Вы находитесь на странице: 1из 23

Diabetes Melitus Gestasional

Disusun oleh:

Albert Chandra Wijaya


10.2010.249
BP7

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
2013

Alamat korespondensi:
Email: darkfilipi92@yahoo.com
Jl. Terusan Arjuna No.6
Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Diabetes melitus pada kehamilan memiliki dampak serius baik pada ibu maupun bayi bila
tidak ditatalaksanakan secara optimal. Definisi diabetes mellitus gestasional menurut WHO
dengan sedikit modifikasi yang telah dilakukan oleh American Diabetes Association (ADA),
adalah intoleransi glukosa pada waktu kehamilan, pada wanita normal atau yang mempunyai
gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan. Kira-kira 135.000 wanita hamil
yang mengalami GDM setiap tahun yaitu kira-kira 3-5%.
Pembahasan
A. Anamnesis
Diabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemia,
disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsi, nokturia), efek
samping diabetes pada organ akhir (retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati
perifer), atau komplikasi akibat meningkatnya kerentanan terhadap infeksi (misalnya
ISK, ruam kandida). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja saat
melakukan pemeriksaan darah atau urin.1
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana manifestasinya
dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: pemeriksaan
urin, test darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan
mengenai komplikasi sebelumnya.

Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia


Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular
perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi),
neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis-muntah, kembung,

diare).
Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser
Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida.
Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria).
Hipertensi-terapi
Diet/ berat badan/ olahraga.1
2. Riwayat Pengobatan
Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obatan,

hipoglikemik oral atau insulin?


Tanyakan mengenai obat yang

kortikosteroid, siklosporin)
Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol
Apakah pasien memiliki alergi?1
1

bersifat

diabetogenik

(misalnya

3. Riwayat Keluarga dan Sosial


Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?
Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan?
Siapa yang memberikan suntikan insulin/ tes gula darah, dan sebagainya
(pasangan/ pasien/ perawat)?1
B. Pemeriksaan Fisik
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki efek kepada seluruh tubuh. Maka
dalam pemeriksaan fisik harus dilakukan pemeriksaan secara lengkap. Dan biasanya
ditemukan beberapa kelainan sebagai berikut.1

C. Pemeriksaan Penunjang
Glukosa-Gula Darah Puasa (Fasting Blood Sugar, FBS)
I.

Nilai rujukan
Dewasa: serum dan plasma: 70-110 mg/dL. Darah lengkap: 60-100 mg/dL.
2

Nilai panik: <40 mg/dL dan >700 mg/dL.


Anak: bayi baru lahir: 30-80 mg/dL. Anak: 60-100 mg/dL.
Lansia: 70-120 mg/dL.2
II.

Deskripsi
Penurunan kadar gula darah (hipoglikemia) terjadi akibat asupan makanan yang
tidak adekuat atau darah terlalu banyak mengandung insulin. Jika terjadi
peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia), berarti insulin yang beredar tidak
mencukupi; kondisi ini disebut sebagai diabetes melitus. Kadar gula darah puasa
yang mencapai >125 mg/dL biasanya menjadi indikasi terjadinya diabetes, dan
utnuk memastikan diagnosis saat gula darah mencapai kadar tepat di garis normal
atau agak di atasnya, harus dilakukan uji gula darah pascaprandial/pascamakan,
dan/atau uji toleransi glukosa.2
Uji dextrostix merupakan uji semikuantitatif yang cepat dan sederhana untuk
membedakan hipoglikemia dari hiperglikemia. Hasilnya dibandingkan melalui
penggunaan bagan warna yang memiliki rentang nilai 40-240 mg/dL. Uji ini sangat
berguna dalam keadaan gawat darurat. Chemstrip bG merupakan metode yang
lebih dianjurkan untuk memeriksa kadar gula darah, yaitu dengan menggunakan
cara tindik jari.2

III.

IV.

Tujuan
1. Untuk memastikan diagnosis status pradiabetes atau diabetes melitus.
2. Untuk memantau kadar glukosa darah pada klien diabetik mengonsumsi obat
antidiabetik (insulin atau obat hipoglikemik oral).2
Prosedur
1. Kumpulkan 3-5ml darah vena dalam tabung bertutup abu-abu atau merah.
Lakukan pengambilan darah pada pukul 7 pagi dan 9 pagi.
2. Status puasa, kecuali minum air putih masih diperbolehkan selama 12 jam

V.

sebelum uji dilakukan.


3. Berikan obat insulin sesuai anjuran dan setelah pengambilan darah.2
Faktor yang memengaruhi temuan laboratorium
1. Obat-kortison, tiazid, dan loop- diuretik dapat menyebabkan peningkatan
kadar gula darah.
2. Trauma-stres dapat meyebabkan peningkatan kadar gula darah.
3. Clinitest untuk mengukur kadar glukosa urine (glikosuria) mungkin akan
memberikan temuan positif palsu jika klien mengonsumsi aspirin, vitamin C,
3

dan jenis antibiotik tertentu (sefalosporin) secara berlebihan karena uji ini
tidak spesifik untuk mengukur kadar glukosa, tetapi untuk semua zat yang
menunjukkan penurunan.
4. Dosis tinggi vitamin C dapat menyebabkan temuan positif palsu jika
menggunakan strip uji glukosa dalam urine.2
Glukosa-Postprandial (Feasting Blood Sugar)
I.

Nilai rujukan
Dewasa: serum atau plasma: <140 mg/dL/2jam. Darah: <120 mg/dL/2jam.
Lansia: serum: <160 mg/dL/2jam. Darah: <140 mg/dL/2jam.
Anak: <120 mg/dL/2jam.2

II.

