Вы находитесь на странице: 1из 57

1

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KAYU MANIS


(Cinnamomum burmannii) TERHADAP KADAR
MALONDIALDEHYDE (MDA) JARINGAN GINJAL PADA TIKUS
WISTAR HIPERGLIKEMI HASIL INDUKSI ALOKSAN

SKRIPSI

Oleh
Vidya Muqsita
NIM 112010101036

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KAYU MANIS


(Cinnamomum burmannii) TERHADAP KADAR
MALONDIALDEHYDE (MDA) JARINGAN GINJAL PADA TIKUS
WISTAR HIPERGLIKEMI HASIL INDUKSI ALOKSAN

SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Oleh
Vidya Muqsita
NIM 112010101036

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya
metabolisme

karbohidrat,

lemak,

dan

protein

yang

disebabkan

oleh

berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap


insulin (Guyton dan Hall, 2006). Klasifikasi DM menurut PERKENI, 2011
dikategorikan menjadi diabetes mellitus tipe 1, tipe 2, tipe lain dan gestasional.
Berdasarkan kriteria American Diabetes Association tahun 2012 (ADA 2012),
sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Indonesia menempati
peringkat pertama di Asia Tenggara dengan prevalensi penderita diabetes
sebanyak 8.426.000 jiwa di tahun 2000 dan diproyeksi meningkat 2,5 kali lipat
sebanyak 21.257.000 penderita pada tahun 2030 (WHO, 2010). Diabetes
mellitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya
komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh
darah kaki, saraf dan lain-lain. Nefropati diabetik merupakan komplikasi
mikrovaskular diabetes mellitus.
Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi pada ginjal yang berakhir
sebagai gagal ginjal. Angka kejadian ND pada DM tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi
insidensi pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 (Wilson, 2006).
Nefropati diabetik diawali dengan hiperglikemi yang menyerang pembuluh
darah ginjal sehingga terjadi hipertensi, hiperfiltrasi dan mikroalbuminuria. Efek
langsung dari hiperglikemi adalah hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler,
serta produksi transforming growth factor beta (TGF beta) yang diperantarai
oleh aktivasi protein kinase C (PKC). Hiperglikemi kronik juga nenyebabkan
terjadinya glikasi nonezimatik asam amino dan protein. Glukosa akan mengikat
residu amino secara nonezimatik menjadi basa Schiff glikasi, jika proses
berlanjut terus akan terbentuk Advanced Glycation End-Product (AGEs) yang

irevesibel. Peningkatan AGEs produk akan menimbulkan kerusakan glumerolus


ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol dan aktivasi protein kinase C, dimana
peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh
aktivasi enzim aldose reduktase. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang
menghasilkan ROS (reactive oxigen species). Radikal bebas akan bereaksi
dengan asam lemak tak jenuh (PUFA) pada membran sel ginjal menyebabkan
perubahan struktur dan fungsi membran sel ginjal. Terjadinya reaksi peroksidasi
lipid

membran

sel

ditandai

dengan

meningkatnya

produksi

senyawa

malondialdehyde (MDA) sel ginjal. Malondialdehyde (MDA) merupakan salah


satu marker untuk mengetahui stress oksidatif dalam sel. MDA merupakan
indikator yang baik untuk melihat kecepatan (rate) peroksidasi lipid in vivo
(Yusuf, 2013). Tingginya kadar MDA dipengaruhi oleh kadar peroksidasi lipid
yang secara tidak langsung juga menunjukkan tingginya jumlah radikal bebas
(Sutari, 2013).
Peroksidasi lipid dari hasil radikal bebas dapat dicegah dengan
menggunakan antioksidan. Antioksidan dikelompokkan menjadi dua yaitu
antioksidan alami dan sintesis (Rukmiasih et al., 2011). Sumber antioksidan
alami salah satunya adalah kayu manis (Cinnamomum burmannii). Komponen
antioksidan dalam kayu manis (Cinnamomum burmannii) yang bertindak
sebagai antioksidan adalah senyawa polifenol (Azima et al., 2004). Mekanisme
kerja polifenol sebagai scavenger radikal bebas.
Kayu manis (Cinnamomum burmanni) merupakan spesies kayu manis
khas Indonesia yang tumbuh di daerah Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan
Indonesia (Blevins et al., 2007). Berdasarkan penelitian, kayu manis
dimanfaatkan

sebagai

terapi

tradisional

untuk

antipiretik,

antikanker,

antimikroba, anti inflamasi, hipoglikemik, antidiabetes dan penyembuhan luka


(Ravindran et al., 2004 dan Pengelly, 2004). Menurut Azima et al., 2004 dan
Rohmah et al., 2010, menyatakan bahwa ekstrak etanol Cinnamomum
burmannii,

mengandung

flavonoid,

kariophylen, kopaene dan coumarin.

tannin,

cinnamaldehyde,

eugenol,

Dari penelitian sebelumnya yaitu efek ekstrak kayu manis (Cinnamomum


burmannii) terhadap kadar SOD dan MDA jaringan pankreas tikus (Rattus
norvegicus) yang diinduksi aloksan, didapatkan hasil bahwa pemberian ekstrak
kayu manis terjadi peningkatan SOD dan penurunan MDA karena pengaruh
polifenol (Bimo et al., 2013). Penelitian lainnya menyatakan bahwa pemberian
ekstrak kayu manis yang mengandung cinnamaldehyde dengan dosis 5-20
mg/kgBB/hari mampu menurunkan glukosa darah dan meningkatkan insulin
tikus yang diinduksi (Iyer et al., 2009).
Dari beberapa penjelasan diatas, penulis memilih untuk melakukan
penelitian mengenai efek pemberian ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum
burmanii) terhadap kadar malondiadehyde (MDA) jaringan ginjal tikus wistar
hiperglikemi hasil induksi aloksan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas maka, permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah apakah terdapat efek pemberian ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum
burmannii) terhadap kadar malondiadehyde jaringan ginjal pada tikus wistar
hiperglikemi hasil induksi aloksan.

1.3 Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis efek pemberian
ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum burmannii) terhadap kadar
malondiadehyde jaringan ginjal pada tikus wistar hiperglikemi hasil induksi
aloksan.

1.4 Manfaat
1.

Manfaat Ilmiah
Secara ilmiah, hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan

informasi tentang efek pemberian ekstrak etanol

kayu manis terhadap

penurunan kadar malondialdehyde (MDA) jaringan ginjal tikus wistar


hiperglikemi hasil induksi aloksan.
2.

Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat sebagai:
a. Data acuan dan informasi ilmiah untuk penelitian lebih lanjut
mengenai efek pemberian ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum
burmannii) terhadap kadar malondialdehyde (MDA) jaringan ginjal
tikus wistar hiperglikemi hasil induksi aloksan.
b. Bahan pertimbangan untuk dijadikan bahan antioksidan di
masyarakat.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya
metabolism karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton dan
Hall, 2006). Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) tahun 2010,
diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hipergliemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Berdasarkan kriteria American Diabetes Association
tahun 2012 (ADA 2012), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita
DM. Indonesia menempati peringkat pertama di Asia Tenggara dengan
prevalensi penderita diabetes sebanyak 8.426.000 jiwa di tahun 2000 dan
diproyeksi meningkat 2,5 kali lipat sebanyak 21.257.000 penderita pada tahun
2030 (WHO, 2010).

Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan menurut etiologi, dapat dilihat


pada tabel 2.1
Tabel 2.1. Klasifikasi etiologi DM
Tipe DM
Tipe 1

Tipe 2

Tipe lain

Penyebab
Destruksi beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
Autoimun
Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunoloi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes mellitus
Gestasional
Sumber: PERKENI (2011)

2.1.2 Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 1, yang disebut juga DM tergantung insulin
(IDDM). Disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik, lingkungan dan
imunologi sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel beta pankreas
dan defisiensi insulin. Molekul dari sel beta pankreas yang menjadi target dari
proses autoimun adalah insulin, asam glutamik dekarboksilase (GAD), ICA
(homolog dengan tirosin fosfatase), dan phrogin. Kecuali insulin, tidak satupun
autoantigen dari sel beta pankreas yang dapat diketahui bagaimana mekanisme
kerusakan sel beta pankreas melalui proses autoimun tersebut (Harrisons et al,
2008).
Diabetes mellitus tipe 2, yang disebut juga DM tidak tergantung insulin
(NIDDM), disebabkan tidak adekuat sekresi insulin (defisiensi insulin) dan atau

kurangnya sensitifitas jaringan terhadap insulin (resistensi insulin) (Gayton dan


Hall, 2006). Terdapat kontroversi mana diantara keduanya yang merupakan
defek primer. Beberapa studi menyatakan resistensi insulin merupakan defek
awal yang menyebabkan gangguan sekresi insulin dan diabetes hanya terjadi bila
sekresi insulinnya tidak adekuat (Joslin et al, 2006).

2.1.3 Diagnosis
Diagnosis diabetes ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
diabetes seperti tersebut dibawah ini:
1. Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

10

Gambar 2.1. Langkah-langkah diagnostik DM (Sumber : PERKENI, 2011)

2.1.4 Penatalaksanaan
Terapi DM dibagi menjadi dua yaitu terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi. Terapi non farmakologi meliputi perubahan gaya hidup dengan
mengatur pola makan yang dikenal sebgai terapi gizi medis, meningkatkan
latihan jasmani dan edukasi mengenai masalah kesehatan. Terapi farmakologi
ini diberikan apabila sudah dilaksanakan terapi non farmakologi namun, tidak
mampu mengendalikan glukosa sadar (PERKENI, 2011). Terapi farmakologi
dengan obat hipoglikemi oral (OHO) atau suntikan insulin. Berdasarkan cara
kerjanya, OHO dibagi mejadi 4 golongan.
Golongan pertama adalah sulfonilurea, kerjanya menstimulasi sel beta
pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin dengan mengurangi clearance

11

hepatik dari hormon, merangsang pelepasan somatostatin serta menekan sekresi


glukagon walau hanya sedikit (Goodman dan Gilman, 2006). Generasi pertama
sulfonilurea adalah asetoheksamid, klorpropamid, tolbutamid, dan tolazamid,
sedangkan generasi kedua adalah glibenklamid dan glipizida (Dipiro et al,
2008).
Golongan kedua adalah tiazolidindion, kerjanya meningkatkan sensitivitas
terhadap insulin berikatan dengan peroxixome ploriferators activated reseptor ,
suatu reseptor inti di sel otot dan lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer (PERKENI, 2011).
Golongan ketiga adalah biguanid, kerjanya mengurangi produksi gula hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak
dimetabolisme tetapi dikeluarkan secara cepat melalui ginjal (PERKENI, 2011).
Golongan keempat adalah penghambat glukosidase alfa (acarbose),
bekerja dengan mengurangi absorbs glukosa di usus halus, sehingga mengurangi
kadar glukosa postprandial. Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemi, tetapi ditemukan kembung dan flatulence (PERKENI, 2011).

