Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
SKRIPSI
Oleh
Vidya Muqsita
NIM 112010101036
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
SKRIPSI
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran
Oleh
Vidya Muqsita
NIM 112010101036
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
karbohidrat,
lemak,
dan
protein
yang
disebabkan
oleh
membran
sel
ditandai
dengan
meningkatnya
produksi
senyawa
sebagai
terapi
tradisional
untuk
antipiretik,
antikanker,
mengandung
flavonoid,
tannin,
cinnamaldehyde,
eugenol,
1.3 Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis efek pemberian
ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum burmannii) terhadap kadar
malondiadehyde jaringan ginjal pada tikus wistar hiperglikemi hasil induksi
aloksan.
1.4 Manfaat
1.
Manfaat Ilmiah
Secara ilmiah, hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan
Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat sebagai:
a. Data acuan dan informasi ilmiah untuk penelitian lebih lanjut
mengenai efek pemberian ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum
burmannii) terhadap kadar malondialdehyde (MDA) jaringan ginjal
tikus wistar hiperglikemi hasil induksi aloksan.
b. Bahan pertimbangan untuk dijadikan bahan antioksidan di
masyarakat.
2. 1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya
metabolism karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton dan
Hall, 2006). Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) tahun 2010,
diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hipergliemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Berdasarkan kriteria American Diabetes Association
tahun 2012 (ADA 2012), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita
DM. Indonesia menempati peringkat pertama di Asia Tenggara dengan
prevalensi penderita diabetes sebanyak 8.426.000 jiwa di tahun 2000 dan
diproyeksi meningkat 2,5 kali lipat sebanyak 21.257.000 penderita pada tahun
2030 (WHO, 2010).
Tipe 2
Tipe lain
Penyebab
Destruksi beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
Autoimun
Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunoloi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes mellitus
Gestasional
Sumber: PERKENI (2011)
2.1.2 Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 1, yang disebut juga DM tergantung insulin
(IDDM). Disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik, lingkungan dan
imunologi sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel beta pankreas
dan defisiensi insulin. Molekul dari sel beta pankreas yang menjadi target dari
proses autoimun adalah insulin, asam glutamik dekarboksilase (GAD), ICA
(homolog dengan tirosin fosfatase), dan phrogin. Kecuali insulin, tidak satupun
autoantigen dari sel beta pankreas yang dapat diketahui bagaimana mekanisme
kerusakan sel beta pankreas melalui proses autoimun tersebut (Harrisons et al,
2008).
Diabetes mellitus tipe 2, yang disebut juga DM tidak tergantung insulin
(NIDDM), disebabkan tidak adekuat sekresi insulin (defisiensi insulin) dan atau
2.1.3 Diagnosis
Diagnosis diabetes ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
diabetes seperti tersebut dibawah ini:
1. Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
10
2.1.4 Penatalaksanaan
Terapi DM dibagi menjadi dua yaitu terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi. Terapi non farmakologi meliputi perubahan gaya hidup dengan
mengatur pola makan yang dikenal sebgai terapi gizi medis, meningkatkan
latihan jasmani dan edukasi mengenai masalah kesehatan. Terapi farmakologi
ini diberikan apabila sudah dilaksanakan terapi non farmakologi namun, tidak
mampu mengendalikan glukosa sadar (PERKENI, 2011). Terapi farmakologi
dengan obat hipoglikemi oral (OHO) atau suntikan insulin. Berdasarkan cara
kerjanya, OHO dibagi mejadi 4 golongan.
Golongan pertama adalah sulfonilurea, kerjanya menstimulasi sel beta
pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin dengan mengurangi clearance
11
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut
dan kronik. Kompliksi akut yang paling serius pada DM tipe I adalah ketosidosis
diabetik (DKA) (Price, 2006).
Komplikasi kronik melibatkan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan
pembuluh darah besar (makroangiopati). Mikroangiopati menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), saraf
perifer (neuropati diabetik), otot serta kulit. Makroangiopati diabetik berupa
gangren pada ekstremitas, insufisiensi serebral, stroke, angina pektoris dan
infark miokardium (Price, 2006).
