Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rhinosinusitis (RS) adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis
yang terjadi akibat perluasan atau penyebaran suatu rhinitis. Rhinosinusitis juga
merupakan permasalahan kesahatan yang penting karena dapat mengganggu
kualitas hidup, penurunan produktivitas, maupun keuangan. Istilah RS akhir-akhir
ini sering digunakan untuk mengganti istilah sinusitis karena jarang peradangan
mukossa sinus yang berdiri sendiri.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arivalagan dkk di RSUP Haji
Adam Malik tahun 2013 insidensi RS sering terjadi pada rentang usia 31-45
tahun, lebih sering terjadi pada perempuan yaitu sekitar 54,2%. Rhinosinusitis
dapat pula terjadi pada anak-anak, menurut Analysis of US National Health satu
dari tujuh anak mengalami RS. Rhinosinusitis lebih dari 75% disebabkan oleh
alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan
perubahan pada muosa sinus. Rhinosinusitis telah terbukti berkaitan dengan asma
dan ekzema atopik, suatu penelitian dari sekelompok mahasiswa dengan RS
alergika bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma. Reaksi
alergi dianggap diperantarai oleh immunoglobulin, yang berkaitan dengan
mekanisme Rs alergika.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan RS antara lain ISPA akibat
virus, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti
deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM),
infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan immunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartagener.
BAB II
ANATOMI
2.1.
Hidung
Tulang
Kedua os nasale, processus frontalis maxillae, pars nasalis ossis
frontalis.
Tulang rawan
2 cartilagines nasi laterales, 2 cartilagines alares, 1 cartilagines septi
nasi.
Septum nasi
Terdiri dari:
a Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis membentuk bagian
b
c
Cavitas nasi
kulit.
- 2/3 inferior membrane mukosa area respiratori
- 1/3 superior membrane mukosa area olfactory.
Batas-batas
- Atap dibedakan 3 bagian frontonasal, ethmoidal, sphenoidal.
- Dasar processus palatines maxillae dan lamina horizontal ossis
-
palatine.
Dinding medial septum nasi.
Dinding lateral concha nasalis.
Concha nasalis
media.
Tempat bermuaranya sinus ethmoidalis superior melalui 1 atau
lebih lubang.
Meatus nasalis media
- Bagian anterosuperior berhubungan dengan infundibulum
(jalan
penghantar
ke
sinus
frontalis)
melalui
duktus
frontonasalis.
- Sinus maxillaries juga bermuara ke meatus ini.
Meatus nasalis inferior
- Sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap
-
ke
vena
Persarafan
- 2/3 inferior membrane mukosa nerve nasopalatinus cabang
-
maxillary.
Bagian anterior nerve ethmoidalis anterior cabang nerve
Indra penghidu.
Resonansi suara.
2. Sinus Ethmoidalis
Terdiri dari beberapa rongga yang kecil, cellulae ethmoidales, di dalam
massa lateral os ethmoidale, antara cavitas nasi dan orbita. Cellulae
ethmoidales anterior dapat berhubungan secara tidak langsung dengan
meatus nasalis medius melalui infundibulum.sinus etmoidalis dipersarafi
oleh nervus ethmoidalis anterior dan nervus ethmoidalis posterior cabang
nervus nasociliaris.
3. Sinus Sphenoidalis
Yang terpisah oleh sebuah sekat tulang, terletak didalam corpus ossis
sphenoidalis dan dapat meluas kedalam ala major dan ala minor ossis
sphenoidalis. Sinus spenoidalis terpisah dari beberapa struktur penting
hanya oleh lembaran-lembaran tulang yang tipis. Nervus ethmoidalis
posterior dan arteria ethmoidalis posterior mengurus persarafan dan
pendarahan sinus sphenoidalis.
4. Sinus Maxilaris
Merupakan sinus yang terbesar dari semua sinus paranasales. Ronggarongga
ini
berbentuk
seperti
limas,menempati
seluruh
badan
Sinus maksilaris
Sinus frontalis
Sinus sphenoidalis
BAB III
RHINITIS
3.1.