2.1.5 Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut
dan kronik. Kompliksi akut yang paling serius pada DM tipe I adalah ketosidosis
diabetik (DKA) (Price, 2006).
Komplikasi kronik melibatkan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan
pembuluh darah besar (makroangiopati). Mikroangiopati menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), saraf
perifer (neuropati diabetik), otot serta kulit. Makroangiopati diabetik berupa
gangren pada ekstremitas, insufisiensi serebral, stroke, angina pektoris dan
infark miokardium (Price, 2006).

12

2. 2 Nefropati Diabetik
2.2.1 Definisi Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik (ND) merupakan sindrom klinis pada pasien diabetes
mellitus yang ditandai dengan albuminuria ( >300 mg/24 jam atau >200
g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan,
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan
tekanan darah arterial tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit
kadiovaskuler (Batuma, 2011). Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi
pada ginjal yang berakhir sebagai gagal ginjal. Angka kejadian ND pada DM
tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insidensi pada tipe 2 sering lebih besar daripada
tipe 1 (Wilson, 2006).

2.2.2 Klasifikasi
Tahapan nefropati diabetik menurut Mongensen, terbagi menjadi 5
tahapan (Hendromartono, 2006) :
Tabel 2.2. Tahapan nefropati diabetik
Tahap
1
2
3
4

Kondisi ginjal
Hipertrofi
Hiperfungsi
Kelainan struktur

AER
N

LFG

TD
N

/N

Prognosis
Reversible

Mungkin
reversible
Mikroalbuminuria 20-200
/N

Mungkin
persisten
mg/menit
reversible
Makroalbuminuria >200
Rendah
Hipertensi Mungkin
proteinuria
mg/menit
bias
stabilisasi
Uremia
Tinggi/rendah <10
Hipertensi Gagal
ml/menit
ginjal
terminal

Keterangan : AER = Albumin Excretion Rate


LFG = Laju Filtration Glomerulus (GFR)
N = Normal
TD = Tekanan Darah

13

2.2.3 Patogenesis
Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti (Permanasari, 2010):
1. Hiperglikemi
Diabetes control dan complication trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada
penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati
diabetik. Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat
mencegah kejadian mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan
memperberat kejadian nefropati diabetik.
2. Glikosilasi non enzimatik
Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan terjadinya glikosilasi non
enzimatik asam amino dan protein. Terjadi reaksi anatara glukosa dengan
protein yang akan menghasilkan produk AGEs ( Advanced Glycosylation
Products). Penimbunan AGEs dalam glumerulus tubulus ginjal dalam jangka
panjang akan merusak membran basalis dan mesangium yang akhirnya akan
merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Didalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran
utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah
meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan
mengakibatkan berkurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu
osmoregulasi sel sehingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik, studi tentang sel ginjal dan glomerulus
yang diisolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan
menambah penimbunan matriks ekstraseluler. Menurut Lorensi, glukosa
mempunyai efek toksis terhadap sel, begitu pula terhadap sel ginjal, sehingga
dapat terjadi nefropati diabetik.

14

5. Hipertensi
Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan hipertensi lebih
banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita diabetes tanpa
hipertensi. Hemodinamik dan hipertrofi mendukung adanya hipertensi
sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltasi.
6. Proteinuria
Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya
filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Bila reabsorbsi
tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi protein
dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti
endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein I (MCP-I).
Faktor-faktor tersebut akan merubah ekspresi dari proinflamtory dan fibritik
cytokines dan infiltrasi sel mononucleas, menyebabkan kerusakan dari
tubulo-interstisiel dan akhirnya terjadi renal scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai terjadinya
nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperfusi membran basal glomeruli.
Gambaran histology jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya
penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang
akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen serta fibrosis
tubule interstitisal. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada
penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama
ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap
basal membran dapat melalui 2 jalur (Santoso, 2010).

15

Gambar 2.2. Patogenesis Nefropati Diabetik (Sumber: Santoso, 2010)

1. Alur metabolik ( metabolik pathway )


Diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses
non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGEs (advance
glycosilation end-products). Peningkatan AGEs akan menimbulkan
kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan
aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi
peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatkannya reduksi
glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan
mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan
osmolaritas membran basal.
2. Alur hemodinamik
Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi
akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel
pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon
vasoaktif seperti angiotensin II. Angiotensin II juga berperan dalam
perjalanan nefropati diabetik. Angiotensin II berperan baik secara
hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain

16

merangsang vasokonstriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol


glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks
ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik.
Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan transforming
growth factor beta (TGF beta) yang akan menyebabkan proteinuria melalui
peningkatan permebilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi
ektraseluler matrik yang berperan dalam terjadinya nefropati diabetik (Santoso,
2010).

2.2.4 Penatalaksanaan
Tatalakana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah
masih normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau makroalbuminuria. Tetapi
pada prinsipnya pedekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :
1.

Pengendalian gula darah dengan olahraga, diet, obat antidiabetes;

2.

Pengendalian tekanan darah dengan diet rendah garam, obat anti hipertensi;

3.

Perbaikan fungsi ginjal dengan diet rendah protein, pemberian Angiotensin


Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin Receptor Blocker
(ARB;

4.

Pengendalian faktor-faktor komorbiditas lain seperti pengendalian kadar


lemak, dan mengurangi obesitas (Hendromartono, 2007 dan Boner, 2005)

2. 3 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau elektron yang tidak berpasangan
sehingga tidak stabil dan cenderung menarik elektron dari molekul lainnya untuk
melengkapi konfigurasi elektronnya (Suwandi, 2012). Dalam sel hidup, radikal
bebas terbentuk pada membran plasma, mitokondria, peroksisom, retikulum
endoplasma dan sitosol melalui reaksi-reaksi enzimatis yang berlangsung dalam
proses metabolisme (Winarsi, 2007). Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu :

17

(1) reaktivitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron; (2) dapat


mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal (Suryohudoyo, 1993).
Spesies oksigen reaktif (ROS) bisa dihasilkan dari reaksi Fenton dan HaberWeiss. Hidrogen peroksida (H2O2) adalah zat pengoksidasi yang larut lemak
apabila bertemu dengan Fe2+ ataupun logam transisi lain (Cu+) dapat
menghasilkan radikal hidroksil (OH) melalui reaksi Fenton. O2- dapat
menghasilkan senyawa radikal bebas bila bereaksi dengan H2O2 lalu
menghasilkan radikal OH dan hidroperoksi melalui reaksi Haber-Weiss (Marks
et al., 1996). Macam-macam ROS bisa dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Spesies Oksigen Reaktif


Spesies Oksigen
Reaktif
O2Anion superoksida
H2O2
Hidrogen
peroksida
OH
Radikal hidroksil
R
Radikal organik
RCOORadikal peroksida
organik
HOCl
Asam hipoklorit
O2
Oksigen singlet

Asal dan Karakteristik


Dihasilkan oleh rantai transpor elektron. Menghasilkan ROS
lainnya, tetapi tidak dapat berdifusi jauh dari tempat asal.
Bukan suatu radikal bebas, tetapi dapat membentuk radikal
bebas melalui reaksi Fenton (dengan logam transisi, Fe2+).
Dapat berdifusi dan menembus membran sel.
Spesies yang paling reaktif dalam menyerang molekul
biologis. Dihasilkan oleh H2O2 melalui reaksi Fenton.
Suatu radikal bebas organik yang dihasilkan dari RH oleh
serangan OH-. RH dapat berupa karbon pada ikatan rangkap
suatu asam lemak (menghasilkan C=C-) atau RSH (R-S)
Suatu radikal peroksida organik yang terbentuk sewaktu
degradasi lemak.
Dihasilkan oleh bakteri sewaktu ledakan pernafasan untuk
menghancurkan organisme yang masuk.
Oksigen dengan spin antiparallel. Terbentuk pada tekanan
oksigen yang tinggi dan penyerapan energy. Meluruh
disertai pelepasan cahaya.

Sumber : Marks et al., 1993.

Tiga komponen utama sel yang menjadi target radikal bebas adalah (1)
Asam lemak tak jenuh, peroksidasi lipid di membran sel dapat merusak
membran sel dengan menggangu permeabilitas membran dan mengganggu
fungsi membran, (2) Protein, kerusakan protein akibat radikal bebas dapat

18

mengganggu aktivitas enzim dan fungsi struktur protein, (3) DNA, kerusakan
dapat menyebabkan kematian sel. Dari ketiga molekul tersebut yang paling
rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh (Sarma,
2010).
Terbentuknya senyawa radikal terjadi melalui sederetan reaksi. Deretan
reaksi tersebut dapat berlangsung seperti berikut:
a. Inisiasi yaitu awal pembentukan radikal bebas
ROOH + logam(n) ROO + Logam(n-1) + H+
X + RH R + XH
b. Propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal
R + O2ROO
ROO + RH ROOH + R
c. Terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau
dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.
ROO + ROO ROOR + O2
ROO + R ROOR
R + R RR

Tubuh memiliki mekanisme proteksi yang menetralkan radikal bebas


yang terbentuk, antara lain dengan adanya enzim-enzim superoksida dismutase
(SOD), katalase, dan glutathion peroksidase (GPX) (Winarsi, 2007). Namun
dalam kondisi tertentu, radikal bebas dapat melebihi sistem pertahanan tubuh,
kondisi ini disebut sebagai stress oksidatif. Pada kondisi ini, keseimbangan
antara radikal bebas dengan kemampuan antioksidan alami tubuh akan
terganggu yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan jaringan (Winarsi,
2007).
Perusakan sel oleh radikal bebas didahului oleh kerusakan membran sel.
Kerusakan membran sel tersebut dapat terjadi dengan cara: (a) terjadi ikatan
kovalen antara radikal bebas dengan komponen membran, sehingga terjadi
perubahan struktur dari fungsi reseptor; (b) oksidasi gugus thiol pada komponen
membrane sel oleh radikal bebas yang menyebabkan proses transport membrane

19

sel terganggu; (c) terjadi reaksi peroksidasi lipid membrane sel yang
mengandung PUFA (polyunsaturated fatty acid) (Slater, 1984).
Peroksidasi lipid dapat melalui tiga tahap reaksi yaitu inisiasi, propagasi
dan terminasi (Murray et al., 2009). Reaksi peroksidasi lipid diawali dengan
pemisahan sebuah atom hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup metilena (CH2-) PUFA. Radikal tersebut menghasilkan pembentukan suatu radikal karbon
(-CH-) pada PUFA. Radikal karbon ini dapat distabilkan melalui suatu
pengaturan ulang ikatan rangkap yang menghasilkan pembentukan diena
terkonjugasi. Bila diena terkonjugasi bereaksi dengan O2 akan terbentuk radikal
peroksida

lipid

(ROO).

