Вы находитесь на странице: 1из 11

HAKIKAT BAIK DAN BURUK

DARI SUDUT PANDANG AKHLAK TASAWUF

Pendahuluan
Dalam setiap perbuatan manusia ada yang baik dan ada yang tidak baik. Kadang-
kadang disuatu tempat, perbuatan itu dianggap salah atau buruk. Hati manusia
memiliki perasaan dan dapat mengenal, perbuatan itu benar atau salah dan baik atau
buruk.
Penilaian terhadap suatu perbuatan adalah relative, hal ini disebabkan adanya
perbedaan tolok ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut. Perbuatan tolok ukur
tersebut disebabkan karena adanya perbedaan agama, kepercayaan cara berfikir,
ideology, lingkungan hidup dan sebagainya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan
insting. Hal ini berfungsi bagi manusia untuk membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, yang berbeda-beda, karena pengaruh kondisi dan situasi lingkungan.
Dan seandainya satu lingkungan pun belum tentu mempunyai kesamaan insting.
Kemudian pada diri manusia juga mempunyai ilham yang dapat mengenal nilai
sesuatu itu baik atau buruk1.

Pembahasan
Pengertian “baik” menurut Ethik adalah suatu yang berharga untuk suatau tujuan.
Sebaiknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan, apabila merugikan, atau
yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah “buruk”.
Seperti halnya pengertian benar salah, maka pengertian baik dan buruk juga ada
ynag subyektif dan relative, baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain.
Sesuatu itu baik bagi seseorang apabila hal ini sesuai dan berguna untuk tujuannya.
Hal yang sama adalah mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan
berguna bagi tujuannya. Masing-masing orang mempunyai tujuannya uang berbeda-
beda, bahkan ada yang bertentangan, sehingga yang berharga untuk seseorang atau
untuk sesuatu golongan berbeda dengan yang berharga untuk orang atau golongan
lain2.

1
Mustofa, “AHLAK TASAWUF”, Pustaka setia: Bandung 1997, hal 53.
2
Ibid, hal 56.
Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang
pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau
perbuatan manusia sendiri, ataukah berada diluar kemampuannya? Hal ini tidak bisa
dipungkiri bahwa manusia memiliki dua potensi kelakuan yaitu kelakuan baik dan
buruk, seperti yang diuraikan dalam Al-Qur’an antara lain:
(:    ) "
 "
“Maka kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki
(baik dan buruk)” QS. Al-Balad 90:10.
"   !"# .    "
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaanya, maka Allah mengilhami (jiwa
manusia) kedurhakaan dan ketakwaan” QS. As-Syams 91:7-8.

Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia
daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan3.
Kemudian pada dasarnya seorang sufi berupaya menghias diri dengan apa yang
baik menurut lingkungan (al-ma’ruf), maupun menurut agama yang bersifat (al-khair)
seperti yang di katakan oleh Abu Muhammad Al-Jarisi bahwa tasauf ialah:
" $% &'( )*  + ,- . &'( )* / 0("

“Masuk dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”
(dalam al-Qusyairi, 1940: 138)
Senada dalam pengertian tersebut, Al-Kanay menyatakan bahwa tasawuf adalah:
" $ 1 / 23'4 5 &'- / 23'4 5 " &'( 617 "

“Tasawuf adalah, akhlak mulia. Barang siapa yang bertambah baik akhlaknya,
maka bertambah pula kejernihan hatinya” (dalam al-Qusyairi: 1940:139).
Dari kedua ungkapan ini dapat diungkapkan secara sederhana bahwa tasawuf
ialah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara seorang muslim
dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu system latihan dengan penuh kesungguhan
(riyadhah - Mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam
seseorang hanya tertuju kepada-Nya oleh karena itu untuk Al-88Suhrawardi mengatakan

bahwa semua tindakan (al-amal) yang mulia adalah tasawuf (Al-Suhar wardi, 1358).
Dengan pengertian semacam ini, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah
bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga

