Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejahatan seksual merupakan pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja
merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan
masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah global. Pelaku
kejahatan seksual bukan didominasi mereka yang berasal dari golongan ekonomi
menengah atau rendah apalagi kurang atau tidak berpendidikan sama sekali,
melainkan pelakunya sudah menembus semua strata sosial dari strata terendah sampai
tertinggi. Berdasarkan Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas
Perempuan Tahun 2013 tercatat ada total kasus kekerasan terhadap perempuan
sebanyak 279.760 kasus, dimana 263.285 kasus terjadi pada ranah personal, 4.679
kasus pada ranah komunitas dan 5 kasus ranah Negara. Sedangkan pada tahun 2014
terjadi peningkatan dengan total sebanyak 293.220 kasus, 8.626 kasus pada ranah
personal, 3860 pada ranah komunitas dan 24 kasus pada ranah Negara. 1 Ranah
personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak,
adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran)
dengan korban. Ranah komunitas jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan
kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan,
tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
Ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan,
aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan
atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Diantara manusia Indonesia yang rawan menjadi korban kejahatan kekerasan
seksual adalah kaum perempuan. Begitu banyak terjadi kekerasan terhadap
perempuan di Indonesia, sebut saja tragedi di bulan Mei 1998 yang disebut sebagai
1
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat untuk ilmu pengetahuan
Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah mengenai peranan
aspek
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
3
2.
3.
4.
larangan
meninggalkan
tempat,
klinis,
2.1.2
tidak
diinginkan,
perdagangan
seks,
dengan
menggunakan paksaan, ancaman, paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memand
ang hubungan dengan korban, dalam situasi apa saja, tidak terbatas pada
rumah dan pekerjaan.4
10
untuk
memperoleh
layanan
seksual
dari
perempuan,
lalu
ditelantarkankan. Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus ingkar janji. Imingiming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi
perempuan dengan status perkawinannya. Perempuan menjadi merasa tak memiliki
daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi.
2.2.5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau
menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan,
penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara
maupun antar negara.
2.2.6. Prostitusi Paksa
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan
untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun
untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari
prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan.
Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan
perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
2.2.7. Perbudakan Seksual
11
Situasi dimana pelaku merasa menjadi pemilik atas tubuh korban sehingga
berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi
dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga
atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.
2.2.8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang
tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan
terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa
tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia
menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang
yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa
korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat
perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa
untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun,
gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak
suami maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik Kawin Cina Buta, yaitu
memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan
tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya
dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan
di berbagai daerah.
2.2.9. Pemaksaan Kehamilan
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman
kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini
misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain
kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk
12
perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya, atau
orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini
apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan,
atau sepengetahuan pejabat publik atau aparat penegak hukum.
2.2.13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau
rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia
termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk
merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
2.2.14.Praktik
tradisi
bernuansa
seksual
yang
membahayakan
atau
mendiskriminasi perempuan
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau
budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik,
psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan
untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan
perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya.
2.2.15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan
moralitas dan agama
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai
simbol moralitas komunitas, membedakan antara perempuan baik-baik dan
perempuan nakal, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual
menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol
seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara
langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan
untuk menginternalisasi simbol-simbol tertentu yang dianggap pantas bagi
14
perempuan baik-baik. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual
yang paling sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang
memuat kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam
tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau
perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada
persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di
tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama.
Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara
maupun hukuman badan lainnya.
2.3 Tanda tanda kejahatan seksual
Untuk mencari tanda-tanda kejahatan seksual sepatutnya dilakukan keseluruhan
pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik secara umum dan khusus, dan
pemeriksaan penunjang. Secara umum tujuan pemeriksaan korban kejahatan seksual
adalah untuk;
15
1. Anamnesis
-
Status pernikahan
16
Apakah ada pemberian minuman, makanan atau obat oleh pelaku sebelum
atau setelah kejadian
Apakah ada ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina
Apa tindakan korban setelah kejadian (buang air, membasuh, mandi, ganti
baju dan sebagainya)
When
-
Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor
Apa tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang
Where
-
Tempat kejadian
Who
-
Usia pelaku
2. Pemeriksaan Fisik
-
Umum
a) Tingkat kesadaran
b) Tanda vital
c) Penampilan (rapih atau tidak, dandan dan lain-lain)
d) Afek (keadaan emosi, apakah sedih, takut dan sebagainya)
e) Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas)
f) Status generalis dan status antropometri
g) Rambut (tercabut/rontok)
h) Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan
ketiga)
i) Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada
kuku yang tercabut atau patah)
j) Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder
k) Tanda-tanda intoksikasi NAPZA
l) Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh
selain daerah kemaluan
Khusus
18
Pakaian yang dipakai korban saat kejadian; untuk mencari trace evidence
yang mungkin berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani, atau
dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau daun-daun kering
Swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mania tau air liur dari
kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit
bekas gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral) atau lipatanlipatan anus (pada Sodom), atau untuk pemeriksaan penyakit menular
seksual
Pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan VDRL
Pemeriksaan Gonorrhea
20
Pemeriksaan HIV
TINDAK LANJUT
Setelah pemeriksaan forensic terhadap korban selesai, dilakukan tindak lanjut baik
dari aspek hukum maupun medis. Dari segi hokum tindak lanjutnya berupa
pembuatan visum et repertum. Tindak lanjut medis dapat mencakup penatalaksanaan
psikiatrik dan penatalaksanaan bidang obstetric-ginekologi. Tidak jarang seorang
korban kekerasan seksual membutuhkan terapi atau konseling pskiatrik. Mungkin
juga korban memerlukan tindakan pencegahan kehamilan serta pencegahan atau
terapi penyakit menular seksual.