Selanjutnya

radikal

peroksidasi

lipid

akan

menghilangkan sebuah atom hidrogen dari molekul lipid lainnya yang


berdekatan untuk membentuk hidroperoksida lipid dan membentuk radikal
karbon lainnya. Jika radikal karbon lain tersebut bereaksi lagi dengan oksigen
maka reaksi peroksidasi lipid akan terus berlanjut. Pembentukan endoperoksida
lipid pada PUFA yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap akan
mendorong pembentukan malondialdehyde (MDA) sebagai produk dari reaksi
peroksidasi tersebut.

2. 4 Malondialdehyde (MDA)
Malondialdehyde (MDA) adalah rincian produk peroksidasi asam lemak
rantai panjang yang meningkat ketika terjadi proses peroksidasi lipid. Peroksida
lipid selanjutnya mengalami dekomposisi menjadi MDA. Sehingga MDA yang
merupakan produk akhir proses peroksidasi lipid dan yang paling sering
digunakan untuk mengukur proses peroksidasi lipid. MDA merupakan indikator
yang baik untuk melihat kecepatan (rate) peroksidasi lipid in vivo. (Yusuf,
2013).
Malondialdehid digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lipid
dan menggambarkan derajat stres oksidatif. Tingginya kadar MDA dipengaruhi
oleh kadar peroksidasi lipid yang secara tidak langsung juga menunjukkan
tingginya jumlah radikal bebas (Sutari, 2013).

20

Keunggulan pemeriksaan MDA dibandingkan produk peroksidasi lipid


yang lain adalah signifikan akurat, stabil daripada senyawa lainnya dan sangat
cocok sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu: (1)
pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres oksidatif, (2) kadarnya dapat
diukur secara akurat dengan berbagai metode yang telah tersedia, (3) bersifat
stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4) pengukurannya tidak
dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh kandungan lemak
dalam diet, (5) merupakan produk spesifik dari peroksidasi lemak, dan (6)
terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan
cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval
(Swastika, 2013).
Pemeriksaan MDA menggunakan metode MDA ELISA kit. Metode yang
digunakan adalah kompetitif ELISA. Prinsip pemeriksaanya yaitu MDA di
dalam sampel akan berkompetisi untuk berikatan dengan antibodi spesifik untuk
MDA. Kemudian ditambahkan enzim, dimana enzim akan bereaksi bila
ditambahkan substrat. Reaksi tersebut dapat menimbulkan perubahan warna
yaitu

menjadi

warna

biru.

Reaksi

enzim-substrat

dihentikan

dengan

menambahkan stop solution sehingga warna akan berubah menjadi kuning.


Kemudian diukur menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 450
nm. Adapun nilai MDA normal bagi tikus adalah sebesar 0,03 ng/100l atau 4,3
mol/l. (Nugraheni, 2011);(Shohag et al., 2012).
Menurut Bimo et al. (2013), pemberian ekstrak kayu manis
(Cinnamomum burmannii) terhadap kadar SOD dan MDA jaringan pankreas
tikus yang diinduksi secara efektif mampu menurunkan kadar MDA jaringan
pankreas tikus dan cukup efektif meningkatkan kadar SOD.

2. 5 Aloksan
Aloksan (ALS) (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone)
adalah agen diabetogenik yang merupakan derivat pirimidin teroksidasi dan
derivat asam barbiturat (5-ketobarbituric acid) (Szkudelski, 2001; Lenzen, 2007).

21

Gambar 2.3 Struktur kimia Aloksan (Sumber: Lenzen, 2007)

Aloksan adalah komponen kimia yang hidrofilik dan sangat tidak stabil
(Lenzen, 2007) dan memiliki bentuk yang sangat mirip dengan glukosa (Lanzen,
2007). Karena aloksan dan glukosa bersifat hidrofilik, maka keduanya tidak dapat
menembus lipid bilayer membran plasma. Bentuk molekul aloksan yang mirip
dengan glukosa (glukomimetik) akan membuat glucose transporter 2 (GLUT2) di
dalam sel beta pankreas mengenali aloksan sebagai glukosa, selanjutnya
membawa aloksan menuju sitosol (Lanzen, 2007). Aloksan akan terakumulasi
secara selektif di dalam sitosol sel beta pankreas, kemudian akan mengeksekusi
efek biologisnya (Gambar 2.4)

Gambar 2.4 Mekanisme Toksisitas Aloksan dan Streptocin terhadap Sel Beta
Pankreas (Sumber: Lanzen, 2007)

22

Aloksan, dengan adanya thiol intraselular seperti glutathione, akan


membentuk reactive oxygen species (ROS) pada reaksi siklik bersama dengan
produk hasil reduksinya, asam dialurik. Toksisitas yang disebabkan oleh aloksan
dimulai dengan terbentuknya radikal bebas dari reaksi redoks. Autooksidasi dari
asam dialurik akan membentuk radikal superoksida (O2-), hidrogen peroksida
(H2O2), dan radikal hidroksil (OH). Radikal hidroksil inilah yang memiliki peran
penting pada kerusakan sel beta pankreas. Sel beta pankreas memiliki kemampuan
antioksidan yang sangat rendah dibanding hati, sehingga dengan mudah terjadi
nekrosis yang membuat menurunnya kemampuan untuk mensekresikan insulin.
Aloksan juga secara selektif menghambat sekresi insulin dependen-glukosa pada
sel beta pankreas melalui penghambatan pada glukokinase, yang merupakan
sensor adanya glukosa pada sel beta pankreas, melalui oksidasi thiol pada enzim
sehingga merusak metabolisme oksidatif dan fungsi sensor glukosa pada sel beta
pankreas (Szkudelski, 2001; Lenzen, 2007).
Injeksi aloksan akan menghasilkan empat fase kurva kadar glukosa darah.
Fase pertama atau lebih sering disebut transient hipoglikemik terjadi sekitar 30
menit setelah injeksi aloksan. Hal ini disebabkan oleh adanya sekresi dari insulin.
Pada fase ini terjadi sedikit perubahan morfologi pada sel beta pankreas. Fase
kedua, mulai terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Fase ini biasanya terjadi
pada dua hingga empat jam setelah injeksi aloksan, karena terjadi hambatan
sekresi dari insulin (hipoinsulinemia). Pada fase ini terjadi perubahan morfologi
pada sel beta pankreas seperti vakuolisasi intraseluler, dilatasi dari reticulum
endoplasmik, berkurangnya area golgi, berkurangnya granula granula sekretori
dan insulin, dan pembengkakan dari mitokondria. Sedangkan pada fase ketiga,
kondisi hipoglikemi kembali terjadi, jika dalam fase ini hipoglikemi yang terjadi
sangat parah maka dapat mengakibatkan kematian tanpa pemberian glukosa. Hal
ini dikarenakan banyaknya insulin yang keluar di sirkulasi darah sebagai akibat
dari rupturnya membran sel. Pada fase ini perubahan morfologi dari sel beta
pankreas bersifat irreversible. Fase ketiga terjadi setelah empat hingga delapan
jam injeksi aloksan. Fase yang terakhir, yaitu fase keempat terjadi kondisi
hiperglikemi yang menetap. Pada fase ini terjadi perubahan morfologi berupa

23

degranulasi dan hilangnya integritas sel beta pankreas. Fase keempat ini terjadi 12
48 jam setelah injeksi aloksan

Gambar 2.5 Fase respon glukosa darah pada dosis diabetogenik Aloksan
(Sumber: Lanzen, 2007)

2.4.1 Hubungan Aloksan dan Hiperglikemi


Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi
binatang percobaan untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental
(hiperglikemi) secara cepat (Watkins et al.,2008; Anindhita, 2009) . Aloksan
dapat memberikan secara intravena, intraperitoneal atau subkutan pada binatang
percobaan. Aloksan dapat menyebabkan Insulint Dependent Mellitus pada
binatang tersebut dengan karakteristik mirip dengan diabetes mellitus tipe 1 pada
manusia (Anindhita, 2009).
Aloksan bersifat toksik selektif terhadap sel beta pankreas yang
memproduksi insulin karena terakumulasinya aloksan secara khusus melalui
transporter glukosa yaitu GLUT2 (Watkins et al.,2008). Hasil peningkatan kadar
glukosa darah dapat dijelaskan melalui teori yang menyatakan bahwa aloksan
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Aloksan dalam darah berikatan
dengan GLUT2 yang memfasilitasi masuknya aloksan ke dalam sitoplasma sel

24

beta pankreas. Aloksan menimbulkan depolarisasi berlebih pada mitokondria


sebagai akibat masuknya ion Ca

2+

yang diikuti dengan penggunaan energi

berlebih sehingga terjadi kekurangan energi dalam sel. Dua mekanisme ini
mengakibatkan kerusakan baik dalam jumlah sel maupun massa sel pankreas
sehingga penurunan pelepasan insulin (Watkins et al.,2008).
Hiperglikemi setelah pemberian ALS disebabkan aktivasi jenis- jenis
oksigen seperti superoksida, hydrogen peroksida, radikal hidroksil yang
merupakan radikal bebas. Aloksan juga menginaktivasi glukokinase, suatu
enzim yang berperan dalam mekanisme untuk mengontrol kadar gula darah
dalam memproduksi insulin (Fitrianti, 2006). Penelitian terhadap mekanisme
kerja aloksan secara invitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi
pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi
sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria mengakibatkan
kegagalan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel (Ress dan
Alcolado, 2005). Menurut Setiawan dan Suhartono, 2005 menyatakan pada
kondisi hiperglikemi dapat menyebabkan kerusakan sel melalui jalur
autooksidasi glukosa, glikasi protein, serta aktivasi jalur metabolism poliol yang
akan mempercepat pembentukan senyawa oksigen reaktif . Hal ini merupakan
awal kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai kondisi stress oksidatif (Nuttal
SL, 1999).
Pemberian ALS dengan dosis 120 mg/kgBB pada tikus jantan strain
Wistar secara intraperitoneal selama 5 hari mampu meningkatkan kadar glukosa
darah puasa (Sharma et al., 2010). Pemberian ALS pada mencit jantan strain
Swiss albino dengan dosis 150 mg/kgBB dalam larutan 0,9 % NaCl secara
intraperitoneal mampu menyebabkan hipergliemia pada hewan coba selama 5
hari (Sharma dan Garg, 2008). Studiawan dan Santosa (2005) menyatakan,
pemberian ALS dengan dosis 100 mg/kgNN mencit jantan galur Wistar selama 4
hari selaki selama 8 hari menujukan kenaikan kadar glukosa darah hewan coba
yang berarti. Dikatakan tikus diabetic eksperimental, jika kadar glukosa darah
puasa > 180 mg/dl ( Bimo et al., 2013; Hardiyani, 2013)

