Вы находитесь на странице: 1из 53

BAB I

PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang
dikonsumsi dan secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.
Insulin merupakan suatu hormon yang diproduksi pankreas yang berfungsi
mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan
penyimpanannya.
Secara klinis terdapat dua tipe DM yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1
disebabkan karena kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun
sedangkan DM tipe 2 merupakan kasus terbanyak (90-95% dari seluruh kasus
diabetes) yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan diawali dengan
resistensi insulin. DM tipe 2 berlangsung lambat dan progresif, sehingga tidak
terdeteksi karena gejala yang dialami pasien sering bersifat ringan seperti kelelahan,
iritabilitas, poliuria,polidipsi dan luka yang lama sembuh.
Kemampuan tubuh untuk bereaksi dengan insulin dapat menurun pada pasien
DM, keadaan ini dapat menimbulkan komplikasi baik akut (seperti diabetes
ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar nonketotik) maupun kronik. Komplikasi
kronik biasanya terjadi dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah diagnosa ditegakkan.
Komplikasi kronik terjadi pada semua organ tubuh dengan penyebab kematian 50%
akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat penyakit gagal ginjal. Selain itu,
sebanyak 30% penderita diabetes mengalami kebutaan akibat retinopati dan 10%
menjalani amputasi tungkai kaki.
DM sudah merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan umat manusia pada
abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes
di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun
kemudian jumlah tersebut akan meningkat menjadi 300 juta orang. Menurut data
WHO, Indonesia menempati urutan keempat terbesar dalam jumlah penderita
diabetes di dunia. Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk
Indonesia yang mengidap penyakit diabetes. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan

jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang,


dimana baru 50 persen yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30
persen yang datang berobat teratur.
Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan
prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makasar prevalensi terakhir
pada tahun 2005 mancapai 12,5%, merupakan suatu angka yang sangat mengejutkan.
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan WHO bahwa jumlah pengidap
diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, meningkat dua kali dibanding
tahun 1995.1
Mengingat jumlah penderita DM yang terus meningkat dan besarnya biaya
perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya,
maka upaya yang paling baik adalah melakukan pencegahan. Menurut WHO tahun
1994, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan tiga tahap yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier. Pencegahan primer merupakan semua aktivitas yang ditujukan
untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada populasi umum misalnya dengan
kampanye makanan sehat, penyuluhan bahaya diabetes. Pencegahan sekunder yaitu
menemukan penderita DM sedini mungkin misalnya dengan tes penyaringan sedini
mungkin terutama pada populasi resiko tinggi sehingga komplikasi tidak terjadi.
Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan
melalui penyuluhan, maka perlu kerjasama semua pihak untuk mensukseskannya.
Menurut American Diabetes Association (2004), komplikasi diabetes dapat
dicegah, ditunda dan diperlambat dengan mengendalikan kadar glukosa darah.
Pengelolaan diabetes yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah
dalam rentang normal dapat dilakukan secara nonfarmakologis dan farmakologis.
Pengelolaan nonfarmakologis meliputi pengendalian berat badan, olah raga/latihan
jasmani dan diet. Terapi farmakologis meliputi pemberian insulin dan/atau obat
hiperglikemia oral.2

BAB II
LAPORAN HASIL KUNJUNGAN RUMAH
A. Identitas Pasien dan Keluarga
Identitas Pasien
Nama
: Ny. Imronah
Jenis kelamin
: Perempuan
Usia
: 45 tahun
Status Pernikahan : Menikah
Alamat
: Dusun Kliwonan RT 02 RW 07 Desa Jogomulyo,
Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa

Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan

Tengah
: Islam
: Jawa
: Tamat SD
: Buruh Tani

Identitas Kepala Keluarga


Nama
: Tn. Panut
Jenis Kelamin
: Laki laki
Umur
: 48 tahun
Status Pernikahan : Menikah
Alamat
: Dusun Kliwonan RT 02 RW 07 Desa Jogomulyo,
Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa

Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan

Tengah
: Islam
: Jawa
: Tamat SD
: Buruh Tani

B. Profil Keluarga
Tabel 1. Profil Keluarga yang Tinggal Satu Rumah
No

Nama

Kedudukan JK
dalam

1. Panut
2. Imronah

Keluarga
KK
Istri KK

Umur

Pendidikan Pekerjaan Keterangan

(tahun)
L
P

48
45

SD
SD

Buruh tani
Buruh tani

Sehat
Sakit

3. Sarinah

Ibu KK

4. Mustakim

Anak KK

85

18

Tidak sekolah

SMP

Tidak

Sehat

bekerja

TD : 120/70

Tidak

mmHg
Sehat

bekerja
Keterangan :
L

: laki-laki

: perempuan
Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

Gambar 1. Pohon Keluarga


C. Resume Penyakit Dan Penatalaksanaan Yang Sudah Dilakukan
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 14 September
2013 pukul 11.00 WIB dan dilanjutkan pada tanggal 16 September 2013 pukul
13.00 di rumah pasien di Dusun Kliwonan Desa Jogomulyo, Kecamatan
Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Keluhan Utama
Pasien datang ke Puskesmas Tempuran untuk kontrol penyakitnya.
Keluhan Tambahan

Kedua tangan dan kaki sering kesemutan, sering BAK malam hari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas Tempuran untuk kontrol penyakitnya.
Sebelumnya pasien didiagnosis oleh dokter menderita diabetes melitus sejak
1 tahun yang lalu. Saat ini pasien mengeluh kedua tangan dan kaki sering
kesemutan sepanjang hari. Pasien juga mengatakan bahwa ia merasa cepat
haus dan sering terbangun pada malam hari untuk buang air kecil sebanyak 34 kali/ malam.
1 tahun yang lalu, pasien datang ke Puskesmas Muntilan dengan
keuhan adanya luka melentung di daerah punggung. Awalnya luka tersebut
dirasakan kecil, tetapi lama-kelamaan semakin membesar, dan membuat
pasien merasa tidak nyaman. Saat berobat ke puskesmas, luka melentung
tersebut pecah dan mengeluarkan cairan berwarna kuning, dan setelah itu
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan hasilnya 480 mg/dl.
Pasien didiagnosis oleh dokter menderita diabetes melitus.
2 bulan yang lalu, pasien merasa badannya lemas dan berat badan
menurun, padahal pasien mengaku nafsu makannya semakin meningkat.
Penurunan berat badan diakui pasien tidak diikuti dengan diet, pasien juga
mengatakan tidak sedang banyak pikiran. Keluhan jantung berdebar-debar
disangkal, ia juga mengatakan tidak ada keluhan leher membesar ataupun
bola mata yang menonjol.
Pasien mengaku tidak merasakan gatal gatal di selangkangan atau
bagian tubuh lainnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat sakit jantung, darah tinggi, ginjal
maupun asma.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh keluhan yang sama seperti
pasien. Riwayat kencing manis, hipertensi, asma, penyakit jantung dalam
keluarga disangkal.
Riwayat Kesehatan Reproduksi
Pasien mengaku tidak ada keluhan dalam aktifitas sexualnya. Pasien
tidak menggunakan KB sudah 1 tahun setelah IUD lepas.

