Вы находитесь на странице: 1из 228

Jelajah Nusantara 2

Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti Kesehatan


Penulis

Agung Dwi Laksono


Elia Nur Ayunin
Ade Aryanti Fahriani
Ummu Nafisah
Nor Efendi
Astutik Supraptini
Sutamin Hamzah
Izzah Dienillah Saragih
Harus Alrasyid
Lafi Munira
Siti Khodijah Parinduri
Editor

Prof. Lestari Handayani


Tri Juni Angkasawati

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Jelajah Nusantara 2. Catatan Perjalanan Sebelas Orang Peneliti


Kesehatan
2015. Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Penulis:
Agung Dwi Laksono, Elia Nur Ayunin, Ade Aryanti Fahriani,
Ummu Nafisah, Nor Efendi, Astutik Supraptini, Sutamin Hamzah,
Izzah Dienillah Saragih, Harus Alrasyid, Lafi Munira,
Siti Khodijah Parinduri
Editor:
Prof. Lestari Handayani
Tri juni Angkasawati
Penata Letak ADdesign
Desain Sampul ADdesign
Cetakan Pertama Agustus 2015
Buku ini diterbitkan oleh:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Telp. +6231-3528748, Fax. +6231-3528749

ISBN: 978-602-235-876-3

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

ii

Pengantar
Buku Jelajah Nusantara 2, Catatan Sebelas Orang
Peneliti Kesehatan ini merupakan edisi ke-dua sebagai
kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan yang sama
pada edisi pertama. Pada edisi ke-dua ini yang membedakan
adalah bahwa catatan perjalanan ini ditulis oleh sebelas
orang peneliti.
Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan
penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas
sebagai seorang peneliti. Sebuah catatan yang sebetulnya
bukan sebuah tugas pokok yang harus diemban.
Rasa keprihatinan, trenyuh, empati... semuanya
bercampur baur dalam buku ini, seiring realitas masih
lebarnya rentang variabilitas ketersediaan pelayanan
kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga kebanggaan
membersit kuat saat kearifan lokal begitu kental mewarnai
langkah dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.
Cerita tentang setiap sudut negeri di wilayah-wilayah
terpencil, pulau-pulau terluar, ataupun wilayah yang jauh
lebih dekat ke Negara tetangga daripada ke wilayah lain di
Republik ini.
Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini
mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan
perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya
nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita,
tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai
wilayah-wilayah perbatasan negeri.

iii

Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk


bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini.
Sungguh kami berharap banyak untuk itu!
Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.
Salam!

Surabaya, Agustus 2015

- Pusat Humaniora -

iv

Daftar Isi
Pengantar
Daftar Isi

iii
v

1.

Terlalu Dini Bokondini; Catatan Perjalanan


ke Kabupaten Tolikara
Agung Dwi Laksono

2.

Pengobatan SUANGGI dalam Harmonisasi


Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung
Tomer, Merauke
Elia Nur Ayunin

17

3.

Kesikut Talaud
Agung Dwi Laksono

27

4.

Menilik Sudut Utara Indonesia; Sebuah


Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas
Ade Aryanti Fahriani

33

5.

Tour de Nenas; Catatan Perjalanan ke Kab.


Timor Tengah Selatan
Agung Dwi Laksono

49

6.

Surga Kecil Raijua; Catatan Perjalanan ke Pulau 69


Raijua
Agung Dwi Laksono

7.

Sambujan, Desa dengan Penduduk Bermata


Pencaharian Ganda
Ummu Nafisah

91

8.

Malaikat Tanpa Sayap di Sei Antu


Nor Efendi

103

9.

Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan


Masyarakat??! Catatan Perjalanan ke Kota
Banjarmasin
Agung Dwi Laksono

119

10.

Tradisi Betimung, Sekilas Potret Perkawinan


Anak di Suku Banjar Bakumpai Muara
Sungai Barito
Astutik Supraptini

129

11.

Mengenal Banjar Lebih dekat, Catatan


Perjalanan Di Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan
Sutamin Hamzah

143

12.

Cerita dari Pulau Sapudi


Izzah Dienillah Saragih

165

13.

Romantisme Kebun Sayur; Catatan Perjalanan 179


ke Suku Tengger di Desa Ngadiwana
Agung Dwi Laksono

14.

Menapak Mesuji; Feminisme Bioepik


Daerah konflik
Harun Alrasyid

vi

185

15.

Bidan Desa Tumpuan Harapan; Catatan


Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur
Lafi Munira

195

16.

Aceh yang Mempesona Tak Habis oleh


Tsunami; Catatan Perjalanan ke Kabupaten
Aceh Utara
Siti Khodijah Parinduri

203

vii

Ini tugas berat, tentu saja!


karena itulah kita ada
-ADL-

viii

Terlalu Dini Bokondini;


Catatan Perjalanan ke Kabupaten Tolikara
Agung Dwi Laksono

Distrik Bokondini, Tolikara, 14 Mei 2015


Perjalanan kali ini masih dalam rangkaian supervisi
kegiatan Riset Ethnografi Kesehatan Tahun 2015. Kali ini saya
harus kembali menempuh perjalanan ke wilayah Pegunungan
Tengah Papua, tepatnya di Distrik Bokondini Kabupaten
Tolikara.
Kabupaten Tolikarapada tahun 2014 memiliki luas
wilayah daratan yang mencapai 14.263 km2. Kabupaten yang
beribukota di Karubaga ini terbagi menjadi 46 kecamatan
atau distrik, 541 desa dan empat kelurahan. Kabupaten yang
memiliki jumlah penduduk sebanyak 292.009 jiwa (data
tahun 2013) ini berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo
Raya di sebelah Utara, Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten
Lany Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya di
sebelah Barat dan Kabupaten Mamberamo Tengah di
sebelah Timur (Profil Kabupaten Tolikara Tahun 2014).

Gambar 1.
Posisi Kabupaten Tolikara dalam Peta Papua
Sumber: Pemerintah Provinsi Papua

Kabupaten Tolikara merupakan kabupaten peringkat


497 dari 497 kabupaten/kota dalam pemeringkatan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang
didasarkan pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) yang dilaksanakan pada tahun yang sama. Survei
Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. IPKM
terdiri dari 30 indikator pembangun dan di hampir semua
indikator Tolikara mempunyai angka yang kurang bagus,
kalau saya tidak boleh mengatakan jelek.
Kami menanam dua peneliti riset etnografi
kesehatan untuk grounded di sana, seorang Sarjana
Kesehatan Masyarakat, dan seorang lagi antropolog.
2

Setidaknya sampai 40 hari mereka menetap dan berbaur


dengan masyarakat setempat di Distrik Bokondini.
Perjalanan menuju Distrik Bokondinidari Wamena
ditempuh dengan menggunakan mobil double gardan, karena
mobil carteran biasa macam avanza atau xenia tak akan
mampu menembus sampai ke sana. Semacam off road yang
sebentar saja, tiga jam, tidak selama perjalanan off road
tahun lalu saat saya harus grounded di Boven Digoel selama
dua bulan.
Selain jalur darat, Distrik Bokondini juga bisa
ditembus melalui jalur udara. Sudah ada bandara dengan
landasan yang cukup bagus, hot mix! Hanya saja tidak
tersedia pesawat reguler yang mendarat di bandara yang
berkode penerbangan BOE ini. Pesawat yang sering
mendarat di bandara ini adalah jenis pesawat carter dari
maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air.
Harga sekali carter pesawat rata-rata mencapai Rp. 25 juta.

Gambar 2.
Landasan Pacu Bandara Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tentang Bokondini
Distrik Bokondini dihuni masyarakat asli yang
didominasi oleh suku Lany. Hanya sebagian kecil saja
masyarakat yang bersuku lain, yang pada umumnya adalah
para pendatang. Distrik Bokondini sebelumnya bernama
Bogondini sejak sebelum zaman kolonial. Sebuah nama yang
merujuk pada sungai deras yang melintasi wilayah
Pegunungan Tengah berhawa dingin ini, Sungai Bogo.
`
Memasuki wilayah Distrik Bokondini saat pagi seperti
mendatangi suatu lokasi yang penuh dengan aura magis.
Bagaimana tidak? Halimun tebal tak pernah absen
menyelimuti wilayah ini di saat pagi hari. Bahkan matahari
pun seperti tak bernyali. Setidaknya sampai menjelang siang,
sekitar jam 10 pagi.

Gambar 3.
Sungai Bogo
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 4.
Suatu Pagi di Kota Bokondini.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 5.
Berjalan-jalan di Tengah Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Distrik Bokondini mempunyai kondisi yang hampir


sama dengan distrik-distrik lain di wilayah Pegunungan
Tengah yang sepi dan minim fasilitas. Kota Bokondini,
demikian warga yang tinggal di wilayah ini menyebut

wilayahnya. Sebuah harapan yang sangat tinggi digantungkan


untuk masa depan dengan menyebutnya sebagai kota.

Gambar 6.
Sudut Lain Kota Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Suku Lany di Bokondini saat ini sudah mulai


meninggalkan honai sebagai model rumah tinggal. Mereka
memodifikasi bentuk honai dengan bahan-bahan yang lebih
modern produksi pabrik. Mereka menyebut honai modifikasi
ini sebagai honai semi modern. Beberapa honai yang masih
tersisa rata-rata sudah berumur cukup tua. Sementara
generasi yang lahir belakangan lebih memilih rumah papan
sebagai pilihan model rumah tinggal yang baru.

Gambar 7.
Honai (Kiri); Honai Semi Modern (Kanan Atas);
dan Rumah Papan (Kanan Bawah)
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kondisi Perekonomian
Hampir seluruh masyarakat asli bermata pencaharian
menjadi petani kebun. Nanas Bokondini merupakan salah
satu buah ikonik wilayah ini yang terkenal sangat manis.
Buah manis lainnya, Markisa, juga tersedia melimpah.
Markisa dijual seharga Rp. 5.000,- per ikat, yang berisi sekitar
5 biji. Sementara nanas yang berukuran besar dijual seharga
Rp. 10.000,- per bijinya. Komoditas hasil kebun lain hampir
sama dengan hasil di wilayah Pegunungan Tengah lainnya,
yang terdiri dari singkong atau kasbi, ketela atau ipere atau
batatas, talas, jahe, pisang, dan buah merah.

Gambar 8.
Menawar Markisa
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Masyarakat Bokondini membuka lahan baru yang


akan dijadikan kebun dengan cara yang masih sangat
tradisional, dibakar. Mereka membakar perdu dan rumput
liar di beberapa lokasi yang cenderung tidak terlalu rapat
dengan tanaman keras, hanya. Meski lokasi telah dipilih,
tetap juga terkadang masih terselip ketakutan, api akan
merambat menjilat pepohonan yang lebih luas dari yang
direncanakan.

Gambar 9.
Pembukaan Lahan Baru dengan Membakar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di pasar Kota Bokondini, pedagang hasil kebun dan


sayur mayur seratus persen dikuasai oleh warga asli.
Masyarakat pendatang dilarang berjualan komoditas
tersebut. Para pendatang, yang umumnya dari Toraja dan
Bugis, boleh berjualan komoditas lainnya di kios-kios di
sekeliling pasar, kebanyakan adalah komoditas hasil
pabrikan. Pasar Bokondini dibuka tiga kali dalam seminggu,
yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu. Pasar biasa ramai pada pagi
hari sampai dengan sekitar pukul 10.00 WIT.
Sebagai gambaran kondisi perekonomian di wilayah
ini, harga bensin, solar dan minyak tanah cenderung sama di
wilayah ini, sebesar Rp. 25.000,- per liter. Harga air mineral
600 ml merek Aqua Rp. 15.000,-, sementara air mineral
merek lain Rp. 10.000,-. Sebagai pembanding, pada tahun
2012 di Oksibil (ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang,
9

salah satu kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah yang


berbatasan langsung dengan Papua Nugini), harga air mineral
600 ml merek Aqua sudah mencapai harga Rp. 15.000,- per
botol. Sementara kemasan botol yang 1,5 liter dijual seharga
Rp. 45.000,-, jauh lebih mahal daripada harga solar per liter
yang hanya seharga Rp. 35.000,-.

Gambar 10.
Pasar Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berita Pemekaran
Para tokoh masyarakat Bokondini saat ini sedang
mempersiapkan pemekaran wilayah. Bokondini akan
melepaskan diri dari Kabupaten Tolikara, berdiri sendiri
menjadi sebuah kabupaten terpisah, Kabupaten Bogoga,
dengan ibukota Kota Bokondini.

10

Gambar 11.
Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Euforia pemekaran ini sangat terasa di Bokondini.


Para pemuda berlomba-lomba ikut kursus komputer, nanti
saya bisa jadi anggota DPR to! celetuk salah seorang di
antaranya. Sementara beberapa yang dewasa lainnya
menjamu mewah saat tim yang mengupayakan pemekaran
datang berkunjung ke Bokondini. Menyembelih babi seperti
menjadi sebuah keharusan saat menjamu tim ini, Saya
dijanjikan menjadi kepala desa pak

Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan


Ada satu Puskesmas yang berdiri di Distrik Bokondini,
Puskesmas Bokondini. Puskesmas yang dikepalai oleh
seorang putri daerah ini merupakan Puskesmas perawatan
dengan kapasitas tiga tempat tidur. Menurut keterangan
dokter Poby Karmendra (27 tahun), Puskesmas Bokondini

11

merupakan salah satu Puskesmas percontohan di Kabupaten


Tolikara. Lebih lanjut dokter PTT asal Padang Minangkabau
yang masa baktinya habis pada tahun 2015 ini menjelaskan
bahwa pada saat ini kondisi pelayanan kesehatan di Distrik
Bokondini sudah jauh lebih bagus daripada sebelumnya.
Sejak dipimpin oleh Ona Pagawak, SKM ada perubahan pak.
Mama Ona lebih transparan, membuat suasana kerja di
Puskesmas lebih kondusif, semua dibicarakan secara
terbuka jelas dokter Poby.

Gambar 12.
Puskesmas Bokondini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Puskesmas yang baru pindah ke gedung baru pada


tahun 2014 ini menurut pengakuan para petugas setidaknya
melayani empat distrik. Iya pak, kami melayani empat
distrik. Bokondini, Bewani, Kanero dan Kamboneri. Meski
kadang masyarakat di Kamboneri lebih memilih berobat di
Puskesmas Mamberamo Tengah, kilah Habibi Mahmud (23

12

tahun), perawat kontrak asal Palopo yang bertugas di


Puskesmas Bokondini.
Empat distrik! Suatu hal yang mustahil! Distrik adalah
sebutan lain dari kecamatan di pemerintahan daerah di
Jawa, tentu saja dengan paparan wilayah yang lebih luas dan
lebih ektrem di Papua. Masyarakat seringkali sulit untuk
mencapai Puskesmas dalam satu distrik sebagai akibat
topografi wilayah Bokondini yang bergunung-gunung. Empat
distrik???
Ada dua Puskemas Pembantu (Pustu) yang menjadi
kepanjangan Puskesmas Bokondini. Ooo Pustu ya pak?
Ada dua Pustu, tapi petugasnya gak pernah ada pak,
terang Habibi. Puskesmas Bokondini menurut catatan
kepegawaian memiliki 26 petugas, tetapi pada hari Rabu,
tanggal 13 Mei 2015 saya mendapati hanya 9 orang petugas
saja yang ada di Puskesmas. Semoga mereka sedang dinas
luar atau kunjungan lapangan. Semoga.
Puskesmas Bokondini menyelenggarakan satu
Posyandu saja untuk pelayanan balita di seluruh wilayah
kerjanya pada setiap bulan. Posyandu yang diselenggarakan
di Puskesmas Bokondini ini dilaksanakan pada minggu ke-dua
yang dibuka menyesuaikan dengan hari pasaran. Posyandu
terakhir minggu lalu setidaknya ada 30 balita yang datang
dan berkunjung.
Pelayanan Posyandu mencakup timbang badan dan
pemberian vaksin. Tidak ada Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) seperti pelaksanaan Posyandu di tempat lain. Menurut
pengamatan saya, balita di Bokondini cenderung stunting
(pendek), meski saya tidak bisa mengkonfirmasi hal ini
13

karena pencatatan pada KMS yang kurang baik. Tidak ada


pengukuran tinggi badan, dan seringkali kolom tanggal lahir
dibiarkan kosong tak berisi.
Pelaksanaan Posyandu dimotori oleh kader kesehatan
untuk menggerakkan masyarakat yang mempunyai balita.
Seluruh kegiatan pelaksanaan Posyandu dilayani oleh
petugas kesehatan. Para kader kesehatan ini setiap bulan
mendapatkan honor, Rp. 500.000,- setiap bulan. Angka ini
cukup fantastis dibandingkan dengan rekan-rekannya di Jawa
yang setahu saya berada pada kisaran Rp. 15.000,- sampai
dengan Rp. 50.000,- setiap bulan.
Menurut dokter Poby, untuk memperluas jangkauan
pelayanan Puskesmas juga melatih para kader untuk dapat
memberikan terapi pengobatan. Perawat Puskesmas, Habibi,
menambahkan bahwa hanya dipilih beberapa kader yang
dinilai cakap dan pintar untuk dapat memberikan layanan
pengobatan tersebut. Ahh kita tidak sedang membahas UU
Praktek Kedokteran dalam diskusi kali ini.
Kondisi yang sangat memprihatinkan pada saat ini
adalah kenyataan bahwa pada tahun 2015 ini, sejak Januari
sampai dengan saat ini ada 46 orang penderita baru
HIV/AIDS yang diketemukan lewat skrining di Puskesmas
Bokondini. Jenis penyakit menular seksual lainnya juga
diketemukan berbanding lurus dengan penderita HIV/AIDS
tersebut.
Rupanya praktek seks bebas di masyarakat turut
mempercepat persebaran penyakit yang lekat dengan stigma
ini. Itu pak masyarakat di sini itu suka itu apa tukar
gelang. Tukar gelang adalah tradisi orang Lany saat ada
14

perayaan pesta, yang artinya apabila tukar gelang sudah


dilakukan, maka mereka bebas untuk melakukan
hubungan. Hal ini masih belum ditambah dengan tradisi
lain yang diimport dari Wamena, goyang oles, bergoyang
dansa saat pesta-pesta, berpasangan sambil merapatkan
badan, oles-oles, yang berlanjut pada tingkatan yang lebih
intim.
Banyak hal yang masih harus dibenahi sebelum
pemekaran benar-benar dilanjutkan. Banyak PR yang
seharusnya diselesaikan. Terlalu dini Bokondini. Terlalu dini

15

16

Pengobatan SUANGGI
dalam Harmonisasi Dokter Adat dan Layanan
Medis di Kampung Tomer, Merauke
Elia Nur Ayunin

Merauke, 25 Mei 2015


Letak Kabupaten Merauke secara greorgrafis berada
antara pada 1370 - 1410 BT dan 50 009 00 LS. Kabupaten
Merauke merupakan kabupaten terluas diantara provinsi
Papua yang juga berada di bagian paling selatan Provinsi
Papua. Keadaan Topografi Kabupaten Merauke umumnya
datar dan berawa disepanjang pantai dengan kemiringan 03% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring,
Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan Topografinya
bergelombang dengan kemiringan 0 8%. Batas wilayah
Kabupaten Merauke ini terdiri dari,
Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan
Kabupaten Mappi
Sebelah Timur dengan Negara Papua New Guinea
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura

17

Barat berbatasan dengan Laut Arafura

Kampung Tomer,
Distrik Naukenjerai

Gambar 1.
Peta Kabupaten Merauke
Sumber: Pemerintah Kabupaten Merauke

Kabupaten Merauke terkenal sebagai wilayah ujung


tertimur Indonesia, disanalah terletak titik nol NKRI, tepatnya
terletak di Distrik Soeta, yang ditandai dengan adanya tugu
merauke sebagai lambang batas ujung timur Indonesia.
Penelitian kami (yaa, karena saya tak sendiri, saya bermitra
dengan Alfarabi selaku Sosiolog) untuk mengemban misi
khusus, yakni untuk membahas alkulturasi budaya kesehatan
di kota rusa. Dengan demikian pemilihan lokasi penelitian
tentu dengan memperhatikan keberadaan interaksi antara
suku asli dan suku pendatang. Hasil diskusi dengan
pengampu kesehatan di Kabupaten merauke terpilihlah
Kampung Tomer, Distrik Naukenjerai sebagai lokasi penelian
kami. Lokasi Distrik Naukenjerai relatif dekat dengan pusat
kota Merauke. Kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam
untuk dapat sampai ke pusat kota, itu pun hanya pada musim
18

kemarau, dengan menggunakan kendaraan roda empat berdouble-gardan. Sebenarnya bukan jarak yang jauh yang
menjadikan perjalanan terasa lama, namun jalanan yang
berlubang-lubang lah yang menghambat kelancaran
perjalanan. Tentu bukan tanpa alasan, jalanan tersebut
dibiarkan rusak oleh pemerintah, penambangan pasir ilegal
di sepanjang pantai, yang menjadikan pemerintah bersikap
enggan melakukan perbaikan jalan.

Gambar 2
Kondisi jalanan menuju ke Kampung Tomer, foto diambil ketika
tanah kering
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kedekatannya dengan pusat kota menjadikan


kebanyakan kampung di Distrik Naukenjerai tidak hanya
ditinggali oleh masyarakat suku asli, namun juga para
pendatang dari suku Jawa, Maluku, dan Makassar
Jenneponto. Kampung-kampung tersebut adalah Kampung
Kuler, Onggaya dan, Tomer. Sementara kampung Tomerau
dan Kondo tidak banyak ditinggali oleh orang-orang di luar
19

suku asli, mayoritas penduduknya adalah orang pribumi. Hal


tersebut dikarenakan, akses jalan menuju 2 kampung
tersebut lebih sulit dibandingkan 3 kampung sebelumnya,
bahkan kesulitan bertambah ketika musih penghujan.

