifikasi klaim dan pemberian jaminan, seharusnya juga berkedudukan hukum atau memiliki kompetensi
sebagai subyek hukum medis. Karena kualitas intervensi badan penyelenggara dalam pengendalian mutu
dan biaya pada pelayanan medis bagi peserta, sangat ditentukan oleh keahlian dan kewenangannya
dibidang pelayanan medis yang seharusnya juga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum medis.
C. PENGATURAN

TATA

CARA

PENYELENGGARAAN

JAMINAN

KESEHATAN

BERPOLA

MANAGED CARE DALAM PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DI INDONESIA


Menurut UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 1
angka 2 pengertian peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Kemudian UU No. 10/2004 pada Pasal 7
ayat (1) telah ditentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah, meliputi:
1) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan
gubernur;
2) Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota;
3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya
bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004 tetap

5
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, antara lain seperti peraturan yang dikeluarkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kekuatan hukum Peraturan Perundangundangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1). Dalam ketentuan
tersebut, yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior).
Sedangkan di Indonesia, penerapan pembiayaan kesehatan melalui teknik managed care atau
teknik kendali mutu dan kendali biaya diatur tata cara penyelenggaraannya dalam beberapa peraturan
perundang-undangan mengenai sistem jaminan kesehatan, seperti yang tergambarkan sebagai berikut :
No.

Dasar Hukum

1. UU No. 3/1992
PP No. 14/1993
Permenaker No.PER05/MEN/1993

2. PP No. 69/1991
PP No. 28/2003

3.

4.
5.

Luas Manfaat
Jaminan Kesehatan
Manfaat Dasar :
a) Rajal Tk Pertama
b) RajalTk Lanjut
c) Rawat Inap
d) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan
e) Penunjang diagnostik
f) Pelayanan khusus
g) Gawat Darurat
Manfaat Dasar :
a) Rajal Tk Pertama
b) Rajal Tk Lanjut
c) Rawat Inap
d) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan
e) Penunjang diagnostik
f) Gawat Darurat
g) obat obatan
Manfaat Dasar :
a) Rajal, imunisasi dasar, persalinan anak
ke 2, dll.
b) Rawat Inap
c) Penunjang diagnostik
d) Gawat Darurat

HMO
Perijinan
Kelompok
Sifat
Peserta
Peserta
PT. Jamsostek PP
No.
Tenaga kerja Wajib
(Persero)
36/1995
sektor formal
dan informal,
tapi sampai
saat
ini
masih fokus
ke
sektor
formal
PNS
Wajib
Pensiun PNS
Veteran
Perintis
Kemerdekaan

PT.
Askes PP
No.
(Persero)
6/1992

Pasal
65
&
Pasal 66 UU
No. 23/1992
Pasal 2 ayat (3)
angka 10 i PP
No. 25/2000
Permenkes No.
571/Menkes/PE
R/VII/1993
Permenkes No.
527/Menkes/PE
R/VII/1993
UU No. 2/1992
Tergantung perjanjian

Setiap
penduduk

Sukarela BUMN
BUMD
PT.
Koperasi

Kepmenkes

Individu

Kepmenkeu

UU No. 40/2004 (UU Manfaat Dasar :


SJSN) pasca putusan a) Rajal Tk Pertama

Seluruh
Penduduk

Sukarela PT.Asuransi
jiwa
Wajib
BPJS Pusat

UU

No.

Dasar Hukum

Luas Manfaat
Jaminan Kesehatan
Mahkamah Konstitusi b) Rajal Tk Lanjut
c) Rawat Inap
RI
d) Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan
e) Penunjang diagnostik
f) Gawat Darurat
g) obat obatan

Kelompok
Peserta

Sifat
Peserta

HMO

Perijinan

BPJS Daerah Perda

Kalau dicermati dari perbandingan diatas, tampak adanya masalah dalam pengaturan penerapan
teknik managed care, ketika luas manfaat jaminan kesehatan dasar dan cakupan kepesertaan baik yang
bersifat sosial maupun komersial saling tumpang tindih. Sehingga memberikan dampak negatif bagi
perkembangan

penyelenggaraan

jaminan

kesehatan

komersial

berpola

managed

care.

