Вы находитесь на странице: 1из 7

1

PERLINDUNGAN HAK ASASI PEKERJA MIGRAN


By
Agis Ardhiansyah,SH.,LL.M

1. DEFINISI PEKERJA MIGRAN

a. International Convention on the Protection of the Rights of All


Migrant Workers and Members of Their Families 1990
Pasal 2 ayat 1
“Pekerja Migran adalah seseorang yang akan, sedang atau telah melakukan pekerjaan
yang dibayar dalam suatu Negara dimana ia bukan menjadi warga negaranya.”
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Pasal 1 ayat 1
“Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat
untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan
menerima upah.”
c. Edi Suharto, Ph.D
Pekerja Migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain
dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap.
Pekerja Migran mencakup sedikitnya dua tipe: Pekerja Migran Internal dan Pekerja
Migran Internasional. Pekerja Migran Internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan
Pekerja Migran Internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.

2. PERMASALAHAN PEKERJA MIGRAN


A. Faktor-Faktor Migrasi Pekerja
1. kemiskinan
2. pengangguran
3. perang, pertikaian sipil, diskriminasi ras, warna kulit, agama, suku bangsa, bahasa,
faham politik.
4. kurangnya lapangan kerja di negara asal.
5. globalisasi
2

B. Kasus yang Melibatkan Pekerja Migran


1. Kasus Ceriyati
Ceriyati adalah seorang TKI di malaysia yang mencoba kabur dari apartemen
majikannya. Ceriyati berusaha turun dari lantai 15 apartemen majikannya karena
tidak tahan terhadap siksaan yang dilakukan kepadanya. Dalam usahanya untuk
turun Ceriyati menggunakan tali yang dibuatnya sendiri dari rangkaian kain.
Usahanya untuk turun kurang berhasil karena dia berhenti pada lantai 6 dan akhirnya
harus ditolong petugas Pemadam Kebakaran setempat. Tetapi kisahnya dan juga
gambarnya (terjebak di lantai 6 gedung bertingkat) menjadi headline surat kabar
Indonesia serta Malaysia, dan segera menyadarkan pemerintah kedua negara adanya
pengaturan yang salah dalam pengelolaan TKI.
2. Kasus Nirmala Bonat
Nirmala Bonat adalah TKI yang bekerja di Malaysia yang berusaha kabur dari
apartemen majikannya karena tidak tahan mendapat siksaan yang terus menerus dari
majikannya. Sekarang kasus Nirmala Bonat sudah sampai pada persidangan dan
menunggu vonis dari hakim pengadilan di Malaysia.
3. Pungutan Liar di KBRI/KJRI Malaysia
Para warga negara Indonesia yang ingin memperoleh pelayanan keimigrasian
dimana kebanyakan dari mereka adalah TKI yang bekerja di Malaysia, dibebani tarif
pungutan liar. Modusnya adalah terbitnya SK/Surat Keputusan ganda, untuk SK
pungutan tinggi ditunjukan sewaktu memungut biaya, sedangkan SK pungutan
rendah digunakan sewaktu menyetor uang pungutan kepada negara. Pungli ini
berawal dari PPATK yang mulai mencurigai adanya aliran dana tidak wajar dari
para pegawai negeri di Konjen Penang pada Oktober 2005. Pungutan serupa juga
terjadi di KBRI Kuala Lumpur. Pungli ini melibatkan mantan Duta Besar Indonesia
untuk Malaysia Hadi A Wayarabi, Erick Hikmat Setiawan (kepala KJRI Penang)
dan M. Khusnul Yakin Payapo (Kepala Subbidang Imigrasi Konjen RIPenang).
Erick Hikmat Setiawan divonis 20 bulan penjara.
4. Pemotongan Gaji Ilegal
Hampir semua TKI atau buruh migran Indonesia mengalami potongan gaji secara
ilegal. Potongan ini disebutkan sebagai biaya penempatan dan "bea jasa" yang
diklaim oleh PJTKI dari para TKI yang dikirimkannya. Besarnya potongan
bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai tujuh, bahkan ada yang sampai sembilan
bulan gaji. Tidak sedikit TKI yang terpaksa menyerahkan seluruh gajinya dan harus
3

bekerja tanpa gaji selama berbulan-bulan. Praktik ini memunculkan kesan bahwa
TKI adalah bentuk perbudakan yang paling aktual di Indonesia.