Deskripsi
Uji gula darah 2 jam pascaprandial biasanya dilakukan untuk mengukur respons
klien terhadap asupan tinggi karbohidrat 2jam setelah makan (sarapan pagi atau
makan siang). Uji ini dilakukan untuk pemindaian terhadap diabetes, normalnya
dianjurkan jika kadar gula darah puasa normal tinggi atau sedikit meningkat.
Glukosa serum >140 mg/dL atau kadar glukosa darah >120 mg/dL merupakan
kadar abnormal, bila demikian, diperlukan uji lebih lanjut.2

III.

Prosedur
1. Sediakan hidangan makanan tinggi karbohidrat untuk sarapan atau makan
siang.]
2. Kumpulkan 3-5 ml darah vena dalam tabung bertutup abu-abu atau merah,
2jam setelah klien selesai sarapann pagi atau makan siang. Jika pengambilan
darah bukan dilakukan oleh perawat, petugas laboratorium perlu diberitahu
apakah klien sudah selesai sarapan pagi atau makan siang.
3. Klien tidak boleh makan selama 2 jam sebelum uji dilakukan, yakni setelah

IV.

sarapan pagi atau makan siang, tetapi klien tetap boleh minum.2
Faktor yang memengaruhi temuan laboratorium
Merokok dapat meningkatkan kadar glukosa serum.2
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dan IV (IV-GTT)

I.

Nilai rujukan
4

Dewasa:
GTT Oral
Wakt
u
Puasa
jam
1jam
2jam
3jam

Serum

Darah

(mg/d

(mg/d

L)
70-110
<160
<170
<125
Kadar

L)
60-100
<150
<160
<115
Kadar

Puasa

Puasa

Uji Toleransi Glukosa IV


Serum
Waktu
(mg/dL)
Puasa
70-110
5 menit
<250
jam
<155
1 jam
<125
2 jam
Kadar Puasa
Urine: negatif pada saat puasa dan pada
jam, 1jam, dan 2 jam
Anak: bergantung pada usia anak. Normalnya, bayi memiliki kadar gula darah
yang rendah. Anak yang berusia 6 tahun atau lebih tua dapat memiliki temuan
kadar gula darah yang sama dengan orang dewasa.2
II.

Deskripsi
Uji toleransi glukosa dilakukan untuk mendiagnosis diabetes melitus pada
seseorang yang memiliki kadar gula darah dalam batas normal-tinggi atau sedikit
meningkat. Uji ini dapat diindikasikan jika terdapat riwayat diabetes dalam
keluarga, pada ibu yang memiliki bayi dengan berat badan 5kg atau lebih, pada
orang yang menjalani pembedahan atau cedera mayor, dan pada orang yang
memiliki masalah kegemukan. Uji tidak boleh dilakukan jika kadar gula darah
puasa >200 mg/dL. Setelah usia 60 tahun, kadar gula darah biasanya berkisar 1030 mg/dL lebih tinggi daripada rentang normal.2

Kadar glukosa puncak untuk GTT oral, yakni saat - 1jam setelah konsumsi
100gr glukosa, dan kadar glukosa harus kembali ke rentang normal dalam waktu 3
jam. Sampel darah akan diambil pada waktu yang sudah ditentukan.2
Uji toleransi glukosa intravena dianggap oleh banyak orang sebagai uji yang lebih
sensitif dibandingkan GTT oral karena tidak memerlukan absorpsi melalui saluran
gastrointestinal. Uji IV GTT biasanya dilakukan jika klien tidak dapat makan atau
toleransi terhadap glukosa oral. Glukosa darah kembali ke rentang normal dalam 2
jam. Namun demikian, nilai untuk OGTT dan IV-GTT sedikit berbeda karena
glukosa IV diserap lebih cepat.2
Hiperinsulinisme dapat dideteksi dengan OGTT. Setelah 1 jam, kadar glukosa
darah biasanya lebih rendah daripada uji FBS. Klien dapat mengalami reaksi
hipoglikemik yang berat-terdapat lebih banyak insulin yang disekresikan sebagai
respons terhadap glukosa darah.2
III.

Tujuan
Untuk menginformasi diabetes melitus.2

IV.

Prosedur
a) TTGO
1. Diet karbohidrat yang adekuat harus dikonsumsi selama 2-3 hari sebelum uji
dilakukan.
2. Klien tetap berpuasa selama 12 jam sebelum uji, kecuali minum.
3. Tidak diperkenankan mengonsumsi kopi, teh, atau rokok selama uji. Tidak
boleh mengonsumsi makanan apapun.
4. Obat yang memengaruhi temuan uji tidak boleh diminum 3 hari sebelum
GTT dilakukan jika memungkinkan.
5. Kumpulkan 5ml darah vena dalam tabung merah atau abu-abu untuk uji FBS.
Ambil spesimen urine puasa.
6. Berikan 100gr glukosa, baik yang berasa lemon maupun glukola. Beberapa
dokter akan memberikan glukosa sesuai dengan berat badan (1,75 gr/kgBB),
seperti halnya pada anak-anak.
7. Ambil spesimen darah dan urine pada saat ,1,2,dan 3 jam setelah glukosa
diberikan.2
b) IV-GTT
1. Puasa selama 12 jam sebelum uji dilakukan.
6

2. Berikan infus glukosa 50% selama 3-4 menit.


3. Ambil spesimen darah saat puasa, lalu setelah 5 menit (hanya spesimen
V.

darah),,1,dan 2 jam berikutnya.2


Faktor yang memengaruhi temuan laboratorium
1. Obat.
2. Usia- orang dewasa yang lebih tua memilki kadar gula darah yang lebih
tinggi. Sekresi insulin menurun karena proses penuaan.
3. Stres emosional, demam, infeksi, trauma, tirah baring, dan obesitas dapat
meningkatkan kadar gula darah.
4. Aktivitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar gula darah. Obat
hipoglikemik akan menurunkan kadar gula darah.2