Karena

bagaimanapun managed care adalah suatu teknik dalam asuransi yang dapat lahir dari suatu perjanjian
maupun peraturan perundang-undangan. Tetapi suatu perjanjian tidak dapat diadakan apabila bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, karena perjanjian tersebut akan batal demi hukum.

D. PENGATURAN PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN BERPOLA MANAGED CARE


MODEL HMO DAN JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT (JPKM) SEBAGAI
SUATU SOLUSI
Untuk mengatasi masalah hukum dan solusi mengatasi tumpang tindihnya pengaturan penerapan
teknik managed care perlu dilakukan hal hal sebagai berikut :
1. Perluasan makna hukum Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) disamakan dengan
makna model HMO dan model model managed care lainnya.
Managed care sebagai suatu teknik asuransi juga digunakan dalam penyelenggaraan JPKM. Bahkan
dalam sejarah pengaturan JPKM pada pasal 66 UU No. 23/1992 tentang Kesehatan juga dipengaruhi
penyelenggaraan

jaminan

kesehatan

berpola

managed

care

di

Amerika

Serikat.

Dimana

penyelenggaraan jaminan kesehatannya dilakukan salah satunya dengan mengambil model HMO yang
tidak lain merupakan rujukan konstruksi bentuk Badan Penyelenggara JPKM yang dikembangkan saat
ini. Sehingga bila dibandingkan persamaan dan perbedaan antara konsep HMO dan konsep JPKM
8

ternyata lebih banyak persamaannya dibandingkan perbedaannya. Kalau demikian, mengapa tidak bila
makna JPKM dalam pasal 66 UU No. 23/1992 mendapatkan penafsiran hukum yang diperluas (metode
penafsiran ekstensif), hingga menjadi sama dengan konsep model HMO dan model model managed
care lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang sudah ada dalam pasal 66 UU No.
23/1992. Sehingga memberikan peluang pengaturan penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola
managed care secara lebih komprehensif dibandingkan pengaturan yang ada dalam Permenkes No.
571/Menkes/PER/VII/1993 dan Permenkes No. 527/Menkes/PER/VII/1993. Sehingga segala bentuk
model HMO dan model managed care lainnya dapat diatur dan diawasi berdasarkan ketentuan pasal 66
UU No. 23/1992 yang didasarkan pada penafsiran yang diperluas dalam Peraturan Pemerintah tentang

Hasbullah Thabrany, Asuransi Kesehatan Nasional, PAMJAKI, 2005, hal. 71-74.

JPKM dengan tetap disesuaikan pada ketentuan yang telah ada dalam pasal 66 UU No. 23/1992.
2. Pemisahan Kedudukan Regulator dan Operator
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang JPKM tersebut, diaturlah mekanisme hukum
perizinan terhadap penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed care. Untuk itu, diperlukan
validitas atas perizinan yang akan diberikan kepada badan penyelenggara yang hanya dapat dijamin
dengan adanya kewenangan pada pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dan independensinya
dalam mengatur pelaksanaan pelayanan kesehatan pada penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola
managed care. Oleh sebab itu, kedudukan hukum dari regulator dan operator dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan berpola managed care haruslah dipisahkan. Sehingga badan penyelenggara
sebagai operator penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed care hanyalah melaksanakan
ketentuan dari regulator demi terlindunginya kepentingan peserta/tertanggung, tenaga kesehatan dan
sarana kesehatan atas tindakan intervensi operator. Mengingat pengendalian mutu dan biaya oleh
badan penyelenggara dapat dikualifikasikan sebagai tindakan intervensi dalam pelayanan kesehatan
kepada peserta. Kemudian agar penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed care dapat
dijalankan meskipun terdapat prinsip inspanningsverbintenis dalam hukum medis. Maka mekanisme
perizinan penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed care perlu dibagi 2, yaitu izin
operasional

badan

penyelenggara

JPKM-HMO

(Bapel

JPKM-HMO)