Gambar 3
Truk pengangkut pasir yang sedang menunggu giliran muatan pasir
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada musim penghujan, sangat dibutuhkan alat


transpormasi zonder (alat pembajak sawah) untuk membelah
jalanan yang berubah menjadi rawa. Zonder biasa diperoleh
dari peminjaman kepada UPT pertanian setempat.
Transportasi yang dapat digunakan untuk sampai ke
kampung Tomerau dan Kondo selain menggunakan zonder,
dapat juga menggunakan spit dari Kampung Tomer. Untuk
menggunakan speed boat, dalam bahasa lokal masyarakat
menyebutnya dengan Jonshon. Untuk menggunakan moda
transportasi tersebut masyarakat harus merogoh kocek lebih
dalam. Pengoperasian Jonshon ini hanya dilakukan setelah

20

matahari tenggelam, dimana saat air laut sudah terjadi


pasang dan menyentuh bibir pantai.
Kampung Tomer sendiri terletak di tengah luasnya
Distrik Naukenjerai, yang cukup banyak ditempati oleh para
pendatang, komposisi antara penduduk asli dan penduduk
pendatangnya adalah 50:50. Sebagian besar penduduk
pendatang beralasan pindah dan menempati kampung
Tomer ini dikarenakan untuk menyambung kehidupan.
Seperti pendatang suku jawa yang berasal dari daerah
transmigrasi, mereka yang merasa tanah di tempat tinggal
dahulu tandus dan tidak bisa digunakan bersawah, hingga
akhirnya menemukan Kampung Tomer yang mana memiliki
tanah yang cukup subur, walaupun hanya dapat memanen
satu kali satu tahun. Suku Jawa ini mulai menempati
Kampung Tomer sekitar tahun 1986. Sehingga tak heran
Merauke disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia di tanah
Papua. Hal ini tidak terlepas dari dampak program
transmigrasi pada sekitar tahun 1960-an .
Keunikan lain dari Kampung Tomer adalah terdapatnya
kelompok keluarga yang merupakan masyarakat eks pelintas
batas PNG yang dipulangkan oleh Pemerintah tahun 2005,
yang mulai diterima masuk kampung pada tahun 2006.
Kampung Tomer dipilih menjadi lokasi pemulangan karena
kakek atau dalam bahasa lokal disebut tete dari kelompok
tersebut berasal dari suku Kanume yang menempati tanah
kampung Tomer. Mereka dipulangkan dari PNG melalui
program pemerintah pada zaman masa bakti Bupati Jhon
Gubla Gebze pada tahun 2005. Kelompok keluarga tersebut

21

ditempatkan pada satu rukun tangga (RT) tersendiri yaitu RT


03.
Kurang lebih 48 tahun lamanya mereka meninggalkan
tanah kelahirannya, namun adat dan budaya moyang tetap
masih banyak yang melekat dan dijalankan hingga saat ini.
Kelompok masyarakat RT 03 memiliki beberapa keunikan
tersendiri, berbeda dengan kelompok masyarakat Kampung
Tomer umumnya. Salah satunya kelompok masyarakat RT 03
masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap praktek
suanggi, dimana sebagian besar masyarakat lainnya sudah
meyakini bahwa praktek dan penggunaan suanggi sudah
berkurang di tengah masyarakat khususnya di wilayah
kampung Tomer, walaupun tetap mengakui akan keberadaan
suanggi tersebut.
Suanggi adalah salah satu praktek ilmu kebatinan yang
dikenal di tanah Merauke. Praktek ini sesungguhnya sudah
banyak ditinggalkan oleh kebanyaan suku di Merauke,
namun tak sedikit juga suku yang masih mengakui ke-eksisan dari praktek tersebut, seperti halnya pada kelompok
masyarakat RT 03. Suanggi di masyarakat dipercayai sebagai
sebuah ilmu hitam atau black magic. Suanggi merupakan
suatu ilmu dan kemampuan diluar batas nalar manusia.
Masyarakat yang masih mempercayai sunggai, percaya
bahwa suanggi dapat menjadi sumber kesakitan dan
kematian. Kepercayaan di masyarakat bahwa kesakitan yang
dihasilkan dari suanggi ini tidak ditunjukkan secara kasat
mata, namun akan memberikan rasa kesakitan yang luar
biasa atau dapat berupa kesakitan yang muncul secara tibatiba bahkan hingga dapat menyebabkan kematian. Dengan
22

demikian masyarakat tersebut ketika berhadapan dengan


kesakitan atau kematian, sering kali langsung berspekulasi
bahwa hal tersebut diakibatkan oleh serangan suanggi. Hal
tersebut dapat memicu konflik atau mengakibatkan saling
tuduh menuduh. Terlebih lagi praktek suanggi ini erat
kaitannya dengan konflik atau bahkan dendam antar orang,
keluarga atau masyarakat kampung. Dengan begitu tidak
dapat dipungkiri kemungkinan konflik dan gesekan yang lebih
besar.
Suanggi ini dipercaya dapat dilancarkan oleh orangorang tertentu berdasarkan permintaan. Sedangkan untuk
upaya penyembuhannya dipercayakan kepada dokter adat.
Dokter adat adalah orang-orang pilihan yang memiliki
kemampuan dan kekuatan khusus. Orang-orang tersebut
haruslah telah ditetapkan melalui forum adat. Mereka adalah
orang-orang yang bersih dari perbuatan kejahatan serta tidak
menyalahgunakan ilmunya untuk membuat sakit atau
mengambil nyawa orang lain. Dokter adat dipercaya tidak
hanya dapat mengobati serangan suanggi, namun juga dapat
mengobati gangguan dema (bahasa etnik marind) atau deme
(bahasa etnik kanume). Selain suanggi, sumber kesakitan
lainnya yang dipercaya oleh masyarakat menyebabkan
kesakitan ialah gangguan dari deme.
Deme menurut kepercayaan masyarakat merupakan
tuan tanah, yang memiliki kuasa atas suatu tempat atau
barang, juga sebagai penjaga. Gangguan deme ini biasa
muncul ketika masyarakat melanggar atau mengganggu
tanah atau barang yang dijaga oleh deme. Terdapat juga
gangguan deme pada ibu hamil. Diyakini bahwa gangguan
23

tersebut terjadi karena sang deme menginginkan bayi yang


dikandung ketika lahir menggunakan nama deme tersebut.
Sang dokter adat tersebut akan dengan sigap
mengetahui penyebab dari kesakitan yang dialami pasiennya,
apakah disebabkan suanggi atau gangguan deme, kemudian
akan menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan deme
yang diterima pasiennya. Dokter adat dipercaya juga
memiliki kemampuan untuk melihat seberapa parah
kesakitan dan kondisi tubuh pasiennya. Setelah dokter adat
dapat menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan
deme, dokter adat akan memeriksa kembali kondisi tubuh
pasien tersebut. Apabila pasien tersebut memerlukan
pengobatan lebih lanjut, yang dikarenakan terjadi kerusakan
di organ tubuhnya, dokter adat akan menyuruh pasiennya
untuk melakukan pengobatan ke layanan medis.
Sebagai contoh kasus, terdapat seseorang yang sakit
dikarena serangan suanggi. Secara kasat mata tubuh orang
tersebut utuh, hanya perasaan sakit tiada tara yang dirasa
disekujur tubuh. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter
adat diketahui bahwa tubuh orang tersebut sudah tidak utuh
lagi, tulang-tulang tubuhnya patah dan remuk, kondisi
tersebut diyakini oleh dukun adat sebagai akibat dari
serangan suanggi. Setelah mendapatkan perlakuan dari
dokter kampung, yaitu penyambungan kembali tulang-tulang
yang patah dan remuk akibat serangan suanggi, pasien
kemudian diminta juga melakukan pengobatan ke layanan
medis untuk mendapatkan pemulihan pada tulang dan
penyembuhan lainnya yang diperlukan pada kerusakan organ
yang mendapat dampak dari serangan suanggi.
24

Dengan demikian fungsi dari dokter adat adalah


sebagai penghilang serangan suanggi atau gangguan deme
saja, dan diperlukan juga pengobatan pada layanan medis
untuk mengobati organ yang rusak dan atau pemulihan.
Praktek pengobatan suanggi dan gangguan deme saat ini
sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Saat ini
pengobatan tidak terbatas hanya dilakukan secara adat,
tetapi juga melibatkan dan dilakukan secara medis. Hal
tersebut menunjukkan adanya penerimaan adat terhadap
pelayanan pengobatan medis serta kepercayaan masyarakat
terhadap layanan medis sudah sejajar dan dapat beriringan
dengan kepercayaan, adat dan tradisi yang ada di
masyarakat. Hal ini dapat disebabkan dari perkembangan
pengetahuan dan informasi kesehatan di masyarakat, yang
menjadikan penerimaan terhadap layana kesehatan medik
juga meningkat.
Hal ini merupakan kondisi yang positif bagi
perkembangan layanan kesehatan di tanah Papua, dimana
masyarakat mulai melibatkan layanan kesehatan untuk
mengobati kesakitan yang mereka alami, tidak lagi hanya
mengandalkan pengobatan adat. Perkembangan ini tentu
dapat berdampak pada penurunan angka kesakitan dan
angka kematian yang diakibatkan karena tidak mendapatkan
pelayanan medis, walaupun layanan medis belum menjadi
prioritas dalam pencarian pengobatan. Memang sudah
seharusnya layanan pengobatan medis dan upaya kesehatan
lainnya berjalan beriringan dengan adat dan budaya di
masyarakat, seperti halnya selama ini yang telah diusaha
masyarakat Papua yaitu menyelaraskan antara adat, agama
25

dan pemerintah, yang kemudian di Papua dikenal dengan


istilah Tiga Tungku. Istilah itu merepresentasi tungku
pemerintahan, tungku agama (gereja), dan tungku adat.

26

Kesikut Talaud
Agung Dwi Laksono

Melonguane, Selasa, 22 April 2014


Siang itu kami mendarat di Bandara Melonguane
dengan hentakan roda pesawat keluaran Prancis, ATR72,
yang cukup keras menghantam bumi. Pesawat
berpenumpang 72 seat itu terbang tiga kali seminggu
melayani rute Bandara Sam Ratulangi Manado ke Bandara
Melonguane Talaud pulang pergi.
Kami datang disambut dengan rinai hujan yang
ringan, seakan sebuah keramahan menyambut kedatangan
tamu agung! Hahaha Eh tapi benar-benar tamu agung
lho! Bersama kami ada rombongan dari Polda Sulawesi
Utara. Juga ada Konsulat Jenderal (Konjen) dari Negara
seberang Philipina.
Kami maksud saya Konjen Philipina! disambut
dengan tiga tetua adat, yang disertai dengan suara pukulan
tambur yang mengiringi sembilan pemuda Talaud meliuk-liuk
dengan gerakan maskulin dan tegas membawakan tarian

27

dengan menggunakan pedang dan tameng. Benar-benar


menyambut tamu agung!
Kedatangan tamu agung ini pulalah yang membuat
kami harus berkeliling Kota Talaud, untuk mencari
penginapan yang sudah penuh dibooking para tamu agung
tersebut.
Kota Talaud??! Jangan dibayangkan sebagai kota yang
indah gemerlap! Diperlukan tidak sampai setengah jam saja
kami diantar Regina, dokter wanita asli putri daerah Talaud,
untuk mengunjungi dari sudut ke sudut ibu kota kabupaten
paling Utara Republik ini.

Gambar 1.
Peta Posisi Talaud di Indonesia
Sumber: Diolah Peneliti dari Peta Wiki

Perhatian dan Rasa Iri


Sungguh iri melihat fakta empiris di depan mata.
Pemerintah Philipina yang diwakili oleh Konjennya begitu
perhatian terhadap warga negaranya. Mereka mau

28

menyempatkan diri datang berkunjung ke wilayah Daerah


Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) republik ini
untuk melihat kondisi warga negaranya yang menyeberang
dan tinggal di wilayah ini.
Jarak yang teramat dekat antara wilayah Kabupaten
Talaud dengan Philipina yang hanya sekitar beberapa jam
saja dengan kapal laut membuat terjadi banyak pertukaran
penduduk di wilayah ini. Hanya dibutuhkan KTP saja bagi
penduduk beberapa wilayah di perbatasan laut ini untuk
dapat menyeberang dan berkunjung di Negara tetangga ini.
Tanpa paspor.
Apakah saya pantas iri dengan Warga Negara
Philipina itu? Entahlah tapi nyatanya saat saya menekan
keyboard di lappy saya untuk tulisan ini saya benar-benar
merasakan iri yang teramat sangat atas perhatian
pemerintah Philipina.
Seandainya

Jaminan Kesehatan Nasional


dan Keadilan Pelayanan
Sejatinya kedatangan kami ke wilayah ini untuk
melihat upaya implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
dari sisi regulasi. Seperti wilayah-wilayah DTPK lain yang
pernah saya saksikan di negeri ini, banyak hal yang
seharusnya benar-benar kita perbaiki sebelum kita
menjalankan kebijakan JKN. Seharusnya
Upaya implementasi JKN secara serentak untuk
seluruh wilayah republik ini harusnya disertai dengan upaya

29

pemerataan pelayanan kesehatan terlebih dahulu. Atau


bahkan untuk beberapa wilayah terluar dan wilayah Timur
Indonesia disertai dengan upaya ketersediaan pelayanan
kesehatan terlebih dahulu. Jangan berteriak-teriak tentang
pemerataan pelayanan bila tersedia pelayanan saja tidak!
Sebagai sebuah kabupaten, Talaud termasuk salah
satu daerah miskin yang mempunyai Pendapatan Asli Daerah
kurang. Meski demikian, kemauannya untuk memenuhi hak
rakyatnya dalam pelayanan kesehatan sangat kuat.
Pemerintah setempat mengalokasikan 2,5 juta bagi bidan
yang mau dan bersedia ditempatkan di wilayah tersebut.
Pemda menyediakan insentif tambahan 2 juta selain gaji 7,5
juta untuk tenaga dokter, bahkan untuk wilayah Miangas
disediakan take home pay rutin sebesar 11 juta per bulannya.
Apa mau di kata? Gaji dan insentif yang cukup besar
tak bisa membuat para tenaga kesehatan betah dan tinggal
di wilayah terluar paling Utara ini. Meyke Maatuil, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Talaud, menyatakan bahwa
banyak tenaga kesehatan yang hilang di wilayah ini.
Semacam jaelangkung, mereka datang dan pergi tak berjejak,
sementara gaji dan insentif jalan terus (transfer melalui
rekening bank). Mekanisme kontrol sangat lemah, hanya
mengandalkan niat baik dan nurani dari tenaga kesehatan
yang telah berani tanda tangan kontrak dan terima uang
insentifnya.
Keterbatasan dan minimnya fasilitas memang
menjadi kendala utama untuk penempatan tenaga kesehatan
di wilayah ini. Menuju Miangas misalnya, hanya tersedia
kapal perintis yang datang 2 kali sebulan menyambangi
30

wilayah terluar tersebut. Kita bisa sewa kapal tongkang dari


kayu untuk mencapai Miangas, tapi harus merogoh kocek
cukup dalam. Sangat dalam! 50 juta sekali pergi.
Ada Telkomsel provider komunikasi yang bersedia
merambah wilayah ini, meski seringkali sinyalnya pergi tanpa
pamit. Tapi setidaknya cukup untuk menebus rasa kangen.

Cerita tentang Verifikasi Data


Ada cerita yang entah lucu entah membikin
trenyuh Adalah Bapak BPT Timpua, Kepala Bidang Promosi
Kesehatan, yang membawahi masalah Jaminan Kesehatan
Nasional di Dinas Kesehatan, yang menceriterakan soalan
verifikasi data kepesertaan.
Dahulu pada saat pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), yang menanggung jaminan
pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin, Pemerintah
Daerah setempat juga menanggung masyarakat miskin yang
tidak tercover Jamkesmas. Saat itu istilahnya adalah
masyarakat miskin non kuota.
Masyarakat miskin non kuota inilah yang diwadahi
dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Jamkesda
menanggung masyarakat miskin yang jumlahnya tidak
tanggung-tanggung, mencapai 23 ribu penduduk (total
jumlah penduduk sekitar 105 ribu menurut Dinas
Kependudukan, atau 97 ribu menurut BPS. Jumlah penduduk
pastinya hanya Tuhan yang tahu).
Data kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional harus
detail by name, by address, maka dilakukan verifikasi ulang

31

untuk memutakhirkan data masyarakat miskin tersebut.


Hingga akhirnya didapatkan angka 8 ribu penduduk yang
terverifikasi. Nah lhoo! Artinya selama ini ada 15 ribu
penduduk siluman yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah.
Entahlah banyak mahluk jejadian di negeri ini.
Bukan hanya sekedar jelangkung atau siluman. Mungkin juga
termasuk para dedhemit yang membaca tulisan ini. Hihihi

32

Menilik Sudut Utara Indonesia


Sebuah Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas
Ade Aryanti Fahriani

Miangas, 4 Juni 2015


Bercerita tentang Miangas, maka kita akan teringat
akan sebuah jingle mie instan, .. dari sabang sampai
merauke, dari miangas hingga pulau rote.. Indonesia Tanah
air ku... Ind**ie selera ku.... Ya, Miangas memang
merupakan sebuah pulau perbatasan Indonesia yang paling
utara, berbatasan dengan negara Philipina yang berada di
Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Luas pulau ini
kurang lebih luas sekitar 3,15 km dengan keliling pulau
kurang lebih 7 km. Sebenarnya pulau ini kalau dilihat dari
google maps hanyalah sebuah titik di tengah Samudra
Pasifik. Sebuah pulau yang menyendiri dan tak ada pulau
terdekat yang mengelilinginya. Meskipun luasnya hanya 1
pixel di Google maps, tapi pulau ini sangat penting bagi
Indonesia, pasalnya pulau ini yang menjadi batas yang akan
mempengaruhi luas teritorial NKRI. Jarak antara Pulau
Miangas ke pulau terdekat Indonesia yaitu Kecamatan

33

Nanusa kurang lebih 148 mil, sedangkan jaraknya dengan


Philipina hanya sekitar 48 mil. Maka tak heran pulau ini
menjadi sebuah wilayah yang sensitif dengan isu kesetiaan
nasionalisme-nya.

Gambar 1.
Peta Miangas
Sumber: Google

Perjalanan untuk menuju Miangas dari kota Manado


setidaknya dapat ditempuh dengan 2 rute. Rute pertama full
menggunakan kapal Perintis Meliku Nusa atau Sabuk
Nusantara, dari Pelabuhan Bitung-Lirung-Melonguane-EsangKakorotan-Karatung-Miangas yang akan memakan waktu 3
hari 2 malam di lautan. Rute kedua dengan pesawat dan juga
kapal laut, yaitu naik pesawat dari Manado menuju
Melonguane. Kemudian dari Melonguane naik kapal Perintis
menuju Esang-Kakorotan-Karatung-Miangas dengan kurang
lebih melewati 30 jam perjalanan di laut.

34

Kapal yang menuju Miangas biasanya beroperasi 2


minggu sekali, hal ini dikarenakan kapal perintis yang ada
selalu berkeliling dari pulau ke pulau, sehingga memakan
waktu 2 minggu untuk sekali putarannya. Namun, dengan
banyaknya kapal yang beroperasi, setidaknya setiap
seminggu sekali di cuaca yang teduh kapal perintis dapat
berlabuh di Miangas. Selain menaiki kapal reguler perintis,
bisa juga menyewa kapal boat. Kapal boat dari Melonguane
sampai Miangas dapat ditempuh dengan waktu paling cepat
6 jam. Untuk sewanya bisa dikenakan tarif 18 juta, selain
dapat memangkas waktu perjalanan juga dapat memangkas
habis-habisan isi dompet.

Gambar 2.
Salah Satu Kapal Perintis yang menuju Miangas, Meliku Nusa
Sumber: Dokumentasi Peneliti

35

Saatnya Berpetualang!!!
Sejak siang hingga menjelang dini hari, Pelabuhan
Melonguane dipadati oleh masyarakat, baik calon
penumpang kapal, para pedagang yang menunggu kiriman
dagangan, hingga masyarakat yang sekedar mencuci mata
melihat-lihat kedatangan Kapal Perintis Meliku Nusa.
Pekatnya malam di Pelabuhan Melonguane ternyata tak
menyurutkan Kapal untuk segera melayarkan diri ke pulaupulau sebelah utara Indonesia. Tepat jam 00.00 dini hari,
terdengar jelas peluit kapal memanggil para penumpangnya
untuk segera menaiki kapal. Rencanyanya saya bersama satu
rekan peneliti akan melayarkan diri menuju Pulau Miangas
dalam rangka penelitian Riset Etnografi Kesehatan disana.
Jadi, selama kurang lebih 40 hari, kami akan berbaur dan
menjadi bagian dari masyarakat Miangas.
Kapal pun mulai berlayar dengan santainya, meskipun
deru ombak sangat tenang, tetap saja mampu untuk
membuat kepala saya terasa pusing. Ini adalah pertama
kalinya saya naik kapal laut, meskipun saya telah terbiasa
tegar dengan semua transportasi yang ada, baru pertama
kali ini saya tumbang, mabok perjalanan oleh kapal laut.
Saya pun berharap perjalanan ini segera berakhir atau
minimal segera menemukan daratan untuk menstabilkan
tubuh yang mulai sempoyongan. Meskipun tengah malam,
masih terlihat beberapa para penumpang sedang asik
bercengkrama dan ngobrol-ngobrol dengan sesama
penumpang lainnya di anjungan kapal. Saya pun mencoba
untuk ikut membaur, sembari berharap bisa menghilangkan

36

pusing yang terasa, yaa hitung-hitung latihan bersosialisasi


sebelum membaur di masyarakat nanti.
Jam menunjukan pukul 10.00 pagi, hari pun semakin
siang, terik matahari pun semakin mengganyang, demikian
pula dengan rasa mabok laut yang saya rasakan. Puncaknya,
semua isi perut ini pun akhirnya termuntahkan. Saya pun
kemudian berusaha menstabilkan tubuh dengan meminum
beberapa pil anti mabok, dan berharap Miangas segera tiba
dipelupuk mata. Tepat jam 12 Siang, kapal pun mulai
melabuhkan diri di pelabuhan pulau Kakorotan. Saya pun
segera beranjak dari kamar ABK menuju bagian atas kapal,
dan saya pun langsung speechless. Saya tak bisa berkatakata, sungguh betapa indahnya Pulau Kakorotan ini,
Subhanallah... Wajar saja tempat ini dijadikan spot festival
adat berskala nasional, yaitu festival Menee. Rasa mual dan
mabok yang saya rasakan pun seakan terbayarkan setelah
saya melihat betapa indahnya karya Allah, sebaik-baiknya
Maha Pencipta.

Gambar 3.
Eksotisme Pulau Kakorotan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

37

Subuh pun mulai menggantikan malam, samar-sama


dibalik pekatnya langit subuh, terlihat sebuah pulau dari
kejauhan, ya itulah Miangas. Saya pun segera mengambil
beberapa shot foto dan video meskipun masih amatiran.
Akhirnya, sesampainya di pelabuhan, kami pun disambut
oleh warga-warga Miangas yang berdatangan. Tapi
sayangnya mereka bukan untuk menyambut kami, tetapi
menyambut barang-barang kebutuhan pokok yang satusatunya diangkut oleh kapal perintis ini. Akhirnya sayapun
bisa berujar, Assalamualaikum Miangas...

Gambar 4.
Pulau Miangas dari Kejauhan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Miangas, Sebuah Tanah Adat yang Kini Mulai


Dimanjakan
Selain karena kedekatan secara geografis, ternyata
hubungan antara Miangas dan Philipina sangat erat
kaitannya sejak dahulu kala. Jika kita merunut sejarah
38

terbentuknya kehidupan masyarakat di Miangas, maka kita


akan menemukan fakta bahwa leluhur masyarakat Miangas
merupakan orang Bangsa Phillipina. Namun, dikarenakan
mereka sering berhubungan dengan orang-orang dari
Kepulauan Talaud, akulturasi dan perkawinan antar suku di
nusantara pun tak bisa dihindarkan.
Tak dapat dipungkiri, Philipina pernah membawa
sengketa kepemilikan Pulau Miangas ke kancah
Internasional. Namun, ketika dilakukan penyidikan oleh PBB,
ternyata identitas kebangsaan masyarakat Miangas mengacu
pada suku Talaud yang ada di Indonesia. Mereka berbahasa
daerah Talaud bukan Tagalog, menggunakan mata uang
rupiah bukan peso, serta yang paling penting bahasa nasional
yang mereka gunakan adalah Bahasa Indonesia. Jadi,dengan
identitas kebangsaan itu, maka PBB memutuskan bahwa
pualu Miangas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Republik Indonesia.
Masyarakat Miangas pada umumnya memeluk agama
kristen protestan dengan berprofesi sebagai nelayan dan
petani. Setidaknya ada 3 hal yang menopang sendi
kehidupan masyarakat Miangas, yaitu adat, rohani, dan
pemerintah. Adat memang sangat berperan penting dalam
mengatur hubungan kemasyarakatan di Miangas disamping
aspek rohani. Maka tak jarang para pemangku adat lebih
sering dipercaya masyarakat dalam memutuskan sengketa
kemasyarakatan dibandingkan dengan aparat pemerintahan.
Para Mangkubumi dan 12 kepala suku di Miangas, menjadi
sentra lahirnya peraturan-peraturan adat yang 90%
mengatur jalannya kehidupan kemasyarakatan.
39

Sebagai sebuah pulau adat yang terdepan di utara


Indonesia, membuat Miangas mendapat perhatian lebih dari
pemerintah. Pertama, Pulau Miangas berdiri sebagai sebuah
kecamatan khusus, meski secara administratif tidak
memenuhi persyaratan berdiri sebagai kecamatan biasanya.
Kedua, untuk mendukung Pulau Miangas sebagai pulau
pertahanan Indonesia, maka sekarang di Miangas telah mulai
dibangun sebuah bandara udara. Ketiga, untuk menjamin
kelayakan hidup masyarakat di Miangas, bantuan-bantuan
dari pemerintah khususnya dari pusatpun banyak diberikan
di Miangas, terutama untuk pembangunan infrastruktur dan
beras pra-sejahtera.

