Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Penyakit skizofrenia telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, namun baru kirakira seratus tahun terakhir uraian penyakit ini dapat ditemui dalam kepustakaan
kedokteran. Menurut catatan sejarah terdapat empat ilmuan (dokter) yang merupakan
tokoh konseptor Skizofrenia, yaitu Hughlings Jackson (1887), Eugen Bleuier (1908),
Emil Kraepelin (1919), dan Kurt Schneider (1959), yang masing-masing mendefinisikan
Skizofrenia ini dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dikemudian hari diketahui bahwa
ternyata pandangan mereka merupakan suatu kesatuan1.
1.1. Definisi
Skizofrenia
merupakan
penyakit
kronis
otak
yang
timbul
akibat
ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah
gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan
delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra)2,3.
1.2. Insidensi
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association
(APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
(Wikipedia Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden pertahun dari skizofernia berkisar
0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi geografis. Ditemukan disemua tempat di dunia,
insiden dan prevalensinya secara kasar sama 4.
Walaupun insidensi pada lelaki dan wanita sama, gejala munculpada lelaki lebih
awal. 75% Penderita skizofrenia lelaki mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun dan
wanita biasanya antara 20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko
tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat
disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri 3.
BAB II
ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan penyebab
yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang gambaran klinisnya, respon
pengobatannya, dan perjalanan penyakitnya adalah bervariasi.
2.1.
Model Diatesis-Stres
Satu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan
adalah model diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki
suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang, jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan
yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Pada model
diatesis-stres yang paling umum diatesis atau stres dapat biologis atau lingkungan atau
keduanya. Komponen lingkungan dapat biologis (sebagai contoh, infeksi) atau psikologis
(sebagai contoh, situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat).
Dasar biologis untuk suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti
penyalahgunaan zat, stres psikologis, dan trauma.
2.1.1. Faktor Biologis
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu semakin
banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak,
termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Tentu saja ketiga daerah
tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin
melibatkan patologi primer di daerah lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan
sistem limbik sebagai suatu tempat potensial untuk patologi primer pada sekurangnya
suatu bagian, kemungkinan bahkan pada sebagian besar, pasien skizofrenik, dua tipe
penelitian adalah pencitraan otak pada orang yang hidup dan pemeriksaan neuropatologi
pada jaringan otak postmortem.
Waktu suatu lesi neuropatologis tampak di otak dan interaksi lesi dengan
lingkungan dan stresor sosial masih merupakan bidang penelitian yang aktif. Dasar untuk
timbulnya abnormalitas mungkin terletak pada perkembangan abnormal (sebagai contoh,
migrasi abnormal neuron di sepanjang glia radial selama perkembangan). Atau dalam
degenerasi neuron setelah perkembangan (sebagai contoh, kematian sel terprogram yang
awal secara abnormal, seperti yang tampak terjadi pada penyakit Huntington). Tetapi ahli
teori masih memegang kenyataan bahwa kembar monozigotik mempunyai angka ketidak
sesuaian 50%, jadi menyatakan bahwa terdapat interaksi yang tidak dimengerti antara
lingkungan dan perkembangan skizofrenia. Suatu penjelasan lain adalah, walaupun
kembar monozigotik mempunyai informasi genetika yang sama, pengaturan ekspresi gen
saat mereka menjalani kehidupan yang terpisah adalah berbeda. Faktor-faktor yang
mengatur ekspresi gen baru saja mulai dimengerti; kemungkinan melalui regulasi gen
yang berbeda, satu kembar monozigotik menderita skizofrenia, sedangkan yang lainnya
tidak.
2.1.2. Prinsip Riset Umum
Suatu rancangan dasar dalam riset biologis pada skizofrenia adalah untuk
mengukur beberapa variabel biologis dalam suatu kelompok pasien skizofrenik dan
dalam kelompok orang sakit bukan psikiatrik atau pasien psikiatrik nonskizofrenik. Ratarata daripada pengukuran tersebut selanjutnya dibandingkan untuk menentukan apakah
kelompok skizofrenik berbeda dari kelompok pembanding. Pendekatan tersebut memiliki
beberapa keberatan. Pertama, sulit untuk menemukan suatu kelompok kontrol yang
benar-benar sesuai dengan kelompok skizofrenik, karena kelompok skizofrenik mungkin
terpengaruhi oleh terapi obat dan situasi psikososial yang paling mengendalikan belum
dialami. Kedua, jika perbedaan ditentukan dengan menggunakan pendekatan tersebut,
sulit untuk mengetahui kepentingan perbedaan. Ditunjukkannya suatu perbedaan antara
kelompok-kelompok tidak menyatakan bahwa pengukuran adalah berhubungan sebab
dengan skizofrenia. Suatu perbedaan dalam pengukuran biologis tersebut mungkin
sekunder karena proses penyakit atau pengobatan.
Neurologi klinis mempunyai banyak contoh dari suatu tipe lesi tunggal yang
menyebabkan seluruh rentang keadaan psikologis, terentang dari normal sampai setiap
diagnosis di dalam DSM-IV. Sebagai contoh, banyak orang mempunyai penyakit
serebrovaskular, tetapi beberapa dari mereka tidak mempunyai gejala psikologis,
beberapa mempunyai gangguan depresif, dan yang lainnnya mempunyai mania atau
psikosis. Contoh lain adalah penyakit Huntington, yang dapat terbatas pada suatu
gangguan neurologis yang tertentu atau dapat disertai dengan setiap diagnosis dalam
DSM-IV. Sebaliknya, suatu kelainan spesifik tunggal di dalam otak dapat mempunyai
penyebab yang berbeda. Sebagai contoh, penyakit Parkinson mempunyai penyebab
idiopatik, infeksi, traumatik, dan toksik.
2.1.3. Integrasi Teori Biologis
Daerah otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah struktur limbik, lobus
frontalis, dan ganglia basalis. Talamus dan batang otak juga terlibat karena peranan
talamus sebagai mekanisme pengintegrasi dan kenyataan bahwa batang otak dan otak
tengah adalah lokasi utama bagi neuron aminergik asenden. Tetapi, sistem limbik
semakin merupakan perhatian dari kebanyakan pengujian untuk membangun teori
(theory-building exercise). Sebagai contoh, satu penelitian tentang kembar yang tidak
sama-sama menderita skizofrenia dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik
dan pengukuran aliran darah serebral. Peneliti telah menentukan sebelumnya bahwa
daerah hipokampus dari hampir setiap kembar yang terkena adalah lebih kecil daripada
kembar yang tidak terkena dan bahwa kembar yang terkena juga mempunyai peningkatan
aliran darah yang lebih kecil ke korteks frontalis dorsolateral saat melakukan prosedur
aktivasi-psikologis. Penelitian menemukan suatu hubungan antara kedua kelainan
tersebut, yang menyatakan bahwa kedua temuan adalah berhubungan, walaupun suatu
faktor ketiga mungkin mempengaruhi masing-masing variabel.