12
2. 2 Nefropati Diabetik
2.2.1 Definisi Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik (ND) merupakan sindrom klinis pada pasien diabetes
mellitus yang ditandai dengan albuminuria ( >300 mg/24 jam atau >200
g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan,
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan
tekanan darah arterial tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit
kadiovaskuler (Batuma, 2011). Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi
pada ginjal yang berakhir sebagai gagal ginjal. Angka kejadian ND pada DM
tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insidensi pada tipe 2 sering lebih besar daripada
tipe 1 (Wilson, 2006).
2.2.2 Klasifikasi
Tahapan nefropati diabetik menurut Mongensen, terbagi menjadi 5
tahapan (Hendromartono, 2006) :
Tabel 2.2. Tahapan nefropati diabetik
Tahap
1
2
3
4
Kondisi ginjal
Hipertrofi
Hiperfungsi
Kelainan struktur
AER
N
LFG
TD
N
/N
Prognosis
Reversible
Mungkin
reversible
Mikroalbuminuria 20-200
/N
Mungkin
persisten
mg/menit
reversible
Makroalbuminuria >200
Rendah
Hipertensi Mungkin
proteinuria
mg/menit
bias
stabilisasi
Uremia
Tinggi/rendah <10
Hipertensi Gagal
ml/menit
ginjal
terminal
13
2.2.3 Patogenesis
Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti (Permanasari, 2010):
1. Hiperglikemi
Diabetes control dan complication trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada
penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati
diabetik. Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat
mencegah kejadian mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan
memperberat kejadian nefropati diabetik.
2. Glikosilasi non enzimatik
Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan terjadinya glikosilasi non
enzimatik asam amino dan protein. Terjadi reaksi anatara glukosa dengan
protein yang akan menghasilkan produk AGEs ( Advanced Glycosylation
Products). Penimbunan AGEs dalam glumerulus tubulus ginjal dalam jangka
panjang akan merusak membran basalis dan mesangium yang akhirnya akan
merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Didalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran
utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah
meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan
mengakibatkan berkurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu
osmoregulasi sel sehingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik, studi tentang sel ginjal dan glomerulus
yang diisolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan
menambah penimbunan matriks ekstraseluler. Menurut Lorensi, glukosa
mempunyai efek toksis terhadap sel, begitu pula terhadap sel ginjal, sehingga
dapat terjadi nefropati diabetik.
14
5. Hipertensi
Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan hipertensi lebih
banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita diabetes tanpa
hipertensi. Hemodinamik dan hipertrofi mendukung adanya hipertensi
sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltasi.
6. Proteinuria
Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya
filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Bila reabsorbsi
tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi protein
dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti
endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein I (MCP-I).
Faktor-faktor tersebut akan merubah ekspresi dari proinflamtory dan fibritik
cytokines dan infiltrasi sel mononucleas, menyebabkan kerusakan dari
tubulo-interstisiel dan akhirnya terjadi renal scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai terjadinya
nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperfusi membran basal glomeruli.
Gambaran histology jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya
penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang
akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen serta fibrosis
tubule interstitisal. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada
penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama
ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap
basal membran dapat melalui 2 jalur (Santoso, 2010).
15
16
2.2.4 Penatalaksanaan
Tatalakana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah
masih normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau makroalbuminuria. Tetapi
pada prinsipnya pedekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :
1.
2.
Pengendalian tekanan darah dengan diet rendah garam, obat anti hipertensi;
3.
4.
2. 3 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau elektron yang tidak berpasangan
sehingga tidak stabil dan cenderung menarik elektron dari molekul lainnya untuk
melengkapi konfigurasi elektronnya (Suwandi, 2012). Dalam sel hidup, radikal
bebas terbentuk pada membran plasma, mitokondria, peroksisom, retikulum
endoplasma dan sitosol melalui reaksi-reaksi enzimatis yang berlangsung dalam
proses metabolisme (Winarsi, 2007). Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu :
17
Tiga komponen utama sel yang menjadi target radikal bebas adalah (1)
Asam lemak tak jenuh, peroksidasi lipid di membran sel dapat merusak
membran sel dengan menggangu permeabilitas membran dan mengganggu
fungsi membran, (2) Protein, kerusakan protein akibat radikal bebas dapat
18
mengganggu aktivitas enzim dan fungsi struktur protein, (3) DNA, kerusakan
dapat menyebabkan kematian sel. Dari ketiga molekul tersebut yang paling
rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh (Sarma,
2010).
