Вы находитесь на странице: 1из 81

MANAJEMEN PEMBANGUNAN

Tugas

MANAJEMEN PEMBANGUNAN

Oleh :

Nama

Stambuk

: G2C1 012 989

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PEMBANGUNAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013

PEMBANGUNAN

ARTI DAN MAKNA PEMBANGUNAN

Setidaknya, dikebanyakan negara sedang berkembang istilah pembangunan


merupakan salah satu konsep yang paling mengemuka dan mendesak terkait
dengan pengelolaan pembangunan bangsa. Bryant dan white (1987), meliat
pembangunan sebagai konsep normatif dan merupakan eufemisme untuk
perubahan, modernisasi, dan pertumbuhan. Di Indonesia, kata pembangunan sudah
menjadi sebuah jargon dan kata kunci untuk segala aspek kehidupan. Menurut
budiman (2000), secara umum kata pembangunan diartikan sebaga usaha untuk
memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Pembangunan seringkali
diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh suatu masyarakat dibidang ekonomi.

Mengenai konsep pembangunan banyak diwarnai pemikiran dan literatur ekonomi


pembangunan, disamping didasarkan pada sumbangan pemikiran dari perpesktif
sosial. Todaro (1986), mengatakan bahwa pembangunan adalah proses
multimensional yang mencangkup perubahan-perubahan penting dalam struktur
sosial, sikap masyarakat, lembaga2 nasional, dan akselerasi pertumbuhan
ekonomi,pengurangan kesenjangan, dan pemberantasan kemiskinan absolut.
Dalam pandangan ekonomi, pembangunan juga sering didefenisikan sebagai suatu
proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil kapita melaluli
peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya (kartasasmita 1997).

Konsep pembangunan dapat diartikan secara lebih luas, karena dapat


diiterpretasikan dalam banyak segi. Katz (1992) menyatakan bahwa pembangunan
adalah perubahan yang berlangsung secara luas dalam masyarakat, bukan hanya
sekedar perubahan pada sektor ekonomi seperti perubahan pedapatan perkapita
dan peningkatan tenaga kerja, tetapi juga mencangkup perubahan-perubahan
dibidang sosial politik, dimana masalah-masalah tersebut saling berhubungan satu
sama lain.

Pembangunan merupakan proses menuju perbaikan taraf hidup masyarakat secara


menyeluruh dan bersifat dinamis. Dalam perkembangan pembangunan, konsep
pembangunan konsep pembangunan mengandung empat makna (esman, 1991)
yaitu : (1) pembangunan merupakan suatu proses, dalam arti suatu kegiatan yang
terus menerus dilaksanakan dan berkesinambungan, (2) pembangunan merupakan
suatu usaha yang secara sadar dilaksanakan, karena dipandang sebagai suatu
kebutuhan, (3) Pembangunan dilaksanakan secara berencana yang beriorentasi

pada pertumbuhan dan perubahan, dan (4) pembangunan terkait dengan dimensi
modemisasi, dalam arti sebagai cara hidup yang lebih baik dan sebelumnya.

Pandangan kaum humanis (goulet, 1974) dalam memaknai pembangunan


memusatkan perhatian pada dimensi kemanusian dan etika pembangunan.
Selanjutnya menekankan dampak keterbelakangan terhadap kondisi kemanusian.
Keterbelakangan adalah sesuatu yang memilukan, kekumuhan, penyakit, kematian
yang tidak perlu dan keputusan. Kemiskinan adalah neraka yang kejam, dan orang
tidak dapat mengetahui kejamnya neraka itu semata-mata dengan menatap
kemiskinan sebagai obyek belaka. Karena itu segala pembangunan dan
keterbelakangan (underdevelopment), bukan semata-mata masalah ekonomi dan
pengukurannya, tetapi juga merupakan realitas dalam hidup.

Dari perspektif ini, pembangunan dimaknai sebagai pembebasan dari kemelaratan


dan memupuk harga diri. Kebebasan dalam arti yang lebih luas yaitu kebebasan
dari pengasingan terhadap hak hidup material yang layak, kebebasan dari
keperbudakan oleh manusia atas manusia, serta kebebasan dari kesengsaraan dan
kemelaratan. Sejalan dengan pandangan tersebut, todaro (1986) mengatakan
bahwa pembangunan mengandung tiga nilai utama, yaitu (1) menunjang
kelangsungan hidup, (2) harga diri, dan (3) kemerdekaan dari penjajahan dan
perbudakan.

Menunjang kelangsungan hidup berarti kemampuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar. Semua orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu
untuk memungkinkan kehidupan. Kebutuhan yang dimaksud seperti pangan, papan,
kesehatan, dan rasa aman. Harga diri, dimaksudkan kemampuan untuk menjadi
seorang manusia, memiliki harga diri, menghormati diri sendiri, untuk menjadi alat
dari orang lain untuk sesuatu tujuan. Kemerdekaan dari penjajahan dan perbudakan
berarti kemampuan untuk memilih. Nilai universal ketiga yang harus merupakan
bagian dari makna pembangunan adalah konsep kebebasan.
Bryant dan white (1987), merumuskan bahwa pembangunan sebagai suatu
peningkatan kapasitas untuk mempengaruhi masa depan masyarakat. Pandangan
ini mengandung tiga implikasi, yaitu (1) pembangunan berarti memberi perhatian
terhadap kapasitas (capacity) terhadap apa yang perlu dilakukan untuk
mengembangkan kemampuan dan energi untuk membuat perubahan, (2)
pembangunan berarti mencangkup keadilaan dan pemerataan (equity) dalam
kehidupan masyarakat, dan (3) pembangunan berarti adanya penumbuhan
kekuatan dan wewenang (empowerment dalam mengelola dan menerima manfaat
pembangunan.

Pembangunan sama sekali tidak statis. Melainkan dapat dilihat secara dinamis dan
bahkan beberapa saat kemudian dapat direduksi. Menurut Tjokroamidjojo dan
mustopadidjaja (1990), pembungunan merupakan suatu orientasi dan kegiatan
usaha yang tanpa akhir. Pembangunan sebagai suatu perubahan sosial yang
berencana, seyogyannya menjadi suatu proses dapa bergerak maju atas kekuatan
sendiri (self sustaining process) tergantung pada manusia dan struktur sosialnya.

PENDEKATAN PEMBANGUNAN

Pada dasarnya pembangunan dibanyak negara berkembang dipusatkan pada


pembangunan ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi. Karena
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekoonomi ternyata tidak serta
merata menghasilkan sebuah tetesan kebawah (trickle down effect), sehigga
menimbulkan kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik semakin melebar. Pemikiran
strukturalis klasik menghendaki intervensi pemerintah dalam melakukan koreksi
terhadap ketidak sempurnaan pasar dan melakkukan perbaikan struktur ekonomi
secara inkremental. Dalam pendekatan ini perbaikan struktur kekuasaan dan
struktur sosial tidak dilakukan secara radikal.

Sach (1995) mengatakan bahwa dengan adanya pelajaran berharga dari pemikiranpemikiran ekonomi dunia, kemudian menjadi titik tolak untuk suatu pemikiran
pembangunan baru yang disebut pendekatan neostrukturalis (neostructuralism)
yang merupakan perbaikan terhadap pemikiran strukturalis klasik (clasical
strusturalisme) aspek utama yang sangat dipentikan dalam pendekatan
neostrukturalis adalah aspek yang berkaitan dengan peranan pemerintah dalam
proses pembangunan. Selanjutnya dalam pendekatan ini ada tiga upaya pokok yang
perlu dilakukan, yaitu (1) an effective development state, (2) social policy, dan (3)
autonomous endostrialization.

Upaya pokok yang pertama yang harus dilakukan adalah melakukan suatu proses
rekonstruksi struktur kekuasaan untuk kepentingan rakyat banyak dengan kata lain
melakukan rekonstruksi politik. Upaya pokok kedua adalah pelaksanaan revormasi
agraria dan rekonstruksi sosial untuk tujuan pembentukan prkondisi sosial yang
diperlukan dalam memerangi kemiskinan dan ketimpangan ditribusi pendapatan
dan kekayaan. Upaya pokok yang ketiga adalah merancang program
industrirealisasi yang otonom. Program industrielisasi dimaksud adalah yang

didukung oleh kekuatan basis teknologi produksi didalam negeri yang diadaptasi
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan faktor endoumen dalam negeri.

Element pokok pemikiran neostrukturalis dibidang ekonomi adalah pengembangan


pasar dalam negeri. Pendekatan neostrukturalis mengenai pembangunan juga
sangat menitik beratkan pembentukan suatu sistem sosial budaya yang mampu
menghasilkan sumber daya manusia atau human capital yang berkualitas tinggi,
tangguh dan berwatak sosial. Menurut sackh (1995), perkembangan pemikiran dan
pendekatan pebangunan neostrukturalis dapat menyadarakan betapa perlunya
menformulasikan sendiri pemikiran da pendekatan pembangunan yang sesuai
dengan realitas sosial ekonomi.

Pembangunan secara berencana lebih dirasakan sebagai suatu usaha yang lebih
rasional dan sistemik dalam pembangunan dinegara-negara sedang berkembang.
Tedjokroamidjojo dan mustopodidjaja (1990) mengatakan bahwa pendekatan
pembangunan yang seyogyanya ditempuh oleh negara negara berkembang adalah
(1) pendekatan pembangunan bangsa (nation bulding), mencangkup pembangunan
politik dan pembangunan sosial budaya (sicio cultural development), (2)
pendekatan pebangunan ekonomi (ekonomic development).

Pendekatan pembangunan bangsa nation bulding diartikan sebagai usaha


sistematik dan terpadu dalam pembanguna masyarakat politik atau pembinaan
lembaga lembaga dan warga negara. Dalam perspektif yang sama, siagian (1985)
mengatakan bahwa pembangunan sesungguhnya merupakan rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa (nation bulding) .

Pembangunan politik sebagai suatu proses pembinaan bangsa, bukan saja


diarahkan pada usaha perubahan perubahan institusional dalam sistem politik dan
pemerintahan, tetapi juga dalam sistem kelembagaan sosial dan ekonomi suatu
bangsa. Salah satu dimensi dari pembangunan politik adalah kestabilan politik itu
sendiri, karena dapat dipandang sebagai faktor yang memungkinkan
terselenggaranya perkembangan institusional dalam sistem politik dan
pemerintahan, kelembagaan ekonomi, dan sosial budaya suatu bangsa.

Terkait dengan pembangunan bangsa, pembangunan ekonomi dan politik harus


memperhatikan keterkaitannya dengan pembangunan sosial budaya. Pertumbuhan
ekonomi diegara negara berkembang disadari merupakan bagian dari proses
perkembangan sosial budaya suatu masyarakat yang telah mencapai suatu tigkat
modernitas tertentu. Weiner (1989) mengatakan bahwa modernitas itu menekankan
cara-cara baru dalam berpikir yang memungkinkan manusia menciptakan industri
moderen, masyarakat moderen, dan pemerintahan moderen! Pembangunan sosial
budaya pada dasarnya dimaksudkan untuk merealisasikan sistem sosial dan
kelembagaan yang efektif bagi pengembangan kebudayaan dan peradaban bangsa
yang berguna dan dapat dinikmati oleh setia masyarakat bangsa. Pendekatan
pembangunan ekonomi dalam proses pembangunan nasional berdasar pada
pemikiran dan teori eokonomi klasik, keinisian, dan neoklasik (tjokroamidjojo dan
mustopadidjaja, 1990). Teori pertumbuhan dalam aliran klasik diawali oleh
pandangan adamsmik, yang menyatakan bahwa proses pertumbuhan dimulai
apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (devision off laboard).
Pembagian kerja akan meningkatkan produktifitas yang pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan. Dengan meluasnya pasar akan terbuka inflasi baru yang
pada akhirnya akan mendorong peluasan pembagian kerja dan pertumbuhan
ekonomi (kartasasmita, 1997).

Pemikiran keines menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong


pertumbuhan jangka panjang. Dalam pandangan ini mengundang campur tangan
dan sifatnya tidak langsung dari pemerintah didalam kegiatan-kegiatan ekonomi
berupa kebijakan fiskal dan moneter yang bertujuan melepaskan masyarakat dari
depres ekonomi, mendorong investasi, dan seterusnya kesempatan kerja dan
pendapatan (sact, 1995). Dalam perkembangannya sebagai pandangan dan
peralatan analisis perekonimian makra terutama dinegara negara berkembang,
terbukti kemudian dapat pula dipakai menelah dan memecahkan masalah masalah
pembangunan.

Salah satu teori ekonomi pembangunan yang sampai sekarang ini terus dipakai,
meskipun sudah dikembangkan secara lebih canggih adalah teori harrod-domar.
Teori ini menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya
tabungan dan investasi (budiman, 2000). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan,
masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang
merupakan sumber investasi. Dengan demikian semakin besar tabungan maka
semakin besar investasi, dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Dengan kata
lain, tingkat pengeluaran akan menentukan laju pertumbuhan ekonomi.

Teori Pertumbuhan ekonomi neokiasik berkembang kemudian yang mulai


memasukan faktor teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan
ekonomi suatu negara kartasasmita, 1997). Dalam pandangan ini teknologi
dipandang sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua
negara didunia. Dalam sistem perekonomian yang terbuka, dimana semua faktor
produksi dapat berpindah secara bebas dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh
setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang
berarti kesenjangan akan berkurang. Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba
menemukan faktor-faktor lain diluar modal dan tenaga kerja yang mendorong
pertumbuhan ekonomi.

Pandang penting lainya terkait dengan teori pertumbuhan ekonomi yang banyak
dianut oleh pemikiran pembangunan adalah teori tahapan pertumbuhan oleh
rostow (1960). Dalam teori ini dijelaskan bahwa dalam pembangunan terjadi proses
pergeseran dari masyarakat yang terbelakang ke masyarakat maju, yang dapat
dilihat dari tahapan pembangunan, yaitu (1) masyarakat tradisional (traditional
society), (2) prakondisi untuk lepas landas (preconditions for growth), (3) lepas
landas (the take off), (4) bergerak kekedewasaan (the drive to maturity), dan (5)
jaman konsumsi masal yang tinggi (the age of high mass consumptions).

Dalam perspektif sosial, tjokrowinoto (1987) memperkenalkan pendekatan alternatif


pembangunan sosial. Salah satu determinan penting dan paling kritis bagi
keberhasilan pencapaian tujuan pembengunan terletak pada jenis pendekatan yang
digunakan oleh suatu negara. Pendekatan alternatif pembangunan sosial yang
dapat dipilih oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, dapat berupa (1)
pendkatan pembangunan sosial atas bawah dan cetak biru, (2) pendekatan
pengelolaan sumber yang bertumpu pada masyarakat, (3) pendekatan kawasan
yang bersasaran multisektor yang terpadu, dan (4) pendekatan mobilisasi sumber
melalui rangsangan dari pusat (centrally triggered resource mobilization approach).

Pendekatan pembangunan atas bawah dan cetak biru, berkaitan dengan konsep
pembangunan sosial yang diinterpretasikan sebagai usaha terencana untuk
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Keputusan keputusan
tentang pelayanan yang diberikan, siapa yang memberi kapan dan dimana serta
bagaimana diberikan, sepenuhnya merupakan kebijakan birokrasi pemerintah.
Meskipun pendekatan ini dapat efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, tetapi terdapat kelemahan di dalamnya. Salah satu
kelemahannya adalah bahwa pendekatan ini menghilangkan ilai kemanusian karena
penerima manfaat jarang memiliki peran karena sangat ditentukan secara sepihak
oleh birokrasi pemerintah.

Pendekatan pelolaan sumber yang bertumpu pada masyarakat, mencoba


mengembangkan rasa keefektifan politis yang akan mengubah penerima pasif dan
kreaktif menjadi yang aktif dan memberikan konstribusinya dalam proses
pembangunan. Pendekatan ini menawarkan potensi untuk memperbaiki perncanaan
dan pelaksanaan pembangunan dengan cara memberikan keputusan pada individu
masyarakat dan struktur pembangunan lokal untuk turut serta secara efektif dalam
masyarakat politik dan ekonomi yang lebis luas.

Korten (1988) mengatakan bahwa pendekatan ini memliliki ciri pokok sebagai
berikut : (1) keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan dibuat ditingkat
lokal. (2) fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan masyarakat dalam
mengawasi dan menyerahkan aset tertentu untuk kebutuhan mereka sendiri, (3)
pendekatan ini mencapai tujuan pembangunan melaluli proses belajar sosial (Social
learning), (A) budaya kelembagaan ditandai dengan adanya organisasi yang
mengatur diri sendiri da lebih terdistribusi, dan (5) jaringan koalisi dan komunikasi
aktor lokal yang mengelola diri sendiri dan untuk mengelola submber mereka.

Pendekatan kawasan yang bersaran multi sektor yang terpadu berusaha meraih
tujuan pembangunan melalui upaya-upaya terpusat, terkoordinasi, dan terintegrasi
dari berbagai badan pemerintah dan masyarakat dalam suatu kawasan tertentu di
tingkat lokal. Sebuah kawasan seharusnya dipilih berdasarkan indevikasi kebutuhan
dan prioritas kebutuhan dengan. Meperhatikan kelangkaan sumber-sumber yang
tersedia ditingkat nasional. Pertimbangan politik sering kali lebih diutamakan
dalam proses pemilihan sebuah kawasan pembangunan sehingga kondisi seperti ini
dapat memperlemah prisnsip kepercayaan diri (self reliance).

Pendekatan mobilisasi sumber melalui rangsangan dari pusat menekankan pada


pengarahan sumber lokal melalui sumber-sumber ragsangan yang yang
diaolokasikan dibirokrasi pusat. Ciri dasar pendekatan ini (tjokrowinoto, 1987)
adalah: (1) pemerintah tingkat atas mengaalokasikan sumber-sumber mereka
kepada daerah sedemikian rupa untuk menghasilkan pengerahan sumber ditingkat
daerah, (2) pendekatan ini dapat mendoorong partisipasi masyarakat melalui
identifikasi kemampuan dan potensi yang tidak terpakai serta pengerahan sumbersumber lokal, (3) pendekatan ini tepat untuk situasi yang didalamnya kemampuan
tidak terpakai pada tingkat akar rumput (grassroots), sumber-sumber pusat langka
dan tujuan diarahkan pada kepercayaan diri dan pengembangan kemampuan.

Model Pembangunan

Secara diakronis terdapat suatu rentangan yang luas dari model pembangunan.
Dalam beberapa literatur pembangunan ditemukan kategori model pembangunan
yang dikemukakan oleh para ahli. Untuk menyederhanakan, (tjokrowinoto 1987)
mengidentifikasi tiga kategori pembangunan, yaitu : (1) model pembangunan
beriorentasi pertumbuhan, (2) model pembangunan kebutuhan dasar, dan (3)
model pembangunan yang berpusat pada manusia.

Model pembangunan beriorentasi pertumbuhan, memandang tujuan pembangunan


sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit yakni menyangkut kapasitas
ekonomi nasional. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi disuatu
negara, maka pemilihan suatu struktur produksi dan kesempatan kerja yang
terencana untuk meningkatkan porsi indstri jasa dan manifaktur, serta mengurangi
porsi sektor pertanian secara seimbang adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Karena itu proses pembangunan terpusat pada aspek produksi, dengan harapan
dan menghasilkan peningkatan pembangunan ekonomi yang tinggi, yang juga
secara bersamaan dapat melahirkan trickle down effect.

Menurut sach (1995) didalam masyarakat akan terjadi proses yang harmonis yang
akan menyebarkan manfaat pertumbuhan ekonomi keseluruhan serta masyrakat
melalui apa yang disebut mekanisme teteskan kebawa (trickle down mechanism).
Model ini juga mengasumsikan bahwa angka pertumbuhan ekonomi serta negara
terutama tergantung pada tingkat envestasi tertentu. Karena itu peran pemerintah
sejak semula bersidat entrepreneurial (tjokrowinoto, 1987).

Model pembangunganan kebutuhan dasar atau kesejahteraan muncul sebagai


sebuah refleksi dan untuk mengoreksi kekurangan model pembangunan
beriorentasi pembangunan. Model ini menekankan bahwa masalah kemiskinan
dinegara-negara sedang berkembang harus mendapat perhatian serius. Model
pembangunan yang beriorentasi kebutuhan dasar atau kesejahteraan, mencoba
memecahkan masalah kemiskinan secara langsungdan tidak hanya mencoba
memecahkan melalui mekanisme tetsan kebawah. Seers (1979) mengatakan bahwa
tolak ukur perekembangan ekonomi hendaklah tidak hanya didasarkan atas
pertumbuhan pendapatan perkapita, tetapi hendaklah juga didasarkan atas tiga
kriteria yaitu (1) berkurangnya kemiskinan absolut, (2) menurunya ketimpangan,
distribusi pendapatan, dan (3) mengecilnya tingkat pengangguran.

Model pembangunan yang berpusat pada manusia adalah sebuah model


pembangunan yang lebih menekankan pada perkembangan manusia dan
kesejahteraan manusia, persamaan dan kesinambungan manusia menjadi titik
sentral proses pembangunan, pelaksanaan pembangunan yang menentukan tujuan,
sumber-sumber pengawasan dan untuk mengarahkan proses-proses yang
mempengaruhi kehidupan mereka (tjokrowinoto, 1987) korten (1988) sebagai
penganjur model pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered
development) melakukan kritik terhadap model kebutuhan dasar kurang memberi
perhatian dapa keterpusatan pada posisi dalam proses pembangunan.

Dalam pandagan yang sama, mustopadidjaja (2003) mengetengahkan model-model


pembangunan (integrated development paradigm), yang terdiri atas (1) model
pertumbuhan (2) model pemerataan (3) model pembangunan manusia, dan (4)
model peningkatan daya saing. Disamping model tersebut diatas, sebagai koreksi
terhadap model pertumbuhan yang cenderung bersifat capital intensive dan
teknologi maju yang berdampak pada eksploitasi sumber daya alam dengan
depresiasi tinggi dan merusak lingkungan, berkembang pula paradigma atau model
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang beriorentasi pada
usaha konservasi, pelestarian fungsi sumber daya alam, dan pemeliharaan serta
peningkatan kualitas lingkungan hidup.

Model pertumbuhan beriorentasi pada peningkatan pertumbuhan gross national


product dengan berasumsi bahwa hal tersebut dapat dicapai dengan menepuh
industrialisasi dan penanaman modal secara big push dengan semangat
modernisasi yang beranggapan superioritas unsur-unsur eksternal, dimana
peningkatan pendapatan perkapita dan pemerataan akan dicapai secara otomatis
sebagai akibat proses tetesan kebawah. Telah banyak kritik yang ditunjukan pada
model ini, seperti banyak mengabaikan aspek sosial demografi dan peranan sumber
daya manusia dalam proses pembangunan (mustopadidjaja, 2003).
Model pemerataan menekankan aspek sosial, lingkungan dan kelembagaan, yang
telah diabaikan dalam model pertumbuhan. Model pemerataan beriorentasi pada
pemenuhan kebutuhan pokok kemandirian, pemangunan pertanian dan perdesaan,
pemberantasan pengangguran dan ketidak merataaan harus merupakan tujuan
eksplisit pembangunan. Pembangunan yang beriorentasi pada pemerataan dan
pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk kesampatan kerja, pemberantasan
kelaparan dan kekurangan gizi, pemeliharaan kesehatan, air bersih dan perumahan
dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik bagi negara-negara berkembang
secara kebayakan.

Model pembangunan manusia menekankan aktivitas yang penuh tanggung jawab


untuk membangun kesadaran dan kemampuan insani, serta berbagai dimensi
kualitas lainnya yang melekat pada sumber daya manusia, baiik secara individual
maupun secara kolektif. Pembangunan manusia terkait dengan peningkatan
kemampuan masyarakat melalui pelatihan dan penyediaan berbagai akses ekonomi
dan sosial, juga pengakuan atas hak-hak manusia dan masyarakat, serta
penyaluran aspirasinya, belakangan diperkenalkan konsep pengembangan
kapasitas yang yang bersasaran peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan
sistem kelembagaan yang berperan dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi
masyarakat.

Model peningkatan daya saing dalam pembangunan sejalan dengan


perekembangan ekonomi dunia dan globalisasi yang diwarnai liberalisasi
perekonomian cenderung terhadap hilangnya batas-batas antara negara, yang
paling tidak dibidag perekonomian. Dalam memasuki era pedagangan bebas
tersebut bangsa-bangsa berupaya untuk mengoptimalkan manfaat dari
perkembangan borderless world economy tersebut dengan kesadaran yang
semakin tinggi bahwa untuk itu diperlukan peningkatan daya saing bangsa.

Sustainibilitas telah menjadi isu penting dalam pembangunan ekonomi dunia


terutama dalam beberapa dekade terakhir ini, karena masyarakat dunia sudah
mulai menyadari bahwa ekploitasi sumber daya alam, bisa mengakibatkan
degradasi lingkungan. Sebagai reaksi terhadap model pertumbuhan yang
mengakibatkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup, juga telah
mendorong lahirnya paradigma atau model. Pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) yakin (1997) mengatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah konsep pembangunan yang ingin menyelaraskan antara
aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumber daya alam.

Model pembangunan berkelanjutan menekankan suatu kebutuhan untuk


rekonsialisasi pembangunan ekonomi, kualitas kehidupan dan lingkungan didalam
kerangka politik yang beragam dan saling berkaitan dengan kehidupan global.
(kladen 1992) mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang disuatu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber
alam maupun sumber daya manusia secara optimal, dan dilain pihak serta pada
saat yang sama memlihara keseimbangan yang optimal diantara berbagai tuntutan
yang saling bertentangan terhadap sumber daya tersebut.

Salim 1992) menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable


development) adalah satu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat
dari sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan menyerasikan sumber
daya alam dan manusia dalam pembangunan. Dalam pandangan ini
terdaptbeberapa asumsi dasar, yaitu (1) proses pembangunan itu meski
berlangsung secara berlanjut, terus menerus, kontinu, dan ditopang oleh sumber
daya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut, (2)
sumber daya alam terutama udara air dan tanah memiliki ambang batas diatas
mana pembangunannya akan menciutkan kuantitas dan kualitasnya, (3) kualitas
lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup, (4) dalam pembangunan
berkelanjutan pola penggunaan sumber alam masa kini mestinya tidak dapat
menutup kemungkinan memilih pilihan lain dimasa depan, (5) pembangunan
berkelanjutan mengandaikan solidaritas trans generasi untuk meningkatkan
kesejahteraannya.

