Вы находитесь на странице: 1из 39

Timbulnya Tradisi Sekaten

Dalam serat babat menyebutkan bahwa setelah Majapahit mengalam dekadensi,kerajaan


tanah jawa dipindah ke Demak. Pada waktu itu orang Jawa masih masih menganut paham
Hindhu,kepercayaan Animisme, Dinamisme masih kuat, maka para ulama sepakat akan
mengIslamkan masyarakat jawa.Sebelum Islammasuk masyarakat jawa sudah gemar akan
gamelan. Gamelan dapat dipakainsebagai pelengkap didalam pertunjukan wayang, pengiring
gendhing jawa ( tembang ), oleh para wali lebih lebih Sunan Kalijaga gamelan tersebut
dimanfaatkan sebagai alat untuk dawah. Oleh karena itu Sunan Kali jaga dengan
menggunakan gamelan dan dibuyikan dihalaman Masjid Agung Demak dengan maksud agar
rakyat datang mendengarkan kemudian menganut Islam.
Adapun orang yang masuk Masjid diwajibkan membaca dua syahadat .dalam bahasa arab
syahadat ain Kemudian orang jawa menamakan sekaten. Adapun syahadat tersebut
adalah :

Asshadu alla illaha illalloh : yang artinya tidak ada makhlukyang disermbah didunia
ini kecuali hanya ALLAH saja.

Wa asshadu anna Muhammadarosullulloh : yang artinya dan saya percaya bahwa Nabi
Muhhamad utusan ALLAH.

Pengertian Sekaten
Sekaten berhubungan eratdengan proses Islamisasi di Jawa. Masyarakat Jawa gemar aka
gamelan maka oleh Sunan Kalijaga Alat itu dipakai untuk menyiarkan agama Islam. Gamelan
yang dipakai itu oleh Sunan Kalijaga diberi nama Kyai Sekati. Adapun maksudnya adalah
untuk memperlambangkan agama Islam.
Setiap tahun sekali diMasjid Agung yaitu pada bulan Maulud diadakan tablikakbar atas
prakarsa Sunan Kalijaga. Tabligh ini untuk memperingatti Maulud Nabi Muhhamad S.a.w.
dan pada waktu itu sebagai musyawarah para wali.
Seusai perkembangan jaman sekaten dikemas sedemikian rupa hingga dapat menarik
masyarakat. Pada hari Maulud Nabi, gamelan Kyai Sekati ditabuh bertalu talu dengan tidak
hentinya.
Jadi disini penulismengartikan pengertian sekaten adalah : Suatu upacara keagamaan, dimana
gamelan dibunyikan dihalaman Masjid dengan tujuan agar orang masuk Masjid dengan
membaca dua kalimat syahadat.

Tujuan Sekaten di Bidang Agama.


Perayaan sekaten bertepatan dengan hari raya Maulud Nabi, yang merupakan tradisi
kelanjutan para wali. Gamelan ditabuh saat sekaten dengan maksud untuk menarik para
masyarakat. Sekaten dilaksanakanjuga untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
S.a.w.
Didalam sekaten karena pengunjungya sangat banyak maka diadakan kotbah-kotbah yang
bernuansa Islam untuk menggugah keimanan mereka agar menghayati perintah Nabi.
Tradisi Sekaten di Surakarta
(1) Timbulnya perayaan sekaten di Surakarta sebenarnya hanya merupakan kelanjutan
daritradisi Demak. Tetapi timbulnya tradisi sekaten di Surakarta sejak PB III. Pada waktu
Mataram pecah jadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta maka Gamelan sekaten juga dipecah
menjadi dua, sehingga perayaan sekaten pada waktu PB III tidak meriah. Akan tetapi pada
waktu PB IV bertahta, perayaan sekaten lebih meriah, karena PB IV memesan satu gamelan
lagi yang diberi nama Kyai Guntur Maadu. Perayaan sekaten di Surakarta merupakan
perpaduan antara kebidayaan jawa dan Islam, kebudayaan jawa berbentuk Gamelan sedang
Islam berbentuk Masjid. Sekaten berlangsung dari tanggal 5 s.d. 12 Maulud.
(2) Persiapan Upacara Sekaten
Perayaan ini merupakan tradisi Keraton maka kepanitiaan ditangani langsung oleh Keraton.
Yang kebagian tugas yaitu Roh Kepatihan yaitu menyangkut keamanan, ketertiban, dan
sebagainya ditangani oleh Roh Kepatihan. Tetapi sekarang bekerjasama dengan Kesra,
Pariwisata dan Kantor agama Surakarta, sebab upacara ini tidak hanya adat tetapi sekarang
merupakan perpaduan antara adat, agama, dan pesta. Campur tangan Keraton yaitu waktu
gamelan diturunkan dari Sitinggil, agama yaitu tempat gamelan diletakkan (Masjid Agung ).
Sedangkan pesta yaitu hiburan yang berupa promosi, stand, iklan, permainan yang ada di luar
Masjid.
Gamelan Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu diturunkan dari Sitinggil + jam 10.00
pagi, lewat Pagelaran kemudian menuju Alun alun dan belok ke kiri, tepat disebelah selatan
waringin kurung menuju Masjid Agung. Gamelan sekaten tersebut terdiri atas :
1. Bonang besar satu pangkon terdiri dari dua baris
2. Demung dua pangkon
3. Gembyangan dua pangkon

4. Saron penerus dua pangkon


5. Gong besardua buah
6. Bedug
Pelaksanaan Sekaten di Surakarta
Perayaan ini dilaksanakan pada bulan Maulud tanggal 5 s.d. 12 Rabiul awal dihalaman
Masjid Agung Surakarta.
Perayaan bersifat umum dan terbuka, maka banyak pengnjung yang datang baik dari
masyarakat Surakarta sendiri maupun dari luar kota,seperti : Wonogiri, Karanganyar,
Boyolali, Sukoharjo,dan lainnya.
Sebelum pelaksaan sekaten disiarkan melalui radio baik lewat RRIataupun yang lain.
Perayaan sekaten tidak lepas dari prakarsa Sunan Kalijaga yaitu sebagai sarana dawah.
Sebab dengan gamelan sekaten tersebut, maka bisa berhasildengan gemilang. Dua gamelan
yang penulis uraikan diatas, Kyai Guntur Madu memperdengarkan gending-gendingRambu
dan Kyai Guntur Sari memperdengarkan gending Rangkung, jadi gamelan sekaten
memperdengarkan gending Rambu dan Rangkung .
Pada upacara pembukaan perayaan sekaten di serambi Masjid Agung dengan acara sebagai
berikut :
1. Pembacaan ayat suci Al Quran
2. Pembukaan oleh ketua panitia
3. Sambutan dari Bapak Walikota Kota Madya Surakarta
4. Uraian Sejarah timbulnya sekaten oleh Bapak sesepuh Keraton Surakarta Hadiningrat
5. Doa penutup.
Demikianlah uraian pelaksanaan upacara sekaten di Keraton Surakarta.
Timbulnya Gamelan Sekaten
Karena masyarakat Jawa yang gemar gamelan para Wali dalam menyebarkan agama Islam
menggunakan gamelan. Oleh Sunan Kalijaga didengarkan suaragrenang greneng tersebut,
maka disuruhlah dua orang ulama untuk mencari jin itu agar menyetujui inisiatif Sunan

Kalijaga. Dua Ulama itu bernama Ki Gambuh dan Ki Ganjur. Sejak itu timbul tradisi sekaten
sampai sekarang.
Maka menjadi tradisi bahwa gamelan Sekaten yang dibunyikan di Masjid Agung Surakarta
yakni :

Kyai Guntur Madu dengan gending Rambu

Kyai Guntur Sari dengan gending Rangkung

Adapun makna gending Rambu dari bahasa Arab rathuna yang berarti Allah
Pangeranku, sedang gending Rangkung dari bahasa Arab Loukhim yang artinya jiwa
besar atau agung.
Asal Mula Gamelan Sekaten Di Surakarta
Gamelan sekaten Surakarta bukan berasal dari Demak atau Pajang. Hal itu terbukti bahwa:
Setelah Pangeran Hadipati Benawa di Pajang sampai Prabu Hanyakrawati Sedo
Krapyak,gamelan sekaten tidak dibunyikan, tetapi masih disimpan di Demak.
Adapun asal mula gamelan sekaten di Surakarta yaitu :
Sudah penulis uraikan dimuka bahwa sejak Pangeran Hadipati Benawa di Pajangm, hingga
Prabu Hanyakrawati Sedo Krapyak gamelan sekaten tidak dibunyikan tetapi masih disimpan
di Demak. Setelah kerajaan Mataraam berdiri dengan Rajanya Sultan Agung
Hanyakrakusuma, maka dibuatlah Gamelan baru dengan ditandai Condro Sengkolo
Rerengan Nanas Tinoto ing Wadah. (1566). Pada masa Mataram kerajaan dipecah menjadi
dua yakni kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dan pada waktu itulah gamelan
juga dipecah menjadi dua.
Kasultanan Yogyakarta mendapat bagian : Bonang, Demung, Saron, Gong, serta sisanya
berada di Kasunanan Surakarta. kemudian setelah PB IV bertahta, sisa gamelan tersebut
dilengkapi dan memesan satu gamelan lagi yang baru yang lebih besar dengan Condro
SengkoloNogo Rollo Nitih Tunggal. Gamelan tersebut berangka th.1718 M.
Adapun yang membuat gamelan sekaten diataspesanan PB IV tersebut bernama abdi dalem
Empu Ganding Pande Gangsa. Gamelan pesanan PB Ivitu kemudian diberi nama Kyai
Guntur Madu yang di tempatkan di bangsal selatan, sedang gamelan Sultan Agung di
tempatkan di bangsal utara, dengan nama Kyai Guntur Sari.
Jadi asal mula gamelan sekaten Surakarta yakni separor peninggalan Sultaan Agung dengan
nama Kyai Guntur Sari dan gamelaan ciptaan PB IV bernama Kyai Guntur Madu.

Peranan Gamelan Sekaten


Gamelan adalah pusaka Keraton kemudian dihubungkan dengan Masjid. Karena Masjid
Adalah tempat suci umat Islam. Maka jelas bahwa peranan gamelan dalam sekaten, selain
merupakan cirikhas budaya jawa juaga sarana dawah umat Islam. Dengan kata lain gamelan
merupakanbuatan para raja dan menjadi pusaka Keraton, serta di bunyikan di halaman Masjid
adalah menjadilambang perpaduan budaya jawa dengan Islam. Dan manunggalnya antara
budaya jawa dan Islam itu mengandung arti sebagai sarana mengagungkanNabi Muhammad
s.a.w. sebab upacara sekaten itu biasanya bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad, atau
orangjawa menyebutnya Muludan.
Mitos dalam sekaten
Dalam upacara sekaten banyak terdapat mitos yang dipercayai oleh masyarakat diantaranya
adalah :
1. Gunungan
Gunungan merupakan puncak dari upacara tradisi sekaten. Disini terdapat gunungan yang
didalamnya ada berbagai jenis makanan serta sayur mayur atau kebutuhan makan sehari-hari.
Masyarakat percaya kalau mengambil isi gunungan, segala bentuk keinginan dan cita-cita
akan tercapai. Dan setidaknya bisa mendatangkan berkah.
2. Janur
Janur disini yang dipercaya dan diperebutkan oleh orang adalah janur yang dipasang pada
saat pembukaan Sekaten, yaitu pada saat gamelan sekaten pertama kali ditabuh/ dibunyikan.
Dengan memperebutkan janur sekaten bisa mendatangkan rejeki.
3. Sirih
Para pengunjung sekaten biasanya mengunyah sirih yaitu mulai pada saat gamelan sekaten
dibunyikan. Ini dipercayai dengan mengunyah sirih kita dapat awet muda.
4. Telur amal / telur asin
Telur amal / asin biasa dijual diarena stand sekaten, disini dipercaya oleh masyarakat kalau
membeli telur asin maka kita memberi amak pada pembeli, juga segala amal kebaikan kita
diterima oleh Tuhan.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan


(Depdiknas, Terakreditasi)
Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta :
Kajian Alternatif Pengembangan Bahan Ajar
Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Kundharu Saddhono
Universitas Sebelas Maret

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) cerita rakyat yang
melatarbelakangi diadakannya Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta; (2)
prosesi dan nilai simbolis yang terkandung dalam Upacara Tradisi Sekaten
di Surakarta; dan (3) pelaksanaan pembelajaran sastra di SD, SMP, dan
SMA. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan
strategi penelitian studi kasus terpancang tunggal. Sumber data penelitian
berupa peristiwa, informan, dokumen, dan benda budaya. Objek penelitian
ini adalah cerita rakyat yang melatarbelakangi diadakannya Upacara Tradisi
Sekaten di Surakarta, prosesi dan simbol yang terdapat dalam Upacara
Tradisi Sekaten di Surakarta, dan pelaksanaan pembelajaran sastra di SD,
SMP dan SMA. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam (in-depth interview), pengamatan langsung, dan analisis isi
dokumen.
Teknik
sampling
yang
digunakan
yaitu Snowball
Sampling dan Purposive Sampling. Validitas data yang digunakan adalah
triangulasi sumber, triangulasi metode, dan review informan. Teknik analisis
data dalam penelitian ini yaitu teknik analisis interaktif. Hasil analisis cerita
rakyat yang melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan
Surakarta
yang
telah
diteliti
berupa
asal-usul
diselenggarakannya Sekaten dengan berdirinya Kerajaan Demak sebagai
pusat penyebaran agama Islam oleh Raden Patah dan Wali Songo.
Penyebaran Islam tersebut dilakukan dengan mengakulturasikan budaya
setempat dengan ajaran Islam. Untuk itu dibuatlah suatu momentum yang
bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yaitu dakwah
dengan menggunakan media gamelan. Masyarakat pun tertarik, dan
mereka
yang
datang
ke
masjid
diberikan
dakwah
serta disyahadatkan. Syahadatan sebagai ikrar pengakuan diri terhadap KeEsaan Allah SWT mendapat respon positif, dan lama-lama dikenal dengan
Sekaten. Prosesi dalam Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta dimulai pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul empat sore, yaitu
ditandai dengan dibunyikan gamelan sekaten di Masjid Agung untuk yang
pertama kali. Selama satu minggu halaman Masjid Agung dipenuhi dengan
keramaian, baik para pedagang yang menjual dagangan khas sekaten,
maupun masyarakat yang berantusias ingin mendengarkan alunan gamelan
Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari yang diletakkan di Pendopo Utara

dan Selatan Masjid Agung. Kemudian pada puncak acara tanggal 12Rabiul
Awal dikeluarkanlah gunungan dari keraton. Masyarakat dari berbagai
daerah
datang
untuk
mengikuti
acara
tersebut,
termasuk
tradisi rayahan gunungan
yang
dipercaya
oleh
masyarakat
akan
mendatangkan berkah dan rejeki. Simbol yang terkandung dalam Cerita
Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu
terdapat dalam gunungan yang dikeluarkan oleh keraton. Gunungan
tersebut sebagai wujud rasa syukur Raja kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
limpahan berkah dan rahmat yang diberikan. Hasil analisis pelaksanaan
pembelajaran sastra di SD, SMP, dan SMA yang telah diteliti yaitu bahan
ajar cerita rakyat dapat digunakan sebagai apresiasi sastra yang dapat
menanamkan nilai budi pekerti kepada siswa. Cerita rakyat sebagai
kekayaan budaya bangsa memiliki nilai-nilai luhur sebagai cermin jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia. Untuk itu harus dilestarikan keberadaannya
agar tidak tergeser oleh budaya asing yang tidak sesuai dengan jati diri
bangsa Indonesia.
Keyword : sekaten, cerita rakyat, Surakarta, pembelajaran, dan bahan ajar