D. Diagnosis Kerja
Diabetes Melitus Gestasional
I.

Definisi
Diabetes melitus pada kehamilan dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. DM yang memang sudah diketahui sebelumnya dan kemudian menjadi hamil
(DMH).
2. DM yang baru ditemukan saat hamil (DMG).3
Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai suatu intoleran glukosa yang
terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi ini berlaku dengan
tidak memandang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapat terapi
insulin atau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi
glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum
hamil sudah terjadi intoleransi glukosa. Meskipun memiliki perbedaan pada awal
perjalanan penyakitnya, baik penyandang DM tipe 1 dan 2 yang hamil maupun
DMG memiliki penatalaksanaan yang kurang lebih sama.3
Epidemiologi

Prevalensi DMG bervariasi di tiap daerah menurut kriteria diagnosis dan standar
pemeriksaan yang digunakan, namun secara umum dikatakan DMG mengenai 35% kehamilan normal. Sebanyak 40-60% dari kelompok ini akan berkembang
menjadi DM tipe 2 atau toleransi glukosa terganggu. Etnik merupakan faktor
independen yang memengaruhi kejadian DMG. Meski dengan Indeks Masa Tubuh
(IMT) yang lebih rendah, perempuan Asia lebih mudah terkena DMG
dibandingkan perempuan Kaukasia.1,3
II.

Patofisiologi
Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisologis akibat peningkatan hormonhormon kehamilan (human placental lactogen/HPL, progesterone, kortisol,
prolaktin) yang mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan. Tidak
berbeda pada patofisiologi DM tipe 2, pada DMG juga terjadi gangguan sekresi sel
beta pankreas. Kegagalan sel beta ini dipikirkan karena beberapa hal diantaranya:

1. Autoimun
2. Kelainan genetik
3. Resistensi insulin kronik.3
Studi oleh Xiang melaporkan bahwa pada wanita dengen DMG mengalami
gangguan kompensasi produksi insulin oleh sel beta sebesar 67% dibandingkan
kehamilan normal. Ada sebagian kecil populasi wanita ini yang antibodi isclet cell
(1,6-3,8%). Sedangkan sekitar 5% dari populasi DMG diketahui memiliki
gangguan sel beta akibat defek pada sel beta seperti mutasi pada glukokinase.3
Resistensi insulin selama kehamilan merupakan mekanisme adaptif tubuh untuk
menjaga asupan nutrisi ke janin. Resistensi insulin kronik sudah terjadi sebelum
kehamilan pada ibu-ibu dengan obesitas. Kebanyakan wanita dengan DMG
memiliki kedua jenis resistensi insulin ini yaitu kronik dan fisiologis sehingga
resistensi insulin biasanya lebih berat dibandingkan kehamilan normal. Kondisi ini
akan membaik segera setelah partus dan akan kembali ke kondisi awal setelah
selesai masa nifas, dimana konsentrasi HPL sudah kembali seperti awal.3
III.

Akibat diabetes gestasional

Diabetes gestasional dapat menimbulkan efek negatif pada kehamilan dengan


meningkatkan risiko malformasi kongenital, lahir mati, dan bayi bertubuh besar,
yang dapat menimbulkan masalah pada persalinan. Diabetes gestasional secara
rutin diperiksa pada pemeriksaan medis pranatal.4
IV.

Kriteria American Diabetes Association


American Diabetes Association menggunakan skrining diabetes melitus gestasional
melalui pemeriksaan glukosa darah dua tahap. Tahap pertama dikenal dengan nama
tes tantangan glukosa yang merupakan tes skrining. Pada semua wanita hamil yang
datang ke klinik diberikan minum glukosa sebanyak 50 gr kemudian diambil
contoh darah satu jam kemudian. Hasil glukosa darah (umumnya contoh darah
adalah plasma vena) >140 mg/dL disebut tes tantangan positif dan harus
dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu tes toleransi glukosa oral. Untuk tes toleransi
glukosa oral harus dipersiapkan sama dengan pada pemeriksaan bukan pada wanita
hamil. Perlu diingat apabila pada pemeriksaan awal ditemukan konsentrasi glukosa
plasma puasa 126 mg/dl atau glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl, maka mereka
hanya dilakukan pengulangan tes darah, apabila hasilnya sama maka diagnosis
diabetes melitus sudah dapat ditegakkan dan tidak diperlukan lagi pemeriksaan tes
toleransi glukosa oral.3
Untuk tes toleransi glukosa oral American Diabetes Association mengusulkan dua
jenis tes yaitu yang disebut tes toleransi glukosa oral tiga jam dan tes toleransi
glukosa oral dua jam. Perbedaan utama ialah jumlah beban glukosa, yaitu pada
yang tiga jam menggunakan beban glukosa 100 gr sedang yang pada dua jam
hanya 75 gr.3
Penilaian hasil tes toleransi glukosa oral untuk menyatakan diabetes melitus
gestasional, baik untuk tes toleransi glukosa tiga jam maupun yang hanya dua jam
berlaku sama yaitu ditemukannya dua atau lebih angka yang abnormal.3

V.