The global tomorrow coalition (yakin, 1997) mengemukakan bahwa pembangunan


berkelanjutan didasarkan pada asumsi sebagai berikut : (1) pembangunan ekonomi
dan kesehatan ligkungan adalah saling berkaitan satu sama lain, serta lingkungan
dan ekonomi harus diintegrasikan dari permulaan proses pengambilan keputusan
atau perumusan kebijakan, (2) maslah lingkungan adalah saling terkait satu sama
lain, (3) masalah ekonomi dan lingkungan berkaitan dengan banyak faktor seperti
sosial dan politik, dan (4) faktor ekonomi, polusi dan ekosistem tidak memandang
batas-batas negara yang mengakibatkan pentingnya kerjasama dan komunikasi
internasional.

Kebutuahan dan keselarasan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan itulah


sehingga dikembangkanlah model pembangunan berkelanjutan. Menurut klade
(1992) kelestarian dan ketahanan mencangkup tiga sasaran utama yaitu : pertama,
pengelolaan sumber alam yang terdiri dari pengelolaan hutan, pemanfaatan dan
pengelolaan tanah serta pengelolaan pemasukan air. Kedua, analisis dampak
lingkungan yang diperlukan bagi kontrol pencemaran maupun pengembangan dan
pengelolaan lingkungan buatan. Ketiga, pengembangan sumber manusia, yang
terdiri dari kontrol terhadap pertumbuhan penduduk, perencanaan mobilitas
penduduk, dan perbaikan kualitas hidup.

Krisis ekologu yang telah menyebabkan munculnya gerakan lingkungan hidup


bersangkut paut secara langsung dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak
terkendali. Kalau ini menyehatkan kondisi ini, sehingga ada suatu kelangsungan,
yang diperlukan adalah demokratisasi. Ada prasayarat bagi pembangunan
berkelanjutan, yaitu harus berada dalam ruang yang memungkinkan akses yang

sama terhadap sumber-sumber informasi, kekuatan politik, ilmu dan teknologi.


Ketahanan atau kelestarian bukan merupakan konseop yang hanya terbatas pada
aspek fisik, tetapi mencagkup inter relasi, antara politik, ekonomi, sosial, dan
lingkungan.

Pembangunan merupakan suatu proses dinamis. Artinya , sebuah usaha ke arah


tingkat ke sejahteraan dan keadilan yang lebih baik . strategi pembangunan pada
dasarnya terkait dengan nilai dan falsafah yang d anut oleh suatu masyarakat
bangsa tertentu . mengenai perkembangan pemikiran tenttang strategi
pembangunan , tjokrodjojo dan mostopa didjaja (1990) , mengemukakan tiga
strategi pembangunan , yaitu (1) strategi pembangunan bangsa , (2) strategi
pembambangunan dengan stabilitas , dan (3) strategi pembangunan dengan
keadilan.

Dikebanyakan negara sedang berkembang di awal peekembangannya memilih


pendekatan pembangunannya yang memberi penekanan utama pada segi politik
dan sosial. Dengan kata lain , negara-negara sedang berkembang banyak yang
mengupayakan pembangunan negara strategi pembangunan bangsa. Pada
prinsipnya strategi pembangunan bangsa merupakan proses yang
memperhitungkan secara integral ke seluruhan masalah-masalah masalah yang
dihadapi oleh suatu bangsa . dengan nation bulding strategy , yang menekankan
pada socio political dimension , memang sesuai untuk negara-ngara yang baru
mencapai kemerdekaannya dimana di perlukan konsolidasi politik dalam kerangka
integrasi nasionalnya . untuk itu , suatu strategi pembangunan harus memberi
kepastian terhadap penyelesaian seluruh persoalan bangsa yang dihadapi

Strategi pembangunan dengan stabiltas di mksudkan apabila suatu kestabiln politik


telah mencapain kultur dengan dan iklim politik dalam masyarakan suatu bangsa
maka sudah dapat memulai pemnagunan ekonomi. Dalam hubungan ini di perlukan
peran pemerintah untuk dapat menciptakan suatu susuasana politik yang stabil da
aman . kondisi ini d perlukan dalam proses pembanguanan , terutama
pembangunan ekonomi melaui mekanisme big pus, dan mendorong menciptakan
iklim yang kondusif untuk infestasi , dengan harapan mampu mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggal disuatu negara tertentu.

Strategi pembangunan dengan keadilan merupakan suatu strategi pembangunan


yang di terakan dikebanyakan negara berkembang , dengan penekanan orientasi
pada keadilan pemerataan . terkait dengan ini kemudian diperkenalkan strategi

pertumbnuhan dengan keadilan (growth with distributivejustice ) , yang


memberikan perhatian yang lebih banyak pada faktor sosial dalam pembangunan .
Kecenderungan Baru ini didorong oleha adanya pengalaman bahwa pencapaian
tujuan pembangunan di negara-negara sedang berkembang tidak hanya dalam
ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi , tetapi juga perlu memberikan perhatian
pada pembangunan sosial.

Sekalipun strategi tentang pertumbuhan dan keadilan mempunyai aspeek-aspek


tertentu yang sama , tetapi menurut pengalaman pembangunan di egara-negara
sedang berkembang , pemikiran ini sulit dicapai secara bersamaan. Menurut thee
kian wie investasi (1987), strategi pembangunan dengan memadukan pertumbuhan
dan keadilan , mencakup tujuh pilar , yaitu : (1) penciptaan lapangan kerja, (2)
penyaluran kembali investasi , (3) peenuhan kebutuhan dasar , (4) pengembangan
sumber daya manusia, (5) penguatan pembangunan pertanian, (6) pembangunan
perdesaan yang terpadu, (7) tata ekonomi internasional baru.

Masalah pembangunan di negara berkembangan sangat luas dan pelik , dengan


keterbatasan sumber daya yang ada menuntut adanya sebuah pilihan yang tepat
dalam pengelolaan pembnagunan . briant dan white (1987), mengatakan bahwa
dalam melaksanakan pembangunan di perlukan beberapa strategi yang berkenan
dengan (1) perancangan dan pelaksanaan program , (2) pemantauan dan evaluasi,
(3) desentralisasi dan koordinasi , (4) peranan administrtor lokal, (5) pengeloaan
peranserta, (6) perencanaan pembangunan dan pengelolaannya.

MANAJEMEN PEMBANGUNAN

Konsep manajemen pembangunan (management of development) merupakan


sebuah perspektif dan istilah lain dari konsep administrasi pemabngunan
(administration of development), karena melihat peran administrasi dalam
mewujudkan pembangunan (bryant dan white, 1987 dan esman, 1991). Karena itu
pada dasarnya dapat dikatakan bahwa masalah administrasi pembangunan adalah
juga maslah manajemen pembangunan (mustopadjaja, 1989).

Menurut emahaman saya, manajemen pembangunan dapat diartikan sebagai suatu


bidang kajian yang membahas peranan manajemen publik dalam proses
pembangunan nasional . kartasasmita (1997) mengatakan bahwa study mengenai
manajemen telah banyak mengalami perkembangan, namun teori dasarnya tidak
berubah termasuk kegiatan yang dilakukan oleh manajemen, yaitu perencanaan
pelaksanaan, dan pengawasan. Fungsi manajemen dalam sistem administrasi dan
pembangunan, dan dinegara yang sedang berkembang maupun dinegara maju itu
sama saja, yang berbeda adalah penekanannya.

Perencanaan Pembangunan

Pembangunan pada dasarnya berlangsung dalam suatu kurung waktu sehingga


perencanaa disusun untuk mencapai tujuan pembangunan senantiasa sebagai
suatu lingkaran proses yang tidak berkeputusan. Perencanaan merujuk kepada
keterkaitan yang tidak terpisahkan antara kebutuhan pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan. Perencanaan diperlukan karena kebutuhan
pembangunan lebih besar daripada sumber daya yang tersedia dengan perencaan
ingin dirumuskan berbagai kegiatan pembangunan yang secara efisien dan efektif

dan memberi hasil yang optimal dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia
dan mengembangkan potensi yang tersedia dalam pembangunan.

Perencanaan pembangunan (development planning) merupakan fungsi utama dari


manajemen pembangunan. Perencanaan sebagai fungsi manajemen adalah usaha
yang secara sadar terorganisir, dan terus menerus melakukan guna memilih
alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu
(waterston, 1967). Perencanaan merupakan penerapan yang rasional dari
pengetahuan manusia terhadap proses pencapaian keputusan yang berperan
sebagai dasar perilaku manusia (conyes, 1991) menurut bryant dan white (1987),
hakikatnya perencanaan adalah upaya pemerintah untuk memperbesar
kapasitasnya membuat pilihan guna mempertimbangkan dan menentukan alternatif
yang akan ditempuhnya diantara alternatif-alternatif yang tersedia.

Schoorl (1985), mengatakan bahwa perencanaan adalah proses dalam menyiapkan


seperangkat keputusan mengenai tindakan dikemudian hari, yang ditujukan untuk
mencapai tujuan-tujuan dengan menggunakan cara-cara yang optimal. Dari
pandangan ini terkandung 7 unsur yaitu : (1) ada kegiatan yang berjalan terus
menerus untuk mencapai keputusan keputusan tertentu, (2) biasanya institusi yang
merencanakan dan yang melaksanakan itu berbeda, (3) perencanaan itu
mencangkup bermacam-macam keputusan tentang kegiatan yang berbeda-beda,
(4) menetapkan keputusan mengenai suatu tindakan, (5) masih ada ketidak pastian
mengenai kemungkinan dan cara-caranya untuk mencapai tujuab yang dimaksud,
(6) perencanaan itu ditujuakan untuk mencapai tujuan, dan (7) cara-cara itu harus
diseleksi secara nasianal agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai sebaikbaiknya.

Perencanaan pembangunan adalah upaya sadar untuk melakukan fungsi


perencanaan dalam pembangunan yang mencangkup tugas-tugas berikut (bryant
dan white, 1987) :
1. mengumpulkan dan menaksir indikator-indikator agregat bagi kondisi-kondisi
sosial ekonomi bagi suatu negara.
2. Mengumpulkan dan menaksir data tentang sektor-sektor penting dalam
perekonomian negara.
3. Mengidentifikasi hubungan-hubungan antara sektor-sektor dalam rangka
menunjukan secara jelas bidang bidang kegiatan yang esensial untuk persoalanpersoalan yang penting.

4. menunjukan secara jelas pendekatan-pendekatan alternatif kearah pembenahan


masalah-masalah yang mempengaruhi perekonomian seacara keseluruhan, dan
masalah-masalah yang mempengaruhi sektor sektor tertentu.
5. mengidentifikasi implikasi pendekatan-pendekatan alternatif itu terhadap alokasi.
6. melakukan indentifikasi alternatif beserta penjelasannya yang tegas dan rinci
kepada pembuat keputusan tingkat atas. Memaparkan implikasi alternatif itu
berdasarkan kaitan-kaitan sektoral.
7. menyusun tindak lanjut bagi keputusan-keputusan yang diambil pada
pembahasan perencanaan yang berlangsung sebelumnya.
8. terus menerus mamantau indikator-indikator kesejahteraan ekonomi dan sosial
dan memantau indikator-indikator hubungan sektoral.
9. melaksanakan evaluasi dan memastikan hasil-hasil yang telah dicapai tercangkup
dalam perencanaan-perencanaan dan kebijakan-kebijakn berikutnya.

Kartassasmita (1997) mengatakan bahwa perencanaan pembangunan pada


umumnya hams memiliki, mengetahui dan memperhitungkan beberapa unsur
pokok, yaitu : (1) tujuan arti yang dikehendaki, (2) sasaran dan prioritas untuk
mewujudkannya, (3) jangka waktu mencaai sasaran tersebut, (4) masalah-maslah
yang dihadapi, (5) modal atau sumber daya yang akan digunakan serta alokasinya,
(6) kebijakan untuk melaksanakannya, (7) organisisasi dan sumber daya manusia,
dan (8) mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pengawasan.

Sebab perencanaan pembangunan dilihat dari segi ruang lingkupnya dapat


dibedakan atas perencanaan sosial, sektoral, dan spasiliant. Dari segi tingkat
pemerintahan, perencanaan pembangunan dapat berupa perencanaan ingkat pusat
dan tingkat daerah. Dilihat dari dimbensi waktu, perencanaan pembangunan terdiri
dari perencanaan jangka panjang, menengah, dan jangka pendek. Suatu
perencanaan dilihat dari segi proses dan mekanismenya dapat bersidat top down
atau botton uplanning, dan dapat merupakan gabungan dari kedua mekanisme
tersebut.

Perencanaan pembangunan mempengaruhi dan terpengaruh oleh berapa banyak


dan bagaiamana bentuk interfensi dalam suatu perekonomian yang dianggap perlu
untuk menjamin tersediannya barang dan jasa. Menurut mustofa didjaja (1989),
untuk perencanaan dapat dilakukan dan bahkan diperlukan untuk pembangunan,
apabila memenuhi syarat sebagai berikut : (1) bersifat garis besar dan bersifat

indikatif, (2) mengendalikan dan mengarahkan investasi pemerintah yang


mendorong meningkatnya usaha masyarakat swasta, (3) mendorong
bekerjasamanya pasar, (4) mengikut sertakan masyarakat dalam prosesnya, dan (5)
memajukan masyarakat dan wilayh dengan memperoleh akses faktor-faktor
reproduksi.

Sistem perencanaan yang berhasil diterapkan diberbagai negara khususnya


dinegara maju dan terbukti kemajuannya adalah sistem perencanaan yang
mendorong berkembangnya mekanisme pasar dan peran serta masyarakat. Dalam
sistem tersebut perencanaan dilakukan dengan menentukan sasaran secara garis
besar dalam bidang sosial dan ekonomi, dan dalam pelaksanaannya pelaku
utamanya adalah masyarakat dan sektor swasta.

Diindonesia, sistem perencanaan pembangunan mengalami banyak perkembangan


sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan pendekatan dan model
perencanaan. Pendekataan baru dalam perencanaan pembangunan sangat
dipengaruhi oleh dua bentuk perubahan (conyerss, 1991), (1) perubahan-perubahan
dalam ruang lingkup dan substansi perencanaan pembangunan yang pada
gilirannya dapat pula dianggap sebagai perubahan konsep perencanaan
pembangunan itu sendiri, (2) perubahan metodologi pada perencanaan
pembangunan.

Setidakknya, model perencanaan pembangunan yang digunakan sejak


pemerintahan era reformasi adalah model perencanaan stratejik merupakan
serangkaian rencana tindakan dan kegiatan mendasar yang dibuat oleh pimpinan
puncak untuk diimplementasikan.

Oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam pencapaian tujuan organasisasi


perencanaan stratjik untuk institusi pemerintah merupakan integrasi antara
keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab
tuntutan perkembangan lingkungan. Strategis, nasional, dan global, serta tetap
berada dalam tatanan sistem perencanaan nasional.

Modal perencanaan stratejik (straegick palnning) yang slama ini dijadikan dalam
refensi dalam proses perencanaan pemabngunan adalah model perencanaan
stratejik dari whith takker (1993) dan briysson (2001). Dalam perspektif ini
dijelaskan bahwa perencanaan stratejik adalah upaya yang didisiplinkan untuk

membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu


bagaimana menjadi organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, dan mengapa
organisasi mengerjakan hal seperti itu. Perencanaan stratejik adalah salah satu cara
membentuk organisasi dan komunitas mengatasi lingkungan mereka yang telah
berubah.

Dalam perkebangan selanjutnya, muncul sistem perencanaan pembangunan


nasional, ditetapkan sebagai dasar dan kebijakan nasional yang mengatur
perencanaan pembangunan nasional. Sistem perencanaan pembangunan nasional
adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, menengah, dan tahunan
yang dilaksanakan oleh penyelenggaraan negara dan masyarakat ditingkat pusat
dan daerah.

Sistem perencanaan pembangunan nasional bertujuan untuk : (1) pendukung


koordinasi antar pelaku pembangunan, (2) menjamin terciptannya itegrasi,
singkroniasasi, dan sinergi, baik antar daerah, antar ruang, antar fungsi pemerintah,
maupun antar pusat dan daerah, (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengwasan, (4) mengoptimalkan
antisipasi masyarakat dan (5) menjamin tercapainya pengguna sumber daya efisien
dan efektif, serta berkeadilan dan berkelanjutan.

Karena perencanaan, merupakan upaya untuk memahhami dan mengontrol


komitmen-komitmen yang akan datang, harus dilakukan dalam kaitan dengan
proses penganggaran (bryant dan whyte, 1987). Penganggaran merupakan salah
satu kegiatan utama setiap manajemen. Penganggaran sangat erta kaitannya
dengan perencaan karen apada prinsipnya oenganggaran merupakan rencana
pembiayaan yang disusun dalam kurun waktu yang telah ditentukan kartasasimata,
(1967).

Rubbin (1992) mengatakan bahwa anggaran menghubungkan tugas yang akan


dihubungkan dengan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakannya.
Anggaran membatasi pengeluaran sebanding dengan penerimaan, menjaga
keseimbangan , dan mencega pengeluaran yang berlebihan. Dalam anggaran
negara terkait antara rakyat sebagai pembayar pajak dengan pemerintah sebagai
pengguna dana yang bersumber dari rakyat. Selanjutnya dikatakan bahwa
anggaran negara selain meiliki aspek teknis juga aspek politis, dalam
penyelenggara pembangunan bangsa.

Pelaksanaan pembangunan

Pelakasanaan pembangunan adlaah sebelum kegiatan-kegiatan yang saling


berkaitan yang memberi kemungkinan-kemungkinan dan berabagai fasilitas
pencapaian sasaran yang telah ditentukan didalam perencanaan pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang harus mencangkup aspek kelembagaan dan ideologi
(katz, 1987). Manajemen pembangunan yang baik merupakan faktor penting yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan melalui program atau proyek (bryant dan
whyte, 1987).

Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah biasanya dituangkan dalam


mekanisme proyek-proyek pembangunan (kartasasmita, 1997). Proyek-proyek
pembangunan harus memuat dengan jelas tentang tujuan dan sasaran yang akan
dicapai, cara engukur keberhasilannya, jangka waktu pelaksanaan, tempat dan cara
melaksanakan, biaya serta tenaga yang diperlukan, dan institusi yang
melaksanakan kegiatan pembangunan.

Dalam pelaksanaan pemabngunan sebab proyek dapat dilakukan sendiri oleh


institusi pemerintah, disamping perusahaan swasta dan pihak asing, terkait dengan
pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah adalah tugas manajemen
pembangunan untuk menjalin bahwa proye-proyek pembangunan yang secara fisik
dibiayai dan dilaksanakan oleh pemerintah, berjalan seperti yang dikehendaki dan
mencapai sasaran dengan cara yang se efisien mungkin. Menurut kartz (1987),
pemerintah negara-negara sedang berkembang mempunyai peranan yang utama
dalam pelaksanaan pembangunan.

Bahkan dengan tegas esman (1991), megatakan bahwa dibanyak negara sedang
berkembang, pemerintah memiliki lebih banyak kesanggupan untuk melaksanakan
pembangunan daripada kelompok masyarakat lain yang terorganisir dengan kata
lain, karena berbagai alasan kadang-kadang dianggap bahwa kebijakan tertentu
untuk mewujudkna kesejahteraan sosial ekonomi tidak dapat dicapai jika
pembangunan dilaksanakan oleh swasta (eatom, 1986). Pembangunan sebagai
proses perubahan dalam berbagai faktor yang saling berkaitan dan mendalam
sifatnya, menentukan agen of changer yang memiliki kekuasaan dan sumbersumber daya yang besar, dan itu adalah keberhasilan ataupun kegagalan
pelasanaan pembangunan. Untuk mengelola pelaksanaan pembangunan perlu ada
mobilisasi sumber daya serta kemampuan lembaga pemerinta yang akan

melaksanakannya. Selain itu, untuk mewujudkan pencapaian hasisl dari sebuah


proyek diperlukan strategi pelaksanaan yang efektif.

Monitoring dan evaluasi pembangunan

Terkait dengan proses pelaksanaan pembangunan, salah satu kegiatan dan fungsi
manajemen pembangunan yang dipandang penting adalah pemantauan
(monitoring). Sebagai suatu fungsi dalam proses pembangunan, monitoring bahkan
sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pemabngunan.
Esman (1991) mengatakan bahwa monitoring adalah sebab prosedur dalam
manajemen pembangunan untuk memberikan informasi tentang sejauh mana
kegiatan pembangunan trelah dilaksanakan sesuai dengan yang direncakan.
Dengan monitoring diharapkan selain memberikan informasi mengenai perogaram
yang berlangsung, juga sebagai umpan balik sehingga dapat dilakukan perubahanperubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang segera.

Monitoring ditunjukan untuk melihat kemajuan keberhasilan suatu pelaksanaan


pembangunan sesuai dengan yang direncanakan. Kartasasmita, menekankan
bahwa pemantauan diperlukan agar pelaksanaan pembangunan yang bergesaer
dari rencana dapat diketahui secara dini dan diambil langkah-langkah yang sesuai.
Pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana yang disebabkan
antara lain oleh : (1) hambatan yang tidak diketahui atau diperhitungkan pada saat
perencanana dilakukan, (2) perkembangan keadaan yang tidak dapat diantisipasi
pada tahap perencanaan, (3) realisasi dari perkiraan yang berbeda dari
perencanaan, dan(4) karena perencanaannya yang keliru.

Monitoring memainkan peran metodologis yang penting dalam pengelolaan


pembangunan menurtu dunn (2000) monitoring setidaknya memainkan empat
fungsi yaitu : (1) kepatuhan yang berarti bahwa kegiatan monitoring bermanfaat
untuk menentukan apakah tindakan yang telah dilakukan sesuai dengan standar
dan prosedur, (2) pemeriksaan yaitu bahwa dengan monitoring dapat membantu
menentukan apakah sumber daya dan program yang dimaksudkan memang telah
sampai kelompok sasaran, (3) akuntansi yaitu bahwa kegiatan mentoring
menghasilkan informasi yang bermanfaat utuk melakukan perubahan sosial dan
ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya kegiatan pembangunan, dan (4)
esplanasi yaitu bhawa mentoring juga menhimpun infomasi yang dapat
menjelaskan mengapa hasil pembangunan dengan rencana yang berbeda.

Evaluasi atau penilaian merupakan salah satu fungsi manajemen pembangunan


yang dipandang penting, karena menyangkut upaya untuk mengetahui apa yang
terjadi dan mengapa itu terjadi. Istilihaf evaluasi mempunyai arti yang
berhubungan, masing-masing menunjuk pada penerapan beberapa nilai terhadap
hasil pembangunan. Pada dasarnya istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penfsiran (appraisal), dan penilaian assesment, yang menjelaskan sebuah usaha
untuk menganalisis hasil kegiatan pembangunan dalam arti satuan nilainya. Bryant
dan white (1987) menyatakan bahwa secara sederhana evaluasi berkenan dengan
kegiatan pengumpulan informasi tentang keadaan sebelumnya dan sesudah
pelaksananaan pembangunan.

Informasi yang dihasilkan dari evaluasi merupakan seuah nilai yang menurut said
(2006) terkait dengan aspek : (1) efisiensi, yakni perbandinga antaea hasil dan
biaya, (2) keuntungan yaitu selisih antara hasil da biaya, (3) efektif yakni penilaian
pada hasil tanpa memperhitungkan biaya. (4) keadlian yaitu keseimbangan dalam
membentuk pembangunan hasil, dan (5) manfaat tambahan dalam arti tambahan
hasil dibanding biaya yang dikeluarkan.

Menurut standt (1991) evaluasi memainkan tiga fungsi utama, yaitu (1) memberi
informasi yang falid dan dapat dipercaya mengenai kinerja pembangunan yaitu
seberaa besar kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui
tindakan publik, (2) memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilainilai yang mendasari pemilihan tujuan dan sasaran, dan (3) memberi sumbangan
pada aplikasi metode penilaian hasil-hasil program dan rekomendasi. Sementara
itu, pendekatan evaluasi terdiri atas evaluasi semu, evaluasi vormal, dan evaluasi
keputusan teoritis.

Sebagai serangkaian prosesdur yang diciptakan untuk menganalisis hasil-hasil


pembangunan, evaluasi yang dimaksudnkan menjadi dasar dalam pengukuran
kinerja pembangunan. Menurut kartasasmita (1997) dalam rangka evaluasi, dikenal
adanya evaluasi kinerja (performance evaluation) yang dapat memberikan
informasi tidak hanya menyangkut keluaran, tetapi lebih dari itu menyangkut hasil
dan manfaat, termasuk juga dampaknya. Dengan evaluasi yang dilaksanakan
secara sistematis dan melembaga diharapkan dapat mewujudkan sasaran yang
telah ditetapkan yaitu tercapainya hasil yang optimal dari setiap investasi yang
dilakukan, terciptanya efisiensi, dan peningkatan produktifitas dalam pengelolaan
sumberdaya, serta peningkatan kualitas produk dan jasa yang ingin dihasilkan.

Untuk mengenai informasi mengenai kinerja pembangunan diperlukan penggunaan


kriteria untuk memberikan penilaian. Terkait dengan kriteria evaluasi yang
dikemukakan oleh dunn (2000) didasarkan pada beberapa pertanyaan, yaitu (1)
apakah hasil yang diinginkan telah tercapai (efektivitas), (2) seberapa banya usaha
diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan (efisiensi), (3) seberapa besar
pencapaian hasil yang diinginkan dapat memecahkan masalah (kecukupan), (4)
apakah biaya dan manfaat didistribusikan denganmerata kepada kelompokkelompok yang berbeda (keadilan), (5) apakah hasil pembangunan memuaskan
(responsivitas), dan (6) apakah hasil yang dicapai benar benar berguna atau bernilai
(ketepatan).

Secara spisifik, esman (1991) mengemukakan kriteria efisiensi, dengan


mempertanyakan, (1) berapa jauh suatu proyek mengembangkan lembagalembaga yang akan mampu melaksanakan dan melestarikan daja pelayanan dari
waktu kewaktu, (2) apakah proyek dapat menjangkau kelompok padaran yang telah
ditetapkan., (3) banyakanya perubahan-perubahan yang terjadi , dan (4) apakah
organiasasi dapat memetik pengajaran dari pengalam proyek dan mengubah
keputusannya agar sesuai dengan tugas pembangunan . sekalipun segala perhatian
dan energi yang telah di arahkan pada kegaiatan evaluasi , tetapi lembaga yang
melakuakan evaluasi juga terkadang kendala dalam pelaksanaannya . dalam
hubungan itu , bryant dan white (1987) merumuskan empat jenis kendala evaluasi ,
yaitu sebagai berikut : (1) psikologi, (2) ekonomis , (3) teknis, dan (4) politis.