2.2. Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.
Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk clozapine, khasiat dan
potensi antipsikotik adalah berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai
antagonis reseptor dopaminergik tipe 2 (D2). Kedua, obat-obatan yang meningkatkan
aktivitas dopaminergik, yang paling jelas adalah amfetamin, yang merupakan salah satu
psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik adalah
karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau
kombinasi keduanya. Teori dasar juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin di otak
mungkin terlibat, walaupun jalur meoskortikal dan mesolimbik paling sering terlibat.
Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke
neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral.
Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas. Satu
bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D 1) mungkin memainkan
peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis
D1 sebagai pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut. Reseptor dopamin tipe 5 (D5)
yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan reseptor D1 dan dapat meningkatkan
penelitian. Dalam cara yang sama reseptor dopamin tipe 3 (D 3) dan dopamin tipe 4 (D4)
adalah berhubungan dengan reseptor D2 dan akan merupakan sasaran penelitian karena
agonis dan antagonis spesifik adalah dikembangkan untuk reseptor tersebut. Sekurangnya
satu penelitian telah melaporkan suatu peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak
postmortem dari pasien skizofrenik.
Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang penelitian
skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih merupakan hipotesis neurokimiawi
yang utama, hipotesis tersebut memiliki dua masalah. Pertama, antagonis dopamin adalah
efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien yang teragitasi berat,
tidak tergantung pada diagnosis. Dengan demikian, adalah tidak mungkin untuk
menyimpulkan bahwa hiperaktivitas dopaminergik adalah unik untuk skizofrenia.
Sebagai contoh, antagonis dopamin juga digunakan untuk mania akut. Kedua beberapa
data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan
kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat
antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia
mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.
Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah
konsisten dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamin
utama, yaitu homovanilic acid. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa,
dalam kondisi eksperimental yang terkontrol cermat, konsentrasi homovanilic acid
plasma dapat mencerminkan konsentrasi homovanilic acid di sistem saraf pusat.
Penelitian tersebut telah melaporkan suatu hubungan positif antara konsentrasi
homovanilic acid praterapi yang tinggi dan dua faktor: keparahan gejala psikotik dan
respon terapi terhadap obat antipsikotik. Penelitian homovanilic acid plasma juga telah
melaporkan bahwa, setelah peningkatan sementara konsentrasi homovanilic acid plasma,
konsentrasi menurun secara mantap. Penurunan tersebut dihubungkan dengan perbaikan
gejala pada sekurangnya beberapa pasien.
2.3. Neurotransmitter Lainnya
Walaupun dopamin adalah neurotransmiter yang telah mendapatkan sebagian
besar perhatian dalam penelitian skizofrenia, meningkatnya perhatian juga telah ditujukan
pada
neurotransmiter
lainnya.
Mempertimbangkan
neurotransmiter
lain
adalah
dalam perilaku bunuh diri dan impulsif yang jug adapat ditemukan pada pasien
skizofrenik.
2.5. Norepinefrin
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik jangka panjang
menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus sereleus dan bahwa efek terapetik
dari beberapa antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-1
dan adrenergik-2. walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergik dan noradrenergik
masih belum jelas, semakin banyak data yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik
memodulasi sistem dopamminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem
noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk sering relaps.
2.6. Asam Amino
Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid (GABA) juga
telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah konsisten dengan
hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron
GABA-ergik di dalam hipokempus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara
teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik.
Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat
dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu rentang hipotesis telah diajukan untuk
glutamat, termasuk hipotesis hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan hipotesis neurotoksisitas
akibat glutamat.
2.7. Neuropatologi
2.7.1. Sistem limbik
Sistem
limbik,
karena
peranannya
dalam mengendalikan
emosi,
telah
daerah
termasuk
amigdala,
hipokampus,
dan
girus
parahipokampus.
Temuan
10
11
dan tidak terkena adalah bervariasi dan biasanya kecil. Dengan demikian, penggunaan
CT dalam diagnosis skizofrenia adalah terbatas. Tetapi, beberapa data menyatakan bahwa
ventrikel lebih besar pada pasien dengan tardive dyskinesia daripada pasien yang tidak
menderita tardive dyskinesia. Juga, beberapa data menyatakan bahwa pembesaran
ventrikel adalah lebih sering ditemukan pada pasien laki-laki daripada wanita.
2.8.2. Pencitraan Resonansi Magnetik
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) awalnya digunakan untuk memperjelas
temuan pada pemeriksaan CT tetapi selanjutnya digunakan untuk memperluas
pengetahuan tentang patofisiolofi skizofrenia. Satu penelitian MRI yang paling penting
adalah pemeriksaan kembar monozigotik yang tidak sama-sama menderita skizofrenia.
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kembar yang menderita skizofrenia
mempunyai ventrikel serebral yang lebih besar daripada kembar yang tidak terkena,
walaupun sebagian besar kembar yang terkena mempunyai ventrikel serebral di dalam
suatu rentang normal.
Peneliti yang menggunakan MRI dalam riset skizofrenia telah menggunakan sifatsifat resolusi yang unggul, dibandingkan dengan CT, dan informasi kualitatif, sebagai
contoh, yang didapatkan dengan menggunakan berbagai urutan signal untuk
mendapatkan citra T1 atau T2 yang diperkuat. Resolusi unggul dari MRI telah
menghasilkan beberapa laporan bahwa volume kompleks hipokampus-amigdala dan girus
parahipokampus adalah menurun pada pasien skizofrenik. Satu penelitian terakhir
menemukan suatu penurunan spesifik dari daerah otak tersebut di hemisfer kiri, dan
bukan di hemisfer kanan, walaupun penelitian lain telah menemukan penurunan volume
bilateral. Beberapa penelitian telah menghubungkan penurunan volume sistem limbik
dengan derajat psikopatologi atau parameter lain keparahan penyakit. Jugatelah terdapat
laporan waktu relaksasi T1 dan T2 yang berbeda pada pasien skizofrenik, khususnya yang
diukur di daerah frontalis dan temporalis.
