Вы находитесь на странице: 1из 4

Berdasarkan laporan The Leptospirosis Information Center, pada rentang tahun 1999

2000, telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis di India, Thailand, Perancis,
Amerika, Brazil, Uruguay, Indonesia dan beberapa negara lainnya. Pada tahun 2000 case
fatality rate (CFR) leptospirosis di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia (16,7%)
setelah Uruguay (100%) dan India (21%) (ILS, 2001). Sementara menurut Depkes RI
(2009), leptospirosis di Indonesia pada rentang 20042010 cenderung mengalami
peningkatan, baik dari jumlah kasus maupun kematian dengan insiden tertinggi terjadi
pada tahun 2007.
Menurut WHO (2003), leptospirosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri patogen Spirochetes dari genus Leptospira, yang ditularkan secara langsung
maupun tidak langsung dari hewan ke manusia, sehingga penyakit ini digolongkan dalam
zoonosis. Beberapa ciri umum penyakit leptospirosis (Chin, 2000), diantaranya terjadinya
demam dengan serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, nyeri otot berat terutama pada
betis dan kaki dan merah pada conjunctiva (selaput mata) ini.
Secara epidemiologi, wilayah penyebaran leptospirosis umumnya pada daerah tropis dan
subtropics. Sebagian besar negara di Asia Tenggara dinyatakan sebagai daerah endemis
leptospirosis. Penyakit yang disebut reemerging infectious disease ini dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama pada musim penghujan serta
kemungkinan adanya kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira. Penyakit
ini secara tradisional dihubungkan dengan penularan melalui tikus yang disebabkan oleh
reservoar icterohemorrhagiae dan copenhageni. Pada saat ini semua infeksi Leptospira
lebih sering disebut sebagai leptospirosis dengan mengabaikan gejala dan tanda klinik.
Menurut Widoyono (2005), sejarah perkembangan penyakit leptospirosis dimulai ketika
pada tahun 1914 Inada berhasil mengisolasi family spirochaeta dari spesies Spirochaeta
icterohemorrhagiae. Pada tahun itu juga, Wolbach dan Binger mengisolasi Spirochaeta
biflexa. Pada tahun 1915 bakteri leptospira berhasil dideteksi oleh Inada dan Ido dari
darah orang Jepang yang bekerja sebagai penambang dan disertai penyakit kuning, juga
dideteksi di Jerman oleh Unlenhuth dan Fromme. Kemudian pada tahun 1918 Noguchi

mengisolasi famili Spirochaeta dengan Genus Spirochaeta, Genus Cristispira, Genus


Treponema, Genus Borrelia dan Genus Leptospira.
Penyakit infeksi akut leptospirosis dapat menular langsung atau tidak langsung dari
hewan ke manusia. Menurut WHO (2006), leptospirosis merupakan penyakit dengan
gejala klinis tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji
laboratorium. Gejala klinis leptospirosis dapat menyerupai penyakit lain yang sering
dijumpai pada daerah endemis, misalnya infeksi dengue, hanta virus, thypoid, hepatitis,
malaria, meningitis. Hal ini menyebabkan leptospirosis sering tidak terdiagnosis.
Penegakan diagnosis leptospirosis dilakukan berdasarkan gejala klinis pada penderita
serta pemeriksaan serologi untuk melihat peningkatan titer dari serum penderita dengan
pemeriksaan microscopic aglutination test (MAT). sesuai rekomendasi WHO kriteria
gejala dan atau tandatanda klinis yang dialami penderita antara lain demam, mialgia,
ikterik, conjunctival suffusion, nyeri otot dan albuminuria. Juga dimasukkan hasil
pemeriksaan serologi, faktor epidemiologi yang berkaitan dengan penularan leptospirosis
(seperti riwayat kontak dengan hewan pembawa leptospira, riwayat kontak dengan air
dan atau lingkungan yang terkontaminasi baik di tempat kerja maupun tempat lain,
demikian juga dengan beraktivitas sehari-hari yang memungkinkan penderita kontak
dengan sumber kontaminan.
Berdasarkan aspek lingkungan, insiden leptospirosis lebih banyak terjadi pada negara
beriklim tropis dan subtropis dengan curah hujan yang tinggi. Kondisi lingkungan pada
daerah tersebut menjadi sangat optimal bagi pertumbuhan Leptospira. Berdasarkan aspek
umur, Menurut Depkes RI (2008), leptospirosis termasuk penyakit infeksi yang
menyerang semua golongan umur, namun 50% kasus pada umumnya berada pada
kelompok umur 10 39 tahun. Kelompok umur tersebut merupakan kelompok yang
paling banyak kontak dengan faktor risiko.
Lingkungan kumuh dengan sanitasi buruk terkait erat dengan kejadian leptospirois, hal
mana disebabkan karena peningkatan populasi tikus sehingga memperbesar kemungkinan

kontak antara manusia dengan hewan terinfeksi. Manusia dapat terinfeksi leptospira
melalui kontak dengan air, tanah atau lumpur yang terkontaminasi oleh urine hewan yang
terinfeksi. Infeksi ini terjadi karena adanya luka/erosi pada kulit maupun selaput lendir.
Air tergenang dan mengalir lambat yang terkontaminasi urin hewan infektif berperan
dalam penularan leptospirosis. Paparan yang relatif lama pada genangan air yang
terkontaminasi leptospira terhadap kulit yang utuh dapat juga menularkan leptospira.
Menurut Zein (2009), Leptospirosis pada hakikatnya adalah infeksi hewan. Infeksi pada
manusia terjadi akibat kontak dengan air atau zat-zat lain yang terkontaminasi dengan
tinja dan air kemih hewan. Leptospira bisa terdapat pada hewan piaraan seperti anjing,
babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau hewan-hewan pengerat lainnya seperti tupai,
musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Vektor utama dari Icterohaemorrhagiae
penyebab leptospirosis pada manusia adalah tikus. Di dalam tubuh tikus, leptospira
menetap dan membentuk koloni sertaberkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal
tikus dan terus menerus ikut mengalir dalam filtrat urin.
Sementara menurut Depkes RI (2008), leptospirosis disebut juga direct zoonoses (host to
host transmission), karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit
tersebut berkembang bebas di alam di antara hewan liar maupun domestik, sedangkan
manusia merupakan terminal atau dead end, sehingga leptospirosis disebut juga sebagai
anthrop ozoonoses.
Refference, antara lain : Depkes RI. 2008. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan
Penanggulangan kasus Leptopsirosis di Indonesia; Chin, J., 2000. Manual Pemberantasan
Penyakit Menular; WHO. 2003. Human Leptosirosis Guidance For Diagnosis,
Surveillance And Control; Zein. 2009. Leptospirosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam; ILS. 2001. ILS Worldwide Survei 1998, 1999, 2000; Faine, S. 1982. Guidelines
For The Control of Leptospirosis, WHO; Depkes RI. 2009. Profil Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2008; Widoyono. 2005. Penyakit Tropis,
Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan.
Easy Plugin for AdSense V7.60 [leadout: 2 urCount: 2 urMax: 0]

new2015IPH3

Вам также может понравиться