C. Migrasi Gelap dan Melawan Hukum


Pekerja migran menghadapi resiko terbesar dalam hal Hak Asasi Manusia dan
kebebasan dasar mereka, saat direkrut, dipindahkan dan dipekerjakan lewat proses yang
melanggar undang-undang. Dalam beberapa kasus, perpindahan pekerja terselubung
dilakukan dengan operasi kriminal. Tanpa status, pendatang ilegal merupakan sasaran
eksploitasi secara alami. Pekerja migran ilegal jarang berupaya mencari keadilan karena
takut akan terungkap statusnya dan diusir. Dibanyak negara, mereka tidak mempunyai hak
untuk naik banding atas keputusan administratif yang telah dijatuhkan kepadanya.

D. Globalisasi
Globalisasi adalah proses menyatunya negara-negara di dunia. Dalam globalisasi,
perdagangan barang dan jasa, perpindahan modal, jaringan transportasi, serta pertukaran
informasi dan kebudayaan bergerak secara bebas ke seluruh dunia seiring dengan
meleburnya batas-batas negara. Globalisasi ternyata juga mendorong perpindahan tenaga
kerja antar negara. Saat ini, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah airnya menuju
negara lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Di wilayah Asia saja
pada tahun 1994, tenaga kerja asing (sesama Asia) yang mengisi sektor-sektor ekonomi di
wilayah tersebut mencapai jutaan. Jumlah terbanyak datang dari Indonesia (800 ribu),
diikuti Filipina (600 ribu), Bangladesh (400 ribu) dan Thailand (sekitar 400 ribu).
Pembangunan ekonomi yang tinggi di negara maju telah mendorong upah dan kondisi
lingkungan kerja ke taraf yang lebih tinggi. Percepatan pembangunan ekonomi di negara
maju kemudian meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah tertentu. Secara
umum, permintaan akan tenaga kerja terlatih di negara maju dipenuhi dari negara maju
lainnya. Sedangkan permintaan akan tenaga kerja tidak terlatih didatangkan dari negara
berkembang. Pekerja dari negara-negara maju sendiri seringkali tidak tertarik dengan
pekerjaan yang menurut kategori mereka bergaji rendah.
Dalam arus migrasi ini, terdapat fenomena lain yang disebut “feminisme migrasi,”
yakni, bahwa migrasi semakin didominasi oleh anak gadis dan perempuan (Heyzer, 2002).
Lemahnya sistem ekonomi lokal menyebabkan banyak anak-anak gadis dan perempuan
yang diekspos ke tempat-tempat kerja global guna mencari penghidupan. Menurut Heyzer
(2002:2), situasi ini akan semakin meningkat di negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi parah serta negara-negara yang mengalami konflik dan perpecahan. Dalam konteks
4

Indonesia, feminisme migrasi ini terjadi dalam bentuk pengiriman TKW besar-besaran
antara lain ke Hongkong, Arab Saudi, Malaysia dan Singapura.

3. PERLINDUNGAN HAK BAGI PEKERJA MIGRAN


A. Konvensi International Labour Organization
1. Konvensi Migrasi Untuk Bekerja Nomor 97 Tahun 1946
2. Konvensi Pekerja Migran Nomor 143 Tahun 1975.
B. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya 1990.
Pada tahun 1970 muncul perdebatan-perdebatan di PBB menyangkut kegiatan
pengiriman pekerja secara ilegal yang mencuatkan masalah hak pekerja migran. Pada tahun
1978 diselenggarakan Konferensi Dunia Menentang Rasisme dan Diskriminasi Ras pertama
di Jenewa. Konferensi ini merupakan pencetus dikembangkannya konvensi internasional
tentang perlindungan hak pekerja migran. Pada tahun 1978 Majelis Umum PBB membuat
rekomendasi dalam Resolusi (33/163) mengenai “upaya-upaya untuk meningkatkan situasi
dan menjamin hak asasi dan martabat semua pekerja migran”. Suatu kelompok kerja yang
terbuka bagi semua Negara Anggota dibentuk pada tahun 1980 untuk mengembangkan
Konvensi dan organisasi serta organ internasional yang brkepentingan yaitu Komisi Hak
Asasi Manusia, Komisi Pembangunan Ekonomi, Organisasi Pekerja Internasional,
Organisasi Penidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya PBB, Organisasi Keseharan Dunia
yang semua diundang untuk memberikan sumbangan. Kelompok Kerja ini menyelesaikan
perancangan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya 1990.
Konvensi ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 1990 dan
terbuka untuk ditandatangani oleh semua Negara Anggota PBB. Konvensi ini mulai berlaku
setelah dilakukan ratifikasi atau aksesi oleh 20 negara yaitu pada tahun 2003 setelah
memenuhi persyaratan jumlah ratifikasi atau aksesi. Indonesia menandatangani Konvensi
ini pada tahun 2004 dan sampai saat ini belum dilakukan ratifikasi. Konvensi ini mengatur
hak-hk pekerja migran, antara lain hak hidup, non diskriminasi, anti perbudakan, persamaan
hak, hak kebebasan berpikir, berpendapat, berkeyakinan dan beragama.
Pasal 72 Konvensi ini mengharuskan pembentukan Komite bagi Perlindungan Hak
Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Anggota Komite dipilih oleh negara-
negara peserta dengan pemungutan suara secara rahasia, dengan mempertimbangkan
pembagian geografis yang adil termasuk negara asal dan negara tempat bekerjanya pekerja
migran dan memeprtimbangkan keterwakilan sistem-sistem hukum dunia yang utama dan
5