Kriteria diagnosis menurut WHO


WHO dalam buku Diagnosis and classification of Diabetes Melitus tahun 1999
menganjurkan untuk diagnosis diabetes melitus gestasionnal harus dilakukan tes
toleransi glukosa oral dengan beban glukosa 75 gr. Kriteria diagnosis sama dengan
yang bukan wanita hamil yaitu puasa 126 mg/dl dan dua jam pasca beban 200
9

mg/dl, dengan tambahan mereka yang tergolong toleransi glukosa terganggu


didiagnosis juga sebagai diabetes melitus gestasional.3
Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa plasma puasa 126 mg/dl
dan/atau 2 jam setelah beban glukosa 200 mg/dl atau toleransi glukosa
terganggu.3
VI.

Skrining
Wanita dengan diabetes melitus gestasional hampir tidak pernah memberikan
keluhan, sehingga perlu dilakukan skrining. Oleh karena hanya sekitar 3-4% dari
wanita hamil yang menjadi diabetes melitus gestasional, menjadi pertanyaan
apakah semua wanita hamil harus dilakukan skrining untuk diabetes melitus
gestasional atau hanya pada mereka yang dikelompokkan sebagai risiko tinggi.
Sebaiknya semua wanita hamil harus dilakukan skrining untuk diabetes melitus
gestasional. Beberapa klinik menganjurkan skrining diabetes melitus gestasional
hanya dilakukan pada mereka dengan risiko tinggi diabetes melitus gestasional.
Pada mereka dengan risiko tinggi, skrining sebaiknya sudahh dimulai pada saat
pertama kali datang ke klinik tanpa memandang umur kehamilan. Apabila hasil tes
normal, maka perlu dilakukan tes ulangan pada minggu kehamilan antara 24-28
minggu. Sedang pada mereka yang tidak berisiko tinggi tidak perlu dilakukan
skrining.3

VII.

Faktor risiko DMG


a) Faktor risiko obstetri
1. Riwayat keguguran beberapa kali
2. Riwayat melahirkan bayi meninggal tanpa sebab jelas
3. Riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan
4. Riwayat melahirkan bayi 4000 gram
5. Riwayat pre eklamsia
6. Polihidramnion.3
b) Riwayat umum
1. Usia saat hamil >30 tahun
2. Riwayat DM dalam keluarga
3. Riwayat DMG pada kehamilan sebelumnya
4. Infeksi saluran kemih berulang saat hamil.3
Perkeni menyarankan untuk melakukan penapisan pada semua ibu hamil pada
pertemuan pertama dan mengulangnya pada usia kehamilan 26-28 minggu apabila
hasilnya negatif.3
10

Hasil pemeriksaan TTGOdibagi menjadi 3 yaitu:


1. Glukosa darah 2 jam <140 mg/dl normal
2. Glukosa darah 2 jam 140-<200 mg/dl TGT
3. Glukosa darah 2 jam200 mg/dl DM.3
Pada kehamilan, subyek dengan hasil pemeriksaan TTGO menunjukkan TGT akan
dikelola sebagai DMG.3
VIII.

Gambaran klinis
1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin).
2. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan
keluranya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat
pekat). Dehidrasi intrasel mernagsang pengeluaran ADH dan menimbulkan
rasa haus.
3. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebgaian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai
energi. Gangguan aliran darah yang dijumpai pada pasien diabetes lama juga
berperan menimbulkan kelelahan.
4. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronik,
katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel-sel. Sering terjadi
penurunan berat badan.
5. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di sekresi
mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita

IX.

diabetes kronik.3
Penatalaksanaan dan Target Pengendalian
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
ibu, kesakitan dan kematian perinatal. Penggunaan obat hipoglikemi oral sejauh ini
tidak direkomendasikan. Beberapa ahli tidak mutlak melarang penggunaan OHO
pada kehamilan untuk daerah-daerah terpencil dengan fasilitas kurang dan belum
ada insulin.3
Penatalaksanaan harus dimulai dengan terapi nutrisi medik yang diatur oleh ahli
gizi. Secara umum, pada trimester pertama tidak diperlukan penambahan asupan
kalori. Sedangkan pada ibu hamil dengan berat badan normal secara umum
memerlukan tambahan 300 kcal pada trimester kedua dan ketiga. Jumlah kalori
11

yang dianjurkan adalah 30 kcal/berat badan saat hamil. Pada mereka yang obes
dengan indeks masa tubuh >30 kg/m2 maka pembatasan kalori perlu dilakukan
yaitu jumlah kalori hanya 25 kcal/kg berat badan. Asupan karbohidrat sebaiknya
terbagi sepanjang hari untuk mencegah ketonemia yang berdampak pada
perkembangan kognitif bayi.3
Aktifitas fisik selama kehamilan sempat menjadi topik yang kontroversial karena
beberapa tipe olahraga seperti sepeda ergometer, senam aerobik dan treadmill dapat
memicu kontraksi uterus. Para ahli menyarankan pada setiap ibu hamil yang
sedang berolahraga untuk meraba perut selama berolahraga agar dapat mendeteksi
kontraksi subklinis dan bila ada segera menghentikan olahraganya. Namun,
mengingat dampak positif yang didapat dengan berolahraga (penurunan A1c,
glukosa puasa dan 1 jam post prandial), ADA menyarankan untuk melanjutkan
aktifitas fisik sedang pada ibu hamil tanpa kontraindikasi medis maupun obstetric.3
Sasaran glukosa darah yang ingin dicapai adalah konsentrasi glukosa plasma puasa
105 mg/dl dan dua jam setelah makan 120 mg/dl. Apabila sasaran tersebut tidak
tercapai maka perlu ditambahkan insulin. Beberapa klinik menganjurkan apabila
konsentrasi glukosa plasma puasa >130 mg/dl dapat segera dimulai dengan
insulin.3
Jenis insulin yang dipakai adalah insulin human. Insulin analog belum dianjurkan
untuk wanita hamil mengingat struktur asam aminonya berbeda dengan insulin
human. Perbedaan struktur ini menimbulkan perbedaan afinitas antara insulin
analog dan insulin human terhadap reseptor insulin dan reseptor IGF-1. Mengingat
kerja Human Placental Lactogen (HPL) melalui reseptor IGF-1, maka perubahan
afinitas ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi janin atau kehamilan. Beberapa
studi tentang pemakaian insulin lispro menunjukkan dapat memperbaiki profil
glikemia dengan episode hipoglikemia yang lebih sedikit, pada usia kehamilan 1432 minggu. Namun dirasa masih perlu penelitian jangka panjang untuk menilai
keamanannya pada kehamilan dan FDA mengkategorikan keamanannya di tingkat
B.3
Dosis dan frekuensi pemberian insulin sangat tergantung dari karakteristik rerata
konsentrasi glukosa darah setiap pasien. Berbeda dengan diabetes hamil
pragestasional, pemberian insulin pada diabetes melitus gestasional selain dosis
12