Terbentuknya senyawa radikal terjadi melalui sederetan reaksi. Deretan
reaksi tersebut dapat berlangsung seperti berikut:
a. Inisiasi yaitu awal pembentukan radikal bebas
ROOH + logam(n) ROO + Logam(n-1) + H+
X + RH R + XH
b. Propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal
R + O2ROO
ROO + RH ROOH + R
c. Terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau
dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.
ROO + ROO ROOR + O2
ROO + R ROOR
R + R RR
19
sel terganggu; (c) terjadi reaksi peroksidasi lipid membrane sel yang
mengandung PUFA (polyunsaturated fatty acid) (Slater, 1984).
Peroksidasi lipid dapat melalui tiga tahap reaksi yaitu inisiasi, propagasi
dan terminasi (Murray et al., 2009). Reaksi peroksidasi lipid diawali dengan
pemisahan sebuah atom hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup metilena (CH2-) PUFA. Radikal tersebut menghasilkan pembentukan suatu radikal karbon
(-CH-) pada PUFA. Radikal karbon ini dapat distabilkan melalui suatu
pengaturan ulang ikatan rangkap yang menghasilkan pembentukan diena
terkonjugasi. Bila diena terkonjugasi bereaksi dengan O2 akan terbentuk radikal
peroksida
lipid
(ROO).
Selanjutnya
radikal
peroksidasi
lipid
akan
2. 4 Malondialdehyde (MDA)
Malondialdehyde (MDA) adalah rincian produk peroksidasi asam lemak
rantai panjang yang meningkat ketika terjadi proses peroksidasi lipid. Peroksida
lipid selanjutnya mengalami dekomposisi menjadi MDA. Sehingga MDA yang
merupakan produk akhir proses peroksidasi lipid dan yang paling sering
digunakan untuk mengukur proses peroksidasi lipid. MDA merupakan indikator
yang baik untuk melihat kecepatan (rate) peroksidasi lipid in vivo. (Yusuf,
2013).
Malondialdehid digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lipid
dan menggambarkan derajat stres oksidatif. Tingginya kadar MDA dipengaruhi
oleh kadar peroksidasi lipid yang secara tidak langsung juga menunjukkan
tingginya jumlah radikal bebas (Sutari, 2013).
20
menjadi
warna
biru.
Reaksi
enzim-substrat
dihentikan
dengan
2. 5 Aloksan
Aloksan (ALS) (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone)
adalah agen diabetogenik yang merupakan derivat pirimidin teroksidasi dan
derivat asam barbiturat (5-ketobarbituric acid) (Szkudelski, 2001; Lenzen, 2007).
21
Aloksan adalah komponen kimia yang hidrofilik dan sangat tidak stabil
(Lenzen, 2007) dan memiliki bentuk yang sangat mirip dengan glukosa (Lanzen,
2007). Karena aloksan dan glukosa bersifat hidrofilik, maka keduanya tidak dapat
menembus lipid bilayer membran plasma. Bentuk molekul aloksan yang mirip
dengan glukosa (glukomimetik) akan membuat glucose transporter 2 (GLUT2) di
dalam sel beta pankreas mengenali aloksan sebagai glukosa, selanjutnya
membawa aloksan menuju sitosol (Lanzen, 2007). Aloksan akan terakumulasi
secara selektif di dalam sitosol sel beta pankreas, kemudian akan mengeksekusi
efek biologisnya (Gambar 2.4)
Gambar 2.4 Mekanisme Toksisitas Aloksan dan Streptocin terhadap Sel Beta
Pankreas (Sumber: Lanzen, 2007)
22
23
degranulasi dan hilangnya integritas sel beta pankreas. Fase keempat ini terjadi 12
48 jam setelah injeksi aloksan
Gambar 2.5 Fase respon glukosa darah pada dosis diabetogenik Aloksan
(Sumber: Lanzen, 2007)
24
2+
berlebih sehingga terjadi kekurangan energi dalam sel. Dua mekanisme ini
mengakibatkan kerusakan baik dalam jumlah sel maupun massa sel pankreas
sehingga penurunan pelepasan insulin (Watkins et al.,2008).