Rinitis Alergik
3.1.1. Definisi
Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopik yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta terjadi pelepasan mediator kimia ketika paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986)
Rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
3.1.2. Epidemiologi
Terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat
sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas
kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak
langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar Amerika pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis
alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi
sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini
mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda
tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi.
Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa
kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa
dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset
rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda.
Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-
laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi
pada semua umur.
3.1.3. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) : debu tungau,
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan, kecoa dan binatang pengerat.
Berdasarkan masuknya alergen dibagi atas:
1
3.1.4. Klasifkasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibedakan dalam 2
macam, yaitu:
1
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu:
1
3.1.5. Patofisiologi
Terdapat 3 fase yang terjadi pada proses alergi. Fase sensitisasi, fase
aktivasi dan fase efektor. Pada fase sensitisasi, awal terjadinya reaksi alergi
dimulai dengan respon pengenalan alergen/antigen oleh sel darah putih yang
dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan
sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa
saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut
ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida
imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada
pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke
limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki reseptor
spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi
penggabungan kedua molekul tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan
mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3,IL4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan
limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini
memproduksi IgE. Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki
jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE pada permukaan sel mast melalui FcR.
Pada fase aktivasi, terjadi ikatan silang antara dua atau lebih IgE melalui
FcR yang mengakibatkan aktivasi sel mast dan basofil. Maka akan terjadi
degranulasi sel mast dengan akibat terlepasnya mediator alergis. Mediator yang
terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet
mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Histamin juga merangsang
nervus vidianus sehingga terjadi gatal hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
mengakibatkan pembengkakan mukosa dan terjadi gejala sumbatan hidung.
Fase efektor terdiri dari reaksi fase akut cepat dan reaksi fase akut lambat.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi
fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan
alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC sel mast
juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil
chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic factor of
anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil
dan neutrofil di organ sasaran.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase
lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah
terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di
jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling
konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan
korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.
3.1.6. Diagnosis
Bagian ini terutama membahas alergi dalam kaitannya dengan jaringan
hidung dan sinus paranasalis. Respon alergi biasanya ditandai oleh bersin,
kongesti hidung, dan renore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan sekret
biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen seperti yang terjadi pada
rhinitis infeksiosa. Awitan gejala timbul cepat setelah paparan alergen, dapat
berupa mata atau palatum yang gatal berair. Biasanya dapat terungkap suatu pola
musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu, asap, atau inhalan lain. Gejala
penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen atau insomnia
dapat juga memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasienpasien ini dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rhinitis
alergika umumnya berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan
diatesis alergika, sering kali terdapat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti
pada rinitis virus, maka sinusitis bakterialis akut juga dapat timbul sekunder
akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret.
Diagnosis alergi hidung harus ditegakkan dengan pemeriksaan sistematik
termasuk anamnesis yang teliti serta sebagian atau semua hal-hal berikut ini :
1
Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis saja dan sering kali serangan tidak terjadi dari
hasil pemeriksaan fisik.
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi
dalam keluarga. Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain
yang menyerang hidung seperti asma, ekzema, urtikaria atau sensitivitas
obat. Saat-saat dimana gejala sering timbul dapat membantu menentukan
alergi musiman. Juga perlu mengaitkan awitan gejala dengan perubahan
lingkungan ditempat kerja atau di rumah. Sangat penting untuk
mengetahui riwayat pengobatan sebelumnya dan riwayat alergi makanan.
Pemeriksaan Fisik
a
Wajah
-
setengah
bagian
bawah
hidung
Hidung
akibat
kebiasaan
Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, airfluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani
dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan
tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan
disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
Pada
pemeriksaan
mata
Akan
ditemukan
injeksi
dan
juga
dengan
pemeriksaan
IgE
total
(Prist-paper
radio
Uji kulit
Alergen penyebab dapat juga dicari secara invivo dengan uji kulit.
Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores
(Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit
dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab, juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang
dapat diandalkan.
Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan
untuk mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari
sehingga degranulasi sel mast tidak berlangsung dan gejalapun dapat
dihindari. Namun, dalam praktiknya sangat sulit mencegah kontak dengan
alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui
pentingnya peranan penghindaran alergen.