A. Pendahuluan
F
olklor adalah bagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turuntemurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam tulisan maupun dengan contoh yang disertai dengan gerakan isyarat atau
alat pembantu pengingat (Danandjaja,1997: 2). Folklor juga mempunyai kegunaan dalam
kehidupan bersama suatu kolektif, yaitu sebagai alat pendidik, pelipur lara, dan proyeksi
keinginan masyarakat pemiliknya.
Dalam perkembangannya, cerita yang melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten di
Keraton Kasunanan Surakarta dalam jangka waktu yang relatif lama tentu akan
mengalami perubahan, penambahan, dan pengurangan. Begitu pula dengan bentuk
permukaan luar pelaksanaan upacara akan mengalami perubahan dan pergeseran
dengan tetap menjaga nilai, tujuan, maupun kesakralannya. Salah satu penyebabnya
adalah penyebaran cerita yang dilakukan secara lisan, dituturkan dari satu orang ke
orang yang lain, turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Padahal manusia
mempunyai daya ingat dan kemampuan yang terbatas. Untuk itu, pendokumentasian
terhadap cerita rakyat yang mencakup latar belakang dan sejarah perkembangan
Upacara Tradisi Sekaten perlu dilakukan agar tidak hilang dan mengalami kepudaran.
Cerita rakyat diadakannya perayaan Sekaten di Surakarta merupakan cerita rakyat milik
bersama atau umum bagi para pendukung cerita tersebut. Hal ini dibuktikan dengan
adanya antusias masyarakat yang masih merayakan dengan khidmad selama satu
minggu dalam mengikuti Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adanya kekayaan sastra tersebut dapat
dipergunakan sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan dapat membimbing
masyarakat ke arah pemahaman, gagasan, dan peristiwa berdasarkan praktik yang telah
menjadi tradisi selama berabad-abad.

Upacara tradisi merupakan bagian dari adat istiadat yang merupakan salah satu upaya
masyarakat Jawa untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dunia roh, dan sesamanya.
Sebagai perwujudan dari itu, Keraton Kasunanan Surakarta sekarang ini masih memiliki
beranekaragam hasil kebudayaan. Hal tersebut masih tercermin dengan dilakukannya
beberapa upacara tradisional, di antaranya: upacara jamasan pusaka, sekaten, upacara
labuhan, upacara garebeg besar, sesaji mahesa, lawung, dan lain sebagainya. Upacara
tradisional tersebut masih terpelihara dengan baik.
Keraton Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan Islam. Dalam agama Islam,
Nabi Muhammad SAW merupakan Rasul pembawa ajaran Islam di muka bumi, sehingga
hari kelahiran beliau diperingati oleh umat Islam, karena Nabi Muhammad SAW sebagai
pembawa kebenaran. Selain itu dalam ajaran Islam disebutkan bahwa orang harus selalu
bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, Keraton Kasunanan Surakarta mengemasnya dalam
bentuk upacara tradisional. Salah satu budaya tradisional yang hingga saat ini tetap
dipertahankan keberadaannya adalah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta. Pada dasarnya upacara tradisi ini merupakan upacara memperingati hari lahir
Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut sebagai wujud rasa syukur tersebut diadakan
setiap tahun sekali dalam penyelenggaraan Sekaten. Perayaan Sekaten ini diadakan
setiap 12 Mulud atau 12 Rabiul Awal.
Pada zaman dahulu orang Jawa menyukai gamelan, maka pada saat hari raya Islam itu di
dalam masjid diadakan penabuhan gamelan, agar orang-orang menjadi tertarik. Jika
masyarakat sudah berkumpul lalu diberi pelajaran tentang agama Islam. Untuk keperluan
itu para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamai Kyai Sekati. Usul dari
Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali lainnya yaitu pada hari lahir Nabi
Muhammad SAW dalam masjid dipukul gamelan. Ternyata banyak orang datang ke
masjid untuk mendengarkan gamelan Sekaten (Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari)
yang dibunyikan mulai pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul empat sore di Pendopo Masjid
Agung. Dan pada puncak acaranya tepat tanggal 12 Rabiul Awal diadakan Garebeg yaitu
upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keraton. Dari sinilah raja
mengeluarkan sepasang gunungan (kakung dan putri) yang bermakna keselamatan dan
pembawa berkah.
Upacara Tradisi Sekaten sebagai aset budaya daerah yang sampai sekarang masih
diperingati oleh sebagian besar masyarakat Surakarta, mempunyai cerita rakyat yang
melatarbelakangi penyelenggaraannya. Cerita rakyat yang terkandung dalam Upacara
Tradisi Sekaten di Surakarta terbentuk dari unsur-unsur intrinsik yang mengandung nilai
budaya dan dibangun oleh konteks masyarakat pendukungnya. Cerita rakyat tersebut
perlu adanya penyebarluasan serta pendokumentasian agar kemurnian cerita aslinya
tidak punah.
Kajian mengenai cerita rakyat dari berbagai daerah memang sudah sering dilakukan,
tetapi setiap masyarakat memiliki keanekaragaman cerita rakyat sendiri yang berbeda
dengan cerita rakyat masyarakat lainnya. Kajian Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta ini dilakukan untuk menggali dan mendokumentasikan
keanekaragaman cerita rakyat yang dimiliki masyarakat Indonesia pada umumnya dan
cerita rakyat daerah untuk memperkaya kebudayaan nasional, sampai kapan pun kajian
cerita rakyat dari berbagai daerah di tanah air Indonesia akan tetap dilakukan. Upaya
pelestarian budaya ini diharapkan dapat menimbulkan rasa bangga dan memiliki budaya

nasional. Sehingga pewarisan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam cerita tersebut dapat
menanamkan nilai budi pekerti sebagai penyaring budaya asing yang tidak sesuai
dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mewariskan karya-karya para leluhur
kepada para generasi baru sehingga dapat melestarikan dan mengembangkan khasanah
kehidupan sastra daerah di tengah-tengah persaingan budaya-budaya lain. Sebab sastra
daerah merupakan akar budaya bangsa, cermin jati diri bangsa dan sekaligus merupakan
aset
bangsa.
Bangsa yang tinggi adalah bangsa yang menghargai karya-karya leluhur yang diwariskan
kepadanya. Sebagai wujud atas penghargaan tersebut yaitu dengan cara
melestarikannya. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan warisan itu, di
antaranya adalah dengan cara mengajarkan kepada generasi-generasi baru. Apalagi
fenomena yang terjadi, bahwa bentuk folklor yang merupakan kekayaan budaya nasional
belum tergali sepenuhnya di tanah air tercinta ini. Oleh karena itu, apabila terdapat
keunikan-keunikan tertentu dalam folklor, sangat tepat bila dikaitkan dengan
pendayagunaan bidang pendidikan khususnya sebagai bahan ajar. Upacara Tradisi
Sekaten mempunyai folkor yang sarat dengan nilai. Namun sebagian besar masyarakat
Surakarta sendiri sebagai pemilik folklor tidak mengetahui cerita rakyat yang
melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten tersebut. Penyebarluasan cerita rakyat
Upacara Tradisi Sekaten ini sangat penting untuk menjaga agar tidak punah, dan
mengajarkan kepada generasi muda merupakan cara yang tepat. Agar mengetahui
bahwa daerah Surakarta memiliki kekayaan budaya yang dapat digali seperti Upacara
Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta yang memiliki cerita rakyat yang
melatarbelakangi upacara tersebut. Untuk itu hasil dari penelitian ini diarahkan sebagai
alternatif bahan ajar yaitu dalam bidang apresiasi sastra. Sebagai masukan
pembelajaran sastra untuk materi cerita rakyat di sekolah.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan yaitu (1) mendeskripsikan cerita rakyat yang
melatarbelakangi diadakannya Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta, (2) memaparkan
prosesi dan nilai simbolis yang terkandung dalam Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta,
dan (3) menjelaskan pelaksanaan pembelajaran cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten
pada sekolah di Surakarta?
B. Kajian Teori
1. Folklor
Kata folklor secara etimologis berasal dari kata Inggris folklore. Kata tersebut
merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata dasar folk dan lore
(Danandjaja,1997: 1). Kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik yang dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya; sedangkan lore adalah
tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwarisi secara turun temurun
secara lisan atau sebagian lisan dengan contoh atau isyarat gerak atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device).
Jan Harold Brunvard (dalam Danandjaja, 1997: 21) menggolongkan folklor dalam tiga
kelompok berdasarkan tipenya : (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian lisan, (3) folklor
bukan lisan. Istilah lain dari masing-masing folklor tersebut adalah mentifacts, sisiofact,

dan artifact. Berdasarkan pendapat tersebut tidak dijelaskan atau dibedakan antara
folklor lisan dengan folklor tertulis. Hal ini dapat dimengerti karena pada dasarnya folklor
yang berbentuk tulisan adalah jenis folklor lisan, sebagian lisan, maupun folklor bukan
lisan yang ditranskripsikan dalam bentuk tulis. Jenis folklor yang diteliti dalam penelitian
ini dispesifikasikan pada jenis folklor lisan yang berbentuk cerita rakyat.
Menurut William R. Boscom (dalam Danandjaja, 1997: 19), fungsi folklor adalah sebagai :
(1) sistem proyeksi, yaitu mencerminkan angan-angan kolektif; (2) alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga kebudayaan; (3) alat pendidik anak; (4) alat pemaksa dan
pengawas agar norma-norma masyarakat akan dipatuhi anggota kolektifnya. Namun
demikian, pada umumnya folklor hanya dikenal oleh masyarakat lingkungannya atau
daerahnya sendiri.
2. Upacara Tradisi Sekaten
G.P.H. Puger dalam bukunya Sekaten (2002: 1) , menjelaskan tentang asal mula dan
maksud perayaan yang diadakan tiap-tiap tahun baik di Surakarta maupun di Yogyakarta.
Asal mula Sekaten dimulai pada jaman Demak, jaman mulainya kerajaan Islam di tanah
Jawa. Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam.
Karena orang Jawa pada waktu itu menyukai gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu
pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW di Masjid Agung dipukul gamelan, sehingga
orang berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan pidato-pidato
tentang agama Islam.
Menurut Supanto (1982: 6), upacara tradisional sebagai pranata sosial penuh dengan
simbol-simbol yang berperanan sebagai alat komunikasi antar sesama warga
masyarakat, dan juga merupakan penghubung antar dunia nyata dengan dunia gaib.
Bagi para warga yang ikut berperan serta dalam penyelenggaraan upacara tradisional,
unsur-unsur yang berasal dari dunia gaib menjadi nampak nyata melalui pemahamannya
terhadap simbol-simbol tersebut. Upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktuwaktu tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan
itu harus diulang-ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat
terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku.
Salah satu bentuk tradisi yang masih dipertahankan ialah Upacara Tradisi Sekaten di
Keraton
Kasunanan
Surakarta.
Sekaten
berasal
dari
bahasa
Arab,
yaitu syahadatain yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus
dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari
kata syahadatain juga berasal dari kata : (1) Sahutain : menghentikan atau menghindari
perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain : menghilangkan perkara
dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan;
(3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi
luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan; (4) Sekati : setimbang, orang hidup
harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat :batas, orang
hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan
dan kejahatan.(K.R.T. Haji Handipaningrat : 3).
3. Nilai Simbolis

Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta (2003: 654), simbol atau lambang ialah
sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang mengatakan
sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambang
kesucian, gambar padi sebagai kemakmuran.
Nilai merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran. Nilai
merupakan sesuatu yang selalu dihargai, dijunjung tinggi, dan selalu disejajarkan oleh
manusia dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai manusia dapat merasakan
kepuasan, baik lahir maupun batin. Dengan nilai pula manusia akan mampu menentukan
sikap, cara berpikir, maupun cara bertindak demi mencapai tujuan hidupnya.
The Liang Gie (dalam Sutarjo, 1998: 8), mendefinisikan nilai sebagai suatu cita-cita, dan
cita-cita mutlak yang terkenal dalam filsafat adalah hal yang benar, hal yang baik dan
hal yang indah. Pengertian nilai secara sempit sering diasosiasikan sebagai etika
tradisisonal yang ruang lingkupnya berkisar kepada kesejajaran antara yang baik dan
yang buruk. Nilai adalah sesuatu yang dapat digunakan sebagai tolok ukur atau
pedoman, tuntutan yang baik dalam kehidupan masyarakat. Nilai berfungsi sebagai
pengarah dan pendorong seseorang dalam melakukan perbuatan. Dengan demikian, nilai
dapat menimbulkan tekad bagi yang bersangkutan yang diwujudkan dalam perbuatan
sehari-hari.
Kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil
karya dan perilaku manusia. Begitu erat kebudayaan manusia dengan simbol-simbol,
maka tidak berlebihan bila manusia tersebut sebagai makhluk bersimbol. Dunia
kebudayaan adalah dunia penuh simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap
dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan-ungkapan yang simbolis ini
merupakan ciri khas manusia, yang jelas membedakannya dari hewan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah bisa melihat, menemukan, dan
mengenal dunia secara langsung tetapi melalui simbol-simbol (Herusatoto, 1987: 10)
Simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini
terlihat dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun-temurun dari
generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Kata simbol berasal dari kata
Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada
seseorang (Herusatoto, 1987 : 10). Sejalan dengan pengertian Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Anton Moeliono,1996 : 630), bahwa simbol atau lambang ialah : (1) sesuatu
seperti tanda (lukisan,lencana, dan sebagainya) yang mengatakan sesuatu hal atau
mengandung maksud tertentu, misalnya gambar tunas kelapa lambang pramuka, warna
biru lambang kesetiaan; (2) simbol bisa berarti tanda pengenal tetap yang menyatakan
sifat, keadaan, dan sebagainya, seperti peci putih dan serban ialah lambang haji.
Segala bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional pada
dasarnya upaya pendekatan manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan,
menurunkannya ke dunia, memelihara hidup, dan menentukan kematian manusia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa simbolisme dalam masyarakat tradisional
disamping membawakan pesan-pesan kepada generasi berikutnya juga selalu
dilaksanakan dalam kaitannya dalam religi (Herusatoto, 1987 : 30-31). Unsur unsur dari
kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang Jawa menurut