Hiperglikemi setelah pemberian ALS disebabkan aktivasi jenis- jenis
oksigen seperti superoksida, hydrogen peroksida, radikal hidroksil yang
merupakan radikal bebas. Aloksan juga menginaktivasi glukokinase, suatu
enzim yang berperan dalam mekanisme untuk mengontrol kadar gula darah
dalam memproduksi insulin (Fitrianti, 2006). Penelitian terhadap mekanisme
kerja aloksan secara invitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi
pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi
sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria mengakibatkan
kegagalan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel (Ress dan
Alcolado, 2005). Menurut Setiawan dan Suhartono, 2005 menyatakan pada
kondisi hiperglikemi dapat menyebabkan kerusakan sel melalui jalur
autooksidasi glukosa, glikasi protein, serta aktivasi jalur metabolism poliol yang
akan mempercepat pembentukan senyawa oksigen reaktif . Hal ini merupakan
awal kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai kondisi stress oksidatif (Nuttal
SL, 1999).
Pemberian ALS dengan dosis 120 mg/kgBB pada tikus jantan strain
Wistar secara intraperitoneal selama 5 hari mampu meningkatkan kadar glukosa
darah puasa (Sharma et al., 2010). Pemberian ALS pada mencit jantan strain
Swiss albino dengan dosis 150 mg/kgBB dalam larutan 0,9 % NaCl secara
intraperitoneal mampu menyebabkan hipergliemia pada hewan coba selama 5
hari (Sharma dan Garg, 2008). Studiawan dan Santosa (2005) menyatakan,
pemberian ALS dengan dosis 100 mg/kgNN mencit jantan galur Wistar selama 4
hari selaki selama 8 hari menujukan kenaikan kadar glukosa darah hewan coba
yang berarti. Dikatakan tikus diabetic eksperimental, jika kadar glukosa darah
puasa > 180 mg/dl ( Bimo et al., 2013; Hardiyani, 2013)
25
(b)
(c)
Gambar 2.6. (a) Pohon Cinnamomum burmanni, (b) Cinnamomum burmannii, (c) Serbuk
kayu manis (Ravindran et al., 2004)
26
berbau kayu manis yang kuat. Daunnya merupakan daun tunggal. Awalnya
berwarna merah muda kemudian berwarna hijau muda di atas. Bunganya
merupakan bunga malai, berwarna putih kekuningan dimana dilihat dari luar
terlihat berambut abu-abu keperak-perakan. Buahnya adalah buah buni, panjang
lebih kurang 1 cm. Pada daun dan kulit batang terdapat sel-sel yang mengandung
minyak atsiri (Ravindran et al., 2004).
27
28
Penelitian Qin et al. pada tikus Wistar jantan yang diberikan diet tinggi
fruktosa menunjukkan hasil bahwa penambahan ekstrak kayu manis sebesar 300
mg/KgBB/hari pada air minum tikus secara dini dapat mencegah perkembangan
resistensi insulin melalui peningkatan sensitivitas insulin dan melalui jalur Nitrat
oksida pada otot rangka.
kadar
malondialdehyde
(MDA)
dan
meningkatkan
kadar
29
30
31
Kayu Manis
(Cinnamomum
V
burmannii)
Menghambat
glukokinase
Menginduksi
pembentukan ROS
Depolarisasi di
mitokondria akibat
Ca2+
Insulin
Oksidasi sel
terganggu
Ca2+ sitosol
Proses oksidasi
terganggu
Cinnamaldehyde
MDA
32
Keterangan :
: Merangsang
: Menghambat
: Variabel bebas
: Variabel terikat
Gambar 2.9 Kerangka Konseptual Penelitian
2+
33
enzim sehingga merusak metabolisme oksidatif dan fungsi sensor glukosa pada
sel beta pankreas (Szkudelski, 2001; Lenzen, 2007).