Pengobatan medikamentosa
Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel
inflamasi alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan
H1-antihistamin
- oral
- intranasal
- intaokular
Kortikosteroid
Bersin
Rinorea
Sumbatan
hidung
Gatal hidung
Keluhan mata
++
++
0
++
++
0
+
+
0
+++
++
0
++
0
+++
- intranasal
Kromolin
-Intranasal
-Intraokular
Dekongestan
- Intranasal
- Oral
++++
+++
+++
++
++
+
0
+
0
+
0
+
0
0
++
0
0
0
0
++++
+
0
0
0
0
Antikolinergik
Anti-leukotrin
0
0
++
+
0
++
0
0
0
++
Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif 80-90% jika diberikan secara optimal.
Imunoterapi subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas
dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal
vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari
alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5
sampai 20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih
dan penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
-
spesifik oral
-
Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir
sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu
sama-sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek
biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang
berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan
mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat
selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya
terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH
penghambatan
reaksi
alergis,
serta
mekanisme
imunopsikoneurologis.
f
Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada
beberapa penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi
(pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau triklor asetat.
3.1.8. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1
Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan
epitel,
hiperplasia
goblet,
dan
metaplasia
skuamosa.
Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang
berperan meningkatkan reaksi alergis.
2
Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema
mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan
menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses
alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan
obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan
reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini
maka pengobatab rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan,
antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.
2
1
Rinitis Non-Alergika
Rhinitis Vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah didapatkannya gangguan fisiologik
lapisan
mukosa
parasimpatis.
hidung
yang
disebabkan
oleh
bertambahnya
aktivitas
Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedas dan
panas.
3.2.1.2 Diagnosis
1
3.2.1.3 Penatalaksanaan
1
Menghindari penyebab
Pengobatan simtomatis
a
b
dekongestan oral
kauterisasi konka yang hipertrofi dengan memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat,
Operasi
Dengan bedah beku, elektrokauterisasi dan konkotomi konka inferior
Neurektomi n. Vidianus.
Melakukan pemotongan pada nerve vidianus, bila dengan cara diatas tidak
memberikan hasil. Operasi ini tidaklah mudah, dapat menimbulkan
komplikasi seperti sinusitis, diploplia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia,
anestesis infraorbital dan anestesis palatum.
Rhinitis Medikamentosa
Definisi
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi
memakai obat tersebut, sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung
berubah, dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan
obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat
diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi
pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid, sehingga sumbatan
akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan.
Oleh karena itu, obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik
dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta
pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes
hidung dalam waktu lama, ialah:
1
silia rusak,
Untuk
mengatasi
kortikosteroid
sumbatan
secara
berulang
penurunan
(rebound
bertahap
congestion)
(tapering
off)
beri
dengan
Rinitis Hipertrofi
3.2.3.1 Etiologi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dari rhinitis alergi
dan vasomotor.
3.2.3.2 Gejala dan Tanda
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,
mukopurulen, dan sering ada keluhan nyeri kepala.
Rinitis Sika
Insidensi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang
bekerja di lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga ditemukan pada
pasien yang menderita anemia, peminum alcohol, dan gizi buruk.
3.2.4.2 Gejala dan Tanda
Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung yang
kadang-kadang disertai dengan epistaksis.
Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian
depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak
ada.
3.2.4.3 Terapi
Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Dapat diberikan pengobatan
lokal, berupa obat cuci hidung.
Rinitis Spesifik
Rinitis karena infeksi spesifik, antara lain:
1
Rhinitis difteri
a
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Dapat
primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok. Dapat akut atau
kronik.
Gejala
Gejala rhinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat
limfadenitis, dan mungkin ada paralisis.
Rinitis difteri kronis gejalanya lebih ringan dan akhirnya dapat sembuh
sendiri, tetapi dalam keadaan kronis masih menular.
Tanda
Pada hidung ada sekret yang bercampur darah, mungkin ditemukan
pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan krusta coklat di nares
dan kavum nasi.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret
hidung.
e
Terapi
Diberikan ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler.