25

2. 6 Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)


Cinnamomum burmannii merupakan spesies kayu manis khas Indonesia
yang tumbuh di daerah Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia
(Blevins et al., 2007). Spesies kayu manis yang lain adalah Cinnamomum verum
(C. verum) atau Cinnamomum zeylanicum (C. zeylanicum) yang berasal dari Sri
Langka dan Cinnamomum cassia (C. cassia) atau Cinnamomum aromaticum (C.
aromaticum) yang berasal dari China. Penyebaran C. burmannii di Indonesia
banyak terdapat di daerah Jawa dan Sumatra, khususnya di daerah Sumatra
Barat dan Kerinci (Ravindran et al., 2004).
(a)

(b)

(c)

Gambar 2.6. (a) Pohon Cinnamomum burmanni, (b) Cinnamomum burmannii, (c) Serbuk
kayu manis (Ravindran et al., 2004)

Sistematika (taksonomi) tanaman kayu manis seperti yang dikutip dalam


Materia Medica (1997) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomum
Spesies : Cinnamomum burmannii
Cinnamomum burmannii berbentuk pohon dengan tinggi 6-12 m. Semua
bagian memiliki bau khas aromatik kayu manis. Jika kulit dan daunnya diremas

26

berbau kayu manis yang kuat. Daunnya merupakan daun tunggal. Awalnya
berwarna merah muda kemudian berwarna hijau muda di atas. Bunganya
merupakan bunga malai, berwarna putih kekuningan dimana dilihat dari luar
terlihat berambut abu-abu keperak-perakan. Buahnya adalah buah buni, panjang
lebih kurang 1 cm. Pada daun dan kulit batang terdapat sel-sel yang mengandung
minyak atsiri (Ravindran et al., 2004).

2.5.1 Kandungan Cinnamomum burmannii


Secara kimia, Cinnamomum burmannii mirip dengan Cinnamomum cassia
(Ravindran et al., 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gul dan
Safdar (2009), komposisi kayu manis terdiri dari: abu (2,4%), protein (3,5%),
lemak (4%), serat (33,0%), karbohidrat (52,0%), dan menghasilkan energi 285
Kcal/100g. Sedangkan komposisi mineralnya terdiri atas zat besi (7,0 mg/g), zinc
(2,6 mg/g), kalsium (83,8 mg/g), chromium (0,4 mg/g), mangan (20,1 mg/g),
magnesium (85,5 mg/g), natrium (0,0 mg/g), kalium (134,7 mg/g), dan fosfor
(42,2 mg/g).
Dari hasil uji antioksidan ekstrak etanol Cinnamomum burmannii bersifat
sebagai antioksidan dengan nilai IC50 115,71 ppm (Wijayanti, et a., 2011).
Berdasarkan komponen fitokimia ekstrak etanol Cinnamomum burmannii, terlihat
senyawa utama flavonoid, tannin, alkaloid, triterpenoid dan saponin (Azima et al.,
2004). Senyawa yang banyak berperan sebagai antioksidan adalah tannin dan
flavonoid sedangkan triterpenoid dan saponin kemungkinan berperan sebagai antiagregasi platelet (Robin, 1991 dan Sastrohamidjojo, 1996). Flavonoid adalah
substansi terbanyak dan terpenting pada kelompok polifenol di dalam tanaman
(Lukacinova et al., 2008). Kandungan polifenol yang terdapat di dalam kayu
manis adalah rutin, quercetin, kaempferol, isorhamnetin, dan catechin (Al-Numair
et al., 2007). Kandungan-kandungan tersebut merupakan flavonoid yang paling
penting (Panickar et al., 2010). Andersona et al. (2004) menyatakan, pada ekstrak
etanol kayu manis terdapat polifenol yang memiliki aktivitas mirip dengan insulin
(insulun mimetic) adalah doubly-linked procyanidin type-A polymeres yang

27

merupakan bagian dari catechin/epicatechin yang selanjutnya disebut sebagai


MHCP atau cinnamtannin B1 (Taher et al., 2006). Selain itu, kayu manis juga
memiliki komponen bioaktif berupa cinnamaldehyde, cinnamic acid, cinnamate,
dan essential oil (Jakhetia et al., 2010).
Menurut Rohmah, 2010 menyatakan komponen ekstrak batang kayu manis
yaitu cinnamaldehyde (90,90%), eugenol (53,03%), kariophylen (0,86%), kopaene
(2,22%) dan coumarin (0,042%). Cinnamaldehid berpotensi sebagai antioksidan
dan juga adanya kariophylen dan kopaen yang diketahui mampu menghambat
aldosa reduktase (Lee et al., 2002; Politeo et al., 2006). Selain itu senyawa
caoumarin diketahui merupakan bahan kimia yang dilarang sebagai bahan aditif
dalam bahan makanan oleh lembaga pengawasan obat dan makanan Amerika
Serikat Food Drug Administration (FDA), diktehui memiliki LD50 275 mg/kg
(Rohmah, 2009).

2.5.2 Manfaat Cinnamomum burmannii


Kayu manis telah lama digunakan secara turun temurun oleh bangsa China
dan India sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit.
Manfaat farmakologis kayu manis diantaranya adalah : antioksidan, analgesik,
antipiretik, antialergenik, antikanker, antimikroba, antiulserogenik, antikonvulsan,
anti inflamasi, sedatif, imunomodulator, hipoglikemik, hipokolesterolemik,
penyembuhan luka, reumatik dan sebagai obat pada penyakit kardiovaskular
(Ravindran et al., 2004 dan Pangelly, 2004). Penelitian Safdar et al. menunjukkan
bahwa pemberian kayu manis sebesar 1 g/hari dapat menurunkan rata-rata kadar
glukosa darah puasa dari 208,7 mg/dL menjadi 156,5 mg/dL. Pada pemberian 3 g
kayu manis per hari, rata-rata kadar glukosa darah turun dari 206,2 mg/dL
menjadi 170,3 mg/dL. Hasil studi yang dilakukan oleh Iyer et al. (2009)
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kayu manis yang mengandung
cinnamaldehyde dengan dosis 5-20 mg/kgBB/hari mampu menurunkan glukosa
darah dan meningkatkan insulin tikus yang diinduksi.

28

Penelitian Qin et al. pada tikus Wistar jantan yang diberikan diet tinggi
fruktosa menunjukkan hasil bahwa penambahan ekstrak kayu manis sebesar 300
mg/KgBB/hari pada air minum tikus secara dini dapat mencegah perkembangan
resistensi insulin melalui peningkatan sensitivitas insulin dan melalui jalur Nitrat
oksida pada otot rangka.

Berbagai penelitian tentang efek kayu manis telah dilakukan akhir-akhir


ini. Moselhy dan Junbi (2010) membuktikan efek antioksidan ekstrak kayu
manis pada tikus yang diinduksi Carbon Tetra Chlorida (CCL4), hasilnya
ekstrak kayu manis mampu bertindak sebagai hepatoprotektor dengan
menurunkan

kadar

malondialdehyde

(MDA)

dan

meningkatkan

kadar

superoxide dismutase (SOD) dan catalase (CAT). Aktivitas antioksidan ini


bekerja melalui mekanisme free radical scavenging yang dilakukan oleh
komponen polifenol kayu manis.
Penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Pang et al., (2009)
membuktikan polifenol dan flavonoid yang terkandung dalam kayu manis
mampu bertindak sebagai inhibitor Mitogen-Activated Protein Kinase Kinase 1
(MKK 1) sehingga mampu menghambat pertumbuhan sel kanker. Polifenol yang
terkandung dalam ekstrak kayu manis juga mampu menurunkan jumlah sel
swelling dan disfungsi mitokondria yang menyebabkan deprivasi oksigen dan
glukosa pada sel glia, sehingga kayu manis memiliki efek protektif pada kondisi
ischemic brain injury (Pacnikar et al., 2009).
Penelitian in vitro yang dilakukan oleh Peterson et al., (2009)
menyebutkan bahwa ekstrak kayu manis dapat menghambat pembentukan dan
agregasi protein tau pada penyakit alzheimer. Kayu manis juga mampu bertindak
sebagai imunomodulator. Pada dosis tinggi mampu menstimulasi imunitas
selular dan imunitas humoral, sedangkan pada dosis yang rendah mampu
meingkatkan level imunoglobulin serum non-spesifik.

29

2.5.3 Polifenol Sebagai Antioksidan


Antioksidan merupakan senyawa yang bersifat stabil dan memiliki peran
dalam menjaga keseimbangan kadar radikal bebas dalam tubuh. Apabila kadar
radikal bebas meningkat, maka antioksidan akan mensupresi dengan mencegah
terjadinya proses peroksidase lipid. Proses peroksidase lipid terjadi apabila
adanya kerusakan poliunsaturated fatty acid (PUFA) akibat radikal bebas.
Membran sel dan organella yang tersusun atas membran phospolipid sangat
sensitif dengan stress oksidatif.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa komponen aktif yang terdapat pada
kulit kayu manis dapat berfungsi sebagai antioksidan dalam melawan bahaya
radikal bebas dalam membran sel (Jayaprakash, 2013). Senyawa polifenol dalam
Cinnamomum burmannii diduga mampu menghambat terbentuknya ROS di sel
beta pankreas dan ROS yang dihasilkan pada kondisi hiperglikemia. Senyawa
polifenol memiliki kemampuan sebagai scavenger radikal bebas. Mudgal et al.,
(2010) menyatakan senyawa polifenol dalam Cinnamomum burmannii
merupakan antioksidan yang akan menghambat proses inisiasi, dan propagasi
pada proses oksidasi pembentukan radikal bebas. Polifenol mampu menghambat
reaksi oksidasi melalui mekanisme penangkapan radikal (radical scavenging)
dengan cara menyumbangkan satu elektron pada elektron yang tidak
berpasangan dalam radikal bebas sehingga jumlah radikal bebas menjadi
berkurang karena terjadi hambatan produksi lipid peroxly. Menurut Taher et al.,
2006, polifenol yang memiliki aktivitas mirip dengan insulin (insulun mimetic)
adalah doubly-linked procyanidin type-A polymeres yang merupakan bagian dari
catechin/epicatechin yang selanjutnya disebut sebagai MHCP atau cinnamtannin
B1. Menurut penelitian, MHCP memiliki efek mirip insulin yakni menstimulasi
uptake glukosa, menghambat aktivitas glikogen sintase-3 beta, mengaktifkan
glikogen sintase dan menstimulasi autofosforilasi reseptor insulin (Jarvill-Taylor
et al., 2001).
Flavonoid adalah substansi terbanyak dan terpenting pada kelompok
polifenol di dalam tanaman (Lukacinova et al., 2008) dan merupakan senyawa
fenol alam yang terdapat dalam hampir semua tumbuhan. Sejumlah tanaman