Riwayat Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi makanan manis dan jarang berolahraga.
Merokok dan minum alkohol disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien kontrol rutin ke puskesmas untuk penyakit kencing manisnya.
Pertama kali berobat pasien diberikan metformin 2x500 mg oleh dokter.
Puskesmas. Saat ini pasien diberi obat tambahan Glibenklamid 1 x 5 mg yang
sudah diminum selama 2 bulan.
Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Daerah tempat
tinggal pasien merupakan daerah endemis penyakit DBD.

Pemeriksaan Fisik
Tanggal 14 September pukul 12.00 WIB di kediaman pasien.
Keadaan umum

: Tampak Sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda vital :

Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

Suhu

: 36,80 C

Pernapasan

: 20x/menit

BB sebelum sakit : 54 kg

BB sekarang

: 45 kg

TB

: 155 cm

BMI

: 18,73

Status Generalis

Kepala

: Normosefali

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga

: Normotia, benjolan (-), oedem (-), nyeri tekan (-)

Hidung

: Normosepti, sekret (-), deviasi septum (-)

Bibir

Tenggorok : T1-T1, faring hiperemis (-), granulasi (-), nyeri telan (-)

Leher

: Trakea di tengah, pembesaran KGB (-/-)

Thoraks

: pucat (-), sianosis (-)

Paru - paru
o Inspeksi :
Bentuk dada normal, simetris, gerak thoraks pada pernafasan simetris, sama
tinggi, tidak ada bagian yang tertinggal, retraksi (-/-).
o Palpasi :
Gerak nafas simetris, sama tinggi, tidak ada bagian yang tertinggal, vocal
fremitus simetris, sama kuat.
o Perkusi :
Kedua hemitoraks berbunyi sonor, peranjakan paru tidak dapat dinilai.
o Auskultasi :
Suara napas vesikuler, rhonkhi (-/-), wheezing (-/-).

Jantung
o Inspeksi :
Bentuk dada normal, simetris, iktus kordis terlihat pada ICS V 2 cm lateral
dari garis midklavikularis kiri.
o Palpasi :
Iktus cordis teraba di ICS V 2 cm lateral dari garis midklavikularis kiri.
o Perkusi :
Tidak ada nyeri ketuk, batas jantung kanan pada garis sternalis kiri setinggi ics IV,
batas paru lambung sekitar ics VI, batas jantung kiri setinggi ics V 2 cm garis
midklavikularis kiri, batas atas jantung kiri setinggi ics III pada garis sternalis kiri.

o Auskultasi :
Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen

Inspeksi : Datar, Caput Medusae (-), Smilling umbilikus (-)


Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), Hepatomegali (-), Splenomegali (-)
Perkusi : Timpani, nyeri ketuk (-)
Auskultasi : Bising usus normal

Ekstremitas
Ekstremitas Superior

Inspeksi : simetris, sianosis (-/-), tidak tampak luka


Palpasi : akral hangat (+/+), edema (-/-)
Ekstremitas Inferior
Inspeksi : simetris, sianosis (-/-), tidak tampak luka
Palpasi : akral hangat (+/+), edema (-/-)
Hasil Laboratorium di Puskesmas Tempuran
Tanggal 3 Agustus 2013

GDS

: 182 mg/dl

Tanggal 16 September 2013

GDS

: 167 mg/dl

Diagnosis Kerja
Diabetes Melitus Tipe 2
Rencana Penatalaksanaan
Medikamentosa :

Metformin 2 x 500 mg (p.o)

Glibenklamid 1 x 5 mg (p.o)

Non medikamentosa :
Edukasi

Diet ( jumlah, jenis, jadwal )


Dalam sehari pasien makan dianjurkan 3 kali makan besar dan 3 kali
makanan ringan (kudapan). Makanan yang digunakan berasal dari

rebusan seperti kentang atau ubi bisa menggunakan nasi. Dalam


keseharian menggunakan garam tidak boleh lebih dari 1 sendok teh
garam. Kurangi makan makanan yang berlemak terutama gorengan.
Makanan

ringan

bisa

menggunakan

buah-buahan,

perbanyak

mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran.

Olahraga teratur
Olahraga yang dilakukan oleh pasien dianjurkan 3-4 x/minggu, dalam
1 kali dilakukan dalam waktu + 30 menit. Olahraga tidak perlu
mengangkat atau melakukan sesuatu hal yang berat. cukup berjalan
kaki dipagi atau disore hari. kurangi aktifitas seperti menonton tf dan
bermalas malasan.

Kontrol rutin jika obat habis


Hasil Penatalaksanaan Medis
Keluhan pasien berkurang.

Faktor pendukung :
Pasien rutin minum obat dan kontrol ke dokter.

Faktor penghambat :
Terkadang masih susah untuk mengatur pola makan.

Indikator keberhasilan
Perbaikan keadaan umum

D. Permasalahan pada Pasien


Tabel 2. Tabel Permasalahan Pada Pasien
No. Risiko & masalah kesehatan
Rencana pembinaan
Sasaran
1. Gula darah tinggi
Menurunkan gula darah dengan obat Pasien
2.

Pola makan berlebih

dan perbaikan pola makan


Penyusunan jadwal, jenis dan jumlah Pasien
diet

E. Identifikasi Fungsi Keluarga

Fungsi Biologis

Dari wawancara dengan penderita diperoleh keterangan bahwa penderita sudah


menderita penyakit ini sejak 1 tahun yang lalu.

Fungsi Psikologis
Penderita memiliki satu anak. Saat ini penderita tinggal serumah dengan anaknya
yang belum bekerja dan ibunya. Hubungan antara penderita dengan anak dan
ibunya baik. Penderita bekerja sebagai buruh tani. Penderita mempunyai
kepribadian yang terbuka dan ramah terhadap orang lain.

Fungsi Sexual
Pasien wanita subur yang berusia 45 tahun dan mengaku masih menstruasi.
Pasien mengaku tidak menggunakan alat kontrasepsi sejak 1 tahun yang lalu
setelah IUD lepas. Tidak terdapat keluhan pada aktifitas sexual pasien.

Fungsi Ekonomi
Biaya kebutuhan sehari-hari pasien dipenuhi dari upahnya sebagai buruh tani.
Pendapatan perbulan kurang lebih Rp. 500.000 800.000. Uang tersebut dipakai
untuk kebutuhan rumah tangga seperti listrik dan makan. Pasien tidak
mempunyai ASKES untuk kesehatan.