yang lebih rendah juga frekuensi pemberian lebih sederhana. Pemberian insulin
kombinasi kerja singkat dan kerja sedang seperti mixtard (Novo-Nordik) atau
Humulin 30-70 dilaporkan sangat berhasil.3
Kendali glikemik ketat sangat dibutuhkan pada semua wanita diabetes melitus
dengan kehamilan. Penting sekali memantau glukosa darah sendiri oleh pasien di
rumah, terutama pada mereka yang mendapat suntikan insulin. Pasien perlu
dibekali dengan alat meter (Reflectance meter) untuk memantau glukosa darah
senndiri di rumah. Penggunaan HbA1c sebagai pemantauan belum menunjukkan
dampak yang signifikan dalam kendali glukosa darah.3
Non medikamentosa
1. Diet
Pada umumnya, perhitungan kebutuhan kalori untuk ibu hamil dengan DM
adalah 35 kkal/kg berat badan idaman (BBI). BBI= (TB-100)-10%(TB-100).
Kebutuhan kalori tersebut merupakan jumlah kalori basal 25 kkal/kgBBI +
kalori untuk aktivitas jasmani 10-30% + penambahan kalori untuk kehamilan
sebanyak 300kkal. Kebutuhan protein sebesar 1-1.5gram/kgBB.
Tujuan utama terapi diet adalah menyediakan nutrisi yang cukup bagi ibu dan
janin, mengontrol kadar glukosa darah, dan mencegah terjadinya ketosis
(kadar keton meningkat dalam darah).1,3
2. Olahraga
Perempuan dengan DMG disarankan melakukan aktivitas fisik selama 30-45
menit sehari. Kegiatan yang disarankan adalah berjalan, berenang, dan
X.

sepeda statis tiga kali seminggu.1,3


Komplikasi
Ibu dan anak
Dibandingkan dengan diabetes melitus pragestasional, komplikasi pada ibu hamil
diabetes melitus gestasional sangat kurang. Komplikasi dapat mengenai baik ibu
maupun bayinya. Komplikasi yang dapat ditemukan pada ibu antara lain
preeklamsia, infeksi saluran kemih, persalinan seksio sesaria, dan trauma
persalinan akibat bayi besar.3
Komplikasi pada bayi antara lain makrosomia, hambatan pertumbuhanjanin, cacat
bawaan, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia, hiperbilirubinemia,
polisitemia hiperviskositas, sindrom gawat napas neonatal. Komplikasi yang paling
13

sering adalah terjadinya makrosomia, hal ini mungkin karena pada umumnya
diabetes melitus gestasional didiagnosis agak terlambat.3
Selain komplikasi jangka pendek, juga terdapat komplikasi jangka panjang. Pada
anak, dapat terjadi gangguan toleransi glukosa, diabetes dan obesitas, sedangkan
pada ibu adalah gangguan toleransi glukosa sampai DM.3
E. Diagnosis Banding
Diabetes Melitus Tipe 1A
Patogenesis
Diabetes bentuk ini terjadi akibat destruksi autoimun sel beta. Bentuk diabetes tipe 1A
yang parah dan memerlukan insulin biasanya terjadi pada anak dan remaja, tetapi
penyakit autoimun ini juga dapat bermanifestasi pada orang dewasa dalam bentuk yang
lebih ringan, mula-mula sebagai bentuk yang tidak memerlukan insulin (latent
autoimune diabetes in adults, LADA). Pasien tipe 1A yang masih muda bergantung
pada insulin untuk kelangsungan hidupnya, yang menjadi dasar penamaan lama
diabetes melitus dependen insulin. Tanpa insulin, mereka menderita penyulit metabolik
yang parah, seperti ketoasidosis akut dan koma.5
Terdapat tiga mekanisme yang saling terkait yang berperan dalam destruksi sel islet:
kerentanan genetik, autoimunitas, dan gangguan lingkungan. Kerentanan genetik
berkaitan dengan alel spesifik kompleks histokompabilitas mayor (MHC) kelas II dan
lokus genetik lain yang menyebabkan seseorang rentan terhadap timbulnya
autoimunitas terhadap sel beta islet. Reaksi autoimun timbul secara spontan atau dipicu
oleh sel suatu kejadian lingkungan yang mengubah sel beta sehingga sel ini menjadi
imunogenik. Diabetes muncul setelah sebagian besar sel beta rusak.5
1. Kerentanan genetik
Diabetes melitus tipe 1A paling sering terjadi pada keturunan Eropa Utara.
Penyakit ini jauh lebih jarang pada kelompok ras lain, termasuk kulit hitam,
Spanyol, Amerika asli, dan Asia. Diabetes dapat timbul dalam satu keluarga.
Sekitar 6% keturunan dari orang diabetes tipe 1A menagalami penyakit yang
sama. Namun, lebih dari 80% kasus baru terjadi tanpa riwayat penyakit dalam
keluarga, dan diantara kembar identik angka concordance (yaitu kedua kembar
14