Gambar 5.
Salah Satu Sumber Pembangkit Tenaga Listrik di Miangas
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ketersediaan fasilitas publik di Miangas setidaknya


dapat dikatakan lebih bagus daripada kebanyakan pulaupulau kecil lainnya yang berada di Kepulauan Talaud.
40

Bangunan fisik pelayanan pemerintahan sudah berdiri


dengan layak, listrik dapat beroperasi selama 7 x 24 jam
dalam seminggu dengan menggukan PLTS dan PLTD, fasilitas
komunikasi dapat berjalan lancar, akses air bersih dapat
terjangkau, serta terdapat rumah pintar bagi anak-anak di
Miangas.
Ketersediaan sarana dan prasarana tersebut ternyata
tak sepenuhnya termanfaatkan oleh pemerintah. Contohnya
saja kantor kepala desa yang meski dibangun permanen
hingga sampai ini tak dipakai bahkan sampai dibiarkan rusak,
padahal tak sedikit dana yang dikucurkan oleh pemerintah
untuk membangunnya. Fasilitas Puskesmas pun jarang
dikunjungi oleh masyarakat, keberadaan rumah pintar yang
selama beberapa tahun hingga sekarang hanya pernah 1 kali
digunakan. Banyaknya bantuan-bantuan dari pemerintah
ternyata tak selamanya membawa dampak yang positif bagi
masyarakat. Mental manja yang hanya berharap dari
bantuan-bantuan pun tak dapat dielakkan, sehingga inisiatif
untuk memberdayakan desa sendiri kurang terlihat di
Miangas.

41

Gambar 6.
Salah Satu Fasilitas Publik yang Terabaikan dan Tak Difungsikan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Bertahan di Tengah Keterbatasan


Karakteristik pulau yang menyendiri tak jarang
menyebabkan keterbatasan akses di Miangas, salah satunya
akses transportasi dari pusat ibukota dan pemerintahan.
Cuaca yang ekstrim di Samudra Pasifik yang lepas terkadang
menghambat distribusi kebutuhan pokok yang ada. Biasanya
pada bulan Desember sampai Februari cuaca di Miangas
sangat tidak bersahabat. Angin yang kencang dan ombak
yang tinggi tak jarang membuat ciut kapal-kapal untuk
melabuhkan diri di Miangas. Bahkan, salah satu kejadian
sebuah kapal tongkang yang mengangkut meterial
pembangunan bandara tepar tak berdaya di pelabuhan
akibat rusak parah diterjang ombak besar Samudra Pasifik.

42

Gambar 7.
Kapal Tongkang yang tepar Akibat Gelombang Besar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ektrimnya cuaca di Miangas tersebut tak jarang


membuat masyarakat Miangas tak dapat melaut mencari
ikan serta mendapatkan pemasukan bahan pokok bahkan
sampai berbulan-bulan. Akibatnya, mereka harus bertahan
bersama alam untuk melanjutkan kehidupan. Untuk
memenuhi bahan pokok mereka mengkonsumsi umbiumbian seperti laluga (sebuah tanaman talas raksasa yang
hanya tumbuh di Miangas), sagu, maupun ubi jalar.
Sedangkan untuk lauk pauk, mereka mencari ketam kenari
(kepiting) atau bahkan hanya memakan sayur-sayur yang ada
tumbuh di Miangas.

43

Gambar 8.
Laluga, Sejenis Tanaman Talas Raksasa
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain keterbatasan dalam hal kebutuhan pokok,


Miangas juga terbelenggu dengan keterbatasan akses
kesehatan medis. Meskipun Puskesmas Miangas sudah
berdiri sebagai Puskesmas setingkat kecamatan, tetapi
keadaan dan kelengkapannya masih belum mumpuni.
Contoh kecilnya saja, Puskesmas sendiri tidak memiliki
tensimeter dan termometer. Jadi para petugas yang ada
terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membeli tensimeter.
Contoh lain lagi, untuk peralatan pertolongan persalinan
sudah mulai rusak, hilang, dan tumpul. Tak jarang para
petugas meminjam peralatan pada bidan kampung. Itu hanya
secuil contoh kecil keterbatasan Puskesmas, apalagi jika
ditinjau dari standar fasilitas pemeriksaan seperti PuskesmasPuskesmas di ibukota, sungguh tak adapat dibandingkan.
44

Gambar 9.
Peralatan Persalinan yang terdapat di Miangas
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain itu, Puskesmas Miangas hanya memiliki 8


petugas kesehatan. Empat orang pegawai tetap dan 4 orang
pegawai tidak tetap alias PTT. Kualifikasi tenaga kesehatan
yang ada terdiri dari 4 orang perawat tetap, 1 perawat
kontrak, 2 bidan PTT, dan 1 dokter kontrak daerah.
Sebenarnya dulu ada beberapa pegawai tetap di Miangas,
tetapi setelah mereka bertugas beberapa bulan mereka
meminta pindah untuk ditempatkan di ibukota kabupaten.

Miangas dalam Kacamata Kesehatan


Secara umum status kesehatan di Kabupaten
Kepulauan Talaud menurut IPKM (Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat) menduduki peringkat 326 dari 497

45

Kabupaten di Indonesia. Secara khusus, kabupaten ini berada


di peringkat 12 dari 15 kabupaten yang ada di Sulawesi
Utara. Adapun aspek kesehatan yang menjadi lampu kuning
di Kabupaten ini adalah aspek pelayanan kesehatan, perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS), serta kesehatan lingkungan
yang belum memadai. Selain itu, Kabupaten Kepulauan
Talaud juga termasuk dalam daerah DTPK (Daerah Tertinggal
Perbatasan Kepulauan) yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga Philipina khususnya di Kecamatan Miangas
dan Kecamatan Nanusa (buku daerah perbatasan sulut).
Miangas memiliki 1 kecamatan induk dan 1 Puskesmas
pembantu (Pustu) yang kini menjadi rumah dinas bagi tenaga
kesehatan yang berasal dari luar Miangas. Lokasi Puskesmas
induk berada di daerah perkebunan warga dengan jarak 300
meter dari pusat pemukiman warga. Untuk pustu sendiri
memang berada di tengah-tengah pemukiman warga, tetapi
dikarenakan luas lokasi yang dianggap sempit, maka pustu ini
jarang digunakan untuk melayani pasien terkecuali ketika
diadakan posyandu.
Jam telah menunjukan pukul 9 pagi, rencananya pagi
ini saya akan berkunjung melihat Puskesmas Miangas. Untuk
mencapai Puskesmas saya harus terlebih dahulu melewati
jalur perkebunan warga. Meskipun masih pagi, nuansa kebun
yang sunyi dan lembab, terkadang mampu untuk membuat
bulu kuduk berdiri. Meskipun jam masih menunjukan pukul 9
pagi pintu Puskesmas masih terkunci, padahal hari ini adalah
hari kerja. Setelah hampir satu jam menunggu, datanglah
beberapa petugas Puskesmas. Awalnya saya menyangka
pasien dikarenakan mereka hanya memakai baju biasa
46

seperti warga biasanya, tetapi semuanya tampak jelas ketika


mereka mulai mengeluarkan tensimeter dan mulai
memeriksa 1-2 pasien yang datang. Akhirnya
Jam
menunjukan pukul 12 siang, tak terlihat ada pasien yang
datang, maka merekapun memutuskan untuk pulang dan
menutup Puskesmas.

Gambar 10.
Jalan Menuju Puskesmas Induk Miangas
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut petugas Puskesmas yang saya temui, memang


animo masyarakat untuk memeriksa diri sangat kurang.
Mereka lebih suka menitip obat-obatan kepada bidan atau
petugas Puskesmas ketika mereka kembali. Selain itu,
masyarakat juga lebih suka didatangi daripada mendatangi
petugas kesehatan jika sakit. Alasannya?? Ya bermacammacam, ada yang bilang tidak sempat, ada yang bilang sibuk
ke Puskesmas, dan segala macam alasan lainnya.
47

Ditengah keterbatasannya, setidaknya di Miangas


terdapat 4 metode penyembuhan yang biasa dimanfaatkan
masyarakat. Pertama metode penyembuhan medis yaitu
memeriksakan diri pada petugas Puskesmas atau sekedar
membeli obat-obat bebas di warung. Kedua, metode
pengobatan makatana. Makatana sendiri merupakan
sebutan masyarakat untuk ramuan-ramuan herbal tradisional
yang telah diajarkan secara turun temurun. Ketiga, metode
penyembuhan dengan kuasa dunia ataupun kuasa kegelapan.
Dan terakhir menggunakan metode penyembuhan dengan
kuasa Tuhan.

48

Tour de Nenas;
Catatan Perjalanan ke Kab. Timor Tengah Selatan
Agung Dwi Laksono

Soe-Timor Tengah Selatan, 29 Mei 2015


Timor Tengah Selatan, demikian nama salah satu
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kali ini
menjadi sasaran tujuan kunjungan lapangan kami. Kami
berempat berangkat dari Surabaya, yaitu saya sendiri, kang
Pranata (seorang antropolog), dan dua rekan dari tim
videografi (seorang sutradara dan seorang lagi kameramen).
Bukanlah perjalanan yang terlampau sulit. Perjalanan
supervisi dan pengambilan gambar visual audio Riset
Ethnografi Kesehatan kali ini harus kami lalui.
Kabupaten Timor Tengah Selatan terletak satu
daratan di Pulau Timor dengan negara pecahan republik ini,
Timor Leste. Di sebelah Timur Kabupaten Timor Tengah
Selatan hanya dibatasi oleh Kabupaten Belu sebelum
mencapai tanah Timor Leste. Pada bagian Utara Kabupaten
Timor Tengah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor
Tengah Utara, sementara di bagian Barat berbatasan dengan
49

Kabupaten Kupang, dan pada sisi Selatan Kabupaten Timor


Tengah Selatan secara langsung berhubungan dengan
Samudera Hindia.

Gambar 1.
Lokasi Kabupaten Timor Tengah Selatan
Sumber: Provinsi Nusa Tenggara Timur

Menurut Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam


Angka Tahun 2014, kabupaten yang beribukota di SoE ini
mempunyai luas daratan mencapai 3.995,36 Km2, dengan
tingkat kepadatan 114,26 jiwa per Km2 pada tahun 2013.
Jumlah seluruh penduduk pada tahun yang sama mencapai
451.922 jiwa dengan rumah tangga sejumlah 112.446 rumah
tangga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah
Selatan, 2014). Berdasarkan angka jumlah penduduk dan
jumlah rumah tangga, maka proporsi dalam setiap rumah
tangga terdiri dari 4,02 jiwa, artinya bahwa dalam satu
50

rumah tangga terdiri dari rata-rata empat anggota keluarga,


dan beberapa rumah tangga saja yang berisi lima anggota
keluarga. Secara kasar bisa kita tarik kesimpulan bahwa
Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu
kabupaten yang berhasil dalam program Keluarga
Berencana-nya, atau jangan-jangan? Ahh biarkan saja
menggantung tanpa jawab, agar bisa dijadikan bahan
refleksi.

Lingkaran Setan
Derajat kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan
yang rendah, serta kemiskinan, merupakan tiga kondisi yang
bila kita cermati seperti membentuk lingkaran setan.
Ketiganya secara siklis saling mempengaruhi, kejatuhan
dalam satu kondisi menjadi penyebab kejatuhan kondisi yang
lainnya. Hal inilah yang sepertinya tengah terjadi di
Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Menurut hasil pemeringkatan Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang didasarkan
pada hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada
tahun yang sama, menempatkan Kabupaten Timor Tengah
Selatan pada ranking 474 dari 497 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. IPKM sebelumnya, tahun 2007, Kabupaten Timor
Tengah Selatan berada pada posisi ranking 399 dari 440
kabupaten/kota yang ada pada saat itu. Menilik posisi
peringkat Kabupaten Timor Tengah Selatan pada IPKM tahun
2007 dan 2013, terlihat bahwa tidak terjadi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat sebagai hasil dari

51

pembangunan

kesehatan

yang

telah

dilakukan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 yang


dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan
bahwa ada sekitar 31,71% penduduk berumur 10 tahun ke
atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang tidak memiliki
ijazah sama sekali, artinya angka tersebut merupakan
gabungan antara yang tidak bersekolah sama sekali dan yang
tidak lulus Sekolah Dasar. Sementara hasil survei yang sama
menyebutkan bahwa sejumlah 34,81% penduduk di atas 10
tahun yang memiliki ijazah Sekolah Dasar. Hanya 2,91%
penduduk saja yang tercatat memiliki ijazah di atas SLTA.
Berdasarkan catatan BPS Kabupaten Timor Tengah
Selatan dalam Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam
Angka Tahun 2014, tercatat terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi dalam
kurun waktu lima tahun, antara tahun 2006-2011. Tetapi
antara tahun 2011-2012 kembali terjadi peningkatan tipis
persentase penduduk miskin sebesar 0,57%, menjadi 27,53%
(lihat Gambar 2). BPS mengukur kemiskinan menggunakan
pendekatan kemampuan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). BPS memandang
kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
yang diukur dari sisi pengeluaran.

52

Gambar 2.
Tren Persentase Penduduk Miskin
di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupetan Timor Tengah Selatan, 2014

Status Gizi Balita


Kita mencermati status gizi balita di Kabupaten Timor
Tengah Selatan pada tahun 2013, maka kita akan mendapati
kenyataan yang sungguh memprihatinkan. Hampir separuh
balita (46,48%), merupakan balita dengan status gizi buruk
dan kurang. Angka ini jauh di atas angka Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang berada pada kisaran 33,07%, dan
rentangnya semakin jauh lagi bila dibandingkan dengan
angka nasional yang hanya berkisar 19,63%.
Status gizi balita ini menjadi lebih memprihatinkan
lagi bila kita cermati dari indikator tinggi badan per umur.
Lebih dari 70% balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan

53

merupakan balita stunting atau pendek. Angka ini jauh di


atas prevalensi provinsi maupun nasional.
Cakupan angka penimbangan balita di Kabupaten
Timor Tengah Selatan sedikit lebih tinggi dibanding angka
provinsi maupun nasional. Artinya bahwa kepedulian
masyarakat terhadap anak-anak sudah cukup baik, hanya
saja kemiskinan bisa menjadi salah satu kendala yang cukup
serius untuk faktor pertumbuhan balita.

Perjalanan Menuju Desa


Perjalanan kami kali ini hanya membutuhkan waktu
sekitar empat jam saja dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Kota Kupang, untuk mencapai ibu kota Kabupaten
Timor Tengah Selatan di SoE. Kami masih harus menambah
lagi dengan enam jam perjalanan untuk mencapai Desa
Nenas-Kecamatan Fatumnasi, desa tempat tinggal dua
ethnografer kami yang sedang grounded di sana. Enam jam
tambahan yang sungguh menyebalkan karena kami salah
memilih kendaraan untuk menempuh jalanan yang rusak,
longsor dan berbatu.
54

Gambar 3.
Jalanan Menuju Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti

55

Pengalaman menyebalkan menempuh sisa perjalanan


menuju Desa Nenas seakan terbayarkan dengan
pemandangan lanskap saat memasuki cagar alam Mutis di
lereng Gunung Mutis. Lanskap yang sungguh membuat kami
tak pernah berhenti berdecak mengucap syukur diberi
kesempatan melihat pemandangan seindah ini.

Gambar 4.
Lanskap dalam Cagar Alam Gunung Mutis
Sumber: Dokumentasi Peneliti

56

Desa Nenas di Kecamatan Fatumnasi


Desa Nenas merupakan salah satu desa yang terletak
di lereng Gung Mutis. Topografinya berupa lereng-lereng
dengan variasi ketinggian yang beragam, naik-turun
perbukitan. Letaknya yang tersembunyi di lereng gunung dan
di balik hutan membuat Desa Nenas selalu berhawa dingin
dengan angin yang bertiup kencang yang seakan tak pernah
berhenti untuk membuat badan menggigil sepanjang hari.
Tubuh letih kami benar-benar tak kuat menahan gempuran
seperti ini, yang membuat kami ber-empat hampir tumbang
pada akhir perjalanan.
Mutis, demikian nama gunung itu, yang dalam bahasa
Dawam artinya adalahlengkap. Menurut kepercayaan
orang Molo Gunung Mutis merupakan asal atau cikal bakal
orang Timor secara keseluruhan, mereka secara lengkap
hadir di dunia melalui Gunung Mutis. Oleh karena itu
masyarakat Desa Nenas sangat terbuka dengan kedatangan
orang luar, karena mereka menganggap demikianlah
memang seharusnya mereka bersikap untuk menyikapi
lengkapnya Mutis.
Desa Nenas dalam pandangan kami merupakan salah
satu desa yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan
desa lain di Indonesia. Desa Nenas lebih merupakan desa
auto pilot, karena kepala desa terpilih mengajukan diri
menjadi anggota DPRD, dan akhirnya benar-benar terpilih
menjadi anggota dewan. Nasib Desa Nenas tak juga beranjak
naik.

57

Masyarakat di Desa Nenas termasuk dalam sub suku


Molo, yang merupakan salah satu bagian dari suku Timor.
Oleh sebab itu mereka dikenal sebagai orang Molo. Dalam
keseharian mereka masih menggunakan bahasa Dawam
sebagai salah satu media komunikasi antar orang Molo.
Nenas sendiri dalam bahasa Dawam diartikan sebagai
terkenal.
Orang Molo di Desa Nenas kebanyakan sudah tinggal
di rumah sehat, sebutan untuk rumah yang dibangun untuk
menggantikan rumah bulat, rumah asli warga suku Molo.
Malam hari mereka lebih sering berada di rumah bulat
karena kondisinya yang hangat, cukup untuk menahan dari
gempuran hawa dingin di luar.

Gambar 5.
Proses Shooting Tari Giring-giring
yang Mengambil Latar Belakang Rumah Bulat
Sumber: Dokumentasi Peneliti

58

Kami sendiri tinggal di rumah sehat bersama keluarga


bapak Anderias Tambelab (58 tahun), sekretaris Desa Nenas.
Rumah yang kami diami adalah milik salah seorang pejabat
desa. Jangan pernah membayangkan kemewahan yang akan
kami terima. Kondisinya sama saja dengan rumah penduduk
lainnya. Kami tidur hanya beralaskan karpet plastik tipis di
atas plesteran semen.

Gambar 6.
Rumah Sehat Sekretaris Desa Nenas
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Hampir mirip dengan desa-desa lain di pelosok


republik ini, kehidupan di Desa Nenas berjalan sangat
lambat. Hampir seluruh penduduk bermata pencaharian
sebagai petani. Beberapa menjadi tukang ojek, guru, dan
berdagang kelontong kecil-kecilan. Ada juga seorang
pendatang dari Madura yang berprofesi menjadi tukang
kayu.
Hampir seluruh jalanan yang ada di desa ini
merupakan jalan berbatu yang cukup terjal, menyisakan

59

sedikit saja jalan tanah. Kondisi ini membuat hanya


kendaraan-kendaraan tertentu saja yang bisa menempuh
jalur ini, termasuk beberapa motor tulang ojek yang sudah
mengalami modifikasi pada rantai-gir dan roda ban yang
menjadi lebih bergigi.
Kami observasi dan terlihat balita-balita di Desa
Nenas mempunyai kecenderungan stunting, sebagaimana
penampakan orang-orang dewasa di desa ini yang juga
cenderung pendek. Sekali lagi saya tidak bisa mengkonfirmasi
hal ini dengan data riil, karena pencatatan di Posyandu sama
sekali tidak mencantumkan angka tinggi badan, dan tanggal
kelahiran pun seringkali dibiarkan kosong melompong.
Kebanyakan balita di Desa Nenas mengkonsumsi
bubur nasi tanpa tambahan apapun. Balita sekarang
makannya bubur nasi pak. Iya nasi saja tanpa tambahan
apapun. Kalo dulu ya bubur jagung. Kan belum ada beras
ada beras baru sekitar mulai tahun 70-80-an, jelas pak
Nuel, nama panggilan Imanuel Anin (50 tahun), seorang
mantri tani yang tinggal di Desa Nenas.
Hampir tidak ada variasi makanan lain yang menjadi
asupan balita di desa ini, kecuali ASI. Pengakuan masyarakat,
ASI diberikan sampai mereka berumur dua tahun lebih,
kecuali beberapa balita yang sudah kesundulan,
kedahuluan adiknya lahir, dan juga beberpa balita lain yang
disebabkan ibunya sakit atau tidak keluar air susunya.
Ada fenomena menarik yang ditunjukkan balita Darfa
Tambelab (20 bulan). Sejak berumur 12 bulan, Darfa
mengkonsumsi kopi yang dimasukkan ke dalam botol dot.
Dua kali sehari, secara rutin pagi dan sore, cucu ke-dua
60

sekretaris desa tersebut meminta dibuatkan minuman


kesukaan saya ini. Diker Tambelab (33 tahun), ayah si Darfa,
cuek saja dan membiarkan anak balitanya dengan lahab
menyeruput kopi lewat botol dotnya.

Gambar 7.
Darfa Tambelab dan
Ayahnya
Sumber: Dokumentasi
Peneliti

Ketersediaan Pelayanan Kesehatan


Desa Nenas masuk sebagai salah satu wilayah kerja
Puskesmas Fatumnasi yang terletak di Desa Fatumnasi.
Puskemas Fatumnasi sendiri memiliki tenaga sejumlah 18
orang dengan lima bidan dan satu tenaga dokter umum PTT.
Ada lima desa yang harus di-cover Puskesmas Fatumnasi,
yaitu Nenas, Fatumnasi, Kuanoal, Nuapin dan Mutis.
Pada masing-masing desa ada fasilitas pelayanan
kesehatan. Desa Nuapin misalnya, ada Polindes dengan bidan
61

yang stand by di sana. Sedang di Desa Mutis ada Polindes


yang jadwal bukanya seminggu sekali menunggu bidan
penanggung jawab wilayah datang dari Puskesmas. Kondisi
ini sama dengan Polindes di Kuanoal yang buka pelayanan
empat kali dalam sebulan sesuai dengan kedatangan bidan
dari Puskesmas Fatumnasi. Ada Puskesmas Pembantu (Pustu)
permanen di Desa Nenas yang dijaga oleh seorang perawat.
Hanya saja posisi rumah perawat yang berada di SoE dan
adanya keperluan-keperluan lain membuat kondisinya
seperti kurang terurus.
Masalah akses yang cukup jauh dari desa ke
Puskesmas, masyarakat di lima desa urunan secara
tanggung renteng untuk membangun rumah tunggu
persalinan di samping gedung Puskesmas. Kondisinya sudah
sangat memprihatinkan pak. Ini sedang kami upayakan untuk
setiap desa urunan kembali untuk membangun yang semi
permanen, jelas Alfred Duka, SKM Kepala Puskesmas
Fatumnasi. Rumah tunggu persalinan yang dibangun
berbahan kayu lokal ini sejak tahun 2011 ini memang terlihat
miring seperti mau roboh.
Ada kebijakan menarik yang dikeluarkan oleh
Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan
Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Bawah Lima Tahun.
Kebijakan ini lebih merupakan terjemahan dari kebijakan
Revolusi KIA yang digagas di tingkat provinsi.