3
M. Quraish Shihab, “WAWASAN AL-QUR’AN”, Mizan : Jakarta 2003, hal 254.
diturunkan dalam rangka membina akhlak manusia) diatas bumi ini, agar tercapai
kebahagiaan dan kesempurnaan kehidupan lahir batin, dunia dan akhirat4.
Dari berbagai ajaran-ajaran telah jelas bahwa Islam datang untuk membawa
manusia dengan langkah-langkah yang besar pindah kealam kehidupan yang cerah
dan penuh dengan keutamaan serta adab kesopanan. Islam memandang tahap-tahap
perjalanan yang membawa manusia kepada tujuan mulia itu sebagai tugas pokoknya.
Melepaskan diri dari tujuan hidup mulia itu dipandang sebagai tindakan keluar rel
Islam dan menjauhinya.
Islam telah menghitung beberapa jenis keutamaan, dan menganjurkan para
pengikutnya supaya berpegang teguh pada jenis-jenis keutamaan itu satu demi satu.
Apabila kita hendak menghimpun sabda Rasul Allah saw yang berkenaan dengan
perlunya seseorang muslim menghias diri dengan budi pekerti luhur, dengan sifat-sifat
terpuji, seperti dalam sabdanya:
" '( 9!:;<  =  :;< > ?@  :3 AB7 A;  > "

“Kekejian dan perbuatan keji, sama sekali bukan ajran Islam. Sesungguhnya
orang yang terbaik keislamannya ialah yang terbaik budi pekertinya”.
Beliau saw juga pernah bersabda:
N O PQ R'3 &'- :; S; O > ,IK A; 
,L M > ,:; &'(  D 3 ? EF >G3 / )H< $IC  "

(); Q U<
 ) "T1 ?1

“Tiada suatu yang lebih berat bagi timbangan seorang mukmin pada kiamat,
dari pada budi pekerti yang baik. Sesungguhnya Allah sangat tidak menyukai
kekejian yang nista. Bahwasannya orang yang berbudi pekerti luhur mencapai
martabat orang yang berpuasa dan bersembahyang” (Ahmad bin Hambali).
Nabi Muhammad saw menyerukan manusia supaya melakukan berbagai macam
ibadah, dan telah mendirikan sebuah negara melalui perjuangan yang panjang
melawan musuh yang banyak jumlahnya, sekalipun ajaran agamanya sedemikiam luas
dan segi-segi amal peribadatannya bercabang-cabang namun beliau saw tetap
memberi tahu ummatnya, bahwa timbangan amal kebajiakan yang paling berbobot
pada hari perhitungan (kiamat) adalah budi epkerti yang baik.
Dan sesungguhnya agama menciptakan hubungan baik antara sesama manusia
berdasarkan budi pekerti luhur, pada hakekatnya yang luhur adalah pembinaan

4
HM.Amin Syukur, “Menggugat Tasawuf”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta 1999, hal 18.
hubungan baik antara manusia dengan Tuhannya, sebab kedua persoalan ini
bersumber pada hakekat yang satu5.
Namun seperti yang kita lihat sekarang ini bahwa sebagai akibat modernisasi
dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat
menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering
menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi
materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, yaitu
keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku
menyimpang, seperti korupsi dan manipulasi.
Sifat kedua ialah al-hasud, yaitu menginginkan agar nikmat orang lain sirna dan
beralih kepada dirinya. Sifat riya’ yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan
diri, dan sebagainya dari berbagai sifat hati.
Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan penghayatan
atas keimanan dan ibadahnya, mengadakan latian secara bersungguh-sungguh
berusaha merubah sifat-sifatnya itu dengan mencari waktu yang tepat. Karena kadang-
kadang sifat tercela itu muncul dalam keadaan yang tidak tersdari, maka
sesungguhnya setiap muslim selalu mengadakan introspeksi (Muhasabah) terhadap
dirinya.
Memang diakui oleh para ahli tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya
selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya, seperti
dalam firmannya 12:53;
" 93; V W > W 9;  X $: Q T @  > Y: IK,Q<  "

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya


nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(Yusuf:53).
Dari sini agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat
bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti
riyadhah (latian) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk
melawan hawa nafsu tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap
pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (Takhalli), tahap kedua

5
Muhammad Al-Ghazali, “Akhlak Seorang Muslim”, PT.Al-Maa’rif : Bandung 1995, hal 26
ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (Tahalli), dan ketiga tercapainya sinar
ilahi (Tajalli).
Ketiga cara tersebut guanaya yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan
akhlak karimah menjauhkan dari sifat madzmumah. Untuk membangun benteng
dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi
ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat qona’ah, tawakal, zuhud, wara’, sabar,
syukur dan sebagainya.
Yang perlu diketahui adalah, bahwa sifat-safat itu ialah merupakan bekal
menghadapi kanyataan hidup ini, bukan faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
pasif, seperti tidak mau berusah amencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dri
keramaian dunia. Sebab seorang muslim hidup didunia ini memangku amanah, yakni
membawa misi kekhalifahan, yang berarti sebagai “pengganti” Tuhan, pengelola,
pemakmur dan yang meramaikan dunia ini6.
Seperti dalam QS.Al-Baqarah 2:30 Allah menciptakan manusia sebagai khalifah
dimuka bumi ini, yang ada dalam firman-Nya;
,2 = Z"[ \: ] $  2: !3 :  !3 )^_  ` D3'( a@ b )4 c % DLK"' 2Q 0 ` d "