Koentjaraningrat adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kasusasteraan, keyakinan


keagamaan, ritual, ilmu gaib serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya. (1984:
428).
4. Folklor sebagai Bahan Ajar
Upaya pelestarian dan pewarisan budaya beserta nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya salah satunya dengan memperkenalkan serta mempublikasikan Cerita rakyat
dalam Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta kepada generasi muda
penerus bangsa dengan menampilkan cerita rakyat Sekaten sebagai bahan ajar. Dalam
hal ini sebagai bahan ajar Bahasa dan Sastra Indonesia tentang kajian cerita rakyat.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta
didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara
lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan
manusia Indonesia.
Kemp mengatakan materi/bahan ajar merupakan gabungan antara pengetahuan yang
termasuk di dalamnya fakta dan informasi, keterampilan yang mencakup langkah,
prosedur, keadaan, syarat, dan faktor sikap (knowlegde, skill, dan attitude) (1994: 84).
Dari pendapat Kemp, materi pengajaran Bahasa Indonesia untuk SMA dapat diperinci
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Materi pengetahuan
Misalnya sejarah perkembangan Bahasa Indonesia, teori-teori tentang kebahasaan,
teori-teori sastra
b. Materi keterampilan
Termasuk di dalamnya keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis.
c. Materi yang berkaitan dengan sikap
Mengarah agar siswa mempunyai sikap yang pasif terhadap Bahasa Indonesia. Materi
ini digunakan dengan melatih pemakaian Bahasa Indonesia secara baik dan benar,
mengapresiasikan karya sastra.
Dengan melihat standar kompetensi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(Depdiknas: 2006) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan:
a. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil
karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri
b. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa
peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar
c. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya

d. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program
kebahasaan dan kesastraan di sekolah
e. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia
f. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional.
Berdasarkan standar kompetensi seperti yang telah dijelaskan di atas, disebutkan bahwa
daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai
dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional. Dengan demikian folklor lisan daerah Surakarta, salah satunya yaitu Cerita
Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta dapat dipilih untuk
dijadikan alernatif bahan ajar. Cerita Rakyat dalam Upacara Tradisi Sekaten ini cukup
menarik, dan yang lebih penting lagi banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Salah satunya dapat memadukan nilai budaya dan agama secara seimbang, tanpa harus
melunturi kekhasan dari nilai budaya dan tetap berpegang teguh pada nilai agama yang
bersifat mutlak.
Menghadapi perkembangan jaman dengan diiringi masuknya budaya global yang dapat
mempengaruhi mental serta perilaku masyarakat Indonesia, pengenalan budaya lokal
dalam usaha pewarisan kekayaan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur sangat
tepat untuk membentengi diri dari budaya asing yang tidak sesuai dengan jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, pengenalan folklor dapat
dimasukkan sebagai bahan ajar dalam apresiasi sastra di sekolah. Yaitu disesuaikan
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berlaku, pengajaran cerita rakyat
dimasukkan dalam standar kompetensi mendengarkan. Masing-masing diajarkan untuk
SD kelas V semester 1, SMP kelas VII semester 1, SMA kelas X semester II. Untuk standar
kompetensi dan kompetensi dasar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk materi cerita
rakyat terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai berikut:
Tabel.1
Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Kelas V, Semester 1

Mendengarkan
1. Memahami
penjelasan
narasumber dan cerita
rakyat secara lisan
Kelas VII, Semester
I

1.1 Menanggapi penjelasan narasumber


(petani, pedagang, nelayan, karyawan,
dll.) dengan memperhatikan santun
berbahasa
1.2 Mengidentifikasi uns cerita tentang
cerita rakyat yang didengarnya

Mendengarkan
1. Mengapresiasi cerita
rakyat yang
diperdengarkan

1.1. Menemukan hal-hal yang menarik


dari cerita rakyat yang diperdengarkan
1.2. Menunjukkan relevansi isi cerita
rakyat dengan situasi sekarang

Kelas X, Semester II

1.1 Menemukan hal-hal menarik tentang


tokoh cerita rakyat yang disampaikan
secara langsung dan atau melalui
rekaman
Mendengarkan
1. Memahami cerita
rakyat yang dituturkan

1.2 Menjelaskan hal-hal yang menarik


tentang latar cerita rakyat yang
disampaikan secara langsung dan atau
melalui rekaman.

Berdasarkan uraian tentang standar kurikulum dan kompetensi dasar dalam materi cerita
rakyat di atas, diharapkan pembelajaran sastra disesuaikan sesuai acuan tersebut.
Pemilihan materi ajar berupa cerita rakyat harus mengandung nilai didik yang dapat
menanamkan budi pekerti pada siswa.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu terletak pada
kelurahan Baluwarti kecamatan Pasar Kliwon Surakarta. Tempat ini disesuaikan dengan
objek yang menjadi kajian dalam penelitian, dimana lokasi tersebut merupakan tempat
penyelenggaraan upacara tradisi Sekaten.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatif menggunakan desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan
kenyataan lapangan. Desain ini tidak tersusun secara ketat dan kaku, sehingga dapat
diubah dan disesuaikan dengan pengetahuan baru yang ditemukan (Moleong, 2001: 7).
Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran
tentang suatu hal secara sistematis, faktual, dan akurat. Data yang telah terkumpul
disusun, dianalisis, diinterpretasikan, dan disimpulkan sehingga memberikan suatu
gambaran tentang hasil penelitian yang sistematis dan nyata.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai simbolis dalam cerita rakyat upacara
tradisi sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Dan selanjutnya hasil dari penelitian ini
digunakan sebagai alternatif bahan ajar pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia pada pokok bahasan mendengarkan dengan kompetensi dasar cerita rakyat.
Penelitian ini dilakukan secara langsung dengan mewawancarai, mencatat,
mendokumentasikan, serta mengikuti prosesi Upacara Tradisi Sekaten yang
diselenggarakan dari tanggal 02 April 2006, hingga pada puncak acara dikeluarkan
gunungan dari keraton pada tanggal 09 April 2006. Data yang telah terkumpul akan
disusun, dianalisis, diinterpretasikan, dan disimpulkan sehingga memberikan suatu
gambaran tentang hasil penelitian yang sistematis dan akurat.

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan desain studi kasus
terpancang tunggal. Desain studi kasus menghendaki suatu kajian yang rinci, mendalam,
menyeluruh atas obyek tertentu yang biasanya relatif kecil selama kurun waktu tertentu,
termasuk kemungkinan hubungan antar variabel yang ada. (Susanto, 2004: 37). Dalam
hal ini peneliti mengkaji data tentang sekaten secara utuh dan mendalam.
Sumber data dalam penelitian ini adalah peristiwa, informan, dokumen, dan bendabenda budaya. Sumber data peristiwa di sini adalah rangkaian prosesi upacara tradisi
sekaten yang mencakup persiapan, pelaksanaannya, dan hiburan. Sedangkan informan
yang dipilih dalam penelitian ini adalah orang yang dapat memberikan informasi atau
keterangan mengenai segala permasalahan yang diperlukan dalam penelitian ini.
Informan yang dimintai informasinya tersebut meliputi pelaku upacara dan
masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara Sekaten (G.P.H. Puger, Bapak Walimin,
Bapak Bejo Prasetyo), dan juga guru Bahasa Indonesia kelas X di SMA Muhamadiyah 3
Surakarta (Bapak Rahadi, S. Pd), guru Bahasa Indonesia kelas VII SMP Negeri 16
Surakarta (Ibu Dewi Sari Anugerah, S. Pd), guru Bahasa Indonesia SD Muhamadiyah 22
Surakarta (Ibu Laelatul Farida, S. Pd), beberapa siswa, dosen mata kuliah Kritik Sastra
dan Metode Penelitian Sastra FKIP UNS (Drs. Yant Mujiyanto dan Nugraheni Eko, S.S,
M.Hum), dan juga calon guru Bahasa Indonesia dari FKIP UNS(Ainul Qoyim, S. Pd). Data
yang diambil yaitu perihal asal-usul yang melatarbelakangi diadakannya Upacara Tradisi
Sekaten di Surakarta, prosesi pelaksanaan, nilai simbolis, dan Cerita Rakyat Upacara
Tradisi Sekaten di Surakarta yang digunakan sebagai bahan ajar untuk apresiasi sastra di
sekolah. Untuk mengetahui pembelajaran sastra dan relevansi cerita rakyat Upacara
Tradisi Sekaten di Surakarta sebagai alternatif bahan ajar Bahasa dan Sastra Indonesia di
sekolah (SD, SMP, dan SMA) diadakan wawancara mendalam dengan guru Bahasa
Indonesia SD, SMP, dan SMA, dosen pengampu mata kuliah Kritik Sastra dan Metode
Penelitian Sastra, dan calon guru Bahasa Indonesia dari FKIP UNS. Sedangkan untuk
mengetahui pengetahuan siswa tentang Sekaten beserta cerita rakyat yang
melatarbelakanginya peneliti melakukan wawancara dengan beberapa siswa. Adapun
sumber data yang berupa dokumen meliputi sejarah atau babad sekaten (dalam naskah
Jawa), foto-foto yang memuat pelaksanaan upacara tradisi sekaten, sumber data atau
benda peninggalan budaya yakni perlengkapan sesaji, gunungan, benda-benda pusaka,
dan gamelan.
Sumber data di atas tentunya perlu diseleksi untuk mendapatkan data yang diperlukan
sehingga akan diambil sampelnya. Teknik pertama yang diterapkan untuk menentukan
sampel adalah purposive sampling, yakni pemilihan berdasarkan tujuan. Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa tingkat representatif sampel bukan karena kesatuan
sumber data yang mencerminkan sifat homogenitas dan keseluruhan sumber data,
melainkan keterwakilannya lebih didasarkan atas kemampuannya dalam mengungkap
dan menjawab masalah penelitian. Kompleksitas data hanya dapat dijangkau dengan
berbagai sumber data yang dapat mewakili informasi yang dibutuhkan.
Selain itu peneliti juga memilih informan yang dipandang benar-benar menguasai
masalah yang diteliti, tetapi kemungkinan berkembangnya pilihan informan dapat terjadi
tergantung pada kebutuhan dan kemantapan memperoleh data. Oleh karena itu, peneliti
juga menerapkan teknik snow-ball sampling, yakni menentukan informan dengan cara
bertanya pada orang pertama untuk selanjutnya bergulir ke orang kedua, demikian
seterusnya sehingga diperoleh informasi yang akurat.

Ada tiga teknik pengumpulan data yang diterapkan sebagai alat untuk menjaring data
secara akurat dan lengkap sehubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu : (1) Teknik
wawancara mendalam (in-depth interview); (2) Teknik pengamatan langsung; dan (3)
teknik analisis isi dokumen atau arsip.
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan kesahihan data penelitian ini. Cara tersebut
antara lain meliputi: teknik triangulasi dan review informan. Moleong (2001: 178)
menyatakan bahwa triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu. Adapun validitas data yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu meliputi triangulasi sumber, triangulasi metode, dan review informan.
Triangulasi sumber digunakan untuk memperoleh data yang sama dari sumber yang
berbeda. Triangulasi ini diterapkan peneliti dengan membandingkan data hasil
pengamatan (prosesi sekaten) dengan data hasil wawancara dan membandingkan hasil
wawancara dengan isi dokumen (buku sekaten) yang berkaitan dengan pelaksanaan
Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta. Adapun triangulasi metode dilakukan dengan
menggunakan metode atau teknik pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan
data yang sama atau sejenis, yaitu dengan teknik pengamatan langsung, teknik
wawancara mendalam, dan teknik analisis dokumen.
Teknik review informan dilakukan dengan cara menginformasikan ulang data dari
informan untuk memperoleh perbaikan dan kebenaran data seandainya ada kesalahan
atau ketidaklengkapan dari hasil informasi sebelumnya. Untuk itu, peneliti sebagai
instrumen penelitian senantiasa melakukan koreksi secara terus-menerus mengenai hasil
penelitiannya.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model atau interaktif
model of analisys. Mekanisme analisis interaktif pada dasarnya melibatkan tiga
komponen utama analisis, yaitu reduksi data, sajian data dan verifikasi/menarik
kesimpulan. Keterkaitan ketiga komponen dilaksanakan secara interaktif yang bersifat
siklus. Dengan demikian, apabila kesimpulan yang dihasilkan dari analisis dipandang
kurang akurat atau belum tepat, maka peneliti kembali ke lokasi penelitian untuk
mengumpulkan data dan melaksanakan analisis sehingga diperoleh hasil kesimpulan
yang lengkap dan akurat.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Cerita Rakyat yang Melatarbelakangi Diadakannya Upacara Tradisi
Sekaten
Upacara Tradisi Sekaten merupakan salah satu tradisi yang hingga sekarang masih
dilestarikan dan dipertahankan oleh Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak di
Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon. Upacara Tradisi ini adalah warisan nilai
budaya yang dilaksanakan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Pada
mulanya upacara tersebut diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu,
berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur yang diselenggarakan dalam
dua tahap.