Pasien harus diisolasi sampai pemeriksaan kuman negatif.
Definisi
Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Insidensi
Etiologi
Banyak teori mengenai etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi, antara
lain:
-
Gejala
Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang
berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit
kepala, dan hidung tersumbat.
Tanda
Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang,
konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, secret purulen berwarna
hijau, dan krusta berwarna hijau.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsy konka
media, pemeriksaan mikrobiologi dan ujiresistensi kuman, dan
tomografi computer (CT Scan) sinus paranasal.
Terapi
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum
ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan
Terapi konservatif
Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji
resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan
bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret
purulen kehijauan.
Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses
infeksi serta sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci
hidung. Larutan yang dapat digunakan adalah larutan garam
hipertonik. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan
1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air hangat.
Larutan dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga hidung dan
dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang
masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali
sehari. Jika sukar mendapatkan larutan di atas, dapat dilakukan
pencucian rongga hidung dengan 100 cc air hangat tang dicampur
dengan 1 sendok makan (15 cc) larutan betadin atau larutan garam
dapur setengah sendok teh dicampur segelas air hangat. Dapat
diberikan vitamin A 3 kali 50.000 unit dan preparat Fe selama 2
minggu.
Terapi operatif
Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan, maka
dilakukan operasi. Teknik operasi antara lain penutupan lubang
hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau
dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan akan
mengurangi turbulensi udara dan pengeringan secret, inflamasi
mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali normal.
Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau
pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap
palatum
pada
kasus
rhinitis
atrofi.
Dengan
melakukan
Histopatologi
Tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel
gepeng berlapis, silia menghilang, lapian submukosa menjadi lebih
tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi dan atrofi, serta jumlahnya
berkurang dan bentuknya menjadi kecil.
Rhinitis sifilis
a
Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum.
Gejala
Rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa dengan
rhinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak pada
mukosa. Pada rhinitis sifilis tertier dapat ditemukan gumma atau ulkus,
yang terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan
perforasi septum.
Tanda
Pada pemeriksaa klinis didapatkan secret mukopurulen yang berbau
dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan
biopsy.
e
Terapi
Diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan
secara rutin.
Rhinitis tuberkulosa
a
Definisi
Tanda
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama
mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.
Pada pemeriksaan klinis terdapat secret mukopurulen dan krusta,
sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA)
pada sekret hidung.
Histopatologi
Ditemukan sel datia Langerhans dan limfositosis
Terapi
Diberikan antituberkulosis dan obat pencuci hidung.
Rhinitis jamur
a
Definisi
Rinitis jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat
invasif atau non-invasif. Rinitis jamur invasif dapat menyerupai
rinolith dengan inflamasi mukosa yang lebih berat. Rinolith ini
sebenarnya adalah bola jamur (fungus ball). Biasanya tidak terjadi
destruksi kartilago dan tulang.
Tanda
Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina
propia.
Jika
terjadi
invasif
jamur
pada
submukosa
dapat
Terapi
Terapi tipe non-invasif adalah mengangkat seluruh bola jamur.
Pemberian obat jamur sistemik maupun topical tidak diperlukan.
Terapi tipe invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan
pemberian anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan
hidung secara rutin dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang
terinfeksi dapat diolesi dengan gentian violet. Untuk infeksi jamur
invasif, kadang-kadang disperlukan debridement seluruh jaringan yang
nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan nekrotik sangat luas, dapat
terjadi destruksi yang memerlukan tindakan rekonstruksi.
BAB IV
SINUSITIS
4.1 Sinusitis
4.1.1 Definisi
Suatu keadaan inflamasi yang melibatkan membran mukosa dari sinus
paranasal serta cairan yang terdapat pada sinus. Sesuai anatomi, sinus yang
terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis frontal, dan sinusitis
sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya sinusitis dibagi menjadi : sinusitis
akut (gejala < 4 minggu), sinusitis subakut (gejala 4-12 minggu), sinusitis kronik
(gejala > 12 minggu).