62

Gambar 8.
Rumah Tunggu Persalinan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Secara garis besar kebijakan ini mengatur tentang


pembagian peran antar komponen di wilayah tersebut,
termasuk di dalamnya mengatur secara rinci tentang denda
terhadap masing-masing pihak yang tidak melaksanakan
perannya. Satu contoh misalnya pada saat ibu melahirkan di
rumah bulat ditolong oleh dukun, padahal menurut regulasi
tersebut seharusnya melahirkan di fasilitas pelayanan
kesehatan ditolong oleh tenaga kesehatan. Denda yang
diatur adalah si ibu didenda Rp. 200.000,- karena tidak
melahirkan di fasilitas kesehatan, si dukun didenda Rp.
200.000,- karena berani menolong persalinan, si suami ibu
didenda Rp. 200.000,- karena tidak SIAGA, tidak mau
mengantar istri melahirkan ke fasilitas kesehatan. Pada saat
si ibu nifas melakukan sei (dipanggang), sebagai salah satu
adat kebiasaan orang Timor, maka juga akan dikenakan
denda Rp. 200.000,-. Dan apabila ibu hamil tidak melakukan
memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan atau ibu nifas

63

tidak memeriksakan diri pasca nifas maka akan dikenakan


denda sebesar Rp. 100.000,-.
Mekanisme atau standar operasional prosedur (SOP)
tentang pembayaran atau penarikan denda ini diatur dalam
regulasi tersendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Bupati
Timor Tengah Selatan nomor 51 tahun 2014 tentang Tata
Cara Pembayaran Denda Administrasi dan Pengurangan/
Keringanan.
Sepertinya tujuan dikeluarkannya kebijakan tentang
pelayanan kesehatan ibu dan anak ini baik sangat baik!
tetapi menurut pandangan saya, sekali lagi menurut
pandangan saya, kebijakan ini menjadi tidak tepat saat
pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak
memenuhi sarana dan prasarana yang menjadi kendala akses
selama ini. Bukankah fasilitas pelayanan kesehatan sangat
minim? Tidakkah tenaga kesehatan belum benar-benar eksis
hadir di wilayah? Bagaimana dengan kondisi jalan berbatu
yang terjal? Kami yang sehat saja berasa remuk redam
menempuh jalur tersebut, bagaimana dengan ibu hamil?

Potensi Sumber Daya


Desa Nenas merupakan desa hortikultura yang sangat
dikenal sebagai penyuplai sayuran sampai ke Kota Kupang.
Beragam jenis sayur-mayur menjadi andalan pendapatan
masyarakat Desa Nenas yang didominasi oleh petani.
Sayuran semacam wortel, labu siam, daun bawang, kentang
dan bawang preh merupakan produk sayuran andalan. Jadi

64

kebutuhan sayuran bukanlah masalah bagi penduduk yang


hidup di lereng Gunung Mutis ini.
Karbohidrat utama seringkali didapatkan dari jagung,
ubi jalar, singkong dan beras. Ada sedikit hamparan sawah di
wilayah Desa Nenas yang dapat membantu suplai kebutuhan
beras di daerah berhawa dingin ini, meski seringkali beras
yang dikonsumsi adalah beras Raskin. Tercatat ada sekitar
147 keluarga miskin dari 287 keluarga, atau 51,22%, yang
mendapatkan jatah beras Raskin dari pemerintah setiap
bulannya.
Protein hewani bisa didapatkan dari telur ayam,
ayam, babi, kambing maupun sapi. Tetapi sayangnya
perekonomian masyarakat membuat konsumsi protein
hewani semacam itu merupakan barang mewah bagi mereka,
hanya telur ayam yang disajikan beberapa kali dalam
sebulan. Sebenarnya ada juga pak itu apa daging dan ikan
di Pasar Kapan (di Kecamatan Kapan), tetapi ada (kendala)
faktor ekonomi pak jelas Imanuel Anin (50 tahun), seorang
Mantri Tani yang menjadi guide dadakan kami. Lebih lanjut
pria suku Timor bermarga Anin ini menjelaskan bahwa ada
protein hewani yang cukup populer bagi Masyarakat di Desa
Nenas, yaitu Ikan Blek, sebutan masyararakat setempat
untuk ikan kalengan atau sarden.
Kesempatan mendapat protein hewani lainnya adalah
pada saat ada kematian. Apabila ada seorang suku Molo
meninggal dunia, maka berbondong-bondong kerabatnya
menyumbang ternak berupa sapi, babi, kambing ataupun
ayam. Mereka menyisakan satu-dua ekor saat menjual
ternaknya, karena memang dimaksudkan untuk hal yang
65

demikian. Pada saat-saat tersebut daging yang tersedia


sangat melimpah. Masyarakat bisa sampai berhari-hari
mengkonsumsi daging, bahkan menurut pak Nuel sampai
(maaf) busuk pun akan dikonsumsi.
Sumber protein lain berupa protein nabati bisa
didapat dari kacang merah dan kacang tanah. Konsumsi
kacang merah seringkali hanya lewat sayur sup saja. Tidak
ada kemampuan untuk membuat kreasi lain agar tumbuhan
kaya protein ini menjadi lebih sering dikonsumsi. Sedang
kacang tanah lebih sering diolah menjadi campuran sambal
goreng.

Mampir ke Surga
Pada kesempatan lain saya bersama mas Zaldi
(kameramen) berkesempatan mengambil gambar lanskap di
lereng Gunung Mutis yang agak tinggi. Lelofui, demikian
lereng tersebut diberi nama oleh orang Molo. Saat datang
menginjakkan kaki pertama kali di lereng itu saya seperti
tersentak. Terpaku tidak bergeming. Hanya mampu berdiri
tanpa sanggup berkata apapun, hanya berdesis Ini
surga. dan lalu bagaimana saya bisa berhenti bersyukur?

66

Gambar 9.
Surga Lelofui
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada akhirnya kami harus pulang. Terbersit


keengganan di antara kami dan orang Nenas, seakan tidak
ikhlas meninggalkan dan ditinggalkan. Seperti ada tali yang
mengikat kami untuk kebersamaan kami selama seminggu
67

terakhir. Seutas selendang hasil tenunan mama inang


dikalungkan di setiap leher kami oleh nona manis Molo Evi
Tambelab, seakan kembali menegaskan bahwa ada sesuatu
yang tinggi telah mengikat kami.

Gambar 10.
Pengalungan Selendang saat Berpamitan Pulang
Sumber: Dokumentasi Peneliti

68

Surga Kecil Raijua;


Sebuah Catatan Perjalanan
Agung Dwi Laksono

Raijua, 1 Mei 2015


Perjalanan kali ini, mulai 27 April hingga setidaknya
satu minggu ke depan, saya memulai kembali perjalanan
eksplorasi Nusa Tenggara Timur. Kali ini salah satu kabupaten
dengan pulau-pulau yang ada di wilayahnya merupakan salah
satu pulau terluar di republik ini, Sabu Raijua, akan menjadi
sasaran eksplorasi.
Kabupaten Sabu Raijua, kabupaten termuda di
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Kupang. Pendirian kabupaten
baru ini dimulai per tanggal 29 Oktober 2008. Kabupaten
seluas 460,8 km2 ini beribukota di Sabu Barat, yang letaknya
berada di Pulau Sabu (lihat peta). Meski demikian, ibukota
kabupaten ini bukanlah tujuan saya, Pulau Raijua, pulau yang
jauh lebih kecil di sebelah Barat Pulau Sabu, menjadi tujuan
akhir perjalanan kali ini.

69

Gambar 1.
Peta Lokasi Kabupaten Sabu Raijua
Sumber: Kabupaten Sabu Raijua

Dalam
pemeringkatan
Indeks
Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013 yang dilakukan
oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehat RI.,
Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan 481 dari 497
kabupaten/kota di Indonesia. Pada level Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Kabupaten Sabu Raijua menempati urutan
18 dari 21 kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa
status kesehatan masyarakat di wilayah Sabu Raijua masih
pada tingkat yang memprihatinkan, untuk itulah Kabupaten
Sabu Raijua dimasukkan sebagai salah satu sasaran Riset
Ethnografi Kesehatan yang dilakukan pada 30 kabupaten di
Indonesia pada tahun 2015 ini. Kementerian Kesehatan
berharap bahwa dengan riset ini akan didapat faktor-faktor

70

beyond health yang kemungkinan bisa menjadi penghambat


pembangunan kesehatan, atau justru akan ditemukan
budaya-budaya yang bisa kita pakai untuk menjadi alat
akselerasi pembangunan di wilayah setempat.
Menuju Sabu Raijua saya setidaknya harus melalui
dua kali transit, di Kota Kupang dan di Pulau Sabu. Saya
tidaklah terlalu sulit untuk menuju Kupang (SUB-KOE) dari
home base, karena tercatat ada tiga maskapai yang
mengoperasikan jalur ini. Berbeda dengan jalur Kupang-Sabu,
tercatat hanya terdapat satu maskapai perintis milik seorang
menteri nyentrik, ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi
Air. Maskapai ini setidaknya dua kali dalam sehari melayani
rute Kupang-Sabu (KOE-SAU) setiap hari, kecuali hari Minggu.
Perjalanan ke-tiga yang harus saya lalui adalah Sabu-Raijua.
Kali ini tidak dengan jalur udara, saya harus menempuh jalur
satu-satunya yang tersedia, jalur laut.
Perjalanan kali ini saya lakukan dalam rangka
supervisi dua rekan peneliti Riset Ethnografi Kesehatan
Tahun 2015, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dan
seorang lagi seorang psikolog. Mereka ditanam di sana tak
terlalu lama, sebentar saja, 40 hari, untuk hidup berbaur
dengan orang Raijua. Mereka terlihat sudah seperti pribumi
saat saya datangi.
***

Memulai Perjalanan
Perjalanan hari pertama yang saya tempuh, SurabayaKupang, bukanlah perjalanan yang istimewa. Tidak ada yang

71

terlalu menarik untuk diceriterakan. Saya menginap di Hotel


La Hasienda, sebuah hotel bergaya mexican yang berlokasi di
dekat bandara, membuat saya surprised, karena saya satusatunya pribumi yang menginap di hotel itu. Bule-bule
bersliweran keluar-masuk di hotel bertarif rata-rata 380 ribu
per malam itu. Dua-tiga bule nampak asyik bekerja di lobby
hotel dengan menatap serius layar 14 inchi, sambil membuka
lembaran-lembaran dokumen yang ada di genggaman
tangan, dan sesekali mengayunkan jemari memijat tuts-tuts
keyboard di depannya.
Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk
menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat Cessna Grand
Caravan Commuter Susi Air yang berkapasitas penumpang 12
orang. Pesawat hanya berisi 10 penumpang saat saya
menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang dari
pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh
lebih nyaman naik Cessna Caravan ini ketimbang naik Twin
Otter saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan,
meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-co pilot bule dari
Australia.
Pesawat landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit
melayang-layang di udara. Bandara tampak tidak terlalu
ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya maskapai yang
mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini.

72

Gambar 2.
Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari
yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Bukan kebetulan saya bertemu dengan Sofyan,


seorang pedagang yang rumahnya di dekat dermaga
penyeberangan ke Pulau Raijua. Saya percaya dengan
rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih
banyak orang baik di republik ini. Saya diajak nebeng mobil
yang menjemput Sofyan, diantar melihat barangkali masih
ada kapal yang menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke
penginapan Makarim, tempat saya bermalam di Seba pada
akhirnya.
Seba, ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan
kota kecil yang tak lebih ramai dari sebuah kota kecamatan di
pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota terpusat di satu jalan
menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di kiri dan
kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang

73

paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para


pedagangnya lebih banyak para pendatang dari luar.

Hari ke-tiga. Saatnya menuju Raijua


Ini bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau
kecil di wilayah perifer terluar, tapi tetap saja rasanya
berdebar-debar, semacam anak SMA yang sedang menunggu
kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi
ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh
saya sungguh merasa sangat keren dalam situasi ini.
Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke
Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk standby jam 9.00
pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang
bawaan jam 8.30, ternyata kapal belum ada, menurut
informasi seorang teman dari Raijua, kapal akan datang jam
11.00. Aaa sebentar saja, jam 9.00 kapal baru berangkat
dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi sekitar
jam 11.00 yaa. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke
penginapan.
Jam 11.00 saya kembali ke dermaga, kapal belum
nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh masih saja
ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal
sandar di dermaga. Kakak kapal datang sudah, tapi baru
akan berangkat nanti sekitar jam 2.00. Kakak nunggu sini
sa, tukas Sofi, penanggung jawab penginapan Makarim.
Jam 13.30 saya sudah berada di atas kapal, hanya ada
beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari
penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan sopi

74

(minuman keras khas penduduk NTT dan Maluku). Tepat jam


14.10 kapal bergerak pelahan, dengan penumpang yang
sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya, penuh sesak untuk
ukuran kapal sekecil ini.

Gambar 3.
Kapal Kayu yang Penuh Sesak
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ombak cukup bersahabat, laut sedang teduh, hanya


sedikit bergelombang saat melewati selat antara Pulau Sabu
dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang ini sedikit
lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera
Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah
menaiki kapal kayu sejenis dengan ombak yang jauh lebih
memabukkan, mencapai empat meter, saat menuju Pulau
Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya sebuah permainan.

75

Setelah dua jam perjalanan, kapal tiba di dermaga


Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh lebih
tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter.
Saya sedikit trauma dengan pola transfer model begini,
pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan
memori kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya
yang montok ini.
Ternyata ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke
permukaan
dermaga.
Syukurlah
Tuhan
sungguh Maha Baik.
Ke-Maha BaikanNya kembali ditunjukkan saat saya disapa dua
orang yang ternyata
adalah petugas gizi dan
dokter gigi dari Puskesmas Ledeunu, satu-satunya Puskesmas yang
ada di Pulau Raijua. Saya
diajak bareng dengan
mobil ambulan menuju
Desa Kolorae, tempat
Gambar 4.
dua rekan peneliti seProses Transfer di Dermaga Raijua
dang grounded di sana.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Belum
selesai
percakapan, ada seorang sopir truk yang datang dan
mengajak menumpang bersama dengan dia, karena
kebetulan arah tujuannya membawa barang dari kapal dan
76

melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan


Simon berunding, dan memutuskan saya akan bersama
Simon menuju desa. Simon sang sopir truk yang sekaligus
juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan Maha Baik,
sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya
dustakan?
Truk berjalan menyusuri jalanan keras berbatu, yang
terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan
pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa
rumah tradisional yang beratapkan daun lontar dengan pagar
batu yang ditumpuk bersusun mengelilingi rumah sebagai
pagar.

Gambar 5.
Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Rumah tradisional model ini masih mendominasi di


wilayah ini, meski juga sudah ada yang memodifikasi dan
bahkan sudah memilih bentuk rumah modern sebagai
tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang biasanya
77

terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi,


beberapa sudah berganti dengan tembok.

Gambar 6.
Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu
di Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ada dua jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di


Pulau Raijua, yaitu rumah adat dan rumah daun. Kalau kita
tidak memperhatikan dengan seksama, maka kita akan sulit
untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang
sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang
menyerupai konde, sedang rumah daun mempunyai
bentuk bulat biasa. Selain itu bahan atap yang terbuat dari
daun lontar menjuntai sampai ke bawah hingga tidak
kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak.
Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat
tinggal bagi orang Raijua, sedang rumah adat lebih
dipergunakan sebagai media upacara dan juga menyimpan
benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas

78

bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat


tidak diperbolehkan sama sekali orang luar untuk
memasukinya. Rumah-rumah adat tertentu ada bebatuan di
bagian luar yang sama sekali tidak boleh kita injak.

Gambar 7.
Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perjalanan menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan


beberapa kebun aren yang merupakan sumber mata
pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu.
Mereka dikenal sebagai penghasil gula Sabu, atau orang
Jawa biasa menyebut sebagai gula aren karena dihasilkan
dari pohon aren. Meski saat ini menyisakan sedikit saja
penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak tahun
2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan
budidaya rumput laut yang lebih menjanjikan secara
ekonomi. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan proses
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah

79

Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan budidaya rumput


laut.
Pada sisi lain Pulau Raijua kami mendapati hamparan
kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan orang
Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Kali ini
sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat
tanaman yang batangnya mirip batang jagung ini mulai
mengering. Sepertinya memang kami gagal panen kali ini
pak, karena air kurang, sonde (tidak) ada hujan padahal itu
sorgum bagus bapa enak tak kalah dengan beras pulau,
keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir
mengendalikan truk di jalanan berbatu yang terjal.

Gambar 8.
Kebun Sorgum yang Tengah Mengering
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah


embung. Embung adalah istilah setempat untuk cerukan
tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada

80

saat seperti ini air di dalam embung tidak cukup banyak, air
cenderung keruh berwarna coklat. Air embung biasa
dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman serta
untuk air minum ternak, meski juga tak menutup hasrat
anak-anak untuk terkadang berenang di dalamnya.
Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak
(Kepala) Desa. Saya menginap di rumah Ama (Bapak)
Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah
lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal
dengan tuan rumah, yang kembali menunjukkan pada saya,
meneguhkan keyakinan bahwa masih banyak orang baik di
republik ini.

Hari ke-Empat; Memulai Pagi di Raijua


Pagi sudah terang, saat jarum jam belum penuh
menuju angka enam, saat riuh suara ina (ibu) bercengkerama
di sumur sambil menimba air. Menimba air dan
membawanya ke penampungan di dalam rumah merupakan
salah satu urusan domestik, urusan ibu-ibu suku Sabu
(seluruh penghuni Kabupaten Sabu Raijua adalah suku Sabu,
selain para pendatang tentu saja, red), selain memasak,
membersihkan rumah dan mengasuh anak.
Pagi itu matahari menampakkan dirinya dengan
gagah, hampir tidak ada awan yang menghalangi
penampakannya. Perputaran kehidupan dalam keseharian
dimulai. Para ina mulai sibuk di dapur setelah urusan
menimba air selesai, anak-anak yang harus bersekolah sudah
bergantian masuk kamar mandi untuk bersiap, sementara

81

ama (ayah) masih belum beranjak dari peraduannya. Yak,


ama bertanggung jawab pada urusan mencari nafkah,
sementara semua urusan domestik menjadi tanggung jawab
ina untuk menyelesaikan.

Gambar 9.
Matahari Terbit di Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya mengamati, anak-anak Raijua tumbuh normal


sesuai dengan usianya, meski angka di tingkat Kabupaten
Sabu Raijua menunjukkan angka status gizi yang
memprihatinkan, jauh lebih buruk dari angka provinsi
maupun nasional. Hal ini berdasarkan hasil pengukuran
anthropometri dalam Riset Kesehatan Dasar yang
dilaksanakan tahun 2013.
Dalam pengamatan saya banyak sekali potensi
sumber bahan makanan lokal yang bisa dijadikan sumber
nutrisi yang cukup mumpuni. Kebutuhan karbohidrat biasa
didapatkan melalui beras yang didatangkan dari luar,
82

sementara bahan makanan lokal yang tersedia adalah


sorgum, meski keberadaannya sangat dipengaruhi oleh curah
hujan.
Tabel 1. Komparasi Status Gizi Balita di Kabupaten Sabu
Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia berdasarkan Hasil Riskesdas Tahun 2013
Kabupaten
Sabu Raijua

Provinsi Nusa
Tenggara
Timur

Indonesia

Underweight

39,05%

33,07%

19,21%

Stunting

62,49%

51,73%

37,215

Status Gizi

Sumber: Badan Litbangkes, 2013

Sumber bahan makanan yang mengandung protein


cukup banyak tersedia, baik hewani maupun nabati. Sebagai
wilayah kepulauan ketersediaan ikan di Raijua cukup
melimpah, sementara masyarakat juga terbiasa memelihara
ayam, babi, kambing maupun kerbau. Sementara sumber
protein hayati banyak tersedia dari produk kacang-kacangan.
Masyarakat Raijua biasa memasak nasi kacang
merah (memasak nasi yang dicampur dengan kacang
merah), yang menjadikan rasa nasi menjadi terasa lebih
gurih. Selain itu masyarakat juga terbiasa membuat kolak
kacang hijau, karena bahan-bahannya sangat mudah
didapatkan. Selain kacang hijau yang merupakan salah satu
hasil kebun sendiri, masyarakat Raijua juga merupakan salah
satu penghasil gula sabu yang cukup terkenal.

83

Jam 16.00, matahari masih sangat terik, di saat Ama


Manona (tuan rumah yang menampung kami) mengajak
browsing ke mercusuar di wilayah Halla Wuimahi.
Keberadaannya masih di wilayah Kolorae, hanya saja jalanan
yang berbatu cukup membuat badan serasa remuk saat
terguncang di atas bak terbuka mobil pick up. Bukan
perjalanan yang mudah untuk mencapainya. Tapi indahnya
pemandangan yang kami dapat cukup sepadan, lanscape
view yang kami dapat sungguh mengingatkan kembali pada
ke-Maha-an-Nya. Sementara di sisi lainnya menampakkan
siluet yang menambah decak kagum. Aku padaMu ya Rabb.

Gambar 10.
Gerbang Surga Kecil
Sumber: Dokumentasi Peneliti

84

Gambar 11.
Penampakan Siluet di Sisi Kanan Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kedatangan kami disambut dengan koloni kambing


dan domba dalam hamparan sabana yang sangat luas.
Negeriku kah ini? Seakan tak percaya, tangan tak henti-henti
memencet shutter kamera sambil berdiri di atas pick up yang
terguncang.

Gambar 12.
Barisan Kawanan Kambing
Sumber: Dokumentasi peneliti

85

Hamparan rumput yang demikian luas dengan


beragam koloni hewan yang berlompatan dengan lincah.
Kuda, kambing, domba berlarian kian kemari, sementara
beberapa kerbau digiring gembalanya berjalan dengan
perlahan di sela suara debur ombak. Yak, debur ombak!
Sabana luas ini membentang bersisian dengan pantai yang
ombaknya mampu mengundang para bule untuk surfing di
atasnya.

Gambar 13.
Sabana dan Pantai yang Bersisian
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di sisi lain nampak kumpulan beberapa rumah daun


yang dibangun untuk tempat beristirahat para petani
budidaya rumput laut. Sisi pantai yang kami datangi memang
merupakan salah satu spot budidaya tanaman idola di Raijua
saat ini. Ahh kami tak boleh terlalu lama terlena menikmati
surga kecil ini. Kami harus bergegas bila tidak ingin
kehilangan moment terbenamnya matahari sebentar lagi.