Tahap pertama disebut Aswameda, yaitu tahap dimana sesaji diselenggarakan selama
enam hari, yang dilakukan dengan doa-doa dan nyanyian pujian disertai dengan
tetabuhan yang mengandung arti memuja arwah para leluhur, untuk memohon berkat
dan perlindungan. Kemudian tahap kedua disebut Asmaradana, yang diselenggarakan
pada hari ke tujuh dan merupakan penutup tahap yang pertama. Dalam tahap yang
kedua ini diselenggarakan pembakaran dupa besar, yang disertai dengan
mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama dan pengaruh Hindu ke
Jawa, maka upacara Aswameda dan Asmaradana maka masuk pula ke dalam kehidupan
budaya Jawa. Dan pada jaman Hindu Jawa, raja-raja Jawa juga melestarikan upacara yang
diwarisi tersebut.
Tradisi selamatan atau sesaji tersebut diselengggarakan pula oleh raja-raja Majapahit.
Mula-mula upacara Aswameda dan Asmaradana itu diselenggarakan di candi-candi,
tempat abu leluhur mereka disimpan. Sejak pemerintahan baginda Raja Hayam Wuruk,
upacara selamatan dan sesaji Aswameda dan Asmaradana itu tidak lagi diselenggarakan
di candi-candi seperti yang dilakukan oleh raja-raja terdahulu, melainkan di tengahtengah kota. Hal ini terbukti dengan penyelenggaraan upacara untuk mendiang Ibu Suri
Baginda Sri Wishnu Wardani. Upacara sesaji untuk arwah para leluhur, yang disebut
srada. Oleh Prabu Hayam Wuruk diselenggarakan selama tujuh hari dam tiap-tiap hari,
ganti-berganti, para raja di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit mempersembahkan
sumbangannya dengan membawa bermacam-macam keramaian.
Pada jaman pemerintahan Sang Prabu Brawijaya V, yang disebut jaman Majapahit
terakhir, upacara sesaji tahunan tersebut masih tetap dilaksanakan dengan keramaian
yang agak besar. Prabu Brawijaya memiliki satu perangkat gamelan yang sangat
tersohor, dikenal dengan nama Kanjeng Kyai Sekar Delima, yang tiap tahun dibunyikan
orang untuk memeriahkan keramaian itu. Oleh rakyat, gamelan tersebut dianggap
sangat bertuah dan keramat.
Konon, putra Sang Prabu Brawijaya V yang bernama Raden Patah menjadi Adipati di
Bintara telah memeluk agama baru, yaitu Islam. Sang Prabu Brawijaya V mendengar
berita bahwa Raden Patah akan menyerbu Kerajaan Majapahit, bila Sang Prabu Brawijaya
tidak bersedia masuk agama Islam. Berita semacam itu diterima Prabu Brawijaya V
dengan sangat sedih. Untuk mengatasi kesedihan yang sangat mengganggu
ketenteraman jiwa itu membuat Prabu Brawijaya V bersemedi atau bertapa selama dua
belas hari, memohon kepada para dewa agar Raden Patah membatalkan niatnya untuk
menyerbu Majapahit, dan memohon kerajaan dan rakyatnya senantiasa dalam keadaan
aman, tenteram, dan sejahtera.
Sementara itu para ahli gending di Kerajaan Majapahit lalu menciptakan lagu-lagu untuk
dialunkan melalui gamelan milik baginda, yang tujuannya untuk menghibur hati Sang
Prabu Brawijaya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Mendengar lantunan suara
lagu-lagu melalui gamelan pusaka kerajaan itu hati baginda bukannya menjadi terhibur
melainkan malah bertambah sedih. Karena lagu tersebut mengalunkan kesedihan yang
menyayat hati bagaikan kinjeng tangis yang merintih-rintih dengan lengking tangisnya di
tengah hari. Mendengar bunyi gending-gending baru itu baginda raja bahkan
membayangkan nasib buruk yang akan dialami Kerajaan Majapahit kelak. Para ahli
gending yang mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh gending-gending baru itu
bukannya membuat senang hati baginda, melainkan bahkan membuat baginda makin

sedih. Maka mereka menyuruh para niyaga memukul gamelan itu keras-keras, dengan
irama yang diperhitungkan dapat membangkitkan gelora semangat baginda.
Demikianlah pemukulan gamelan tersebut kemudian menggunakan irama bertingkah.
Kadang-kadang keras gemuruh laksana gamelan lokananta dengan irama
membangkitkan jiwa bergejolak. Dan kadang-kadang lemah lembut mengalun dan
menyayat hati. Gamelan kerajaan Majapahit yang dinamakan Kanjeng Kyai Sekar Delima
tersebut lalu dinamakan Sekati, karena dapat menambah Sang Prabu Brawijaya seseg
ati (sesak hati).
Dalam abad ke-14 agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Dengan pemuka
agama yang dalam Agama Islam disebut wali. Para wali di Jawa ini terkenal ada sembilan
orang, karena itu disebut wali. Nama mereka masing-masing adalah Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Muria, Syeh
Maulana Maghribi, Syeh Siti Jenar. Tiap-tiap tahun para wali itu mengadakan pertemuan
di kota Demak. Pertemuan tahunan tersebut diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal,
tanggal 6 sampai dengan tanggal 12, dan hari yang terakhir itu diselenggarakan
keramaian besar untuk merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Adapun yang dibicarakan dalam pertemuan tahunan tersebut antara lain adalah laporan
dari para wali penyebar agama Islam tentang hasil kerja mereka di daerah mereka
masing-masing, dan politik umat Islam terhadap rakyat yang masih beragama Hindu.
Selain itu kesempatan tersebut juga digunakan pula untuk memberikan pelajaranpelajaran dan penjelasan tentang ajaran agama Islam terhadap keluarga dan penganutpenganutnya.
Berkat kerja keras para wali, sebagai langkah kemajuan agama Islam, maka di Demak
didirikan sebuah masjid besar, yang dipandang berkeramat karena mengandung nilai
sejarah. Berdirinya masjid besar di Demak itu diperingati dengan surya sengkala Kori
trus gunaning janmi, yang menunjukkan angka tahun 1399 Saka. Sementara itu usaha
penyebaran agama Islam makin ditingkatkan. Kesukaran yang mereka rasakan karena
rakyat pada waktu itu masih banyak yang menganut agama Hindu, seperti yang dianut
oleh rakyat Kerajaan Majapahit. Dengan demikian, bila tidak dilakukan dengan bijaksana,
akan mempersulit usaha-usaha memperluas perkembangan agama Islam. Para wali
mengetahui bahwa rakyat dari Kerajaan Majapahit masih sangat dekat dengan kesenian
dan kebudayaannya, antara lain gemar sekali akan bunyi gamelan dan keramaiankeramaian yang bersifat keagamaan Hindu.
Demi keberhasilan penyebaran agama Islam di Jawa, maka atas saran Kanjeng Sunan
Kalijaga, para wali lalu mengatur penyelenggaraan peringatan Maulud Nabi Muhammad
SAW dengan cara yang disesuaikan dengan tradisi rakyat pada waktu itu. Oleh karena
rakyat menggemari kesenian Jawa dengan gamelannya, maka perayaan untuk
memperingati hari kelahiran Nabi selanjutnya tidak lagi menggunakan kesenian rebana
melainkan dengan kesenian gamelan. Untuk melaksanakan hal itu Sunan Kalijaga
membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Sekati.
Untuk memeriahkan perayaan itu, maka ditempatkanlah gamelan Kyai Sekati di halaman
Masjid Demak. Gamelan itu dipukul bertalu-talu tidak henti-hentinya, mula-mula dengan
irama dan suara lembut dan halus, lama kelamaan dipukul keras-keras. Karena tertarik
dengan bunyi gamelan yang nyaring mengalun tersebut, maka orang-orang dari

berbagai penjuru datanglah berduyun-duyun ke pusat kota, sehingga alun-alun kerajaan


Demak menjadi penuh sesak dibanjiri orang yang ingin menikmati kesenian gamelan dan
menyaksikan keramaian yang diselenggarakan. Keramaian itulah yang kemudian disebut
sekaten, dan yang sampai sekarang masih dilestarikan. Sementara itu para wali bergantiganti memberikan wejangan dan ajaran tentang agama Islam di mimbar yang didirikan di
depan gapura masjid.
Orang banyak yang datang tersebut itu diperbolehkan juga masuk ke dalam serambi
masjid, tetapi harus terlebih dahulu syahadatain, yang di dalam bahasa Jawa
disebut sahadat kalimah loro. Di halaman masjid itu, orang orang disuruh membasuh
tangan, muka dan kaki mereka dengan air kolam luar serambi masjid. Demikianlah
keramaian sekaten itu diselenggarakan sekali dalam setahun tiap bulanRabiul Awal, dari
tanggal 6 sampai dengan tanggal 12.
Untuk mengetahui asal mula sekaten yang tiap tahun diadakan di Keraton Kasunanan
Surakarta, maka harus memulainya dari jaman Demak. Kerajaan Demak merupakan
kerajaan Islam yang di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun
1400 Saka atau 1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala
Sirna Hilang Kertaning Bumi. Berakhirnya Kerajaan Majapahit berarti berakhir pula
Kerajaan Hindu di Jawa, di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang
pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara.
Sebagai Raja Islam, Sri Sultan Bintara tidak berhenti berdaya upaya untuk memajukan
tersiarnya agama Islam di seluruh kerajaan. Sultan Bintara selalu memikirkan bagaimana
agar agama Islam dapat menyinari semua pelosok negeri, dan bagaimana orang-orang
yang telah memeluk agama Hindu itu akan insyaf dan meyakini kebenaran ajaran Islam.
Raden Patah akhirnya mengadakan suatu pertemuan dengan para wali yang berjumlah
sembilan, diantaranya adalah Sunan Ampel (Raden Rahmad), Sunan Gresik (Malik
Ibrahim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Bonang (Makdum Ibrahim), Sunan Kudus,
Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Untuk membahas
cara menyiarkan Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga mempunyai usul tentang penyiaran
agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu memeluk agama Hindu.
Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat
atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam, misalnya:
1) Semedi
Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa-dewa. Karena
agama Islam tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah SWT dengan
sholat.
2) Sesaji
Sesaji menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewadewa dan jin, agar sesuai dengan ajaran Islam diganti dengan zakat fitrah pada fakir
miskin.
3) Keramaian

Dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat kepada dewadewa, diganti keramaian menghormat hari-hari raya Islam.
Karena orang Jawa suka gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW, sebaiknya dalam masjid juga diadakan gamelan, agar orang-orang
tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberi pelajaran tentang agama Islam. Dan
untuk keperluan itu para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai
Sekati.
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali yang lainnya dan Raden Patah,
yaitu pada hari lahir Nabi Muhamad yaitu pada 12 Mulud, dalam masjid dipukul gamelan.
Tanggal 12 Mulud selain merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga
merupakan hari wafat beliau. Ternyata banyak orang yang berduyun-duyun datang ke
masjid untuk mendengarkan bunyi gamelan. Orang-orang tersebut datang ke masjid
walaupun rumahnya jauh, sehingga mereka bermalam di alun-alun atau sekitar masjid.
Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, selain rakyat, para bupati pesisir juga
datang ke kota kerajaan untuk memberi sembah pada raja. Mereka datang beberapa hari
sebelum tanggal 12Mulud dan membuat rumah di alun-alun untuk bermalam. Pada
tanggal 12 Mulud tersebut, bupati menghadap raja dan kemudian menggiring raja ke
masjid. Karena banyaknya orang yang menggiring raja tersebut, timbul perkataan
Garebeg yang berasal dari kata anggrubyung yang berarti menggiring.
Orang-orang yang datang di halaman masjid itu disuruh untuk mendengarkan pidatopidato tentang ajaran agama Islam yang mudah-mudah dahulu. Pertama mereka diberi
tahu maksudnya syahadat dan bagaimana bunyinya. Dari itulah timbul kata sekaten
yang berasal dari bahasa Arab syahadatain. Kalimat syahadat merupakan suatu
kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti:
tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadatitu
juga ditulis di atas pintu gerbang masjid. Karena banyak orang yang datang berduyunduyun ke masjid dan banyak yang bermalam, maka banyak pula orang yang berjualan di
sekitar masjid dan alun-alun.
Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari kata:
1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan
menyeleweng.
2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena
watak tersebut sumber kerusakan.
3) Sakhotain : menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi
luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.
4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang
baik dan buruk.
5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta
tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Tradisi sekaten yang dirayakan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW
tersebut tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan berikutnya hingga masa

Mataram. Pada jaman kerajaan Mataram hingga akhirnya pindah ke Surakarta, sekaten
diadakan untuk kepentingan politik, yaitu mengetahui kesetiaan para bupati yang ada di
wilayah kerajaan. Pada perayaan sekaten para bupati harus datang untuk menyerahkan
upeti dan menghaturkan sembah baktinya kepada raja. Apabila bupati tersebut
berhalangan hadir, maka harus diwakili oleh pihak kerajaan. Hal itu dilakukan karena bila
bupati tidak hadir pada perayaan sekaten diartikan sebagai bentuk pembangkangan
terhadap raja.
Perayaan sekaten yang diadakan oleh kerajaan Mataram, selain bertujuan untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW juga untuk menunjukkan bahwa raja yang
berkuasa masih ada hubungan dengan Nabi Muhammad, utusan Allah. Sekaten juga
berperan di bidang politik dan ekonomi, karena dengan adanya sekaten para bupati
mancanagari harus datang memberi upeti dan kehadirannya di upacara sekaten sebagai
tanda kesetiaan kepada raja yang memerintah. Dengan perkembangan jaman, sekaten
juga dimanfaatkan dalam sektor perdagangan. Perayaan sekaten sebagai ladang
masyarakat untuk berdagang dan semakin membuat marak perayaan sekaten. Selain
untuk mendengarkan gamelan, para pengunjung dapat membeli berbagai makanan khas
sekaten, juga mainan anak-anak.
2. Prosesi dan Nilai Simbolis Dalam Upacara Tradisi Sekaten
a. Prosesi upacara Tradisi Sekaten
Upacara Tradisi Sekaten merupakan warisan budaya dari nenek moyang yang masih
dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang. Upacara ini menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Kelurahan Baluwarti pada khususnya dan masyarakat Surakarta
pada umumnya. Pelaksanaan upacara ini hingga sekarang masih tetap dilaksanakan
setiap tahunnya. Upacara Tradisi Sekaten merupakan suatu peristiwa tradisional yang
sangat populer serta senantiasa menarik perhatian puluhan ribu pengunjung, tidak saja
datang dari daerah sekitar Keraton Kasunanan Surakarta akan tetapi juga dari tempattempat yang jauh. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Walimin selaku abdi dalem
Keraton Kasunanan Surakarta, bahwa pengunjung tidak hanya berasal dari kota
surakarta saja, namun daerah di sekitarnya seperti Sukoharjo, Wonogiri, Sragen,
Karanganyar, dan Klaten. Bahkan akhir-akhir ini perayaan sekaten juga menarik
perhatian banyak wisatawan dan orang asing. Namun meski demikian sangat
disayangkan bahwa lama kelamaan perkembangannya menjadi seperti keramaian biasa,
sebab para pengunjungnya kebanyakan sudah lupa atau sama sekali tidak mengerti
akan arti yang sesungguhnya dari perayaan sekaten tersebut. Adapun waktu
pelaksanaannya bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tanggal 5
sampai dengan 12 Rabiul Awal. Atau dalam perhitungan Jawa jatuh pada tanggal 5
sampai dengan 12 Mulud. G.P.H. Puger menjelaskan, bahwa upacara ini merupakan
momentum sebagaiwilujengan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala
limpahan nikmat dan karunia yang diberikan. Untuk tahun 2006, pelaksanaan Upacara
Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta jatuh pada bulan Mulud, tanggal 02 April
2006 tepatnya pada Minggu Wage.
Perayaan sekaten dimulai pada tanggal 5 Rabiul Awal dan berakhir dengan Garebeg
Mulud tanggal
12 Rabiul
Awal yang
ditandai
dengan
keluarnya gunungan.
Gunungan berasal dari kata gunung, terdiri dari berbagai jenis makanan dan sayuran
yang diatur bersusun meninggi menyerupai gunung.