Pengawasan Pembangunan

Pengawasan merupakan salah satu fungsi primer dan manajemenyang


dimaksudkan untuk menjamin agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Melalui pegawasan
dapat diawasi sejauh mana penyimpangan, penyalahgunaan, kebocoran,
pemborosan, dan penyelewangan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
Kartasasimita (1997), mengatakan salah satu fungsi pengawasan adalah
meningkatakan pertanggung jawaban dan trnasparansi sektor publik. Pengwasan
pada daasarnya berfungsi menekankan langkah-langkah pembenahan atau koreksi
bila dalam suatu kegiatan terjadi perbedaan dari tujuan yang telah ditetapkan .

Karena pengawasan pelaksanaan pembangunan merupakan rangka kegiatan untuk


melihat erkembangan pelaksanaan pembangunan, maka diperlukan tindakan agar
kegiatan pembangunan senantiasa sesuai dengan rencana yang ditetapkan.

Dengan kata lain pengawasan adalah suatu kegiatan untuk mempereloleh kepastian
apakah pelaksanaan kegiatan telah dilakukan sesuai dengan rencana semula.
Dengan demikian bila terjadi penyimpangan segera diambil tindakan koreksi. Untuk
itulah, kegiatan pengawasan harus bersifat obyektif dan faktual berkenan dengan
realitas pelaksanaan pembangunan. Sesungguhnya pengawasan bukan merupakan
suatu tujuan melainkan sebagai sarana untuk menigkatkan efisiesi dalam
melaksanakan kegiatan.

Dengan pengawasa yang dimaksudkan membentu manajemen dalam 3 aktivitas,


yaitu meningkatkan kerja organisasi, memberikan pandangan atas kinerja
organisasi, dan mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atau sebuah
pencapaian kinerja. Dalam pandangan kast dan rosenzweight (1990), fungsi
pengwasan mencangkup 4 dimensi, yaitu (1) penentuan standar kinerja, (2)
penentuan instrumen pengawasan yang dapat dipergunakan dalam mengukur
kinerja suatu kegiatan, (3) perbandingan hasil yang dicapai dengan yang
diharapkan, dan (4) mengambil tindakan pembenaan.
Pengawasan pembangunan merupakan bagian yang penting sebagai suatu fungsi
primer dari manajemen pembangunan. Pengawasan dapat menghasilkan keputusan
untuk melaksanakan koreksi dan perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan. Mustopadidjaja (2003) menjelaskan bahwa pengawasan
ditijukan untuk menciptakan tata pemerintahan yang efisien dan efektif, sehingga
dengan pengawasan diharpkan dapat diperoleh masukan bagi pengambilan
keputusan untuk : (1) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan ,
penyelewangan, pemborosan, hambatan, dan ketidak adilan, (2) mencegah
terulangnya kembali maslah tersebut, (3) mendapatkan cara-cara yang terbaik
untuk mencapai misi organisasi.

Pemahaman terhadap sistem dan mekanisme pengawasan pembengunan


diinidonesia secara substantial harus diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi
pemerintahan. Dalam pelaksanaan pembangunan selama ini, dikenal beberapa
bentuk pengawasan pembangunan yaitu pengawasan fungsional, pengawasan
melekat, masyarakat, dan pengawasan politik. Pengawasan fungsionla dilakukan
oleh aparatur pemerintah terhadap jalannya berbagai program dan proyek
pembangunan terkait dengan penggunaan sumber pembiayaan pembangunan
disetiap intansi pemerintah, baik ditingkat pemerintah pusat maupun didaerah.

PEMBANGUNAN SOSIAL

Konsep Pembangunan Sosial

Dalam perkemabangan pembangunan dinegara-negara sedang berkembang, yang


pada awalnya ditekankan pada pembangunan ekonomi dengan model pertumbuhan
ekonomi tetapi kemudian dilengkapi dengan pemabngunan sosial (social
development). Model pembangunan sosial lebih diotientasikan pada kriteria yang
lebih luas (chodack, 1973). Konsep sosial dalam konteks pembangunan sosial
berkaitan dengan katakteristik yang ada disuatu negara dan didalam masyarkatnya,
seperti pemberian fasilitas sosial, perhatian pada pelibatan masyarkat,
mengutakaman faktor-faktor non ekonomi, persamaan kesempatan, kebebasan
berbicara, partisipasi, dan keadilan (conyers, 1991).

Pembangunan sosial diartikan sebagai peningkatan kesejahteraan sosial yang


secara umum diukur menurut indikator sosial seperti harapan hidup, angka
kesempatan kerja dan tingkat pelayanan sosial yang penting (diwan dan liffing
stone 1979). Dasar pemahaman pembangunan sosial adalah bahwa manusia bukan
ekonomi dan teknologi. Dengan demikian pemabngunan sosial mencoba
mempromosikan kekuatan manusia ? bukan memperkuat ketergantungan yang
mencipatakan hubungan antar pemerintah dan masyarakat. Konsep pembangunan
sosial yang demikian meliputi suatu usaha terencana untuk meningkatkan
kemampuan dan potensi manusia.

Menurut UNCRD (1988), pembangunan sosial tidak hanya diukur melalui


peningkatan akses pelayanan seperti pendidikan kesehatan, dan kesejahteraan,
melainkan melalui kemajuan dalam pencapaian tujuan yang lebih kompleks dan
terkadang beraga seperti persamaan, keadilan sosial, juga peningkatan
kemampuan manusia untuk bertindak, sehingga potensi kreaktif mereka dapat
dikembangkan dan membentuk perkembangan sosial. Tedjokrowinoto (1987),
mengatakan bahwa pembangunan sosial sebagai usaha terencana meningkatkan
kemampuan manusia untuk berjuang guna menciptakan suatu lingkup yang
menjadikan setiap warga masyarakat yang memiliki kesempatan menjadi
masyarkat yang berguna dan produktif, serta menciptakan kondisi yang
memungkinkan bagi perkembangan diri manusia secara terus menerus.

Makna pembangunan sosial sebagai usaha terencana meningkatkan kemampuan


manusia untuk bertindak, merupakan sebuah refleksi terhadap model
pembangunan nasional yang berorientasi pertumbuhan ekonomi maupun model
pembangunan sosial yang berorientasi pada kebutuhan dasar. Pendekatan
pembangunan yang menekankan pada kesejahteraan sosial dan kebutuhan dasar
serta model pembangunan yang berorientasi pada manusia dapat membangkitkan
kemampuan manusia dalam pembangunan (korten, 1988) dan chodack, 1973).

Perencanaan Sosial

Munculnya perencanaan sosial (social planning) sebagai sebab pendekatan baru


dalam perencanaan pembangunan terkait denga perubahan subtansi dan
metodologi perencanaan, juga karena didasarkan pada suatu anggapan bahwa
perencanaan sosial mempunyai kaitan erat dengan maslah perencanaan dan
pemabngunan kesejahteraan sosial. Dalam pembangunannya kemudian konsep
perencanaan sosial terkait dengan isu yang berhubungan dengan konsep
pemerataan sosial (social equality) atau keadilan sosial (social justice) serta
dampaknya terhadap proses perubahan dan perkembangan sosial.

Dalam internasional Encyc clopedia of the social science dijelaskan bahwa social
planning infolfes the drawing up plans for future action in regard to social
institutions and resources (esce hoorld, 1985) pemahaman ini menekankan bahwa
perencanaan sosial itu meliputi penetapan rencana-rencana untuk kegiatan yang
akan datang yang berhubungan dengan lembaga-lembaga dan sumber-sumber
sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bawha perencanaan sosial itu dapat juga
dimaknai sebagai sebuah perencanaan untuk masyarakat (societal planning).

Sebagai perencanaan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, maka fungsi


perencanaan sosial (esc hoorld 1985), mencangkup (1) perencanaan sosial
dipandang sebagai keharusan politik, dan sekaligus juga sebagai pembentuk
pengurangan anggaran untuk bidang ekonomi, (2) perencanaan sosial merupakan
sarana dari pemabngunan sosial, disamping pembangunan ekonomi yang diarahkan
pada human capital, (3) perencanaan sosial terkait dengan sebuah kegiatan
perkembangaan sosial, dan (4) perencanaan sosial juga dipandang sebagai suatu
bentuk pengawsan sosial (social control).

Perencanaan sosial terkadang dimaknai secara spesifik sebagai perencanaan untuk


melakukan perubahan struktur masyarakat (sosial Structural change), konsep
perubahan struktur masyarakat merupakan pendekatan yang sangat penting dalam
perencanaan sosial dan kebijakan sosial dalam usaha mewujudkan keadilan sosial.
Conyers (1991), mengatakan bahwa perencanaan sosial mencangkup tiga bidang
yang besar, yaitu : (1) perencanaan pelayanan sosial, (2) memperhitungkan
prioritas sosial dalam kegiatan perencanaan, dan (3) memberi jaminan terhadap
adanya partisipasi yang luas dalam perencanaan.

Secara kontekstual, masalah perencanaan sosial juga berhubungan dengan


kebijakan sosial (social policy). Isu kebijakan sosial dinegara-negara berkembang
yang dalam perumusannya melibatkan perencannaan sosial diarahkan untuk
mewujudkan sebuah perubahan atau pembaharuan sosial. UNCRD (1988),
mengatakan bahwa subtansi kebijakan sosial meliputi, poverty and social security,
education and training, health policy, personal social service, houshing policy,
employment policy and family policy.

Beberapa isu kebijakan sosial yang perlu mendapat perhatian dalam perencanaan
pelayanan sosial adalah urgensi pelayanan sosial, distribusi pelayanan, jenis-jenis
pelayanan sosial yang harus direalisasikan, pernanan pemerintah dalam pengadaan
pelayanan sosial, dan pembiayaan pelayanan sosial (conyers 1991). Kebijakan
pembangunan sosial ditujukan untuk menciptakan peluang bagi masyarakat miskin
agar dapat menjlani kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka sendir, sehingga
pada akhirnya akan menimbulkan perubahan hidup masyarkat secara permanen.

Dalam perencanaan sosial yang demikian mempunyai implikasi berupa perubahanperubahan mendasar dalam metode perencanaan pembangunan. Salah satu
pendekatan baru dalam pembangunan sosial dan perencanaan sosial adalah

metode perencanaan partisipatif (particy patori planning). Perencanaan partispatif


sangat penting dalam proses pembangunan, terutama pembangunan komunitas
karena adanya pelibatan stake holders pemabngunan, yang dirumuskan
berdasarkan kebutuhan masyarakat, sehingga memungkinkan dapat efisien dan
efektif dalam pekasanaanya.

Pembangunan Komunitas

Pendekatan pembangunan komunitas (communty development), dalam perspektif


perencanaan sosial (tedjo krowinoto, 1987), dimaksudkan sebagai sebuah usaha
untuk mengembangkan atau menigkatkan kualitas hidup suatu masyarakat atau
komunitas (community), dengan tujuan untuk mendorong dan membantu
pendayagunaan sumber-sumber lokal guna meningkatkan taraf hidupnya.

Istilah pembangunan komunitas (community development) telah digunakan secara


internasional dalam arti sebagai proses, dimana semua usaha swadaya masyarakat
digabung dengan usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi
masyarakat dibidang ekonomi, social dan kultural serta untuk mengintegrasikan
masyarakat yang ada kedalam kehidupan berbangsa, dan memberi kesempatan
yang meungkinkan suatu masyarakat untuk membantu secara penuh pada
kemajuan dan kemakmuran bangsa. Selanjutnya, dikatakan bahwa pembangunan
komunitas diartikan sebagai suatu pendekatan yang menekankan adanya
partisipasi publik secara langsung dalam proses pembengunan (conyers 1991)

Walhi (2008) merumuskan bahwa pembangunan komonitas adalah sekumpulan


orang yang mediami suatu lokasi, beriniatif untuk bersama-sama melakukan suatu
proses aksi sosial untuk merubah keadaan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkup
mereka. Dalam pembangunan komunitas terdapat 3 dimensi nilai, yaitu partisipasi
dan kolaborasi yang demokratis, keadilan yang merata, dan self determination.

Komunikasi (community) sebagai sebuah konsep menyandang tiga makna


pemahaman, yaitu (1) konsep komunitas memiliki komponen-komponen fisik, dalam
arti adanya sekelompok manusia adanya sekelompok manusia yang hidup disuatu
daerah tertentu dan saling mengadakan interaksi, (2) anggota komunitas pada
umumnya memiliki beberapa ciri yang sama yang menyebabkan timbulnya
identifikasi mereka sebagai sebuah kelompok, dan (3) sebuah komunitas
seharusnya memiliki suatu keserasian dasar dalam arti perhatian dan aspirasi.

Sedangkan pembangunan (deveopment) dimaknai sebagai pengembangan,


perbaikan, pertumbuhan, dan perubahan.

Pembangunan komunitas berkenan dengan dimensi self-help, technichal assistance,


dan konflick (tedjokrominoto 1987). Dengan self helf dimaksudkan untuk
merangsag kesadaran komunitas akan kemampuannya sendiri untuk menoloh
dirinya sendiri dengan kata lain, pendekatan self helf bermaksud mendorong
perkembangan komunitas melalui partisipasi stake holders. Techical asistance lebih
ditekankan pada proses pembimbingan teknis dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Konflick menekankan pada poalrisasi kelompok berdasarkan isu dan
menstimulasi antar kelompok.

Pendekatan pemabngunan komunitas dipadang sebagai suatu gerakan yang


dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui
partisipasi aktif, dan bila memungkinkan berdasarkan inisiatif masyarakat (walhi,
2008) selanjutnya, dikemukakan beberapa prinsip dalam pembangunan komunitas,
yaitu : (1) kebutuhan komunitas harus dilihat dalam pendekatan yang holistik, (2)
pembangunan komunitas adalah sebuah proses, (3) pemberdayaan merupakan
sebuah hasil pengaruh dan partisipasi, (4) aktivitas yang dijalankan harus menjamin
bahwa ada perhatian terhadap lingkungan, (5) mempertimbangkan berkelanjutan
(sustainability, dan (6) kemitraan antara seluruh pelaku pembangunan dan
memberi akses pada sumber daya secara lebih adil.

Dalam perkembangan pembangunan komunitas, kemudian berkembang konsep


community base management yang juga menekankan pada komunitas, dimana
komunitaslah sebagai pelaku utama pembangunan. Kemudian muncul konsep
community based resources management (korten, 1988), yang merupakan suatu
pendekatan pemabngunan yang diarahkan pada kesalinghubungan antar manusia
dengan segala dimensinya dalam suatu lingkungan tertentu. Pendekatan ini
mencoba mengintegrasikan disiplin ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta melihat
pada berbagai institusi sosial yang ada.

Untuk melaksanakan pendekatan pemabngunan yang berbasis pengelolaan sumber


daya lokal, diperlukan penguatan melalui penerapan konsep capacity building untuk
komunitas. Pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan suatu strategi
yang dapat diterapkan dalam pembangunan, terutama yang terkait aktivitas
bersama dengan masyarakat. Menurut grindle (1997), capicity building adalah
strengthening peoples capacity to determine their own values and priorities, and to

organize themselves to act on these, is the basic of development. Selanjutnya,


dikatakan bahwa strategies for capacity building mencangkup developing human
resources, strengthening organization, and reforming institution.

Sebagai konsep pembangunan, pengemabngan kapasitas juga menyangkut


permasalahan hubugan sosial dan politik. Dalam melakukan capacity building akan
mencangkup didalamnya apa dan bagaimana peran untuk pemerintah, sektor
swasta organisasi non pemerintah dan komunitas. Sebagai sebuah pendekatan
pembangunan, maka dalam pengembangan kapasitas melibatkan identifikasi
berbagai kendala dalam pembangunan. Dalam konteks ini maka pengembangan
komunitas merupakan proses tranformasi kehidupaa dan transformasi masyarakat.
Kapasitas yang harus dibangun dan memerlukan dukungan dibangun dan
memerlukan dukungan dalam capacity building adalah pemabngunan intelektual ,
organisasional, sosial, politik, kultural material, maupun finansial.

Dinamika pemabngunan komunitas yang didasarkan pada pendkatan community


based resources management dan cacity building diharapkan akan mengarahkan
pembangunan komunitas pada pemmberdayaan (empowernment). Rappaort
(1981), merupakan orang yang pertama kali meperkenalkan istilah empowernment
berkenaan dengan kesehatan mental masyarakat. Dikatakan bahwa cara yang
mudah untuk memahami konsep pemberdayaan adalah dengan membayangkan
kondisi dimana tidak ada pemberdayaan, yaitu pada kondisi powerlessness, tidak
berdaya, tidak mampu menolong diri sendiri, kehilangan kemampuan untuk
mengatur atau mengendalikan kehidupan sendiri.
Istilah empowerment belakangan ini telah menjadi jargon pembangunan yang
maknannya semakin bias. Pemberdayaan sering kali digunakan dalam konteks
membangun masyarakat, dimana masyarakat diletakkan pada posisi pasif
menerima dan sebagai objek pembangunan (walhi, 2008). Dari kajian kieffler
(1984), menyimpulkan bahwa pembangunan memiliki 3 dimensi yang saling
berhubungan yaitu (1) perkembangan konsep diri yang lebih positif, (2) kontruksi
pemahaman yang lebih kritis dan analisis mengenai lingkungan sosial dan politik,
dan (3) pemanfaaatan sumber daya individu dan kelompok untuk aksi sosial.
Keadaan sumber daya tidak dicirikan oleh kepemilikan kekuasaan atau pengaruh
yang lebih besar, tapi dicirikan oleh anggapan bahwa dirinya adalah partisipan yang
efektif dalam proses pengambilan keputusan.

Pemberdayaan merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat


manusia dan masyarakat yang kondisi sekarang belum mampu untuk melepaskan
diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Kartasasmita (1997),

mengatakan bahwa konsep pemberdayaan dapat dilihat dari 3 sisi yaitu : (1)
menciptakan kondisi yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling), (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat
(empowering), dan (3) memberdayakan megandung makna melindungi, dalam arti
mengupayakan untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan
ekploitasi dari yang kuat terhedap yang lemah.

Pemberdayaan komunitas merupakan salah satu pendekatan yang menonjol dalam


konteks perubahan sosial. Salah satu kegiatan strategi dalam pendekatan ini adalah
pengorganisasiian masyarakat atau komunitas. Satu satunya faktor yang akan
memastikan bahwa pembangunan komunitas berjalan dalam jalur yang benar
adalah kehendak dan kemampuan komunitas sendiri untuk memperbaiki keadaan
(ANSSP, 2008). Selanjutnya, dikatakan bahwa dalam konteks memberdayakan atau
memperkuat komunitasi agar mampu mandiri maka harus berangkat dari beberapa
asumsi, yaitu bahwa komunitas punya kepentingan terhadap perubahan, perubahan
tidak pernah datang sendiri melainkan membutuhkan perjuangan, dan setiap usaha
perubahan pada dasarnya membutuhkan daya tekan tertentu, dimana usaha
memperkuat daya tekan juga memerlukan perjuangan didalamnya.

Partisipasi publik

Pembangunan sebagai proses peningkatan kemapuan manusia untuk menentukan


masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan atau
melibatkan diri dalam proses itu. Partisipasi dan pemberdayaan merupakan bagian
dari proses dan arti pemabngunan. Partisipasi dalam oxford english dictionary
(1995) adalah sebuah tindakan atau keikut sertaan dalam suatu kegiatan.

Partisipasi sebagai jargon moderen pembangunan dapat dimaknai sebagai sebuah


kesadaran mengenai konstribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain unuk
suatu kegiatan (bryant dan white, 1987). Istilah partisipasi (patisipation atau
participatory) berkenaan dengan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan peroleh
aspek moral sesuai dengan tujuna yang ingin dicapainya (sackh, 1995).

Sebagai dimensi strategi manajemen pembangunan, partisipasi berarti perhatian


mendalam mengenai perubahan yang akan dihasilkan suatu kegiatan
pembangunan sehubungan dengan kehidupan masyarakat (tjokrowinoto, 1987).
Karena partisipasi masyarakat berkenaan dengan keterlibatan masyarakat;dalam

segenap proses pembangunan, maka partisipasi masyarakat dalam pembangunan


juga sekaligus menjadi sasaran pemabngunan. Dengan demikian partisipasi publik
atau masyarakat merupakan aktualisasi dari kemampuan, kesadaran, dan
kesediaan untuk memberikan konstribusi dalam setiap tahap pemabangunan.

Dimensi partisipasi merupakan sebuah fenomena alamiah yang secara wajar harus
terjadi bila kondisi lingkungan memberikan peluang dan kesempatan untuk itu.
Adjid (1985), menjelaskan bahwa dalam konsep partisipasi tersimpul beberapa
kriteria dari istilah partisipasi itu sendiri, yaitu : (1) partisipasi mengacu kepada
adanya beberapa subyek yang berinterkasi seperti individu masyarakat, organisasi
dan pemerintah, yang terikat dalam suatu ikatan solidaritas tertentu, (2) terdapat
kesukarelaan dan kesadaran dalam menjelankan peran secara iklas, (3) partisipasi
berkonotasi adanya keterlibatan individu dalam proses suatu kegiatan tertentu dan
(4) adanya kelompok sasaran dari partisipasi.

Conyers, (1981) menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa partisipasi


masyarakat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pemabangunan,
yaitu : pertama, pertisipasi masyarakat merupakan suatu alat untuk memperoleh
informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang
tanpa kehadirannya program pemabangunan akan kurang berhasil. Kedua,
masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan apabila merasa
dilibatkan dalam keseluruhan proses pembangunan. Ketiga, merupakan suatu hak
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka
sendiri. Perspektif ini selaras dengan makna pembangunan yang dipusatkan pada
kepentingan manusia (mancenterred development).

Sementara sach (1995), mengatakan ada 6 alasan yang dapat dikemukakan


mengapa konsep partisipasi itu penting dan perlu mendapatkan perhatian, yaitu :
(1) konsep tersebut tidak lagi dilihat sebagai ancaman, (2) partisipasi telah menajdi
jargon yang menarik secara politik, (3) secara ekonomi partisipasi telah menjadi
alternatif yang menarik, (4) sekarang ini partisipasi dilihat sebagai instrumen yang
lebih efektif dan sebagai suatu sumber investasi baru, (5) partisipasi menjadi
debuah sarana pencari dana yang baik, dan (6) dengan partisipasi yang luas dapat
membantu sektoe swasta agar langsung terlibat dalam pemabngunan.

Paradigma pengelolaan sumber yang bertumpuk pada masyarakat terhadap


pembangunan mencangkup partisipasi secara timbal balik dan otonom yang
melibatkan reorientasi peran pemerintah secara mendasar kearah keterkaitan yang

lebih efektif dengan komunitas. Dalam hubungan ini tjokrowinoto (1987),


menegaskan arti pentingnya partisipasi dengan mengemukakan beberapa alasan
pembenaan bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu :
1. masyarakat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi
merupakan akibat logis dari asumsi tersebut.
2. partisipasi merupakan rasa kaya diri dan kemampuan pribadi ntuk dapat turut
serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat.
3. partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang
sikap, aspirasi, kebutuhan, dan kondisi daerah yang tanpat keberadaanya akan
tidak terungkap.
4. pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari dimana masyarakat
berada dan dari apa mereka miliki.
5. partisipasi memperluas wawasan penerimaan program pemabngunan, dan dapat
memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat.
Partisipasi selain menopang pembangunan, juga menyediakan lingkungan yang
kondusif, baik aktualisasi potendi manusia meupun pertumbuhan manusia.
6. partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan masyarakat
untuk mengelola program pembangunan guna memenuhi kebutuhan daerah.
7. partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk
dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.

Strategi pembangunan akan dapat berhasil apabila didukung oleh partisipasi


masyarakat secara aktiv. Karena itu pembangunan hendaknya dimakanai sebagai
keseluruhan upaya masyarakat dalam semua bidang pemabngunan. Menurut
tjokroamidjojo (1980) ada empat aspek penting terkait partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, yaitu : pertama, terlibatnya masyarakat sesuai dengan
mekanisme politik dalam suatu negara dalam menentukan arah, strategi, dan
kebijakan pembangunan. Kedua, meningkatkan artikulasi atau kemampuan untuk
merumusakan tujuan dan cara dengan sebaik-baiknya. Ketiga partisipasi
masyarakat dalam kegiatan pemabngunan yang nyata dan konsisten dengan arah
dan strategi, serta rencana yang telah ditetapkan dalam prose politik. Keempat,
dengan proses pembangunan memberi kesepatan secara langsung kepada
mayarakat untuk berpartisiapasi dalam kebijakan yang menyangkut kesejahteraan
mereka.

Adjid (1985) mengatakan partisipasi diarahkan pada lima tujuan penting yaitu : (1)
project cost sharing, yakni partisipasi memikul sebagian atau seluruh biaya yang
dibutuhkan, (2) increasing project efficiency, yakni partisipan diharapkan dapat
meningkatan efisiensi dalam pemabangunan, (3) efectiveness, yaitu pelaksanaan
porgram pembangunan lebih menajmin tercapainya tujuan yang telah ditetapkan,
(4) beneficiary capacity, yaitu kemampuan yang makin meningkat karena
pengelaman dan pengetahuan yang diperlukan dalam penerapan, dan (5)
empowerment, yaitu meningkatkan kekuasaan dan kemampuan secara keseluruhan
dalam arti kemampuan untuk mempengaruhi sebuah kebijakan kedepan.
Terkait dengan pembangunan komunitas yang demokratis, gaventa dan
valderamma, dalam arsito (2004) membagi tiga jenis partisipasi, yaitu (1)
partisipasi politik (political partisipation) yakni lebih ditekankan pada usaha
mempengaruhi masyarkat untuk terlibat dalam institusi parlemen, (2) partisipasi
sosial (social partisipasi), yakni keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan proses
partisipasi, dan diarahkan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi
sosial, dan (3) partisapasi warga (citizen participation), yaitu menekankan pada
partisipasi langsung setiap warga masyarkat dalam pengemabilan keputusan.
Dilihat dari segi tipe partisipasi, ANSSP (2008) membedakan menjadi partisipasi
tenaga kerja murah, partisipasi berbagai biaya, partisipasi berdasarkan kontrak, dan
partisipasi dalam pengambikan keputusan. Sedangkan dilihat dari segi tahapannya,
uphoff dan adjid (1983) membagi partisipasi masyarkat dalam proses
pembangunan, yaitu decision making, implmentation, benefits, and evaluation.