dan

izin

operasional

program/produk JPKM-HMO. Untuk izin operasional Bapel JPKM-HMO berfungsi mengkontrol kualitas
intervensi badan penyelenggara dalam bentuk tindakan diantaranya seperti verifikasi klaim dan
pemberian jaminan. Sedangkan izin operasional program/produk JPKM-HMO untuk mengkontrol
standar mutu pada substansi atau rincian dari ruang lingkup program pelayanan medis yang mutunya
diformulasikan oleh badan penyelenggara.
3. Regulasi dan Perizinan Sebagai Urusan Pemerintahan
Sejak reformasi bergulir hingga membawa dampak amandemen kedua UUD 1945 terutama pada pasal
18, terdapat perubahan makna konstitusionalisme otonomi daerah yang signifikan

dimana

kalimat

terdiri atas daerah besar dan daerah kecil berubah menjadi dibagi atas daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota. Dimana konsep pembagian kekuasaan (distribution of
power) antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diwujudkan pada pembagian urusan
pemerintahan, kecuali urusan pemerintah pusat yang telah ditentukan UUD 1945 Amandemen Kedua
pada Pasal 18 ayat (5) jo. Pasal 10 ayat (3) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga
sudah seharusnya pengaturan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola
managed care menjadi urusan pemerintahan daerah dibidang penanganan kesehatan berdasarkan
ketentuan Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22 huruf h, dan Pasal 167 UU No. 32/2004, yang diatur
cukup dalam suatu Peraturan Daerah karena pertimbangan keragaman kondisi dan kekhasan daerah
yang tidak dapat diseragamkan. Sedangkan untuk pemerintah pusat tetap mengatur dan mengendalikan
penyelenggaraan jaminan kesehatan berpola managed care yang berskala lintas daerah provinsi.
Pembagian regulasi seperti ini, tidaklah terlalu aneh dalam ilmu pengetahuan managed care, di Amerika
Serikat sendiri terdapat undang-undang tentang HMO dari negara federal yang mengatur badan
penyelenggara berkualifikasi negara federal dan ada pula undang-undang tentang HMO dari National
Association of Insurance Commisioners (NAIC), yang mengatur badan penyelenggara berkualifikasi

8
9

negara bagian. Terlebih lagi sejak Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sebagai pengawal
dan penafsir konstitusi telah memberikan penafsiran kata Negara pada pasal 34 ayat (2) UUD 1945
Amandemen Keempat dalam putusannya perkara no. 007/PUU-III/2005 tentang pengujian UU No.
40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Dimana MKRI berpendapat bahwa kata
Negara dalam pengembangan sistem jaminan sosial tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai fungsi
pemerintah pusat saja tetapi juga harus ditafsirkan sebagai fungsi pemerintahan daerah yang menjadi
bagian

dari

pemerintahan

Negara

dalam

pelaksanaan

fungsi

pelayanan

sosial

khususnya

penyelenggaraan dan pengembangan sistem jaminan kesehatan daerah berpola managed care.

10

4. Keseimbangan Regulasi Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Sosial dan Sukarela / Komersial
berpola managed care
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan baru dapat dianggap baik apabila telah
memenuhi salah satunya asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf j UU No. 10/2004 yaitu asas yang menentukan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Dalam hal ini, materi muatan
peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan jaminan kesehatan
berpola managed care, baru dapat dianggap baik menurut UU No. 10/2004 apabila dapat mewujudkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan penyelenggaraan jaminan kesehatan
sosial dengan kepentingan penyelenggaraan jaminan kesehatan sukarela/komersial berpola managed
care.
Untuk menggambarkan masalah hukum dan solusi mengatasi tumpang tindihnya pengaturan
penerapan teknik managed care, dapat dilihat sebagai berikut :
Indemnity
UU No. 2/1992
Asuransi Kesehatan

Managed Care
UU No. 23/1992 tentang Kesehatan

- Kepesertaan Sukarela
- Benefit Tambahan

Pengaturan tentang
JPKM-HMO
Santunan Uang

Pelayanan

UU SJSN

- Kepesertaan Wajib
- Benefit Dasar

Sehingga dari gambar diatas, tampak adanya kebutuhan pembentukan pengaturan HMO/JPKM karena :
1) Bahwa UU SJSN mengatur kepesertaan wajib untuk seluruh rakyat Indonesia dengan benefit /
manfaat program jaminan dasar, karena harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup minimal yang
layak dan daya beli masyarakat sektor informal.
2) Bagi masyarakat yang menginginkan benefit lebih baik dari benefit dasar untuk program santunan

9 Hasbullah Thabrany, Managed Care Bagian B, PAMJAKI, 2001, hal. 116-120.


10 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada perkara nomor 007/PUU-III/2005, pada hal. 257-260.