4.1.2. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
produksi
imunoglobulin
serta
pembersihan
mukosilier.
Hal
yang
mempengaruhi keutuhan dari ostia antara lain nasal polyposis, deviasi septal,
edema mukosa, alergi, serta concha bullosa.
Rongga sinus tergantung pada sistem tranport mukosilier untuk
menciptakan lingkungan yang bebas bakteri. Sinus dilapisi oleh epitel kolumner
bertingkat semu. Epitel ini akan membersihkan dari mukus, bakteria serta zat-zat
asing dari area itu. Fungsi silia dapat terganggu pada keadaan hipoksia ( yang
terjadi pada obstruksi ostium). Sel bersilia dapat hilang atau rusak akibat polutan
pernafasan, trauma pembedahan dan penyakit sinus kronik.
Perubahan dari komposisi mukus dapat terjadi pada pasien dehidrasi atau
cyctic fibrosis. Produksi mukus dari sel goblet dapat meningkat akibat dari iritan
pernafasan, polutan, alergen serta udara dingin. Serta peningkatan viskositas dari
mukus. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pembersihan silia dan menjadikan
media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Organ-organ yang membentuk Kompleks-osteomeatal (KOM), letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
Sinusitis Akut
4.2.1. Definisi
Penyakit ini dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks oatiomeatal
oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi dapat merupakan penyebaran dari
infeksi gigi, berlangsung hingga kurang dari 4 minggu.
1. Gejala Minor
a. Nyeri pada wajah
b. hidung terasa penuh
c. hidung mampet
d. nasal discharge
e. hiposmia atau anosmia
f. Demam
g. purulent in nasal cavity
2
Gejala Minor
a
Sakit kepala
bau mulut
lesu
nyeri gigi
batuk
3 gejala minor
Pada sinusistis maksilaris nyeri dirasakan dibawah kelopak mata dan
4.2.5. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Antibiotik 10-14 hari, golongan penisillin
b. Dekongestan lokal berupa tetes hidung
Untuk memperlancar drainase sinus
c. Analgetika menghentikan rasa sakit
2. Pembedahan
Jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau
intracranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan
oleh sumbatan.
4.3.
Sinusitis Subakut
4.3.1. Definisi
Sinusitis yang bila gejala berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan.
4.3.2. Manifestasi Klinis
4.3.2.1 Gejala Subjektif
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan sudah reda)
4.3.2.2 Gejala Objektif
1. Rinoskopi Anterior
tampak sekret purulen di meatus medius atau sueorior
2. Rinoskopi Posterior
tampak sekret purulen di nasofaring
3. Pemeriksaan transiluminasi
tampak sinus yang sakit suram atau gelap
4.3.3. Penatalaksanaan
yang
mungkin
diperlukan
untuk
menghilangkan
faktor
Sinusitis Kronis
4.4.1. Definisi
Sinusitis yang bila gejala berlangsung lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronis
berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan
dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor
predisposisinya.
4.4.2. Etiologi
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya
infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna.
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drenase sekret akan
polusi udara
Silia rusak
obstruksi
mekanik
gangguan
drenase
perubahan
mukosa
alergi dan
defisiensi
imunologik
infeksi kronis
pengobatan infeksi akut
yang tidak sempurna
Gambar 4.1. Etiologi sinusitis kronis
4.4.3. Manifestasi Klinis
4.4.3.1 Gejala Subjektif
Gejala subjektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari:
a. gejala hidung dan nasofaring, berupa secret di hidung dan secret pasca
nasal (post nasal drip)
b. gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
c. gejala teling, yaitu pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba
Eustachius
d. adanya nyari/sakir kepala
e. gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis
f. gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi
di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronchial,
sehingga terjadi penyakit sinobronkitis
g. gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
Penyebaran
infeksi
terjadi
melalui
tromboflebitis
dan
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas,
sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar
gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas
Infeksi gigi rahang atas (infeksi apical akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal) mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh
darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maxilla kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk
4.5.2 Tatalaksana
Diabetes mellitus
Neutropenia
Penyakit AIDS
4.6.5 Tatalaksana
DAFTAR PUSTAKA