bertugas dalam kapasitas pribadi untuk asa jabatan empat tahun. Komite ini bekerja sama
dengan badan-badan internasional khususnya Organisasi Pekerja Internasional (ILO).
Menurut Pasal 76, suatu negara peserta mengakui kewenangan Komite untuk
menerima dan memeriksa komunikasi dari suatu negara peserta yang menuduh bahwa
negara peserta lainnya tidak memenuhi kewajiban dalam Konvensi. Komite hanya akan
menangani komunikasi yang disampaikan kepadanya jika semua upaya penyelesaian
domestik telah dilakukan dan Komite dapat menawarkan jasa-jasa baiknya dalam upaya
mencapai penyelesaian damai. Pasal 77, suatu negara peserta dapat mengakui kewenangan
Komite untuk menerima dan memeriksa komunikasi dari dan atas nama perorangan dalam
yurisdiksi Negara bersangkutan yang menyatakan bahwa mereka yang dicantumkan dalam
Konvensi telah dilanggar. Komunikasi semacam ini hanya dapat diterima jika negara yang
bersangkutan telah mengakui kewenangan Komite. Apabila Komite yakin bahwa kasus
tersebut belum dan tidak sedang diperiksa dalam konteks internasional lainnya dan bahwa
upaya penyelesaian dalam negeri telah dipergunakan semuanya, dapat meminta penjelasan
dan kemudian menyampaikan pandangannya.

C. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga


Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Undang-Undang ini merupakan perwujudan kewajiban Negara dalam menjamin
dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar
negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan social, kesetaraan dan
keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia. Penempatan TKI di luar
negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah Pusat dan Daerah serta
peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi TKI yang ditempatkan
di luar negeri. Undang-Undang ini mengatur tentang perlindungan hak-hak TKI antara lain
TKI berhak bekerja di luar negeri, berhak memperoleh informasi secara benar, mendapatkan
pelayanan dan perlakuan yang sama, memperoleh upah standar di negara tempat bekerja.

D. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia


(BNP2TKI) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen di Indonesia yang
mempunyai fungsi dalam hal pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan
perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.
6

Lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006. Tugas
Pokok BNP2TKI adalah :
melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan
penempatan;
memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai dokumen
dan meberikan pembekalan akhir pemberangkatan (PAP);
penyelesaian masalah, sumber-sumber pembiayaan, pemberangkatan sampai pemulangan,
peningkatan kualitas calon TKI, informasi, kualitas pelaksana penempatan TKI dan
peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.
Keanggotaan BNP2TKI terdiri dari wakil-wakil instansi Pemerintah terkait. Dalam
melaksanakan tugasnya, BNP2TKI dapat melibatkan tenaga-tenaga profesional.

Kesimpulan
Setiap manusia memiliki hak untuk bekerja guna mencukupi kebutuhan hidupnya
karena bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati dan
dijamin penegakannya. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak naik di dalam maupun
diluar negeri sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat, minat dan kemampuan. Para pekerja
migran rentan akan tindakan perdagangan manusia, termasuk perbudakan secara paksa, korban
kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakua
lain yang melanggar hak asasi manusia.Oleh karena itu diperlukan instrumen hukum baik yang
bersifat nasional maupun internasional untuk menjamin hak-hak asasi para pekerja migran.
Lahirnya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families 1990 dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri serta dibentuknya Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia diharapkan mampu
memberikan perlindungan hak-hak asasi para pekerja migran khususnya pekerja migran dari
Indonesia
7

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Hak Pekerja Migran, Lembar Fakta 24, Kampanye Hak Asasi Manusia

Edi Suharto, Permasalahan Pekerja Migran : Perspektif Pekerjaan Sosial

Вам также может понравиться