9
kesehatan dimungkinkan untuk membeli produk asuransi indemnity atau penggantian uang, yang
dijual oleh perusahaan asuransi. Hal ini sudah diatur dalam UU No.2/1992 tentang Usaha
Perasuransian untuk perlindangan hukum usaha asuransi kesehatan.
3) Bagi masyarakat yang menginginkan benefit lebih baik dari benefit dasar untuk program jaminan
pelayanan kesehatan, dimungkinkan untuk membeli produk asuransi kesehatan atau produk
Managed Care (JPKM)
Untuk mendukung UU SJSN dan keteraturan dalam penjualan program/produk JPKM, maka perlu
disusun pengaturan mengenai JPKM yang mencakup :
1) Kelayakan penyelenggara JPKM
2) Pelayanan medis standar yang harus diberikan oleh PPK
3) Pengawasan
4) Coordination of Benefit dengan mekanisme prinsip subrogasi.
Sedangkan mengenai penerapan prinsip penyelenggaraan jaminan kesehatan UU SJSN disamping
penyelenggaraan jaminan kesehatan sukarela, sebetulnya tidak menjadi masalah. Contohnya penerapan
prinsip portabilitas dalam jaminan kesehatan sosial ketika harus berhubungan dengan HMO yang
menyelenggarakan jaminan kesehatan komersial tetap dapat diterapkan dalam prakteknya. Selain itu,
terbukti Undang Undang tentang Asuransi Kesehatan Nasional Negara Filipina Tahun 1995
menentukan pada Pasal 13, bahwa Portability of Benefits. The Corporation shall develop and enforce
mechanisms and procedures to assure that benefits are portable across Offices.
E. REKOMENDASI
Perlu pembentukan Peraturan Pemerintah tentang JPKM yang mengatur penerapan teknik managed
care yang harus dipatuhi oleh semua entitas badan usaha yang menerapkan teknik managed care, baik di
domain jaminan kesehatan sosial, seperti PT. Askes (Persero) untuk Pegawai Negeri Sipil dan
Pensiunannya, PT. Jamsostek (Persero) untuk tenaga kerja, BPJS Pusat atau BPJS Daerah untuk semua
penduduk, dan juga pada domain jaminan kesehatan sukarela/komersial, seperti PT. Askes (Persero) untuk
peserta bersifat sukarela/komersial, pada perusahaan, rumah sakit swasta atau kumpulan klinik atau dokter
praktik yang mengumpulkan dana masyarakat untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan berpola
managed care, haruslah berizin operasional dari instansi pemerintahan yang berwenang di sektor kesehatan
baik di pusat maupun di daerah sesuai kualifikasi penyelenggaraannya (nasional, provinsi, atau
kabupaten/kota) dan kesemua entitas badan usaha penyelenggara jaminan kesehatan berpola managed
care adalah berkedudukan sebagai Badan Penyelenggara JPKM-HMO.

DAFTAR PUSTAKA

Bhisma Murti, Dasar Dasar Asuransi Kesehatan, Penerbit Kanisius, 2003.


Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik, Prestasi Pusataka Publisher, 2005.
J. Guwandi S.H.,Hukum Medis, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Perss, 1999.
Hasbullah Thabrany, Asuransi Kesehatan Nasional, PAMJAKI, 2005.
Hasbullah Thabrany, Managed Care Bagian B, PAMJAKI, 2001.