Peningkatan glukosa ekstraseluler mengakibatkan terjadi reaksi glikasi
merupakan reaksi non enzimatik antara glukosa dengan protein kemudian
membentuk protein yang sangat toksik, disebut advanced glication end product
(AGEs). Adanya proses autooksidasi pada hiperglikemi dan reaksi glikasi
memicu pembentukan radikal bebas khususnya radikal superoksida (O2-) dan
oksidan hydrogen peroksida (H2O2). Radikal bebas ini akan bereaksi dengan
asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) pada membran sel ginjal yang dapat
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi membran sel ginjal. Permeabilitas
membran sel akan meningkat
kalsium dan kematian sel (Haki, 2009). Terjadinya reaksi peroksidasi lemak
membrane sel ginjal ditandai dengan meningkatnya produksi senyawa
malondialdehyde (MDA) dalam sel ginjal. MDA merupakan indikator yang baik
untuk melihat kecepatan (rate) peroksidasi lipid in vivo karena diproduksi secara
konstan sesuai jumlah peroksidasi lipid yang terbentuk (Mahdi et.al, 2007).
Proses peroksidasi lipid ini dapat dicegah dengan cara memberikan
antioksidan alami yaitu kayu manis (Cinnamomum burmannii). Kandungan kayu
manis yang berperan sebagai antioksidan adalah polifenol. Mekanisme kerja
polifenol sebagai scavenger dengan mendonasikan elektron / atom H+ sehingga
menghasilkan senyawa yang stabil. Sehingga proses peroksidasi lipid tidak
terjadi atau dapat dikurangi. Dengan berkurangnya peroksidasi lipid maka
diharapkan terjadi penurunan dari kadar malondialdehid (MDA) ginjal.
2. 8 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah bahwa pemberian ekstrak etanol kayu
manis (Cinnamomum burmannii) dapat menurunkan kadar malondialdehyde
(MDA) jaringan ginjal wistar hiperglikemi hasil induksi aloksan.
34
K(-)
D1
Aquabidest
t
D6
C1
D11
M1
K(+)
D2
Aloksan
D7
C2
D12
M2
P1
D3
Aloksan
D8
C3
D13
M3
P2
D4
Aloksan
D9
C4
D14
M4
P3
D5
Aloksan
D10
C5
D15
M5
Populasi
Randomisasi
K(-)
K(+) : :
P1
Kelompok perlakuan 1
35
P2
Kelompok perlakuan 2
P3
Kelompok perlakuan 3
D1
D2
D3
D4
D5
D6
D7
D8
D9
D10
D11
D12
D13
per oral
Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan ekstrak etanol
D14
D15
C1
C2
C3
36
C5
M1-5
3.3.2 Sampel
Pada penelitian ini terdapat kriteria inklusi dan ekslusi yang bertujuan
membuat homogen sampel yang akan digunakan. Kriteria inklusi sampel
penelitian adalah sebagai berikut:
a. Tikus wistar jantan
b. Tikus berwarna bulu putih dan sehat (bergerak aktif)
c. Umur 2-3 bulan
d. Berat 150-200 gram
Sedangkan kriteria eksklusi sampel penelitian adalah tikus yang sakit dan yang
belum mati sebelum proses randomisasi
37
jumlah pengulangan atau besar sampel dalam penelitian ini dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Federer sebagai berikut:
(t-1) (r-1) 15
(t-1) (r-1) 15
(5-1) (r-1) 15
4 (r-1)
15
4,7
Keterangan:
n
wistar masing-masing kelompok. Jadi, dalam penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan untuk 5 kelompok adalah 25 ekor tikus wistar.
38
39
Malang. Cara mengekstrak bubuk kayu manis dengan pelarut etanol 80% dengan
metode maserasi dan evaporasi (Alusinsing, 2014). Pemilihan dosis pada
penelitian didasarkan pada penelitian yang dilakukan Khan et al., (2014). Dosis
ekstrak etanol kayu manis yang digunakan penelitian tersebut yaitu 200 mg/kgBB,
400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB.