Pada hari pertama perayaan sekaten tanggal 5 Rabiul Awal (2 April 2006), diawali
dengan dikeluarkannya dua buah gamelan yang merupakan peninggalan jaman Demak
dari dalam keraton. Dua buah gamelan itu dibawa dari dalam keraton lewat alun-alun
kemudian dibawa ke Masjid Agung. Sebelum dikeluarkan dari keraton diadakan
selamatan dengan diberi doa terlebih dahulu dan diberisesajen. Setelah diadakan serah
terima dari utusan keraton kepada penghulu masjid, gamelan ditempatkan di Bangsal
Pradonggo di selatan dan utara halaman muka Masjid Agung Surakarta. Gamelan mulai
dibunyikan ketika sudah ada utusan dari keraton yang memerintahkan untuk
membunyikan gamelan, yaitu pada pukul empat sore. Dua buah gamelan tersebut
bernama Kyai Guntur Madu, yaitu berada di sebelah selatan yang melambangkan
syahadat tauhid. Kyai Guntur Madu merupakan peninggalan Pakubuwana IV, yaitu tahun
1718 Saka yang ditandai dengan sengkalan Naga Raja Nitih Tunggal. Gamelan yang
lainnya bernama Kyai Guntur Sari, berada di sebelah utara dan melambangkan syahadat
Rosul. Kyai Guntur Sari merupakan peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo pada tahun
1566 Saka. Selama perayaan sekaten selama satu minggu, Kyai Guntur Madu dan Kyai
Guntur Sari ditabuh secara bergantian.
Pada tanggal 5 Rabiul Awal tersebut, sebagai awal perayaan sekaten, yang lebih dulu
ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dengan memperdengarkan gending Rambu. Rambu
berasal dari bahasa Arab Robbuna yang berarti Allah Tuhanku. Rambu mengisyaratkan
gending yang ditabuh khusus untuk penghormatan kepada Tuhan. Sedangkan Kyai
Guntur Sari memperdengarkan gending Rangkung yang berasal dari bahasa Arab
Roukhun yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi
atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata barang kakung
yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah, dan Raja-Raja Mataram yang
kesemuanya laki-laki. Sedangkan menurut G.P.H. Puger berpendapat bahwa gendinggending yang pertama dibunyikan, Rambu dan Rangkung adalah nama dua jin Islam
yang berbincang dan sangat setuju atas usaha yang dilakukan Wali songo dalam
penyebaran agama Islam melalui media gamelan.
Gamelan sekaten yang mulai dibunyikan pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul empat sore
merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang, sehingga masyarakat
mulai berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan
dipukul pertama kalinya. Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan
sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda.
Maka banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. Namun G.P.H. Puger
menanggapi mitos tersebut dengan pemikiran yang logis. Diungkapkannya bahwa
pernyataan mitos yang sangat dipercaya masyarakat tersebut menandakan pada jaman
dahulu sudah dikenal adanya ilmu kesehatan. Terbukti bahwa masyarakat dianjurkan
makan sirih yang mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan tubuh. Karena kandungan
sirih tersebut dapat mengobati berbagai macam penyakit, menyehatkan gigi, berfungsi
dalam pencernaan, dan akan menyegarkan badan. Selain itu banyak kita jumpai jika
musim sekaten tiba di areal halaman Masjid Agung akan dipenuhi oleh penjual yang ikut
meramaikan perayaan sekaten dengan menjual berbagai makanan ataupun berbagai
barang khas dari sekaten, seperti misal telur asin, jenang, sirih, pecut, dan mainan anakanak.
Kemudian dua buah gamelan tersebut dibunyikan secara bergantian tiap harinya selama
perayaan sekaten. Gamelan tersebut tiap pagi mulai dibunyikan pada pukul sembilan,

waktu Ashar dan Dzuhurberhenti,


kemudian
mulai
lagi
dan
berhenti
lagi
waktu Maghrib dan Isya. Setelah Isya dibunyikan lagi sampai pukul 12 malam. Bila
perayaan sekaten jatuh pada hari Jumat, gamelan tidak dibunyikan mulai Maghrib
sampai siang, karena hari Jumat merupakan hari mulia bagi orang Islam. Gamelan
tersebut berhenti pada waktu-waktu sholat karena memberikan kesempatan kepada
penabuh gamelan itu sendiri maupun bagi masyarakat yang mendengarkannya untuk
menjalankan kewajiban sholat. Sehingga fungsi perayaan sekaten sebagai syiar Islam
tetap terpelihara.
Setelah perayaan sekaten berlangsung tujuh hari, maka tepat pada tanggal 12 Rabiul
Awal, yaitu hari lahir Nabi Muhammad SAW diadakan upacara Garebeg yaitu upacara
selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keraton. Gunungan dibuat beberapa
hari sebelum perayaan Garebeg Mulud oleh abdi dalem khusus yang ditunjuk oleh
sinuhun. Gunungan tersebut dikeluarkan dari keraton menuju Masjid Agung. Dari sinilah
raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten, yaitu gunungan
kakung dan gunungan putri.
1) Gunungan Kakung
Gunungan kakung berbentuk kerucut dan bagian puncaknya disebut mustaka atau
kepala yang ditancapkan kue yang terbuat dari tepung beras dan dipasang melingkar
rapat satu rangkaian telur asin. Di seluruh tubuh dari gunungan kakung tersebut
dipasang ratusan helai kacang panjang secara melingkar rapat yang pucuknya diberi
kue-kue kecil, seperti cincin. Selain dipasangi ratusan helai kacang panjang di tubuh
gunungan kakung itu juga diberi sejumlah besar rangkaian lombok abang atau cabe
merah yang besar-besar. Pada tubuh gunungan kakung diikat melingkar menjadi
beberapa bagian sehingga menjadi bertahap-tahap. Gunungan kakung tersebut
diletakkan di atas kotak yang bernamajodhang beserta lauk pauknya dan diberi alas kain
berwarna merah putih. Untuk gunungan kakung alas kain yang berwarna merah di atas
dan putih di bawah.
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam gunungan kakung adalah:
a). Bendera merah putih yang berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah
negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan
warna putih berarti suci. Warna merah putih mengingatkan akan kerajaan Majapahit
dengan istilah gula klapa yang melambangkan bahwa orang harus mempunyai sifat
dan semangat keberanian serta kesucian.
b). Cakra sebagai puncak dan pangkat berdirinya gunungan yang mempunyai makna
yaitu:
Cakra berarti gaman atau pusaka milik Prabu Kresna yang mempunyai kekuatan
dahsyat dalam menegakkan keutamaan
c). Wapen merupakan simbol yang digunakan sebagai lambang. Wapen dalam
gunungan yang dimaksud adalah petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari Raja
Surakarta yang bertahta.
d). Kampuh, kain
makanan

yang

berwarna

merah

putih

yang

menutupi jodhang tempat

e). Entho-entho yaitu makanan berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras
ketan yang dikeringkan hingga keras, kemudian digoreng.
f). Telur asin
g). Bermacam-macam nasi
h). Bahan-bahan perlengkapan lainnya terdiri dari tebu, cabe, daun pisang, terong,
wortel, timun, kacang panjang, dan daging yang kesemuanya merupakan hasil dari
bumi yang dinikmati oleh manusia. Dan juga dami (batang padi), jodang, sujen,
peniti, jarum bundel, dan samir jene.
Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital laki-laki yang
mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan adanya proses penciptaan
manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di samping itu gunungan kakung
juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur di
dalamnya seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri
dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya.
2) Gunungan Putri
Gunungan putri berbentuk mirip dengan payung terbuka yang bagian puncaknya
(mustaka) dilapisi kue besar bertumpuk lempengan berwarna hitam dengan sekelilingnya
ditancapi sejumlah kue berbentuk daun. Sedangkan di bagian batang tubuhnya ditutupi
sejumlah kue ketan yang berbentuk bintang dan lingkaran yang dinamakan rengginan, di
tengahnya diberi kue kecil-kecil serta di sekelilingnya diberi kue dan hiasan yang
bermacam-macam bentuk. Sehingga gunungan putri nampak seperti bunga raksasa.
Di samping berbagai bentuk kue tersebut, gunungan putri juga diberi kue yang
berbentuk lingkaran-lingkaran besar terbuat dari ketan yang disebut wajik. Gunungan
putri diletakkan di atas kotak atau jodang, dengan diberi kain yang berwarna putih di
atas dan merah di bawah.
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam gunungan putri adalah:
a). Bendera merah putih yang berjumlah lima buah, melambangkan sebuah negara
atau kerajaan.Warna merah berarti semangat atau keberanian dan warna putih
berarti suci. Jadi yang dimaksud bendera merah putih adalah sebagai lambang
kepada kerajaan yang berlandaskan keberanian dengan dilandasi kesucian.
b). Eter yang terbuat dari seng berbentuk jantung manusia atau bunga pisang
(tuntut)
c). Kampuh penutup jodang yang terbuat dari kain mori atau lawe yang bermakna
sebagai pakaian jasmani dan rohani manusia (kesusilaan dan sandang)
d). Bunga sebagai pengharum
e). Rengginan terbuat dari beras ketan yang besar
f). Jajan yang terdiri dari jadah, wajik, dan jenang, sebagai isi dari jodang
g). Pelengkap dari gunungan putri adalah:

Bahan yang berupa makanan, yaitu kacu, terbuat dari ketan yang dibentuk
bulatan kecil dan diberi warna berjumlah kurang lebih 50 buah.
Bahan yang berupa alat, yaitu giwangan bima berjumlah 8 biji, samir jene 4
biji, sujen, daun pisang, tali, dan jodang.
Gunungan
putri berjalan
di
belakang gunungan
kakung dan gunungan
anakan Jumlah gunungan putri sama dengan jumlah gunungan kakung yaitu dua belas
buah. Di samping gunungan kakung dangunungan putri ada pula gunungan kecil-kecil
sebagai pelengkap, yaitu:
1) Gunungan Anakan (saradan)
Gunungan ini selalu diantara gunungan kakung dan gunungan putri. Adapun bahan yang
digunakan dalam gunungan anakan adalah sebagai berikut:
a). Uang logam, banyaknya sesuai dengan Sri Susuhunan Paku Buwana yang ke
berapa, misalnya yang bertahta Paku Buwana XII, jumlah uang logam juga dua belas.
b). Rengginan kecil yang berwarna merah, hitam, putih, dan jene sebanyak
untuk gunungan kakung yaitu empat biji dan untuk putri sebanyak 8 biji.
c). Bunga sebagai hiasan dalam gunungan
d). Tuntut atau eter kecil
2) Ancak Cantaka
Ancak cantaka merupakan wujud dari selamatan kecil yang berupa tumpengan atau
gunung kecil yang jumlahnya tidak ditentukan, tetapi biasanya 24 buah. Dimaksudkan
sedekah para abdi dalem dan kerabat keraton yang dikeluarkan oleh raja karena mereka
ada dalam lindungannya.Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam
a). Perlengkapan nasi yang merupakan lambang dari kemakmuran kehidupan rakyat,
jenisnya ada tiga yaitu:

Sega uduk atau nasi gurih, dengan perlengkapan daging ayam (ingkung), kedelai,
dan pisang raja

Sega janganan (nasi sayuran) dengan perlengkapan sayuran, telur masak, buahbuahan, jajan pasar, dan jenang

Sega asahan (nasi asahan) dengan perlengkapan sambal goreng, tahu dan tempe
goreng, serundeng, dan jeroan ayam.
b). Buah-buahan atau jajan pasar, yaitu sejenis buah-buahan yang dijual di pasar.
Upacara garebeg merupakan penyempurnaan dari upacara Hindu Rajaweda, yaitu suatu
upacara yang diadakan oleh seorang kepala negara di setiap permulaan tahun. Upacara
Rajaweda dilakukan dengan tujuan untuk memohon berkah dewa bagi keselamatan
negara dan penduduknya. Pada suatu ketika wilayah kerajaan ditimpa suatu musibah
yaitu wabah penyakit yang mengakibatkan kekacauan dan kegelisahan di seluruh negeri.
Untuk menghilangkan wabah tersebut , raja menitahkan agar rakyatnya membersihkan
segala sesuatu dengan teliti. Pembersihan itu sampai juga ke pelosok desa. Pembersihan
itu sampai juga ke pelosok desa. Pembersihan umum ini waktunya sama dengan
Rajaweda. Alhasil wabah itu bisa hilang. Dari sinilah asal upacara bersih desa. Setelah