Sekalipun peranan partisipasi dalam pemabngunan,sangat jelas dan strategis,


tetapi didalam penerapannya terdapat beberapa hambatan yang menurut
tjokrowinoto (1987), meliputi faktor kurangnya perhatian yang murni terhadap
persamaan sosial, keragua-raguan terhadap aksi bersama, kurangnya akses
kesempatan masyarkat, dan pendekatan pembangunan yang parsial. Dalam
hubungan itu, untuk meningkatkan dan membangun partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, bryant dan white (1987), menawarkan tiga strategi pembangunan
partisipasi, yaitu merancang program pemabngunan yang sederhana dan mudah
dikelola, mengefektifkan organisasi, dan mengubah kapasitas masyarkat.

Untuk menggerakan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendung


kegiatan pemabngunan yang digerakan oleh pemerintah tetapi juga agar
masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri,
setidaknya menjadi tanggung jawab manajemen pembangunan untuk membimbing,
menggerakkan (mobilizing capacity) dan menciptakan lingkungan yang mendukung
kegiatan pemabngunan yang berbasis partisipatif.

PEMBANGUNAN ADMINISTRASI

Pendekatan administrasi pembangunan (development administration) merupakan


perembangan dari pemikiran ekologi dan pendekatan komporatif dalam adimistrasi
publik yang diorientasikan pada pencapaian tujuan pembangunan. Dengan kata lain
adminstrasi publik yang ditunjukan untuk mendukung proses pembangunan (esman
dan montgomery, 1969 dan Tjokroamidjojo, 1989). Sementara, bryant and whyte
(1987). Menyatkan bahwa administrasi pemabngunan adalah peranan administrasi
publik dalam mewujudkan pembangunan.

Secara sederhana dapat dirimuskan bahwa administrasi pemabngunan adalah ilmu


dan seni mengenai pembangunan administrasi publik sehingga mampu
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan secara efisien
(Mostopadjaja, 1989). Dari pandangan tersebut dapat dikemukakan bahwa bidang
pengamatan adinistrasi pembangunan menyangkutu maslah-masalah yang
berkaitan dengan fungsi pemerintahan dalam pembangunan. Dalam hubungan ini
fungsi utama administrasi pembangunan adalah menyelenggarakan peranan
pemerintah dalam proses pembangunan nasional.

Dengan demikian ruangk lingkup administrasi pembagunan adalah (1) the


development of administration, yang meliputi aspek kelembagaan kepegawaian,
ketatalaksanaan, dan sarana administrasi dan (2) the admiistration of development
process, yang mencangkup perumusan kebijakan dan progarm pembangunan, serta
pelaksanaannya secara efektif (tjkroamidjojo, 1980). Secara kusus, pembangunan
administasi (development of administration), menyangkut perubahan dalam bidang
kelembagaan atau organisasi, sumber daya manusia, manajemen dan sarana
administrasi (mustopadidjaja, 1989). Dengan kata lain, pembangunan administrasi
adalah pembangunan infrastruktur administrasi (siaian, 1985).

Pembangunan kelembagaan

Salah satu pemikiran dari empat kecenderungan kelembagaan pendekatan


administrasi pembangunan selama ini adalah institution building. Konsep institution
building yang diperkenalkan oleh esman, (1986), dapat dimaknai sebagai
pembangunan atau pembangunan kelembagaan dan pembinaan kelembagaan
(tjokroamidjojo, 1989).

Kondisi administrasi dinegara-negara berkembang dalam pengelolaan pembanguna


menunjukan bahwa salah satu kelemahan yang dihadapi adalah terletak pada
aspek kelembagaan, selain sumber daya manusia. Semetara proses pemabngunan
memerlukan dukungan dan penguatan kelembagaan. Esman (1986) sebagai arsitek
utama dari model pembangunan kelembagaan mengatakan bahwa kelembagaan
adalah sebuah konsep yang terkait dengan pola hubungan dan kegiatan tertentu
dalam organisasi formal dan kekuatan sossial dan memperoleh dukungan dari
lingkunganya.

Kelembagaan dalam perspektif pembangunan merupakan suatu konsep yang


didalamnya mencangkup tiga dimensi (katz, 1986) yaitu : (1) kemampuan
organisasi untuk mempertahankan hidupnya, disamping melakukan pembaharuan,
(2) organisasi dan lingkungannya memiliki nilai instrinsik, dalam arti ditunjukan oleh
tingkat otonomi dan pengaruhnya, dam (3) terkait dengan hubungan-hubungan dan
pola kegiatan yang dalam organisasi itu menjadi normatif dan kesatuan
masyarakat.

Pembangunan kelembagaan adalah suatu perspektif tentang kelembagaan sosial


yang direncakan, yang memusatkan perhatian pada dua dimensi, yaitu perubahanperubahan secara mikro dan makro (eaton, 1986) . sebagai guiding coccepts,
esman (1986) merumuskan pembangunan kelembagaan sebagai perencanaan,
penataan, dan pembinaan dari organisasi-organisasi atau yang ditata kembali
untuk (a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi,
teknologi dan sosial, (b) menetapkan dan mengembangkan hubungan-hubungan
berdasarkan norma dan pola tindakan, dan (c) memperoleh dukungan dan
kelengkapan dalam suatu lingkungan tertentu.

Perspektif pembangunan kelembagaan dalam dimaknani sebagai kerangka strategi


perubahan sosial yang terarah. Secara sosiologis, kelembagaan menujuk pada polapola normatif yang merumuskan cara-cara bertindak atau hubungan-hubungan
sosial yang diharapkan. Dengan perspektif itu, dapat diartikan kelembagaan

sebagai organisasi formal yang mendorong kelembagaan dan yang


mempertahankan perubahan (siffin, 1986).

Pembangunan lembaga, menyangkut begitu banyak kemungkinan pola interaksi


diantara berbagai faktor yang kompleks seperti teknologi, struktur internal, dan
faktor normatif. Pembangunan kelembagaan yang efektif sangat perlu bagi
modernisasi dan pembangunan bangsa. Menurut esman (1986), pemahaman yang
mendalam mengenai hakikat pembangunan dan pengembangan kelembagaan
dapat dapat dijelaskan dalam lima dimensi kelembagaan, yaitu (1) kepemimpinan,
(2) doktrin, (3) program, (4) sumberdaya, dan (5) struktur internal.

Selannjutnya, dikatakan bahwa mendasari konsep-konsep dari dimensi


kelembagaan tersebut adalah adanya perspektif perubahan sosial yang
berhubungan dengan teori, yaitu (a) dalam masyarakt yang sedang mengejar
modernisasi, proses pengembangan terkait pengenalan dan penerimaan dari
banyak perubahan dan inovasi, (b) dalam kerangka kontemporel, kebanyakan
perubahan yang yang demikian itu tidak terjadi karena adanya evolusi yang
otomatis, dan (c) sebagai wahana inovasi-inovasi yang disengaja memerlukan
organisasi-organisasi formal yang kompleks.
1. kepemimpinan, dipandang sebagai dimensi yang paling penting dan kritis dalam
pembangunan kelembagaan karen proses perubahan yang dilakukan dengan
sengaja itu memerlukan manajemen yang intensif dan terampil, dan dapat
meningkatkan kemampuan manusia secara mendalam, baik dalam hubungan
secara internal maupun terhadap lingkungan. Kepemimpinan terutama dipandang
sebagai suatu kelompok dimana berbagai peranan seperti pengambilan keputusan
seperti pengadilan dapat disebarkan dalam berbagai pola diantara kelompok
kepemimpinan. Kelompok kepemimpinan terdiri atas pemegang kedudukan
kepemimpinan yang secara formal telah ditunjuk, maupun mereka yang terus
menerus menjalankan pengaruhnya yang penting terhadap kegiatan kelembagaan.

Kepemimpinan mempunyai posisi yang sentral dalam setiap analisis tentang


pembangunan kelembagaan. Inti kepemimpinan adalah penyerahan dan
pembagaian sumber-sumberdaya supaya dapat mencapai sasaran tertentu.
Dimensi kepemimpinan meliputi perumusan kebijakan dan program dengan
melakukan pilihan-pilihan yang normatif dan empiris mengenai penggunan sumbersumberdaya organisasi secara optimal.

Salah satu ciri kepemimpinan yang dapat mendorong keberhasilan pembangunan


kelembagaan adalah pandangan yang tajam akan sebuah strategi terkait
pemanfaatan sumber daya dalam organisasi secara terencana dalm suatu periode
waktu tertentu. Pentingnya kepemimpinan berkenan. Dengan ketersediaan
sumberdaya. Makin cepat suatu tujuan hams dicapai, makin pentinglah sumbangan
kepemimpinan untuk merumuskan strategi-strategi yang produktif. Selain itu,
terhadap adanya kendala kelangkaan sumber daya dalam suatu organisasi,
menjadikan sangat penting adanya fungsi kepemimpinan untuk menentukan
prioritas dalam pembangunan kelembagaan.
2. doktrin, dirumuskan sebagai spesifikasi dari nilai-nilai, tujuan dan metode
operasional yang mendasari tidakan sosial. Doktrin dipandang sebagai sederetan
faktor yang memproyeksi, baik didalam organisasi itu sendiri maupun dalam
lingkungan eksternalnya. Doktrin menyangkut nilai tentang keluaran dan
produktivitas organisasi, dan cakrawala yang digunakan.
Pernan doktrin dalam menjelaskan tujuan-tujuan yang dianggap baik itu biasanya
ditekankan pda fungsinya untuk menilai sarana yang lebih sesuai. Produktivitas
tertentu hanya dapat dinilai dalam kaitannya dengan waktu. Dengan doktrin dapat
membuat proses pelembagaan itu lebih efisien dan efektif dengan cara
mempertegas tujuan dan sarana yang tepat digunakan sehingga mampu memberi
sumbangan terhadap pembangunan kelembagaan.
3. program, mengacu pada tindakan-tindakan tertetu yang berhubungan dengan
pelaksanaan dari fungsi-fungsi yang merupakan keluaran dar i sebuah organisasi.
Dengan demikian , program adalah penjabaran dari doktrin ke dalam pola-pola
tindakan yang nyata dan alokasi dari energi dan sumber daya lainnya di dalam
organisasi itu dan yang berhubungan dengan lingkungan yang eksternal . Dengan
kata lain, program itu merupakan pengejawantahan doktrin menjadi kegiatankegiatan praktis dari suatu organisasi . untuk menganalisis suatu program perlu
mempertimbangkan faktor sinkronisasi ,koordinasi , da kemampuan anggaran
yang tersedi.
Strategi dalam pembangunan kelembagaan mengharuskan bahwa program itu
meningkatan posisi sumber daya organisasi. Pandangan konvisional tentang teori
organisasi adalah bahwa sumber daya itu hams diperoleh dari lingkungsn melalui
produktivitas organisasi, yang sebagai implikasi dari adanya program organisasi .
Makin cepat pencapaian hasil dari sebuah program makain pentinglah alokasi
secara efisien dan efektif melalui strategi implementasi program.
4. sumber-sumberdaya, adalah manusia, keuangan, dan teknologi dalam suatu
organisasi. Persoalan-persoalan yang tercangkup dalam pengerahan dan dalam
menjamin tersedianya sumber-sumberdaya tersebut secara memadai dan yang
dapat diandalkan mempengarhi tiap segi dari kegiatan-kegiatan organisasi.waktu
memungkinkan penggunaan sumber-sumberdaya produktif. Uphoff (1986)

mengatakan sumber-sumberdaya organisasi yang terkait dengan faktor-faktor


produksi dalam suatu organisasi, yaitu sumberdaya ekonomi, informasi, status,
kekuatan, wewenang, keabsahan, dan dukungan.
5. Struktur internal, dirumuskan sebagai struktur dan proses yang diadakan untuk
bekerjanya organisasi tersebut dan pemeliharaannya. Pembagian dari peranan
dalam organisasi, pola wewenang internal, sistem komunikasi, komitmen datri
orang-orang terhadap doktrin dan program organisasi tersebut. Struktur mewakili
pola arus sumber daya didalam organisasi, sehingga efisiensi dan produktifitas
organisasi tergantung pada singkronisasi, kordinasi, dan kemampuan mengolah
arus informasi.
Strategi pendekatan pembangunan kelembagaan secara efetif mempertimbangkan
secara bersamaan struktur intenal dan dinamika organisasi. Kebanyakan analisis
struktural telah mencoba memahami fungsi-fungsi yang saling berkaitan dalam
organisasi untuk mencapai perubahan-perubahan niai dan struktur diperluka
perumusan strategi tindakan sebagai dasar analisis terhadap lingkungan organisasi.
Organisasi yang dilembagakan harus menetapkan dan memelihara suat jaringan
dalam lingkungannya untuk tetap hidup dan berfungsi, dengan cara menyesuaikan
diri dengan hubungan-hubungan kaitan dalam suatu kehidupan organisasi. Esman
(1986) mengatakan bahwa ada empat jenis kaitan yaitu : (1) kaitan-kaitan yang
memungkinkan, yakni adanya organisasi dan kelompok sosial yang mengendalikan
alokas wewenang dan sumber-sumberdaya yang diperlukan oleh organisasi tersebut
untuk berfungsi, (2) kaitan-kaitan fungsional, dimaksudkan organisasi yang
menjalankan fungsi dengan menyediakan masukan dan memanfaatkan keluaran
dari organisasi tersebut. (3) kaitan-kaitan normatif, yaitu dengan organisasi
memiliki norma dan nilai yang relevan bagi doktrin dan program organisasi
tersebut, dan (4) kaitan-kaitan tersebar, yakni faktor-faktor dalam masyarakat yang
tidak dapat diidentifkasi secara jelas oleh anggota dalam organisasi formal.
Untuk berhasilnya proses penyelenggara pembangunan diperlukan dukungan,
kelembagaan atau organisasi pemerintah, disamping organisasi swasta, ekonomi,
sosial dan publik. Terkait dengan keberadaan organisasi pemerintah perlu dibangun
agar dapat berfungsi sebagai alat pembangunan. Upaya membangun dan menata
organisasi pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas
melalui penataan organisasi sesuai dengan kebutuhan pengelolaan pembangunan.
Restrukturisasi organisasi pemerintah pusat dan daerah dipandang sebagai sebuah
strategi efektif untuk menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang efisien dalam
proses penyelenggaraan pembangunan. Dengan demikian perlu diperhatikan
beberapa prinsip dalam mendesain organisasi pemerintah pusat dan daerah, yaitu
prinsip kejelasan tujuan, pembagian tugas, keluwesan, kemitraan dan
pemberdayaan, rentang kendali, jalur dan staf, proporsionalitas, dan legalitas.

Pembangunan sumber daya manusia

Salah satu kelemahan negara-negara berkembang dalam penyelenggaraan


pembangunan adalah pada sumberdaya manusia. Karena itu menjadi tugas
manajemen pembangunan untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang dapat
memenuhi kebutuhan pembangunan. Sumberdaya manusia merupakan faktor
utama dalam proses pembangunan, karena selain sebagai pelaku pembangunan,
juga sekaligus menjadi sasaran pembangunan.

Sumberdaya manusia mempunyai peranan yang strategis dan sentral dalam proses
pembangunan. Dengan posisi yang sangat menentukan itu, selain menjadi masukan
dalam proses pembangunan dalam bentuk tenaga kerja, tapi juga menjadi
pengendali dan pengatur masukan lainnya seperti teknologi, sumber daya alam,
melalui penguasaan iptek, manajemen dan kebijkan yang berlaku. Makin tinggi
kualitas sumber daya manusia sebagai konsumen, makin tinggi pula tuntutannya
atas hasil-hasil korupsi. Dengan demikian sumber daya manusia seperti ini
merupakan perangsang kegiatan industri dan kegiatan laiinya dalam pembangunan.

Rozy dkk (1991) menegaskan bahwa sumber daya manusia dalam konteks
pembangunan nasional dapat dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas. Dari aspek
kuantitas meliputi jumlah dan pertumbuhan pendidik, pentebaran penduduk, dan
kompisisnya. Sedangkan dari segi kualitas terdiri atas masalah kesehatan,
kecerdasan dan keterampilan kreaktifitas termasuk etos kerja dan daya saing, moral
dan spiritual termasuk masalah budaya dan wawasan kebangsaan, serta
kepimimpinan. Dalm usaha mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata
dalam kerangka pembangunan secara berkelanjutan, yang dipengaruhi oleh
globalisasi ekonomi dan kemajuan teknologi maka tidak lagi tergantung sematamata pada kekuatan sumberdaya alam, tapi akan tergantung pada kualitas
sumberdayanya manusianya yang akan mengelola pembangunan bangsa. Dengan
demikian untuk mencapai tujuan pembangunan diperlukan sumber daya manusia
yang berkualitas dan mampu menghadapi tantangan pembangunan yang semakin
konpleks dan dinamis.

Dengan pengingat pentingnya peranan sumberdaya manusia dalam semua sektor


pembangunan, maka diperlukan upaya pembangunan kualitas sumberdaya
manusia. Menurut tjiptoherijanto (1993), pembangunan sumberdaya manusia
ditunjukan untuk mewujudkan manusia pembangunan yang berbudi luhur, tangguh

cerdas, mandiri, terampil, profesional, kreaktif, inovatif, berdisiplin dan beriorentasi


kemasa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Pengembangan sumberdaya manusia pada hakikatnya adalah meningkatkan


sumberdaya manusia yang potensial menjadi yang produktif, sehingga mampu
menangani pembangunan nasional dengan sebaik-baiknya, melalui peningkatan
kualitas hidupnya dalam bentuk peningkatan kesehatan dan kemampuan
intelektualnya melalui pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia diarahkan
pada peningkatan harkat dan martabat, serta kemampuan manusia (rozzi dkk,
1991). Dengan demikian, upaya pengembangan sumberdaya manusia perlu
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu disemua sektor pembangunan.

Karena manusia merupakan kekuatan utama pembangunan, maka kualitas manusia


sebagai sumber daya perlu ditingkatkan sehingga dapa menjadi tenaga kerja yang
produktif. Untuk itu, pengembangan sumber daya manusia, selain diselenggarakan
secara menyeluruh, juga dapat dilihat dari perspektif sosial, politik, dan ekonomi.
Dalam menghadapi tantangan pembangunan dan tuntutan globalisasi dunia,
terutama dengan makin kompetitifnya persaingan, perlu dilakukan perubahan
orientasi pembangunan sumberdaya manusia kearah pertumbuhan kualitas sumber
daya manusia.

Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan


yang baik demokratis. Upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan efisien, efektif,
profesional, bersih dan akuntabel, menuntut kualitas sumberdaya manusia aparatur.
Sumberdaya manusia aparatur merupakan faktor yang sangat esensial dan
strategis dalam pembangunan nasional. Sumberdaya manusia aparatur pemerintah
yang memiliki keterampilan dan kemampuan profesional yang tinggi diperlukan
agar pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan dapat dilakukan secara
efisien, efektif, dan ertanggung jawab.

Dalam rencana pembangunan jangka waktu menengah nasional, dijelaskan bahwa


kebijakan pengelolaan sumber daya manusia aparatur ditujuakan untuk
meningkatkan kualitas sistem pengelolaan dan kapasistas sumberdaya manusia
paratur sesuai dengan kebutuhan pemerintah dan pembangunan. Dalam hubungan
itu, ditetapkan beberapa program pengembangan sumber daya manusia aparatur,
yaitu (1) menata kembali sumberdaya manusia aparatur sesuai kebutuhan aan
jumlah dan kompotensi, (2) menyempurnakan sistem manajemen sumber daya
manusia aparatu terutama dalam sistem karir dan remunerasi, (3) meningkatan

kompetensi sumberdaya manusia aparatur dalam pelaksanaan tugas dan tanggung


jawab, (4) mengembangkan profesional sumber daya manusia aparatur.

Sumberdaya manusia aparatur dalam posisinya sebagai abdi masyakat dan abdi
negara mempunyai tugas, fungsi dan tanggung jawab yang mensyarakatkan sebab
kompotensi tertentu dalam mengembang misi dalam penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan bangsa. Kompotesi sumberdaya manusia aparatur dalam
perspektif penyelenggara sistem administrasi, dapat dilihat dari empat jenis
kompetensi (mostopadidjaja, 2003),yaitu (1) kompotensi teknis, (2) kompotensi
manajerial, (3) kompotensi sosial, (4) kompotensi intelektual.

1. Kompotensi teknis yaitu kompotensi yang terkait dengan tugas dan pekerjaapekerjaan dalam suatu organisasi. Kompotensi teknis menuntuk kemampuan dalam
mengoperasionalisasikan sistem dan prosedur kerja yang berkaitan dengan
pelaksanaan kebijakan dan tugas disuatu intasi, disamping mampu menerapkan
akuntabilitas, pengelolaan kebijakan dan program, serta pelaporan pertanggung
jawabanya.
2. kemampuan manajerial, kompotensi yang berhubungan dengan berbagai
kemampuan manajerial atau keuangan kepemimpinan yang dibutuhkan dalam
mengelola tugas-tugas organisasi. Kompotensi manajerial ini mancangkup
kemampuan menerapkan konsep dan teknis yang berhubungan dengan fungsifungsi manajemen publik. Selain itu, juga berkenan dengan kemampuan
melaksanakan prisnsip good governance dalam manajemen pemerintaha dan
pembangunan.
3. kompotensi sosial yaitu kemampuan melakukan komunikasi yang dibutuhkan
oleh organisasi dalam pelaksanaan tugas da fungsi dalam organisasi. Kompotensi
sosial dapat dilihat dilingkungan internal seperti kemampuan memotifasi
sumberdaya manusia atau peran serta masyarakat guna meningkatkan
produktifiatas kerja. Dari segi lingkungan eksternal, memiliki kemampuan dalam
membangun kemitraan, kolaborasi, dan pengembangan jaringan kerja dengan
berbagai organisasi dalam rangka meningkatkan citra dan kinerja organisasi.
4. kompotensi intelektual, yaitu kemampuan untuk berpikir secara strategis dan
risioner. Kompotensi intelektual terkai dengan kemampuan dalam merumuskan fisi,
missi, dan strategi dalam rangka mencapai tujuan orgnanisasi atau tujuan
pembangunan. Selain itu, kemampuan dalam memberi masukan dalam
pertimbangan dalam pemecahan maslah dan pengembalian keputusan yang logis,
sistematis, dan rasional, disamping kemampuan dalam memahami perkembangan
paradigma pembengunan yang relevan dengan upaya mewujudkan good

governanse dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara dan


pembangunan bangsa.
Terciptanya tata pemerintahan yag bersih dan berwibawa, selain merupakan salah
satu tujuan kebijakan dan program pembangunan sumberdaya manusia aparatur,
juga merupakan prasayarat penting bagi terselenggarannya penyelenggaraan
pemerintahan yang efisien dan efektif. Karena itu peningkatan kualitas sumberdaya
manusia aparatur melalui kualitas manajemen kepegawaian perlu terus dilakukan
sejalan dengan tuntutan penyelenggaraan manajemen pemerintahan negara.

Pembaharuan administrasi
Dalam perkembangan administrasi pembangunan, selain dikenal pemikiran tentang
institution building, juga muncul sebuah pemikiran baru yang disebut adminstrative
reform. Konsep ini kemudian diartikan sebagai pembaharuan administrasi (siagian,
1985 dan tjokroamidjojo, 1989), juga dapat diatikan sebagai reformasi administrasi
(said, 2006, dan rakhmat, 2009).

Riggs (1987) mengatakan, salah satu alasan mengapa pembaharuan administrasii


itu penting diperkenalkan dinegara-negara berkembang adalah sebagai sebuah
untuk memperbaiki tatanan sistem administrasi dan meningkatkan efektivitas
pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, sementara itu, siagian 1985) mengatakan bahwa pembaharuan
adminstrasi itu timbul sebagai refleksi dari usaha perbaikan terhadap dua aliran
pemikiran tentang administrasi dinegara-negara berkembang. Dengan kata lain
(zauhar, 1996), reformasi administrasi merupakan bagian yang sangat penting
dalam pembangunan dinegara-negara berkembang, terlpeas dari tingkat
perkembangan atau kecepata suatu pertumbuhan negara.

Secara umum, reformasi adiministrasi diartikan sebagai proses perbuhan dan


kondisi lama menuju kondisi baru yang dikehendaki. Proses ini bermula sebagai
akibat dari adanya kesenjangan yang luas atara aspirasi dan keinginan masyarakat
dengan kenyataan yang ada (said, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa reformasi
administrasi adalah proses reformasi atas paradugma dan sistem administrasi
publik. Siagian (1985) mengatakan bahwa administrative reform (pembaharuan
administrasi) adalah untuk menerapka ide-ide baru tersebut pada suatu sistem
administrasi dengan kesadaran untuk memperbaiki sistem tersebut dalam rangka
usaha pencapaian tujuan pembangunan nasional secara positif.

Pembaharuan administrasi dalam perspektif pembangunan administrasi di negara


negara berkembang pada umumnya dilakukan mengikuti model yang telah
dikembangkan dinegara maju. Belakangan ini demikian banyak model, paradigma,
dan pendekatan baru yang diperkenalkan didunia birokrasi pemerintahan dinegaranegara berkembang seperti reinventing goverment, public management, strategic
management, privatization, governance, dan sebagainya. Semua ini tentunya
dimaksudkan untuk perbaikan sistem administrasi di negara negara berkembang,
guna meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kinerja sektor publik.

Menurut wallis (1989) administrative refor, sebagai induced permanen improvement


inadminitrations. Sedangkan reformasi adminitrasi dimaksudkan sebagai improfek
the administrative pervormance of individual, grop, and institutions and to advise
then hou the chang active the operating goals more efective, more economy caly
and more quickly (caiden, 1991). Dengan demikian refermasi administrasi, paling
tidak mencangkup tiga aspek yaitu (1) perbaikan harus merupakan sebuah
perbaikan dari keadaan sebelumnya, (2) perbaikan diperoleh dengan upaya yang
disengaja, dan bukan bukan terjadi secara kebetulan, (3) perbaikan yang terjadi
bersifat jangka panjang dan tidak sementara, untuk kemudian kembali lagi
kekeadaan sebelumnya.