86

Gambar 14.
Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 15.
Mercusuar Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami bergegas menuju mercusuar yang banyak


sekali anak tangganya telah
rusak. Sepertinya memang
bukan saatnya keberuntungan bagi saya untuk bisa
menaikinya, body montok ini
terlalu berat untuk ditanggung anak-anak tangga tak
bersalah itu. Saya cukup puas
memandanginya dari bawah
saja.
Tak jauh dari mercusuar itu nampak beberapa
kotak-kotak kecil yang sengaja dibuat untuk membuat

87

garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam


kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk
mendapatkan kristal putih garam yang tertinggal.

Gambar 16.
Kotak untuk Mendapatkan Garam
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di sisi luar mercusuar, belukar perdu dan bakau


nampak menghijau di sela-sela karang pantai yang sungguh
tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan lecet-lecet
plus bonus celana sobek. Upaya kami menyusuri barisan
bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang
bagaskara yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu
membuat saya berdecak kagum.
Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas
untuk menangkap moment lainnya, Pasar Padalabba. Pasar
Padalabba merupakan satu-satunya pasar di Desa Kolorae.
Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara
pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. Yaa karena kalo

88

pagi masyarakat harus ke pantai dulu pak bekerja di laut,


jelas Pak Desa saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari
pasaran bagi Desa Kolorai adalah setiap Kamis, seminggu
sekali.

Gambar 17.
Sunset di Pantai Halla Wuimahi
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Beragam barang diperjualbelikan di pasar tradisional


ini, kebanyakan adalah barang kelontong produksi pabrik.
Sangat sedikit sekali barang yang dijual merupakan produk
lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa kelengkapan
untuk menginang.
Malam semakin larut. Kami harus segera kembali.
Menyusuri kembali jalanan berbatu, untuk bersegera bersihbersih tubuh sebelum kembali ke peraduan dengan
membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.
***
Ahh akhirnya saya harus pulang juga.
Mempersiapkan diri untuk destinasi lainnya Senin depan.
Semoga bisa memanjakan diri dengan surga kecil lainnya.
89

Gambar 18.
Pasar Padalabba di Desa Kolorae
Sumber: Dokumentasi Peneliti

***
Beta pulang dulu Kolorae. Beta sonde tau apakah bisa
kembali lai? tapi beta pung memori sonde pernah lupa
dengan surga kecilmu.

90

Sambujan,
Desa dengan Penduduk Bermata Pencaharian
Ganda
Ummu Nafisah

Tolitoli, 30 Mei 2015


Kabupaten Tolitoli, merupakan sebuah kabupaten
yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya pada
koordinat 0,35 - 1,20 lintang utara dan 120,12 - 122,09
bujur timur dengan luas wilayah 4.079,76 km (BPS
Kabupaten Tolitoli, 2015). Bentuk topografis wilayahnya
berupa dataran hingga pegunungan dengan ketinggian 0
2.500 m dari permukaan laut. Kabupaten Tolitoli dipilih
sebagai salah satu lokasi Riset Ethnografi Kesehatan (REK)
tahun 2015 (REK 2015) yang saya ikuti pada perjalanan kali
ini karena menempati posisi urutan 450 dari total 496
kabupaten pada Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) tahun 2013.
Ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan moda
transportasi darat berupa mobil dengan waktu tempuh 10

91

hingga 14 jam dari Palu, atau dengan menggunakan moda


transportasi udara cukup ditempuh kurang lebih satu jam.
Penerbangan ke Tolitoli terbatas hanya 3 hari dalam
seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jumat. Perjalanan kami ini,
kami memilih menggunakan jasa travel via jalur darat.
Perjalanan dimulai sekitar pukul 13.00 WITA dan kami
sampai di ibukota kabupaten sekitar pukul 02.00 WITA
setelah melewati jalan aspal berliuk-liuk, seribu jembatan
(yang beberapa rusak dan berlubang sana-sini) dengan
pemandangan laut, kebun serta rumah penduduk yang
beberapa masih menggunakan rumah panggung. Wilayah
Kabupaten Tolitoli yang terkenal sebagai Kota Cengkeh ini
luas, bahkan beberapa kecamatan memiliki desa yang berada
di kepulauan. Desa Sambujan adalah salah satu desa di
Kecamatan Ogodeide, desa tempat kami grounded selama
sebulan dalam misi REK kali ini. Wilayah desa Sambujan
secara garis besar terbagi menjadi dua wilayah, yaitu dusun I
di Sambujan Pulau, dan dusun II di Sambujan darat atau biasa
disebut orang sebagai Siomang. Keterbatasan waktu dan
sumber daya (peneliti), menyebabkan kami akhirnya
memutuskan untuk tinggal di Sambujan Pulau, agar lebih
fokus dalam kegiatan pengamatan, Siomang hanya kami
kunjungi beberapa kali saja selama kegiatan riset ini.
Sambujan Pulau dapat ditempuh via perjalanan darat
menggunakan motor kurang lebih 1 hingga 2 jam dari kota
(Tolitoli). Kondisi jalan berbukit-bukit, beberapa belum
beraspal dan hanya tanah merah yang tidak bisa dilewati
ketika diguyur hujan. Terdapat sebuah tembusan jalan yang
menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan
92

Pulau, yang dibangun sekitar tahun 2010. Sedang untuk


menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan
pulau, sebuah jembatan kayu yang selesai dibangun tahun
2013.

Gambar 1.
Jembatan kayu yang menghubungkan
Sambujan Pulau dengan Pulau Utama.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Transportasi laut menjadi alternatif lain yang bisa


dimanfaatkan. Sebuah perahu perintis yang mengantar
penumpang ke pulau-pulau pada jam tertentu saja
menyesuaikan dengan pasang surut air laut. Kapal perintis
yang menuju ke Sambujan Pulau berangkat pada pukul 10.00
WITA dengan waktu tempuh sekitar 1 jam, lebih cepat
daripada menggunakan transportasi darat. Transportasi ini
kadang tidak bisa beroperasi apabila gelombang air laut
sedang besar.

93

Gambar 2.
Perahu Perintis sebagai
salah satu Transportasi
Laut
Sumber: Dokumentasi
Peneliti

Transportasi ini yang sering kami manfaatkan untuk


mengunjungi Siomang atau ke kota saat membutuhkan
keperluan logistik. Hmm... seru! Setelah terombang-ambing
air laut hingga 1 jam lebih perjalanan dari kota, akhirnya kami
melihat deretan rumah kayu di Sambujan Pulau.
Saat kali pertama melihat Sambujan pulau, sungguh
excited karena pemandangannya sungguh luar biasa. Sebuah
kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan. saya
membayangkan bahwa mata pencaharian sebagian
penduduk pastilah mencari ikan ke laut karena
keanekaragaman laut pasti melimpah ruah di lautan seperti
ini. Ternyata benar, mata pencaharian sebagian besar
penduduk adalah mencari ikan di laut, namun mata
pencaharian tersebut bukanlah mata pencaharian satu94

satunya. Ada sumber mata pencaharian lain, yaitu sebagai


petani cengkeh, pemetik cengkeh, atau pencudik cengkeh.
Satu lagi kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada
mereka, selain isi laut, mereka juga disediakan lahan yang
cocok untuk ditanami cengkeh.

Gambar 3.
Deretan rumah kayu di Sambujan Pulau
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Suku pertama yang mendiami pulau ini adalah Suku


Bajo, namun kini sudah banyak pendatang yang mendiami
pulau tersebut, antara lain adalah Suku Bugis. Jumlah suku
Tolitoli sendiri hanya sedikit, dan pada umumnya sudah
terjadi campuran. Bahasa yang dipakai dalam keseharian
adalah bahasa Bajo dan Bugis, namun anak-anak dan remaja
berbahasa Indonesia. Sebagian besar penduduk memeluk
agama Islam. Banyak pernyataan informan mengatakan
bahwa kebudayaan asli di Sambujan Pulau sudah mulai
memudar dan mereka sudah mulai realistis.
95

Saat musim cengkeh tiba, masyarakat beramai-ramai


memanen hasil cengkeh dan bahkan berhenti mencari ikan di
laut. Selain penduduk asli, banyak sekali pendatang yang
datang ke pulau saat musim cengkeh ini tiba, hanya sekedar
untuk mencari rupiah dari hasil memetik cengkeh.
Bayangkan, satu liter hasil petikan cengkeh dihargai Rp
10.000,00. Jika sehari saja pemetik cengkeh berhasil
mengumpulkan 10 liter cengkeh, sudah Rp 100.000 yang
dikantonginya sebagai upah. Kalikan dalam waktu 1 bulan,
hmmm... Rp 3.000.000 sudah yang akan dibawa pulang.
Padahal, musim panen cengkeh bisa berlangsung hingga 3
sampai 4 bulan. Belum lagi upah untuk bacudik cengkeh,
yaitu kegiatan memisahkan cengkeh dari tangkainya, yang
dihargai Rp 500,00 per liter, hasil penjualan tangkai dan daun
cengkeh yang juga masih laku untuk dipakai sebagai bahan
dasar minyak cengkeh. Hasil terbanyak jelas pemilik pohon.
Satu kg cengkeh kering biasa dihargai minimal Rp 100.000,
bahkan jika sedang mahal berkisar antara Rp 125.000,00
hingga Rp 150.000,00. Satu pohon saja paling sedikit bisa
menghasilkan 20 liter cengkeh, sedang 1 kilogram setara
dengan 4 liter lebih sedikit. Bagaimana jika mereka punya
1.000 pohon? Wah, betapa kayanya mereka, seharusnya...
Sayangnya, dibalik kelebihan itu Sambujan juga dianugerahi kekurangan. Melihat begitu besarnya hasil alam
mereka, tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan...
Sebagian besar penduduk ternyata hanya mengenyam
pendidikan hingga bangku sekolah dasar saja. Ada yang
sekolah hingga sampai ke perguruan tinggi, namun
jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Salah satu staff BKKBN
96

Kecamatan Ogodeide mengatakan bahwa angka putus


sekolah pada laki-laki usia 7-15 tahun di Ogodeide
merupakan angka tertinggi se-Kabupaten Tolitoli. Termasuk
salah satunya adalah di Sambujan. Penyebabnya?
Multifaktor, tentu saja. Selain memang fasilitas pendidikan
yang kurang, infrastruktur jalan yang masih buruk, ternyata
motivasi untuk terus belajar pada remaja juga kurang. Di
Pulau Sambujan sendiri, hanya ada 1 bangunan SD. Dengan
demikian, anak-anak usia SD yang berasal dari pulau di
sekitar Sambujan akan datang ke Sambujan pulau dengan
menggunakan perahu bercadik. Tak jarang, apabila
gelombang laut sedang tinggi, mereka tidak datang untuk
belajar di sekolah.

Gambar 4.
Anak Sekolah dari Pulau
Kecil di Sebelah
Sumber: Dokumentasi
Peneliti

97

Jika ada yang melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA,


maka mereka harus pergi ke kota Tolitoli. Sebab, meski SMP
dan SMA ada pula di ibukota kecamatan, namun jarak
Sambujan Pulau ke kota Tolitoli jauh lebih dekat.
Bagi yang merasa tidak tahan hidup mandiri, di rantau
seringkali beberapa bulan melanjutkan sekolah ke kota,
mereka kembali pulang dan putus sekolah. Belajar dari
pengalaman orangtua yang dulunya juga lulusan SD, ternyata
mereka mampu menghidupi anak-anaknya. Mengapa mereka
tidak? Jika orangtuanya mampu, maka tentunya mereka
juga mampu. Begitu seterusnya, sehingga terbentuk pola
pikir bah pendidikan tidak berpengaruh dalam kehidupan
masa depan.
Faktor pendidikan
merupakan salah satu faktor yang penting untuk
menunjang aspek kehidupan yang lain, seperti kesehatan maupun ekonomi.
Semakin tinggi pengetahuan, akan memungkinkan seseorang untuk semakin sadar menjaga kesehatan,
lingkungan, dan mampu
mengatur manajemen keuangan keluarga hingga bisa
Gambar 6.
jadi mengangkat ekonomi
Seorang Bayi dalam Gendongan
keluarga.
Ibunya
Sumber: Dokumentasi Peneliti

98

Selain angka putus sekolah yang tinggi, angka


pernikahan dini juga cukup tinggi dengan ditemukannya
pasangan yang menikah di usia belasan. Remaja perempuan
biasa menikah di usia belasan, dibanding laki-laki. Tidak ada
ketentuan untuk pemilihan jodoh bagi anak perempuan, asal
ada yang melamar dan mau, maka ia akan dinikahkan oleh
orangtuanya. Alasannya, selain karena sudah bertemu
dengan jodoh di usia tersebut, bila anak sudah menikah, itu
berarti orangtua sudah lepas tanggung jawabnya. Masih
cukup banyak laki-laki yang ditemukan belum menikah
hingga usia 20-an. Hal ini menurut salah satu informan,
dikarenakan orangtua anak perempuan takut menikahkan
anaknya dengan suami yang akan bekerja di laut.
Di sini, di desa yang melimpah hasil lautnya,
melimpah pula anak usia remaja yang putus sekolah. Di sini,
di desa yang melimpah hasil cengkehnya, melimpah pula
bayi-bayi mungil terlahir dari rahim ibu yang berusia belasan
tahun...
Aspek kesehatan yang menonjol adalah pola
pemilihan pengobatan. Masyarakat sudah mengenal
pengobatan modern atau pengobatan medis. Hal ini
dikarenakan di desa tersebut sudah dibangun sebuah
Poskesdes pada tahun 2010 dan terdapat tenaga kesehatan
yang menempatinya. Namun demikian, pola pencarian obat
pertama pada sebagian besar masyarakat adalah mengobati
sendiri terlebih dahulu, baik dengan cara membeli obat yang
dijual di warung atau mencari pertolongan ke dukun
kampung dengan pengobatan tiup-tiup terlebih dahulu.
Apabila dua hingga tiga hari kemudian sakitnya tidak
99

sembuh, barulah ia mencari pengobatan ke tenaga


kesehatan.

Gambar 7.
Pengobatan Tiup-tiup
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya juga sedikit terperangah ketika mengetahui


anak-anak datang ke Poskesdes untuk membeli obat. Tidak
hanya sekali dua kali, tetapi banyak kali yang memakai pola
demikian. Ternyata, mereka diminta oleh orangtuanya
datang ke Poskesdes untuk membeli obat karena orangtua,
adik, atau saudaranya yang lain ada yang sakit. Mereka
membeli tanpa memeriksakan diri terlebih dahulu.
Menurut keterangan dari bidan desa setempat, hal ini
memang sudah biasa. Bidan desa sendiri sebenarnya takut
memberikan obat tanpa melakukan pemeriksaan terlebih
dahulu. Jika obat yang dikonsumsi benar, ia berfungsi
sebagai penawar, namun jika tidak, bisa jadi ia justru
berfungsi sebagai racun, demikian katanya. Hanya saja,
100

pada akhirnya ia mengikuti pola pengo-batan


masyarakat tersebut dengan memberikan obatobatan berdosis rendah,
kemudian keesokan harinya apabila keluar dari
Poskesdes dan bertemu
dengan orang yang bersangkutan (red: orang
yang sakit), akan menanyakan gejala sakit yang
diderita. Selanjutnya ia
menuliskannya di buku
Gambar 8.
data pengunjung PoskesPola Pemeriksaan Panggil-panggil
des. Selain itu, tak jarang,
Sumber: Dokumentasi Peneliti
ia dipanggil untuk datang
memeriksa orang yang sakit di rumahnya, sehingga, tentu
saja, data kunjungan ke Poskesdes bisa jadi bukanlah data
kunjungan yang sebenarnya.

101

102

Malaikat Tanpa Sayap


di Sei Antu
Catatan Peneliti Etnografi Kesehatan 2015
Nor Efendi

Sekadau, 15 mei 2015


Kalimantan Barat, provinsi ini sejatinya bagi saya yang
lahir di Kalimantan Selatan adalah tetangga dekat. Sebagai
tetangga seharusnya daerah ini telah terlebih dahulu saya
kunjungi sebelum daerah-daerah lainnya, baik dalam
rangkaian perjalanan terkait tugas keprofesian bidang
kesehatan maupun destinasi travelling ala backpacker yang
sesekali juga saya lakoni. Namun mirisnya, Kalimantan Barat
seperti provinsi terasing jika dibanding dua provinsi tetangga
lainnya, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Salah satu
penyebabnya mungkin karena akses via darat ke provinsi
berjuluk Bumi Katulistiwa ini tidak seterjangkau seperti ke
kedua provinsi tersebut. Maskapai pun hanya menyediakan
penerbangan jalur transit di bandara pulau Jawa untuk bisa
sampai ke provinsi ini dari tanah kelahiran saya, Kalimantan
103

Selatan. Dan saya harus bersyukur karena Riset Etnografi


Kesehatan 2015 lah yang akhirnya menakdirkan saya
berkesempatan menjejakkan kaki di Kalimantan Barat,
tepatnya di Desa Sei Antu, Kecamatan Belitang Hulu,
Kabupaten Sekadau untuk masa penugasan selama 35 hari.

Gambar 1
Rute perjalanan Jakarta-Desa Sei Antu, Kalimantan Barat
Sumber: Dimodifikasi dari Google Maps

Imajinasi akan spontan tergiring ke nuansa sebuah


desa yang terkesan mistis ketika nama Desa Sei Antu disebut.
Antu dalam Bahasa Dayak yang menjadi etnis mayoritas
penghuni desa berpenduduk 1.404 jiwa ini memang berarti
Hantu. Sehingga terjemahan bebas dari nama Sei Antu
merujuk pada sebuah desa yang sungainya dipenuhi hantuhantu, seram bukan? Kalaupun nanti pembaca belum bisa
mendapatkan kesan seramnya, semata-mata karena
keterbatasan
saya
mengolah
kata-kata
untuk
mendeskripsikannya, hehehe... Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Sekadau yang merekomendasikan penempatan
lokasi penelitian kami di sana pun menegaskan bahwa desa
itu kondisinya memang sesuai namanya. Ketika saya ingin
mengorek keterangan lebih lanjut, beliau menantang kami

104

dengan mempersilahkan membuktikannya sendiri selama


bertugas disana nanti. Hmm...jiwa petualang saya semakin
meronta-ronta untuk menjajalnya.
Nama desa Sei Antu tercipta berdasarkan legenda
yang dituturkan oleh nenek moyang kepada anak cucunya.
Semula desa ini bernama Semelagau dimana konon dahulu
kala terjadi wabah penyakit menular yang menyerang hampir
seluruh warga desa, hingga korban pun berjatuhan. Berbagai
upaya untuk mengatasi penyakit tersebut dilakukan oleh
warga desa, namun tak satupun yang membuahkan hasil.
Hingga tiba suatu masa dimana seorang pemuda Melayu
yang disebut Bujang berburu sampai ke Desa Semelagau
melalui jalur sungai. Setibanya di Semelagau, Bujang yang
tidak disebutkan namanya dalam legenda, melihat sejenis
binatang mirip rusa yang sedang minum dipinggiran sungai.
Sebagai pemburu ia berusaha mendekat untuk
menangkapnya. Namun ketika di dekati, betapa terkejutnya
si Bujang mendapati ternyata hewan tersebut adalah
makhluk jejadian menyerupai manusia dengan badan tinggi
besar namun berkepala kecil seperti rusa. Setelah melalui
perkelahian sengit, Bujang yang memang seorang pemburu
handal akhirnya berhasil melumpuhkan makhluk tersebut
yang kemudian ambruk ke sungai. Warga Desa Semelagau
pun berdatangan menyaksikan peristiwa tersebut, dan ajaib,
penyakit-penyakit yang mereka derita berangsur sembuh.
Bujang di anggap pahlawan yang membebaskan mereka dari
serangan penyakit menular yang diyakini akibat ulah makhluk
jejadian yang mereka sebut sebagai Antu. Dan sungai tempat

105

tumbangnya Antu tersebut diabadikan sebagai pengganti


nama Desa Semelagau menjadi Desa Sei (Sungai) Antu.
Keseraman desa Sei Antu bukan hanya bergema dari
sejarah namanya. Akses jalan menuju desa yang dihuni
penganut Kristen Katolik dan Protestan ini juga menciptakan
kesan ngeri tersendiri. Bagaimana tidak, dari Jakarta perlu
waktu 5 hari buat kami untuk benar-benar sampai di desa ini.
Perjalanan udara yang berakhir saat mendarat di Bandara
Supadio Kota Pontianak, harus dilanjutkan perjalanan darat
selama 6-7 jam menggunakan armada mobil travel jenis
minibus menuju ibukota kabupaten Sekadau tempat transit
pertama.
Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan
menggunakan motor dinas pinjaman dari Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Sekadau dan diantar oleh salah
seorang stafnya sebagai penunjuk jalan menuju Balai Sepuak,
ibukota Kecamatan Belitang Hulu. Perjalanan dari kota
kabupaten menuju ibukota kecamatan paling ujung utara
Sekadau ini kami tempuh dalam waktu 3 jam, salah satunya
dengan menyeberangi sungai terpanjang di Indonesia yaitu
Sungai Kapuas dimana motor yang kami tumpangi juga ikut
dinaikkan ke perahu penyeberangan.
Alat transportasi untuk mencapai Desa Sei Antu dapat
menggunakan roda empat jenis double gardan atau roda dua
dengan melintasi jalanan tanah bergelombang, berlumpur,
menanjak dan menurun lewat hutan serta perkebunan sawit.
Kondisi jalan akan kering dan berdebu saat musim kemarau
dan berubah menjadi ekstrim karena licin dan berlumpur
pada musim hujan. Jalanan yang sebagian besar sepi dari
106

pemukiman penduduk juga menuntut kesabaran, ketahanan


mental yang prima serta nyali ekstra bagi pelintasnya.

Gambar 2
Akses jalur transportasi menuju Desa Sei Antu
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Guyuran hujan deras dan cuaca tidak bersahabat yang


menyambut kedatangan kami, membuat kami harus
bermalam lagi 2 malam di Balai Sepuak, menunggu jalan
dikeringkan oleh alam. Seramnya akses jalan menuju Desa
Antu salah satunya karena tidak direkomendasikan (lebih
tegasnya dilarang) di lalui setelah dan atau saat hujan. Desa
Sei Antu sendiri letaknya paling ujung sebelah utara wilayah
Kecamatan Belitang Hulu. Perlu 2 jam waktu tempuh dari
Balai Sepuak untuk sampai di desa tanpa jangkauan sinyal
telekomunikasi seluler ini. Beberapa masyarakat pemilik
handphone mencoba mengakses sinyal telekomunikasi
seluler dengan bantuan antena rakitan (seperti antena
penangkap siaran televisi) yang harus dipasang dengan
tonggak berketinggian antara 30-50 meter, meski dengan
cara ini pun hanya beberapa saja yang akhirnya berhasil
mendapatkan sinyal dari provider Telkomsel atau Indosat
107

yang kualitasnya juga tidak bisa dibilang bagus dan stabil.