" >"'^ e  9'4< f 0 `

Artinya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat “sesungguhnya

aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi” Mereka berkata mengapa
Engkau hendak menjadikan (kahlifah) dibumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan berfirman:
“sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Ayat ini dimulai dengan penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat
tentang rencana-Nya menciptakan manusia dibumi. Penyampaian kepada Mereka
penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang
bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang
membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian itu juga, kelak ketika diketahui
manusia akan bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang tersimpul dalam
dialog Allah dengan para malaikat.“Sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di
dunia”, demikian penyampaian Allah swt, penyampaian ini bisa jadi setelah proses

6
HM.Amin Syukur, “Menggugat Tasawuf”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta 1999, hal 114.
penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam) dengan
nyaman.
Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna penciptaan
tersebut. Dan mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak bumi dan
menumpahkan darah. Semua itu adalah dugaan, bisa saja bukan Adam yang Mereka
maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi anak cucunya.
Betapapun ayat ini menunjukkan bahwa (Khalifah) pada mulanya berarti yang
menggantikan atau yang datang sebelumnya, dan bahwa kekhalifahan terdiri dari
wewenang yang dianugerahkan Allah swt, mahkluk yang disertai tugas, yakni Adam
as., dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang berarti yang
menggantikan atau yang datang sebelumnya, dan bahwa kekhalifahan terdiri dari
wewenang yang dianugerahkan Allah swt, mahkluk yang disertai tugas, yakni Adam
as., dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini7.
Selanjutnya para malaikat itu menunjuk diri Mereka dengan berkata, dan kami
juga menyucikan, yakni membersihkan diri kami sesuai dengan kemampuan yang
Engkau anugerahkan kepada kami, dan itu kami lakukan demi untuk-Mu. Mendengar
pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan,
karena memang akan ada diantara yang diciptakan-Nya itu yang berbuat seperti yang
diduga malaikat. Allah menjawab singkat, “sesungguhnya aku mengetahui apa yng
tidak kamu ketahui”8. Ayat selanjutnya;
" g` O 97* > $eE $ hiQ fE< 0  DLKF I'4 9!j,4 k !'* $ h@ ? 9'4 "

Artinya : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
“sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang
yang benar” QS. 2:31”.
Dia yakni Allah mengajarkan Adam nama-nama seluruhnya, yakni memberinya
potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan menunjuk
benda-benda, atau mengajarkan fungsi benda-benda.
Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk
mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda misalnya; fungsi api,
fungsi angin dan sebagainya.

7
M. Quraish Shihab, “TAFSIR AL-MISHBAH”.Volume I, Lentera Hati : Jakarta 2000, hal 138.
8
M. Quraish Shihab, “TAFSIR AL-MISHBAH”.Volume I, Lentera Hati : Jakarta 2000, hal 138.
Setelah pengajaran Allah dicerna oleh Adam as., sebagaiman dipahami dari kita.
Kemudian Allah memaparkan benda-benda itu kepada para malaikat lalu berfirman,
“Sebutkan kepada-Ku nama-nama benda-benda itu, jika kamu orang-orang yang
benar dalam dugaan kamu bahwa kalian lebih wajar menjadi khalifah”.
Apapun makna penggalan ayat ini, namun yang jelas salah satu keistimewaan
manusia adalah kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya
serta kemampuannya menangkap bahasa, sehingga ini mengantarnya “mengetahui”.
Disisi lain, kemampuan manusia merumuskan ide dan memberi nama bagi segala
sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya
ilmu pengetahuan9.
Dilanjutkan bahwa manusia hidup dimuka bumi dengan pengetahuan Mereka,
menjadi perhitugan kelak diakhirat tentang apa saja yang ia lakukan dimuka bumi
ini dengan menanggung dosa masing-masing, seperti ungkapan dalam QS.53:38-41.
yaitu;
." / X $Gn PGo k .l, 6 P3^ >< .I^ X > :m 3 >< .l,(< 5 T5 GX "