40
3.7.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Tikus wistar jantan
b. Bahan untuk pemeliharaan tikus adalah makanan standar pellet, minuman,
aquades dan sekam.
c. Bahan untuk pemberian aloksan adalah aloksan, aquabides dan dextrose
(D5).
d. Bahan untuk pembuatan esktrak kayu manis adalah bubuk kayu manis dan
etanol 80%.
e. Bahan untuk pengambilan organ hepar tikus adalah Eter, NaCl fisiologis
0,9% dan es batu.
f. Bahan untuk pemeriksaan Malondialdehid (MDA) hepar tikus adalah hepar
tikus, larutan PBS, aquabides, dan MDA ELISA kit.
kelompok dengan kriteria: berjenis kelamin jantan yang sehat (bergerak aktif),
berbulu putih dengan berat badan berkisar 150-200 gram dan usia berkisar 2-3
bulan.
41
3.8.2
hari dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru. Selama adaptasi
tikus diletakkan di kandang dengan ukuran 45 cm x 35 cm x 2,5 cm. Kandang
diletakkan diatas meja besar pada suhu ruangan. Tikus diberi makanan standar
dan diberi aquades ad libitum.
3.8.3
wistar jantan dibagi menjadi 5 kelompok. Pembagian kelompok tikus dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Pembagian kelompok tikus kontrol dan perlakuan
Nama Kelompok
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 5
42
rotator evaporator suhu 50oC sampai pelarut etanol 80% menguap dan diperoleh
ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh sebanyak 66 gram.
blood
glukosa test strip, sampel darah diambil pada bagian vena ekor yang dipotong
menggunakan gunting steril 0,5 cm setelah sampel darah keluar diletakkan di
blood glukosa test strip kemudian diukur menggunakan blood glukosa test Easy
Touch.
b. Kelompok 2
c. Kelompok 3
d. Kelompok 4
43
e. Kelompok 5
S. Setelah
C.
kemudian dipotong ke il-ke il dan ditimbang sebanyak 500 mg, setelah itu di
letakkan di dalam eppendor dan ditambahkan larutan
Sampel disimpan pada suhu 2-
S sama banyak.
masing sampel di vortex selama 3 menit. Sentrifuge sampel yang sudah di vortex
dengan kecepatan 5000 g selama 5 menit. Siapkan reagen yang meliputi wash
buffer, larutan standar, biotinylated detection Ab, HRP conjugate, dan larutan
substrat. Prosedur yang dilakukan yaitu tambahkan 50 L standar, sampel dan
44
45
K-
K+
P1
P2
P3
Induksi
aquabides
P1
P2
Aquades
Tanpa
ekstrak
kayu manis
P3
Ekstrak
kayu manis
dosis 200
mg/gBB
P4
Ekstrak
kayu manis
dosis 400
mg/gBB
P5
Ekstrak
kayu manis
dosis 600
mg/gBB
46
47
Tabel 4.1 Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Induksi
Aloksan
Kelompok
Kontrol (-)
Kontrol (+)
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
KGDP sebelum
mg/dl
117,2
117,2
99,6
104
107
KGDP setelah
mg/dl
118,2
401,2
382
476
429,8
Berdasarkan data rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan sesudah
induksi aloksan tersebut dapat digambarkan secara histogram yang ditunjukkan
476
450
429,8
401,2
382
400
350
K(-)
300
K(+)
250
200
150
100
P1
117,2
117,2
107
104
99.6
P2
118,2
P3
50
0
Hari ke-1
Hari ke-3
hari
Gambar 4.1 Grafik Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Induksi
ALS
48
kadar glukosa darah pada seluruh kelompok lebih dari 180 mg/dl (Bimo et al.,
2013 dan Hardiyani, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa induksi aloksan mampu
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.
Tabel 4.2 Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Pemberian
Ekstrak Kayu Manis
Kelompok
Kontrol (-)
Kontrol (+)
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
KGDP sebelum
mg/dl
118,2
401,2
382
476
429,8
KGDP setelah
mg/dl
106,6
482,4
239
297
287,8
49
Berdasarkan data rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan setelah
pemberian ekstrak kayu manis tersebut dapat digambarkan secara histogram
yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.