terkena) hanya 40%. Oleh karena itu, baik faktor genetik maupun lingkungan,
kemungkinan besar berperan penting.5
Pemindaian terhadap genom telah mengungkapkan bahwa banyak-pada
sebagian hingga 20-regio kromosom yang mengatur kerentanan terhadap
diabetes tipe 1A. Dari lokus ini, yang paling banyak diketahui adalah
keterkaitan dengan kromosom 6p21, yang gen MHC kelas II-nya (HLA-DP,
-DQ, -DR) terpetakan.5
Lokus ini, disebut IDDM1, membentuk sekitar 45% dari kerentanan genetik
terhadap penyakit ini. Perlu dicatat bahwa gen di dalam regio ini menentukan
kerentanan dan resistensi terhadap diabetes tipe 1A. Di dalam regio MHC kelas
II, keterkaitan penyakit terkuat adalah dengan alel spesifik gen HLA-DQA1 dan
HLA-DQB1. Analisis terhadap alel risiko tinggi HLA-DQA1 dan HLA-DQB1
menunjukkan adanya profil molekul yang sama; alel tersebut mengkode suatu
asam amino selain aspartat di posisi 57 pada rantai molekul HLA. Analisis
struktur kristal terhadap molekul MHC kelas II mengisyaratkan bahwa asam
aspartat di posisi ini penting untuk membentuk alur pengikat peptida di
molekul HLA-DQ sehingga mungkin memengaruhi peptida antigenik mana
yang berikatan dengan molekul ini. Selain dengan gen HLA-DQ, kerentanan
terkait MHC lainnya ditentukan oleh alel HLA-DRB1 tertentu. Seperti telah
disinggung, molekul MHC kelas II tertentu menimbulkan proteksi terhadap
diabetes. Yang perlu dicatat, proteksi bersifat lebih dominan daripada
kerentanan. Salah satu contoh gen kelas II yang protektif adalah spesifisitas
HLA-DR2 tertentu. Berbeda dengan alel kerentanan, semua alel protektif
memiliki sebuah aspartat di posisi 57 pada rantai . Mekanisme bagaimana gen
HLA-DR atau HLA-DQ memengaruhi kerentanan terhadap diabetes tipe 1A
masih belum jelas. Telah banyak diketahui bahwa reseptor sel T di limfosit T
CD4+ mengenali antigen hanya setelah fragmen peptida antigen berikatan
dengan molekul MHC kelas II di permukaan sel penyaji antigen. Kemungkinan
bahwa variasi genetik pada molekul MHC kelas II yang memengaruhi celah
pengikatan antigen memungkinkan penyajian antigen-diri ke sel T CD4+
autoreaktif. Oleh karena itu, gen MHC kelas II dapat memengaruhi derajat
resposivitas imun terhadap autoantigen sel beta pankreas, atau suatu autoantigen

15

sel beta disajikan dalam suatu cara yang mendorong reaksi imunologik
abnormal.5
Terdapat beberapa gen non-MHC yang juga menyebabkan kerentanan terhadap
diabetes tipe 1A. Namun efek gen in jauh lebih kecil dan gen ini hanya berperan
jika terdapat genotipe kerentanan MHC kelas II.5
2. Autoimunitas
Meskipun onset klinis diabetes melitus tipe 1A bersifat mendadak, pada
kenyataannya penyakit ini terjadi akibat serangan autoimun kronis terhadap sel
beta yang biasanya berlangsung bertahun-tahun sebelum onset klinis penyakit.
Manifestasi klasik penyakit (hiperglikemia dan ketosis) terjadi belakangan,
setelah lebih dari 90% sel beta rusak.5
Infiltrat peradangan penuh limfosit, sering intens (insulitis), sering diamati pada
islet pasien di awal perjalanan klinis penyakit. Infiltrat terutama terdiri atas
limfosit T CD8+, dengan limfosit T CD4+ dan makrofag dalam jumlah
bervariasi. Selain itu, limfosit T dari hewan yang sakit dapat memindahkan
diabetes ke hewan normal, yang menegaskan peran penting autoimunitas yang
diperantarai oleh sel T pada diabetes tipe 1.5
Sel beta islet mengalami kerusakan secara selektif, sementara sel tipe lain tidak
terkena. Limfosit CD8+ sitotoksik tampaknya merusak islet melalui
pengeluaran granula sitotoksik atau dengan memicu apoptosis yang diperantarai
oleh Fas.5
Autoantibodi terhadap antigen sel islet menunjukkan risiko terjangkit diabetes
tipe 1A. Berbagai autoantibodi tersebut muncul sedini usia 9 bulan dan terdapat
pada 80% pasien dengan diabetes onset baru. Di antara antigen intrasel yang
menjadi sasaran autoantibodi adalah asam glutamat dekarboksilase (GAD),
insulin, dan beberapa protein sitoplasma lainnya. Selain itu, sering ditemukan
respons sel T darah perifer terhadap antigen sasaran ini. Tidak terdapat bukti
bahwa autoantibodi ini menyebabkan cedera sel beta. Autoantibodi ini mungkin
timbul akibat kerusakan yang diperantarai oleh sel T.5