12
terpecahkan pada saat ini. Tetapi teknik ini akan terus digunakan dalam penelitian
skizofrenia, dan laporan penelitian selanjutnya akan menggunakan ligan untuk sistem
neurotransmiter lainnya, seperti sistem noradrenergik atau glutamat.
2.8.5. Elektrofisiologi
Penelitian elektroensefalografi (EEG) pada pasien skizofrenia menyatakan bahwa
sejumlah besar pasien mempunyai rekaman yang abnormal, peningkatan kepekaan
terhadap prosedur aktivasi (sebagai contoh, aktivitas paku yang sering setelah tidak
tidur), penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas teta dan delta, kemungkinan
aktivitas epileptiformis yang lebih dari biasanya, dan kemungkinan kelainan sisi kiri yang
lebih banyak dari biasanya.
2.8.6. Potensial Cetusan
Sejumlah besar kelainan pada potensial cetusan (evoked potentials) pada pasien
skizofrenik telah digambarkan dalam literatur penelitian. Gelombang P300 merupakan
yang paling banyak dipelajari dan didefinisikan sebagai gelombang potensial cetusan
yang besar dan positif yang terjadi kira-kira 300 milidetik setelah suatu stimulasi sensoris
dideteksi. Sumber utama gelombang P300 mungkin berlokasi di struktur sistem limbik
dari lobus temporalis medial. Pada pasien skizofrenik P300 telah dilaporkan secara
statistik lebih kecil dan lebih lambat daripada kelompok pembanding. Kelainan pada
gelombang P300 juga telah dilaporkan lebih sering pada anak-anak yang berada pada
resiko tinggi mengalami skizofrenia karena mempunyai orang tua yang menderita
skizofrenia. Apakah karakteristik P300 mewakili suatu keadaan fenomena atau suatu sifat
fenomena adalah masih kontroversial.
Potensial cetusan lain yang telah dilaporkan abnormal pada pasien skizofrenik
adalah N100 dan variasi negatif berkelompok (continent negative variation). Gelombang
N100 adalah gelombang negatif yang terjadi kira-kira 100 milidetik setelah stimulus, dan
variasi negatif berkelompok adalah suatu pergeseran voltasi negatif yang berkembang
dengan lambat yang mengikuti presentasi stimulus sensorik yang merupakan peringatan
untuksuatu stimulus yang akan datang. Data potensial cetusan telah diinterpretasikan
sebagai menyatakan bahwa, walaupun pasien skizofrenik adalah sensitif secara tidak
15
lazim terhadap stimulus sensorik (potensial cetusan awal yang lebih tinggi), mereka
mengkompensasi peningkatan kepekaan tersebut dengan mengumpulkan pemrosesan
informasi pada tingkat kortikal yang lebih tinggi (dinyatakan oleh potensial cetusan akhir
yang lebih kecil).
2.9. Disfungsi Pergerakan Mata
Ketidakmampuan seseorang untuk secara akurat mengikuti suatu sasaran visual
yang bergerak adalah dasar penentu untuk gangguan pengejaranvisual yang halus dan
disinhibisi gerakan mata saccadic yang ditemukan pada pasien skizofrenik. Disfungsi
pergerakan mata mungkin merupakan petanda sifat (trait marker) untuk skizofrenia,
karena keadaan ini tidak tergantung pada terapi obat dan keadaan klinis, dan juga
ditemukan pada sanak saudara derajat pertama dari kemungkinan skizofrenia. Berbagai
penelitian telah melaporkan gerakan mata yang abnormal pada 50-85% pasien
skizofrenik, dibandingkan dengan kira-kira 25% pada pasien psikiatrik nonskizofrenia
dan kurang dari 10% subjek kontrol dengan penyakit nonpsikiatrik. Karena pergerakan
mata sebagian dikendalikan oleh pusat di lobus frontalis, suatu gangguan pada
pergerakan mata adalah konsisten dengan teori yang melibatkan patologi lobus frontalis
pada skizofrenia.
2.10. Psikoneuroimunologi
Sejumlah kelainan imunologis telah dihubungkan dengan pasien skizofrenik.
Kelainan tersebut adalah penurunan produksi interleukin-2 sel T, penurunan jumlah dan
responsivitas selular dan humoral terhadap neuron, dan adanya antibodi yang diarahkan
ke otak (antibrain antibodies). Data dapat diinterpretasikan secara bervariasi sebagai
mewakili suatu virus neurotoksik atau suatu gangguan autoimun endogen. Penelitian
yang dilakukan dengan sangat cermat yang mencari adanya bukti-bukti infeksi virus
neurotoksik pada skizofrenia telah menghasilkan hasil yang negatif, walaupun data
epidemiologis menunjukkan tingginya insidensi skizofrenia setelah pemaparan pranatal
dengan influenza selama beberapa epidemik penyakit.
Data lain yang mendukung suatu hipotesis viral adalah peningkatan jumlah
anomali fisik pada saat lahir, peningkatan angka kehamilan dan komplikasi kelahiran,
16
musiman kelahiran yang konsisten dengan infeksi virus, kumpulan goegrafis kasus
dewasa, dan musiman perawatan di rumah sakit. Namun demikian, ketidakmampuan
untuk mendeteksi bukti-bukti genetik infeksi virus menurunkan kepentingan dari semua
data tidak langsung tersebut. Kemungkinan adanya antibodi otak autoimun memiliki
beberapa data yang menunjangnya; tetapi, proses patofisiologis jika ada, kemungkinan
menjelaskan hanya sekumpulan kecil populasi skizofrenik.
2.11. Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin antara kelompok
pasien skizofrenik dan kelompok subjek kontrol normal. Sebagai contoh, tes supresi
deksametason telah dilaporkan abnormal pada berbagai subkelompok pasien skizofrenik,
walaupun nilai praktis atau nilai prediktif dari tes ini pada skizofrenia telah
dipertanyakan. Tetapi, satu laporan yang dilakukan secara cermat telah menghubungkan
nonsupresi persisten pada tes supresi deksametason pada skizofrenia dengan hasil jangka
panjang buruk.
Beberapa data menunjukkan penurunan konsentrasi luteinzing hormone-follicle
stimulating hormone (LH/ FSH), kemungkinan dihubungkan dengan onset usia dan
lamanya penyakit. Dua kelainan tambahan yang dilaporkan adalah penumpulan pelepasan
prolaktin dan hormon pertumbuhan terhadap stimulasi gonadotropin-releasing hormon
(GnRH) atau thyrotropin-releasing hormone (TRH) dan suatu penumpulan pelepasan
hormon pertumbuhan terhadap stimulasi apomorphine yang mungkin dikorelasikan
dengan adanya gejala negatif.