agama Islam masuk, upacara tersebut masih tetap dilaksanakan tetapi disertai dengan
doa-doa Islam.
Adapun pada Upacara Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta ada 24 macam
gunungan yang dibuat, yang terdiri dari 12 buah gunungan kakung (laki-laki) dan 12
buah gunungan putri. Di sela-sela itu terdapat anak-anakan atau saradan dan 24 buah
ancak cantaka. .Namun dalam pelaksanaan Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta tidak harus sebanyak 24 buah. Hal itu terjadi karena keraton tidak
mempunyai daerah kekuasaan lagi. Ketika keraton masih memiliki daerah kekuasaan,
pada saat garebeg Mulud membuat gunungan sebanyak 24 karena gunungan tersebut
dibagikan pada daerah-daerah kekusaan tersebut. Sekarang karena daerah
kekuasaannya telah hilang, keraton hanya membuat gunungan yang utama, yaitu
sepasang gunungan, gunungan laki-laki dan perempuan. Sepasang gunungan itu
merupakan suatu bentuk selamatan yang dilaksanakan oleh pihak keraton agar terhindar
dari segala macam bahaya. Pelaksanaan selamatan gunungan yang merupakan
perwujudan rasa syukur raja terhadap Allah SWT atas semua anugerah yang telah
dilimpahkan selama beliau memerintah. Maka dalam mensyukuri nikmat raja tersebut
raja mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk rakyat. Namun dalam pelaksanaan
terlebih dahulu dibacakan doa dengan harapan Allah memberi berkah atas sedekah yang
dikeluarkan, sehingga selamat raja, negara, dan rakyatnya.
Doa yang dipanjatkan kepada Allah sebelum gunungan itu diperebutkan oleh
masyarakat, dipimpin oleh penghulu keraton di dalam masjid. Adapun doa yang
dipanjatkan dalam upacara pada gunungan itu intinya untuk memohon keselamatan
pada diri Sinuhun, istri, dan para putranya, pejabat, serta rakyat semuanya, sehingga
dapat menjalani hidup dengan aman, tenteram, nyaman, sejahtera, dan bahagia di
dalam perlindungan negara yang adil dan makmur.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal (9 April 2006), tepatnya pada siang hari kira-kira pada pukul
sepuluh, gunungan setelah diberi doa dan serangkaian sesaji, dikeluarkan dari keraton
disertai dengan arak-arakan dari keraton. Sebelum dikeluarkan gunungan, terlebih
dahulu gamelan yang ada di Masjid Agung dibawa kembali ke keraton. Gunungan itu
dibawa dari keraton lewat alun-alun lalu ke Masjid Agung untuk diberi doa terlebih dahulu
oleh penghulu keraton. Iring-iringan pembawa gunungan itu di bagian paling depan
adalah Canthangbalung, kemudian kesatuan prajurit keraton, sentana dalem, pembawa
gunungan, dan abdi dalem. Canthangbalung adalah abdi dalem yang bertugas membuat
orang
lain
menjadi
gembira.
Disebut
Canthangbalung
karena
mereka
membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari dan selalu dibunyikan dengan
irama crek, crek, crek. (lihat pada lampiran 1) Mengenai nama canthangbalung, G.P.H.
Puger mengatakan bahwa Canthangbalung adalah nama yang diberikan kepada
brahmana yang memberi sesaji di tempat suci. Dan adanya pemakaian boreh pada
badan Canthangbalung memberikan indikasi terhadap kebiasaan pendeta Hindu yang
memboreh badannya dengan arak atau tuak sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan.
Kesuksesan yang dimaksud adalah agar tubuhnya dapat dimasuki roh halus, sehingga
bisa membantu manusia. Canthangbalung dengan gayanya yang lucu dan
menggelikandimaksudkan untuk menguji kesungguhan dan keteguhan iman pepatih
dalem dalam mengemban perintah ingkang Sinuhun. Jumlah canthangbalung yang dua
orang mengikuti konsep dualis yang berlaku dalam keraton yang saling melengkapi.

Pada perayaan sekaten Sinuhun berkenan datang ke Masjid Agung untuk ikut berdoa
bersama atas gunungan tersebut sebagai rasa syukur Sinuhun kepada Allah SWT. Setelah
diberi doa oleh penghulu keraton dan juga disaksikan oleh Sinuhun, gunungan tersebut
dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada Sinuhun, para
sentana dalem, dan para punggawa kerajaan. Kemudian gunungan tersebut dibawa
keluar dari Masjid Agung untuk diberikan kepada rakyat. Karena banyak rakyat yang
ingin mendapatkan gunungan itu, maka mereka memperebutkan gunungan itu dengan
dirayah. Hal itu terjadi karena telah menjadi keprcayaan masyarakat bahwa isi gunungan
tersebut dapat mendatangkan berkah bagi siapa yang memperolehnya. Masyarakat yang
datang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Surakarta, seperti Klaten,
Sukoharjo, Tawangmangu, Kartosuro, dan kebanyakan adalah orang tua bahkan lanjut
usia. Dituturkan oleh Bapak Bejo selaku abdi dalem Keraton, bahwa masyarakat yang
ikut meramaikan sekaten adalah orang tua atau sepuh dari berbagai daerah yang datang
untuk rayahan gunungan sekaten. Antusias yang masih begitu besar itu menandakan
bahwa Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta masih banyak masyarakat pendukungnya.
Untuk meramaikannya, satu bulan sebelum perayaan sekaten disambut dengan
keramaian berbagai sektor dagang yang dipusatkan di halaman Masjid Agung Surakarta.
Masyarakat dari berbagai daerah memanfaatkan pula momentum sekaten untuk
berjualan yang merupakan ladang hangat dalam sektor ekonomi.
Upacara Tradisi Sekaten yang monumental dilaksanakan untuk memperingati kelahiran
Nabi Muhammad SAW oleh Keraton Kasunanan Surakarta digunakan sebagai ungkapan
rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Allah SWT , sehingga Allah akan selalu
memberikan perlindungan. Dengan selalu mensyukuri karunia Allah diharapkan agar
anggota komunitas keraton ingat akan kebesaran-Nya, sehingga akan terhindar dari
bahaya dan musibah. Upacara sekaten merupakan bentuk sinkretisasi pra-Hindu, Hindu
dan Islam, yang hingga sekarang masih bisa kita saksikan setiap tahun pada
bulan Muludatau Rabiul Awal.
b. Nilai Simbolis dalam Upacara Tradisi Sekaten
Setiap pelaksanaan upacara tradisional tentu terdapat sesaji yang disiapkan yang
merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Simbol atau lambang itu
mengandung norma atau aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi apa yang baik
dan apa yang tidak baik, sehingga dapat dipakai sebagai pengendalian sosial dan
pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukungnya. Simbol atau lambang ini
mengandung pesan-pesan yang terselubung, serta nilai-nilai luhur yang ditujukan
kepada masyarakat yang bersangkutan. Biasanya hal ini diwujudkan melalui tanda atau
isyarat-isyarat tertentu sehingga memerlukan pemahaman tersendiri untuk mengetahui
makna yang terkandung dalam lambang atau simbol tersebut. Nilai, aturan, dan norma
ini tidak saja berfungsi sebagai pengatur antarindividu dalam masyarakat, tetapi juga
menata hubungan manusia dengan alam lingkungannya, terutama kepada Sang
Pencipta.
Dalam Upacara Tradisi Sekaten terdapat gunungan yang merupakan simbol atau
lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam
gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi masyarakat
pendukungnya. Adapun nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam setiap makanan atau
sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung, sirih, dan pecut yang terdapat
pada Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta tersebut sebagai berikut:

1) Gunungan kakung; Gunungan selain bermakna kesuburan juga mempunyai arti


simbolik lain, gunungan kakung melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri
melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat
perusak, sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk
menyatukan dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar
untuk kejayaan keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan pada
waktu perayaan sekaten. Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau
alat vital laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan
adanya proses penciptaan manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di
samping itu gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang
mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api,
hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya. Manusia
yang dimaksud adalah seorang ksatria utama yang menggambarkan seorang figur
manusia ideal bagi orang Jawa.
2) Bendera merah putih; Bendera ini ditempatkan pada ujung gunungan, berjumlah
lima buah sebagai lambang dari sebuah negara atau kerajaan. Warna merah
bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan warna putih berarti suci. Warna
merah putih mengingatkan akan Kerajaan Majapahit dengan istilah gula klapa yang
melambangkan bahwa orang harus mempunyai sifat dan semangat keberanian serta
kesucian.
3) Cakra; Cakra sebagai puncak dari pangkal berdirinya gunungan yang mempunyai
makna gaman atau pusaka milik dari Prabu Kresna yang mempunyai kekuatan
dahsyat dalam menegakkan keutamaan. Selain itu cakra sebagai simbol dari hati
yang merupakan petunjuk dan pemimpin dalam kehidupan. Perjalanan cakra adalah
berputar yang bermakna bahwa roda kehidupan manusia itu selalu berputar, manusia
harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah.
4) Wapen; Wapen merupakan simbol yang digunakan sebagai lambang. Adapun
wapen dalam gunungan yang dimaksud adalah petunjuk bagi keselamatan dan
kekuasaan dari Raja Surakarta yang bertahta.
5) Kampuh; Kampuh adalah
kain
berwarna
menutupi jodhang (tempat makanan) yang bermakna :

merah

putih

yang

kesusilaan : kampuh dibuat sebagus mungkin yang membuktikan kepribadian,


pepatah Jawa mengatakan ajining salira saka busana yang berarti dihormatinya
seseorang karena pakaiannya.
sandang, yang berarti pakaian yang dipakai oleh manusia.
melambangkan kenyataan hidup (senang-susah, beja-cilaka).

Pakaian

6) Entho-entho; Makanan berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras ketan
yang dikeringkan hingga keras, kemudian digoreng. Hal ini bermakna keteguhan hati
dalam menghadapi masalah kehidupan dunia.
7) Telur asin; Melambangkan amal, adapun makna lain bahwa terbagi dua bagian,
bagian kuning melambangkan laki-laki, dan bagian putih adalah perempuan.
Kemudian keduanya bersatu dan terjadi manusia baru.

Nasi; Melambangkan kemakmuran dari sebuah kerajaan.


9) Bahan perlengkapan dalam gunungan kakung seperti tebu, cabe, daun pisang,
terong, wortel,timun, kacang panjang dan daging yang kesemuanya merupakan hasil
dari bumi yang dinikmati manusia. Dan juga dami (batang padi), jodhang, sujen,
peniti, jarum bundel, dan samir jene. Bahan-bahan hasil bumi tersebut merupakan
lambang dari kesuburan bumi.
10) Gunungan putri; Bentuk gunungan putri dihubungkan dengan yoni atau alat vital
perempuan. Gunungan putri melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa
seorang wanita harus memiliki badan dan pikiran yang dingin. Sehingga dia
mempunyai penangkal untuk menahan isu-isu yang datang dari luar, baik yang
menjelek-jelekkan dirinya maupun keluarganya dan dapat menyimpan rahasia
manusia atau keluarganya. Adapun isi dari gunungan putri merupakan makna dan
lambang dari kewajiban wanita untuk menjaga dan mengerjakan urusan belakang
atau kebutuhan rumah tangga. Gunungan putri berjalan di belakang gunungan
kakung dan gunungan anakan, yang merupakan simbol bahwa istri bertugas sebagai
pengasuh utama dari anak dan bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah
tangga.
11) Eter; Terbuat dari seng berbentuk jantung manusia atau bunga pisang (tuntut)
yang bermakna sebagai api yang menyala, yaitu semangat hidup yang menyala terus
ssebagaimanamodang (dalam batik menggambarkan nyala api atau uriping
latu). Eter juga berwujud jantung yang merupakan pusat kebatinan atau rohani, hal
ini ada pertimbangan kewajiban lahir batin atau dengan Allah dan sesama manusia.
12) Bunga sebagai pengharum; Mempunyai dua makna yang terkandung di
dalamnya, yaitu makna lahiriah dapat mendekatkan atau mendatangkan berkah bagi
yang cocok dan menjauhkan bagi yang tidak cocok. Sedangkan makna batiniah yaitu
kemuliaan atau keharuman jati diri manusia yang diperoleh dengan amal yang baik.
13) Jajan; Terdiri dari jadah, wajik, dan jenang sebagai isi dari jodhang yang
menggambarkan hasil karya wanita dalam dapur atau rumah tangga.
14) Uang logam; Bermakna sebagai sarana memperoleh kebutuhan lahiriah manusia
dalam hidup di dunia, dan bermakna batiniah sebagai simbol sebagai cobaan atau
ujian hidup manusia yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi
yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat
menggunakan.
15) Gunungan anakan; Bermakna bahwa anak dari sebuah rumah tangga yang sudah
tentu diharapkan oleh orang tuanya, anak dapat menyambung sejarah keluarga atau
dapat mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang
tua dengan cara menjaga nama baik orang tua atau dalam agama Islam dikenal
dengan istilah anak sholeh yang berbakti dan mau mendoakan orang tuanya.
16) Ancak cantaka; Merupakan sedekah para abdi dalem dan kerabat keraton yang
dikeluarkan oleh raja karena mereka ada di dalam lindungan-Nya. Melambangkan
kehidupan yang makmur tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Terbinanya
kehidupan beragama dan tersedianya kebutuhan di dunia yaitu sandang, pangan,
dan papan.

17) Sega uduk atau nasi gurih dengan perlengkapan daging ayam (ingkung), kedelai,
dan pisang raja, maksudnya sebagai lambang kehidupan yang enak atau baik,
sedang yang dituju adalah untuk para Nabi dan wali.
18) Sega janganan atau nasi sayuran; Melambangkan kehidupan tercukupi (duniawi),
sedang yang dituju adalah para roh dan danyang. Dalam kejawen dikenal
dengan kiblat papat lima pancer yang mempengaruhi kehidupan manusia.
19) Sega asahan; Bermakna untuk menyucikan lahir dan batin.
20) Buah-buahan atau jajan pasar; Bermakna sebagai penolak
menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang akan terjadi.

balak

atau

21) Sirih; Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat
pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka
banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten.
22) Canthangbalung; Canthangbalung adalah abdi dalem yang bertugas membuat
orang lain menjadi gembira. Disebut Canthangbalung karena mereka membawa
kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari dan selalu dibunyikan dengan irama
crek, crek, crek. Mengenai nama Canthangbalung, G.P.H. Puger mengatakan bahwa
Canthangbalung adalah nama yang diberikan kepada brahmana yang memberi sesaji
di tempat suci. Dan adanya pemakaian boreh pada badan Canthangbalung
memberikan indikasi terhadap kebiasaan pendeta Hindu yang memboreh badannya
dengan arak atau tuak sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang
dimaksud adalah agar tubuhnya dapat dimasuki roh halus, sehingga bisa membantu
manusia. Canthangbalung dengan gayanya yang lucu dan menggelikan dimaksudkan
untuk dua orang mengikuti konsep dualis yang berlaku menguji kesungguhan dan
keteguhan iman pepatih dalem dalam mengemban perintah ingkang Sinuhun.
23) Pecut; Pecut adalah salah satu barang yang dijual dalam sekaten. Oleh
masyarakat, pecut yang dibeli saat sekaten dipercaya dapat menghindarkan ternak
dari penyakit dan berkembang biak bagi para peternak sapi/kambing.
3. Pelaksanaan Pembelajaran Cerita Rakyat di Sekolah
Karya sastra, yaitu puisi, prosa (cerpen dan novel), dan drama adalah materi yang harus
diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Penyampaian
materi sastra dalam mata pelajaran tersebut bermanfaat, terutama dalam
menerampilkan berbahasa, meningkatkan cipta dan rasa, menghaluskan watak, dan
menambah pengalaman budaya siswa. Manfaat itu relevan pula dengan salah satu
tujuan dan fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seperti yang tertera
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berlaku, yaitu sebagai sarana
pemahaman
keberanekaragaman
budaya
Indonesia
melalui
keanekaragaman
kasusastraan Indonesia.
Budaya Indonesia memang sangat beragam dan hal itu akan tampak dalam khazanah
sastra Indonesia yang terwujud dalam sastra-sastra daerah di seluruh nusantara.
Keanekaragaman budaya yang tercermin dalam karya sastra itu hanya dapat dipahami
secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi
sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan suatu keharusan.