16

Anggota keluarga asimtomatik dari pasien dengan diabetes melitus tipe 1A


(yang berisiko tinggi) membentuk autoantibodi sel islet beberapa bulan sampai
tahun sebelum mereka memperlihatkan gejala klini diabetes.5
Sekitar 10-20% orang yang mengidap diabetes tipe 1A juga menderita penyakit
autoimun spesifik organ lain, seperti tiroiditis Hashimoto, penyakit seliak,
penyakit Graves, penyakit Addison atau anemia pernisiosa. Pada kenyataannya,
insidensi autoimunitas tiroid sedemikian tinggi sehingga pasien dengan diabetes
tipe 1A secara rutin diperiksa fungsi tiroidnya.5
Secara singkat, banyak bukti yang menunjukkan bahwa autoimunitas dan cedera
yang diperantarai oleh sel merupakan penyebab lenyapnya sel beta pada
diabetes tipe 1A. Memang terapi imunomodulatorik dan imunosupresif telah
dibuktikan dapat menghilangkan diabetes tipe 1A pada hewan percobaan dan
pada anak dengan penyakit ini. Saat ini sedang dilaksanakan uji klinis besar
yang melibatkan anggota keluarga yang berisiko (yaitu yang memiliki
autoantibodi terhadap sel islet) untuk menguji efektivitas modulasi imun dalam
mencegah penyakit.5
Diabetes Melitus Tipe 2
Patogenesis diabetes tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini merupakan
yang tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan. Gaya
hidup jelas berperan, yang akan jelas jika kegemukan dipertimbangkan. Meskipun
dahulu dianggap sebagai penyakit orang dewasa, saat ini timbul kekhawatiran adanya
peningkatan epidemik insidensi diabetes tipe ini pada anak-anak yang kegemukan,
terutama di antara mereka yang berkulit hitam, keturunan Spanyol, Amerika asli, dan
Asia.5
Pada tipe ini, faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan dengan pada diabetes
tipe 1A. Diantara kembar identik, angka concordance adalah 60-80%. Pada anggota
keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan kembar nonidentik), risiko menderita
penyakit ini 5-10 kali lebih besar daripada subyek (dengan usia dan berat yang sama)
yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe
1A, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologik
menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetik,
17

masing-masing memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga dipengaruhi


oleh lingkungan. Pemindaian genom terhadap pasien dan anggota keluarga mereka
memastikan bahwa tidak ada kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Saat ini sedang
dilakukan penelitian besar-besaran terhadap beberapa regio genomik tempat keberadaan
gen kandidat.5
Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin
pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin
(resistensi insulin). Peran defek sekresi, dibandingkan dengan resistensi insulin, masih
terus diperdebatkan dan mungkin sebenarnya berbeda-beda pada pasien yang berbeda
dan pada stadium penyakit yang berlainan.5
1. Gangguan sekresi insulin pada sel beta
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif berat
dibandingkan dengan yang terjadi pada diabetes tipe 1. Pada kenyataannya,
pada awal perjalanan penyakit, kadar insulin bahkan mungkin meningkat untuk
mengkompensasi resistensi insulin. Namun, kecil kemungkinannya bahwa
diabetes tipe 2 hanya disebabkan oleh resistensi insulin. Pada kasus yang jarang,
mutasi reseptor insulin menimbulkan resistensi insulin yang parah, yang jauh
lebih berat daripada pasien ini mempertahankan kadar glukosa darah dalam
batas normal karena sel beta normal dapat meningkatkan produksi insulin.5
Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin tampaknya normal dan
kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun, pola sekresi insulin yang
berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat)
yang dipicu oleh glukosa menurun. Secara kolektif, hal ini dan pengamatan lain
mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal
diabetes tipe 2 dan bukan defisiensi sintesis insulin.5
Namun, pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi absolut insulin
yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes
tipe 1. Penyebab defisiensi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum sepenuhnya
jelas. Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan diabetes tipe 2,
diperkirakan

mula-mula

resistensi

insulin

menyebabkan

peningkatan

kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang
18

memiliki kerentanan genetik terhadap diabetes tipe 2, kompensasi ini gagal.


Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi kehilangan 20-50% sel beta, tetapi
jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang
dirangsang oleh glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam
pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molekular gangguan sekresi insulin
yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum sepenuhnya dipahami. Penelitian
terakhir menunjukkan adanya suatu protein mitokondria yang memisahkan
respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas,
bukan ATP). Protein ini, yang disebut uncoupling protein 2 (UCP2),
diekspresikan pada sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi menumpulkan
respons insulin, sedangkan kadar yang rendah memperkuatnya. Oleh karena itu,
dihipotesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di sel beta orang dengan
diabetes tipe 2 mungkin dapat menjelaskan hilangnya sinyal glukosa yang khas
pada penyakit ini. Banyak perhatian dipusatkan pada masalah ini, karena
manipulasi terapeutik (untuk menurunkan) kadar UCP2 dapat digunakan untuk
mengobati diabetes tipe 2.5
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2 dilaporkan berkaitan
dengan pengendapan amiloid sel islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2
ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid
yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan
disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian
glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin pada fase
awal diabetes tipe 2 menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian
mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin
menyebabkan sel beta refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih
penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan
menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus diabetes tipe 2
tahap lanjut.5
2. Resistensi insulin dan obesitas
Defisiensi insulin terjadi belakangan selama perjalanan penyakit diabetes tipe 2;
namun, defisiensi ini tidak cukup besar untuk dapat menjelaskan gangguan