2.12. Genetika
Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik
Populasi
Populasi umum
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik
Anak dengan satu orang tua skizofrenik
Kembar dizigotik pasien skizofrenik
Anak dari kedua orangtua skizofrenik
Kembar monozigotik pasien skizofrenik
Kembar monozigotik memiliki angka
Prevalensi (%)
1,0
8,0
12,0
12,0
40,0
47,0
kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada
kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orang
17
18
19
20
21
keluarga disfungsional. Tetapi, adalah dari kepentingan klinis untuk mengenali perilaku
keluarga patologis, karena perilaku tersebut dapat secara bermakna meninggalkan stres
emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenik yang rentan.
2.14. Ikatan Ganda
Konsep ikatan ganda (double bind) dirumuskan oleh Gregory Betson untuk
menggambarkan suatu keluarga hipotetik dimana anak-anak mendapatkan pesan yang
bertentangan dari orangtuanya tentang perilaku, sikap, dan perasaan anak. Di dalam
hipotesis tersebut, anak menarik diri ke dalam keadaan psikotik mereka sendiri untuk
meloloskan dari kebingungan ikatan ganda yang tidak dapat dipecahkan. Sayangnya,
penelitian keluarga yang dilakukan untuk membuktikan teori tersebut telah secara serius
mengalami cacat metodologi dan tidak dapat diambil untuk menunjukkan keabsahan teori
tersebut.
2.15. Keretakan dan Kecondongan Keluarga
Theodore Lidz menggambarkan dua pola perilaku yang abnormal. Dalam satu
tipe keluarga, terdapat keretakan yang menonjol antara orang tua, dan satu orang tua
sangat terlalu dekat dengan anak dari jenis kelamin yang berbeda. Pada jenis keluarga
lain, hubungan condong antara satu orang tua melibatkan suatu perjuangan tenaga antara
orang tua dan menyebabkan dominasi salah satu orang tua.
2.16. Keluarga yang Saling Mendukung Secara Semu dan Bermusuhan Semu
Lymann Wynne menggambarkan keluarga di mana ekspresi emosional ditekan
oleh pemakaian konsisten komunikasi verbal yang saling mendukung secara semu
(pseudomutual) atau bermusuhan secara secara semu (pseudohostile). Penekanan tersebut
menyebabkan perkembangan komunikasi verbal yang unik pada keluarga tersebut dan
tidak dimengerti oleh orang di luar keluarga; masalah timbul jika anak meninggalkan
rumah dan berhubungan dengan orang lain.
22
23
BAB III
DIAGNOSA
24
Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika : dengan gejala
negatif yang menonjol
25
26
yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang
termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi
skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia,
misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa
saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu
mengatasi3.
3.3. Kepribadian Pramorbid Skizofrenia
Faktor predisposisi dan beresiko tinggi bagi terjadinya gangguan jiwa Skizofrenia,
yaitu Kepribadian Paranoid, Skizoid, Skizotipal dan Ambang (Borderline) yang
kriterianya sebagai berikut:
3.3.1 Kepribadian Paranoid
Seseorang yang berkepribadian paranoid menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut :
A.
terhadap
tanda-tanda
ancaman
dari
lingkungannya
atau
27
2.
Merasa bangga bahwa dirinya selalu obyektif, rasional dan tidak mudah
terangsang secara emosional, subyektivitas tinggi.
3.
Tidak ada rasa humor yang wajar terkesan "serius" tidak suka bercanda,
tidak ada sense of humor.
4.
28
29
4. Ilusi yang berulang-ulang, seperti merasa adanya "kekuatan" atau "orang" yang
sebenarnya tidak ada (misalnya merasa seolaholah ibunya yang sudah meninggal
berada bersama dengan dirinya dalam ruangan), depersonalisasi atau derealisasi
yang tidak berhubungan dengan serangan panik.
5. Pembicaraan yang ganjil (tetapi tidak sampai menjurus kepada pelonggaran
asosiasi atau inkoherensi), seperti pembicaraan yang digresif, kabur, bertele-tele,
sirkumstansial (berputar-putar), metaforik (perumpamaan).
6. Di dalam interaksi (tatap muka) dengan orang lain terdapat hubungan (rapport)
yang tidak memadai (inadequate) akibat afek (alam perasaan) yang tidak serasi
(inappropriate) atau afek yang terbatas (constricted), misalnya tampak dingin atau
tidak acuh.
7. Kecurigaan atau ide paranoid, yaitu rasa curiga atau buruk sangka yang tidak
rasional.
8. Kecemasan sosial yang tidak perlu atau hipersensitivitas yang berlebih terhadap
kritik yang nyata ataupun yang dibayangkan.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada
yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizotipal sebagaimana diuraikan di muka.
Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter
(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya
dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia.
3.3.4. Kepribadian Ambang
Seseorang yang berkepribadian ambang menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut, yaitu paling sedikit terdapat 5 dari 8 kriteria di bawah ini :
1. Impulsivitas atau perubahan yang tidak dapat diduga, setidak-tidaknya dalam dua
aspek yang dapat merugikan diri, misalnya boros, hubungan seks, berjudi,
penggunaan zat (NAZA: Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif), mencuri di toko,
makan berlebihan, tindakan cedera diri.
2. Ada pola hubungan interpersonal yang mendalam (intense) dan tidak stabil,
seperti perubahan yang hebat dalam sikap, menyanjung, merendahkan, manipulasi
(secara konsisten mengggunakan orang lain untuk kepentingan dirinya).
30
afek
(mood)
yang
normal
menjadi
depresi,
iritabilitas
(mudah
31
32
dari perilaku yang aneh, ketidak mampuan memenuhi tuntutan masyarakat dan
penurunan keterampilan sosial.
3.5.2. Gangguan Skizofreniform
Gambaran klinis Skizofreniform ini sama dengan Skizofrenia, perbedaannya
adalah bahwa fase-fase perjalanan penyakitnya (fase aktif, prodormal dan residual )
kurang dari 6 bulan tetapi lebih lama dari 2 minggu.
3.5.3. Skizofrenia Laten
Hingga kini belum terdapat suatu kesepakatan yang dapat diterima secara umum
untuk memberikan gambaran klinis kondisi ini.