Вам также может понравиться

  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Документ2 страницы
    Kata Pengantar
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Infeksi Nosokomial
    Infeksi Nosokomial
    Документ9 страниц
    Infeksi Nosokomial
    raisyifa13
    Оценок пока нет
  • Pleno LBM!
    Pleno LBM!
    Документ16 страниц
    Pleno LBM!
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • PERENCANAAN Tingkat Puskesmas
    PERENCANAAN Tingkat Puskesmas
    Документ21 страница
    PERENCANAAN Tingkat Puskesmas
    Fadli Zhoners
    100% (8)
  • Kebijakan Dasar Puskesmas
    Kebijakan Dasar Puskesmas
    Документ27 страниц
    Kebijakan Dasar Puskesmas
    Crystall Male
    50% (2)
  • LBM 1
    LBM 1
    Документ7 страниц
    LBM 1
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Hanlon Lbm2
    Hanlon Lbm2
    Документ4 страницы
    Hanlon Lbm2
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Kepmen No.01-2002
    Kepmen No.01-2002
    Документ6 страниц
    Kepmen No.01-2002
    Nuzulul Kusuma Putri
    Оценок пока нет
  • Macam Jenis Fisioterapi
    Macam Jenis Fisioterapi
    Документ3 страницы
    Macam Jenis Fisioterapi
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • MANAJEMEN
    MANAJEMEN
    Документ6 страниц
    MANAJEMEN
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • RSUD
    RSUD
    Документ1 страница
    RSUD
    Amir Ruddin
    Оценок пока нет
  • SGD4
    SGD4
    Документ11 страниц
    SGD4
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Pengembangan Sistem Informasi Rumah Sakit - Rev.
    Pengembangan Sistem Informasi Rumah Sakit - Rev.
    Документ8 страниц
    Pengembangan Sistem Informasi Rumah Sakit - Rev.
    Rasman Rauf
    Оценок пока нет
  • Kepmen No.01-2002
    Kepmen No.01-2002
    Документ6 страниц
    Kepmen No.01-2002
    Nuzulul Kusuma Putri
    Оценок пока нет
  • Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Islam Karawang
    Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Islam Karawang
    Документ17 страниц
    Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Islam Karawang
    Andika Pradana Putra
    100% (1)
  • Manajemen Rees
    Manajemen Rees
    Документ17 страниц
    Manajemen Rees
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • BPJS Kesehatan
    BPJS Kesehatan
    Документ42 страницы
    BPJS Kesehatan
    Istiana
    Оценок пока нет
  • Macam Jenis Fisioterapi
    Macam Jenis Fisioterapi
    Документ3 страницы
    Macam Jenis Fisioterapi
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • UU No. 2 Tahun 1992
    UU No. 2 Tahun 1992
    Документ20 страниц
    UU No. 2 Tahun 1992
    OshinManu
    Оценок пока нет
  • Cover
    Cover
    Документ1 страница
    Cover
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Biaya Fisioterapi Di Beberapa Rumah Sakit
    Biaya Fisioterapi Di Beberapa Rumah Sakit
    Документ2 страницы
    Biaya Fisioterapi Di Beberapa Rumah Sakit
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Prosedur Asuransi Komersial PDF
    Prosedur Asuransi Komersial PDF
    Документ2 страницы
    Prosedur Asuransi Komersial PDF
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • METODE
    METODE
    Документ2 страницы
    METODE
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Eritrasma 4
    Eritrasma 4
    Документ2 страницы
    Eritrasma 4
    Olid Doang
    Оценок пока нет
  • Terminologi
    Terminologi
    Документ2 страницы
    Terminologi
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ25 страниц
    Bab I
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Contoh Visum Perkosaan
    Contoh Visum Perkosaan
    Документ3 страницы
    Contoh Visum Perkosaan
    afraxyz
    Оценок пока нет
  • Tinea Korporis
    Tinea Korporis
    Документ13 страниц
    Tinea Korporis
    Syahrul Habibi Nasution
    100% (1)
  • Tabel Abses Multipel Kelenjar Keringat
    Tabel Abses Multipel Kelenjar Keringat
    Документ1 страница
    Tabel Abses Multipel Kelenjar Keringat
    afraxyz
    Оценок пока нет