19

metabolik yang terjadi. Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin
merupakan faktor utama dalam timbulnya diabetes tipe 2.5
Resistensi insulin adalah fenomena kompleks yang tidak terbatas pada sindrom
diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan, sensitivitas insulin jaringan sasaran
menurun (walaupun tidak terdapat diabetes) dan kadar insulin serum mungkin
meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin tersebut. Oleh karena itu,
baik obesitas maupun kegemukan dapat menyebabkan terungkapnya diabetes
tipe 2 subklinis dengan meningkatkan resistensi insulin ke suatu tahap yang
tidak lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.5
Dasar seluler dan molekuler resistensi insulin masih belum sepenuhnya
dimengerti. Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin; jaringan lemak dan otot;
dikedua jaringan tersebut insulin meningkatkan penyerapan glukosa dan hati
tempat insulin menekan produksi glukosa. Insulin bekerja pada sasaran pertamatama dengan berikatan dengan reseptornya. Pengaktifan reseptor insulin
memicu serangkaian respons intrasel yang memengaruhi jalur metabolisme
sehingga terjadi translokasi unit transpor glukosa ke membran sel yang
memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi insulin dapat
terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal (pascareseptor)
yang diaktifkan oleh pengikatan insulin reseptornya. Pada diabetes tipe 2, jarang
terjadi defek kualitatif atau kuantitatif dalam reseptor insulin. Oleh karena itu,
resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal
pascareseptor.5
Obesitas berkaitan dengan resistensi insulin walaupun tidak terdapat diabetes.
Oleh karena itu, tidaklah megherankan bahwa obesitas adalah salah satu faktor
risiko lingkungan yang penting dalam patogenesis diabetes tipe 2, dan
diperkirakan berperan penting dalam meningkatnya insidensi diabetes bentuk ini
pada anak. Bagi banyak orang kegemukan dengan diabetes, penurunan berat dan
olahraga dapat memulihkkan resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa
terutama pada awal perjalanan penyakit saat produksi insulin belum banyak
berpengaruh.5
Neuropati Diabetik

20

Neuropati diabetik merupakan komplikasi tersering pada diabetes mellitus tipe 1 dan
tipe 2. Neuropati secara umum diklasifikasikan menjadi dua yaitu somatic dan autonomic
neuropati. Somatik neuropati ditandai oleh mati rasa, perestesia dan sensasi abnormal.
Sedangkan automatik neuropati tidak didapat gejala sampai stadium lanjut. Automatik
neuropati diabetik menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ, seperti : kardiovaskuler,
gastrointestinal, genitourinari, metabolik dan disfungsi pupil. Diantara hal-hal tersebut,
kardiovaskuler automatik neuropati meningkatnya resiko kematian pada pasien diabetes.
Dalam hal ini diagnosa dan terapi pada autonomik neuropati pada stadium dini sangat penting
pada penderita diabetes mellitus.3
Autonomik neuropati diabetik dapat terjadi pada penderita diabetes melitus jangka
pendek tanpa terjadi somatik neuropati. Selanjutnya fungsi pupil abnormal dapat dideteksi
lebih dini dibandingkan dengan gangguan fungsi autonomik kardiovaskuler dan merupakan
tanda dini terjadinya neuropati automatik diabetik. Dalam hal ini, reflek pupil terhadap
cahaya dapat digunakan untuk menilai neuropati autonomik diabetik.
Patofisiologi terjadinya neuropati diabetik belum jelas. Namun ada beberapa teori
yang menyebabkan terjadinya neuropati diabetik :
1. Teori metabolik. Teori ini menerangkan gangguan metabolik akibat dari hiperglikemia
dan atau defisiensi insulin pada satu atau lebih komponen seluler pada saraf
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan struktural. Gangguan ini akan
menyebabkan kerusakan jaringan saraf dan mengakibatkan defisit neurologi.
2. Teori vaskuler . Teori ini menerangkan bahwa neuropati, nefropati dan retinopati
terjadi akibat demyelinasi multifokal dan hilangnya akson ( axonal loss). Pada kapiler
pasien diabetes terjadi penebalan membran basement dan peningkatan ukuran dan
jumlah sel endotel kapiler yang menyebabkan diameter lumen pembuluh darah
menjadi kecil.
3. Teori sorbitol-osmotik. Teori ini menerangkan bahwa kerusakan jaringan saraf
disebabkan oleh akumulasi sorbitol intraseluler, yang berasal dari strees hiperglikemik
isotonic pada diabetes. Myoinositol akan menetralkan efek ini, namun proses ini akan
menjadi hilang, yang mengakibatkan sintesis phosphatidylinositol menjadi terbatas
dan dibentuk phospatydilinositol generasi ke dua. Dengan demikain merubah aktivitas
[Na.sup+]/[K.sup+]ATPase pada saraf.6,7

21

Daftar Pustaka
1. Purnamasari D. Waspadji S. Penatalaksanaan diabetes pada kehamilan. Dalam:
Penyakit-penyakit pada kehamilan: peran seorang internis. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2008. h. 51-64.
2. Lefever K.J. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, Ed. 6. Jakarta: EGC,
2007. h.213-7, 219-22.
3. Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M.K, Setiati S. Diabetes melitus
gestasional. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid. III, Ed. 5. Jakarta: Interna
Publishing, 2009. h. 1873-1960
4. Elizabeth C.J. Diabetes gestasional. Dalam: Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC,
2000. h.545-56.
5. Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. Diabetes melitus. Dalam: Buku ajar patologi
Robbins, Ed. 7, Vol. 2. Jakarta: EGC, 2007. h. 719-24.
6. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology concepts of altered health states. 8th Ed.
Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia; 2009. p.1047-75.
7. Lange O, Scott B R. Diabetes in pregnancy practical strategis in obcetres and
gynecology. WB Saunders Company: Philadelphia ; 2000. p.360-69.

22

Вам также может понравиться