3.5.4. Gangguan Skizoafektif
Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh gangguan pada alam perasaan (mood,
affect) disertai waham dan halusinasi serta terdapat perasaan gembira yang berlebihan
(maniakal) atau rasa sedih yang sangat mendalam (depresi) 3.
3.6. Diagnosis Banding
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan medis
psikiatrik, non psikiatrik dan berbagai macam zat.
3.6.1. Medis dan Neurologis
Akibat zat : Amfetamin, halusinogen, alkaloid beladona, halusinosis alkohol,
putus barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP).
Epilepsi : Terutama epilepsi lobus temporalis.
Neoplasma, penyakit serobrovaskular, atau trauma : Terutama frontalis dan
limbik.
Kondisi lain : Sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS)
Porfiria intermitten akut
Keracunan karbon monoksida
Lipoidosis serebral
33
Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Fabry
Penyakit Fahr
Penyakit Hallervorden-Spatz
Keracunan logam berat
Ensefalitis herpes
Homosistinuria
Penyakit Huntington
Lekodistrofi metakromatik
Neurosiflis
Hidrosefalus
Pellagra
SLE
Sindroma Wernicke-Korsakoff
Penyakit Wilson
3.6.2. Psikiatrik
Psikosis atipikal
Gangguan autistic
Ganguan delusional
Berpura-pura
Gangguan obsesif-kompulsif
Gangguan keperibadian
34
BAB IV
PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut
(kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu yang
realtif lama (berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun), hal ini dimaksudkan untuk menekan
sekecil mungkin kekambuhan (relapse).
Terapi yang komprehensif dan holistic atau terpadu dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi bahkan
metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi
terapi dengan obat-obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial
dan terapi psikoreligius.
4.1. Psikofarmaka
Terpi farmakologis merupakan terapi utama dari penatalaksanaan skizofrenia.
Pemilihan agent farmakologis yang tepat membutuhkan pertimbangan yang matang akan
keuntungan dan kerugian pemberian obat tersebut. Terapi farmakologis atau
psikofarmaka merupakan salah satu elemen dari terapi terpadu bagi penderita
skizofrenia6.
Kemajuan dibidang Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) akhir-akhir ini mengalami
kemajuan pesat, baik dibidang organobiologik maupun dibidang obat-obatannya. Dari
sudut organobiologik sudah diketahui bahwa pada skizofrenia terdapat gangguan pada
fungsi transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel penyusun saraf pusat
(otak) yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada
alam pikir, alam perasaan dan perilaku. Oleh karena itu psikofarmaka yang akan
diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tersebut, sehingga gejalagejala klinis tadi dapat dihilangkan.
Dewasa ini banyak jenis psikofarmaka yang digunakan untuk mengobati
penderita skizofrenia. Hingga sekarang belum ditemukan obat yang ideal, masing-masing
jenis obat ada kelebihan dan kekurangannya selain juga ada efek samping.
35
Nama Generik
Chlorpromazine
Haloperidol
3
4
5
Perphenazine
Fluphenazine
Fluphenazinedecanoate
Levomepromazine
6
7
8
Trifluoperazine
Thioridazine
Sulpiride
9
10
Pimozide
Risperidone
11
12
13
Clozapine
Quetiapine
Olanzapine
Nama Dagang
LARGACTIL
PROMACTIL
MEPROSETIL
ETHIBERNAL
SERENACE
HALDOL
GOVOTIL
LODOMER
HALDOL DECANOAS
TRILAFON
ANATENSOL
MODECATE
NOZINAN
STELAZINE
MELLERIL
DOGMATIL
FORTE
ORAP FORTE
RISPERDAL
NERIPROS
NOPRENIA
PERSIDAL-2
RIZODAL
CLOZARIL
SEROQUEL
ZYPREXA
Sediaan
Tab. 25 mg, 100 mg
Amp.25 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 1,5&5 mg
Liq. 2 mg/ml
Amp. 5 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 2 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Amp. 50 mg/ml
Dosis Anjuran
150-600 mg/h
5-15 mg/h
50 mg / 2-4 minggu
12-24 mg/h
10-15 mg/h
25 mg / 2-4 minggu
Tab.25 mg
Amp. 25 mg/ml
Tab. 1 mg, 5 mg
Tab. 50 mg, 100 mg
Tab. 200 mg
Amp. 50 mg/ml
Tab. 4 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 2 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 25 mg, 100 mg
Tab. 25 mg, 100 mg, 200 mg
Tab. 5 mg, 10 mg
25-50 mg/h
10-15 mg/h
150-600 mg/h
300-600 mg/h
2-4 mg/h
Tab 2-6 mg/h
25-100 mg/h
50-400 mg/h
10-20 mg/h
36
Sharma (2001) menyatakan bahwa 3 gejala yang menonjol pada gangguan jwa
skizofrenia adalah gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif. Sebagaimana
diketahui meskipun gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia telah dapat diatasi,
namun bila fungsi kognitif tidak dipulihkan, maka penderita tidak mempunyai
kemampuan untuk berpikir dan mengingat yang amat penting bagi menjalankan fungsi
kehidupannya sehari-hari. Sehingga dengan demikian bila ketiga gejala-gejala tersebut di
atas dapat diatasi, maka penderita skizofrenia dapat hidup produktif dan mendiri. Hal ini
dimungkinkan dengan ditemukannya obat anti skizofrenia golongan atypical.
Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemakaian obat
golongan typical pada 30% penderita skizofrenia tidak memperlihatkan perbaikan klinis
secara bermakna. Diakui bahwa golongan typical ini mampu mengatasi gejala positif
skizofrenia, tetapi kurang efektif untuk mengatasi gejal-gejala negatif, gejala kognitif dan
efek samping EPS. Sedangkan obat golongan atypical dapat mengatasi gejala-gejala
positif, negatif, mencegah efek samping EPS dan memulihkan fungsi kognitif.
Dengan terapi psikofarmaka sesungguhnya gangguan jiwa skizofrenia dapat
diobati dan disembuhkan dalam arti manageable dan controllable. Penderita skizofrenia
tidak harus meminum obat seumur hidup, sebab kadang kala perjalanan gangguan jiwa
skizofrenia ini sewaktu-waktu dapat mengalami remisi, karena pada hakekatnya penyakit
ini merupakan self limitting process.5
4.1.1 Obat-obat yang digunakan
Antipsikotik merupakan obat utama yang digunakan dalam terapi psikofarmaka
untuk penderita skizofrenia. Bagaimanapun, obat-obat lain mungkin digunakan untuk
mengatasi gejala anxietas, gangguan tidur, depresi, gangguan mood, juga untuk
mengurangi efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan obat utama.