Fungsi Pendidikan
Penderita bersekolah sampai SD.

Fungsi Religius
Penderita seorang Muslim dan keluarga yang lain memeluk agama Islam,
menjalankan ibadah agama secara rutin (sholat dan pengajian). Penerapan nilai
agama dalam keluarga baik.

Fungsi Sosial dan Budaya


Penderita dan keluarga tinggal di Dusun Kliwonan Desa Jogomulyo, di kawasan
pemukiman yang cukup padat penduduk. Penderita dan keluarga dapat diterima
dengan baik di lingkungan rumahnya. Komunikasi dengan tetangga baik.
Keluarga penderita aktif dalam kegiatan di lingkungan seperti arisan

dan

pertemuan warga yang rutin dilakukan sebulan sekali.

Pola Konsumsi Penderita


Frekuensi makan besar 3x sehari, diselingi dengan makanan ringan. Penderita
biasanya makan di rumah. Jenis makanan dalam keluarga ini bervariasi. Variasi
makanan sebagai berikut : nasi, lauk (tahu, tempe, telur), sayur (kangkung,

10

bayam, dll), air minum (air putih, teh, kopi). Pasien jarang mengkonsumsi ayam,
daging. Air minum berasal dari air sumur pompa yang dimasak sendiri.
F. Identifikasi Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan

Faktor Perilaku
Penderita bekerja sebagai buruh tani.

Faktor Lingkungan
Tinggal dalam lingkungan yang cukup padat penduduk, dimana kebersihan di
dalam rumah kurang. Pencahayaan di dalam rumah kurang dan sirkulasi udara
juga kurang baik. Sumber air minum berasal dari sumur pompa dan dimasak
sebelum diminum. Buang air besar menggunakan jamban leher angsa di wc
umum di luar rumah yang langsung dibuang ke septic tank. Untuk pembuangan
limbah, dibuang ke got dan mengalir ke saluran kota, dan tersedianya tempat
pembuangan sampah di luar rumah.

Faktor Sarana Pelayanan Kesehatan


Terdapat Puskesmas Tempuran yang berjarak < 5 km.

Faktor Keturunan
Tidak ada anggota keluarga yang menderita diabetes melitus.

G. Identifikasi Lingkungan Rumah

Gambaran Lingkungan Rumah


Rumah pasien terletak di Dusun Kliwonan, Desa Jogomulyo, Kecamatan
Tempuran, Kabupaten Magelang, dengan ukuran rumah 8 x 5 m2, bentuk
bangunan 1 lantai. Rumah tersebut ditempati oleh 4 orang. Secara umum
gambaran rumah terdiri dari 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang makan, dan 1
dapur di bagian belakang rumah.
Rumah tidak mempunyai langit-langit dan tidak memiliki dinding tembok, lantai
rumah beralaskan tanah. Penerangan dalam rumah dan kamar kurang dan terasa
lembab. Ventilasi dan jendela kurang memadai, yaitu dengan luas < 10 % dan
jarang dibuka. Cahaya matahari masuk lewat pintu dan jendela. Tata letak barang
di rumah cukup rapi. Sumber air bersih dari sumur pompa untuk minum maupun
cuci dan masak. Air minum dimasak sendiri. Fasilitas MCK di kamar mandi
umum yang berada di sebelah rumahnya. Kebersihan dapur kurang, tidak ada

11

lubang asap dapur, namun asap dapur langsung mengarah ke pintu. Tidak ada
saluran untuk pembuangan air limbah. Tidak ada tempat pembuangan sampah
dan tertutup dan membuang sampah di kebun. Jalan di depan rumah lebarnya 4
meter terbuat dari tanah . Kebersihan lingkungan di sekitar rumah cukup.

Dapur

Ruang
Makan

Kamar
tidur 2

Kamar
Mandi
Umum

Jamban
Umum

Kamar
tidur 3

Kamar
tidur 1

Ruang
Tamu

Gambar 2. Denah Rumah


H. Diagnosis Fungsi Keluarga
Fungsi Biologis
o Dari hasil wawancara.
Fungsi Psikologis
o Hubungan pasien dengan keluarga terjalin baik
o Hubungan sosial dengan tetangga dan kerabat baik.
Fungsi Sexual
o Pasien tidak menggunakan KB sudah 1 tahun. Tidak terdapat gangguan
aktifitas sexual pada pasien.
Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
o Kesan sosial ekonomi kurang dilihat dari pendapatan sebagai buruh
sebesar Rp.500.000-800.000 per bulan.
Fungsi Religius dan Sosial Budaya

12

o Termasuk keluarga yang taat beragama. Hubungan keluarga dan pasien


dengan tetangga baik, komunikasi berjalan dengan lancar. Tidak terdapat
keterbatasan hubungan antara pasien dan masyarakat.
Faktor Perilaku
o Pasien tinggal di rumah yang pencahayaannya kurang dan ventilasi udara
di rumah kurang baik sehingga sirkulasi udara buruk Lantai tidak kedap
air (tanah) sehingga kebersihan kurang terjaga serta banyak debu.
Faktor Non Perilaku
o Sarana pelayanan kesehatan di sekitar rumah dekat. Jarak antara rumah
pasien dengan puskesmas < 5 km.

I. Diagram Realita Yang Ada Pada Keluarga

GENETIK

YANKES

STATUS
KESEHATAN

- Puskesmas
berlokasi cukup
dekat

LINGKUNGA
N

PERILAKU
Sering
mengkonsum
si makanan
manis
Jarang
berolahraga
13

Gambar 3. Diagram Realita


J. Pembinaan Dan Hasil Kegiatan
Tabel 3. Pembinaan dan Hasil Kegiatan
Tanggal
14

Kegiatan yang dilakukan


Perkenalan, melakukan

Keluarga

yang terlibat
Pasien
Mendapatkan diagnosis

September anamnesis pemeriksaan fisik


2013
16

kepada pasien di rumah


Mengamati keadaan

September

kesehatan rumah dan

2013

Hasil Kegiatan

kerja pasien
Pasien
keluarga

dan Pasien, istri dan anak


pasien dapat memahami

lingkungan sekitar.

penjelasan yang

Memberikan penjelasan

diberikan dan

kepada pasien dan keluarga

diharapkan dapat

pasien mengenai penyakit

merubah pola hidup.

Diabetes mellitus,
komplikasi, pengobatan
pencegahan, faktor resiko.
Edukasi mengenai pola

Pasien, istri dan anak


pasien mengerti tentang

makan, dan kontrol gula

penyakit Diabetes

darah serta efek jangka

Mellitus dan cara

panjang dari gula darah

menangani penyakit

yang tidak terkontrol.

tersebut.