Sumber penerangan listrik pada malam hari di Desa Sei Antu
hanya menggunakan mesin genset milik desa yang
merupakan proyek bantuan pemerintah serta sebagian milik
pribadi dengan kapasitas lebih kecil. Sebagian masyarakat
juga menggunakan listrik yang bersumber dari tenaga surya.
Aliran listrik dari genset milik desa terbatas menyala mulai
sekitar pukul 18.00 sampai 20.30 WIB.
Desa Sei Antu yang luasnya 80 Km2 dan sebagian
besar wilayahnya berupa hutan hujan tropis, terbagi menjadi
3 dusun yang terpisah dan dipimpin oleh masing-masing
kepala dusun yaitu Dusun Sei Antu Hulu, Dusun Sei Antu
Pulau dan Dusun Sebelantau dibawah kepemimpinan
administratif seorang kepala desa yang dipilih masyarakat.
Kantor pemerintahan administrasi desa berada di Dusun Sei
Antu Hulu, walaupun dusun dengan jumlah penduduk
terbanyak dan tempat tinggal kepala desanya berada di
Dusun Sebelantau. Selain kepala dusun, juga ditunjuk
seorang ketua adat di masing-masing dusun yang diberikan
wewenang untuk mengatur hukum dan peraturan adat. Desa
Sei Antu dikenal masih kuat memegang adat istiadat dan
budaya etnis Dayak, salah satu buktinya dengan masih
berdirinya Rumah Betang Panjang yang mereka sebut Rumah
Panyai, tersisa satu-satunya di wilayah Kabupaten Sekadau.
Rumah Panyai yang menurut penuturan penanggung jawab
tersebut bisa dihuni sampai 17 kepala keluarga dalam satu
atap, telah dibangun sejak tahun 1966. Desain Rumah Panyai
seperti rumah-rumah panjang milik etnis dayak lainnya,
berupa bilik-bilik untuk masing-masing kepala keluarga
108

bertempat tinggal yang hanya dipisahkan oleh dinding.


Konstruksinya berbentuk rumah panggung tinggi sekitar 3-4
meter dari atas permukaan tanah dengan kayu Tebelian
sebagai bahan utamanya. Tebelian di daerah lain dikenal
dengan sebutan kayu Ulin atau kayu Besi merupakan kayu
unggul yang tidak akan mudah lapuk meskipun termakan usia
ratusan tahun. Kayu Tebelian banyak terdapat di hutan-hutan
Kalimantan di mana etnis Dayak bermukim.

Gambar 3
Rumah Adat Panyai Etnis Dayak Mualang Di Desa Sei Antu
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Di desa penghasil lada dan karet ini saya berkenalan


dengan IP (25 tahun), seorang perawat berdarah blasteran
dari ibu Dayak dan ayah Cina, yang bertugas di Puskesmas
Pembantu (Pustu) Dusun Sebelantau. IP lah yang kemudian
kami rekrut menjadi asisten peneliti Kedekatan langsung
terjalin antara saya dan IP karena kesamaan latar belakang
profesi dan tentu saja karena selama di Sei Antu kami akan
109

sangat membutuhkannya untuk mengguiding perburuan


informan yang akan diwawancarai dalam riset kali ini.
IP berstatus pegawai tidak tetap yang dikontrak oleh
pemerintah daerah setempat untuk mengisi kekosongan
petugas kesehatan di desa terpencil. Meskipun seorang
putera daerah yang berasal dari desa lain di kecamatan yang
sama, namun masa pendidikan akademi keperawatannya
dihabiskan di salah satu institusi swasta di Jakarta. Godaan
hiruk pikuknya keramaian ibukota tak menyurutkan niat dan
tekadnya untuk kembali dan mengabdikan diri di daerah asal.
Walaupun belum terlalu langka, namun pengabdi kesehatan
yang berjiwa seperti IP jumlahnya semakin terbatas di negeri
ini. Manusiawi memang jika umumnya petugas kesehatan
seperti perawat, bidan, maupun dokter akan lebih memilih
mengabdi (bekerja) di daerah yang enak dan nyaman bagi
mereka, di banding harus bersusah-susah mendekam di
daerah terpencil, perbatasan atau kepulauan dengan gaji
yang terkadang juga hanya pas-pasan sesuai standar biaya
hidup yang tinggi di zona luar biasa tersebut.
...sejak dikirim orang tua ke Jakarta untuk
melanjutkan pendidikan, saya memang sudah berniat
untuk mengabdi di kampung. Mungkin karena saya
anak kampung, lahir dan besar di kampung, jadi hati
dan jiwa saya sudah terikat dengan kampung. Dan ilmu
saya tentu saja lebih dibutuhkan di kampung seperti ini
daripada di kota besar sana. Lagipula saya memang
lebih suka hidup tenang dengan suasana kampung
yang sepi seperti disini, daripada di Jakarta yang
kemana-mana di hadang macet....

110

Penuturan IP sedikit menyentil saya yang 2 tahun


terakhir merasa begitu menikmati hidup sebagai kaum urban
ibukota. Terkadang saya merasa bangga sendiri bisa
menikmati keramaian dan segala fasilitas yang tersedia di
Jakarta. Bangga bisa melanjutkan pendidikan magister di
universitas paling ternama negeri ini walaupun dengan
topangan beasiswa pemerintah. Bangga bisa terlibat sebagai
peneliti freelance seperti sekarang ini. Astagfirullah...
kebanggaan saya yang mungkin berselimut takabur dan
sombong melipir. IP mengingatkan saya bahwa saya juga
anak kampung dan saya juga harus kembali ke kampung,
membangun kampung dengan ilmu dan karya saya.

Gambar 4
Pustu Dusun Sebelantau Desa Sei Antu Tempat IP Bertugas
Sumber : Dokumentasi Peneliti

IP baru sekitar 3 bulan bertugas di Pustu yang


mengalami kekosongan selama 3 tahun setelah ditinggal

111

minggat oleh pendahulunya. Kiprah IP yang masih tergolong


singkat telah mulai dirasakan oleh masyarakat Dusun
Sebelantau khususnya dan Desa Sei Antu umumnya.
Beberapa masyarakat yang saya temui secara terpisah
banyak yang mengungkapkan kehadiran IP bak pelepas
dahaga di tengah kehausan akan layanan petugas kesehatan.
Masyarakat Desa Sei Antu meskipun masih kuat memegang
adat dan tradisi, namun untuk urusan pelayanan kesehatan
terutama pengobatan, mereka sudah sangat terbuka dan
menerima layanan modern. Sepenggal pengakuan
masyarakat yang menggambarkan betapa berartinya
kehadiran petugas kesehatan di daerah terpencil yang jauh
dari jangkauan layanan kesehatan tergambar dari hasil
wawancara saya dengan salah seorang informan berikut ini :
...semenjak pak IP ada disini, kami tidak perlu lagi
jauh-jauh berjalan kaki ke desa lain di kabupaten
tetangga untuk mengimunisasi anak ke Posyandu
setiap bulan. Dulu kami berjalan puluhan kilo dengan
waktu bisa sampai dua jam. Itupun terkadang kami
harus bersabar menunggu anak-anak penduduk asli
sana yang didahulukan semua mendapatkan
imunisasiny. Baru jika imunisasinya ada sisa,bisa
diberikan kepada kami yang istilahnya sebagai orang
luar, di sana. Terkadang lelah perjalanan jauh kami dan
waktu yang kami sempatkan untuk kesana, terbuang
sia-sia jika imunisasinya sudah keburu habis digunakan
anak-anak penduduk asli sana... (Ibu S,38 tahun).

Ahh..ini kan Indonesia. Ini kan masih satu pulau, satu


provinsi, satu suku. Tapi hak-hak generasi penerus bangsa

112

untuk mendapatkan sehat melalui layanan imunisasi dasar,


ternyata masih terkesan diskriminatif karena keterbatasan
sumber daya yang disediakan pemerintah. Semoga jika masih
ada kasus-kasus seperti ini di belahan Indonesia lainnya,
saya berharap para orangtua yang sudah memiliki kesadaran
tinggi akan pentingnya imunisasi sebagai salah satu prasyarat
hidup sehat, dapat tetap sabar menunggu malaikat-malaikat
tanpa sayap seperti IP didatangkan pemerintah bertugas di
daerah mereka.

Gambar 5
Kegiatan Posyandu Mekar Dusun Sebelantau
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Di kesempatan lain saya juga mendapat curhatan


seorang suami yang merasa sangat berhutang nyawa karena
isterinya yang mengalami luka parah akibat sabetan parang

113

ketika meladang, berhasil diselamatkan oleh perawatan


tangan IP.
...lukanya besar dan mengeluarkan darah yang
banyak. Seharusnya waktu itu isteri saya dirujuk ke
kota. Tapi tau sendiri lah dengan kondisi jalan dan desa
kami yang terpencil disini. Kalau menunggu sampai ke
kota, bisa-bisa isteri saya meninggal di tengah jalan.
Untung sudah ada pak IP yang bisa menginfus dan
menjahit luka lalu merawatnya sampai sembuh....

Ketika saya konfirmasi ke IP tentang peristiwa ini, IP


merendah dengan menjawab bahwa ia hanya melakukan
sebisanya untuk menolong masyarakat yang diamanahkan
kepadanya. Padahal alat kesehatan dan obat-obatan yang
disediakan pemerintah sebagai modal IP bertugas menurut
saya masih sangat terbatas. Beberapa alat dan obat-obatan
di Pustu Sebelantau bahkan dibeli dan diusahakan sendiri
oleh IP secara swadaya, demi bisa memberikan pelayanan
terbaik sesuai kebutuhan penugasannya. Terkadang kita
merasa hanya melakukan hal-hal kecil menurut kapasitas
keilmuan kita. Namun bisa jadi justeru terasa teramat
bernilai bak seorang malaikat dimata orang-orang yang
menerimanya. Jadi, jangan pernah berhenti memberi, sekecil
apapun itu, dalam keterbatasan kita
Selama melakukan riset dan bekerjasama dengan IP,
saya berkesempatan kembali bernostalgia mengasah
kemampuan klinis dengan ikut membantu menangani pasienpasien yang datang ke Pustu atau memanggil IP ke rumah
untuk mendapatkan homecare. Kerinduan akan hubungan
interpersonal dengan pasien-pasien yang beberapa tahun lalu
114

pernah saya nikmati sedikit terobati dengan memberikan


pelayanan berduet dengan IP. Sambutan masyarakat pun
semakin menambah semangat saya untuk bukan hanya
sebatas menyelesaikan misi penelitian, tetapi sambil
menapaktilasi masa lalu saat berjuang menjalankan tugas di
sebuah pedalaman pemukiman transmigrasi di Kalimantan
Selatan.
Pengabdian IP sebagai perawat kesehatan yang
mengabdi di desa terpencil tidak hanya bertabur puja puji
dan gelimang terimakasih. Tantangan pengabdian juga cukup
besar menghadang. Sebagai desa yang telah lama
ditinggalkan petugas kesehatan sebelumnya yang seorang
bidan desa, masyarakat desa ini nyaris kehilangan sentuhan
terhadap pertolongan persalinan tenaga kesehatan. Dukun
kampung laki-laki yang telah berusia 65 tahun versi KTP
beliau yang ditunjukkan kepada saya saat wawancara, adalah
satu-satunya penolong persalinan yang telah dipercaya dan
diandalkan masyarakat. Hampir semua ibu hamil, bersalin
dan nifas di desa ini mempercayakan layanan kesehatan
reproduksinya ke kakek tua yang mereka sebut sebagai bidan
kampung tersebut.
Bidan kampung yang mengaku telah berpraktik sejak
usia 40 tahunan ini masih tampak gagah di usianya yang
terbilang sudah cukup sepuh. Jangkauan pelayanannya pun
ternyata juga cukup luas, bahkan beberapa kali pernah
dipanggil pasiennya sampai ke kota Pontianak, selain tentu
saja ke desa-desa, kecamatan dan kabupaten tetangga.
Popularitasnya mungkin mengalahkan para bidan senior
bahkan spesialis kebidanan dan kandungan sekalipun.
115

Gambar 6
Sulitnya akses rujukan membuat IP terkadang harus
menginfus pasiennya di rumah
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pelayanan yang diberikan bidan kampung yang


namanya cukup unik ini (sama persis dengan nama salah satu
jenis tanaman serbuk terlarang) sebenarnya cukup
sederhana, hanya mengandalkan keterampilan pijat dan urut
dari tangannya. Apalagi jenis kelamin beliau yang seorang
laki-laki mungkin memang sedikit membatasi gerak untuk
melakukan tindakan yang lebih dari itu, termasuk dalam
menolong persalinan. Satu hal yang membuat saya terhenyak
ketika mengetahui bahwa bidan kampung ini masih
menggunakan sembilu bambu untuk memotong tali pusat
bayi baru lahir. Keterhenyakan saya berlanjut ketika
mewawancarai
ibu-ibu
yang
pernah
melahirkan
menyebutkan bahwa budaya perawatan tali pusat neonatus

116

dengan cara diludah menggunakan hasil kunyahan sirih


pinang dari nenek atau keluarga bayi lainnya, masih
dipraktikkan. Hmm...kombinasi yang sudah sangat bagus
untuk memicu kejadian Tetanus Neonaturum. Namun
kenyataan di lapangan mementahkan semua faktor risiko ini.
Kompilasi data baik dari Dinas Kesehatan, Puskesmas
Sebetung yang menjadi Puskesmas Induk Pustu Sebelantau
Desa Sei Antu, bahkan hasil wawancara mendalam dengan
sedikit teknik bergerilya agar bisa menelusuri fakta
sebenarnya, memberikan hasil yang sama. Tidak ada
kematian bayi di seluruh wilayah desa ini setidaknya dalam 3
tahun terakhir. Saya kemudian berhusnuzon bahwa
Clostridium tetani memang tidak ada yang hidup di desa ini,
walaupun ini pemikiran dangkal yang hanya berbasis data
kasat mata.
Rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
(nakes) sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi IP dalam
melaksanakan tugas di desa ini. Namun dibalik itu saya
melihat sebuah peluang, bahwa ketidakrisihan para ibu
bersalin mempercayakan perangkat dapurnya kepada
penolong berjenis kelamin laki-laki bisa jadi entry point bagi
IP untuk setidaknya menjalin kemitraan dengan sang bidan
kampung. IP sempat ragu tentang hal ini dengan alasan tidak
terlalu terampil dalam urusan menolong partus (parsalinan),
karena dia hanya seorang perawat, bukan bidan. Namun
setelah saya menceritakan pengalaman betapa dahulu ketika
bertugas di desa terpencil, dimana kita adalah satu-satunya
petugas kesehatan yang menjadi ujung tombak dalam
mendongkrak cakupan persalinan nakes, menolong partus
117

adalah suatu keniscayaan yang harus saya lakukan, IP pun


tergugah. Dan saya harus mensupport dia dengan
membagikan file-file
serta video
langkah-langkah
pertolongan partus terkini. Dalam kesempatan lain berakrabakrab dengan sang bidan kampung saya manfaatkan untuk
menginisiasi kemungkinan kemitraan tersebut, dengan
bahasa bahwa IP adalah adik saya yang baru lulus dan
bertugas di desa tersebut, membutuhkan banyak bimbingan
dan sharing pengalaman serta keterampilan dalam menolong
persalinan. Alhamdulillah, bidan kampung kakek G
memberikan respon yang positif. Semoga sepeninggal saya
nanti, upaya ini membuahkan hasil di kemudian hari. Tidak
muluk-muluk, cukup dengan dimulainya kerjasama dua lelaki
ini dalam menolong persalinan dan mengganti alat pemotong
tali pusat dari sembilu menjadi gunting steril.
Tak terasa waktu 35 hari masa riset akan segera
berakhir. Selama itu pula saya terus menikmati hari-hari,
menyaksikan sebuah pengabdian besar yang mungkin
terlihat kecil atau bahkan tersembunyi di tengah luasnya
nusantara ini. Pengabdian seorang insan kesehatan yang
terlihat tulus, walaupun tarif yang diterima atas jasanya
masih harus dihutang, atau bahkan diganti dengan berbagai
sayuran dan pangan yang saat itu ada dan dimiliki pasienpasiennya, serta tidak sedikit pula yang hanya mampu
mengucapkan terimakasih dan untaian doa. Tapi saya yakin
IP akan terus bahagia dengan darmabaktinya. Saya tahu itu
karena kami sudah begitu dekat selama 35 hari ini. Terus
semangat IP, terus berjuang menjadi salah satu pahlawan
kesehatan bangsa ini. Salam sejawat!
118

Apakah Ini Bukan Masalah


Kesehatan Masyarakat??!
Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin
Agung Dwi Laksono

Banjarmasin, 06 Mei 2015


Pagi itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh
berkumandang, mobil jemputan kami sudah datang. Pak Yan,
sopir yang menjemput kami, sudah stand by di lobby Hotel
Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar
sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum cap cus
menyusuri Sungai Barito.
Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga
wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak browsing
destinasi wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan
sudah cukup ramai dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai
bertebaran.
Dermaga wisata terletak persis di seberang sebuah
masjid bersejarah, Masjid Sultan Nuriansyah. Masjid klasik
dengan gaya arsitektur tempo dulu khas Banjar, dibangun
119

dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan mungkin


secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu.
Terlihat jamaah sholat subuh baru bubar di masjid ikonik
tersebut.

Gambar 1.
Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin
(gambar diambil saat menjelang siang)
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami menyewa perahu motor berpatungan dengan


tiga orang gadis yang secara kebetulan kami temui di depan
halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu
tercapai. Kami mendapat harga Rp. 250.000,- untuk
menyusuri Sungai Barito sampai dengan nanti sekitar pukul
07.00 WITA.

120

Langit masih gelap saat kami memulai perjalanan,


kamera prosumer kacangan kesayangan saya tak mampu
menangkap gambar apapun yang nampak dengan cukup
baik. Ahh lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri,
melipat tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang
mulai beranjak pergi.
Pagi tenang mulai terganggu dengan deru berisik
mesin tempel perahu yang mulai lalu lalang. Sisi kiri dan
kanan sepanjang sungai tampak rumah penduduk bak
panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak
seberapa lama di sisi kiri nampak Dermaga Penumpang
Trisakti, sementara berjarak tak seberapa jauh mulai nampak
kapal pengangkut batubara.

Gambar 2.
Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami tiba di lokasi Pasar Terapung. Belum banyak


perahu para pedagang yang terlihat biasa berjualan di sungai
ini, hanya ada beberapa saja yang sudah mulai melakukan

121

barter barang dagangan antar mereka. Sistem barter


memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi
jenis barang dagangannya. Terlihat eksotik, saat perahu para
pedagang itu hilir mudik dengan background matahari yang
mulai menampakkan hidungnya.

Gambar 3.
Aktivitas Pagi Pasar Terapung
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Satu-persatu para pedagang mulai menghampiri


kami, menawarkan buah pisang emas, limau (jeruk), mentega
(Apokat), dan beberapa dagangan lainnya. Kami membeli
pisang emas sekedarnya, tiga cengkeh pisang emas kecil-kecil
kami tebus dengan harga Rp. 10.000,-.

122

Gambar 4.
Wisatawan Nusantara sedang Menawar Pisang
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 5.
Kartini Masa Kini
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selang sebentar nampak perahu yang dikemudikan


seorang laki-laki paruh baya mendekat ke arah kami.
123

Woww surprised! Dia berjualan nasi bungkus, gorengan dan


kopi! Hahaha warung kopi terapung bok!
Cara mengambil gorengan yang tersedia di atas
perahu pun terlihat sangat unik. Bagi penumpang perahu
yang tidak bisa mendekat disediakan galah panjang yang di
ujungnya diikatkan sebatang kawat dari jari-jari roda sepeda.
Panjang galah lak lebih dari 1,5 meter. Pembeli tinggal
mencocok kue atau gorengan dengan galah kawat tersebut.
Sederhana dan terlihat gampang, meski pada kenyataannya
perlu ketenangan untuk dapat menusuk dengan tepat.
Apalagi saat ada perahu motor yang lewat, yang membuat
gelombang sehingga perahu pun turut bergoyang, lebih
terasa seperti mancing.

Gambar 6.
Pembeli yang Sedang Mancing Gorengan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kami pun asyik menyantap gorengan yang


ditawarkan. Saya menghabiskan dua potong bakwan dan
124

satu potong pisang goreng. Lumayan mengenyangkan untuk


sarapan pagi.
Mulut terasa penuh, tenggorokan terasa mengering,
sepertinya saya harus pesan minum, mungkin bisa segelas
kopi tubruk kegemaran saya. Tapi kami terdiam, saya dan
rekan saling pandang, kami melihat mamang penjual
gorengan mencuci gelas bekas kopi dengan air sungai.
Menggunakan sabun juga memang, tapii
Saat ini bulan Mei, meski seharusnya sudah mulai
musim kemarau, tetapi pada kenyataannya semalam masih
turun hujan dengan sangat deras. Air sungai terlihat keruh,
coklat.
Hari semakin terang, saat kami mulai bisa melihat
aktivitas pagi penduduk yang mendiami sepanjang daerah
aliran Sungai Barito. Hampir seluruh aktivitas bersih-bersih
dilakukan di sungai. Mencuci baju, manci, gosok gigi, dan
bahkan (maaf) buang air besar. Hampir tidak ada jarak, atau
katakanlah cuman berjarak 1 meter, antara aktivitas mandi
dan gosok gigi dengan aktivitas buang air besar. Kami tidak
hanya menemui satu atau beberapa penduduk saja yang
beraktivitas seperti itu, tapi kami melihat banyak sekali.
Meski aktivitas buang air ini di tempat yang lebih tertutup,
tapi
Saya jadi berpikir, apakah mereka nyaman dengan
kondisi tersebut? Apakah mereka tidak merasa hal itu sebuah
masalah? Bukankah ada Universitas Lambung Mangkurat di
daerah ini? Saya lihat ada Fakultas Kedokteran di sini, atau
jangan-jangan para akademisi tersebut juga merasakan hal

125

ini biasa saja, bukan sebuah masalah? Ahh jangan-jangan


hanya saya saja yang terlalu lebay.

Gambar 7.
Sarana Cuci, Mandi, Gosok Gigi dan Buang Air Besar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut informasi pak Yan, sopir kami, di daerah


tersabut air bersih sudah ada, sudah masuk sampai ke
rumah-rumah penduduk. Iya pak, air bersihnya sudah ada,
sudah sampai ke rumah-rumah hanya saja masyarakat sini
sudah merasa terbiasa, sudah merasa nyaman melakukan
aktivitasnya di sungai MCK juga sudah disediakan pak.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan
oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
pada tahun 2013, angka cakupan akses dan sumber air bersih
masyarakat di Kota Banjarmasin mencapai kisaran 82,58%.
Angka capaian ini jauh lebih baik dan bahkan hampir dua kali
lipat bila dibanding angka Provinsi Kalimantan Selatan
sebesar 43,75%, dan angka Indonesia pada kisaran 40,51%.
126

Artinya bahwa secara akses masyarakat mempunyai akses


tersebut, hanya saja hal ini kemungkinan berbeda dengan
perilaku yang tampak.
Angka cakupan PENGAKUAN perilaku buang air
besar dengan benar pun tercatat sangat tinggi, mencapai
angka 93,31%. Capaian cakupan ini cukup jauh di atas angka
provinsi yang hanya pada kisaran 75,52% dan angka nasional
sebesar 82,59%. Masih menyisakan pertanyaan besar di
kepala saya, benarkah PENGAKUAN mereka tersebut?
Mungkin ini juga merupakan salah satu kelemahan survei
yang dilakukan secara cross sectional.
Ahh jangan-jangan memang benar cuman karena saya yang
lebay.