4.1.1.1. Neuroleptik (Antipsikotik)
Golongan obat ini biasanya sangat esensial untuk mengendalikan gejala-gejala
skizofrenia. Beberapa gejala yang sangat berespon terhadap obat golongan antipsikotik
antara lain, gangguan pikiran, halusinasi, waham (waham hubungan, waham kejar, dan
lain sebagainya).
37
38
berespon cukup cepat terhadap terapi. Umunya, pasien dengan penggunaan obat ini
mengalami, kekakuan, perlambatan gerak, gemetaran dan atau gelisah.
Efek samping lain yang juga sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik yaitu,
mengantuk, faintness, mulut kering, pengelihatan kabur, sensitivitas meningkat terhadap
sinar matahari, dan konstipasi. Beberapa pria mengeluh mengalami kesulitan ejakulasi,
sementara beberapa wanita mengalami gangguan siklus haid, dan pada kedua kelompok
jenis kelamin pernah didapatkan laporan bahwa beberapa dari mereka mengalami
galacthorrea. Kondisi-kondisi ini biasanya reversibel dengan dikuranginya dosis
antipsikotik yang digunakan, atau dengan mengganti antipsikotik yang sedang digunakan
atau dengan menambahkan obat tambahan lain yang berfungsi sebagai penekan gejala
efek samping yang terjadi. Antipsikotik mungkin dipergunakan dalam jangka waktu yang
lama, dan pada beberapa kasus, seumur hidup pasien. Dosis terapeutik mungkin dapat
dikurangi secara bertahap seiring kemajuan penyakit pasien. Pengurangan dosis dapat
dipertimbangkan, setelah pasien tetap berada dalam keadaan gejala terkendali selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Jika pasien mengalami efek samping yang
membuatnya tidak nyaman, klinisi mungkin dapat mengurangi dosis obat lebih cepat,
meskipun dengan resiko meningkatnya kemungkinan relapse. Jika terjadi relapse
peningkatan dosis sesaat dari obat tersebut mungkin diperlukan. Ketika gejala penyakit
telah kembali terkendali, pengurangan dosis harus dipertahankan pada level sedikit lebih
tinggi dari pada pemberian dosis rendah sebelumnya. Pengurangan dosis lebih lanjut
sebelum satu tahun terapi, adalah tidak dianjurkan.
Efek samping jangka panjang yang umum terjadi yaitu tardive dyskinesia. Setelah
beberapa bulan atau biasanya beberapa tahun, beberapa pasien dapat mengalami gerakangerakan otot yang sifatnya involunter, yang biasanya terjadi pada otot wajah juga otot
otot anggota gerak. Penetalaksanaan terbaik untuk kondisi ini adalah pencegahan, dan
oleh karena itu pasien harus mempertahankan dosis terendah yang paling mungkin untuk
memberikan efek terapeutik. Karena terdapat kemungkinan pengurangan dosis yang
dilakukan secara cepat dapat menyebabkan gangguan tersebut semakin jelas, sehingga
sangat disarankan untuk mengurangi dosis secara bertahap dengan selisih penurunan
relative kecil. Akan tetapi efek samping tardive dyskinesia ini meskipun tidak ringan,
umumnya tidak sampai membuat pasien merasa tidak nyaman menggunakan obat ini.
39
4.1.1. 2. Antiparkinson
Terpisah dari antipsikotik, obat-obat antiparkinson merupakan obat lain yang
paling sering diresepkan dalam terapi skizofrenia, meskipun obat-obat golongan ini tidak
bersifat causative. Beberapa obat antiparkinson antikolinergik yang sering digunakan
antara lain, benztropine mesylate (Cogentin), trihexyphenidyl (Artane), procyclidine
(Kemadrin), amantadine (Symmetrel).
Obat golongan in juga sering disebut terapi efek samping. Antiparkinson
diindikasikan pada kondisi dimana efek samping gangguan otot yang timbul akibat
penggunaan antipsikotik sudah sampai membuat pasien merasa tidak nyaman. Dosis
pemberian bergantung pada derajat ketidaknyaman pasien. Jika dibutuhkan, pemberian
dalam dosis tunggal lebih dianjurkan dan paling baik diminum saat pasien terjaga, agar
pasien dapat benar-benar merasakan kerja obat tersebut. Obat golongan ini sangat efektif
untuk mengatasi kekauan otot dan tremor serta dapat juga membantu mengatasi gelisah.
Bagaimana pun, obat-obat ini mungkin dapat memperburuk gejala lainnya seperti
pengelihatan kabur, dan mulut kering. Suatu keadaan toxic confusional state dapat terjadi
pada pemberian dosis yang berlebih, dan dapat menyebabkan klinisi menetapakan
diagnosa yang salah, karena keadaan ini sangat mirip dengan keadaan dimana terjadi
kekambuhan penyakit utama.
Beberapa psikiater menyarankan pemberian antiparkinson sebagai terapi
profilaksis untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi, sementara beberapa
psikiater lain menyarankan agar antiparkinson baru diberikan pada saat efek samping
gangguan otot telah muncul, pada kelompok yang terakhir, mereka berpegang pada
prinsip dimana sebenarnya tidak ada satupun obat yang tidak mempunyai efek samping
sama sekali. Bagaimanapun, ketika seorang pasien harus menerima terapi antipsikotik
dosis tinggi, adalah penting untuk mencegah berkembangnya efek samping yang
menakutkan atau yang dapat membuat pasien tidak nyaman. Sebaliknya, pada saat
tercapai keadaan dimana gejala penyakit utama telah terkontrol dan dosis terapi
antipsikotik mulai diperkecil, dosis terapi antiparkinson yang diberikan dapat dikurangi
atau dihentikan.
40
2.
41
42
mengalami depresi karena kondisi dasar yang tidak menyenangkan. Karena sebagian
besar pasien-pasien skizofrenia sering mengalami depresi karena kondisi yang memang
tidak menyenagkan (bukan karena perubahan biokimiawi), penggunaan antidepressant
sering tidak banyak menolong. Jika antidepressant dibutuhkan, obat-obat ini memerlukan
waktu sampai dengan 2 minggu, sebelum efek terapeutik obat tersebut tercapai. Obatobat ini dapat memperburuk efek samping antipsikotik dan antiparkinson (misal, mulut
kering dan pengelihatan kabur). Efek samping yang mempengaruhi fungsi lain dari tubuh
juga dapat terjadi.