Edukasi kepada keluarga


pasien untuk selalu memotivasi
dan mendukung pasien untuk
mengontrol gula darah, pola
makan dan merokok.

K. Kesimpulan Pembinaan Keluarga

Tingkat pemahaman :
Pemahaman terhadap pembinaan yang dilakukan cukup baik.

14

Faktor pendukung :
Penderita dan keluarga dapat memahami dan menangkap penjelasan yang
diberikan tentang penyakit diabetes mellitus itu sendiri.
Keluarga yang kooperatif dan adanya keinginan untuk memperbaiki pola
perilaku hidup yang sehat.

Faktor penyulit : -

Indikator keberhasilan : pasien mengetahui risiko dan bahaya dari penyakit itu
sendiri.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association(ADA) 2005, Diabetes Melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-keduanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa Diabetes Melitus merupakan suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah
faktor dimana didapat defisiensi insulin absolute atau relative dan gangguan fungsi
insulin.3
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi DM dapat dilihat pada table 1.3
Tabel 4.Klasifikasi Etiologis DM
Tipe 1

Destruksi sel beta umumnya menjurus ke defisiensi insulin

15

absolute :

Tipe 2

Autoimun

Idiopatik
Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin
disertai insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi

Tipe lain

insulin disertai resistensi insulin


Defek genetik fungsi sel beta

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes

DM ditegakkan apabila kadar glukosa darah sewaktu melebihi

Melitus

200 mg%. Jika didapatkan nilai di bawah 100 mg% berarti

Gestasional

bukan DM dan bila nilainya diantara 100-200 mg% belum


pasti DM. Pada wanita hamil, sampai saat ini pemeriksaan
yang terbaik adalah dengan test tantangan glukosa yaitu
dengan pembebanan 50 gram glukosa dan kadar glikosa darah
diukur 1 jam kemudian. Jika kadar glukosa darah setelah 1 jam
pembebanan melebihi 140 mg% maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan test tolesansi glukosa oral. Gangguan DM terjadi
2% dari semua wanita hamil, kejadian meningkat sejalan
dengan

umur

kehamilan,

tetapi

tidak

merupakan

kecenderungan orang dengan gangguan toleransi glokusa, 25%


kemungkinan akan berkembang menjadi DM. DM gestasional
merupakan keadaan yang perlu ditangani dengan professional,
karena dapat mempengaruhi kehidupan janin/ bayi dimasa
yang akan datang, juga saat persalinan.

C. PATOFISIOLOGI

16

Pada defisiensi insulin akut, akan tejadi hiperglikemia karena pengaruh


insulin pada metabolisme glukosa tidak ada. Penimbunan glukosa di ekstrasel
menyebabkan hiperosmolaritas. Transpor maksimal glukosa akan meningkat di ginjal
sehingga glukosa diekskresikan ke dalam urin. Hal ini menyebabkan diuresis
osmotik yang disertai kehilangan air(poiluria), Natrium dan Kalium dari ginjal,
dehidrasi, dan kehausan. Meskipun kehilangan Kalium dari ginjal, tetapi tidak terjadi
hipokalemia karena sel melepaskan Kalium akibat penurunan aktivitas kotranspor
natrium-kalium-2clorin dan natrium-kalium-ATPase.
Jika terdapat defisiensi insulin, protein akan dipecahkan menjadi asam amino
di otot dan jaringan lain. Pemecahan otot bersama dengan gangguan elektrolit akan
menyebabkan kelemahan otot. Lipolisis yng telah tejadi menyebabkan pelepasan
asam lemak kedalam darah(hiperlipidasidemia). Hati menghasilkan asam asetoasetat
dan asam hidroksibutirat-B dari asam lemak. Penumpukan asam ini akan
menyebabkan asidosis, yang memaksa pasien untuk bernafas dalam. Beberapa asam
ini akan terjadi aseton.1,4
Skema patofiosolgi dapat dilihat pada Gambar 4.

17

Gambar 4. Patofisiologi Diabetes Mellitus1

D. DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan

18

diagnosis DM pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan


glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.5
Berbagai keluhan dapat dikemukakan pada diabetesi. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut dibawah ini.5

Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polydipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama jika keluhan klasik
ditemukan. maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan TTGO. Meskipun TTGO beban 75g glukosa
lebih sensitif dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa, namun memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan. Ketiga dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih mudah
dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosis DM.6

19

Tabel 5. Kriteria Diagnosis DM7


1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu 200mg/dL (11,1 mmo/L)
Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM+Kadar glukosa darah 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok

TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang

diperoleh.7

TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L)

GDPT: glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL (5,6 -6,9 mmol/L)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):5


3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak)
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa selama proses
pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidakmerokok

20

E. PEMERIKSAAN PENYARING
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun
tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan
pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan
sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya
DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. 8
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor
risiko DM sebagai berikut:
1. Usia > 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m 2 yang disertai dengan faktor
risiko:

kebiasaan tidak aktif

turunan pertama dan orang tua dengan DM

riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat
DM-gestasional

hipertensi (140/90 mmHg)

kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL

menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin

adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelumnya

memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah


sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi glukosa
oral (TTGO) standar.

Pemeriksaan penyaring untuk tujuan (skrining masal) tidak dianjurkan


mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak dengan rencana tindak
lanjut bagi mereka yang diketemukan ada kelaianan. Pemeriksaan penyaring juga
dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit Lain atau general
check up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan
penyaring dapat dilihat pada table 3.

21

Tabel 6. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dL)7
Bukan DM

Belum pasti

DM
200

Kadar
Glukosa darah

Plasma vena

<100

DM
100-199

sewaktu (mg/dL)
Kadar glukosa

Darah kapiler

<90

90-199

200

darah puasa(mg/dL)

Plasma vena

<100

100-125

126

Catatan:untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil


dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun
tanpa faktor risiko lain pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

F. PILAR PENATALAKSANAAN DM5,8,9


Pilar penatalaksanaan Diabetes Mellitus antara lain:
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi Farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri tanda dan gejala hipoglikemi dan cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus.
1. Edukasi

22

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang:

Perjalanan penyakit DM

Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

Penyulit DM dan risikonya

Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan

Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik


oral atau insulin serta obat-obatan lain.

Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah


atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia)

Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau


hipoglikemia

Pentingnya latihan jasmani yang teratur

Masalah khusus yang

dihadapi (misalnya:

hiperglikemia

pada

kehamilan)

Pentingnya perawatan diri

Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Edukasi

dapat

dilakukan

secara

individual

dengan

pendekatan

berdasarkan penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi,


perubahan perilaku memerlukan perencanaan yang baik, implementasi,
evaluasi dan dokumentasi.
2. Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri)

23

Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna


mencapai target terapi
Prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama


yang berserat tinggi

Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi

Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan


makan yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai
pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan
permen

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat


dalam sehari

Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25 % kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
Bahan makanan yang

perlu dibatasi adalah yang

banyak

mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging


berlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA/Mono

24

Unsaturated Fatty Acicf), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty


Acid) dan Asam lemak jenuh.