Setakat ini siswa pada setiap jenjang sekolah telah sangat mengenal cerita rakyat daerah
yang sudah menasional, seperti Sangkuriang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah
Sunda, Malin Kundang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Minangkabau, atau
Bawang Merah dan Bawang Putih yang bersumber dari cerita rakyat daerah Jawa Tengah.
Namun, apabila membaca hasil penelitian yang berkenaan dengan cerita rakyat, maka
betapa banyak dan beragamnya cerita rakyat nusantara itu. Cerita rakyat yang ribuan itu
akan tetap menjadi khasanah budaya daerah setempat apabila kita tidak berusaha
mentransformasikannya ke dalam bahasa Indonesia, padahal keanekaragaman sastra
nusantara mesti dibaca secara luas oleh seluruh bangsa Indonesia, sehingga kita akan
mengetahui juga hal-hal yang sama di antara sastra daerah yang beragam itu.
Sebagai upaya benteng diri dari masuknya budaya asing yang semakin beragam dan
tidak sesuai dengan jiwa serta kepribadian bangsa Indonesia, foklor dari berbagai macam
daerah dapat ditampilkan sebagai penyaring budaya asing yang tidak sesuai tersebut.
Yaitu dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah, dalam hal ini kajian nilai luhur dan
budi pekerti yang dapat ditanamkan kepada siswa dari cerita rakyat yang merupakan
kekayaan budaya Indonesia.
Salah satu cerita rakyat daerah Surakarta yang sarat dengan nilai pendidikan (budi
pekerti) dan simbolis yang tinggi adalah cerita rakyat sekaten. Untuk itu pengajaran
cerita rakyat ini dapat mendukung dalam upaya pelestarian budaya. Supaya siswa
mengetahui cerita rakyat budaya setempat, dan mengetahui bagaimana cerita rakyat
sekaten yang berada di Keraton Kasunanan Surakarta itu lebih detail. Sehingga materi
yang di dapatkan oleh siswa lebih variatif dengan memperkenalkan cerita rakyat daerah
sendiri serta menambah pelajaran tentang nilai budi pekerti dan religi yang menjadi
benteng dari budaya asing yang tidak sesuai dengan jiwa serta kepribadian bangsa
Indonesia.
Cerita rakyat itu sendiri dibangun oleh beberapa unsur pendukungnya. Cerita tersebut
akan menjadi suatu kesatuan cerita yang utuh dengan memiliki beberapa
komponen. Salah satunya komponen yang terdapat dalam cerita rakyat adalah unsurunsar intrinsik yang merupakan unsur pendukung yang penting. Dengan adanya unsur
intrinsik akan memudahkan menganalisis cerita dengan mengeksplisitkan dan
mendramatisasikan dalam membaca dan memahami karya sastra, dalam hal ini adalah
cerita rakyat.
Cerita rakyat yang melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta, unsur intrinsik
dalam cerita rakyat, prosesi, dan nilai simbolis mempunyai keterkaitan sehingga
membentuk suatu cerita rakyat yang utuh. Sebagai implementasinya dalam bidang
pendidikan, cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta dapat
dijadikan sebagai bahan ajar untuk materi apresiasi sastra cerita rakyat di sekolah, baik
SD, SMP, dan SMA. Cerita rakyat ini mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat menanamkan
budi pekerti siswa, yaitu dengan mengambil contoh-contoh serta amanat yang
terkandung dalam cerita. Dengan memperdalam aneka budaya yang terdapat di
Indonesia diharapkan dapat menjadi benteng diri dari budaya asing yang tidak sesuai
dengan jiwa serta kepribadian bangsa indonesia. Untuk itu penanaman nilai budi pekerti
kepada generasi muda dengan pengenalan folklor dari berbagai macam daerah penting
untuk dilakukan sebagai pondasi untuk mempertebal rasa cinta dan bangga dengan
budaya Indonesia.

Berdasarkan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia sekarang ini


diharapkan guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan
dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya dan daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional, maka cerita rakyat sekaten ini dapat dijadikan sebagai masukan
bahan ajar yang cukup baik. Selain dapat melestarikan budaya daerah sendiri, juga
untuk memperkenalkan folklor setempat daerah Surakarta kepada siswa dengan
pengajaran cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta.
Penyebarluasan folklor untuk pewarisan nilai-nilai budaya ini dapat dilakukan yaitu salah
satunya dengan menggali nilai-nilai luhur yang terdapat dalam cerita rakyat. Selain
dapat menambah pengetahuan dan wacana baru untuk siswa, sekaligus juga dapat
mengangkat cerita rakyat sekaten ini menjadi bahan ajarnya. Sesuai dengan standar
kompetensi mendengarkan, cerita rakyat ini mempunyai unsur-unsur intrinsik yang dapat
dikaji beserta nilai simbolis yang terkandung di dalamnya. Jadi antara cerita rakyat yang
melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta, unsur-unsur
intrinsik, prosesi, dan nilai simbolis saling berkaitan untuk menjadi satu kesatuan cerita
yang utuh dan sarat nilai untuk dikaji lebih dalam oleh siswa sebagai bahan ajar cerita
rakyat dalam pengajaran apresiasi sastra.
a. Penerapan Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten sebagai Bahan Ajar
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pada mata pelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia tepatnya pada bidang apresiasi sastra, cerita rakyat merupakan
salah satu materi pokok yang terdapat di dalamnya. Pengajaran cerita rakyat
dilaksanakan pada semester dua untuk siswa kelas X di SMA, semester satu untuk siswa
kelas VII SMP, dan semester satu untuk siswa kelas V SD. Dalam penerapan folklor
(Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta) sebagai objek kajian penelitian,
peneliti memilih SMA Muhamadiyah 3 Surakarta, SMP Negeri 16 Surakarta, dan SD
Muhamadiyah 22 Surakarta sebagai sampel tempat penerapan bahan ajar cerita rakyat
tersebut. Tempat ini dipilih oleh peneliti dengan berbagai pertimbangan yang salah
satunya adalah masyarakat Surakarta sebagai masyarakat pendukung dan pemilik folklor
Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta. Dan tidak ada salahnya sebagai masyarakat
pemilik folklor mengetahui cerita rakyat yang ada di daerah setempat, salah satunya
adalah Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta.
Penerapan pengajaran materi folklor Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta ini dilaksanakan di kelas X SMA Muhamadiyah 3 Surakarta, dengan
guru pengampunya Bapak Rahadi, S. Pd., di kelas VII SMP Negeri 16 Surakarta dengan
guru pengampunya Ibu.Dewi Sari Anugerah, S. Pd. Dan Ibu. K. Sri Hartini, S. Pd, dan di
kelas V SD Muhamadiyah 22 Surakarta dengan guru pengampunya Ibu Widyaningrum,
S.Pd. Untuk keperluan tersebut peneliti juga melakukan observasi langsung sebagai
partisipan pasif saat pengajaran folklor di kelas X.1 dan X.2 SMA Muhamadiyah 3
Surakarta. Peneliti mengamati pelaksanaan dan respon siswa terhadap cerita rakyat
yang diajarkan dan juga menganalisis hasil pemahaman siswa yang diukur dengan soalsoal tentang sekaten beserta wawancara dengan beberapa siswa dengan menggunakan
purposive sampling. Beberapa siswa yang dijadikan peneliti sebagai informan adalah
Galih Tri Nugroho Jati dan Tri Nopiyanita dari kelas X.1 serta Pramono dan Hastuti dari
kelas X.2. Pengajaran folklor cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta ini

dilaksanakan pada hari Selasa, 20 Februari 2007, tepatnya pada jam pelajaran ke 4-5 di
kelas X.1 dan jam pelajaran ke 6-7 di kelas X.2.
Dari hasil pengamatan dan analisis yang dilakukan oleh peneliti, siswa cukup
memberikan respon positif dengan terlihat adanya proses interaksi tanya jawab siswa
seputar folklor dan sekaten. Seperti yang dilakukan oleh beberapa siswa yang antara lain
Galih (X.1) yang menanyakan bagaimana bentuk dari gunungan kakung dan gunungan
putri dalam Sekaten, dan untuk apakah dirayah oleh masyarakat. Siswa tertarik
mengikuti proses pembelajaran, karena sejauh ini siswa hanya mengetahui beberapa
cerita rakyat yang sering didengar dan berasal dari daerah lain, seperti Sangkuriang,
Tangkuban Perahu, Terjadinya Danau Toba dsb. Karena ternyata di daerah lokal sekitar
mereka juga sarat dengan budaya yang dapat digali berbagai nilai dan cerita rakyat yang
membangunnya, salah satunya adalah cerita rakyat Sekaten di Surakarta.
Setelah diberikan materi tentang folklor dan contoh folklor di daerah Surakarta tepatnya
Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten oleh guru kemudian siswa diminta untuk
mengerjakan soal-soal, yaitu 10 soal objektif dan 3 soal uraian tentang sekaten. Yang
masing-masing bertujuan untuk mengukur pemahaman dan daya tarik siswa terhadap
folklor Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta yang sebelumnya materi ini terdapat dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berlaku.
Dari evaluasi yang diperoleh melalui hasil tugas yang diberikan kepada siswa dapat
peneliti analisis bahwa siswa kelas X.1 dan X.2 sebagai sampel penerapan dalam
penelitian mempunyai pemahaman tentang folklor dan Cerita Rakyat Upacara Tradisi
Sekaten di Surakarta sebagai bahan ajarnya dengan hasil yang baik, yaitu rata-rata nilai
kelas X.1 adalah 7,56 dan rata-rata nilai kelas X.2 adalah 8. Bahkan ada beberapa siswa
yang mendapat nilai sempurna dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan. Masingmasing siswa tersebut yang mendapat nilai 10 dan menjawab benar seluruh soal objektif
yang diberikan adalah Murniasih dan Tri Nopiyanita dari kelas X.1 juga Agustyarum
Pradiska Budi dan Sri Wahyuni dari kelas X.2. Hal tersebut menandakan bahwa
pengajaran folklor dengan cerita rakyat sekaten dapat diserap serta dipahami dengan
mudah oleh siswa. Data nilai hasil tugas yang dikerjakan oleh siswa dari soal objektif
yang diberikan dapat dilihat pada lampiran 7.
Berdasarkan hasil nilai tersebut peneliti dapat merumuskan bahwa pembelajaran folklor
dengan Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta sebagai alternatif bahan ajar
dapat diterima oleh siswa dengan baik. Bahkan hampir seluruh siswa dapat menemukan
unsur intrinsik yang berupa tema, latar, penokohan, dan alur sesuai yang dimaksudkan.
Kemudian setelah pembelajaran selasai beberapa siswa menanggapi dengan baik cerita
rakyat yang telah diajarkan. Sejauh ini yang diketahui oleh siswa Upacara Tradisi Sekaten
adalah sebatas perayaan saja yang mirip dengan pasar malam, begitu yang diungkapkan
Pramono siswa kelas X.2. Tapi ternyata budaya lokal yang berada di Surakarta itu
mempunyai cerita rakyat yang melatarbelakangi diselenggarakannya upacara tradisi
tersebut. Bahkan sarat dengan nilai jika dikaji lebih dalam, baik nilai simbolis, agama,
maupun budayanya.
b. Relevansi Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten sebagai Alternatif Bahan
Ajar

Sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, untuk itu pengajaran
sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang penting dan patut menduduki tempat yang
selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat, maka pengajaran sastra dapat
juga memberi sumbangan-sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah
nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Pengajaran sastra dapat
membantu pendidikan secara utuh apabila di dalamnya mempunyai 4 manfaat, yaitu:
membantu
keterampilan
berbahasa,
meningkatkan
pengetahuan
budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. (B. Rahmanto,
1988: 15-16)
Pengajaran cerita fiksi di SD, SMP, dan SMA yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) menyebutkan di dalamnya adalah pengajaran cerita
rakyat. Dalam hal ini guru diberi kewenangan untuk memilih bahan ajar yang relevan
untuk mendukung pengajaran folklor. Salah satunya Cerita Rakyat Upacara Tradisi
Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta dapat dipakai sebagai masukan cerita rakyat
dalam pengajaran apresiasi sastra yang relevan untuk SD, SMP, dan SMA di Surakarta.
Peneliti menjadikan cerita rakyat tersebut sebagai alternatif bahan ajar di SMA dengan
melihat adanya banyak nilai yang dapat digali dari cerita rakyat tersebut untuk diketahui
kepada masyarakat pemilik folklor setempat dan sekitarnya. Selain itu juga untuk
mengenalkan kepada generasi muda tentang budaya lokal di Surakarta yang harus
dijaga dan dilestarikan agar tidak punah. Salah satunya dengan memasukkan folklor
cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta sebagai cerita rakyat dalam
pengajaran apresiasi sastra.
Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta tersebut jika
digali lebih lanjut mempunyai beberapa manfaat. Salah satunya dapat membantu
keterampilan berbahasa siswa. Yang dimaksudkan di sini sesuai dengan kompetensi
dasar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku dalam apresiasi
sastra salah satunya adalah kemampuan kebahasaan mendengarkan dengan memahami
cerita rakyat yang dituturkan. Dengan kompetensi dasar tersebut melalui media cerita
rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta, akan membantu melatih
siswa dalam keterampilan membaca, dan mungkin ditambah lagi dengan keterampilan
menyimak, berbicara, dan menulis yang masing-masing mempunyai hubungan erat
dalam proses pemahaman cerita rakyat yang dipelajari. Untuk mengetahui isi dari cerita
rakyat yang diajarkan, siswa dituntut untuk membaca dengan seksama dari teks/wacana
cerita rakyat. Kemudian juga menyimak penjelasan dari guru yang mendukung untuk
memperjelas pemahaman siswa tentang cerita rakyat yang dibaca. Setelah siswa
memahami cerita rakyat yang telah dibaca, siswa juga diharapkan dapat menceritakan
kembali garis besar isi cerita rakyat dan memberikan tanggapan tentang cerita tersebut
melalui keterampilan berbicaranya. Dan yang terakhir, siswa akan mengerjakan soal-soal
yang diberikan oleh guru dengan keterampilan menulisnya.
Manfaat yang kedua adalah pengajaran folklor Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di
Keraton Kasunanan Surakarta ini dapat meningkatkan pengetahuan budaya. Lebih
tepatnya adalah mengetahui serta menggali lebih lanjut budaya lokal yang terdapat di
daerah sendiri. Pemahaman Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta sebagai budaya lokal yang harus diketahui dan dilestarikan dapat
menumbuhkan rasa bangga dan rasa ikut memiliki.