600
482,4
500
401,2
476
420,8
382
400
297
300
287,8
239
200
118,2 106,6
100
Rata-rata
KGDP setelah
induksi ALS
rata-rata
KGDP setelah
pemberian
ekstrak kayu
manis
0
K(-)
K(+)
P1
P2
kelompok perlakuan
P3
Gambar 4.2 Grafik Rata-Rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Sesudah
Pemberian Ekstrak Kayu Manis
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kadar glukosa darah puasa
kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 sebelum pemberian ekstrak kayu manis yaitu 382
mg/dl, 476 mg/dl, dan 429,8 mg/dl. Kadar glukosa darah puasa kelompok
perlakuan 1, 2, dan 3 setelah pemberian ekstrak kayu manis yaitu 239 mg/dl, 297
mg/dl, dan 287,8 mg/dl. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa rata-rata
kadar glukosa darah puasa setelah pemberian ekstrak kayu manis terjadi
penurunan kadar glukosa darah.
Data kadar MDA ginjal dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada
Lampiran C. Rata-rata kadar MDA ginjal tikus berdasarkan data tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4.2
50
Kontrol (-)
1,8923
0,00032427
Kontrol (+)
1,8926
0,00004148
1,8926
0,00008666
1,8925
0,00031940
1,8926
0,00031665
1,8926
0,0008666
1,8925
0,00031940
1,8926
0,00031665
1,8923
0,0032427
2
2
2
2
K(-)
K(+)
P1
Kelompok perlakuan
P2
P3
Keterangan:
K(-) : aquades
K(+) : aloksan
P1 : aloksan+200 mg/kgBB kayu manis
P2 : aloksan+400 mg/kgBB kayu manis
P3: aloksan+600 mg/kgBB kayu manis
Gambar 4.3 Grafik Nilai Rata-rata Kadar MDA Ginjal Tikus
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kelompok kontrol negatif memiliki
nilai rata-rata kadar MDA sebesar 1,8923 ng/g. Kelompok kontrol positif yang
diberikan aloksan 100 mg/kgBB memiliki rata-rata kadar MDA 1,8926 ng/g.
51
Kelompok yang diberikan kayu manis sebesar 200 mg/kgBB memiliki rata-rata
kadar MDA 1,8926 ng/g. Kelompok yang diberikan kayu manis sebesar 400
mg/kgBB memiliki rata-rata kadar MDA 1,8925 ng/g. Kelompok yang diberikan
kayu manis sebesar 600 mg/kgBB memiliki rata-rata kadar MDA 1,8926 ng/g.
5% (=0,05) karena
52
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil data kadar glukosa darah puasa sebelum diinduksi
aloksan menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah puasa tikus pada
seluruh kelompok dibawah 126 mg/dl (Barik et al., 2008). Hal ini menunjukkan
bahwa sebelum diinduksi aloksan seluruh tikus memiliki kadar glukosa darah
normal. Setelah induksi aloksan terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada
seluruh kelompok lebih dari 180 mg/dl (Bimo et al., 2013 dan Hardiyani, 2013).
Hal ini menunjukkan bahwa induksi aloksan mampu menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah.
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi
diabetes pada binatang percobaan (Watkins et al. 2008). Pemberian aloksan
adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi diabetes eksperimental
(Anindhita, 2009). Tikus model DM tipe 1 dibuat dengan cara menginjeksikan
aloksan dosis 100 mg/kgBB yang kemudian diberi minum glukosa 5% selama
24 jam pasca induksi aloksan. Pengukuran glukosa darah untuk menentukan
tikus diabetes dilakukan 48 jam pasca induksi aloksan. Berdasarkan hasil
penelitian pendahuluan yang dilakukan tikus pasca diinduksi aloksan tanpa
diberikan minum glukosa 5% tidak dapat bertahan hidup, tetapi jika diberikan
minum glukosa 5% pasca induksi aloksan dapat bertahan hidup. Hal ini
disebabkan oleh beberapa fase yang terjadi saat aloksan masuk ke dalam sel beta
pankreas. Pemberian minum glukosa selama 24 jam pasca induksi aloksan
dilakukan karena dalam waktu 30 menit pasca induksi aloksan akan terjadi fase
transient hipoglikemik (Lenzen, 2007).