“Bahwa tiada pemikul beban akan memikul beban orang lain. Bahwa tiada yang
orang dapatkan kecuali yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya akan kelihatan
matinya. Kemudian iapun mendapat ganjaran, balasan yang sempurna.” QS. An-
Najm 53:38-41.
Setelah Allah menerangkan tentang ilmu dan kekusaan-Nya dan bahwa
pembalasan pasti terjadi atas keburukan maupun kebaikan, maka bahwa orang yang
baik adalah orang yang menghindari dosa-dosa besar, hal mana tak biasa dikehendaki
terkecuali dengan wahyu dari Allah Ta’ala, maka Allah swt menyebutkan disitu
bahwa sungguh mengherankan setelah diterangkan seperti ini bila masih kedengaran
dan masih ada orang yang berakal mengharap adanya orang lain yang menggantikan
dia dalam menanggung dosa, lalu dia diberi upah (seperti dalam kisah orang kafir).
Akan tetapi apa yang dia berikan hanya sedikit saja, orang itu atas perbuatannya,
bahwa pengetahuan mengetahui hal seperti ini tidak bisa diketahui kecuali dengan
wahyu, maka apakah orang itu tahu berdasarkan suatu wahyu tentang kebenaran dan
keyakinanya. Tentu tidak, karena syariat yang kamu ketahui, seperti syariat Nabi
Musa dan Nabi Ibrahim as. tidak demikian, bahkan tidak ada seorang pun yang
menanggung dosa orang lain, dan manusia hanya akan menerima hasil usahanya saja.

9
Ibid, hal 143.
Selanjutnya, (l,(X T5 G X) tidak ada satu jiwa yang memikul dosa-dosa dari jiwa

lain. Jadi setiap yang melakukan suatu dosa yang berupa kekafiran, atau kemaksiatan,
maka ia akan menanggung dosanya sendiri,. Dosa-dosa tersebut tidak ditanggung
orang lain.
(I^  X > :  3 > ) Sebagaimana manusia takkan dibebani dosa orang lain, maka

ia pun takkan memperoleh pahala kecuali dari apa yang telah ia lakukan untuk
dirinya. Dengan ayat ini maka Imam Malik dan Imam Syafi’I dan para pengikutnya
berpendapat bahwa bacaan-bacaan itu tidak sah dihadiahkan pahalanya kepada
orang-orang mati. Karena bacaan-bacaan itu bukan amal maupun usaha Mereka.
Demikian seluruh ibadah badaniyah seperti halnya shalat, haji dan membaca Al-
Qur’an, hal ini akan diperoleh ganjaran dengan sendirinya.
Selain itu ada riwayat Muslim dalam hadist kitab As-Sahih dari Abu Hurairah,
yaitu Nabi SAW Bersabda:
" P4 p O  < PQ q7 9'^ < D c D`O rH s P'"4 qt ?< Q u  d "

“Apabila telah mati anak adam maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga,
sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh yang mendoakan
kedua orang tuanya”(HR. Muslim).
Pada hakikatnya tiga perkara tersebut merupakan hasil dan jerih payah dari
perbuatannya. sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist lain :
" P:*  )c,  > ,P:*  )c, )*  S3v< > "

Sesungguhnya sebaik-baiknya yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang


dari hasil usahanya, dan sesungguhnya anak seseorang adalah dari usahanya
pula10.
Kemudian dari apa yang dilakukan serta usaha manusia, kelak dimintai
pertanggung jawaban termasuk perbuatan baik dan buruk selama hidup didunia.
Seperti firman-Nya;
(y:,H L7) " 93^ 4 wx 'x:7 k "
Artinya: “ Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang engkau megah-megahkan didunia itu)” QS.102:8.