2.4 Faktor resiko kejahatan seksual
2.4.1. Faktor Fisik
Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan fisik,
karena
bagamanapun
aktivitas
seks
bisa
menimbulkan
nyeri
dan
penentuan waktu yang tepat untuk aktivitas seks. Penggunaan alkohol dapat
menyebabkan rasa sejahtera atau gairah palsu dalam tahap awal seks dengan efek
negatif yang jauh lebih besar dibanding perasaan eforia palsu tersebut.
Sebagian klien mungkin tidak mengetahui bagaiman mengatur waktu
antara bekerja dengan aktivitas seksual, sehingga pasangan yang sudah merasa
lelah bekerja merasa kalau aktivitas seks merupakan beban baginya.
2.4.4 Faktor Harga Diri
Jika harga-diri seksual tidak dipelihara dengan mengembangkan perasaan
yang kuat tentang seksual-diri dan dengan mempelajari ketrampilan seksual,
aktivitas seksual mungkin menyebabkan perasaan negatif atau tekanan perasaan
seksual.
Harga diri seksual dapat terganggu oleh beberapa hal antara lain:
perkosaan, inses, penganiayaan fisik/emosi, ketidakadekuatan pendidikan seks,
pengaharapan pribadi atau kultural yang tidak realistik.
dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya, terutama pada masa pubertas
22
lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu, sering berpikir
tentang bunuh diri atau mati.
3
Dampak sosial
Korban kejahatan seksual dapat dikucilkan oleh masyarakat, dihina,
dipojokkan dengan pandangan masyarakat bahwa perempuan korban
kejahatan seksual sengaja menggoda dan menantang laki-laki dengan
memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi.
(Bernas, 1995; Kompas, 1995; Taslim, 1995; koesnadi, 1992).
23
keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
terhadap
anak
sehingga
mengatur
suatu
pedoman
4. Kumpulkan barang bukti sebaik- baiknya seperti noda darah, bercak pada
kain, celana, sprei, dan lain-lain
5. Perhatikan sikap korban, apakah takut, gelisah, malu atau tenang-tenang saja.
6. Perhatikan caranya berpakaian dan berhias, adalah berlebihan atau
mengandung gairah
7. Kirimkan korban/tersangka korban ke rumah sakit pemerintah dengan
formulir visum et repertum model IV tanpa diperkenankan membersihkan
badan dahulu. Korban diantar oleh petugas polisi
8. Jelaskan kepada ahli kebidanan/dokter yang bertugas tentang maksud
pemeriksaan ini.
9. Bila dipandang perlu maka korban dapat diisolasi dengan pengawasan ketat
dan
tidak
boleh
ditemui
seorang
pun
atau
berhubungan
dengan
tamu/keluarga.
B. Pengumpulan Alat Bukti di Tempat Kejadian Perkara
Untuk kepentingan penyidikan, alat bukti sangat penting. Pengumpulan alat bukti
dilakukan di tempat kejadian perkara, selanjutnya alat bukti tersebut dikirim ke
laboratorium forensik untuk dianalisis. Barang bukti/material kimia, biologik dan
fisik yang ditemukan ditempat kejadian perkara dapat berupa:
1. Material kimia: alkohol, obat-obatan, atau bahan kimia lain yang ditemukan
di tempat kejadian perkara
2. Material fisik: serat pakaian, selimut, kain penyekap korban dll.
3. Material biologik: cairan tubuh, air liur, semen/sperma, darah, rambut dll.
28
31
Pemeriksaan pasien dibagi dalam beberapa kategori yaitu; keadaan umum dan
tingkah laku pasien; keadaan tubuh secara keseluruhan, genitalia externa, vagina dan
servix, dan anus serta rektum.