Dosis aloksan 100 mg/kgBB yang dinjeksikan secara intravena dipilih
karena dosis tersebut merupakan dosis yang menyebabkan tikus dapat bertahan
hidup dalam keadaan hiperglikemi dan rendahnya tingkat mortalitas.
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan tikus yang diinduksi aloksan dengan dosis
150 mg/kgBB, dan 120 mg/kgBB secara intravena menyebabkan tikus tidak
dapat bertahan hidup dalam keadaan hiperglikemi. Pengukuran glukosa darah
untuk menetukan diabetes dilakukan dalam waktu 12-48 jam pasca induksi
aloksan telah terjadi kondisi hiperglikemi yang menetap (Lenzen, 2007).
53
54
radikal bebas (Sutari, 2013). Pada dosis aloksan 100 mg/kgBB dari hasil
penelitian ini tidak cukup mampu membuat jaringan ginjal mengalami stress
oksidatif dan menyebabkan peroksidasi lipid pada membran sel tetapi dapat
membuat tikus hiperglikemi selama 7 hari.
Kelompok kontrol positif dibandingkan kelompok perlakuan dosis 200
mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Rata-rata kadar MDA pada kelompok perlakuan dosis 200 mg/kgBB,
400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB adalah 1,8926 ng/g, 1,8925 ng/g, dan 1,8926
ng/g. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600
mg/kgBB belum dapat menurunkan kadar malondialdehyde (MDA) selama 7
hari. Pada penelitian sebelumnya, pemberian ekstrak kayu manis diberikan
selama 14 hari dapat menurunkan kadar Malondialdehyde jaringan pankreas
yang diinduksi aloksan (Bimo et al., 2013). Pada penelitian ini, pemberian
selama 7 hari tidak dapat menurunkan kadar MDA jaringan ginjal tetapi dapat
menurunkan kadar glukosa darah puasa.
Berdasarkan hasil kadar glukosa darah puasa setelah pemberian ekstrak
kayu manis pada kelompok perlakuan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan
600 mg/kgBB dibandingkan kadar glukosa darah puasa yang tidak diberikan
ekstrak kayu manis pada kelompok kontrol positif menunjukkan terjadi
penurunan kadar glukosa darah puasa pada kelompok perlakuan dosis 200
mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak kayu manis mampu bekerja seperti insulin dan meningkatkan aktivitas
insulin (Broadhurst et al., 2000; Jarvil-Taylor et al., 2001). Kandungan ekstrak
kayu manis mengandung senyawa bioaktif yang memiliki efek hipoglikemik
adalah flavonoid (Grover et al., 2002 dalam Howeida et al., 2010). Flavonoid
adalah substansi terbanyak dan terpenting pada kelompok polifenol di dalam
tanaman (Lukacinova et al., 2008). Polifenol dalam kayu manis yang memiliki
aktivitas mirip dengan insulin (insulun mimetic) adalah doubly-linked
procyanidin type-A polymers yang merupakan bagian dari catechin/epicatechin
yang selanjutnya disebut sebagai MHCP (Andersona et al., 2004). Penelitian in
vitro, MHCP memiliki efek yang mirip dengan insulin, yakni menstimulasi
55
56
BAB 5. PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
Pemberian ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii) tidak dapat
menurunkan kadar malondialdehyde (MDA) jaringan ginjal tikus wistar
hiperglikemi hasil induksi aloksan.
5. 2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek pemberian ekstrak
etanol kayu manis sebagai antioksidan dengan masa perlakuan terapi, yaitu
14 hari, 21 hari, dan 30 hari dengan indikator kadar MDA jaringan ginjal;
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek ekstrak etanol kayu
manis terhadap kadar MDA jaringan ginjal yang diinduksi STZ.
57