10
“Terjemah Tafsir Al-Maraghi”, Toha Putra : Semarang 1989, hal 108-113.
Penutup surah ini menegaskan, khususnya kepada Mereka yang bersaing dalam
menumpuk harta kekayaan dan lain-lainnya itu, bahwa kelak pada hari itu (hari
kemudian) pasti kamu akan ditanyai tentang kenikmatan (an-naim).
Pada umumnya manusia lupa menjadikan hartanya untuk berbuat dan berkarya
pada jalan-jalan kebajikan dengan membela kebenaran dan memberantas kebathilan.
Mereka selalu sibuk dengan persaingan antara sesamanya sehigga Mereka menjumpai
kuburan dan mengakhiri hayatnya. Kita dianjurkan menziarahi kuburan sebagai
penawar dan pemadam hati yang sesat sehingga orang mengingat kepada mati dan
hari kiamat.
Dan ayat ini menganjurkan umat manusia agar berlaku jujur dan tidak terbuai
dengan harta saja, selama hidup yang singkat ini kita dianjurkan untuk mengerjakan
amalan-amalan saleh. Bila kita mengetahui akibat dari perbuatan itu secara yakin,
karena melihat dengan mata sendiri, tentunya kita akan beramal dengan harta yang
kita miliki, serta dengan amal-amal yang baik dan bermanfaat untuk umat sebanyak-
banyaknya.
Dalam hal dosa dan pahala setiap orang menanggung hasil perbuatan masing-
masing dan mendapatkan pahala sesuai dengan yang diperbuatnya tanpa mendapatkan
limpahan pahala orang lain. Seseorang mendapat pahala karena dia sendiri yang
berbuat beramal saleh, bukan orang lain yang beramal saleh11.
Dan manusia sebagaimana mereka katakan lebih mudah melakukan kebaikan
(ihsan). Sedangkan pemberian nikmat,. Kebajikan dan kelembutan itu merupakan arti
yang bisa mencerahkan perasaan, mengausai persepsi, memotivasi diri utnuk
mencintai siapapun yang memberikan kenikmatan itu kepadanya, serta
membimbingnya menuju kebaikan.
Maka, tidak ada satupun pemberi nikmat dan kebaikan yang hakiki, kecuali Allah
swt. Inilah yang secara tegas ditunjukkan oleh akal dan nash yang valid. Oleh sebab
itu, tidak satupun kekasih paling hakiki bagi seseorang yang mampu melihat dengan
batinnya, kecuali Allah swt sehingga tidak satu pun yang berhak mendapatkan cinta
tersebut secara utuh, selain Dia12.
Darisini hendaklah kita berusaha untuk berhenti dari sikap yang menimbulkan
persengketaan dan permusuhan, seharusnya kita saling bantu membantu dalam

11
Mustofa, “AHLAK TASAWUF”, Pustaka setia: Bandung 1997, hal 182.
12
Abdul aziz Mustafa, “MAHABBATULLAH”-Tangga menuju Cinta Allah, Risalah Gusti : Surabaya
1999, hal 129.
mengerjakan amal salih, menjauhkan kemungkaran, berbakti kepada agama, nusa dan
bangsa13.
Penutup
- Sudah seharusnya kita hidup didunia saling mengingatkan, jangan sampai
manusia baru menyadari kesalahannya sesudah mendekati kematian, atau disaat
malaikat izrail datang menjemput untuk mencabut nyawanya.
- Para manusia yang menyalah gunakan segala nikmat yang diberikan Allah dan
pasti akan dimintai pertanggung jawaban dihari makhsyar. Dan diharapakan
dengan menghayati surah-surah ini kita dapat membangun dan membina
kehidupan yang harmonis dibawah naungan sinar iman dan Islam; dan
membuang jauh-jauh segala sifat tercela.
- Setelah seseorang mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat
terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan
ketentraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai dari Takhalli,
Tahalli dan Tajalli yang smapainya Nur Ilali dalam hatinya, sehingga dalam
keadaan ini seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak
baik, mana yang bathil dan mana yang haq.
- Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutashawhif sepanjang
budi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizqi
tidak lekat didalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya
menyandang sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Aspek-aspek
itulah yang sebenarnya dikehendaki dalam bertasawuf.

Daftar Pustaka

Mustofa, “AHLAK TASAWUF”, Pustaka setia: Bandung 1997.

Shihab,M. Quraish, “TAFSIR AL-MISHBAH”.Volume I, Lentera Hati :


Jakarta 2000.

Syukur, HM.Amin, “Menggugat Tasawuf”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta


1999.

Shihab, M. Quraish, “WAWASAN AL-QUR’AN”, Mizan : Jakarta 2003.


13
“TAFSIR PASE”-Kajian Surah Al-Fatihah dan Surah –surah dalam Juz’ammma, Paradigma Bar u,
Dian Ariesta: Jakarta 2001, hal 188.
Al-Ghazali, Muhammad, “Akhlak Seorang Muslim”, PT.Al-Maa’rif :
Bandung 1995.

“TAFSIR PASE”-Kajian Surah Al-Fatihah dan Surah –surah dalam


Juz’ammma, Paradigma Bar u, Dian Ariesta: Jakarta 2001.

“Terjemah Tafsir Al-Maraghi”, Toha Putra : Semarang 1989.

Mustafa, Abdul aziz,“MAHABBATULLAH”-Tangga menuju Cinta Allah,


Risalah Gusti : Surabaya 1999.

Вам также может понравиться