Adminitrasi pembangunan dipandang sebagai sebuah disiplin yang sangat penting


dan keseluruhan proses pembangunan dinegara-negara berkembang, termasuk
diinidonesia karena itu perbaikan dan peningkatan kemampuan administrasi perlu
dilakukan secara terus menerus. Ini dilakukan sebagai sebuah respon terhadap
perkembangan pemerintahan dan pemabngunan, serta adanya tuntutan dan
perubahan masyarakat akan sebuah kemajuan pemabngunan. Pentingnya
melakukan reformasi administrasi karena terkait dengan beebrapa masalah dalam
kehidupan birokrasi pemerintahan, seperti sistem kelembagaan dan manajemen
pemerintahan, kelemahan dalam pelaksanaan kebijakan, penyalah gunaan
kekuasaan dan wewenang, serta maslah kerusakan moral dan tanggung jawab
sosial.

Menyangkut usaha perbaikan sistem administrasi publik dalam kerangka


penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa, maka diperlukan
adanya sebuah strategi. Menurut said (2006), strategi reformasi administrasi dapat
dilakukan dengan cara perubahan paradigma administrasi publik, dan
menempatkan perang administrasi publik secara proporsional. Sedangkan siagian
(1985) mengatakan bahwa strategi pembeharua administrasi dapat berupa strategi
yang menyeluruh (komprehensive strtegy) dan strategi yang tidak menyeluruh
(incremental reform).

Strategi reformasi terkait dengan perbaikan adiminstrasi dapat dilakukan melalui :


(1) peningkatan kemampuan birokrasi agar mampu mewujudkan kebijakankebijakan yang reformatif menjadi sebuah kenyataan empiris. Secara umum ini
dapat dilakukan dengan perbaikan institusi publik perbaikan prosedur pelayanan,
dan peningkatan kemampuan sumber daya kekayaan negara dengan
mendahulukan kepentingan publik, keselamatan kekayaan negara, dan kebenaran
secara hukum, (3) penempatan pejabat publik melalui kriteria dan prosedur terbuka
dengan menempatkan persyaratan ketaatan, kejujuran, dan keahlian (said, 2006).

MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

Biriokrasi Dan Pembangunan Daerah

Birokrasi emabngunan sedang menghadapi krisis baru, terkait dengan perang


birokrasi dalam proses pembangunan dinegara-negara berkembang. Budiman dan
ufford (1988), mengatakan bahwa pembangunan bagaimanapun juga
membetuhkan birokrasi dan regulasi untuk mengatur. Dalam hubungan ini, ada dua
pandangan yang berbeda, yaitu (1) pembangunan kedepannya memakai sedikit
mungkin birokrasi. Pandangan ini terutama dianut oleh para ekonomi berhaluan
liberal seperti milton friedman, yang percaya akan adanya kekuatan pasar bebas
yang mengatur. Baginya, birokrasi hanya mengacu saja, dan karena itu tidak
menyelesaikan persoalan, (2) pandangan kedua berpendapat bahwa pasar bebas
harus dicampuri oleh birokrasi pemerintah untuk mencegah kecenderungan,
kecenderungan negatif. Dibanyak negara berkembang saat ini ada kecenderungan
tumbuhnya birokrasi dan regulasi berlebihan.

Pendekatan yang konvensional dalam telaah mengenai kebijkan pembangunan


selama ini sifatnya mekanis. Pandangan-pandangan mekanistik tentang birokrasi
pemabngunan, yang menghubungkan tingkat negara dengan situasi setempat. Ini
mengandung dua arti, yaitu (1) organisasi-organisasi dianggap sebagai alat yang
relatif efisien dan efektif ditangan para pejabat, dan (2) sifat hasil kebijakan
dipandang tergantung pada tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan negara.

Dampak gagasan webber (1947) mengenai birokrasi moderen sebagai suatu cara
memerintah yang relatif efisien dan efektif sangat besar dalam telaah mengenai
pembangunan. Birokrasi-birokrasi dipandang sebagai suatu alat ditangan pihak
penguasa untuk melaksanakan keputusan politik. Ini tercermin dalam konsep
kebijakan (policy) yang dibedakan dengan politik (politics). Birokrasi menjabatkan
keputusan-keputusan politik kedalam kebiijkan, program, dan proyek
pembangunan. Dalam perspektif itulah persoalan-persoalan penting yang
menentukan kualitas kebijakan pembangunan.
Terkait dengan masalah organisasi birokrasi dan efektivitasnya dalam kerangka
kebijakan pembangunan, dapat dilihat dalam dua pendekatan, yaitu (1) pendekatan
yang memandang efek-efek kebijakan pembangunan. Perhatiannya terutama
ditujukan pada konteks perkembangan pembuatan pembangunan. Tentunya
terdapat banyak cara untuk menilai efek kebijakan yang ditimbulkan dalam
pembangunan. Ini banyak tergantung pada peran yang diberikan oleh negara atau
institusi pembangunan sebagai agen modernisasi, (2) pendekatan kedua
memandang organisasi-organisasi pembangunan dibentuk oleh konteks
pembangunan yang lebih luas. Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada
sejauh mana proses pembuatan kebijakan ditentukan oleh faktor ekonomi, politik,
dan sosial budaya.

Birokrasi pembangunan dipengaruhi secara langsung oleh kontradiksi mendasar


dari tujuan-tujuan pembangunan. Ufford (1988) membedakan antara organisasi
pembangunan yang berorientasi masukan (input oriented) organisasi berorientasi
keluaran ( output oriented) untuk dapat menentukan lebih lanjut sifat yang spesifik
dari birokrasi-birokrasi pembangunan. Ia menganalisis arti penting kedua konteks
keorganisasian itu, dan menentukan bahwa berbagai bagian yang berbeda dari
birokrasi terlihat dalam penanganannya. Salah satu peran penting birokrasi
pembangunan yang perlu mendapat perhatian adalah hubungan-hubungan vital
bagi adanya kesinambungan pembiayaan pembangunan.

Organisasi pembangunan dibentuk apabila suatu perspektif tertentu mengenai


masalah-masalah pembangunan telah berhasil dalam arti menarik perhatian pihak
donor, pemerintah, badan-badan lainnya, dan sebagainya. Model yang disusun
Weber (1947) mengenai birokrasi moderen memandang tujuan formal sebagai
penggerak yang mengarahkan pembuatan kebijakan administratif. Tujuan-tujuan
formal ditingkat manajemen puncak dipandang sebagai menentukan sifat
pengambilan keputusan dalam birokrasi-birokrasi pembangunan.

Organisasi birokrasi menjadi sumberdaya yang sangat diperlukan dalam mengelola


pembangunan (Esman, (1991). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam konteks
pembangunan, manajer-manajer pembangunan diharapkan melaksanakan peran
baru yaitu peran kewirausahaan dalam arti mampu memprakarsai dam
memfasilitasi tindakan yang akan terjadi terkait dengan kepentingan publik.
Struktur birokrasi lam suatu pemerintah negara merupakan lingkungan institusional
yang didaamnya manajer-manajer pembangunan dapat berfungsi.

Untuk meningkatkan kinerja organisasi birokrasi dalam pelaksanaan programprogram pembangunan, dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu (1) memperkaya
keahlian manajerial melalui pendidikan dan pelatihan di institusi-institusi donor dan
dengan membentuk dan memperkuat institusi-institusi dan progaram-program
pelatihan di negara-negara berkembang. Sasaran utama adalah memperbaharui
keahlian manajerial , orientasi profesional, dan kompetensi analisis kebijakan, (2)
memperbaiki teknologi yang tersedia bagi manajer pembangunan, sehingga dapat
menambah kemampuan mereka menggunakan sumberdaya secara lebih efisien
dan efektif. Pendekatan tranfer teknologi ini meliputi cara pengelolaan keuangan
seperti penganggaran akuntansi, dan kontrol pengeluaran, memperbaiki kecepatan
dan keakuratan arus informasi, monitoring, dan evaluasi program pembangunan,
(3) merasional isasikan organisasi dan prosedur, serta menyesuaikan struktur dan
metode untuk meningkatkan pengawasan manajemen, efisiensi sumberdaya, dan
kegiatan perintah lainnya, dan (4) memperkuat birokrasi sebagai institus sosial,
membentuk institusi-institusi dengan cara-cara yang dapat meningkatkan
kemmampuan internal organisasi dan kemampuan untuk berinteraksi secara
kesinambungan terkait dengan kegiatan-kegiatan pembangunan (esman, 1991;
bryant dan white, 1987).

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari proses
pemabngunan nasional. Dalam prosesnya diarahkan untuk memanfaatkan secara
optimal seluruh potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia melalui
peningkatan kualitas dan kemampuan individu dan masyarkat. Pemabngunan
daerah adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat
daerah secara terus menerus berdasarkan kemampuan daerah dan kemampuan
nasional dengan memperhatikan perkembangan keadaan daerah.

Sebagai sebuah konsep, pembangunan adalah sesuatu yang tidak terelakan secara
normatif, berorietasi terhadap tujuan, mendorong nilai-nilai dasar, dan menyerap
norma-norma budaya. Padillah (1992), menyatakan : development is a proces and
phenomenon that everyone wushes to take place desirable as it is, there have been
different perceptions of the form of develpoment to pursue, the methods or

approaches to be used in pursuing it, and the roles the central and local
goverments, agencis and institutions have to play in its realization. Slanjutnya
terkait dengan pembangunan daerah dikatakan bahwa : local development is
essentialy process by which local goverments, community organization and local
institutions manage their existing resources and collaborate with one another in
pursuing development goals. The development goals to be purusued and the
startegies applied to attain these goals may vary from one locality to another in
terms of emphasis, but revolve around these key aims : meeting the basic needs of
the local population; generation of employment, and ultymately, alleviation of
poverty. Local development is process-oriented, and is distinguished by the use of
available and potential resources-human, and involvement of existing communitybased institutions.

Pembangunan daerah bertujuan untuk (a) meningkatkan keadaan ekonomi daerah


sehingga mampu mandiri dan mampu menyelenggarakan pemabngunan daerah,
(b) menigkatkan keadaan sosial daerah untuk mencapai kesejahteraan sosial secara
adil dan merata, (c) mengembangkan setiap ragam budaya daerah sehingga
menjadi elestarian budaya daerah, (d) meningatkan dan memelihara keamanan
masyarakat untuk mendukung pemabngunan sosial.

Permasalahan dan tantangan pemabngunan daerah antara lain memperlihatkan


masih rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah yang mengakibatkan rendah dan
menurunya tngkat kesejahteraan rakyat dan munculnya berbagai masalah sosial,
kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, kesenjangan pembangunan antar
daerah, antara kota dan desa masih lebar, infrastruktur ekonomi dalam
pemabngunan antar daerah, antara kota dan desa masih lebar, infrastruktur
ekonomi dalam pembangunan masih terbatas, dan masih rendahnya kualitas
pelayanan publik. Sementara isu-isu kontemporer pembangunan daerah, terdiri atas
(1) pembangunan wilayah yang mencangkup peningkatan ekonomi wilayah,
pemabngunan perkotaan, pembangunan perkotaan, pembangunan perdesaan,
penataan ruang, dan pengembangan wilaya tertinggal, (2) pemberdayaan
masyarakat, yang meliputi penguatan lembaga lokal, pemberdayaan masyarakat
miskin, dan peningkatan partisipasi publik.
Mengacu pada berbagai permasalahan dan isu-isu pembangunan daerah, maka
strategi pemabngunan daerah yang dapat dilakukan adalah pemantapan struktur
ekonomi daerah, penguatan pembangunan sosial, penataan pengelolaan sumber
daya alam yang berwawasan lingkungan dan keadilan, perbaikan manajemen
lingkungan daerah, dan penguatan kelembagaan pembangunan. Strategi
pembangunan daerah, juga terkait dengan dukungan partisipasi publik dalam

perencanaan da pelaksanaan pembangunan, sebagaimana pandangan padilla


(1992) yang menjelaskan bahwa A local development strategy msut see to it that
citizen participation become a hallmark of development development planning and
implementation and that the fruits of development reach the poor. In the planning
and implementation and that the fruits of development reach the poor. In the
planning and implementation of development programs, local goverments are
enjoined to apply social-awareness-stimulating strategies, involve the active
participation of the local folk in decision making process.

Isu pemabngunan daerah tidak bisa terlepas dari masalah dan kebijkan
desentralisasi kerena mempersoalkan tentang desentralisasi dan otonomi daerah
tekait dengan aspek politik, pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian,
untuk mecinptakan good governance dalam pembangunan daerah perlu dilakukan
desentralisasi pemerintah secara efektif. Desetralisasi berbagai kewenanangan
pengelolaan pemerintaahn dan pembangunan dan pemerintah pusat keperintah
daerah secara lebih efektif merupakan salah satu faktor penting dalam pengelolaan
pemerintahaan dan pembangunan. Pengelolaan kehidupan sosial, politik, ekonomi,
dan pemabngunan daerah sepatutnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Desentralisasi dalam proses pemabangunan menekankan pada salah satu cara


untuk mengembangkan kapasistas vokal (bryant dan white, 1987). Desetralisasi
dapat dipandang sebagai the transfer of authority away from the national capital
whither by decounttration (i.e. delegation) to field iffices or by devolution to local
aothorities or local bodyes (UNDP, 1992). Rondinelly (1988), mengatakan bahwa
decentralitation is the transfer of planning, decision making, or administrattivve
aouthority from central goverment to its field organisation, local administrattive
units, semi-autonomous and parastatal organization, local, goverment, or non
goverment institution.

Pembangunan perkotaan

Kota mencerminkan hasil-hasil terbaik dan tingkat perkembangan yang dicapai


manusia dibidang pembangunan, produksi, agama, dan seni diabadikan dalam kota,
serta sikap penduduk terhadap nilai dicerminkan oleh penghidupan. Peranan kota
dalam pembangunan sekarang ini menghadapi banyak masalah seperti
pengangguran, penghuniaan ilegal, pencemaran dan sampah, serta kriminalitas,

sehingga tampaknya mempengaruhi usaha terciptannya administrasi pemerintahan


yang efektif.

Ketika pembangunan masih dipandang semua dengan pertumbuhan, pada saat ini
pembangunan dilihat sebagai suatu yang bergatung pada industrialisasi dan
urbanisasi. House dkk (1985), mengatakan bahwa pengaruh kota yang sudah
merambah kemana-kemana saat ini menyebebakan orang lupa bahwa urbanisasi
merupakan peristiwa yang masih baru dalam sejarah peradaban dan perkembangan
masyarakat manusia. Belkangan orang memberikan pehatian pada pengaruh
kebijakan perkotaan atas sektor lainnya dalam konteks perekonomian.

Bryant dan white, (1987), mengatakan bahwa tidak ada tiga dimensi masalah
perkotaan, yaitu : (1) masalah migrasi dan urbanisasi, yang memiliki implikasi bagi
pertumbuhan penduduk suatu kota, dan kebutuhan akal jasa dan pelayanan dari
pemerintah kota. (2) pembuangan sampah dan ar limbah, yang terkait dengan
ketersediaan air bersih bagi kebutuhan masyarakat perkotaan, dan (3) realitas
deskriminisi sosial dan maslah sektor informal.

Keterkaitan antara pembangunan kota dengan urbanisai merupakan permasalahan


universal yang dihadapi hampir semua negara terkait dengan masalah perkotaan.
Said (2006), memandang bahwa kota sebagai pusat kegiatan dan kosentrasi
penduduk, aktifitas ekonomi, politik, sosial budaya, dan keamanan memerlukan
pengelolaan secara spesifik, dalam arti bahwa dibandingkan dengan daerah sekitar,
hubungan antar penduduk kota cenderung lebih bersifat rasional dan individualistik.
Selanjutnya dikatakan bahwa sebagai pusat pertemuan lintas kegiatan ekonomi,
kota menjadi pusat aktivitas ekonomi dan kesempatan kerja non agraris. Karena itu,
kota dituntut menyediakan berbagai fasilitas yang dibutukan dalam kegiatan
ekonomi dan sosial.

Salah satu tantangan dalam pembangunan perkotaan dimasa depan adalah terletak
pada kemampuan sistem ekonomi dan politik, yang secara serentak
mengembangkan sektor ekonomi dan pemanfaatan sumber daya secara merata
dalam upaya mengurangi berbagai pengaruh dari adanya peruahan tata ruang yang
diperkirakan akan terjadi terkait dengan masalah sosial dan ekonomi yang ada.
Kebanyakan dinegara-negara berkembang yang sedang menjalani proses pmusatan
penduduk diperkotaan menghadapi suatu tantangan yaitu bagaimana menambah
laju pertumbuhan ekonomi dan memanfaatkan sumber daya sebaik mungkin,

sehingga penyebaran penduduk dan kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan


efisien.

Daerah perkotaan diberbagai negara berkembang, dengan kosentrasi manusia


dalam jumlah yang besar, sekaligus merupakan sumber sebagai energi dan pusat
kemelaratan. Dari segi admiistrasi, persoalan yang dihadapi adalah bagaimana
menangani masalah-masalah perkotaan, tanpa memberi ruang yang lebar bagi
proses urbanisasi. Pembangunan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan berbagai
aktifitas ekonomi dan sosial, seperti perekonomian, industri, jasa, telekomunikasi,
transportasi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pemerintaha, dan budaya,
setidaknya dapat dinikmati secara merata bagi komunitas perkotaan.

Pembangunan perkotaan tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan daerah, dan


kawasan disekitarnya. Meurut houser, dkk (1985), untuk masa depan pembangunan
perkotaan hendaknya memperhatikan 4 strategi, yaitu : (1) strategi kebijakan untuk
penyebaran penduduk, (2) strategi untuk menghidupkan kembali pusat-pusat
perkotaan, (3) strategy kebijkan untuk penyebaran pembangunan secara merata,
dan (4) langkah efektif untuk menstabilkan penduduk didalam kota.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pembangunan


perkotaan (said, 2006), yaitu : pertama, kota hams menjadi pusat pendongkrak
pembangunan dari daerah sekitarnya. Kota hams-dapat berfungsi sebagai pusat
pertemuan kepentingan politik dan ekonomi, baik antar sektor maupun antar
daerah disekitarnya. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam
hubungan pembangunan antara kota besar dan kota kecil pada dasarnya terdapat
kecenderungan munculnya dampak yang disebut back washet effect. Kedua,
kelestarian lingkungan pembangunan kota hams ditegakkan atas disiplin kelestarian
lingkungan. Ketiga, kelanjutan birokrasi pemerintahan dan pemabngunan yang
bertumpuk pada tiga dimensi, yaitu kelembagaan pembangunan, prosedur
pembangunan, dan sumberdaya manusia dalam pembangunan. Keempat,
keterkaitan antar unit dan antar sektor dalam pembangunan perkotaan.

Pengelolaan pembangunan perkotaan menuntut peran dan perhatian pemerintah


pusat dan pemerintah kota yang serius, terutama menyangkut kebijakan
perencanaan kota dan pelayanan publik. Bryant dan white (1987) mengatakan
bahwa tugas penting yang diletakkan dipundak pemerintah kota adalah
(1)menyelenggarakan pelayanan publik (2) memperbaiki dan meningkatkan
kapasitas daerah perkotaan yang didukung oleh pendanaan atau pembiayaan, (3)

menyediakan pembangunan perumahan rakyat, (4) menciptakan cara-cara


pemenuhan kebutuhan pokok melalui pendekatan partisipatif, dan (5) menangani
sektor informal perkotaan secara efektif.

Pertumbuhan kota berkaitan positif dengan pendapatan yang meningkat,


memperluas pendidikan dan kesehatan, memperluas jaringan komunikasi, dan
membuka lapangan kerja. Meskipun menghadapu banyak masalah, kota tetap
merupakan pusat-pusat yang produktif dan pusat dunia bisnis. Selain itu, kota juga
mempercepat perubhan sosial dan proses pembangunan bangsa. Untuk mencapai
semua itu, tentunya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah kota dalam
proses pemgembangan kota dilihat dari aspek ekonomi, sosial , dan politik, serta
tata ruang. Hauser, dkk (1985) menjelaskan bahwa peranan dan campur tangan
pemerintah kota dalam persoalan pembangunan perkotaan, mencakup (1)
pengelolaan sumber keuangan kota, (2) penyediaan perumahan dan pelayanan, (3)
transportasi, (4) pengembangan sosial, dan (5) meningkatkanperan serta
masyarakat dalam pengelolaan kota. Perubahan dan pembangunan kota
ditimbulkan oleh adanya proses interaksi antara proses pembangunan ekonomi,
urbanisasi, pergeseran fungsional dan tata ruang yang dialami penduduk serta
perubahan kegiatan perekonomian yang menyertainya.
Kemajuan ekonomi yang terus menerus di perkotaan adalah perlu, tetapi tidak
cukup sebagai syarat untuk mengurangi ketimpangan tata ruang dan sosial. Ufford
(1988), menyatakan bahwa dari perspektif kebijakan pembangunan perkotaan,
beberapa aspek perlu diperhatikan yaitu : (1) perhatian yang lebih besar dan
prioritas yang lebih tinggi harus diberikan pada usaha-usaha mengembangkan
sumberdaya manusia dan memperbaiki kualitas kehidupan dan memenuhi
kebutuhan pokok manusia, (2) diusahakan menurunkan laju pertumbuhan
penduduk,(3) pengembangan tata ruang harus menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial,(4) memperbesar dan
meperluas partisipasi dan prakarsa masyarakat, serta efisiensi administrasi, dan (5)
faktor demografi, sosial, dan psikologi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari proses pengelolaan perkotaan.

Kerangka yang efektif untuk kebijakan pembangunan perkotaan harus bersifat


menyeluruh dan terpadu, yaitu yang terkait dengan tujuan pembangunan ekonomi
dan sosial, serta dampak sektoral dan spasial. Dengan demikian masa depan
perkotaan harus dikaji dalam kerangka pengembangan tata ruang dengan
memperhitungkan faktor ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan geografis.

Pembangunan perdesaan

Fenomena perdesaan mengilustrasikan dimensi-dimensi konseptual pembangunan


yang berhubungan dengan masalah kemiskinan, keterbelakangan , dan kurangnya
kapasitas administratif. Pembangunan perdesaan dalam arti luas mencakup
berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan,
yang mengintegrasiakan peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaannya
dengan memanfaatkan sumberdaya pembangunan secara efektif guna peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.
Pembangunan perdesaan (rural development) merupakan suatu strategi yang
dirancang untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu
( Chambers,1983). Pembangunan perdesaan dapat juga dipandang sebagai suatu
program pembangunan yang dilakukan secara berencana untuk meningkatkan
produksi, pendapatan, dan kesehjahteraan dalam arti peningkatan kualitas hidup di
bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan (Hilhorst,1990). Dengan demikian,
pembangunan perdesaan bersifat multisektoral yang menyangkut semua segi
kehidupan masyarakat, sehingga bukanlah pembangunan yang berjalan sendiri
melainkan merupakan bagian dari pembangunan daerah dan nasional satu bangsa.

Pembangunan perdesaan mempunyai peranan penting dalam kerangka


pembangunan daerah. Dalam rosesnya diarahkan untuk memanfaatkan produksi
sumberdaya pembangunan secara tepat, dan untuk menuingkatkan kemampuan
manusia untuk berjuang guna menciptakan suatu lingkungan yang menjadikan
setiap individu masyarakat memiliki menjadi masyarakat yang produktif serta
menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi perkembangan diri manusia secara
terus menerus. Dalam hubungan ini, tjokrominoto (1987) mengatakan bahwa
pembangunan perdesaan menempatkan dirinya dalam tiga sifat yaitu, sebagai
sebuah strategi, program, dan gerakan , guna membangun kesadaran dan dirinya
dalam keadaan yang lebih baik.

Long (1987) menganjurkan tiga pendekatan pembangunan perdesaan di negaranegara berkembang, yaitu (1) pembangunan desa terpadu, yakni menekankan
usaha menaikkan daya produksi petani, menciptakan kemudahan untuk
memperoleh kesempatan, ekonomi bagi golongan penduduk perdesaan yang
miskin, dan secara umum menekankan pada pengembangan sumberdaya manusia
dan menaikan pendapatan petani dan permintaan akan barang-barang konsumen,
(2) pengembangan agropolitan, agar penduduk memiliki sumberdaya ekonomi yang
cukup dan otonom untuk merancang serta mengendalikan sendiri langkah proses
pembangunannya, dan (3) desa mmbangun diri dengan kekuatans sendiri, terutama
otonom yang luas dalam pengemabilan keputusan dan penyusunan rencana
pembangunan.

Pendekatan terhadap pemabngunan perdesaan dapat dilihat dalam 3 perspektif


(bryant and white, 1987), yaitu (1) bahwa pembangunan perdesaan dapat didekati
sebaik-baiknya sebagai maslah teknologi, yang kemuadian diindentifikasikan
dengan greent revolution,(2) ada anggapan keliru bahwa keuntungan skala besar
dan pendiidikan usaha besar adalah lebih efisien, dan (3) bahwa petani perdesaan
yang miskin menjadi miskin karena tidak memiliki kekuasaan. Pandangan ini
menekankan bahwa pembangunan perdesaan menuntut pemusatan perhatian yang
lbeih luas mengenai pendapatan perdesaan dan kebutuhan perdesaaan.

Dari perspektif manajemen pembangunan, yang berperan penting sebagai


katalisator atau fasilitator dalam keseluruhan proses pembangunan adalah
kelembagaan pemerintah dan masyarakat. Peranan strategi yang dapat dijalankan
melalui kelembegaan pemerintah dan masyarakat, selain melakukan
pemberdayaan (empowerment), memabngun partisipasi (partisipation),
menumbuhkan kesadaran (awarennes), juga memobilisasi sumber daya untuk
pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan perdesaan yang dilakukan secara
sadar menghadapi berbagai pilihan dan prioritas mengenai apa yang seharusnya
didahulukan dari begitu banyak kebutuhan yang dihadapi oleh masyarakat
perdesaan.

Perencanan menjadi sebuah keharusan untuk efektifnya berbagai pilihan tersebut


atas alternatif pembangunan yang dihadapi. Perencanaan pembangunan
dimaksudkan sebagai suatu proses perumusan rencana pemabngunan.
Perencanaan pemabngunan desa adalah sebuah perencanaan dari, oleh, dan untuk
masyarakat. Karena itu perencanaan pembangunan desa harus dibangun mellui
pendekatan partisipatif (partisapatory app proacth). Selama ini berkembang
beberpa metode perencanaan partisipatif berkenan dengan pengelolaan
pembangunan perdesaan (bahua, 2007) seperti participatory rural appraisal,
participatiry research and development, rapid rural appraisal, participatory action
research, participatory learning methods, metodologi for participatory assesment,
dan participatory learning and action.