127

128

Tradisi Betimung
Sekilas Potret Perkawinan Anak
di Suku Banjar Bakumpai Muara Sungai Barito
Astutik Supraptini

Banjar, 25 Mei 2015


Proses riset etnografi kesehatan yang pengumpulan
datanya dilakukan selama sebulan, banyak meninggalkan
kesan bagi peneliti. Perjalanan ini bagi peneliti telah
melahirkan sensitivitas, pemahaman dan apresiasi pada
ragamnya kehidupan ini. Perjalanan untuk mengungkap
makna.
Suku Banjar dikenal sebagai pemeluk agama Islam
yang taat dan ritual keagamaan yang cukup padat dalam
kehidupan masyarakatnya. Martapura sebagai ibukota
Kabupaten menjadi pusat aktivitas keagamaan di Provinsi
Kalimantan Selatan.
Desa yang menjadi lokasi Riset Etnografi Kesehatan di
Kabupaten Banjar adalah desa Podok yang terletak di
kecamatan Aluh-Aluh, yang jaraknya sekitar 1,5 jam dari kota
129

Martapura. Untuk mencapainya ditempuh dengan perjalanan


darat, dan dilanjutkan dengan perjalanan menyeberang
sungai selama 40 menit.

Gambar 1
Dermaga penyeberangan di Aluh-Aluh.
Sumber: Dokumentasi peneliti, April 2015

Pada saat tim peneliti menyeberang dari dermaga


Aluh-Aluh, saat itu air sedang pasang tinggi. Kami yang baru
pertama menyeberangi sungai dengan kapal kelotok (perahu
kayu bermesin) cukup tegang, apalagi ketika kapal kelotok
oleng beberapa kali karena tingginya dan derasnya arus air.
Pada saat persiapan daerah, kami memang mengunjungi
desa ini dengan naik speedboat Puskesmas, yang tentu saja
perjalanan dengan speedboat lebih cepat 2 kali lipat daripada
naik kapal kelotok dan ketinggian air tidak setinggi ini.

130

Perasaan menjadi tenang ketika perjalanan sudah


melewati Pulau Kaget, pulau yang hanya dihuni oleh
bekantan, monyet kecil dan kawanan burung-burung. Hal ini
berarti tidak lama lagi kami akan sampai. Kami menjadi lega
ketika melihat kembali deretan rumah panggung di tepi
sungai, beberapa orang yang beraktivitas di sungai, dan
ucapan selamat datang di desa Podok yang dipasang di salah
satu WC warga yang terletak di pinggir sungai. Perahu kami
segera mendarat di dermaga yang ternyata berada di
belakang toko pemilik rumah yang akan kami sewa. Begitu
kami turun dari kapal, terlihat beberapa orang yang secara
sukarela membantu mengangkat barang-barang kami.
Ternyata mereka semua sebagian besar adalah kerabat
pemilik rumah. Segera kami berjalan menuju rumah yang
akan kami tempati selama 33 hari untuk pengumpulan data
kajian ini.
Di rumah yang akan ditempati tim peneliti, pemilik
rumah sudah menunggu kedatangan kami. Cukup banyak
orang yang menemui tim di hari kedatangan, termasuk
Pembakal (Kepala) desa ini. Sambutan yang hangat dan
keceriaan membuat kami optimis untuk proses selama
sebulan lebih beberapa hari di tempat ini.
Bagi penduduk desa ini, sungai adalah urat nadi
kehidupan. Penduduk desa ini meskipun dikatakan orang
Banjar, namun secara Sukuitas masih berakar pada Dayak
Bakumpai atau menyebut dirinya sebagai Dayak
Bahari/Dayak Pantai. Masyarakat berinteraksi dan
beradaptasi dengan sungainya yang membentuk pola budaya
kehidupan masyarakat sungai. Keterkaitan penghuni
131

permukiman pinggir sungai dengan sungai yaitu (1) sungai


memenuhi kebutuhan dan aktivitas transportasi, (2) aktivitas
ekonomi sungai dan termasuk di dalamnya sebagai sumber
ekonomi, (3) aktivitas mandi, cuci, kakus, dan persampahan
yang berlangsung di sungai, dan (4) kebutuhan akan
pemenuhan air bersih. Bagi masyarakat Podok yang wilayah
geografisnya dipisahkan oleh 4 aliran sungai, maka fungsi
sungai menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan
mereka.

Gambar 2
Kondisi Desa, Infrastruktur Jembatan serta Sungai
Sumber: Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Salah satu hal yang berkesan bagi peneliti adalah


ketersediaan alat transportasi untuk memudahkan mobilitas
warga. Kapal kelotok yang memberikan jasa antar dan
jemput hanya 1 kapal saja, yang hanya beroperasi untu
mengantar anak sekolah di tingkat Aliyah di Aluh-Aluh di pagi
132

hari dan menjemput di siang hari di Kecamatan Aluh-Aluh.


Jadi, bagi yang ingin bepergian ke kecamatan, mesti
menyesuaikan dengan jadwal anak sekolah.
Selama mengikuti penyeberangan dari Podok ke AluhAluh pulang pergi, peneliti melihat tidak cukup banyak anak
yang melanjutkan ke jenjang SMA. Padahal, jika melihat yang
masih duduk di SD dan MTs cukup banyak. Menurut
beberapa warga, kebanyakan warga memang sekolah sampai
SD atau SMP. Jikapun melanjutkan sekolah tinggi dan belum
mendapatkan pekerjaan, maka akan menjadi perbincangan
warga. Mengenyam pendidikan tidak dirasa terlalu penting,
apalagi untuk anak perempuan. Banyak anak perempuan
ketika lulus SD dan masih di bangku MTs keluar sekolah
karena dikawinkan. Salah satunya adalah Julaiha, yang masih
ingin sekolah tapi harus memendam keinginan itu karena
dikawinkan.
Peneliti mengetahui kisahnya berdasarkan tuturan
keponakan pemilik rumah, yang memang satu sekolah
dengannya di MTs. Perkawinan akan segera dilakukan, salah
satu ritual persiapan pernikahan adalah Betimung. Ritual
tersebut biasanya dilakukan malam hari selepas sholat Isya.
Kami akan menghadiri ritual tersebut dengan naik kapal
kelotok. Jarak rumah peneliti dengan rumah informan cukup
jauh, apalagi tidak ada penerangan jalan di malam hari.
Setelah Isya kira-kira pukul 19.45, tim peneliti
ditemani oleh Idah, Sanah dan Qiah yang merupakan temanteman sekolah informan, kami menuju Podok Darat dengan
menyewa kapal kelotok untuk mengambil video tentang
tradisi Betimung. Tradisi Betimung ini dalam istilah popular
133

dikenal dengan meratus. Dalam ritual ini, pengantin baik


perempuan maupun laki-laki diuapi dengan air rebusan daun
pandan, serai, daun kayu manis, daun lengkuas agar tubuh
menjadi wangi. Menurut Amang Rahman yang menyopir
kapal kelotok, aroma Betimung ini bisa bertahan selama 3
hari.
Calon pengantin perempuan adalah teman sekolah
Sanah dan Qiah yang baru berumur 15 tahun. Sepanjang
perjalanan menyusuri sungai di tengah malam yang pekat
dan yang terdengar hanyalah suara mesin kelotok serta suara
arus air, peneliti berbincang dengan Sanah dan Qiah.
Menurut mereka, teman sekolahnya tersebut sebetulnya
masih ingin meneruskan sekolah dan mempunyai pacar.
Namun keluarganya terpaksa menjodohkan dia karena
merasa berat untuk membiayai pendidikan yang dirasa
mahal. Menurut orangtua Julaiha dan kebanyakan
masyarakat disini, pendidikan tinggi tidak terlalu bermanfaat
baginya, sebab tugas perempuan adalah mengurus rumah
tangga.
Lokasi rumah informan yang akan dikunjungi hampir
di perbatasan desa Podok dan desa Terapu. Suasana sangat
sepi dan gelap. Tidak terlihat penerangan sedikitpun di
sepanjang jalan. Jejeran pohon nipah di pinggir sungai hanya
nampak seperti bayangan hitam yang bergerak-gerak karena
ditiup angin. Angin malam cukup dingin terasa menerpa poripori kulit. Dari kejauhan terlihat sinar lampu yang cukup
terang, dan disanalah kiranya rumah si empunya hajatan dan
tempat hajatan itu akan dilakukan.

134

Kapal segera berlabuh di dermaga. Sayangnya di


dermaga tersebut sudah ada kapal kelotok yang cukup besar
yang juga ditambatkan. Amang Rahman, mencoba mencari
jalan masuk di sela kapal yang tertambat tersebut. Kapal
berhasil menepi, meskipun kami harus berpegangan pada
pelepah nipah untuk turun ke titian dan naik ke daratan.
Sepanjang jalan yang dipijak, banyak sekali pelepah nipah
dan daun nipah yang dipotong. Menurut Idah, pelepah
tersebut diambil daunnya untuk membuat ketupat sebagai
pelengkap soto Banjar. Soto Banjar dikatakan sebagai soto
karena dimakan bersama ketupat yang biasanya terbuat dari
beras dibungkus daun nipah. Jika kuah dimakan dengan nasi,
maka namanya bukan soto Banjar, tetapi sop ayam. Dari hasil
observasi peneliti, ukuran ketupat yang dibungkus daun
nipah hampir seukuran buku tulis, yang merebusnya
memerlukan waktu sekitar 5 jam dengan kayu bakar.
Peneliti mengamati bahwa rumah tempat tinggal yang
terletak tidak jauh dari pinggir sungai dijadikan tempat untuk
resepsi. Asumsi ini diambil oleh peneliti karena melihat
beberapa orang menyiapkan pelaminan dan di muka rumah
terdapat kain sebagai dekorasi penyambutan. Peneliti
menanyakan pada Idah, dimana tempat Betimungnya.
Ternyata ruangan tempat Betimung di rumah panggung kayu.
Kami melewati jembatan kayu kelapa dan tanah yang cukup
becek karena hujan. Suasana gelap, karena penerangan
hanya ada di sekitar rumah. Saat kami melewati jembatan
kayu kelapa untuk masuk ke rumah panggung kayu, banyak
laki-laki muda yang sedang menikmati musik dangdut yang
cukup keras dan berusaha menarik perhatian kami dengan
135

kata-kata yang dilontarkannya. Peneliti sendiri tidak paham


secara detil artinya karena diucapkan dengan cepat, tetapi
paham bahwa tujuannya untuk mencari perhatian dari kami.
Idah menyarankan agar kami tidak terlalu menghiraukan hal
itu. Selama perjalanan di kapal kelotok, peneliti sempat
mendengar Amang Rahman mengatakan bahwa menjelang
resepsi pengantin, selain Betimung, banyak laki-laki yang
akan main kartu domino (istilah lokalnya dum) sebagai
selingan kegiatan ikut berjaga sampai pagi hari (istilah
populer di Jawa adalah melekan). Tidak jarang juga diselingi
minuman keras dan musik dangdut. Dalam permainan dum
ini ada hadiah yang diperebutkan, dan yang kalah mukanya
akan dicoret dengan pupur dingin.
Di luar rumah panggung terlihat ibu yang sedang
menjerang air rebusan ramuan Betimung dengan tungku
kayu. Api menyala berkobar dibawah panci besar yang warna
luarnya menghitam. Menurut ibu tersebut, ramuan yang
direbus malam ini tidak komplit, karena hanya menggunakan
daun pandan, daun serai, dan daun lengkuas. Daun kayu
manis menurutnya cukup sulit didapat. Di dalam ruang
tengah rumah panggung yang ternyata cukup sempit
tersebut penuh dengan orang yang merupakan teman
pengantin perempuan. Tampak pengantin perempuan
berwajah muram dan menangis dihadapan teman- temannya
yang hadir malam itu. Pertanda dia tidak menginginkan
perkawinan dengan laki-laki asal Keliling Benteng, Sungai
Rangas. Peneliti merasakan kondisi yang sulit untuknya dan
bagaimana jalan hidup dipilihkan baginya.

136

Melihat mempelai perempuan yang kurang


bersemangat dan sedih, teman-temannya yang hadir disitu
berusaha menghibur dengan membuat candaan seputar
perkawinan. Beberapa dari mereka yang usianya sebaya
tersebut juga sudah menikah, bahkan ada yang sejak lulus SD
dikawinkan. Yang hadir dalam acara Betimung pengantin
perempuan adalah para perempuan, sehingga yang akan
mendokumentasikan proses Betimung adalah peneliti dan
asisten peneliti. Sedangkan rekan peneliti yang laki-laki
menunggu diluar dengan Amang Rahman. Dalam amatan
peneliti, suasana Betimung mirip malam melepas masa
bujang, dimana teman-teman sebaya hadir dalam acara
tersebut, dan saling bercanda yang mungkin suasana akan
berbeda jika bertemu dengan status baru setelah menikah.
Prosesi ritual masih menunggu ramuan Betimung
mendidih. Di luar ruangan rumah panggung terlihat api terus
membesar menjilat panci seakan berkejaran dengan waktu
agar ritual tersebut segera dilakukan. Ibu informan
menyiapkan kotak kayu berlubang yang digunakan tempat
duduk informan selama ritual Betimung. Kotak kayu tersebut
berasal dari pengeras suara yang sudah tidak terpakai. Selain
kotak tersebut, disiapkan tikar yang terbuat dari rumput dan
kain-kain ukuran lebar untuk membungkus mempelai
perempuan agar uap tersebut benar-benar meresap dalam
pori-pori kulit. Luluran bedak dingin sebagai perawatan pasca
diuapi juga disiapkan dalam 2 wadah cawan. Lulur dingin
yang digunakan berbeda dengan bedak dingin biasanya.
Menurut Idah, saat Betimung yang digunakan, yaitu lulur

137

berwarna kuning yang memang biasanya digunakan sebagai


perawatan menjelang perkawinan.
Ibu yang menjaga api mengatakan bahwa panci sudah
mendidih, dan segera mengangkat panci tersebut ke ruang
tempat Betimung. Mempelai perempuan yang hanya
menggunakan kemben duduk di atas kotak kayu dengan
panci diletakkan di depan dia duduk. Informan kemudian
dibungkus dengan tikar, mengelilingi tubuhnya. Setelah itu,
kain panjang tiga lapis dibungkuskan diatas tikar yang
membungkus tubuh informan, sehingga yang terlihat adalah
kepala informan yang terlihat berkeringat. Ekspresi wajah
informan saat diuapi menahan panas uap ramuan dengan
ekspresi datar, meskipun yang hadir melemparkan candaan
dalam bahasa Banjar. Proses penguapan sekitar 30 menit,
kain pembungkus dilepas satu persatu, demikian pula tikar.
Semua alat-alat dibereskan, tubuh informan yang
bermandikan keringat dilap dengan handuk. Lulur warna
kuning mulai dibalurkan ke tubuh pengantin agar kulitnya
bersih dan menambah pesona pada saat resepsi perkawinan.
Kami mohon pamit dengan mengucapkan selamat
menempuh hidup baru, dan permohonan maaf tidak bisa
hadir saat resepsi. Informan hanya tersenyum simpul dan
mengucapkan terimakasih.
Peneliti kemudian keluar ruangan acara Betimung
yang sesak oleh banyaknya orang, debu statis yang
menempel pada atap rumah yang terbuat dari anyaman daun
nipah kering yang rontok karena banyaknya orang yang hadir
di ruangan, dan aroma kesedihan pengantin perempuan. Di
luar ruangan, udara terasa lapang dan segar memenuhi
138

ruang bernapas peneliti. Diluar terdengar pula suara musik


dangdut dan suara beberapa orang yang sedang bermain
dum. Kami ingin melihat pelaminan yang akan digunakan
oleh kedua mempelai. Di pintu masuk ruangan tersebut
terdapat kain yang dipasang diatas pintu dan didesain untuk
penyambutan tamu-tamu yang akan hadir.

Gambar 3
Prosesi Betimung Pengantin Perempuan (Kiri), dan Lulur dalam Acara
Ritual Betimung (Kanan)
Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015

Di dalam ruangan tersebut, terdapat dua pelaminan


berwarna hijau dan merah yang akan digunakan pada saat
resepsi dengan baju yang berbeda, baju pengantin kebaya
biasa dan baju adat Banjar yang berwarna putih. Peneliti
melihat bahwa di bawah pelaminan terdapat sesajen beras.
Sesajen masih digunakan agar pengantin terhindar dari
gangguan roh jahat karena pengantin perempuan memakai
pakaian seperti putri-putri kerajaan. Disamping pelaminan
juga terdapat kamar pengantin yang bernuansa merah.
Peletakan kamar pengantin di dekat pelaminan ini tidak
bermakna apa-apa, menurut salah satu ibu yang ada di
139

ruangan tersebut, lebih disebabkan terbatasnya ruangan


yang ada di dalam rumah ini. Di sekitar pelaminan banyak
orang bermain dum, dan beberapa orang yang mukanya
dicoret serta menggunakan kalung dari batang daun nipah
yang dipotong dan diikat dengan rafia. Orang yang dicoret
dan berkalung batang nipah tersebut, ternyata orang yang
kalah taruhan. Kami berpamitan pada tuan rumah dan
mengucapkan terimakasih atas kesediaan menerima kami.
Waktu telah menunjukkan pukul 21.30.
Kami meninggalkan tempat yang terang benderang
oleh lampu persiapan pesta pernikahan dan kembali ke kapal
kelotok yang bersandar di pinggir sungai yang gelap.
Sepanjang jalan menyusuri kembali sungai yang semakin
pekat oleh malam, peneliti memikirkan tersanderanya
perempuan di desa ini untuk mengembangkan potensi
dirinya. Pernikahan anak di satu sisi merupakan jalan keluar
instan atas kondisi ekonomi yang dirasa kian berat. Namun
disisi lain, akan menimbulkan akibat dengan rentetan cukup
panjang, mulai fisik, psikologis, hingga potensi kematian.
Kehamilan pada usia remaja beresiko tiga hingga tujuh kali
lipat berujung pada kematian ibu dibandingkan kehamilan
pada rentang usia 20-35 tahun. Kehamilan pada usia remaja
memiliki dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja
tersebut dan janin yang dikandungnya. Secara psikologis,
seorang anak tidak seharusnya membesarkan seorang anak.
Anak perempuan yang menikah dan hamil pada usia remaja
justru sedang mengalami transisi menjadi dewasa dan
sedang membutuhkan berbagai penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan yang sedang ia alami. Memberi
140

tekanan kepada mereka dalam bentuk tanggungjawab


pengasuhan dan kewajiban-kewajiban pengelolaan rumah
tangga memiliki konsekuensi terhadap kesehatan jiwa.
Hak pendidikan anak juga terenggut. Pendidikan yang
cukup adalah salah satu sumber terang kehidupan ini.
Sumber terang tersebut kian meredup dengan pembenar
ketiadaan biaya, kurang pentingnya pendidikan bagi
perempuan, dan sudah adanya orang yang melamar.
Menerima lamaran bukanlah suatu yang menyalahi nilai
sosial budaya yang disepakati dan ayat-ayat dalam ajaran
agama.

141

142

Mengenal Banjar Lebih Dekat


Catatan Perjalanan di Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan
Sutamin Hamzah

Banjar, 18 Mei 2015,

Awal Langkah, menuju muara di Desa Podok,


Kabupaten Banjar
Fenomena masyarakat Indonesia akan hadirnya batu
akik yang masih menjadi buah bibir dimana-mana dapat
tersaji di Kabupaten Banjar, salah satu dari 11 kabupaten di
propinsi Kalimantan Selatan yang terkenal dengan pusat
intan dan batu alam lainnya. Mayoritas orang Banjar
memeluk agama Islam, mereka menjadikan Kabupaten
Banjar sebagai serambi Mekah Provinsi Kalimantan Selatan.
Perjalanan dari Bandara Samsudin Noor yang terletak di
Banjarbaru menuju ke kabupaten ini bisa ditempuh dengan
waktu 30-40 menit untuk bisa sampai dipusat kabupaten
dengan luas wilayahnya mencapai 4.688 km2 dan jumlah
penduduk kurang lebih 506.204 jiwa.
143

Secuplik gambaran Kabupaten Banjar yang diperoleh


peneliti pada saat membaca isi informasi dari jendela
Wikipedia, di sela-sela perjalanan. Tepat pukul 07.30 tim
peneliti menuju ke lokasi penelitian di kecamatan. Aluh-Aluh,
Desa Podok sebagai lokasi Riset Etnografi Kesehatan 2015
yang menjadi berkah kesempatan peneliti untuk melihat
Indonesia dari Pulau Borneo bagian selatan. Menggunakan
mobil sewa dengan perjalanan kurang lebih memakan waktu
90 menit. Sesampainya di lokasi, tim peneliti mengunjungi
Puskesmas setempat dan Kantor Camat Aluh-Aluh untuk
mengurus perijinan dan berkoordinasi tentang pelaksanaan
pengumpulan data di lapangan.
Mengenal Kecamatan Aluh-aluh lebih dekat di
peroleh dari Camat Aluh-Aluh Bapak SHT yang berada
diruangan kerjanya. Beliau mengatakan, Kabupaten Banjar
sudah ada sejak tahun 1950 dan Kecamatan Aluh-Aluh
merupakan salah satu Kecamatan dari 6 Kecamatan,
sehingga terbentuknya Kabupaten Banjar. Menurut orang tua
disini, bahwa sejarah dari nama kecamatan Aluh-Aluh,
pernah ada pahlawan wanita di sebut Aluh, yang seperti di
Banda Aceh ada pahlawan Cut Nyak Dien.
Lanjut cerita, beliau menginformasikan keadaan
Masyarakat Aluh-Aluh yang memanfaatkan sungai sebagai
sumber kehidupan. Mata pencaharian rata-rata nelayan di
laut dan di sungai, selain itu juga sebagai petani padi di
pehumaan (sawah). Hasil perikanan yang terkenal di
Kecamatan Aluh-Aluh meliputi udang, cumi, dan kepiting.
Angka kemiskinan Aluh-Aluh masih tertinggi di bawah angka
rata-rata Kecamatan Gambut. Secara geografis Kecamatan
144

Aluh-Aluh terbagi atas 19 Desa 13 Desa diantaranya berada


di pinggiran Sungai Barito dan pesisir pantai. Masyarakat
disini masih menaruh harapan besar untuk perbaikan
infrastruktur seperti jalan dan jembatan sebagai akses dan
mobilitas penduduk. Untuk sarana pendidikan di Kecamatan
Aluh-Aluh terdapat SD dan Paud, SMP persiapan kurang lebih
sudah ada 9 buah. Kalau di Podok sudah ada SMP Seatap.
Untuk transportasi di pesisir menggunakan kelotok (perahu
bermesin). Luas wilayah Kecamatan Aluh-Aluh kurang lebih
82,48 km2 (sambil mengambil data dan memperlihatkannya)
kepada tim peneliti.
Kegiatan tim peneliti dilanjutkan dengan berangkat ke
Desa Podok dengan menggunakan kelotok milik dari Bapak
SRB. Sangat menantang dengan suara mesin di kelotok yang
terdengar merdu bersisik. sepanjang perjalanan kami di
suguhi dengan pemandangan perbatasan laut dan sungai
yang indah di pandang mata mengobati terik panas matahari
yang menusuk ke pori-pori kulit.
Wilayah Desa podok secara geografis terbagi atas 3
RT. Yang dikelilingi oleh aliran Sungai Barito. Terlihat aktifitas
masyarakat sehari-hari dengan beraneka ragam kegiatannya
masing-masing. Perjalanan kurang lebih 30 menit dari AluhAluh Besar (Pusat Kecamatan). Akhirnya tim peneliti sampai
juga di tempat tinggal dan disambut dengan hangatnya oleh
masyarakat setempat. Membawa barang bawaan yang di
bantu oleh beberapa warga, sangat membuat suasana disaat
itu bagaikan kegotong-royongan pendatang dan tuan rumah
yang baik.