Protein
Dibutuhkan sebesar 15 - 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang, dan kacangkacangan (Leguminosa), tahu, tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein
menjadi 0.8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan
65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

Garam
Anjuran asupan natrium untuk diabetisi sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 g (1 sendok teh) garam dapur.
Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6 gr/hari
garam dapur, terutama pada mereka yang hipertensi.
Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin dan soda.

Serat
Seperti halnya masyarakat umum, penyandang diabetes dianjurkan
mengkonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran
serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut.

Pemanis
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak
bergizi. Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol
dan xylitol, mengandung 2 kalori /g .

25

Batasi penggunaan pemanis bergizi. Dalam penggunaannya pemanis


bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan para diabetisi karena efek
samping pada lipid plasma.
Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily intake / ADI).

Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang


dibutuhkan diabetisi. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
berdasarkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB
ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu
jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus modifikasi menjadi:
Berat badan ideal = (TB dalam cm -100) x 1 kg.

BB Norma l

: BB ideal 10%

Kurus

: < BBI - 10%

Gemuk

: > BBI + 10%

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus IMT = BB (kg)/TB(m2) Klasifikasi IMT *

BB kurang : <18,5

BB Normal : 18,5-22,9

BB Lebih

: 23,0

26

Dengan risiko

23,0-24,9

Obes I

25,0-29,9

Obes

30

WHO

WPR/IASO/IOTF

dalam

The

Asia-Pasific

Perspective;

Redefining obesity and its treatment


Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun
dan dikurangi 20%, diatas 70 tahun
Aktifitas Fisik atau Pekerjaan
kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktifitas fisik
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktifitas ringan 30% dengan aktifitas
sedang, dan 50% dengan aktifitas sangat berat
Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% bergantung kepada tingkat
kegemukan Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari
untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas


dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore

27

(25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya Untuk


meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara
bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyertanya.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke
pasar menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang, latihan jasmani sebaiknya disesuiakan dengan umur
dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan.

28

Tabel 7. Aktifitas Fisik Sehari-hari


Kurangi aktifitas

Misalnya,

menonton

televise,

menggunakan

Hindari aktifitas sedenter


Persering Aktifitas

internet, main game computer


Misalnya, jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda,

Mengikuti olahraga rekreasi dan sepak bola


beraktifitas fisik tinggi pada
waktu liburan
Aktifitas Harian

Misalnya,

Kebiasaan bergaya hidup sehat

menggunakan mobil), menggunakan

berjalan

kaki

ke

pasar

(tidak
tangga

(tidak menggunakan lift), menemui rekan kerja


(tidak hanya melalui telepon internal), berjalanjalan
4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmokologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan TGM dan latihan jasmani
1.

Obat hipoglikemik oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
a. pemicu sekresi insulin (insulin secretogogue): sulfonilurea dan
b. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
c. penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa

A. Pemicu Sekresi Insulin


1)

Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pancreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faai ginjai dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfoniiurea
kerja panjang.

2)

Glinid

29

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan


sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati.
B.

Penambah sensitivitas terhadap insulin


1. Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada


peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan- faal hati secara berkala.
Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.
C.

Penghambat glukoneogenesis (metformin)


1. Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa


hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer.

Terutama

dipakai

pada

diabetisi

gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjai


(kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

30

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus


halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah

makan.

Acarbose

tidak

menimbulkan

efek

samping

hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah


kembung dan flatulen.

Tabel 8. Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap


penurunan A1C (Hb-glikosilat)

Sulfonilurea

Glinid

Metformin

Cara kerja utama

Efek

Meningkatkan

utama
BB

sekresi Insulin

hipoglikemia

Meningkatkan

BB

sekresi Insulin

hipoglikemia

Menekan produksi Diare,


glukosa

hati

samping Penurunan A1C


naik, 1,5-2%

naik,

dispepsia, 1,5-2%

& asidosis laktat

menambah
sensitivitas
Penghambat

terhadap insulin
Menghambat

Flatulens,

glukosidase

absorpsi glukosa

lembek

alfa
Tiazolidindion

Menambah

Edema

tinja 0,5-1,0%

1,3%

sensitivitas
Insulin

terhadap insulin
Menekan produksi Hipoglikemia, BB Potensial
glukosa

hati, naik

sampai

normal

stimulasi
pemanfaatan
glukosa
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

31

OHO dimulai dengan dosis kecif dan ditingkatkan secara bertahap


sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
hampir maksimal

Sulfonilurea generasi I & II: 15 -30 menit sebelum makan

Glimepiride: sebelum/sesaat sebelum makan

Hepaglinid, Nateglinid: sesaat/ sebelum makan

Metformin: sebelum /pada saat/ sesudah makan karbohidrat

Penghambat glukosidase a (Acarbose): bersama suapan pertama


makan

Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.

2. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:


Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglilkemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemla dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
TGM
Gangguan fungsi ginjai atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis, yakni :
insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
insulin kerja pendek (short acting insulin)
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
insulin kerja panjang (long acting insulin)
insulin campuran tetap (premixed insulin)

Efek samping terapi insulin


Efek samping utama dari terapi insulin adalah teriadinya hipoglikemi

32

Penatalaksanaan hipoglikemi dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM


Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat menimbulkan
alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin:


Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemi pada keadaan
puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemi setelah
makan
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa: insulin kerja cepat
(rapid acting), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau
kerja panjang (long acting) dan insulin campuran tetap (premixed insulin).
Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis insulin Kerja cepat atau insulin
kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial. dengan kerja menengah atau
kerja panjang untuk koreksi defisiense insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi
dengan OHO
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah harian.
Penyesuian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap hari 3-4
hari bila target terapi belum tercapai

Cara Penyuntikan insulin


Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subuktan). Dengan arah
alat suntik tegak lurus terhadap permukaan kulit
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan
kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu Apabila tidak terdapat
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat

33

dilakukan percampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik


pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan harus dilakukan
dengan benar demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh diabetisi yang sama.
Secara resmi, kemasan insulin injeksi 40u/ml tidak beredar lagi si Indonesia sehingga
mengurangi risiko kesalahan yang dapat di sebabkan karena perbedaan kemasan
insulin dengan semprit yang dipakai Saat ini juga tersedia insulin campuran
(premixed) kerja cepat dan kerja menengah.

3. Terapi kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,


untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah beium
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi dengan
kombinasi tiga OHO. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe-2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang/panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
meniiai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.