30

obat yang mengandung flavonoid telah dilaporkan memiliki aktivitas


antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi, dan antikanker. Efek
antioksidan flavonoid disebabkan oleh penangkapan radikal bebas (scavenger)
melalui donor atom hidrogen dari gugus hidroksil flavonoid sehingga
menghasilkan radikal stabil berenergi rendah yang berasal dari senyawa
flavonoid yang kehilangan atom hidrogen. Radikal antioksidan yang terbentuk
menjadi lebih stabil dan tidak reaktif melalui proses resonansi dalam struktur
cincin aromatiknya, sehingga tidak mudah untuk terlibat pada reaksi radikal
yang lain (Neldawati, 2013).
Struktur dari flavonoid dapat dilihat pada gambar

Gambar 2.7. Struktur Umum Flavonoid (Sumber: Neldawati, 2013)

Cinnamaldehyde merupakan turunan dari senyawa polifenol yang bersifat


antioksidan. Hasil studi yang dilakukan oleh Iyer et al.(2009) menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak kayu manis yang mengandung cinnamaldehyde
dengan dosis 5-20 mg/kgBB/hari mampu menurunkan glukosa darah dan
meningkatkan insulin tikus yang diinduksi.
Stuktur dari cinnamaldehyde dapat dilihat pada gambar 2.8

Gambar 2.8 Stuktur dari cinnamaldehyde (Sumber: Rohmah, 2008)

31

2. 7 Kerangka Konseptual Penelitian


Aloksan

Kayu Manis
(Cinnamomum
V
burmannii)

Masuk ke dalam sel


beta pankreas
melalui GLUT2

Menghambat
glukokinase

Menginduksi
pembentukan ROS

Depolarisasi di
mitokondria akibat
Ca2+

Aloksan & asam


dialurik membentuk
siklus redoks
Hydrogen Peroksida

Insulin

Oksidasi sel
terganggu

Ca2+ sitosol
Proses oksidasi
terganggu

Kerusaan Sel Beta Pankreas


Hiperglikemi
Reaksi glikasi AGEs
Radikal bebas bereaksi dengan
PUFA pada membran sel ginjal
Polifenol
Peroksidasi lipid
Flavonoid

Cinnamaldehyde

Sebagai scavenger radikal


bebas
Mendonasikan elektron / atom
H+ sehingga menghasilkan
senyawa yang stabil

MDA

32

Keterangan :
: Merangsang
: Menghambat

: Variabel bebas
: Variabel terikat
Gambar 2.9 Kerangka Konseptual Penelitian

Aloksan adalah bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes


pada binatang percobaan, diinjeksikan secara intravena. Bentuk molekul aloksan
yang mirip dengan glukosa (glukomimetik) akan membuat glucose transporter 2
(GLUT2) di dalam sel beta pankreas mengenali aloksan sebagai glukosa,
selanjutnya membawa aloksan menuju sitosol (Lanzen, 2007). Aloksan dalam
darah berikatan dengan GLUT2 yang memfasilitasi masuknya aloksan ke dalam
sitoplasma sel beta pankreas. Aloksan menimbulkan depolarisasi berlebih pada
mitokondria sebagai akibat masuknya ion Ca

2+

yang mengakibatkan proses

oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria mengakibatkan


kegagalan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel (Ress dan
Alcolado, 2005) mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat. Aloksan juga
menginaktivasi glukokinase, suatu enzim yang berperan dalam mekanisme untuk
mengontrol kadar gula darah dalam memproduksi insulin sehingga insulin yang
diproduksi menurun.
Aloksan, dengan adanya thiol intraselular seperti glutathione, akan
membentuk reactive oxygen species (ROS) pada reaksi siklik bersama asam
dialurik. Toksisitas yang disebabkan oleh aloksan dimulai dengan terbentuknya
radikal bebas dari reaksi redoks. Autooksidasi dari asam dialurik akan
membentuk radikal superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal
hidroksil (OH). Radikal hidroksil inilah yang memiliki peran penting pada
kerusakan sel beta pankreas. Hidrogen peroksida melalui oksidasi thiol pada

33

enzim sehingga merusak metabolisme oksidatif dan fungsi sensor glukosa pada
sel beta pankreas (Szkudelski, 2001; Lenzen, 2007).
Peningkatan glukosa ekstraseluler mengakibatkan terjadi reaksi glikasi
merupakan reaksi non enzimatik antara glukosa dengan protein kemudian
membentuk protein yang sangat toksik, disebut advanced glication end product
(AGEs). Adanya proses autooksidasi pada hiperglikemi dan reaksi glikasi
memicu pembentukan radikal bebas khususnya radikal superoksida (O2-) dan
oksidan hydrogen peroksida (H2O2). Radikal bebas ini akan bereaksi dengan
asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) pada membran sel ginjal yang dapat
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi membran sel ginjal. Permeabilitas
membran sel akan meningkat

yang selanjutnya diikuti oleh influks massif

kalsium dan kematian sel (Haki, 2009). Terjadinya reaksi peroksidasi lemak
membrane sel ginjal ditandai dengan meningkatnya produksi senyawa
malondialdehyde (MDA) dalam sel ginjal. MDA merupakan indikator yang baik
untuk melihat kecepatan (rate) peroksidasi lipid in vivo karena diproduksi secara
konstan sesuai jumlah peroksidasi lipid yang terbentuk (Mahdi et.al, 2007).
Proses peroksidasi lipid ini dapat dicegah dengan cara memberikan
antioksidan alami yaitu kayu manis (Cinnamomum burmannii). Kandungan kayu
manis yang berperan sebagai antioksidan adalah polifenol. Mekanisme kerja
polifenol sebagai scavenger dengan mendonasikan elektron / atom H+ sehingga
menghasilkan senyawa yang stabil. Sehingga proses peroksidasi lipid tidak
terjadi atau dapat dikurangi. Dengan berkurangnya peroksidasi lipid maka
diharapkan terjadi penurunan dari kadar malondialdehid (MDA) ginjal.

2. 8 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah bahwa pemberian ekstrak etanol kayu
manis (Cinnamomum burmannii) dapat menurunkan kadar malondialdehyde
(MDA) jaringan ginjal wistar hiperglikemi hasil induksi aloksan.

34

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah True Experimental Design dengan rancangan
penelitian Post Test Only Control Group Design (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian Post Test Only
Control Group Design. Rancangan penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.1

K(-)

D1

Aquabidest
t

D6

C1

D11

M1

K(+)

D2

Aloksan

D7

C2

D12

M2

P1

D3

Aloksan

D8

C3

D13

M3

P2

D4

Aloksan

D9

C4

D14

M4

P3

D5

Aloksan

D10

C5

D15

M5

Gambar 3.1 Skema rancangan penelitian


Keterangan :
P

Populasi

Randomisasi

K(-)

Kelompok kontrol negatif

K(+) : :

Kelompok kontrol positif

P1

Kelompok perlakuan 1

35

P2

Kelompok perlakuan 2

P3

Kelompok perlakuan 3

D1

Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol negatif awal

D2

Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol positif awal

D3

Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 1 awal

D4

Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 2 awal

D5

Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 3 awal

D6

Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol negatif setelah


diinduksi aquabides secara intavena pada hari ke 9

D7

Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol positif setelah


diinduksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena pada hari ke 9

D8

Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 1 setelah


diinduksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena pada hari ke 9

D9

Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 2 setelah


diinduksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena pada hari ke 9

D10

Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 3 setelah


diinduksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena pada hari ke 9

D11

Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol negatif setelah


pemberian aquades selama 7 hari per oral

D12

Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol positif setelah


induksi aloksan 100 mg/kgBB dan pemberian aquades selama 7 hari

D13

per oral
Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan ekstrak etanol

D14

kayu manis dosis 200 mg/kgBB selama 7 hari per oral


Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan ekstrak etanol

D15

kayu manis dosis 400 mg/kgBB selama 7 hari per oral


Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan ekstrak etanol
kayu manis dosis 600 mg/kgBB selama 7 hari per oral

C1

Diberikan perlakuan dengan pemberian aquades selama 7 hari per oral

C2

Diberikan perlakuan dengan pemberian aquades selama 7 hari per oral

C3

Diberikan perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol kayu manis

36

dosis 200 mg/kgBB selama 7 hari per oral


C4

Diberikan perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol kayu manis


dosis 400 mg/kgBB selama 7 hari per oral

C5

Diberikan perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol kayu manis


dosis 600 mg/kgBB selama 7 hari per oral

M1-5

Pengambilan organ untuk sampel pemeriksaan kadar malondialdehyde


(MDA) ginjal pada hari ke 15.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah Rattus novergicus Wistar Jantan yang
diperoleh dari peternak tikus yang ada di Malang.

3.3.2 Sampel
Pada penelitian ini terdapat kriteria inklusi dan ekslusi yang bertujuan
membuat homogen sampel yang akan digunakan. Kriteria inklusi sampel
penelitian adalah sebagai berikut:
a. Tikus wistar jantan
b. Tikus berwarna bulu putih dan sehat (bergerak aktif)
c. Umur 2-3 bulan
d. Berat 150-200 gram
Sedangkan kriteria eksklusi sampel penelitian adalah tikus yang sakit dan yang
belum mati sebelum proses randomisasi

3.3.3 Jumlah Sampel


Sampel dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling yang
kemudian dibagi menjadi 5 kelompok. Penelitian eksperimen dengan rancangan
acak lengkap, acak kelompok atau faktorial secara sederhana untuk estimasi

37

jumlah pengulangan atau besar sampel dalam penelitian ini dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Federer sebagai berikut:
(t-1) (r-1) 15
(t-1) (r-1) 15
(5-1) (r-1) 15
4 (r-1)

15

4,7

Keterangan:
n

: jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

: jumlah kelompok perlakuan


Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 ekor tikus

wistar masing-masing kelompok. Jadi, dalam penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan untuk 5 kelompok adalah 25 ekor tikus wistar.

3.4. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Jember untuk perawatan tikus, penyondean ekstrak etanol kayu manis
dan pembedahan tikus. Laboratorium Biologi Fakultas farmasi Universitas Jember
untuk pembuatan ekstrak kayu manis. Laboratorium Biokima Fakultas
Kedokteran Universitas Jember untuk pemeriksaan kadar malondialdehyde
(MDA) ginjal tikus putih galur wistar (Rattus novergicus). Waktu penelitian ini
dilakukan bulan Oktober 2014.

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1 Variabel bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah dosis ekstrak etanol kayu manis
(Cinnamomun burmannii).