G. Penilaian Dugaan Kekerasan Seksual
Berikut ini detail penilaian kekerasan seksual yang dapat menguatkan terjadinya
kekerasan seksual pada korban.
1. Trauma non genital (kekerasan, bukti menguatkan)
Trauma fisik adalah pembuktian terbaik adanya kekerasan dan harus selalu
didokumentasikan melalui foto, dideskripsikan melalui gambar dan dalam
bentuk laporan tertulis.12 Bukti trauma dapat juga menguatkan pernyataan
korban akan kejadian tersebut.
Pola trauma non genitalia
Peneliti forensik harus banyak mengetahui tentang pola trauma yang
terjadi karena kekerasan seksual, untuk dapat menanyakan pertanyaan
yang tepat dan lokasi trauma berdasarkan ceritakorban.Tempat yang
paling sering mengalami trauma pada korban kekerasan seksual, termasuk:
-
- vagina (11%)
- perineum (11%)
H. Evaluasi, Penanganan dan Konseling Korban Perkosaan
1
PEMBAHASAN
34
Pada contoh kasus kejahatan seksual diatas didapatkan bahwa korban adalah B,
perempuan, usia 16 tahun. Dan pelaku adalah IP, laku-laki, usia 26 tahun.
I. PEMERIKSAAN MEDIS
a. Anamnesis
Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada Visum et Repertum dengan judul
keterangan yang diperoleh dari korban. Terdiri dari bagian yang bersifat umum dan
khusus. Anamnesis umum meliputi :
-
b. Pemeriksaan Pakaian
Pada pemeriksaan pakaian perlu dilakukan dengan teliti seperti :
-
Apakah terdapat robekan lama atau baru sepanjang jahitan atau melintang
pada pakaian
Apakah ada kancing terputus akibat tarikan, bercak darah, air mani, lumpul
evidence
c. Pemeriksaan Tubuh Korban
Pemeriksaannya dibagi 2 yaitu pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan umum
-
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus dilakukan pada daerah genitalia, meliputi :
-
Ada tidaknya rambut kemaluan saling melekat menjadi satu (karena air mani
atau tidak
Adakah tanda penyakit kelamin
Usia : 16 tahun
TTL : 25 Januari 1999
Status : belum menikah
Siklus haid : 28hari, teratur
Tidak ditemukan penyakit kelamin, penyakit kandungan dan penyakit
37
penyerta lainnya.
Belum pernah bersetubuh sebelumnya.
Berdasarkan hasil ini, maka dapat dipastikan bahwa umur korban merupakan umur
yang belum waktunya untuk dikawin.
Hasil anamnesis khusus
-
2.Pemeriksaan Pakaian
Saat datang untuk melakukan pemeriksaan, korban datang dengan pakaian yang
cukup rapi, bersih, dan tidak ada robekan. Korban tidak menggunakan pakaian yang
sama dengan yang dikenakan saat kejadian.
3.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi: 89x/menit
Respiratory rate: 20x/menit
38
Suhu: 36,5o C
Berat badan: 50 kg
Tinggi badan: 155 cm
Dari pemeriksaan didapatkan:
-
Penampilan : rambut diikat satu tidak rapi; wajah tampak sedih, murung, dan
malu
Korban menunjukkan bahwa ia merasa tertekan
Tidak ada needle marks tidak terdapat tanda-tanda diberikan obat tidur, tidak
ada tanda-tanda kehilangan kesadaran (sesuai dengan hasil anamnesis pada
korban)
Lebam di daerah paha dan gigitan di sekitar putting susu tanda kekerasan
Perkembangan alat kelamin sekunder normal
kekerasan
Hiperemi, edema, lecet pada vulva tanda kekerasan
Robekan selaput dara baru sampai ke insertion
Lubang vagina sebesar 9,5 cm telah terjadi persetubuhan
Vagina dan serviks hiperemi
Tidak ada tanda penyakit kelamin
4. Kesimpulan
Pada anak perempuan yang baru berumur 16 tahun ini ditemukan robekan selaput
dara pada lokasi pukul enam sesuai dengan arah jarum jam. Ditemukan juga luka
memar dan lecet akibat kekerasan tumpul di daerah mulut, leher, pergelangan tangan,
paha bagian dalam, bokong, pinggang, dan jejas gigit pada daerah payudara.
39
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium memang benar yang
bersangkutan telah terjadi persetubuhan.