34

Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin
saja.

G. PENILAIAN HASIL TERAPI8,9


Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan diabetes tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
1 Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah target terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila target terapi belum tercapai.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa


darah puasa dan 2 jam postprandial secara berkala sesuai dengan kebutuha
2 Pemeriksaan A1C
Tes

hemoglobin

terglikasi,

yang

disebut

juga

sebagai

glycohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C,


merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan sebanyak
4 kali dalam setahun.
3 Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler.
Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen
kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh
kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi diabetisi dengan pengobatan insulin atau pemicu
sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi.
Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah

35

makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk


menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya
hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami
gejala seperti hypoglycemic spells.
Tabel 9. Prosedur pemantauan

Tes dilakukan pada waktu (tergantung tujuan pemeriksaan):


- sebelum makan
- 2 jam sesudah makan
- sebelum tidur malam*

Diabetesi dengan control buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari


sampai target tercapai

Diabetisi dengan kontrol baik/stabil tes dilakukan sebanyak 1 - 2 kali/


minggu Pemantauan dapat lebih jarang apabila diabetisi terkontrol baik
secara konsisten Pemantauan glukosa darah pada diabetisi yang
mendapat terapi insulin ditujukan juga untuk penyesuaian dosis insulin

dan memantau timbulnya hipoglikemi


Diabetisi yang melaukan aktifitas tinggi pada keadaan kronis, atau pada
diabetisi yang sulit mencapai target terapi (selalu tinggi atau sering
mengalami hipoglikemi).

*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed time)
dilakukan pada jam 22.00
4. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.
Hanya digunakan pada diabetisi yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa
kadar glukosa darah. Ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL,
dapat bervariasi pada beberapa diabetisi bahkan pada pasien yang sama
dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat tegantung pada fungsi
ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

36

5. Penentuan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada diabetisi tipe-2 yang terkendali buruk kadar glukosa
darah >300 mg/dL), Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada diabetisi
tipe 2 yang sedang hamil, Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,
sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat
ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam
darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus Kadar benda keton
darah <0.6 mmol/L dianggap normal, di atas 1.0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3.0 mmol/L indikasi adanya KAD.
Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat
mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
H. KRITERIA PENGENDALIAN DM8,9,10
Untuk

dapat

mencegah

terjadinya

komplikasi

kronik,

diperlukan

pengendalian DM yang baik yang merupakan target terapi. Diabetes terkendali baik,
apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan
A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan
darah.

Glukosa
(mg/dL)
Glukosa

darah
darah

Baik
puasa 80-100

Sedang
100-125

Buruk
126

jam 80-144

145-179

180

6,5 8
200-239
100-129

>8
240
130

150-199
23-25
130-140/80-

200
>25
>140/90

(mg.dL)
A1C (%)
Kolesterol Total (mg/dL)
Kolesterol LDL (mg/dL)
Kolesterol HDL (mg/dL)
Trigeliserida (mg/dL)
IMT (kg/m2)
Tekanan darah (nmHg)

<6,5
<200
>100
>45
<150
18.5 2,3
130/180

90
Tabel 10. Kriteria pengendalian DM
Keterangan:

37

Angka di atas adalah hasil pemeriksaan plasma vena.


Penu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma
vena.
Untuk diabetisi berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kendali kadar glukosa darah
dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180
mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan Iain-Iain, mengacu pada
batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus
diabetisi usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping
dan interaksi obat.
I.

PROMOSI PERILAKU SEHAT


Promosi perilaku sehat merupakan faktor penting pada kegiatan pelayanan

kesehatan. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan diabetes yang optimal dibutuhkan


perubahan perilaku. Perlu dilakukan edukasi bagi diabetisi dan keluarga untuk
pengetahuan dan peningkatan motivasi. Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik
melalui dukungan tim educator yang terdiri dari dokter, ahli diet, perawat dan tenaga
kesehatan lain
1. Perilaku sehat bagi diabetisi
Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar diabetesi dapat menjalani
pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah :

Mengikuti pola makan sehat Meningkatkan kegiatan jasmani

Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara


aman, teratur

Melakukan

Pemantauan

Glukosa

Darah

Mandiri

(PGDM)

dan

memanfaatkan data yag ada

Melakukan perawatan kaki secara berkala

Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut


dengan tepat

Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana dan mau


bergabung dengan kelompok diabetisi serta mengajak keluarga untuk
mengerti pengelolaan diabetes.

Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

38

Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima

Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan

Libatkan keluarga/ pendamping dalam proses edukasi

Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien


dan keluarganya

Gunakan alat bantu audio visual

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan
DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi
edukasi

Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah :


Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
Makan di luar rumah
Rencana untuk kegiatan khusus
Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang
DM
Pemeliharaan/Perawatan kaki

Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara detail pada semua diabetesi dengan
ulkus maupun neuropati peripheral dan penyakit arteri perifer
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.
2. Periksa kaki setiap hari, dan laporkan pada dokter apabila ada kulit terkelupas atau
daerah kemerahan atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, dan mengoieskan iosion pelembab ke
kulit yang kering

Edukasi perawatan kaki harus dilakukan secara teraturtingkat lanjutan.


J. PENYULIT DIABETES MELITUS10
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
1. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetic
39

2. Hiperosmolar non ketotik


3. Hipoglikemi

Dalam buku konsensus hanya dibahas mengenai hipoglikemi, sedangkan mengenai


ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik dapat dilihat 2002) buku Petunjuk
Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 (PERKENI 2002)
Hipoglikemi dan cara mengatasinya

Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga mencapai <60
mg/dL

Bila terdapat penurunan kesadaran pada diabetisi harus selalu dipikirkan


kemungkinan terjadinya hipogiikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin

Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi


sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis Terkadang
diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannva (24-72 jam atau lebih,
terutama pada diabetisi dengan gagal ginjai kronik) Hipoglikemi pada usia lanjut
merupakan suatu ha yang harus dihindari mengingat dampaknya yang fatal atau
terjadinya kemunduran mental bermakna pada diabetisi. Perbaikan kesadaran pada
DM usia lanjut lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar banyak keringat,


gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing gelisah kesadaran menurun
sampai koma)

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan


makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
diabetisi dengan hipoolikemi berat

Untuk diabetisi yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena
terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.