38

3.5.2 Variabel terikat


Variabel terikat adalah kadar malondialdehyde (MDA) ginjal tikus wistar
(Rattus novergicus).

3.5.3 Variabel terkendali:


Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah:
a. Usia tikus wistar yaitu 2-3 bulan
b. Jenis kelamin jantan dan galur hewan coba yaitu Rattus novergicus
galur wistar
c. Berat badan tikus 150-200 gram
d. Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba
e. Lama perlakuan hewan coba
f. Dosis aloksan
g. Frekuensi pemberian ekstrak kayu manis

3.6 Definisi Operasional


3.6.1 Aloksan
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi
diabetes pada binatang percobaan (Watkins et al. 2008). Pemberian aloksan
adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi diabetes eksperimental
(Anindhita, 2009). Dosis aloksan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100
mg/kgBB. Dikatakan tikus wistar mengalami hiperglikemi, jika kadar glukosa
darah puasa lebih dari 180 mg/dl (Bimo et al., 2013 dan Hardiyani, 2013).

3.6.2 Ekstrak Kayu manis (Cinnamomum burmannii)


Bubuk kayu manis yang digunakan adalah jenis kayu manis spesies
Cinnamomum burmannii yang didapatkan dari PT. Materia Medika, Batu

39

Malang. Cara mengekstrak bubuk kayu manis dengan pelarut etanol 80% dengan
metode maserasi dan evaporasi (Alusinsing, 2014). Pemilihan dosis pada
penelitian didasarkan pada penelitian yang dilakukan Khan et al., (2014). Dosis
ekstrak etanol kayu manis yang digunakan penelitian tersebut yaitu 200 mg/kgBB,
400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB.

3.6.3 Malondialdehide (MDA)


Malondialdehid merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid terutama
asam lemak tidak jenuh yang dapat dihasilkan melalui oksidasi oleh radikal bebas.
Malondialdehida (MDA) telah digunakan secara luas sebagai indikator kerusakan
oksidatif, terutama dari asam lemak tidak jenuh. Pemeriksaan MDA yang
dilakukan menggunakan MDA ELISA kit. Metode yang digunakan adalah
kompetitif ELISA. Prinsip pemeriksaanya yaitu MDA di dalam sampel akan
berkompetisi untuk berikatan dengan antibodi spesifik untuk MDA. Kemudian
ditambahkan enzim, dimana enzim akan bereaksi bila ditambahkan substrat.
Reaksi tersebut dapat menimbulkan perubahan warna yaitu menjadi warna biru.
Reaksi enzim-substrat dihentikan dengan menambahkan stop solution sehingga
warna akan berubah menjadi kuning. Kemudian diukur menggunakan ELISA
reader dengan panjang gelombang 450 nm.

3.7 Alat dan Bahan Penelitian


3.7.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Alat untuk pemeliharaan tikus adalah bak plastik ukuran 45 cm x 35 cm x
2,5 cm, penutup kawat berukuran 45 cm x 35 cm, botol air dan label.
b. Alat untuk pembuatan ekstrak kayu manis adalah timbangan, pengaduk,
rotary evaporator, beaker glass dan waterbash.
c. Alat untuk pemberian aloksan adalah spuit.

40

d. Alat yang digunakan untuk menyonde tikus adalah handscoone, masker,


beaker glass, pengaduk dan spuit sonde.
e. Alat yang digunakan untuk pengambilan organ ginjal tikus adalah toples,
kapas, minor set, handscoon dan plastik.
f. Alat untuk pemeriksaan Malondialdehid (MDA) ginjal tikus adalah tissue,
timbangan, mortal, skapel, pinset, eppendorf, yellow tip dan blue tip,
mikropipet, vortex, sentrifuge, inkubator dan ELISA reader.

3.7.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Tikus wistar jantan
b. Bahan untuk pemeliharaan tikus adalah makanan standar pellet, minuman,
aquades dan sekam.
c. Bahan untuk pemberian aloksan adalah aloksan, aquabides dan dextrose
(D5).
d. Bahan untuk pembuatan esktrak kayu manis adalah bubuk kayu manis dan
etanol 80%.
e. Bahan untuk pengambilan organ hepar tikus adalah Eter, NaCl fisiologis
0,9% dan es batu.
f. Bahan untuk pemeriksaan Malondialdehid (MDA) hepar tikus adalah hepar
tikus, larutan PBS, aquabides, dan MDA ELISA kit.

3.8 Prosedur Kerja


3.8.1

Pemilihan Tikus Wistar Jantan


Jumlah hewan coba adalah 25 ekor tikus wistar dibagi menjadi 5

kelompok dengan kriteria: berjenis kelamin jantan yang sehat (bergerak aktif),
berbulu putih dengan berat badan berkisar 150-200 gram dan usia berkisar 2-3
bulan.

41

3.8.2

Persiapan Tikus Wistar Jantan


Sebelum perlakuan, tikus diadaptasi pada kondisi laboratorium selama 7

hari dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru. Selama adaptasi
tikus diletakkan di kandang dengan ukuran 45 cm x 35 cm x 2,5 cm. Kandang
diletakkan diatas meja besar pada suhu ruangan. Tikus diberi makanan standar
dan diberi aquades ad libitum.

3.8.3

Pembagian Kelompok Perlakuan


Jumlah kelompok pada penelitian ini adalah 5 kelompok sehingga tikus

wistar jantan dibagi menjadi 5 kelompok. Pembagian kelompok tikus dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Pembagian kelompok tikus kontrol dan perlakuan
Nama Kelompok
Kelompok 1

Perlakuan yang Diberikan


Tanpa induksi aloksan + pemberian aquades per oral

Kelompok 2

Induksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5

Induksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena + ekstrak


kayu manis 200 mg/kgBB per oral
Induksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena + ekstrak
kayu manis 400 mg/kgBB per oral
induksi aloksan 100 mg/kgBB secara intravena + ekstrak
kayu manis 600 mg/kgBB per oral

3.8.4 Pembuatan Ekstrak Kayu Manis


Serbuk kayu manis ditimbang sebanyak 159 gram, kemudian direndam
dengan 660 ml etanol 80% selama 3 hari diletakkan pada tempat terlindungi dari
cahaya dan tiap hari diaduk. Maserat dipisahkan dengan cara disaring
menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan

42

rotator evaporator suhu 50oC sampai pelarut etanol 80% menguap dan diperoleh
ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh sebanyak 66 gram.

3.8.5 Pemaparan Aloksan


Setelah aklimatisasi dan dipuasakan 12 jam, sebelum dinduksi dilakukan
pengukuran kadar glukosa darah puasa sebagai data KGDP awal. Selanjutkan
kelompok K(+), P1, P2, dan P3. diinduksi aloksan dengan dosis 100 mg/kgBB
yang dilarutkan aquabides secara intravena. Pasca induksi aloksan, diberikan air
minum larutan glukosa 5% (D5) pada tempat minum tikus selama 24 jam.
Sedangkan kelompok K(-) diberi aquabides secara intravena. Setelah 48 jam
induksi aloksan, glukosa darah puasa diukur dengan glukometer. Hewan coba
dengan kadar glukosa darah puasa lebih besar dari 180 mg/dl digunakan untuk
perlakuan. Pemeriksaam kadar glukosa darah puasa menggunakan

blood

glukosa test strip, sampel darah diambil pada bagian vena ekor yang dipotong
menggunakan gunting steril 0,5 cm setelah sampel darah keluar diletakkan di
blood glukosa test strip kemudian diukur menggunakan blood glukosa test Easy
Touch.

3.8.6 Perlakuan Hewan Coba


Sejumlah 25 ekor tikus ditempatkan didalam kandang dengan diberi
makan standart dan minuman. Setelah tikus diadaptasikan selama 1 minggu tikus
dibagi menjadi 5 kelompok terdiri dari 5 ekor yang dipilih secara acak. Tikustikus tersebut diberi perlakuan selama 7 dengan perlakuan sebagai berikut:
a. Kelompok 1

: tikus diberikan aquades selama 7 hari per oral

b. Kelompok 2

: tikus diberikan aquades selama 7 hari per oral

c. Kelompok 3

: tikus diberi ekstrak kayu manis 200 mg/kgBB per oral


selama 7 hari

d. Kelompok 4

: tikus diberi ekstrak kayu manis 400 mg/kgBB per oral


selama 7 hari

43

e. Kelompok 5

: tikus diberi ekstrak kayu manis 600 mg/kgBB per oral


selama 7 hari

Pemberian ekstrak daun katuk dilakukan secara peroral, untuk mengurangi


risiko terjadinya aspirasi saat pemberian, maka harus dilakukan dengan
menggunakan teknik yang benar.

3.8.7 Pengambilan Jaringan Ginjal


Setelah perlakuan pada hari ke 16, dilakukan euthanasia tikus. Tikus
dimasukkan kedalam gelas beker, lalu dimasukkan kapas yang ditetesi eter ke
dalamnya. Gelas beker ditutup agar eter tidak menguap. Ditunggu beberapa saat
hingga tikus tersebut pingsan. Selanjutnya tikus dibedah untuk diambil organ
ginjalnya. Pembedahan dan pengambilan organ diambil dengan menggunakan
alat-alat bedah (minor set) dan dilakukan dengan hati-hati agar organ yang
diambil tidak rusak. Organ ginjal kemudian di u i dengan larutan

S. Setelah

di u i, organ ginjal dimasukkan ke dalam plastik kemudian disimpan di dalam


suhu dingin yaitu 2-

C.

3.8.8 Pemeriksaan Malondialdehid (MDA) Ginjal Tikus Wistar


Organ ginjal diambil pada hari ke 16 setelah tikus di bedah. Pemeriksaan
MDA ginjal dilakukan di laboratorium Biokimia dan Biomol FK UJ. Mekanisme
pemeriksaan Malondialdehid (MDA) adalah sampel yang berupa jaringan ginjal
dicuci bersih menggunakan larutan

S untuk menghilangkan kelebihan darah,

kemudian dipotong ke il-ke il dan ditimbang sebanyak 500 mg, setelah itu di
letakkan di dalam eppendor dan ditambahkan larutan
Sampel disimpan pada suhu 2-

S sama banyak.