Manfaat yang ketiga adalah mengembangkan cipta dan rasa. Dalam pengajaran sastra,
khususnya cerita rakyat kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang
bersifat indra (penglihatan, pendengaran, peraba). Dalam cerita rakyat sekaten, siswa
dapat menggambarkan bagaimana keramaian dalam perayaan sekaten yang diceritakan,
bagaimana rupa Canthangbalung yang dilukiskan dalam cerita yang lucu dan
menggelikan, serta gunungan sekaten yang memiliki simbol-simbol dapat diketahui
siswa dengan mendengarkan penjelasan guru dengan baik. Selain itu Cerita Rakyat
Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta juga mengandung nilai religius
yang tinggi. Kebenaran mutlak akan ajaran agama yang tetap dipegang teguh meskipun
diselaraskan dengan budaya yang ada melalui proses akulturasi.
Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta juga dapat
bermanfaat untuk menunjang pembentukan watak siswa. Yang dimaksud di sini adalah
dengan mengambil contoh-contoh teladan dari tokoh yang digambarkan dalam cerita
rakyat yang di ajarkan. Cerita Rakyat Sekaten mempunyai beberapa orang tokoh, yaitu
Raden Patah dan Wali Songo yang mempunyai watak yang patut untuk dicontoh, gigih
dan berani dalam berjuang dan senantiasa memberitahukan kepada kita bahwa
pendidikan bukan hanya diperoleh dari kegiatan formal, namun pendidikan juga dapat
diperoleh dari kegiatan non formal seperti dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo.
Pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan
kualitas kepribadian siswa yang antara lain ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan
penciptaan. Dalam hal ini Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta mempunyai beberapa komponen tersebut. Cerita rakyat ini mempunyai sarat
dengan nilai yang patut diketahui oleh siswa yang juga merupakan budaya lokal yang
harus dilestarikan.
Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta ini jika dipakai
sebagai salah satu alternatif bahan ajar dalam bidang apresiasi sastra mata pelajaran
Bahasa Indonesia untuk SD, SMP, dan SMA di Surakarta sangat tepat. Seperti yang
dikemukakan G.P.H. Puger dalam wawancaranya 11 Desember 2006 di Keraton
Kasunanan Surakarta, bahwa Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten ini jika dipakai
sebagai bahan ajar untuk materi cerita rakyat tidak ada salahnya. Bahkan sangat bagus,
karena selain memperkenalkan kepada masyarakat tentang cerita rakyat yang
melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten juga untuk diketahui oleh masyarakat luas
bahwa sekaten juga merupakan cikal bakal dari pendidikan. Mengapa demikian?
Diungkapkan juga oleh Puger bahwa sudah dari jaman dahulu telah diterapkan
pendidikan, hanya saja berupa pendidikan non formal seperti dakwah yang dilakukan
oleh wali songo. Dengan Sekaten yang menjadi cikal bakal pendidikan terbukti dengan
pendirian Mambaul Ulum (sekolah Islam) yang terletak di samping Masjid Agung
Surakarta. Dahulu Mambaul Ulum ini adalah satu-satunya sekolah yang menjadi cikal
bakal pendidikan.
Berdasarkan pendapat yang disebutkan di atas, peneliti dapat simpulkan bawa cerita
rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta dapat dijadikan sebagai
alternatif bahan ajar untuk apresiasi sastra kelas X di SMA, kelas VII SMP, dan kelas V SD
yang relevan. Baik dengan kurikulum yang berlaku maupun relevan dapat diterima dan
diserap dengan mudah oleh siswa. Merupakan salah satu media pengenalan kepada
generasi muda melalui pemahaman baru tentang cerita rakyat sekaten yang kemudian
diharapkan dapat mendorong generasi muda untuk ikut serta menjaga dan memiliki

kekayaan budaya yang tumbuh di Surakarta dengan Upacara Tradisi Sekaten. Selain itu
cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta yang merupakan folklor lokal yang
menjadi kekayaan budaya tersebut dapat menjadi bahan masukan untuk guru Bahasa
Indonesia sebagai materi ajar cerita rakyat di sekolah.
E. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Cerita rakyat yang melatarbelakangi diadakannya Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta dimulai dengan berdirinya kerajaan Islam yang pertama, yaitu
Demak. Dengan Raja Islam yang pertama, Raden Patah. Beliau berusaha menyinari
seluruh pelosok negeri dengan agama Islam.Bersama dengan Wali Songo, Raden Patah
mendirikan Masjid Agung di Demak. Kemudian masjid tersebut digunakan sebagai sarana
dakwah dan penyebarluasan Islam, yaitu dengan memadukan budaya setempat.
Dibuatlah suatu momentum bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, di
dalam masjid diadakan dakwah dengan menggunakan media gamelan. Terjadilah suatu
keramaian, masyarakat banyak yang datang dan sesampai di masjid mereka
di syahadatkan. Banyak masyarakat yang tertarik, hingga kemudian lama-lama
momentum ini disebut dengan sahadatan atau sekaten.
Prosesi Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta dilaksanakan
bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tanggal 5 sampai dengan
12 Rabiul Awal. Untuk tahun 2006, pelaksanaan Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta jatuh pada bulan Mulud,tanggal 02 April 2006 tepatnya
pada Minggu Wage. Pada hari pertama perayaan sekaten tanggal 5Rabiul Awal (2 April
2006), diawali dengan dikeluarkannya dua buah gamelan yang merupakan peninggalan
jaman Demak dari dalam keraton. Dua buah gamelan itu dibawa dari dalam keraton
lewat alun-alun kemudian dibawa ke Masjid Agung. Sebelum dikeluarkan dari keraton
diadakan selamatan dengan diberi doa terlebih dahulu dan diberi sesajen. Setelah
diadakan serah terima dari utusan keraton kepada penghulu masjid, gamelan
ditempatkan di Bangsal Pradonggo di selatan dan utara halaman muka Masjid Agung
Surakarta. Gamelan mulai dibunyikan ketika sudah ada utusan dari keraton yang
memerintahkan untuk membunyikan gamelan, yaitu pada pukul empat sore.
Dua buah gamelan tersebut bernama Kyai Guntur Madu, yaitu berada di sebelah selatan
yang melambangkan syahadat tauhid. Dan Kyai Guntur Sari di sebelah utara Pendopo
Masjid Agung yang melambangkan syahadat Rosul. Gamelan sekaten yang mulai
dibunyikan pada tanggal 5 Rabiul Awalpukul empat sore merupakan saat yang paling
ditunggu-tunggu oleh banyak orang, sehingga masyarakat mulai berbondong-bondong
datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan dipukul pertama kalinya.
Kemudian dua buah gamelan tersebut dibunyikan secara bergantian tiap harinya selama
perayaan sekaten. Gamelan tersebut tiap pagi mulai dibunyikan pada pukul sembilan,
waktu Ashar dan Dzuhurberhenti, kemudian mulai lagi dan berhenti lagi waktu Maghrib
dan Isya. Setelah Isya dibunyikan lagi sampai pukul 12 malam. Setelah perayaan sekaten
berlangsung tujuh hari, maka tepat pada tanggal 12Rabiul Awal, yaitu hari lahir Nabi
Muhammad SAW diadakan upacara Garebeg yaitu upacara selamatan dengan
dikeluarkannya gunungan dari keraton.

Nilai simbolis yang telah diteliti terdiri dari: (1) adanya hidup itu harus ada bapak dan ibu
yang semuanya pada dasarnya merupakan kehendak Tuhan, disimbolkan dengan
gunungan kakung dan gunungan putri.; (2) bahwa orang harus mempunyai sifat dan
semangat keberanian serta kesucian dilambangkan dengan bendera merah putih; (3)
manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah,
merupakan simbol dari cakra; (4) petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari raja
Surakarta yang bertahta terkandung dalam makna wapen; (5) sebagai simbol pakaian
jasmani dan rohani manusia adalah kampuh; (6) keteguhan hati dalam menghadapi
masalah kehidupan dunia dilukiskan dengan entho-entho; (7) telur asin melambangkan
laki-laki dan perempuan yang bersatu dan terjadinya manusia baru; (8) kemakmuran dari
sebuah kerajaan dilambangkan dengan nasi; (9) semangat hidup dan pertimbangan
kewajiban lahir batin dengan Tuhan dan sesama manusia dilihat dari eter; (10)
Mendatangkan berkah dan kemulyaan jati diri manusia yang diperoleh dari amal baik
terwakili oleh bunga; (11) bermakna tergalangnya persatuan kesatuan dari rakyat
dengan erat dan kokoh adalah rengginan; (12) menggambarkan hasil karya wanita dalam
dapur atau rumah tangga terwakili oleh jadah, wajik, dan jenang; (13) sebagai sarana
memperoleh kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia dan bermakna batiniah
sebagai cobaan hidup manusia yang mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat
menggunakan terwakili oleh uang logam; (14) dapat menjujung harkat dan martabat
orang tua dilambangkan dengan tuntut atau eter kecil; (15) sebagai lambang kehidupan
yang baik untuk para Nabi dan Wali terwakili oleh sega uduk atau nasi gurih; (16)
kehidupan yang tercukupi dilambangkan pada sega janganan/ nasi sayuran; (17) untuk
menyucikan lahir batin disimbolkan dengan sega asahan; (18) penolak balak dan
menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang akan terjadi terwakili oleh
buah-buahan atau jajan pasar; (18) terbinanya kehidupan beragama dan tersedianya
kebutuhan di dunia yaitu sandang, pangan, dan papan, (19) awet muda jika memakan
sirih saat gamelan sekaten dibunyikan pertama kali, (20) untuk menguji kesungguhan
dan keteguhan iman pepatih dalem dalam mengemban perintah ingkang Sinuhun
dilambangkan dengan canthangbalung, (21) akan membuat ternak banyak dan terhindar
dari penyakit disimbolkan dengan pecut.
Pelaksanaan pembelajaran cerita rakyat di SD, SMP, dan SMA merupakan salah satu
upaya pelestarian budaya dalam bidang pendidikan. Penyebarluasan folklor adalah wujud
konkret untuk memperkenalkan kepada generasi muda akan keanekaragaman budaya
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sehingga akan menimbulkan rasa ikut memiliki
serta bangga. Sebagai upaya benteng diri dari masuknya budaya asing yang semakin
beragam dan tidak sesuai dengan jiwa serta kepribadian bangsa Indonesia, foklor dari
berbagai macam daerah dapat ditampilkan sebagai penyaring budaya asing yang tidak
sesuai tersebut. Yaitu dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah, dalam hal ini
kajian nilai luhur dan budi pekerti yang dapat ditanamkan kepada siswa dari cerita rakyat
yang merupakan kekayaan budaya Indonesia. Salah satu cerita rakyat daerah Surakarta
yang sarat dengan nilai pendidikan (budi pekerti) dan simbolis yang tinggi adalah cerita
rakyat sekaten. Untuk itu pengajaran cerita rakyat ini dapat mendukung dalam upaya
pelestarian budaya. Supaya siswa mengetahui cerita rakyat budaya setempat, dan
mengetahui bagaimana cerita rakyat sekaten yang berada di Keraton Kasunanan
Surakarta itu lebih detail. Sehingga materi yang di dapatkan oleh siswa lebih variatif
dengan memperkenalkan cerita rakyat daerah sendiri serta menambah pelajaran tentang
nilai budi pekerti dan religi yang menjadi benteng dari budaya asing yang tidak sesuai
dengan jiwa serta kepribadian bangsa Indonesia.

2. Saran
Berkaitan dengan simpulan dan implikasi di atas, saran yang dapat diberikan peneliti
sebagai berikut:
a. Cerita Rakyat Upacara Tradisi Sekaten yang berkembang dalam masyarakat
Surakarta ini dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk mata pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia, khususnya pengajaran sastra.
b. Pemerintah Daerah Surakarta dapat lebih mempublikasikan hal-hal yang berkaitan
dengan Upacara Tradisi Sekaten, karena upacara tradisi ini dapat dijadikan aset
wisata yang menarik.
c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk
mengkaji cerita rakyat.
d. Dinas Pariwisata hendaknya memberikan rekomendasi untuk menerbitkan buku
yang berisi cerita rakyat terutama cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta untuk dijadikan sumber informasi dan bahan ajar bagi guru.
Selain itu buku tersebut juga dapat dijadikan bahan bacaan bagi siswa baik SD, SMP,
dan SMA.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina Noor Rahmawati. 2002. Sekaten Tahun Dal dan Pengaruhnya terhadap
Kehidupan Masyarakat Surakarta. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
Anton Moeliono (penyunting). 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
________________________. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Angkasa Raya.
B. Rahmanto.1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
B. Soelarto. 1993. Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. Jakarta: Kanius.
Burhan Nurgiyantoro. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada Press.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Jakarta.
GPH. Poeger. 2002. Sekaten. Karaton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton
Surakarta
Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Yayasan
Kanisius.

Kemp, Jerrold. E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran. Bandung: ITB.


Koentjaraningrat.1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
_____________. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
KRT. Haji Handipaningrat. Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko
Karaton Surakarta.
Moleong,Lexy.J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja.
Panuti Sudjiman. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Peursen, C.A. Van. 1990. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Rara Sugiyarti. 2004. Pengembangan Interpretasi Folklor Objek Wisata untuk
Meningkatkan Kualitas Sadar Wisata di Kabupaten Grobogan. Surakarta: Sastra dan
Seni Rupa UNS.
Serat Kabar Sedyatama. 1865. Babad Sekaten: Karaton Kasunanan Surakarta.
Susanto. 2004. Metode Penelitian Sosial. Surakarta. Sebelas Maret University Press.
Sutarjo. 1998. Nilai Simbolis dan Religius dalam upacara Tradisional Bersih Desa.
Penelitian Mandiri: UNS.
Sutopo, H.B. 2002.Metodologi
University Press.

Penelitian

Kualitatif. Surakarta.

Sebelas

Maret

Supanto. 1982. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek


Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Waluyo, J. Herman. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
W.J.S. Poerwadarminto. 2003. Ensiklopedi Umum. Jakarta: Balai Pustaka.

Вам также может понравиться