2 Penyulit menahun:
1. Makroangiopati yang melibatkan:

Pembuluh darah jantung

Pembuluh darah tepi

40

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada diabetisi. Biasanya teriadi dengan
gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala
terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetic

Kontrol glukosa darah dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko dan memberatnya retinopati. Terapi asatosal tidak mencegah
timbulnya retinopati

Nefropati diabetic

Kontrol glukosa darah dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati

Pembatasan asupan protein dalam diet (0.8 g/kg BB) juga akan
mengurangi risiko terjadinya nefropati

3. Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Adanya neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
dan amputasi.
Gejala lain yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri,
dan lebih terasa nyeri di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap diabetisi perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan
sederhana. Dilakukan sedikitnya setiap tahun.
Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan antara lain duloxetine,
antidepresan trisiklik atau gabapentin.
Semua diabetisi yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan


bidang/disiplin ilmu lain.
K. PENCEGAHAN PRIMER5
1. Sasaran pencegahan primer:
41

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok,


faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk
menjadi DM dan kelompok prediabetes.
Faktor risiko diabetes
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk prediabetes yaitu :
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
Riwayat keiuarga dengan diabetes
Umur. Risiko untuk menderita prediabetes meningkat seiring dengan
memngkatnya usia
Riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG)
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg Bayi yang
lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi disbanding
dengan bayi lahir dengan BB normal
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi;
Berat badan lebih
Kurangnya aktifitas fisik
Hipertensi
Dislipidemia
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat
akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe-2
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
Penderita polycystic ovary syndrome (PCOS)
Penderita sindroma metabolic

Prediabetes

Prediabetes merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes.


Angka kejadian prediabetes dilaporkan terus mengalami peningkatan.

Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of
Health and Human Services (DHHS) dan the American Diabetes
Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan
prediabetes adalah TGT dan GDPT Setiap tahun 4-9% orang dengan
prediabetes akan menjadi Diabetes.

Prediabetes mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular sebesar


satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal.

42

Diagnosis prediabetes ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa


8 jam. Diagnosis prediabetes ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah
menunjukkan salah satu dari angka tersebut di bawah ini :
Glukosa darah puasa antara 100 -125 mg/dL
Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140199 mg/dL.

Pada pasien dengan prediabetes, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang


dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yanq dapat dimodifikasi.

2 Materi pencegahan primer:


Penyuluhan, yang ditujukan kepada:
A. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan kelompok
prediabetes.
Materi penyuluhan meliputi antara lain:
1. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai
risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat
badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM
tipe-2 atau prediabetes. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan
berat badan 5- 10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya
DM tipe-2.
2. Diet sehat.
Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.
Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan
ideal.
Karbohidrat komplek merupakan pilihan dan diberikan secara
terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak)
glukosa darah yang tinggi setelah makan
Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat iarut
3. Latihan jasmani.
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kontrol glukosa
darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan serta dapat
meningkatkan kadar kolesterol-HDL.
Latihan jasmani yang dianjurkan:

43

Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan


latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung
maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat
(mencapai denyut jantung >70% maksimal). Latihan jasmani
dibagi menjadi 3-4 x aktifitas/minggu.
4. Menghentikan merokok. Merokok merupakan salah satu risiko
timbulnya gangguan kardiovaskular. Meski merokok berkaitan langsung
dengan timbulnya prediabetes, tetapi merokok dapat memperberat
komplikasi kardiovaskular dari prediabetes dan DM tipe 2
B. Perencana kebijakan kesehatan agar memahami dampak sosio ekonomi
penyakit ini dan pentingnya penyediaan fasilitas yang memadai dalam upaya
pencegahan primer

Pengelolaan, yang ditujukan kepada :

Kelompok prediabetes

Kelompok dengan risiko (obesitas, hipertensi, disliplidemia, dll)

1. Pengelolaan Prediabetes

Prediabetes sering berkaitan dengan syndrom metabolik yang ditandai dengan


adanya obesitas sentral, dislipidemi (trigliserida yang tinggi, dan atau kolesterol
HDL rendah),dan hipertensi

Sebagian besar penderiat prediabetes dapat diperbaiki dengan perubahan gaya


hidup, menurunkan berat badan mengkonsumsi diet sehat serta melakukan
latihan jasmani yang cukup dan teratur.

Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan


gaya hidup lebih lebih efektif untuk mencegah DM tipe-2 dibandingkan dengan
penggunaan obat-obatan

Penurunan berat badan sebesar 5-10% disertai dengan latihan jasmani teratur
mampu mengurangi resiko timbulnya DM tipe 2 sebesar 50%. Sedangkan
penggunaan obat (seperti metformin thiazolidinediones, acarbose) hanya
mampu menurunkan resiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai obat tersebut
untuk penanganan Prediabetes masih menjadi kontroversi

Bila disertai dengan obesitas hipertensi dan dislipedemia, dilakukan


pengendalian berat badan, tekanan darah dan profil lemak hingga tercapai target
yang ditetapkan

2. Pengelolaan berbagai faktor risiko :

44

a. Obesitas
b. Hipertertsi
c. Dislipidemia

L. PENCEGAHAN SEKUNDER5
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada diabetes yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM Dalam upaya pencegahan sekunder program penyluhan memegang
peranan penting untuk meningkatkan kepatuhan diabetisi dalam menjalani program
pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama diabetisi baru
Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap
kesempatan pertemuan berikutnya. Materi penyuluhan pada tingkat pertama dan
lanjutan dapat dilihat pada materi edukasi pada bab II.3.3.1 dan materi tentang
edukasi edukasi tingkat lanjut pada bab II.4.2.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardivaskular,
yang merupakan penyebab utama kematian pada diabetesi. Selain pengobatan
terhadap tingginya glukosa darah, maka pengendalian berat badan, tekanan darah
profil lipid dalam darah serta pemberian antipletelet dapat

menurunkan resiko

tembulnya kelaianan kardivaskular pada diabetesi.


Dislipidemia pada Diabetes

Displidemia pada diabetesi lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit


kardivaskular

Perlu pemeriksaan profit lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan Pada pasien
dewasa pemeriksaan profil lemak sedikitnya dilakukan setahun sekali d dan bila
dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien dengan
profil lemak menunjukkan hasil yang baik (LDL<l00mg/dL; HDL>50 mg/dL;
trigleserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil lemak dapat dilakukan 2 tahun sekali.

Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada diabetisi adalah peningkatan


kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar
kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.