4.1.1. 5. Mood Stabilizers
Mood stabilizers are used for mood disorders, e.g. manic depressive illness. They
also have a role in schizophrenic illness complicated by a mood disorder. The most
frequently used drugs in this category are lithium and carbamazepine.
a) Lithium is a naturally occurring element that is usually prescribed in its lithium
carbonate salt form. It is used to keep extreme mood swings in check. It is a very
useful and effective drug but it must be monitored carefully in the body to ensure that
the blood level does not reach toxic amounts. Most people need a blood level of
between 0.6 and 1.2 milli-equivalents / litre.
The balanced level can be influenced by drinking too much water or other
beverages, sweating too much through hard work or in hot weather, excessive fluid
loss, either through bowel or urine, and changing salt intake. Anyone taking this
medication should request guidelines concerning its use.
b) Anticonvulsant drugs Carbamazepine (Tegretol), an anticonvulsant used for epilepsy,
is another drug used as a mood stabilizer. Neither lithium nor carbamazepine are
required frequently in the management of schizophrenia. If toxicity occurs when
using these drugs, they should be stopped.
4.1.1. 6. Lain-lain
The following drugs are used rarely in schizophrenia:
a) Beta-blockers - Perhaps the best known medication of this group is called
propranolol (Inderal). This medication has a number of uses outside psychiatry,
43
for example, to control heart problems like angina, high blood pressure and
irregular heart beats. It was thought that propranolol might have an antipsychotic
role in the treatment of schizophrenia. However it was not as helpful as many of
the safer and more widely used medications. Its main value in psychiatry is in
reducing the fine tremor associated with lithium use.
b) Megavitamins - In the late 1960's and early 1970's use of large doses of B-group
vitamins was recommended for the treatment of schizophrenia. When studies
were carried out to evaluate the usefulness of this approach, they were found to be
no more useful than placebo but certain physicians and groups of lay individuals
still advocate their use. This approach also requires stringent dietary regulations
and patients unwilling to take antipsychotic medication will likely have even
greater difficulty accepting such a limited diet. In addition, the large doses of
daily vitamins may make patients hot and flushed and cause them to feel
uncomfortable. More serious side-effects have also been reported, e.g. gouty
arthritis, liver problems.
c) Minerals - There are approximately 17 minerals required for normal body
function. Amounts required vary for each one but all requirements can be met in a
reasonably balanced diet. No mineral deficiency or excess has been associated
with schizophrenia.
4.1.1. 7. Obat-obat/ Zat yang Tidak Diresepkan
When a person suffering from schizophrenia starts taking drugs that are not
prescribed by a physician many relatives become concerned.
They wonder whether the non-prescribed drug may be harmful when mixed with
the psychiatric medication. Will it hinder the recovery process and later result in relapse?
To respond to these and other questions a brief outline of some street and over-thecounter drugs and their possible effects follows:
a) Obat bebas
LSD, amphetamines, cocaine and other hallucinogens can cause psychosis on
their own and because of questionable sources may have unpredictable effects which
makes their use even more dangerous. Persons who suffer from schizophrenia and other
44
long-term mental illness have an increased potential for undesirable reactions when
taking such street drugs. Consciousness altering street drugs (e.g. marijuana) tend to
counteract the effects of antipsychotic medication, thus they can make a person ill again.
The individual may misjudge the passage of time so that a few minutes may seem like an
hour. Perception of colour, sound and other sensations may be sharpened or distorted. The
attention may be impaired, short term memory, logical thinking, and the ability to
perform complex tasks (such as driving a car) becomes difficult. The user may also
experience confusion, restlessness, excitement, hallucinations or paranoid feelings.
In addition, with regular use, physical discomfort such as diarrhea, stomach
cramps, weight loss or gain, loss of sex drive, bronchitis and other respiratory diseases
may occur. More potent hallucinogens can have even more devastating effects.
b) Alkohol
Alcohol's effect on a person depends on the amount consumed, the rate of
consumption, and the rate of absorption and elimination. There is no formula to indicate
how much alcohol can be consumed safely with medications. Each individual reacts
differently to alcohol which is a central nervous system depressant (slowing down
various body functions). Mixing alcohol with any drug can be dangerous so it is
important to discuss the matter with the doctor. Generally speaking, occasional drinking
does not aggravate schizophrenic symptoms, though alcohol can make certain drugs more
potent, e.g. benzodiazepines.
c) Caffeine
Caffeine is a stimulant to the brain and is found in coffee, tea, cola drinks,
chocolate, etc. As it may increase anxiety, agitation and akathisia (restlessness), it is wise
to take caffeine-containing substances only in small amounts. Caffeine should be avoided
in the evening by people who have difficulty in sleeping. If psychiatric medication causes
thirst and dryness of the mouth, substitute beverages that are less stimulating and are
good for weight reduction. Try skim milk, diet non-colas, decaffeinated coffee and herb
teas, fruit juices or water.
d) Over-the-counter Drugs
Acetylsalicylic acid (Aspirin) - There is no documented evidence regarding
adverse drug interaction with antipsychotic medication, however, caution should be
45
observed in overuse as acetylsalicylic acid (ASA) on its own has wide-ranging effects on
the body.
Antacids - Examples include; Maalox, Gelusil, Diovol, Riopan. These
preparations tend to interfere with the proper absorption of neuroleptics. The full effect of
the neuroleptic may be diminished. Therefore antacids should be taken one hour before or
after taking neuroleptics.
Cold Medicines - Many cold medicines are a combination of antihistamines and
ephedrine-like drugs. They may make you sleepy and irritable. If you are concerned
about the safety of these preparations, consult your pharmacist or discuss concerns with
your therapist. Caution should be observed to avoid overuse of these drugs.
Sleeping Aids - Over-the-counter sleeping pills such as Nytol, Nervine, Sominex, Sleepeze, etc., all contain antihistamines which may make you drowsy and lethargic on the
following day. Symptoms are similar to those of a hangover. Rather than using sleeping
aids, try sleeping and waking at regular times, moderate exercise an hour or two before
bedtime, reading at night and a glass of warm milk, or Ovaltine. Sleep in a dark, quiet,
comfortable room allowing enough winding-down time from daily activities.
Avoid sleeping aids, prolonged use of sedatives, napping during the day, arguing
and working in bed. Also alcohol, caffeine, tobacco and eating late at night may all
disturb sleep. If sleep difficulties persist, talk to your doctor.