Participatory rural appraisal adalah sebuah metode perencanaan dalam


pembangunan perdesaan yang mendekatkan pada pemahaman lokasi dengan cara
belajar dari, untuk dan bersama dengan masyarakat untuk mengetahui, menganalis
dan mengevaluasi hambatan dan kesempatan melalui pendekatan multidisiplin dan
keahlian dalam menyusun informasi dan pengambilan keputusan sesuai dengan
kebutuhan. Metode ini memiliki berbagai tekhnik untuk mengumpulkan dan

menganalisis data antara lain, review data sekunder, observasi lapangan,


wawancara semi terstruktur, diskusi kelompok terfokus serta analis kecenderungan
dan perubahan. participatory research and development, merupakan kegitan
penelitian mengenai partisipasi dan pembangunan komunitas yang memiliki fokus
terhadap upaya membantu masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk
bekerjasama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan
kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Rapid rural appraisal, merupakan sebuah metode dimana informasi dikumpulkan


oleh pihak luar, kemudian data atau informasi tersebut dianalisis dan peneliti
membuat perencanaan tanpa melibatkan lagi masyarakat. Pendektan ini lebih pada
penggalian informasi, sementara participatory rural appraisal mekanismenya
dilaksanakan bersama- sama dengan masyarakat mulai kegiatan pengumpulan
informasi, analisis, sampai pada perencanaan program. Participatory action
research, tidak mengharuskan membuat dan mengelola catatan rekaman yang
menjelaskan apa yang sedang terjadi seakurat mungkin, tetapi merupakan analisis
kritis terhadap situasi yang secara kelembagaan diciptakan. Salah satu prinsip
dasar dalam metode ini adalah menjadikan pengalaman-pengalaman masyarakat
sebagai sasaran pengkajian.

Participatory learning methods, merupakan model pembelajaran partisipatif yang


menekankan pada proses pembelajaran, dimana kegiatan belajar dalam pelatihan
dibangun atas dasar partisipatif peserta dalam semua kegiatan, mulai dari
merencakan, melaksanakan, sampai pada tahap menilai kegiatan pembelajaran
pada tahap menilai kegiiatan pembelajaran dalam pelatihan. Methodology for
participation assessment, adalah sebuah metode yang dikembangkan untuk
menjalankan penilaian suatu proyek pembangunan komunitas {community
development}. Metode ini sebagai alat yang sangat bermanfaat bagi pembuat
kebijakan, manajer program dan masyarakat, sehingga masyarakat setempat dapat
memantau kesinambungan pembangunan dan mengambil tindakan yang diperlukan
agar menjadi semakin baik.

Participatory learning and actions atau kaji tindak participation dalam bahasa,
program menekankan pada kegiatan belajar dari bertindak secara partisipatif.
Metode ini mencerminkan suatu dialektika yang dinamis antara kajian dan tindakan
secara tidak terpisahkan pemahaman partisipatik kondisi perdesaan merupakan
salah satu metode perencanaan partisipatick yang bertujuan untuk menggali
permaslahan yang ada dalam masyarakat, penyebab terjadinya masalah, dan cara
mengatasinya dengan menggunakan sumber daya lokal dengan mengacu pada
prinsip pemberdayaan masyarakat (enpowerment).

Salah satu strategi yang dipandang penting untuk membangun kembali struktur
ekonomi masyarakat didaerah pedesaan adalah melului reformasi agraria (land
refford). Bryant dan white (1987)mengatakan bahwa reformasi agraria menjadi
signifikan dalam study administrasi pembangunan karena cara pelaksanaanya sama
pentingnya dengan sebuah keputusan kebijakan. Peranan administrasi dalam
pembanguan perdesaan bergantung pada corak dan jenis tat guna tanah serta
sistem pemilikan tanah yang berlaku. Berbagai corak hubungan tanam yang
dimaksud terkait dengan karakteristik sosial, ekonomi, politik, hukum, demokratif
dan pertanian.

Faktor penting untuk membuat reformasi agararia (refoerment) hasil guna adalah
penciptaan lembaga-lembaga untuk melaksanakan reformasi itu sesudah
ditetapkan sebuah kebijakan. Organisai pedesaan dalam bentuk tertentu, yang
secara khusus melibatkan perwakilan lokal, merupakan suatu syarat yang
menentukan bagi berhasilnya reformasi agraria (long, 1987). Tugas utama dari
administrator pemabngunan pedesaan adalah menyeleksi proses dan organisasi
yang paling tepat untuk melakukan perubahan dan pembaharuan yang diperlukan.
Pemecahan masalah pembangunan pedesaan diarahkan pada pengembangan
kapasitas, keadilan dan penumbuhan kekuasaan atau pemberdayaan dalam suatu
kehidupan masyarakat yang lestari sejahtra dan saling bergantung.

Di Indonesia, pembangunan pedesaan merupakan bagian integral dan tak


terpisahkan dari pembangunan daerah dan nasional. Sebagian besar penduduk
indonesia saat ini masih bermukim didaerah pedesaaan. Selama ini daerah
perdesaan dicirikan antara laian, rendahnya tingkat produktifitas tenaga kerja,
masih tingginya produktifitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemisikinan,
keterbelakangan infrastruktur, dan rendahnya kualitas ligkungan pemukiman
masyarakat perdesaan. Karena itu, kedepan diperlukan usaha transformasi dari
masyarakat agraris ke arah masyarkat industri. Dengan ketersediaan infrastruktur
di perdesaan diharapkan dapat berfungsi dan mendorong aktifitas ekonomi dan
peningkatan kualitas lingkungan permukiman di perdesaan.
Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional, dikemukakan sebelas
permasalahan pembangunan perdesaan, yaitu (1) terbatasnya alternatif lapangan
kerja berkualitas, (2) lemahnya keterkaitan ekonomi, baik secara sektoral maupun
spasial, (3) munculnya hambatan distribusi dan perdagangan antar daerah, (4)
tingginya resiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan,
(5) rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan, (6) rendahnya tingkat
pelayanan prasarana dan sarana perdesaan, (7) rendahnya kualitas sumber daya
manusia di perdesaan yang sebagian besar berketerampilan rendah, (8)

meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beriringan teknis bagi


peruntukan lain, (9) meningkatnya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan
hidup, (10)lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat, dan (11)
lemahnya kordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasasn perdesaan.

Kebijkan pembangunan perdesaan diarahkan untuk mendorong terciptannya


lapangan kerja berkualitas diperdesaan dengan merangsang pertumbuhan ativitas
ekonomi non pertanian diversifiksi usaha pertanian kearah komoditas pertanian
bernilai ekonomi tinggi, dan memperkuat keterkaitan kawasan perdesaan dan
perkotaan. Memperluas akses masyarakat ke umber daya produktif untuk
pengembangan usaha seperti lahan, prasarana sosial ekonomi, permodalan,
informasi, teknologi dan inovasi, serta akses masyarkat kepasar dan pelayanan
publik. Juga meningkatkan pemberdayaan masyarakat perdesaaan melalui
peningkatan kualitasnya, baik sebagai pelaku maupun sebagai sumber daya
pembangunan, serta penguatan kelembagaan dan modal sosial
masyarakatperdesaan. Selain itu, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan dengan memenuhi hak-hak dasar atas pelayanan pendidikan dan
kesepakatan, serta meminimalkan resiko kerentanan, baik dengan mengembangkan
kelembagaan perlindungan masyarkat pertanianmaupun dengan memperbaiki
struktur pasar yang tidak sehat.

Dengan kebijakan tersebut, selanjutnya dirancang beberapa program utama


pembangunan perdesaan, yaitu (1) program peningkatan keberdayaan masyarakat
perdesaan, (2) program pengembangan ekonomi lokal, (3) program peningkatan
infrastruktur perdesaan, (4) program peningkatan kualitas sumberdaya manusia di
perdesaan, dan (5) program perlindungan da konservasi sumberdaya alam,
pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Selasa, 15 Januari 2013 (by http://people-s-housing-1.blogspot.com/)

Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012


dan Rekomendasi untuk Tahun 2013
1. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28-H telah mengamanatkan
bahwa perumahan dan permukiman adalah hak dasar manusia, dimana setiap
orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Prinsip hak dasar ini sudah
pula diakomodasi di dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

maupunUndang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan


Kawasan Permukiman (PKP). Oleh karena itu, untuk menjamin pemenuhan
hak dasar tersebut, sudah menjadi kewajiban Pemerintah sebagai
penyelenggara negara untuk menghormati, melindungi dan sekaligus
memenuhinya dengan segera. Selanjutnya, di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025(UU No. 17 Tahun 2007) ditetapkan
bahwa sasaran pokok pembangunan perumahan dan permukiman adalah
terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana
pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan
perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien dan akuntabel untuk
mewujudkan kota-kot tanpa permukiman kumuh. Sudah sejak lama pula disadari
bahwa perumahan dan permukiman adalah instrumen strategis untuk
menggerakkan roda ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
membangun karakter bangsa.
Namun perjalanan pembangunan perumahan rakyat dan permukiman di tanah
air dalam sepuluh tahun terakhir ini semakin menunjukkan fakta bahwa
kebutuhan perumahan dan permukiman semakin jauh dari terpenuhi bagi
seluruh rakyat secara layak dan bermartabat. Mesti kita akui bahwa berbagai
program pembangunan perumahan dan permukiman belum berhasil mewujudkansistem
penyediaan perumahan yang mampu mengejar jumlah kekurangan rumah dan laju luas
permukiman kumuh yang semakin bertambah. Data Sensus Tahun 2010 oleh BPS
menunjukkan angka kekurangan rumah sebesar 13,6 juta rumah (housing
backlog). Ini berarti kekurangan rumah terus meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya (4,7 juta Tahun 2000 dan 8,2 juta Tahun 2007). Demikian pula
dengan luas permukiman kumuh yang semakin meningkat dari 47.000 Ha tahun
2000 menjadi 54.000 Ha pada tahun 2004 dan menjadi 59.000 Ha pada tahun
2009 (BPS).
Evaluasi pembangunan bidang PKP berdasarkan hasil Kongres Nasional
Perumahan dan Permukiman (Kongnas PP) pada tahun 2009 telah menghasilkan
deklarasi dari semua pemangku kepentingan di bidang PP/PKP untuk menjamin
keadilan
dankesetaraan pembangunan
PKP, memberdayakan
masyarakat tidak mampu melalui peningkatan akses ke sumberdaya
kunci PKP (tanah, infrastruktur dan pembiayaan), dan mengembangkan
sistem kelembagaan dan tata kelola yang baik dalam pembangunan
PKP. Namun, tekad para-pihak yang sejalan dengan amanat perundangundangan di atas pada prakteknya belum menampakkan setitikpun harapan.
Pembangunan bidang PKP belum berada di jalur yang benar dan belum
menjalani kemajuan yang pesat. Di sinilah letak kompleksitas masalah perumahan
yang perlu selalu diantisipasi melalui evaluasi kebijakan, penyusunan strategi dan
pengembangan sistem penyediaan yang mampu menghasilkan kapasitas terpasang untuk
mendukungproduksi perumahan rakyat yang signifikan dan mengena ke sasaran.
Di dalam rilis tahunan UN-Habitat pada tahun 2003 disebutkan bahwa berlarutlarutnya permasalahan PKP di negara-negara berkembang lebih dikarenakan
kebijakan dan strategi yang tidak efektif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa

kebijakan, strategi, pendekatan dan langkah-langkah pembangunan perumahan


masih kurang tepat namun tetap dijalankan oleh pemerintah selama ini.
Menyikapi situasi dan kondisi PKP di tanah air seperti ini, The HUD
Institutediharapkan mampu melakukan pengamatan dan pengkajian secara
objektif dengan berbasis manajemen pengetahuan yang relevan untuk
kemudian mampu memberikan kritik dan masukan yang konstruktif kepada para
pihak pengambil kebijakan, pembuat peraturan, pembuat rencana dan
pelaksana program pembangunan terkait, dengan tetap menjaga independensi
dan objektifitas yang tinggi. Di samping itu, The HUD Institute memberi
perhatian pula dalam upaya-upaya peningkatan kapasitas di semua kalangan di
bidang PKP serta membangun jejaring pengetahuan, jejaring informasi dan
jejaring kerja yang semakin bersinergi demi kemajuan pembangunan di bidang
PKP di tanah air.

2. Kebijakan dan Program Umum Bidang Perumahan Rakyat


Sejak Kemenpera dibentuk kembali pada tahun 2005 di masa KIB-I, disepakati
untuk menjalankan misi: 1) Mengurangi backlog rumah, 2) Mengurangi luas
kumuh, 3) Meningkatkan keterjangkauan (affordability) kalangan MBR, 4)
Meningkatkan peran Pemda dalam bidang PKP, 5) Meningkatkan kemitraan
Pemerintah-Swasta-Masyarakat, dan 6) Meningkatkan kapasitas fiskal pemda
melalui pengelolaan aset. Namun semua misi ini belum menampakkan hasilnya
karena sejak Kongnas 2009 hingga tahun 2012, permasalahan bidang PKP yang
kompleks masih diselesaikan secara sangat sederhana melalui sistem peraturan
yang saling tidak sinkron dan tumpang tindih, melalui proyek-proyek pengadaan
barang dan jasa tahunan maupun melalui subsidi pembiayaan secara terus
menerus. Padahal sudah diamanatkan untuk segera memulai dibangunnya
sistem kelembagaan dan tata kelola yang berkapasitas tinggi yang menjamin
berlangsungnya proses pemupukan sistem penyediaan (housing delivery
system) dan proses pemberdayaan sehingga terjadi peningkatan akses secara
nyata.
Di dalam situasi absennya peran pemerintah dan ketiadaan sistem ini maka
para pihak termasuk pemerintah daerah lebih banyak mengambil sikap
pasif(pembiaran) sehingga terciptalah iklim yang kondusif bagi berkembangnya
praktek makelar-proyek maupun makelar-perijinan di seputar sumbersumberdaya kunci PKP. Keadaan yang tidak bersistem seperti ini akhirnya hanya
menciptakan ekonomi biaya tinggi, anggaran pembangunan yang tidak
menghasilkan keluaran yang efektif setiap tahunnya dan masih menunjukkan
adanya jurang yang dalam antara pemerintah dan berbagai komponen
masyarakat termasuk pemerintah daerah, komunitas permukiman, para
profesional, dan pihak pengusaha swasta.

Dengan mengacu pada target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah


(RPJMN) 2010-2014 Bidang Perumahan Rakyat, beberapa program perlu
mendapatkan evaluasi seperti dipaparkan di bawah ini.

3. Program Perumahan Formal


1. Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa). Program
perumahan formal ditandai dengan program pembangunan menara-menara
Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) secara masif dengan satuan TwinBlock (TB) berisi sekitar 100 unit yang dalam setahun terakhir dirubah desain
dan satuannya. Pada 2010 terbang (un 49 TB dari target yang sama. Namun
pada 2011 dari target 143 TB tidak ada yang terbangun. Kemudian pada 2012
dengan target 127 TB dan realisasi 126 TB. Dengan skema multi years
ditargetkan pula pembangunan 91 TB yang masih belum direalisasikan. Pada
tahun 2012 total target 218 TB dan dilaporkan realisasi 217 TB.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 20102014

SATUAN

RPJMN 20102014

2010

2011

DIPA

REALISASI

(Unit)

(Unit)

DIPA
(Unit)

2012

REALISASI
(Unit)

REALISASI s.d. 2012

REALISASI
(Unit)

DIPA
(Unit)

TOTAL
(Unit)

Pembangunan rusunawa
TB

380

49

49

143

218

217

266

70,00

Meskipun tampaknya target 2010-2014 sebanyak 380 TB hampir tercapai, yaitu


hingga 2012 tercapai sebanyak 266 TB (70%) namun pelaksanaan di lapangan
menuai beragam masalah, karena pencapaian target hanya bertumpu pada
penyebaran proyek-proyek konstruksi menara TB secara berserak-serak
(scattered) di seluruh penjuru nusantara. Dalam kenyataannya kualitas
rusunawa yang terbangun banyak yang tidak memenuhi persyaratan minimal.
Rumah-rumah susun sederhana (Rusuna) tidak dilengkapi prasarana utilitas air
dan listrik, fasos dan fasum. Kondisi ini diperburuk dengan kesulitan pemerintah
pusat dalam proses penyerahan aset ke pemerintah daerah maupun pengguna
lainnya. Akhirnya rusuna tidak terawat, berubah menjadi kumuh karena tidak
dihuni. Kondisi ini menjadi pemandangan nyata di kota-kota besar tanah air dan
berubah menjadi monumen yang menunjukkan wajah keterbelakangan bangsa
ini.

Selain itu pembangunan Rusunawa dipandang mengalami kesulitan


menyediakantanah yang sesuai dengan peruntukannya. Pemerintah pusat selalu
mendesak pemerintah daerah untuk menyediakan tanah yang banyak untuk
dibangun menara-menara rusunawa yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah
pusat. Pemda-pemda akhirnya kesulitan mendapatkan anggaran pengelolaan
dari APBD karena bangunan rumah susun dibiayai APBN. Aset nasional juga
tidak diperkenankan untuk diserahkan ke daerah secara masif. Akhirnya rumah
susun tidak terkelola dengan baik. Pola kerjasama dengan mencampur aset
daerah dan nasional tidak bisa dilakukan begitu saja. Setelah kurang mendapat
dukungan dari pemerintah daerah, akhirnya pengucuran paket-paket rusunawa
TB lebih mudah mendapatkan lahan-lahan milik pesantren, perguruan tinggi, TNI
dan POLRI. Padahal seharusnya santri, mahasiswa dan prajurit bukanlah
kelompok prioritas perumahan rakyat, karena sudah ada anggaran lain di bidang
agama, pendidikan dan tentara/kepolisian yang lebih tepat. Akhirnya program
rusunawa tidak memupuk sistem penyediaan perumahan umum dan semakin
menjauhi sasaran keluarga-keluarga Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR)
di perkotaan sehingga semakin jauh dari target pengurangan housing backlog.
2. Program Fasilitasi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami).
Program Rusunami juga mengalami masalah, yaitu adanya anggapan kurangnya
dukungan pemerintah daerah dalam memberi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
maupun penetapan harga maksimum. Masalah ini muncul sebenarnya akibat
Pemerintah Daerah memandang pengadaan rusunami belum berada di domain
publik dan masih dipandang sebagai perumahan komersial. Akibatnya, berbagai
dukungan fasilitasi keringanan pajak dan dukungan prasarana lebih dipandang
memperlicin bisnis properti daripada mencapai kelompok sasaran kelas
menengah bawah. Akhirnya program rusunami juga menghadapi problem yang
sama, yaitu salah sasaran.
Akar masalah dari ragam masalah itu (rusunawa dan rusunami) adalah
absennyasistem perumahan publik di tanah air, baik di tingkat nasional maupun
di daerah. Pengadaan rumah susun sederhana sejak tahun 1980-an menurut
sejarahnya diadakan oleh Perumnas sebagai perusahaan publik pembangunan
perumahan. Namun karena moda perumahan umum tidak kunjung
dikembangkan, dan keberadaan Perumnas tidak pernah berperan sebagai
sentral dari moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun
sederhana hingga kini tetap diadakan melalui proyek-proyek pengadaan
konstruksi tahunan. Karena itu muncullah berbagai masalah seperti di atas.
Untuk itu, pengadaan rumah susun sederhana perlu dikembalikan kepada
tujuannya semula, yaitu berada di dalam rangka pengembangan moda
perumahan umum dan penguatan lembaga operator baik di tingkat nasional
maupun daerah.
3. Fasilitasi Perumahan Komersial. Dari berbagai program di bidang perumahan
formal, bisa dinilai bahwa praktek-praktek perumahan komersial tidak dikelola secara
terpadu dengan sistem penyediaan perumahan secara umum. Eksklusi penanganan
perumahan komersial pada gilirannya berakibat pada beragam konflik di lapangan, yaitu
antarapengusaha, pejabat daerah dan masyarakat. Sebagai contoh adalah konflik-konflik

dalam pembebasan tanah, konflik pengelolaan antar kawasan, konflik antara penghuni dan
pengembang dan pengelolaan, konflik dalam penjualan kepada konsumen, dan sebagainya.
Berbagai konflik ini pada dasarnya adalah bentuk-bentuk pembiaran pemerintah dalam
mengelola industri properti, bisnis properti dan penerapan hukum-hukum properti.
Bagaimanapun, penyediaan perumahan rakyat tidak bisa dilepaskan dari penanganan
urusan perumahan komersial dan bisnis properti secara utuh.
Untuk itu, ada banyak bentuk pengaturan yang perlu dikembangkan dalam fasilitasi
perumahan komersial sebagai bagian dari industri properti di tanah air, yaitu seperti
mengatur pola kepemilikan apartemen (strata title), integrasi penataan kawasan
permukiman skala besar, pengaturan hunian berimbang, hingga kepemilikan
apartemen oleh orang asing.
Dalam hal pengaturan kepemilikan apartemen oleh orang asing, untuk mendapatkan
peluang dan manfaatnya di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah
terjadinya liberalisasi sumberdaya perumahan,
pemerintah
perlu segeramempersiapkan perangkat regulasi dan kelembagaan khusus yang
mengendalikansistem penyediaan properti bagi warga negara asing (WNA) di
Indonesia.Pemberian hak pakai (lease hold) properti dengan waktu jangka
panjang bisaditetapkan secara bervariasi selama 25, 35, 50 hingga 70 tahun
berdasarkan kondisi-kondisi tertentu yang ditetapkan. Pengelolaan hak pakai ini
memerlukan pengaturan sistem penyediaan terutama kapasitas lembaganya
yang harus dikembangkan di tingkat daerah. Untuk mencegah terjadinya
liberalisasi perlu ada lembaga yang diberi wewenang besar oleh pemerintah
untuk mengelola pembangunan dan pengelolaan perumahan, dimana
pengaturan alokasi ruang untuk perumahan orang asing dan untuk masyarakat
berpenghasilan rendahdikelola sekaligus secara terpadu di tingkat kota atau
daerah.
4. Program Penataan Kali Ciliwung. Salah satu program perumahan formal
di tahun 2012 adalah penataan permukiman dan penyediaan perumahan untuk
warga di bantaran Kali Ciliwung, Jakarta. Program ini berisi pembangunan
puluhan menara rumah susun dengan anggaran hingga 600 milyar rupiah.
Ternyata proyekini gagal dilaksanakan namun sudah terlanjur menghabiskan
anggaran negarauntuk perencanaannya. Sejumlah kegagalan adalah tidak
diperolehnya persetujuan pemakaian tanah di kawasan Beerland. Semula
dikabarkan disetujui seluas 40 hektar, lalu menciut menjadi 7 hektar, dan
hingga kini tidak jelas persetujuannya. Kegagalan lain juga adalah ketidaksiapan
pengorganisasian komunitas, baik komunitas warga Ciliwung maupun komunitas
warga Beerland.Kegagalan berikutnya adalah dalam menyiapkan lokasi area
baru sebagai destinasi permukiman kembali. Semula dijanjikan di Rawa Bokor,
lalu ternyata setelah belum dilakukan penyiapan. Kemudian nama wilayah
Citayam sudah muncul sebagai tempat yang dijanjikan, yang hingga kini kedua
wilayah tersebut tidak jelas sebagai wilayah tujuan relokasi. Akhirnya,
Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) mengusulkan membangun rumah
susun sederhana sewa (rusunawa) di atas Kali Ciliwung dengan konstruksi 15
meter di atas permukaan sungai. Dalam rencana, rusunawa itu akan memiliki 22
tower dan diprediksi dapat menampung 34.000 orang yang sekarang tinggal di

bantaran Kali Ciliwung. Rencana membangun rumah susun di atas kali


Ciliwung ini akhirnya tidak disetujui oleh Kementerian Pekerjaan Umum di
dalam rapat koordinasi (Rakor) di Kemenko Kesra. Pembangunan rumah susun di
atas kali Ciliwung dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.38
yang mengatakan tidak boleh ada bangunan selain jembatan yang berdiri diatas
sungai.
Pada gilirannya, kegagalan proyek rusunawa Ciliwung mengacaukan koordinasi
program pembangunan yang ada dan lebih memprihatinkan lagi, telah
mengganggu kondisi psikologis puluhan ribu penduduk warga Kali Ciliwung
ataupun warga Beerland akibat terkatung-katungnya masa depan tempat
tinggal mereka. Hal ini terjadi karena penanganan permukiman kumuh yang
dilakukan tanpa mekanisme dan sistem penyediaan yang tepat, terutama
mekanisme pengadaan tanah dan mekanisme pendampingan masyarakat.
Kasus kali Ciliwung menegaskan kembali bahwa proses penetapan kegiatan
yang memanfaatkan dana APBN sering tidak mengikuti kaidah penyusunan
kebijakan publik. Terlihat bahwa rencana penanganan kali Ciliwung tidak
didasarkan oleh suatu kajian sosial, teknik, lingkungan bahkan tidak dilengkapi
oleh
dokumen
Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan
(AMDAL),
termasuk Resettlement Policy Framework (RPF) maupun Land Acquisition and
Resettlement Action Plan (LARAP)yang menjadi pedoman dalam melakukan
pemukiman kembali. Apalagi kemudian sangat minim keterlibatan pemangku
kepentingan, yang setidaknya dapat dilakukan melalui diskusi publik agar suara
masyarakat dapat terwadahi.