45

Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan


penggunaan lemak jenuh serta peningkatan aktifitas fisik terbukti dapat
memperbaiki profil lemak dalam darah

Dipertimbangkan untuk memberikan terapi farmakologis sedini mungkin bagi


diabetisi yang disertai dislipidemia

Target terapi:
Pada pasien target utamanya adalah penurunan LDL dengan pemberian

statin
Pada diabetisi dengan penyakit kardiovaskular:

- LDL <70 mg/dL (1.8 mmol/L)


- Pasien dengan usia >40 tahun, dianjurkan menurunkan LDL
sebsear 30-40% dari kadar awal
- Pasien

dengan

<

40tahun

dengan

risiko

penyakit

kardiovaskular yang gagal dengan perubahan gaya hidup, dapat


diberikan terapi farmokologis
Pada diabetesi dengan penyakit kardiovaskular
- LDL <70 mg/dL (1.8 mmol/L)
- semua diabetisi diberikan terapi statin untuk menurunkan LDL
sebesar 30-40%
o

Trigliserida < 150 mg/dL (1.7 mmol/L)

HDL > 40 mg/dL (1.15 mmol/L) untuk pria dan >50 mg/dL untuk
wanita

o Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida 150 mg/dL (1.7 mmol/L) atau
HDL 40 mg/dL (1.15 mmol/L) dapat diberikan fibrat
o Apabila trigliserida 400 mg/dL (4.51 mmol/L) perlu segera diturunkan
dengan terapi farmakologis untuk mencegah timbulnya pankreatitis.
o Terapi kombinasi statin dengan obat pengendali lemak yang lain mungkin
diperlukan untuk mencapai target terapi, dengan memperhatikan peningkatan
risiko timbulnya efek samping
o Niasin merupakan obat yang efektif untuk meningkatkan HDL, namun pada
dosis besar dapat meningkatkan kadar glukosa darah
o Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontra indikasi
o Selanjutnya dapat dilihat pada buku Konsensus Pengelolaan Dislipidemia
pada DM

46

Hipertensi pada Diabetes

Indikasi pengobatan :

Bila TD sistolik 130 mmHg dan/atau TD diastolik 80 mmHg.

Sasaran (target penurunan) tekanan darah:

Tekanan darah <130/80 mmHg

Bila disertai proteinuria 1g/24 jam: < 125/75 mmHg

Pengelolaan:

Non-farmakoiogis:
Modifikasi gaya hidup, antara lain: menurunkan berat badan,
meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta
mengurangi konsumsi garam

Farmakologis:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat anti-hipertensi
(OAH):

Pengaruh OAN terhadap profil lipid

Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa

Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin

Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung

Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:

Penghambat ACE

Penyekat reseptor angiotensin

Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah

Diuretik dosis rendah

Penghambat alfa

Antagonis kaisium golongan non-dihiropiridin

Pada diabetisi dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau
tekanan diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan
gaya hidupo hingga 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan
terapi farmakologis

47

Diabetisi dengan tekanan darah sistolik 140 atau tekanan diastoiik 90


mmHg langsungg perubahan gaya hidup dapat diberikan terapi farmakologis
secara langsung

Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan
monoterapi.

Catatan :
Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB =
angiotensin II receptor blocked) dan antagonis kalsium
golongan

non-dihidropiridin

dapat

memperbaiki

mikroalbuminuria.
Penghambat

ACE

dapat

memperbaiki

kinerja

kardiovaskular.
Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti
memperburuk toleransi glukosa.
Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran.
sudah tercapai.
Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat
dicoba menurunkan dosis secara bertahap.
Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap

Obesitas pada Diabetes

Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan


gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai

Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dencan


sindrom dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemi, hipertensi), yang didasari
oleh resistensi insulin resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas
membutuhkan pendekatan khusus

Obesitas dan diabetes meningkatkan risiko kematian akibat PJK

Penurunan 5-10 % dari berat badan dapat memperbaiki sindroma dismetabolik


dan menurunkan risiko PJK secara bermakna

Pengelolaan obesitas terutama ditujukan pada perubahan perilaku pola makan


dan peningkatan kegiatan jasmani. Apabila tidak cukup, maka pendekatan
farmakoterapi (misalnya sibutramine dan orlistat) atau terapi bedah merupakan
pilihan.

48

Gangguan koagulasi pada Diabetes

Terapi asetosal 75-160 mg/hari diberikan sebagai strategi pencegahan sekunder


bagi diabetisi dengan riwayat pernah mengalami penyakit kardiovaskular

Terapi asetosal 75-160 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan primer


pada diabetisi tipe-2 yang merupakan faktor risiko kardiovaskular, termasuk
diabetisi dengan usia >40 tahun yang memiliki riwayat keluarga penyakit
kardiovaskular dan kebiasaan merokok, menderita hipertensi, dislipidemi atau
albuminuria

asetosal dianjurkan tidak diberikan pada diabetisi dengan usia di bawah 21


tahun, seiring dengan peningkatan kejadian sindrom Reye

Terapi kombinasi asetosai dengan antiplatelet lain dapat dipertimbangkan


pemberiannya pada diabetisi yang memiliki risiko sangat tinggi.

Penggunaan obat antiplatelet selain asetosal dapat dipertimbangkan sebagai


pengganti asetosal pada diabetisi yang mempunyai kontra indikasi dan atau
tidak tahan terhadap penggunaan asetosal.

M. PENCEGAHAN TERSIER5
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok diabetisi yang telah mempunyai
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih ianjut. Upaya rehabilitasi pada
diabetisi dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh pemberian
asetosal dosis rendah (75-160 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi diabetisi yang sudah
mempunyai penyulit makroangiopati.
Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada diabetisi dan
keiuarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi


antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik
antar para ahli diberbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri, dll) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

BAB IV
49

KESIMPULAN
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang
dikonsumsi dan secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.
Insulin merupakan suatu hormon yang diproduksi pankreas yang berfungsi
mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan
penyimpanannya (American Diabetes Assosiation, 2004 dalam Smeltzer&Bare,
2008).3
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-keduanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa Diabetes
Melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolute
atau relative dan gangguan fungsi insulin.
Pengelolaan DM dimulai dengan

terapi gizi medis dan latihan jasmani selama

beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pilar penatalaksanaan Diabetes
Mellitus antara lain: Edukasi, Terapi gizi medis, Latihan jasmani, Intervensi
Farmakologis.9

DAFTAR PUSTAKA

50

1. Hudak dan Gallo.Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume II.
Jakarta: EGC.
2. American Diabetes Association. Practical Insulin. A handbook for prescribers. ADA
edisi 2004
3. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes-2006.
Diabetes care 2006:29:S94-S102
4. DR. Paul Belchetic & DR. Peter J Hammond. 2005. Diabetes and Endokrinology.
Mosby
5. American Diabetes Association. Hyperglikemic crises in diabetes. Diabetes care
2004:27:S94-S102
6. Chernecky, Schumacher . 2005. Critical care & emergency nursing. USA. Elsevier
Science
7. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medika-bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 8.. Jakarta: EGC.
8. PB Perkeni. Consensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus Tipe 2. 2006
9. Adam JMF. Penatalaksanaan endokrin darurat. Perkumpulan Endokrinologi
indonesia. Makassar, 2002
10. Prof. DR. H. Tabrani. 2008. Agenda Gawat Darurat (critical care). Bandung. PT
Alumni

51

LAMPIRAN

52

53

Вам также может понравиться