Pep Pills - (uppers) such as methylphenidate (Ritalin), diet pills and other
amphetamine-related drugs stimulate the central nervous system and can alter the mood
to varying degrees. These drugs are dangerous as they tend to mask one's feelings, create
a false sense of energy and are habit-forming. Some of these drugs on their own may
cause psychotic reactions and should be avoided especially by anyone with a history of
psychiatric illness.
4.1.2. Efek Samping yang Sering Terjadi dan Penaggulangannya
4.1.2.1 Mengantuk
This occurs commonly with many medications including neuroleptics and
antidepressants.
46
47
48
Psikoterapi ini banyak macam dan ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar
belakang penderita sebelum sakit (pramorbid). Psikoterapi yang sering diterapkan antara
lain :
a. Psikoterapi Suportif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan
motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit)
dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun.
b. Psikoterapi Re-edukatif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang
maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan
ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita
lebih adaptif terhadap dunia luar.
c. Psikoterapi Rekonstruktif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (rekonstruksi)
kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula
sebelum sakit.
d. Psikoterapi Kognitif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif
(daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai
moral etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak, mana
yang halal dan haram, dan lain sebagainya.
e. Psikoterapi Psikodinamik
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk
mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat memahami
kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri
(defense mechanism) dengan baik.
f. Psikoterapi Perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu berfungsi
49
50
51
diintegrasikan
dengan
jenis-jenis
terapi
lainnya
termasuk
keterampilan
(occupational therapy). Dalam lembaga rehabilitasi ini para penderita merupakan suatu
kelompok atau komunitas dimana terjadi interaksi antara sesama penderita dan dengan
para pelatih (sosialisasi). Program rehabilitasi ini tidak hanya diikuti oleh penderita yang
dirawat inap, tetapi juga dapat diikuti oleh penderita yang dirawat jalan; yaitu pagi hingga
sore hari penderita berada di lembaga rehabilitasi, sedangkan malam harinya pulang
menginap di rumah masing-masing (day care)
Program rehabilitasi sebagai persiapan kembali keluarga dan ke masyarakat
meliputi berbagai macam kegiatan, antara lain :
1. Terapi kelompok
2. Menjalankan ibadah keagamaan bersama (berjamaah)
3. Kegiatan kesenian (menyanyi, musik, tari-tarian, seni lukis dan sejenisnya)
4. Terapi fisik berupa olah raga (pendidikan jasmani)
5. Keterampilan (membuat kerajinan tangan)
6. Berbagai macam kursus (bimbingan belajar/les)
7. Bercocok tanam (bila tersedia lahan)
8. Rekreasi (darmawisata)
9. Dan lain sebagainya
Lembaga rehabilitasi yang ideal seyogyianya memiliki sarana dan prasarana yang
memadai serta para pengasuh/ pelatih/ pembimbing (instruktur) yang profesional, terdiri
dari psikiater, psikolog, pekerja sosial, guru agama, guru kesenian, guru olah raga, guru
keterampilan, guru bimbingan belajar/les, guru pertanian dan lain-lain yang terkait.
Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara
berkala dilakukan evaluasi paling sedikit 2 kali, yaitu evaluasi sebelum mengikuti
program rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga
dan masyarakat. Bila program rehabilitasi dapat diikuti dengan baik, maka diharapkan
52
bila penderita kembali ke keluarga dan masyarakat sudah mempunyai keterampilan dan
penyesuaian diri yang lebih baik sehingga produktivitas kerjanya dapat dipulihkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Russel Barton (1970) menyatakan bahwa 50% dari
penderita skizofrenia kronis yang menjalani program rehabilitasi dapat kembali produktif
dan mampu menyesuaikan diri kembali di keluarga dan masyarakat.
Program rehabilitasi bagi penderita kronis ini semakin memberi harapan yang
jauh lebih baik dibandingkan masa lalu, karena ditemukannya obat-obat psikofarmaka
yang lebih canggih, dan juga obat obat psikofarmaka yang memiliki efek jangka
panjang (long acting transquilizer). Misalnya sejenis obat psikofarmaka dalam suatu
bentuk cairan yang dengan satu kali suntikan mempunyai khasiat terapi antara 2-4
minggu. Dengan demikian penderita tidak terlalu direpotkan dengan setiap hari
mengkonsumsi obat, cara ini lebih praktis dan angka kekambuhan dapat ditekan
seminimal mungkin. Perlu diketahui bahwa salah satu penyebab utama kegagalan terapi
dan seringnya kekambuhan, adalah bahwa penderita tidak disiplin mengkonsumsi obat
dengan teratur rutin setiap harinya. Penderita mengeluh bosan, jenuh, dan merasa tidak
sembuh-sembuh dari penyakitnya, atau merasa dirinya sudah sembuh serta banyak lupa,
yang akibatnya penderita tidak mengkonsumsi obat dan pada gilirannya penyakitnya
kambuh. Oleh karena itu diperlukan peran keluarga untuk selalu memonitor pemakaian
obat psikofarmaka pada penderita, jangan dikurangi atau dihentikan sebelum
berkonsultasi dengan dokter.
53
BAB V
PROGNOSIS
5.1. Prognosis
Varies widely, as with any chronic disorder. Perhaps 15-25% will recover
completely from an acute episode of psychosis, 10% will have ongoing severe problems
and the remainder a fluctuating course with reasonable function.8
Good prognostic factors:
Clear precipitant
Acute onset
Mood disturbance
Prompt treatment
5.2. Kekambuhan
Strong tendency for recurrence.
50% of patients treated will relapse and require readmission within the first 2
years.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari, H. Dadang,dr. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa SKIZOFRENIA.
Edisi 2. Cetakan I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.
2. Berrnheim, Kayla F., Lewine, Richard R.J., Beale, Caroline T.
3. U.S. National Institute of Mental Health
4. The Caring Family; Living with Chronic Mental Illness. Canada. 1982.
5. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook of
Psychiatry. 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia 2000. p.471-503.
6. Lambert, Timothy JR & David J Castle. Pharmacological approaches to the
management of schizophreni.
http://www.mja.com.au/public/issues/178_09_050503/lam10582_fm.html
7. Maslim, Rusdi, dr, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atma Jaya. Jakarta 2001. hal 14-15.
8. Thornton, John F, M.B., F.R.C.P.(C). Et all. Schizophrenia : The Medications.
http://www.mentalhealth.com/book/p42-sc3.html--.Clarke Institute of Psychiatry.
Department of Psychiatry. University of Toronto.
9. Schizophrenia - Patient UK.htm.
10. US Surgeon General.
55
56