4. Program Pengembangan Kawasan Permukiman


Program pengembangan kawasan permukiman ditandai oleh kinerja penyediaan
Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Terdapat 2 (dua) kegiatan utama, yaitu:
1)Fasilitasi pembangunan PSU kawasan perumahan dan permukiman dengan
satuan unit rumah, dan 2) Fasilitasi dan Stimulasi Penataan Lingkungan
Permukiman Kumuh dengan satuan luasan hektar.
Berdasarkan target RPJMN 2010-2014, ditargetkan penyediaan PSU untuk
700.000 unit rumah di seluruh tanah air. Pada tahun 2010 dari target 10.374
direalisasikan sebanyak 12.470. Pada tahun 2011, dari target PSU untuk
117.000 unit rumah sederhana, tercapai 97.973 unit. Sedangkan pada tahun
2012 dari target 126.367 unit, tercapai 87.604 unit. Sampai tahun 2012 telah
terbangun PSU sebanyak 198.047 unit yang berarti 28,29 % dari target 700.000
unit. Terlepas dari mekanisme penyediaan yang masih perlu dikritisi, kinerja PSU
hingga 2012 masih jauh dari target sehingga sangat membebani upaya
pemenuhan 71,7% sisa target pada dua tahun tersisa.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 20102014

SATUAN

RPJMN 20102014

2010

2011

DIPA

REALISASI

(Unit)

(Unit)

DIPA
(Unit)

2012

REALISASI
(Unit)

REALISASI s.d. 2012

REALISASI
(Unit)

DIPA
(Unit)

TOTAL
(Unit)

Fasilitasi pembangunan PSU kawasan perumahan dan permukiman


Unit

700.000

10.374

12.470

117.010

97.973

126.367

87.604

198.047

28,29

150

228

373

56,95

Fasilitasi dan Stimulasi Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh


Hektar

655

50

30

100

115

Sedangkan penyediaan PSU untuk menangani permukiman kumuh, berdasarkan


target RPJMN 2010-2014, ditargetkan penyediaan PSU untuk 655 hektar kumuh
di seluruh tanah air. Pada tahun 2010 dari target 50 ha direalisasikan sebanyak
30 ha. Pada tahun 2011, dari target 100 ha justru melebih dengan tercapainya
realisasi 115 ha. Sedangkan pada tahun 2012 ada fenomena yang menarik
karena terjadi lompatan target dan lompatan capaian sekaligus! Dari target 150
ha, tercapai 228 ha pada 2012. Sehingga total hingga 2012 tercapai angka 373
ha yang berarti 56,95 % dari target 655 ha. Namun dengan pencapaian yang
hanya sekitar 125 hektar per tahun, sementara pada tahun 2025 telah
dicanangkan Kota Tanpa Permukiman Kumuh, menjadi suatu pertanyaan bagi
kita semua bagaimana skema pemerintah menyelesaikan luasan kawasan
kumuh yang telah mencapai hampir 60 ribu hektar dan pertambahan luasannya
mencapai 1.000 hektar per tahun?
Meskipun dari target kuantitatif di atas tampak sudah cukup memenuhi, namun
dalam implementasinya ditemukan berbagai fakta yang mengindikasikan tidak
efektifnya
pelaksanaan
program
PSU
bagi
pengurangan housing
backlog maupun pengurangan kumuh. Sebagai contoh adalah tidak adanya
keterpaduan dan sinergi perencanaan dan pelaksanaan di lapangan (lokasi
pembangunan perumahan). Padahal alokasi program FLPP dan PSU keduanya
sama-sama memiliki satuan unit rumah sederhana. Hal ini karena keduanya
masih dijalankan melalui mekanisme proyek pengadaan barang tahunan dan
subsidi oleh Kemenpera yang dijalankan oleh kedeputian masing-masing secara
terpisah-pisah. Lebih mengkhawatirkan adalah rencana untuk tahun 2013
dimana dari target 121.000 FLPP hanya dibarengi dengan alokasi 25.000 PSU.

5. Program Pembiayaan Perumahan

Program pembiayaan perumahan rakyat hanya bertumpu pada perguliran FLPP


(Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang juga masih jauh dari target
pengucuran.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 20102014

SATUAN

RPJMN 20102014

2010

2011

DIPA

REALISASI

(Unit)

(Unit)

DIPA
(Unit)

2012

REALISASI
(Unit)

DIPA
(Unit)

REALISASI s.d. 2012

REALISASI
(Unit)

TOTAL
(Unit)

Bantuan Subsidi Perumahan/FLPP


Unit

1.350.000

92.431

92.431

114.201

109.592

133.000

73.923

275.946

20,44

Dari target pengucuran untuk membiayai kredit sebanyak 1.350.000 unit RSH
pada 2010-2014 baru terkucurkan sebanyak 275.946 unit hingga tahun 2012.
Pengucuran FLPP tahun 2012 adalah yang terendah, yaitu hanya 73.923
unit,dibanding tahun 2010 (92.431 unit) dan 2011 (109.592 unit). Pencapaian
yang rendah ini terutama disebabkan oleh inkonsistensi kebijakan Kemenpera
yang beberapa kali telah melakukan kebijakan buka-tutup dan perubahanperubahan skema FLPP. Sebagai akibatnya, banyak pengembang perumahan
sederhana dan calon pembeli yang menghadapi kesulitan di lapangan.
Program-program pembiayaan perumahan lainnya masih belum dikembangkan
sama sekali, yaitu untuk pembiayaan perumahan umum, pembiayaan
perumahan swadaya dan pembiayaan perumahan sosial. Untuk mewadahinya
dibutuhkanUndang-Undang Tabungan Perumahan (UU Taperum) yang sudah
diamanatkan sejak Kongres Nasional tahun 1972 untuk memupuk dana
perumahan, namun belum kunjung dirampungkan oleh Kemenpera. Taperum
adalah salah satu solusi pembiayaan perumahan yang sifatnya jangka panjang
dan murah yang kelak akan digabungkan dengan sumber pembiayaan
FLPP. Penyaluran FLPP selama ini menuai banyak permasalahan administrasi
keuangan dan pembiayaan dikarenakan masih bercampur dengan bisnis bank
umum dan belum memiliki wadah dan sistem pengumpulan dana dan
pembiayaan perumahan yang tepat. Besarnya dana FLPP bukan dikarenakan
pemupukan dana yang sistematis, melainkan karena penyaluran yang tersendat
namun subsidi APBN terus dikucurkan.
Taperum nantinya perlu diberi kewenangan untuk mengkoordinasi tabungan dan
dana jangka panjang dari berbagai sumber, mengeluarkan skema-skema pola

tabungan perumahan, memberikan pinjaman kepada masyarakat yang


membutuhkan rumah, sekaligus mengelola dana jangka panjang yang berasal
darilembaga lainnya. Selain
mendukung
pembiayaan
perumahan
milik
bersubsidi, Taperum nantinya berpotensi untuk membiayai perumahan swadaya
secara
berkelompok. Taperum
juga berfungsi
untuk
menertibkan pembelian rumahbersubsidi,
dimana
masyarakat
pada
saat mulai mencicil rumah diharapkan sudah menempati rumah tersebut.
Program pembiayaan perumahan Kemenpera juga belum menyentuh skema
pembiayaan perumahan umum, baik untuk pembiayaan pembangunan skala
besar maupun untuk pembiayaan perumahan umum sewa. Pembiayaan
perumahan umum bersifat pembiayaan lembaga / korporasi, bukan pembiayaan
perorangan, yang memiliki konsep dan mekanisme tersendiri sebagai
pembiayaan pembangunan (sovereign finance).

6. Program Perumahan Swadaya


Program bedah rumah di bidang perumahan swadaya dilakukan secara sangat
masif. Dari target untuk membiayai pembangunan baru swadaya 50.000 unit
untuk tahun 2010-2014, telah tersalurkan total 32.512 unit hingga 2012 (65%).
Pada tahun 2010 tersalurkan sebanyak 2000 unit, pada tahun 2011 sebanyak
12.353 unit, dan pada tahun 2012 sebanyak 18.159 unit.
Dari target untuk membiayai perbaikan perumahan swadaya sebanyak
50.000 unit untuk 5 (lima) tahun dari 2010-2014, ternyata pada tahun 2012
telah terjadi lonjakan pelaksanaan yang luar biasa yaitu mencapai total 285.738
unit (571% !). Pada tahun 2010 tersalurkan sebanyak 20.000 unit, pada tahun
2011 sebanyak35.738 unit, dan pada tahun 2012 melonjak luar biasa
sebanyak 230.000 unit.
Sedangkan dari target untuk membiayai prasarana (PSU) perumahan
swadayasebanyak 50.000 unit untuk tahun 2010-2014, tiba-tiba telah
mencapai total48.988 unit hingga 2012 (98%). Pada tahun 2010 tersalurkan
sebanyak 13.350 unit, pada tahun 2011 sebanyak 35.638 unit, namun pada
tahun 2012 tidak ada realisasi sama sekali, yang kemungkinan dikarenakan
sudah dianggap memenuhi target hampir 100%.

Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL SESUAI RPJMN 20102014

SATUAN

RPJMN 20102014

2010

2011

DIPA

REALISASI

(Unit)

(Unit)

DIPA
(Unit)

REALISASI
(Unit)

2012
DIPA
(Unit)

REALISASI
(Unit)

REALISASI s.d. 2012


TOTAL
(Unit)

Fasilitasi dan stimulasi pembangunan perumahan swadaya


Unit

50.000

2.000

2.000

15.000

12.353

20.000

18.159

32.512

65,02

37.500

35.738

230.000

230.000

285.738

571,48

37.500

35.638

48.988

97,98

5.891

19,64

Fasilitasi dan stimulasi peningkatan kualitas perumahan swadaya


Unit

50.000

10.000

20.000

Fasilitasi pembangunan PSU perumahan swadaya


Unit

50.000

10.000

13.350

Fasilitasi pra-sertifikasi dan pendampingan pasca-sertifikasi


Bidang

30.000

7.500

5.891

7.500

Dari kinerja yang cukup aneh di atas, ada beberapa catatan dari program
bedah rumah di bidang perumahan swadaya ini. Pertama, ada kecenderungan
pengukuran kinerja penyaluran yang bukan diukur setelah bantuan diterima
masyarakat dan selesai dilaksanakan pekerjaan pembangunan atau perbaikan,
melainkan diukur setelah dana tersalurkan ke rekening penerima manfaat.
Bahkan tampaknya telah diukur hanya setelah dana tersalurkan ke rekening
pemerintah daerah karena selalu adanya keterlambatan penyaluran.
Pengukuran kinerja penyaluran seperti ini sungguh tidak dapat dipertanggungjawabkan!
Kedua, pada dasarnya kegiatan bedah rumah merupakan stimulasi teknis
perumahan swadaya individual dan bukan kegiatan belas kasihan (charity)
yang lebih bersifat bantuan sosial (bansos). Secara teknis, skema stimulasi
perumahan swadaya membutuhkan pendampingan dan pemberdayaan. Jika
skema ini dijalankan secara konsekwen maka mustahil terjadi lonjakan
pencapaian kinerja hingga lebih 500 % karena membutuhkan pendampingan
dan pemberdayaan masyarakat secara masif. Namun ternyata skema yang
digunakan adalah skema bansos sehingga besaran program bisa mencapai
angka-angka yang sangat fantastis! Untuk itu program perumahan swadaya ini
sangat perlu mendapatkan inspeksi dan audit secara serius dari berbagai
lembaga pengawas terkait.
Secara konseptual, ada perbedaan yang mendasar dari perumahan swadaya
dan bantuan sosial, yaitu basis data, mekanisme penjaringan, mekanisme
penyaluran dan sistem kelembagaan keduanya yang berbeda karena tujuannya
yang memang berbeda. Perumahan swadaya (individual) pada dasarnya
merupakan program stimulan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas
hunian dari rumah-rumah yang tidak layak huni. Namun ketika bantuan stimulan

untuk perumahan swadaya individual diberikan secara hibah, maka mekanisme


ini sudah tergolong sebagai Perumahan Sosial melalui program Bantuan Sosial
(Bansos), yang memerlukan suatu landasan justifikasi yang kuat dari si
penerima manfaat dari sisi masalah sosial (bukan masalah rumah). Perumahan
sosial yang dijalankan melalui mekanisme bansos sudah tergolong urusan di
bidang sosial, dan bukan tergolong urusan teknis perumahan rakyat. Meskipun
demikian ada beberapa skema perumahan sosial di bidang teknis perumahan
rakyat yang tetap perlu dikembangkan seperti rumah sewa sangat murah
(mirip night shelter di Inggris) maupun pondok boro, dan sebagainya, yang
kesemuanya ini bukan tergolong skema bansos dalam arti jaring pengaman
sosial.
Lebih jauh, pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU
PKP no. 1 Tahun 2012) menyebutkan bahwa rumah swadaya diselenggarakan
atas
prakarsa
dan
upaya
masyarakat,
baik
secara
sendiri
maupun berkelompok. Secara prinsip, perumahan swadaya adalah salah satu
instrumen
penting
dalam
pemberdayaan
masyarakat.
Jika
pendekatan individual (individual self-help housing) lebih diarahkan pada
perbaikan
rumah-rumah
yang
tidak
layak
huni,
maka
pendekatan berkelompok (community based self-help housing) pada dasarnya
lebih diarahkan pada upaya-upaya penyediaan perumahan baru yang
menggunakan pendekatan bertumpu pada kelompok.
Permasalahannya, program-program perumahan swadaya sama sekali belum
menyentuh Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok yang lebih menyasar
keberdayaan kelompok atau komunitas. Pendekatan ini mendudukkan
masyarakat sebagai subyek pembangunan di bidang perumahan bukan sebagai
obyek atau sekedar konsumen. Untuk memenuhi kebutuhan perumahan sesuai
dengan
kemampuan
dan
upaya
masyarakat, pendekatan
berbasis kelompok sudah terbukti memberikan berbagai keuntungan sosial,
ekonomi dan lingkungan yang lebih kepada masyarakat dan sekitarnya.
Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok mensyaratkan adanya basis data
berbasis wilayah yang akurat mengenai kelompok-kelompok masyarakat yang
paling mengalami masalah dalam hal perumahan dan permukimannya, seperti
permukiman kumuh maupun squatter di kota-kota metropolitan. Maupun
kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi dikembangkan melalui
pengadaan perumahannya secara berkelompok seperti komunitas-komunitas
berbasis tempat kerja (work-based housing), yaitu mereka dari kalangan
pegawai menengah-bawah, pekerja kelas bawah perkotaan, maupun para
pekerja pabrik. Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok menciptakan iklim
pembangunan yang kondusif melalui fasilitasi perolehan tanah, perijinan dan
penyediaan biaya dan prasarana.

7. Kesimpulan

Dari uraian-uraian di atas kami menyimpulkan sebagai berikut:


1.

Selain masalah akses ke sumberdaya tanah, infrastruktur dan pembiayaan,


masalah yang sebenarnya lebih mendasar lagi adalah bagaimana mengatasi
kendala kapasitas pemahaman (cognitive constraint) yang berbeda-beda di
kalangan pengambil kebijakan. Perbedaan pandangan dalam soal pencapaian
kinerja tidak akan habis-habisnya jika tidak tidak ada pengenalan masalah
secara komprehensif. Angka housing backlog yang selalu meningkat perlu
dipahami sebagai akibat proses urbanisasi yang cepat setidaknya di 10 kota
metropolitan di Indonesia. Namun dengan pemahaman bersama yang
baik housing backlog bukan mustahil diatasi melalui kebijakan dan strategi yang
tepat.

2.

Krisis perumahan dan permukiman ditunjukkan oleh lemahnya keberdayaan


masyarakat, rendahnya kapasitas pemerintah dan kebingungan pelaku swasta
dalam
berinvestasi.
Ini
adalah
indikasi
ketiadaan
sistem
yang
utuh sehingga diperlukan sebuah Reformasi Tata Kelola Kepemerintahan dan
Kepemimpinan
Yang
Baik (Good
Governance
and
Leadership) dalam
bidang Housing and Urban Development.

3. Peran pemerintah sebagai regulator di dalam koordinasi kebijakan maupun


sebagai operator di dalam sinkronisasi pelaksanaan kebijakan PKP belum kunjung berjalan
secara efektif. Kontinuitassuplai perumahan formal berbanding pengadaan swadaya
masyarakat sebesar 15% : 85% bukan semata menunjukkan pentingnya intervensi pada
moda perumahan swadaya. Keadaan ini sebenarnya adalah indikasi dari belum
terbangunnya multi-sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) secara
terpadu. Berbagai kegagalan kebijakan dan strategi pemenuhan perumahan adalah indikasi
dari belum adanya multi-sistem penyediaan perumahan yang mampu menggenjot angka
produksi rumah asecara signifikan dan efektif mencapai kelompok sasaran.
4.

Untuk menyediakan perumahan umum secara masif dalam rangka


pengurangan backlog, diperlukan penguatan lembaga pelaksana, baik di tingkat
nasional maupun daerah yang diberi fungsi dan peran mulai dari pengadaan lahan,
perencanaan, hingga pengelolaan aset publik. Baikfungsi dan peran yang lengkap di
tingkat nasional maupun daerah.Lembaga pelaksana perumahan umum di pusat
maupun daerah masing-masing memiliki misi yang sama, yaitu merumahkan
rakyat dan mengembangkan kawasan permukiman dan perkotaan untuk
menjadi aset publik yang berkualitas.

5. Meskipun
pemerintah
melalui
UU.32/2004
dan
PP
38/2007
telah
mendesentralisasikan urusan perumahan, namun urusan perumahan rakyat
masih jauh dari selesai karena belum adanya kebijakan dan strategi yang
efektif. Sistem penyediaan yang terbangun lengkap dengan mekanismemekanisme dan kapasitas organisasi dan sumberdaya manusia, masih jauh dari
tersedia di daerah..
8. Rekomendasi

Sebagai rekomendasi dari HUD Institute, ada beberapa usulan langkah-langkah


yang
perlu
segera
dilakukan
pemerintah,
yaitu
sebagai
berikut.

1. Reformasi Tata Kelola dan Pembagian Peran


Krisis perumahan dan permukiman yang ditunjukkan oleh lemahnya
keberdayaan masyarakat, rendahnya kapasitas pemerintah dan kebingungan
pelaku swasta dalam berinvestasi, adalah indikasi ketiadaan sistem penyediaan
perumahan
yang
utuh. Untuk
itu,
tidak
bisa
tidak, diperlukan sebuah ReformasiTata
Kelola Kepemerintahan
dan
Kepemimpinan Yang Baik (Good Governance and Leadership), menuju sebuah
tatanan
yang
bisa
disebut
sebagai Government
Driven Housing
and Urban Development atau Public
Sector
Led Housing
andUrban Development.
Untuk memulainnya, pertama-tama diperlukan REFORMASI PERAN, dimana
Pemerintah kembali didudukkan sebagai promotor pembangunan. Peran
pihakSwasta yang selama ini dibiarkan bertarung satu sama lain secara tidak
sehat mestilah ditata kembali menuju tatanan perannya menjadi investor yang
efektif dan sebagai generator pengembangan kawasan.
Sedangkan peran masyarakat yang selama ini dibiarkan tetap tak berdaya,
mestilah terus diberdayakan secara terorganisir dan ditempatkan sebagai aktor
penting
pembangunan.
Konsekwensi selanjutnya adalah
dibutuhkannya
peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM dari unit-unit pemerintah untuk
secara profesional mengelola pelayanan publik di bidang perumahan dan
permukiman, untuk memimpin dan memberdayakan para pelaku lain.

2. Mengembangkan Multi-Sistem Penyediaan Perumahan


Perlunya kehadiran multi-sistem penyediaan perumahan sudah diprediksi oleh Wakil Presiden
Drs. Moh. Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat di bulan Agustus 1950, yaitu bahwa cita-cita
penyediaan perumahan rakyat barulah dapat dicapai dalam kurun waktu setengah abad. Pesan Bung
Hatta ini bukan bermakna asal terbangun konstruksi beratus-ratus ribu rumah semata, melainkan
bermakna bahwa itulah kurun waktu yang diperlukan untuk membangun sistem penyediaan yang
mantap dan responsif. Kunci bagi kebijakan dan strategi yang efektif ini adalah keberadaan modal
kelembagaan (institutional capital) yang jauh lebih penting ketimbang modal biaya (financial
capital). Tujuannya agar utilisasi sumber-sumberdaya kunci PKP (tanah, infrastruktur dan
pembiayaan) dapat dikelola secara efisien dan efektif, baik untuk kebutuhan umum, sosial,
komersial maupun swadaya.
Adanya multi-sistem penyediaan ini menjadi pembeda dengan praktek masa
lalu yang tidak memiliki sistem yang bersifat long-term and dedicated system.
Praktek konvensional yang hanya terdiri dari proyek-proyek konstruksi menara
rumah susun maupun proyek-proyek peremajaan kumuh di satu sisi, dan
proyek-proyek pembangunan perumahan komersial berbiaya tinggi di sisi lain,

tidak akan mampu menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan perumahan


rakyat maupun penataan kota secara berkeadilan dan berkelanjutan.
UU No.1 Tahun 2011 sebenarnya sudah menggariskan bahwa perumahan rakyat tidak hanya
bertumpu pada subsidi karitatif dari APBN maupun praktekrumah komersial semata. Pasal 21 UU
PKP 1/2011 mengamanatkan untuk memberi perhatian sekaligus pada rumah umum, rumah
swadaya, rumah komersial, rumah khusus/sosial dan rumah negara. Penafsirannya bukanlah
menciptakan proyek-proyek konstruksi rumah-rumah dengan aneka nama tersebut. Landasan
undang-undang inilah yang perlu segera direspon denganmengembangkan multi-sistem penyediaan
perumahan yang terpadu, yang meliputi sistem penyediaan perumahan umum, sistem penyediaan
perumahan sosial/khusus, sistem penyediaan perumahan komersial dan sistem penyediaan
perumahan swadaya. Sedangkan pengelolaan rumah negara sudah ditangani secara khusus bersama
gedung-gedung negara lainnya di bawah bidang pekerjaan umum.
Untuk itu dibutuhkan suatu grand design atau cetak biru pembangunan PKP di
Indonesia yang disepakati semua pemangku kepentingan sehingga menjadi
acuan yang tidak berubah-ubah, yang diiringi pembenahan regulasi dalam
jangka dekat perlu segera disiapkan.

3. Pengembangan Sistem Perumahan Umum


Di dalam sistem penyediaan perumahan umum beberapa langkah perlu menjadi
perhatian. Pertama-tama, diperlukan lembaga otoritas perumahan umum di
pusat maupun daerah dengan kinerja tidak seperti organisasi proyek yang asal
proses konstruksi rumah susun telah selesai maka langsung dihitung sebagai
kinerja. Kerjasama dapat dilakukan melalui penataan zonasi di lapangan tanpa
perlu mencampur aduk aset nasional dan daerah. Semakin berjaya otoritas
perumahan umum, baik di tingkat nasional dan daerah, akan mewujud menjadi
aset nasional dan daerah yang menjamin keberlanjutan pengembangan
kawasan permukiman dan perkotaan. Dengan penguatan kelembagaan, maka
sistem perumahan umum akan meredam praktek spekulasi tanah dan properti,
dan melimpahkan hasil apresiasi nilai kawasan menjadi aset publik untuk
kepentingan publik, disamping secara efektif mengembangkan investasi
properti swasta. Sedangkan bisnis properti dapat dijalankan secara
berdampingan dan saling mengisi di dalam suatu kawasan pengembangan yang
terencana dan terkendali dengan baik.
Kedua, di dalam mekanisme perumahan umum, Perumnas atau badan yang ditunjuk
harus diberi tugas untuk memenuhi kebutuhan perumahan seluruh rakyat,
mengurangi housing backlog dan pengembangan kawasan permukiman dan
perkotaan. Perumnas (ataupun badan lain) harus diberi peran sebagai operator
yang memiliki otorita berdedikasi (dedicated authority). Berbagai sumberdaya
kunci masih dikelola secara terpisah-pisah baik di tingkat nasional maupun
daerah. Untuk itu diperlukan pemahaman yang utuh untuk membangun suatu
sistem penyediaan PKP yang menempatkan Perumnas maupun pelaku swasta
dan masyarakat secara sinergis.
Ketiga, di dalam mekanisme perumahan umum, pembangunan rusuna/rusunawa tidak akan
menghadapi beragam masalah karena tidakdilaksanakan melalui sistem proyek-proyek
konstruksi tahunan. Rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda
perumahan
publik
dikembangkan
dengan
pendekatan value
engineering sehingga akan mampu mengakumulasi aset kawasan, tanah dan
bangunan yang mengalami apresiasi, dan menjamin keberlanjutan pembiayaan

tanpa membebani fiskal negara setiap tahun. Sedangkan dalam penyediaan tanah,
pembangunan rusuna/wa dibangun pada kawasan skala besar yang berasal dari
tanah-tanah terlantar maupun alih fungsi dari tanah-tanah milik negara. Dalam
hal perijinan siteplan maupun IMB tidak akan bermasalah karena menjadi
program resmi, baik oleh pemerintah pusat di lahan milik instansi pusat,
maupun oleh pemerintah daerah di lahan milik daerah, yang sekaligus
menghindari masalah transfer aset APBN menjadi aset daerah. Selanjutnya, salah satu
divisi penting dari moda perumahan umum adalah divisi perencanaan penghuni
(tenant screening division/team) yang memiliki instrumen seleksi yang mantap,
sehingga pembangunan rusuna/wa tidak akan menghadapi kesalahan
sasarannya karena sudah direncanakan sejak awal. Terakhir, pembangunan
rusuna/wa di dalam moda perumahan umum harus membentuk manajemen
yang kapabel, baik dalam membina penghuni untuk tinggal di rumah bersusun
maupun menjamin tidak menurunnya kualitas aset karena bertumpu
pada building and estate management yang profesional.

4. Memperkuat Sistem Kelembagaan


Sistem kelembagaan yang mantap menjadi tulang punggung multi-sistem
penyediaan perumahan, yang dibangun melalui sebuah proses yang panjang
sebagaimana dilakukan di negara-negara yang sudah maju urusan perumahan
rakyatnya. Beberapa kelembagaan yang perlu segera disiapkan peran dan
kapasitasnya adalah sebagai berikut:
1. Badan Pelaksana Rumah Susun (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun) adalah sebuah Badan yang berwenang dan
bertanggung-jawab dalam penyediaan rumah-rumah susun berdasarkan
mekanisme perumahan umum, baik dukungan subsidi pengadaan aset publik
secara terintegrasi maupun dukungan biaya pengelolaannya, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pembelanjaan modal negara sebagai aset publik.
2. Perumnas dan Perumda. Untuk mengatasi kesenjangan kekurangan tempat
tinggal (backlog) 13,6 juta unit, pemerintah perlu mengoptimalkan peran
Perumnas, karena berdasarkan UU No 1/2011 tentang PKP pemerintah
mengemban tugas untuk membangun rumah umum. Untuk itu perlu dilakukan
evaluasi stratejik terhadap skema pembiayaan yang dijalankan selama ini,
seperti PSO untuk subsidi harga rumah maupun PMN, dalam rangka
pengembangan sistem penyediaan perumahan umum yang baik. Dengan
demikian diharapkan Perumnas bisa mengatasi berbagai kendala seperti
pembiayaan, perijinan biaya tinggi, keterpaduan prasarana dan kelengkapan
fasilitas.
Melalui
pendekatan government
driven housing
and
urban
development di dalam sistem ini, melalui Perumnas dan Perumda yang
direvitalisasi menjadi Housing and Urban Development Corporation (HUDC),
pemerintah harus mampu mengembangkan permukiman berskala besar,
sehingga berbagai kalangan swasta maupun masyarakat semakin memiliki
harapan dan kepastian untuk berpartisipasi secara sinergis di dalam
pembangunan perumahan dan perkotaan.
3. Baledaya Perumahan dan Perkotaan (Housing and Urban Resource Center)
berwenang dan bertanggung-jawab dalam penyediaan perumahan swadaya
dalam perannya sebagai simpul dari sistem penyediaan perumahan
swadaya. Baledaya Perumahan dan Perkotaan memfasilitasi dialog perumahan

dan perkotaan melalui kegiatan forum yang dinamai Forum Perumahan dan
Perkotaan.
4. Lembaga Dana Perumahan Rakyat yang beroperasional langsung untuk
menghimpun dana-dana dari masyarakat. Pasal 118 UUPKP 1/2011
menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mendorong
pemberdayaan sistem pembiayaan perumahan rakyat untuk memastikan
ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan
hunian perkotaan dan perdesaan.