ASPEK HUKUM
Pada contoh kasus diatas berlaku aspek hukum antara lain:
1. Pasal 285 KUHP
2. Pasal 288 KUHP
PROSEDUR MEDIKOLEGAL
Pada contoh kasus diatas adapun prosedur medikolegal yang dapat diberlakukan
antara lain:
1. Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis
dari penyidik yang berwenang (pasal 133 KUHAP)13
2. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti.
Kalau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi,
jangan diperiksa, suruh korban kembali kepada polisi.
3. Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan
pada
tubuh korban pada waktu permintaan visum et repertum diterima oleh dokter.
4. Ijin tertulis untuk pemeriksaan ini dapat diminta dari orang tua atau walinya.
Jelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan pada
korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan pada pengadilan. Hal ini
perlu diketahui walaupun pemeriksaan dilakukan atas permintaan polisi,
belum tentu korban akan menyetujui pemeriksaan itu dan tidak menolaknya.
Selain itu bagian yang akan diperiksa merupakan the most private part dari
tubuh seorang wanita.
5. Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu
40
memeriksa badan.
6. Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama.
Hindarkan korban menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di kamar
periksa. Apalagi bila korban adalah seorang anak. Semua yang ditemukan
harus dicatat, jangan tergantung pada ingatan semata.
7. Visum et repertum diselesaikan secepat mungkin. Dengan adanya visum et
repertum perkara cepat dapat diselesaikan. Seorang terdakwa dapat cepat
dibebaskan dari tahanan, bila ternyata ia tidak bersalah.
8. Terkadang dokter yang sedang berpraktek pribadi diminta oleh seorang
ibu/ayah untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa sangsi
apakah anaknya masih perawan, atau karena ia merasa curiga kalau-kalau atas
diri anaknya baru terjadi persetubuhan. Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan
dulu maksud pemeriksaan, apakah sekedar ingin mengetahui saja, atau ada
maksud untuk melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan melakukan
penuntutan maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Katakan
bahwa pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan
biasanya dilakukan di rumah sakit. Mungkin ada baiknya dokter memberikan
penerangan pada ibu/ayah itu, bahwa jika umur anaknya sudah 15 tahun, dan
jika persetubuhan terjadi tidak dengan paksaan makan menurut undangundang, laki-laki yang bersangkutan tidak dapat dituntut. Pengaduan mungkin
hanya akan merugikan anaknya saja. Lebih baik lagi jika orang tua itu
dianjurkan untuk meminta nasehat dari pengacara.
41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Di Indonesia pada umumnya definisi dan jenis kekerasan seksual yang dianut
diambil dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya dalam
BAB XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Salah satu pasal utama
adalah pasal 285 tentang Perkosaan yang berbunyi Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun
2. Berdasarkan catatan tahunan dari Komnas Perempuan, kekerasan seksual
dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya adalah: perkosaan, intimidasi
seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan
untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan
perkawinan,
pemaksaan
kehamilan,
pemaksaan
aborsi,
pemaksaan
42
Pemerintah
Daerah
Provinsi
Jawa
Tengah
Nomor
3.2 Saran
1. Dilakukan sosialisasi informasi sampai ke masyarakat terendah dan
mengena ke berbagai lini (ibu rumah tangga, pegawai, siswa-siswi,
mahasiswi, petani , dll)
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga bersama-sama mencegah
dan memerangi kasus kekerasan seksual
3. Membangun kerja sama yang baik antara dinas pendidikan (sekolah,
kampus, guru) bersama dinas kesehatan (dokter, psikolog) serta LSM dan
Organisasi-organisasi keagamaan dalam memberikan edukasi/pendidikan
43
seks sejak dini pada anak sesuai dengan psikologi perkembangan anak dan
nilai-nilai moral serta keilmuan yang baik dan benar
4. Diminta kesadaran dan pengawasan terhadap pihak swasta (pengelola
hiburan, media, warnet) memiliki kebijakan yang mendukung upaya
penanggulangan kejahatan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
1. Komnas Perempuan. Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU).
2014. Kegentingan Kekerasan Seksual: Lemahnya Upaya Penanganan
Negara.
Disitasi
tanggal
Juli
2015
dari
http://www.komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2015/03/Lembar-Fakta-Catatan-Tahunan-CATAHU2.
44
dan
Medikolegal
Fakultas
Kedokteran
Universitas
2015
dari
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-
content/uploads/2014/12/15-Bentuk-Kekerasan-Seksual1.pdf [Update
2013]
8. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan
Perundang-undangan
9. Bidang Kedokteran. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI;
1994. p. 1-9, 37
10.
Jonakait, RN. Forensic science: the need for regulation.
Volume 4, spring issue. 1991. p 109-191
11.
12.
45