C. Sampel di vortex sebanyak 3 kali, masing-

masing sampel di vortex selama 3 menit. Sentrifuge sampel yang sudah di vortex
dengan kecepatan 5000 g selama 5 menit. Siapkan reagen yang meliputi wash
buffer, larutan standar, biotinylated detection Ab, HRP conjugate, dan larutan
substrat. Prosedur yang dilakukan yaitu tambahkan 50 L standar, sampel dan

44

blank di tiap sumur/lubang di microplate. Pada blank tambahkan larutan


Reference Standar & Sample Diluent. Tambahkan 50 L biotinylated detection
Ab di tiap sumur/lubang di mi roplate. Inkubasi pada suhu 37 C selama 45
menit. Cuci menggunakan wash buffer sebanyak 3 kali. ambahkan 100 L HR
onjugate tiap sumur/mi roplate, kemudian inkubasi pada suhu 37 C selama 30
menit. Cuci sebanyak 5 kali menggunakan wash buffer. Tambahkan

reagen substrat, kemudian inkubasi pada suhu 37 C selama 15 menit. Warna


akan berubah menjadi biru, kemudian tambahkan 50L larutan Stop dan warna
akan segera berubah menjadi kuning. Kemudian baca di ELISA reader dengan
panjang gelombang 450 nm. Hitung hasilnya.

3.9 Analisis Data


Data yang diperoleh diolah dan dilihat distribusi datanya normal atau tidak
dengan uji Shapiro-Wilk. Bila distribusi datanya normal dan varians datanya
sama, kemudian diuji beda dengan menggunakan statistik parametrik One Way
Anova, jika P < 0,05 dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Bila distribusi datanya tidak
normal atau varians data tidak sama, maka ditansformasi. Jika setelah
ditransformasi tetap didapatkan distribusi data yang tidak normal atau tidak sama,
maka dilakukan uji beda menggunakan statistik non parametrik Kruskal-Wallis,
jika didapat P < 0,05 dilanjutkan dengan uji Post Hoc (Mann Whitney test).
a. Jika P < 0,05; maka ada perbedaan yang bermakna
b. Jika P > 0,05; maka tidak ada perbedaan yang bermakna

3.10 Etika Penelitian


Penelitian ini telah mendapatkan ijin kelayakan etik penelitian. Pengajuan
kelayakan etik penelitian ini ditujukan kepada Komisi Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Jember. Lampiran G

45

3.11. Alur Penelitian


Hewan coba 25 ekor tikus wistar jantan, adaptasi 7 hari
Randomisasi

K-

K+

P1

P2

P3

Hari ke 7. Pengukuran kadar glukosa darah puasa awal

Induksi
aquabides

Hari ke 7. Tikus wistar dinduksi ALS dengan dosis 100


mg/kgBB dan pelarut aquabides secara intravena

Hari ke 9. Pengukuran kadar glukosa darah puasa, dimana kadar glukosa


180 mg/dl untuk perlakuan selanjutnya
Hari ke 9 15. Perlakuan pemberian ekstrak kayu manis
per oral

P1

P2

Aquades

Tanpa
ekstrak
kayu manis

P3
Ekstrak
kayu manis
dosis 200
mg/gBB

P4
Ekstrak
kayu manis
dosis 400
mg/gBB

P5
Ekstrak
kayu manis
dosis 600
mg/gBB

Hari ke 16. Dilakukan terminasi dengan cara pembedahan dan pengambilan


organ ginjal
Pengukuran kadar MDA jaringan ginjal tikus wistar
Analisis data

46

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Ekstraksi Kayu Manis
Serbuk kayu manis yang digunakan adalah serbuk yang diperoleh dari PT.
Materia Medika, Batu-Malang. Serbuk kayu manis yang digunakan adalah
sebanyak 159 gram. Serbuk diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan
etanol 80%. Maserat 46dipisahkan dengan cara disaring menggunakan kertas
saring. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotator evaporator suhu
50oC sampai pelarut etanol 80% menguap dan diperoleh ekstrak kental. Ekstrak
kental yang diperoleh sebanyak 66 gram.

4.1.2 Pembuatan Tikus Model Hiperglikemi


Setelah aklimatisasi dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa
awal. Kelompok K(+), P1, P2, dan P3, diinduksi aloksan dengan dosis 100
mg/kgBB yang dilarutkan aquabides secara intravena melalui vena ekor tikus,
serta diberikan air minum larutan glukosa 5% (D5) selama 24 jam pasca induksi
aloksan. Sedangkan kelompok K(-) diberi aquabides secara intravena. Setelah 48
jam induksi aloksan, kadar glukosa darah puasa diukur dengan glukometer.
Hewan coba dengan kadar glukosa darah puasa >180 mg/dl digunakan untuk
perlakuan (Bimo et al., 2013 dan Hardiyani, 2013).
Data kadar glukosa darah puasa sebelum induksi aloksan dan setelah
induksi aloksan dapat dilihat pada Lampiran B. Rata-rata kadar glukosa darah
tikus berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1

47

Tabel 4.1 Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Induksi
Aloksan
Kelompok
Kontrol (-)
Kontrol (+)
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3

KGDP sebelum
mg/dl
117,2
117,2
99,6
104
107

KGDP setelah
mg/dl
118,2
401,2
382
476
429,8

Berdasarkan data rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan sesudah
induksi aloksan tersebut dapat digambarkan secara histogram yang ditunjukkan

rata-rata kadar glukosa darah puasa (mg/dl)

pada Gambar 4.1


500

476

450

429,8
401,2
382

400
350

K(-)

300

K(+)

250
200
150
100

P1

117,2
117,2
107
104
99.6

P2
118,2

P3

50
0
Hari ke-1

Hari ke-3
hari

Gambar 4.1 Grafik Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Induksi
ALS

Berdasarkan data, menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah puasa


tikus sebelum induksi aloksan pada seluruh kelompok dibawah 126 mg/dl (Barik
et al., 2008). Hal ini menunjukkan bahwa sebelum diinduksi aloksan seluruh tikus
memiliki kadar glukosa darah normal. Setelah induksi aloksan terjadi peningkatan

48

kadar glukosa darah pada seluruh kelompok lebih dari 180 mg/dl (Bimo et al.,
2013 dan Hardiyani, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa induksi aloksan mampu
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.

4.1.3 Perlakuan pada hewan coba


Sampel penelitian yaitu 25 ekor tikus yang diberikan perlakuan selama 7
hari dan pada hari ke-8 masing-masing kelompok perlakuan diperiksa kadar
glukosa darah puasa setelah pemberian ekstrak kayu manis dan kadar
Malondialdehyde (MDA) jaringan ginjal menggunakan metode kompetitif
ELISA. Data kadar glukosa darah puasa dari masing-masing kelompok dapat
dilihat pada lampiran C. Rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan
setelah pemberian ekstrak kayu manis berdasarkan data tersebut dapat dilihat
pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Pemberian
Ekstrak Kayu Manis

Kelompok
Kontrol (-)
Kontrol (+)
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3

KGDP sebelum
mg/dl
118,2
401,2
382
476
429,8

KGDP setelah
mg/dl
106,6
482,4
239
297
287,8

49

Berdasarkan data rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan setelah
pemberian ekstrak kayu manis tersebut dapat digambarkan secara histogram
yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.

rata-rata KGDP (mg/dl)

600
482,4

500

401,2

476
420,8

382

400

297

300

287,8

239

200
118,2 106,6
100

Rata-rata
KGDP setelah
induksi ALS

rata-rata
KGDP setelah
pemberian
ekstrak kayu
manis

0
K(-)

K(+)

P1
P2
kelompok perlakuan

P3

Gambar 4.2 Grafik Rata-Rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Sesudah
Pemberian Ekstrak Kayu Manis

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kadar glukosa darah puasa
kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 sebelum pemberian ekstrak kayu manis yaitu 382
mg/dl, 476 mg/dl, dan 429,8 mg/dl. Kadar glukosa darah puasa kelompok
perlakuan 1, 2, dan 3 setelah pemberian ekstrak kayu manis yaitu 239 mg/dl, 297
mg/dl, dan 287,8 mg/dl. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa rata-rata
kadar glukosa darah puasa setelah pemberian ekstrak kayu manis terjadi
penurunan kadar glukosa darah.
Data kadar MDA ginjal dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada
Lampiran C. Rata-rata kadar MDA ginjal tikus berdasarkan data tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4.2

50

Tabel 4.3 Rata-rata Kadar MDA Ginjal


Kelompok Perlakuan

Rata-rata Kadar MDA ginjal (ng/g


SD)

Kontrol (-)

1,8923

0,00032427

Kontrol (+)

1,8926

0,00004148

Dosis 200 mg/kgBB

1,8926

0,00008666

Dosis 400 mg/kgBB

1,8925

0,00031940

Dosis 600 mg/kgBB

1,8926

0,00031665

Berdasarkan data rata-rata kadar MDA ginjal tersebut dapat digambarkan


secara histogram yang ditunjukkan pada Gambar 4.3

rata-rata penurunan MDA (ng/g)

Rata-rata penurunan MDA


ginjal (ng/g)
1,8926
2
0,0004148
2
2
2

1,8926
0,0008666

1,8925
0,00031940

1,8926
0,00031665

1,8923
0,0032427

2
2
2
2
K(-)

K(+)

P1
Kelompok perlakuan

P2

P3

Keterangan:
K(-) : aquades
K(+) : aloksan
P1 : aloksan+200 mg/kgBB kayu manis
P2 : aloksan+400 mg/kgBB kayu manis
P3: aloksan+600 mg/kgBB kayu manis
Gambar 4.3 Grafik Nilai Rata-rata Kadar MDA Ginjal Tikus

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kelompok kontrol negatif memiliki
nilai rata-rata kadar MDA sebesar 1,8923 ng/g. Kelompok kontrol positif yang
diberikan aloksan 100 mg/kgBB memiliki rata-rata kadar MDA 1,8926 ng/g.

51

Kelompok yang diberikan kayu manis sebesar 200 mg/kgBB memiliki rata-rata
kadar MDA 1,8926 ng/g. Kelompok yang diberikan kayu manis sebesar 400
mg/kgBB memiliki rata-rata kadar MDA 1,8925 ng/g. Kelompok yang diberikan
kayu manis sebesar 600 mg/kgBB memiliki rata-rata kadar MDA 1,8926 ng/g.

4.1.4 Analisis Data


Uji normalitas yang digunakan pada analisis data penelitian ini adalah uji
Shapiro Wilk karena sampel yang digunakan ke il ( 50). Hasil uji normalitas
pada penelitian ini adalah p > 0,05. Kelompok kontrol negatif memiliki p=0,976.
Kelompok kontrol positif memiki p=0,420. Kelompok dosis 200 mg/kgBB
memiliki p=0,055. Kelompok dosis 400mg/kgBB memiliki p=0,167. Kelompok
dosis 600 mg/kgBB memiliki p=0,557. Hasil uji normalitas p>0,05
menunjukkan bahwa distribusi data kelima kelompok perlakuan adalah normal.
Hasil uji homogenitas pada penelitian ini adalah p=0,060. Nilai uji
homogenitas dikatakan memiliki data dengan varians sama apabila memiliki
nilai p>0,05. Sehingga dari data tersebut menunjukkan bahwa tidak ada varians
antara kelompok data yang dibandingkan / varians data adalah sama. Hasil uji
normalitas dan homogenitas dapat dilihat pada Lampiran E.
Data penelitian ini memiliki distribusi normal dan data yang homogenitas
sehingga dianalisis dengan menggunakan metode One Way Anova (Analysis of
Variance). Derajat kemaknaan yang dipakai adalah

5% (=0,05) karena

didasari adanya faktor-faktor biologis pada tikus yang mempengaruhi hasil.