5. Membangun Sistem Melalui Pemanfaatan Peluang Desentralisasi


Pemerintah nasional
belum
memiliki
kebijakan
dan
strategi
yang
efektif dalammendesentralisasikan urusan perumahan. Mekanisme penyediaan
yang seperti apa, sistem kelembagaan yang bagaimana, dan sebagainya, masih
belum jelas untuk bisa dijadikan model bagi pemerintah daerah.
Melalui UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor
38/2007 memang telah
mendesentralisasikan
urusan
perumahan. Namun
bagaimana proses itu mesti dijalani? Yang jelas, salah satu pertimbangan
penting mengenai desentralisasi dalam urusan perumahan ialah adanya
keragaman budaya dan lokalitas terkait perumahan, selain tentunya semua
sumberdaya perumahan (tanah, infrastruktur dan pembiayaan serta warga
penghuni) semuanya ada di daerah.
Membina Sistem Perencanaan PKP di Daerah. Salah satu peran pokok
yang diemban pemerintah nasional adalah membina pemerintah daerah dalam
bidang PKP. Kelemahan pemerintah daerah dalam bidang PKP ditandai oleh
ketiadaan sistem Rencana Pembangunan Perumahan dan Permukiman, baik
untuk jangka menengah maupun jangka panjang, meliputi: Sistem Penilaian
Kondisi Perumahan (housing need assessment system), Sistem standar
kelayakan dan perhitungan keterjangkauan warga masyarakat, Sistem penilaian
pasar properti perumahan, Sistem pengembangan kelembagaan dan kapasitas,
Sistem pengembangan kerangka peraturan dan pembiayaan.
Upaya untuk membina pemerintah daerah telah dilakukan oleh Kemenpera
melalui kegiatan Dekonsentrasi Lingkup Kemenpera sejak tahun 2010 sampai
tahun 2011, namun kemudian dihentikan pada tahun 2012. Seyogyanya
kegiatan ini dapat terus dikembangkan sebagai salah satu ujung tombak
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam penanganan perumahan
rakyat.
6. Integrasi Pembangunan Perumahan dan Perkotaan
(HUD, Housing and Urban Development)
Penyediaan perumahan dan penanganan permukiman kumuh perkotaan di
tanah air selama ini masih menggunakan pendekatan proyek konstruksi dan
penanganan titik-titik kumuh. Pendekatan lama ini sudah menunjukkan hasil
yang kurang efektif. Sementara di tingkat kota, pola pemanfaatan dan
pengendalian ruang-ruang kota masih lemah, pengelolaan pembangunan
infrastruktur kota belum terpadu, dan masih belum terbukanya akses terhadap
pemanfaatan tanah untuk perumahan rakyat, sistem pembiayaan yang masih
terlalu berorientasi pada bisnis bank umum, dan masih belum utuhnya cara

pandang terhadap proses urbanisasi, menjadi kendala berat dalam penyediaan


perumahan dan penanganan permukiman kumuh.
Kota-kota yang relatif berhasil menyediakan perumahan bagi seluruh lapisan
warganya
dan
berhasil
menghilangkan permukiman
kumuh adalah
buktipengelolaan urbanisasi dan pembangunan kota yang berkelanjutan, dan
hal iniadalah tujuan yang sangat realistis. Kota-kota di negara-negara maju kini
sudah mencapai tahapan keseimbangan urbanisasi (urbanization equilibrium).
Menghadapi
masalah penyediaan
perumahan
dan
permukiman kumuh
perkotaan tersebut, tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan yang sektoral.
Efektifitas penanganan terpadu skala kota mensyaratkan adanya kebijakan,
strategi dan pendekatan yang mengena, dan adanya keterpaduan penanganan
program-program aksi di tingkat kota. Inilah yang disebut dengan pendekatan
pada
skala
kota
atau City-wide
Approach. Pengembangan multi-sistem
penyediaan perumahan (multi-housing delivery system) perlu dilakukan
secararesponsif terhadap pendekatan skala kota.
Pendekatan skala kota adalah inti dari integrasi pembangunan perumahan
danpenanganan kumuh dengan pengelolaan kota, serta menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari pembangunan kota secara keseluruhan(HUD). Untuk
menghadapi tantangan proses urbanisasi yang berat tersebut, sebagai
rekomendasi HUD Institute mengusulkan agar sektor perumahan rakyat
dipadukan dengan bidang permukiman (cipta karya) dan penataan ruang untuk
bersama-sama membentuk Kementerian Perumahan dan Perkotaan yang
memiliki tugas untuk mengatasi kebutuhan perumahan seluruh rakyat dan
menjamin terwujudnya kota-kota yang berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan
lingkungan.

7. Pembelajaran Strategis
Selanjutnya, Indonesia perlu segera belajar dan mengadopsi secara stratejikmoda perumahan umum
di Jepang, Korea Selatan, Hongkong atau Singapura yang sudah dibangun sejak tahun 1960-an dan
berakumulasi pada sistem penyediaan yang mantap. Sebagai lembaga simpul, penyelenggaraannya
dipimpin oleh badan otoritas bernama Urban Renaissance (UR) di Jepang,Korean Land and Housing
Corporation (KLHC) di Korea Selatan, Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor (PKNS) di
Malaysia, maupun Housing Development Board (HDB) dan Urban Redevelopment Authority (URA)
di Singapura. Selanjutnya, badan otorita seperti ini menata kawasan-kawasan kota dan membangun
kawasan-kawasan baru sembari mengembangkan kapasitas bersama-sama dengan pemerintah daerah,
kota maupun distrik.
Sebagai kesimpulan akhir, melalui kerja keras dan upaya yang sungguhsungguh untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang terus semakin
meningkat, dan untuk menjalankan langkah-langkah aksi yang diperlukan,
niscaya target untuk mencapai rumah layak untuk setiap orang serta
menjadikan kota-kota yang berkelanjutan bebas kumuh bukanlah sesuatu yang
mustahil dapat diwujudkan.Faktor politik di tingkat elit, faktor pengelolaan
pengetahuan kelas menengah perkotaan maupun kesadaran di tingkat rakyat
kecil, akan menentukan sukses atau gagalnya program perumahan rakyat dan
pengembangan
permukiman.
Memperhatikan
perkembangan
yang
memprihatinkan ini, kiranya Bapak Presiden dan Bapak Wakil Presiden perlu
mengambil langkah-langkah perbaikan. Momentum Pilpres 2014 perlu

menjadikan isu-isu perumahan rakyat dan permukiman sebagai salah satu


agenda kampanye Presiden. Presiden atau Wakil Presiden yang memiliki
pemahaman dan keinginan politik yang kuat juga menjadi prasyarat awalnya,
yang dibarengi kemauan pemerintah-pemerintah daerah yang semakin
meningkatkan peran dan kapasitasnya di bidang perkim. Tanpa dilandasi
pemahaman dan tujuan membangun sistem, maka target merumahkan seluruh
rakyat secara layak dan hilangnya permukiman kumuh semakin jauh dari
harapan bangsa ini.

Kamis, 25 Oktober 2012 (by, http://niputuredana.blogspot.com/2012/10/sustainabilitydalam-pengembangan.html)

SUSTAINABILITY dalam PENGEMBANGAN


PERUMAHAN
Menurut Avi Friedman, 2004

Dewasa ini penduduk dunia sedang diajak berfikir mengenai segala sesuatu yang lebih memperhatikan
alam dan lingkungan. Alam dan lingkungan sebagai sumber daya yang sedemikian rupa sudah
diberdayakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Manusia mengambil setiap hal
dari alam/lingkungan tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan yang harus dipelihara agar
keberlangsungan kehidupan dapat terus berlanjut hingga masa yang cukup lama. Bahkan sering terjadi
manusia tidak memperhatikan sumber daya alam yang terbatas, dan menggunakannya dengan tidak
terukur, dengan ketersediaan yang sangat terbatas.
Adanya ketidakseimbangan kondisi pemakaian dan ketersediaan memberikan dampak tertentu kepada
kehidupan manusia. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, akan membutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk mereklamasi lahan menjadi normal kembali. Hutan yang pohon-pohonnya
ditebang untuk keperluan industri, akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menumbuhkan
pohon-pohon itu lagi, serta berbagai hal yang manusia ambil dari alam tetapi manusia tidak memberikan
timbal balik yang baik terhadap alam itu sendiri.
Berkurangnya hutan tropis, meningkatnya curah hujan, meningkatnya panas bumi, memberikan dampak
yang saat ini kita sebut dengan Global Warming. Isyu mengenai Global Warming, telah banyak memicu
perhatian dunia akan pentingnya menjaga dan melestarikan alam/lingkungan. Dunia semakin sadar akan
pentingnya keseimbangan alam/lingkungan sebelum alam/lingkungan itu sendiri akan memberikan
bencana besar terhadap kehidupan manusia.
Sejak saat itu, dalam setiap hal yang dilakukan, manusia selalu memperhatikan keterlibatan setiap
kegiatannya dengan alam/lingkungan. Hal tersebut tidak terkecuali terjadi pada perencanaan suatu
kawasan, desain sebuah kompleks perumahan dan permukiman penduduk. Pembangunan suatu
kawasan perumahan atau pemukiman, umumnya selalu berkonsentrasi kepada segi ekonomi, karena
lebih kepada pemikiran keuntungan dalam suatu usaha pengembangan. Kebutuhan penghuni dan
kondisi kondisi alam sering tidak mendapat perhatian yang cukup. Usaha dan pendekatan untuk
mewujudkan ruang terbuka, dan ruang privat masih menjadi perhatian tertentu, dan hal tersebut belum
mendapat perhatian yang pantas hingga abad 21.
Prisip pengembangan keberlanjutan (sustainability) dilakukan dengan pendekatan yang lebih baik.
Keberlanjutan (sustainability) dalam pemenuhan kebutuhan, hingga kebutuhan yang dibutuhkan oleh
generasi masa datang.

AKAR dan DEFINISI dari SUSTAINABILITY


Perkembangan aturan Keberlanjutan (sustainability) dan persyaratan mengenai hal tersebut, berawal
pada pertengahan 1970. Pada tahun 1972, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Human
Environment di Stockholm bersepakat mengenai kenyataan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk dunia
memperlebar ruang di atas bumi dan melampaui batas kemampuan bumi itu sendiri (Canada Mortage
and Housing Corporation, 2000). Pertemuan yang dilaksanakan pertamakali dalam diskusi internasional
mengenai hubungan antara berlangsungnya dampak lingkungan dan masa depan kemanusiaan. Hal ini
selanjutnya dikenal dengan pertumbuhan jumlah penduduk di beberapa negara dengan konsumsi

berlebihan,

sehingga

menyebabkan

ketidak

berlanjutan

dengan

tidak

terbatas,

dan

bahwa

pengembangan yang dilakukan secara praktis menyebabkan kerusakan lahan, penebangan hutan, polusi
udara, dan pencemaran air.
Pemikiran tersebut menjadi dasar dari beberapa pandangan luas yang diterima, dan satu hal yang
menjadi perhatian yaitu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui di muka bumi ini adalah hal
yang penting (CMHC,2000). Beberapa tahun kemudian, pemikiran tersebut telah menuntun ketetapan
WCED, yang juga mengacu sebagai the Brundland Commission, yang lebih dikenal akan pemikiranpemikiran internasionalnya. Pada tahun 1987 sesuai dengan Our Common Future yaitu Komisi yang
menterjemahkan

pengembangan

keberlanjutan

(sustainability)

sebagai

pengembangan

yang

mempertemukan kebutuhan saat ini tanpa kompromi pada kemampuan dari generasi masa datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Definisi ini menguatkan sebuah pendekatan konseptual terhadap pengembangan dimana setiap tindakan
yang diambil harus memikirkan efek-efek yang akan terjadi dikemudian hari. Komisi tersebut juga
menciptakan sebuah paradigma untuk pengembangan terhadap siapa yang berperan utama dalam
pemenuhan kebutuhan dengan modal masyarakat sendiri, tidak bekerjasama dengan distribusi seimbang
mengenai sumber daya antar negara dalam kebutuhan untuk memperbaiki kembali yang disebabkan
oleh konflik tekanan pengembangan dan lingkungan. Lebih jauh tiga hal utama dan hubungan
diantaranya telah menjadi standar kesuksesan dari semua kegiatan pengembangan.
Sebuah perspektif pada kemampuan social untuk meraih keberlanjutan (sustainability) telah
diekspresikan oleh Charles Kilbert dalam The Promises and Limits of Sustainability(1999). Kilbert
menanyakan apakah saat ini system alam dan sumber daya dapat memenuhi bermacam permintaan dari
si kaya dan si miskin sementara sumber daya yang tersisa dan kualitas lingkungan lebih baik untuk
generasi masa datang. Menurut Kilbert, keberlanjutan (sustainability) yang sebenarnya saat ini mengacu
pada strategi reduce-reuse-recycle untuk mendidik masyarakat bahwa sumber daya harus digunakan
pada tingkat tertentu, untuk terjadinya biodiversitas. Pertanyaan Kilbert bagaimana mencapai tujuan ini
seperti menghadapi tantangan teknologi, perilaku manusia yang tidak baik, dan masalah hukum fisik
murni.
Kilbert menyatakan bahwa dengan mengadopsi prinsip-prinsip sustainability, pengurangan penggunaan
energi dapat terjadi tetapi pengurangan tersebut terjadi lebih baik, seperti penyesuaian pertumbuhan
penduduk dengan jumlah sumber daya yang ada. Kilbert mengusulkan bahwa pada saat kita melawan
pandangan anthropocentric (the planet is here for human use) melawan pandangan gaia ( Earth is a
living system destroyed by human), keberlanjutan (sustainability) berarti mengenali bahwa kedua
pandangan berlaku, dimana, sementara manusia akan selalu merusak sumber daya alam, kita juga akan
menjadi pintar dan adaptif, dan kita akan lebih efisien, mengurangi konsumsi material dan mengadopsi
perilaku bersahabat dengan lingkungan.
Kilbert percaya bahwa ketertarikan manusia untuk melakukan sustainability akan terlihat dalam beberapa
tingkatan, pertama dengan mengontrol polusi, kedua dengan mengurangi dampak daur hidup, dan ketiga

dengan mengembangkan teknologi dalam mensingkronisasi dengan sistem-sistem alam. Upaya yang
ditanamkan dalam mengurangi biaya dari bangunan harus diperluas untuk merencanakan bangunan
yang akhirnya dapat secara keseluruhan digunakan kembali dan didaurulang. Masa depan, menurut
Kilbert, berada dalam kesadaran kita bagaimana manusia tanpa pengharapan melawan tekanan besar
dari alam; kita harus menghormati sistem alam untuk memastikan kondisi fisik kita, ekonomi dan social.
Hubungan mengenai lingkungan, ekonomi dan social juga dilakukan oleh Stephen Wheeler dalam
Planning for Sustainability (2004). Wheeler menjelaskan mengenai Three Es, yang terdiri dari
Environment, Economy dan Equity. Menurut sejarahnya, Wheeler mengatakan bahwa sejak tahun 1960,
para pengacara telah memfokuskan masalahnya pada dampak lingkungan yang disebabkan oleh
bangunan (tingkat tinggi). Dalam hal ini Environmental diterjemahkan sebagai lingkungan, Economy
diterjemahkan sebagai ekonomi dan Equity diterjemahkan sebagai kemampuan diri sendiri.

HAL-HAL YANG MENYANGKUT SUSTAINABILITY


Aspek lingkungan, ekonomi dan social adalah penopang unsur dalam perencanaan pengembangan
permukiman yang berkelanjutan (sustainable), yang dewasa ini menjadi perhatian.
Hal utama yang menjadi pertimbangan diantara ketiga factor, merefleksikan dan menangggapi kebutuhan
masyarakat dari sebuah komunitas setempat dan nilai (value) mereka. Kebutuhan social yang sangat
luas, menjadikan semua konsep yang menekankan dapat dijelaskan dan diinterpretasikan dalam banyak
cara.
Bagi mereka yang hidup dengan gaya hidup yang aktif, telah terbukti banyak menderita penyakit
kardiofaskuler, diabetes-(berhubungan dengan penyakit). Oleh karenanya, sebagai daya tarik dalam
perencanaan sebuah lingkungan, perumahan yang luas didesain dengan jalan setapak untuk pengendara
sepeda dan jalan setapak untuk pejalan kaki dan bahwa fungsi perumahan dan bukan perumahan dapat
diintegrasikan.

MASALAH SOSIAL, EKONOMI dan LINGKUNGAN PERLU DIPERTIMBANGKAN SECARA


MERATADALAM PROSES SISTEM PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN.
Argumantasi yang sama dapat dibuat ketika mempertimbangkan kebutuhan terhadap sebuah rumah
murah untuk mereka dengan pendapatan yang rendah. Ketika seseorang menyewakan rumahnya,
mereka tidak menaikan modal, mereka biasanya justru akan mengalami kesulitan keuangan dengan
rumah, sebagian bergantung pada bantuan social. Oleh karenanya, yang paling menarik bagi
masyarakat, dan pemimpin komunitas khususnya, melihat kenyataan bahwa rumah tangga dengan
pendapatan rendah dapat membeli rumah.
Meningkatkan budaya daerah dan memelihara bangunan peninggalan memberikan sumbangan kepada
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Bangunan tua yang layak dipelihara

memberikan gambaran mengenai sejaran manusia. Mereka yang menghargai sejarah, menyumbangkan
kualitas bangunan di masa depan. Mengkonversi dan memperbaharui bangunan tua, juga menolong
mengurai konsumsi sumber daya alam yang dapat digunakan untuk konsumsi pembangunan gedung
baru.
Membantu keberlanjutan ekonomi adalah obyek lain untuk perencanaan komunitas. Daya tolaknya
adalah menghindari pengaliran biaya, hasil dari keputusan saat ini, digunakan untuk generasi
mendatang.
Keberlanjutan lingkungan berhubungan dengan beban ekologis yang diciptakan oleh konstruksi dan
pemeliharaan satu pengembangan, termasuk jalan-jalan, ruang terbuka dan rumah-rumah. Istilah cradle
to grave berguna dalam hal merencanakan sebuah pengembangan. Hal ini bukan saja mengacu pada
efek bahan yang dipilih, sebagai contoh, tetapi juga mengacu pada berapa lama kekuatan bahan dan
kemampuan daur ulang ketika bahan tersebut selesai digunakan.
Ketiga factor kritis yang sangat penting akan pengembangan keberlanjutan (sustainability) dapat dilihat
secara terpisah. Jika kita melihat lebih dalam pada pengembangan perumahan, mendesain dan
membangun dengan prisip keberlanjutan (sustainability), dapat dilihat bahwa penggabungan dari ketiga
aspek menghasilkan satu irisan dari ketiganya yang berpengaruh dalam membangun sebuah lingkungan.
Ketiga hal yang saling tumpang tindih mewakili sebagai sebuah cara dimana konsep dapat dibentuk dan
diterapkan sesuai dengan ilustrasinya.

PRINSIP-PRINSIP DARI SISTEM SUSTAINABILITY


Sistem yang terjadi saat ini dari perencaan kota dan desain tempat tinggal, mendapat tantangan dari hal
philosofi dan bentuk. Dengan kembali pada abad 21 telah memunculkan kebutuhan untuk
mempertimbangkan dan memformulasikan kembali persepsi lama mengenai penduduk kota yang tidak
memililki rumah. Dengan mendiagnosa mengenai hal social, ekonomi dan lingkungan, kita dituntun pada
factor yang selama ini diacuhkan yaitu hasil perpaduan dari ketiga factor yaitu : lingkungan, ekonomi dan
social. Pemikiran utama pengembangan biasanya mengacu pada sebuah produk, dari pada sebuah
proses, dimana terdapat jarak dari aspek-aspek yang secara sistematis telah dieksplorasi dan
dimanfaatkan. Proses, yang menjadi kunci dan hubungan antara ketiganya diilustrasikan dengan empat
prinsip umum. Jika diikuti, prinsip-prinsip tersebut dapat menuntun konsep dari sebuah komunitas
perumahan yang berkelanjutan (sustainability).
A.

Memperkecil Dampak Negatif

Sejak awal abad 21, khususnya setalah Perang Dunia II, pengembangan perumahan yang sederhana
memiliki catatan buruk terhadap sekitar/lingkungan. Hutan dan kebun, banyak berkurang untuk
pembukaan lahan perumahan dengan jalan yang lebar dan kebun rumput. Rumah-rumah makin luas dan
lebih kompleks, dan mengkonsumsi energi dalam jumlah yang banyak untuk tetap hangat pada saat
musim salju dan dingin pada saat musim panas. Seperti aktifitas yang memiliki dampak langsung dan
dampak jangka panjang terhadap lingkungan local dan keseluruhan.

Memperkecil dampak negative adalah jalan keberlanjutan (sustainable) yang merupakan sebuah
pembuat keputusan terhadap usaha perencanaan apapun yang akan dipilih-sebuah jalan yang akan
memperkecil dampak negative pada faktor lingkungan, social dan ekonomi dari sebuah proyek.
Sebuah proyek dapat juga mengakibatkan adanya permasalahan perekonomian, misalnya, sebuah
proyek yang bernilai tinggi yang berlokasi di dekat unit penyewaan berharga rendah, akan menyebabkan
nilai property mahal tersebut turun menjadi sebuah kondominium dan akan menyebabkan penghuni
meninggalkan area tersebut.
B.
Ketika

Proses Pendukung Diri

sebuah

pengembangan

direncanakan,

meminimalisasi

dampak

tertentu

sebagai

satu

prioritas. Kelangsungan suatu proyek dapat juga dilihat sebagai proses pendukung diri dari sumber daya
dan aktifitas. Secara metafora, kita dapat mengacu bahwa energi yang digunakan dalam sebuah konsep
proyek dan gedung sebagai sebuah generator dari sumber daya tambahan untuk kekuatannya bahkan
berkontribusi terhadap terhadap penciptaan proyek yang sama.
Sebagai contoh ketika perumahan didesain dan dibangun dengan menggunakan photovoltaic panel atau
solar collector, energi akan disalurkan melalui keduanya dan dapat memberikan power dalam rumah dan
terhindar dari fasilitas umum. Hal tersebut sama dengan ketika air hujan dikumpulkan, dimurnikan, dan
dirubah untuk dijadikan air minum, rumah mempunyai sumber air yang berkelanjutan. Jika kelebihan
daya energi atau air dihasilkan, hal ini dapat digunakan untuk kebutuhan orang banyak. Tambahan
penyimpanan energi, sebagai contoh, dapat digunakan untuk tenaga lampu jalan.
C.

Mendukung Hubungan

Dasar prinsip lain dari proyek keberlanjutan (sustainable) adalah hubungan dari bagian-bagian sangat
penting. Ketika sebuah dukungan hubungan didirikan, atribut dari satu komponen dapat menggerakkan
aktifitas dengan yang lain. Pengaruh antar disiplin dan efek satu dengan lainnya akan menciptakan
sebuah sistem pendukung. Sebuah desain yang didapatkan untuk meninggalkan sedikit masalah
lingkungan di lapangan, akan melakukan sedikit penebangan pohon dan dapat menjadikan sebuah
pemasaran yang sukses. Hasil sebuah proyek ekonomi dapat menguntungkan klien yang akan tertarik
pada proyek sesuai dengan kesan hijau. Sebuah nilai tambah yang menguatkan antara lingkungan dan
daya tarik moneter.
Penggunaan

produk

dengan

harga

murah

mengharapkan

material

dapat

didaur

ulang

yang memperhatikan lingkungan tetapi dapat juga memberikan keuntungan pada pengembang terhadap
kompetitor dan keuntungan kepada proyek secara finansial. Membangun rumah-rumah lebih kecil dalam
sebuah konfigurasi lingkungan, akan menghasilkan pengurangan para gelandangan. Hal tersebut juga
menghemat biaya lahan dan infrastruktur ketika digunakan oleh penghuni sehingga perumahan terbeli.
D.

Pendekatan Daur Hidup

Penanda

dari

keputusan

baik-menjadikan

sebuah

sistem

keberlanjutan(sustainability)

adalah

kemampuan proyek itu sendiri untuk berlanjut melalui keseluruhan daur hidupnya. Menjadikannya melalui
setiap dari tiap komponennya atau hubungan timbal balik mereka, konsepsi dan pembangunan
diperlukan untuk lebih meyakinkan bahwa atribut asli dari proyek akan memberikan nilai tambah selama
bertahun-tahun mendatang. Jika sebuah proyek berhasil dengan baik dan sukses secara ekonomi,
pemilik rumah akan senang untuk berinvestasi dalam pemeliharaan dan menjaga, seperti mengganti
jendela lama dengan model yang lebih efisien dalam hal energi, dimana akan mendukung penghematan
energi. Sebuah gedung yang baik akan menghemat pengeluaran pemilik pada pemeliharaan dan
pengoperasian yang berlangsung.
Ketika sebuah tempat tinggal dibangun agar beradaptasi dan dapat dengan mudah memodifikasi
kebutuhan penghuni berikutnya, keusangan dan perobohan dapat dicegah. Pandangan yang sama harus
terus dipakai ketika aturan dan hukum diciptakan. Mereka seharusnya menyediakan sebuah kerangka
kerja untuk dikerjakan, belum membatasi pengenalan dari amandemen dan perubahan ketika waktu dan
keadaan akan diperkenalkan.
Surabaya, Actober 2012...untuk ANYA dan TATA...mommy loves you so much!

Вам также может понравиться