Hasil uji One Way Anova pada penelitian ini adalah p=0,238 yang artinya
terdapat tidak terdapat perbedaan kadar MDA ginjal yang bermakna pada kelima
kelompok perlakuan. Karena hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna maka tidak dilanjutkan dengan uji Post Hoc.

52

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil data kadar glukosa darah puasa sebelum diinduksi
aloksan menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah puasa tikus pada
seluruh kelompok dibawah 126 mg/dl (Barik et al., 2008). Hal ini menunjukkan
bahwa sebelum diinduksi aloksan seluruh tikus memiliki kadar glukosa darah
normal. Setelah induksi aloksan terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada
seluruh kelompok lebih dari 180 mg/dl (Bimo et al., 2013 dan Hardiyani, 2013).
Hal ini menunjukkan bahwa induksi aloksan mampu menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah.
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi
diabetes pada binatang percobaan (Watkins et al. 2008). Pemberian aloksan
adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi diabetes eksperimental
(Anindhita, 2009). Tikus model DM tipe 1 dibuat dengan cara menginjeksikan
aloksan dosis 100 mg/kgBB yang kemudian diberi minum glukosa 5% selama
24 jam pasca induksi aloksan. Pengukuran glukosa darah untuk menentukan
tikus diabetes dilakukan 48 jam pasca induksi aloksan. Berdasarkan hasil
penelitian pendahuluan yang dilakukan tikus pasca diinduksi aloksan tanpa
diberikan minum glukosa 5% tidak dapat bertahan hidup, tetapi jika diberikan
minum glukosa 5% pasca induksi aloksan dapat bertahan hidup. Hal ini
disebabkan oleh beberapa fase yang terjadi saat aloksan masuk ke dalam sel beta
pankreas. Pemberian minum glukosa selama 24 jam pasca induksi aloksan
dilakukan karena dalam waktu 30 menit pasca induksi aloksan akan terjadi fase
transient hipoglikemik (Lenzen, 2007).
Dosis aloksan 100 mg/kgBB yang dinjeksikan secara intravena dipilih
karena dosis tersebut merupakan dosis yang menyebabkan tikus dapat bertahan
hidup dalam keadaan hiperglikemi dan rendahnya tingkat mortalitas.
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan tikus yang diinduksi aloksan dengan dosis
150 mg/kgBB, dan 120 mg/kgBB secara intravena menyebabkan tikus tidak
dapat bertahan hidup dalam keadaan hiperglikemi. Pengukuran glukosa darah
untuk menetukan diabetes dilakukan dalam waktu 12-48 jam pasca induksi
aloksan telah terjadi kondisi hiperglikemi yang menetap (Lenzen, 2007).

53

Peningkatan kadar glukosa darah pada pemberian aloksan dapat


disebabkan oleh dua proses yaitu terbentuknya radikal bebas dan kerusakan
permeabilitas membran sel sehingga terjadi kerusakan sel beta pankreas yang
berfungsi menghasilkan insulin. Aksi toksik aloksan pada sel beta diinisiasi oleh
radikal bebas dibentuk oleh reaksi redoks (Watskins, 2008). Aloksan dan produk
reduksinya, asam dialurik, membentuk siklus redoks dengan radikal superoksida.
Radikal ini mengalami dismutasi menjadi hydrogen peroksida. Aksi radikal
bebas dengan rangsangan tinggi meningkatkan konsentrasi kalsium sitosol yang
menyebabkan destruksi cepat sel beta pankreas (Filipponi, 2008). Karena
rusaknya sel beta pankreas maka insulin tidak terbentuk sehingga kadar glukosa
darah meningkat. Aloksan menyebabkan depolarisasi membran sel beta pankreas
sehingga meningkatkan permeabilitas membran. Kerusakan membran akan
mempermudah terjadinya kerusakan sel beta pankreas sehingga produksi insulin
menurun. Aloksan juga menginaktivasi glukokinase, suatu enzim yang berperan
dalam mekanisme untuk mengontrol kadar gula darah dalam memproduksi
insulin (Fitrianti, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian, kelompok kontrol negatif dibandingkan
dengan kelompok kontrol positif tidak memiliki perbedaan signifikan. Rata-rata
kadar MDA jaringan ginjal kelompok kontrol negatif adalah 1,8923 ng/g dan
kelompok kontrol positif adalah 1,8926 ng/g. Hal ini menunjukkan bahwa
aloksan 100 mg/kgBB tidak dapat menyebabkan kondisi stress oksidatif pada
jaringan ginjal dan tidak menyebabkan peroksidasi lipid sehingga hasil kadar
MDA tidak memiliki perbedaan signifikan. Berdasarkan penelitian sebelumnya,
dosis aloksan 150 mg/kgBB secara intraperitoneal dapat menyebabkan
hiperglikemia, terjadi kerusakan sel melalui jalur autooksidasi glukosa, glikasi
protein serta aktivasi jalur metabolisme poliol yang akan mempercepat
pembentukan senyawa oksigen reaktif sebagai kondisi stress oksidatif. Stress
oksidatif mengakibatkan peroksidasi lipid pada membran sel dengan hasil
pembentukkan malondialdehyde (MDA) dan terjadi peningkatan MDA jaringan
ginjal (Bhatti et al., 2013). Tingginya kadar MDA dipengaruhi oleh kadar
peroksidasi lipid yang secara tidak langsung juga menunjukkan tingginya jumlah

54

radikal bebas (Sutari, 2013). Pada dosis aloksan 100 mg/kgBB dari hasil
penelitian ini tidak cukup mampu membuat jaringan ginjal mengalami stress
oksidatif dan menyebabkan peroksidasi lipid pada membran sel tetapi dapat
membuat tikus hiperglikemi selama 7 hari.
Kelompok kontrol positif dibandingkan kelompok perlakuan dosis 200
mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Rata-rata kadar MDA pada kelompok perlakuan dosis 200 mg/kgBB,
400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB adalah 1,8926 ng/g, 1,8925 ng/g, dan 1,8926
ng/g. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600
mg/kgBB belum dapat menurunkan kadar malondialdehyde (MDA) selama 7
hari. Pada penelitian sebelumnya, pemberian ekstrak kayu manis diberikan
selama 14 hari dapat menurunkan kadar Malondialdehyde jaringan pankreas
yang diinduksi aloksan (Bimo et al., 2013). Pada penelitian ini, pemberian
selama 7 hari tidak dapat menurunkan kadar MDA jaringan ginjal tetapi dapat
menurunkan kadar glukosa darah puasa.
Berdasarkan hasil kadar glukosa darah puasa setelah pemberian ekstrak
kayu manis pada kelompok perlakuan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan
600 mg/kgBB dibandingkan kadar glukosa darah puasa yang tidak diberikan
ekstrak kayu manis pada kelompok kontrol positif menunjukkan terjadi
penurunan kadar glukosa darah puasa pada kelompok perlakuan dosis 200
mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak kayu manis mampu bekerja seperti insulin dan meningkatkan aktivitas
insulin (Broadhurst et al., 2000; Jarvil-Taylor et al., 2001). Kandungan ekstrak
kayu manis mengandung senyawa bioaktif yang memiliki efek hipoglikemik
adalah flavonoid (Grover et al., 2002 dalam Howeida et al., 2010). Flavonoid
adalah substansi terbanyak dan terpenting pada kelompok polifenol di dalam
tanaman (Lukacinova et al., 2008). Polifenol dalam kayu manis yang memiliki
aktivitas mirip dengan insulin (insulun mimetic) adalah doubly-linked
procyanidin type-A polymers yang merupakan bagian dari catechin/epicatechin
yang selanjutnya disebut sebagai MHCP (Andersona et al., 2004). Penelitian in
vitro, MHCP memiliki efek yang mirip dengan insulin, yakni menstimulasi

55

uptake glukosa, mengaktifkan glikogen sintase dan mengaktivasi reseptor kinase


insulin (Jarvil-Taylor et al., 2001).
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar
malondialdehyde (MDA) pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan
kelompok perlakuan dengan dosis 200, 400, dan 600 mg/kgBB sehingga
penelitian ini tidak sesuai dengan harapan peneliti. Hal ini mungkin disebabkan
oleh beberapa hal:
Pertama, pemilihan dosis aloksan 100 mg/kgBB secara intravena, belum
mampu menyebabkan stress oksidatif pada jaringan ginjal. Dimana pemilihan
dosis aloksan 100 mg/kgBB untuk mencegah tikus tidak mati semua selama 7
hari, jika dosis diberikan terlalu tinggi dan dari hasil kadar glukosa darah puasa
menunjukkan hiperglikemi. Sebelumnya sudah diuji coba menggunakan dosis
aloksan 150 mg/kgBB dan 120 mg/kgBB secara intravena tetapi sebelum 48 jam
setelah induksi aloksan, tikus mati kemungkinan akibat hiperglikemi.
Kedua, sebelumnya menggunakan seduhan bubuk kayu manis tetapi
setelah diterapi 2 hari, hewan coba tidak bertahan hidup (mati) dan dari hasil
kadar glukosa darah puasa menujukkan peningkatan KGD sehingga peneliti
memilih pemberian ekstrak etanol kayu manis. Kemungkinan bubuk kayu manis
ini dilarutkan dalam air hangat, mengingat bubuk kayu manis ini tidak dapat
membentuk senyawa larutan sempurna. Ekstrak etanol kayu manis berdasarkan
penelitian memiliki senyawa antioksidan lebih tinggi, dibandingkan ekstrak air
(Azima et al., 2004). Dari hasil penelitian menujukkan pemberian ekstrak etanol
kayu manis, menurunakan kadar glukosa darah puasa.
Ketiga, lama perlakuan kurang sehingga kadar MDA tidak terdapat
perbedaan signifikan antara kelompok kontrol positif dan antar kelompok
perlakuan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB.

56

BAB 5. PENUTUP

5. 1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
Pemberian ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii) tidak dapat
menurunkan kadar malondialdehyde (MDA) jaringan ginjal tikus wistar
hiperglikemi hasil induksi aloksan.

5. 2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek pemberian ekstrak
etanol kayu manis sebagai antioksidan dengan masa perlakuan terapi, yaitu
14 hari, 21 hari, dan 30 hari dengan indikator kadar MDA jaringan ginjal;
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek ekstrak etanol kayu
manis terhadap kadar MDA jaringan ginjal yang diinduksi STZ.

57

Вам также может понравиться