145

Gambar 1
Muara Desa Podok, Aliran Sungai Barito
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Di tempat tinggal kami berbincang dengan ibu hj. RML


selaku pemilik rumah yang kami tempati. Ada beberapa
warga yang datang melihat kami bersamaan juga dengan
datangnya pak Pembakal (kepala desa) yang menambah
suasana semakin nyaman dan tentram. Sambil berbincang
kami membangun raport dengan beberapa warga (ibu-ibu)
yang ada dan memperkenalkan diri dan maksud kedatangan
tim peneliti ke Desa Podok. Dengan rasa syukur yang tak
terhingga kami diterima dengan senang hati oleh Pak
Pembakal dan masyarakat setempat.

Hidup bersama mereka (Orang Bahari) di Desa Podok


Pengalaman yang tak terlupakan, menyatu dengan
alam, belajar budaya dan kesehatan bersama mereka,
masyarakat Suku Banjar yang menghuni Desa Podok,
Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar. Setiap pertemuan
pasti ada perpisahan, tak terasa 33 hari berada di Negeri
146

Borneo bagian selatan dengan julukan khasnya yakni kota


seribu sungai, hal ini pula yang dapat tergambarkan di
sebuah Desa bagian selatan dari kabupaten Banjar. Mereka
menamakan dirinya adalah orang bahari atau orang sungai
yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya, menyatu
dengan kehidupan sungai sebagai nyawa mereka.

Gambar 2
Kebersamaan tim peneliti bersama masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Tak pelak hal ini menjadikan kami, hidup bersama


mereka, sembari bercengkrama, belajar bahasa daerah
setempat, sampai mereka tertawa melihat geliat kami yang
sedang membahasakan bahasa Banjar. Tetapi suasana yang
demikian mulai membangun keakraban yang hangat dengan
masyarakat setempat yang akhirnya kami diterima dengan
senyum dan sebuah pengharapan untuk desa mereka. Tali
silaturahmi pun terjalin, seminggu kami di desa ini sudah
dianggap bagian dari keluarga kecil mereka.

147

Berobat pada Keluarga, itulah pilihan kami


Masyarakat Banjar, Desa Podok memilih untuk
berobat ke sarana fasilitas kesehatan yakni Puskesmas dan
Puskesmas Pembantu yang sudah tersedia. Di Desa Podok
sendiri hanya ada satu-satunya sarana fasilitas kesehatan
yakni Pustu yang sudah lama berdiri sejak tahun 2004.
Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat tak
luput dari pelayanan kesehatan ibu dan anak, dan
pengobatan bagi mereka yang sakit. Tenaga kesehatan yang
ditempatkan sejak tahun 2011 seorang bidan bernama
Nahwati, usia 28 tahun, sudah berkeluarga dan dikaruniayi 2
putra kembarnya.
Ibu NHW yang merupakan bidan desa Podok,
menyampaikan kepada kami bahwa rata-rata masyarakat di
Desa ini, berobat ke fasilitas kesehatan terkadang nanti pada
saat kondisi sudah parah, tak berdaya, tak bisa apa-apa.
Akhirnya proses rujukan yang dibantu oleh beberapa orang
TKS atau tenaga kesehatan sukarela yang juga orang asli desa
setempat harus diampuh untuk segera memperoleh
pengobatan.
Desa Podok, memiliki sumber daya manusia dibidang
kesehatan, ada beberapa dari mereka sudah bekerja di luar
dari wilayah Desa atau Kecamatan dan sebahagian lagi
memilih untuk mengabdikan diri di kampung sendiri.
Terhitung kurang lebih ada sekitar 7 orang dengan bidang
keahlian yang berbeda seperti tenaga perawat, bidan dan
gizi.

148

Ikatan kekeluargaan yang kuat membuat masyarakat


Banjar di Desa Podok memilih untuk berobat kepada mereka,
dengan alasan bahwa selain sebagai keluarga, akses
kesehatanpun secepatnya bisa dijangkau dengan biaya yang
murah dan mampu dijangkau oleh masyarakat. Memilih
untuk berobat kepada keluarga sendiri sudah menjadi
budaya bagi masyarakat setempat selain mencari obat di
warung, pasar dan pengobatan alternatif lainnya.

Gambar 2
Pelayanan kesehatan oleh TKS di rumah praktek
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Sebut saja matri IJ (tenaga perawat) dan bidan ID


(tenaga bidan) yang sering kali dikunjungi masyarakat untuk
memberikan pelayanan kesehatan. Melayani masyarakat
dirumah dengan membuka tempat praktek seadanya,
pelayanan kesehatanpun dijalankan oleh mereka. Menolong
sesama keluarga dan tanpa mengharapkan imbalan yang
lebih hanya sekambarinya atau seikhlasnya sudah cukup bagi
mereka yang terpenting adalah kami bisa membantu
masyarakat setempat agar lekas sembuh.

149

Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat


Kekeluargaan yang terjalin erat membuat mayoritas
masyarakat yang bekerja sebagai petani dan nelayan, di Desa
ini mengisi kegiatan rutin di setiap minggunya dengan
melaksanakan acara maulid burdah. Sudah mentradisi sejak
dahulu kala di desa ini, dan masih terpelihara sampai
sekarang. Semua golongan umur ikut terlibat mulai dari anakanak, remaja, dewasa sampai orang tua. Dilaksanakan di
waktu yang berbeda setiap minggunya. Masyarakat Banjar di
Desa Podok mempercayai bahwa dengan diadakannya
kegiatan seperti ini akan membawa rahmat bagi mereka. Baik
untuk kesehatan warganya, menjaga kampung dan
pendidikan agama kepada anak-anak mereka yang sudah
ditanamkan sejak dini.

Gambar 3
Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Maulid Burdah, diisi dengan membacakan kitab


kuning yang sudah disediakan oleh pelaksana acara, sembari
melantunkan salawat nabi, zikir dan tahlilan dengan irama
yang sama nan syahdu menjadikan setiap suasananya
150

nyaman dan tentram. Setelah menjalani proses ini manfaat


yang diperoleh yakni ketenangan hati dan juga sebagai
penyejuk jiwa bagi masyarakat setempat. Sisi positif yang ikut
terbentuk yakni ikatan silaturahmi antar sesama warga selalu
dan senantiasa terjalin. Di sesi akhir kegiatan ini. Hal kecil
yang terlihat adalah ketika orang muda menghormati orang
tua dengan menyalami dan berjabatan tangan pada saat
sampai hingga pada waktu pulang.

Kami Orang Sungai, dari Dulu Hingga Sekarang


Secara kasat mata, kehidupan masyarakat Banjar di
Desa Podok bisa dikatakan 100% menggunakan air sungai
untuk kehidupan sehari-harinya. Mulai dari aktifitas mandi,
mencuci, memasak, dan buang hajat kesemuanya di sungai.
Tak ada tempat lain selain memanfaatkan sungai sebagai
sumber kehidupan mereka. Rumah-rumah penduduk yang
bertebaran di pinggiran sungai dan terbagi diantara tiga
wilayah Desa Podok yakni, Podok Darat atau RT 1, Podok
Tengah atau RT 2 dan Sakajarak/Sakamangkok atau RT 3.
Kurang lebih 2.500 jiwa penduduk yang menghuni
dan mendiami Desa ini, mengharuskan mereka untuk setiap
hari menyatu dengan alam. Air sungai yang setiap harinya
mengalami proses pasang-surut tak membuat masyarakat
enggan untuk tetap menggunakan dan memanfaatkan air
tersebut sebagai kebutuhan. Menyediakan tempat
penampungan air sederhana dengan tawas penjernih yang
dibeli perbungkusnya, dirasa sudah cukup bagi masyarakat
untuk memperoleh air bersih dan jernih. Tak memandang

151

syarat akan kesehatan atau telah menghilangkan kumankuman penyakit air bersih yang sudah tersediapun bisa
langsung dikonsumsi. Baik dimasak maupun tak dimasak.
Dalam wawancara peneliti dengan beberapa orang
bapak-bapak Banjar yang sedang asyik duduk di selasar
rumah mengatakan bahwa,
Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang. Kalau
bukan di sungai dimana lagi? Bahkan waktu dulu orang
sini bisa langsung mengkonsumsi airnya. atau air yang
dari sawah tanpa melihat bersih tidaknya air tersebut
tidak ada juga kena sakit. Buktinya masyarakat disini
sehat semua sampai umur 100 tahun masih ada yang
hidup. Kami sudah kebal dengan air disini beda dengan
orang yang dikota, semuanya harus bersih. Sakit itu
hanya datang dari sang maha pencipta dan kami
percaya bahwa air yang kami konsumsi sudah baik
untuk kami tanpa mengakibatkan sakit.

Terdiam, terkejut itulah ekspresi saya ketika


mendengarkan curahan hati dari masyarakat setempat akan
kebiasaan mereka pada saat mengkonsumsi air sungai yang
di ceritrakan informan. Bahkan untuk membuktikan hal
tersebut tim peneliti ditantang untuk mencoba
mengkonsumsi air yang dikonsumsi pula oleh warga
setempat. Kepercayaan bahwa ketika orang yang meminum
air ditempat ini akan selalu ingat dengan tempat ini
disampaikan pula oleh informan. Atas dasar ingin hidup
bersama masyarakat tim penelitipun membuktikan
tantangan tersebut. Beragam kebiasaan masyarakat yang
sering kali dilakukan pula oleh tim peneliti. Tak pelak

152

menjadikan kami semakin menyatu dengan kehidupan warga


setempat. Benar-benar pengalaman tak terlupakan
Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang, suatu
pengutaraan yang mendebarkan hati. Melihat Indonesia dari
sudut selatan pulau Kalimantan merupakan gambaran kecil
masyarakat yang menamakan diri mereka seperti itu dan tak
memandang sisi dampak negatif yang akan di timbulkan. Baik
sakit karena konsumsi air sungai atau kebiasaan mereka yang
setiap harinya berada di sungai. Yang terpenting adalah
mereka hidup dan menyatu dengan alamnya.

Gambar 4
Sungai, Sumber Kehidupan Masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Informasi yang diperoleh dari Puskesmas bahwa


setiap tahun angka kesakitan diare meningkat di Desa ini, hal
ini disebabkan oleh karena musim pergantian air dimana
pada bulan 7-9 air sungai yang tadinya berasa tawar menjadi
payau dengan rasa asinnya. Membuat masyarakat tetap

153

mengkonsumsi air dan tetap bertahan hidup di sungai


walaupun dengan konsekuensi menderita diare tanpa
mengenal usia. Situasi seperti ini tak bisa hanya dengan cara
yang instan untuk mengantisipasinya. Puskesmas dan
petugas kesehatan setempat berjibaku untuk meminimalisir
dampak negatif bagi kesehatan mayarakat di Desa ini. Tak
pelang, upaya-upaya kesehatanpun dilakukan walau dengan
serba keterbatasan.
Kepala Puskesmas mengatakan bahwa masyarakat di
Desa Podok masih menggunakan air sungai yang sering diberi
kaporit ataupun tawas dengan hasil penyaringan air yang
serupa tapi tak sama masih dikonsumsi dan menjadi suatu
kebutuhan yang selalu terpenuhi bagi masyarakat setempat.
Tak jarang juga masyarakat yang sudah sekian lama
mengkonsumsi air tersebut yang kadangkala sudah tidak
dimasak lagi harus mengalami sakit seperti diantaranya diare.
Apalagi pada saat musim air payau yaitu suatu musim dimana
ada pergantian antara air laut dan air sungai. Biasanya terjadi
pada bulan juli di setiap tahunnya. Pada saat itulah
masyarakat Podok datang ke Puskesmas dengan keluhan
prioritas adalah diare. Dengan keadaan ini penyakit diare bisa
saja meningkat kalau tidak dengan cepat dan tanggap di
minimalisir untuk meningkatkan kewaspadaan dini atas
penyakit diare yang ada di Desa Podok. Tapi rata-rata di
hampir seluruh wilayah pesisir PKM Aluh-Aluh kondisinya
hampir sama.
Keberadaan air sungai pun dirasa relatif
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat terlebih pada
angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh bawaan air
154

diantaranya diare tadi. Sangat sulit dan butuh waktu untuk


mensosialisasikan akan ketersediaan air bersih dan juga
bahaya akan pencemaran air yang ada, karena rata-rata
masyarakat tinggal bertahun-tahun dan sudah terbiasa
dengan lingkungan setempat. Kepercayaan inilah yang sulit
untuk dihilangkan. Sungai sudah menjadi sebuah kebutuhan
masyarakat. Baik untuk keperluan sehari-hari atau bagi mata
pencaharian seperti nelayan dan distribusi air untuk
persawahan. Air sungai sudah menjadi bagian yang melekat
dan tak terpisahkan dengan keberadaan masyarakat
setempat. Walaupun secara kasat mata sangat berpengaruh
terhadap status kesehatan masyarakat setempat. Kami hanya
bisa berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakan
masyarakat melestarikan dan membudidayakan perilaku
hidup bersih dan sehat.

Sarana Pelayanan Kesehatan dan Keberadaannya


Masyarakat Banjar di Kecamatan Aluh-Aluh,
memperoleh pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) Aluh-Aluh. Dengan statusnya rawat
inap dan merupakan salah satu Puskesmas PONED dengan
wilayah kerja 19 Desa. Keberadaan bangunan Puskesmas
yang berada di Pusat Kecamatan, dengan jarak 15 m letaknya
dengan Kantor Camat Aluh-Aluh menjadikan sarana fasilitas
kesehatan berada di posisi yang strategis walaupun masih
sulit untuk menjangkau Desa yang jaraknya jauh dari PKM.
Tiga belas desa yang berada dipinggiran Sungai Barito
mengharuskan petugas kesehatan untuk mendatangi dan

155

melakukan kunjungan pelayanan kesehatan agar merata. Alat


transportasi menggunakan spedd, kendaraan sungai satusatunya yang dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan
Puskesmas, di antaranya Posyandu dan pengobatan. Untuk
desa yang berada di daratan Puskesmas memiliki 2
kendaraan beroda empat (mobil ambulance) dan beberapa
kendaraan beroda dua (motor). Kendaraan darat yang
digunakan membantu petugas kesehatan dalam hal proses
rujukan pasien ke sarana pelayanan kesehatan tingkat ke dua
yakni Rumah Sakit pemerintah maupun swasta yang berada
di Kabupaten Banjar. Memakan waktu kurang lebih 90 menit
untuk menuju ke rumah sakit.

Gambar 5
Puskesmas Aluh-Aluh dan sarana transportasi darat dan sungai
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Mengedepankan upaya kuratif tanpa mengkesampingkan upaya preventif, suatu gambaran yang terlihat di
Puskesmas Aluh-Aluh. Dalam 2 tahun terakhir yakni di tahun
2013-2014 jumlah tenaga kesehatan yang ada kurang lebih
40 orang yang terbagi atas dokter umum 2, dokter gigi 1,
tenaga gizi 2, tenaga perawat 12, tenaga bidan 22, tenaga
156

analisis lab 2 dan hanya ada 1 tenaga kesmas di tahun 2011.


Realita keberadaan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas
Aluh-Aluh. Promosi kesehatan yang seharusnya menjadi
salah satu garda terdepan di puskesmas harus tertelan
dengan aktifitas petugas kesehatan yang mengedepankan
upaya kuratifnya. Puskesmas masih sangat membutuhkan
tenaga kesehatan masyarakat, terlebih menjawab gambaran
dan situasi pola hidup masyarakat yang berkaitan dengan
PHBS.
Keberadaan
Puskesmas
menjadi
alternatif
pengobatan medis bagi masyarakat, pelayanan di buka pukul
09.00 WITA di setiap harinya. Masyarakat paling banyak
berobat di hari Jumat karena hari pasar di pusat kecamatan.
Masyarakat datang berbondong-bondong untuk mendatangi
puskesmas di pagi hari. rata-rata bisa sampai 50 orang yang
berobat dengan berbagai macam keluhan penyakit yang di
derita. Ada yang datang sendiri dan ada pula yang datang
bersama sanak keluarga. Memadati ruangan pelayanan yang
hanya ditopang oleh kayu ulin dibawahnya sebagai tiang
penyanggah, cahaya yang kurang, akses udara yang terbatas,
tempat duduk seadanya. Orang muda dan orang tua dengan
prosedur pelayanan yang diawali dari jendela register pasien
dan berakhir di meja apotik. Suasana ramai, saling bertegur
sapa dan pelayanan kesehatan yang diberikanpun
dijalanakan oleh tenaga kesehatan yang sudah standby di
ruangan mereka masing-masing.

157

Cerita kecil, dibalik asa masyarakat


1. Seberkas usaha kesehatan ibu antara bidan desa dan
dukun kampung
Usaha kemitraan antara penolong persalinan baik
secara medis maupun tradisional, masih mengalami jalan
buntu dan belum selaras. Dari hasil pengamatan peneliti di
lokasi, temuan dilapangan yang menggambarkan bahwa
masih adanya kepercayaan ibu akan jasa yang diberikan oleh
dukun kampung lebih besar dibanding dengan bidan desa.
Sembari duduk, dan menunggu anak mereka yang bersekolah
di TK, para ibu mengatakan melahirkan di DK lebih murah,
dan proses persalinan didampingi sampai kepada
membersihkan ibu dan bayinya. Di bidan desa, sulit dijangkau
semacam perlu biaya tambahan untuk satu paket
pertolongan persalinan. Ada tambahan pemberian susu
untuk ibu pasca melahirkan dan juga obat-obatan, akan
tetapi belum sampai kepada membersihkan ibu dan bayinya
hingga proses persalinan selesai, terkadang bidan desa tidak
melakukan itu. Hingga akhirnya kami memilih untuk ditolong
oleh DK.
Pendekatan dengan kelas ibu hamil yang
menghadirkan 10 orang bumil di setiap minggu 1 bulan
berjalan dilakukan oleh bidan desa yang memiliki target 30
bumil untuk tahun 2015. Masih tak sejalan dengan target
yang ditetapkan oleh dinas kesehatan Kabupaten Banjar yang
disampaikan oleh bidan sendiri yakni 53 orang. Dengan
alasan beragam seperti diantaranya ibu hamil yang susah
diajak, pendidikan ibu hamil masih di bawah rata-rata

158

setingkat SD yang sedikitnya menghambat proses


keberlangsungan kelas ibu hamil agar efektif. Hal lain yang
dilakukan oleh DK dengan mengunjungi dan melakukan
pendampingan secara intens kepada ibu hamil melalui
perawatan dan pelayanan tradisionalnya seperti diantaranya
urut bumil, dan betapung tawar pasca melahirkan masih
dibudayakan. Sampai-sampai dari 2 DK aktif di Desa Podok
satu diantaranya membuat catatan ibu melahirkan yang
ditolong. Hal yang diluar dugaan.
Dari segi pendekatan emosional sangatlah berbeda,
terkadang masyarakat berfikir bahwa lebih dekat dengan DK
ketimbang bidan desa. Lebih nyaman dengan DK ketimbang
bidan desa, merasa bahwa DK lebih mengedepankan
keikhlasannya untuk membantu ketimbang bidan desa,
menerima apa adanya, tak mengenal waktu, situasi, cepat
hadir ditengah-tengah mereka ketimbang bidan desa. Suatu
pemikiran yang sebenarnya terdapat sisi positif yang
mungkin pula bisa di aplikasikan oleh bidan desa untuk
membangun sebuah kemitraan baik dengan dk sendiri
maupun keluarga dari si ibu hamil. Akankah itu bisa
dilakukan??? Sepintas berfikir bahwa dimata masyarakat
para ibu-ibu Banjar, dk adalah orang terpilih dari jasa yang
diberikan, bidan desapun menjadi orang terpilih datang ke
desa untuk menyatu. Dan berusaha menjadi orang terpilih
dimata para ibu-ibu selaknya pandangan mereka kepada dk.
Proses dan waktu yang berjalan akan menjawab semua ini.
Seiring sejalan dengan penyesuaian bidan desa yang
berusaha untuk mengenal budaya lokal spesifik yang telah
lebih dulu diketahui oleh dk sendiri.
159

Gambar 7
Kelas ibu hamil (kiri) (kanan) Betapung Tawar
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

2. Inikah yang disebut Suami Siaga?


Tepat pada tanggal 5 mei 2015, tim peneliti
melanjutkan langkah perjuangan untuk melakukan observasi
kegiatan Posyandu yang bertepatan pula dengan hari pasar di
Desa Podok. Undangan kepada masyarakat yang terdengar
dari pengeras suara dalam mesjid Baiturahman di sampaikan
langsung oleh bidan desa untuk kiranya menghadiri
pelaksanaan kegiatan Posyandu yang akan dimulai pukul
09.00 wita. Upaya ini dilakukan setiap kali jadwal Posyandu,
namun terkadang masyarakat masih enggan untuk datang ke
Posyandu sebab kepercayaan yang berkembang di
masyarakat bahwa ketika ada pelayanan imunisasi yang
diberikan oleh petugas kesehatan, tidak mendapatkan
kesehatan malah sakit yang diperoleh, yaitu panas sehabis
disuntik. Hal lain yang diutarakan oleh ibu-ibu kader
Posyandu bahwa waktu pagi bertepatan dengan kegiatan
kerja masyarakat. Lebih baik kerja daripada ke Posyandu.
Dari dua alasan diatas sepenuhnya menjadi suatu keputusan
dari sang suami kepada istri dan anaknya. Sangat
160

disayangkan kata yang terlontar dari peneliti ketika


mendengar hal tersebut. sambil mengamati kegiatan
Posyandu yang ada seperti pelayanan kesehatan ibu hamil,
pemeriksaan KB, pengobatan lansia, penimbangan, imunisasi,
pemberian vitamin A, dan pemberian makanan tambahan
bagi ibu dan anak yang datang ke Posyandu ragam kegiatan
yang ada. pustu menjadi wadah dilaksanakannya kegiatan ini.
Beberapa orang ibu dan anaknya mulai berdatangan,
pelayananpun mulai diberikan.
Tak satupun kaum adam yang turut hadir dalam
kegiatan Posyandu ini, peran suami masih sangat kurang dan
jarang
ditemukan
untuk
sama-sama
melakukan
pendampingan kepada sang istri dan anak. Mengingatkan
peneliti kepada cerita dari bapak M yang mengatakan bahwa
ketika isterinya melahirkan beliau tidak sedang berada
ditempat karena lebih memilih untuk bekerja di sawah. Anak
kedua yang dilahirkan diketahui dari tetangga yang
menyebutkan bahwa istrinya sudah melahirkan anak
perempuan. Melahirkan dirumah, dibantu oleh keluarga
dalam hal ini ibu dari informan dan DK pada waktu itu.
Sangat jarang bahkan tidak pernah informan mendampingi
istrinya untuk pergi ke Posyandu memeriksakan kehamilan
secara rutin. Informan tergolong keluarga kurang mampu
yang tak memiliki jaminan kesehatan. Membuat informan
harus merogok kocek lebih untuk pergi ke pelayanan
kesehatan. Sehingga membuat informan lebih memilih
menunggu di rumah selagi keadaan masih aman untuk
istrinya.

161

Meninggalkan secuplik kisah diatas menandakan


bahwa peran suami untuk keberlangsungan pelayanan
kesehatan kepada sang isteri masih sangat kurang bahkan tak
ditemukan. Hanya suami-suami terpilih dan berani berkorban
lebih demi cinta kasih dan sayang kepada keluarga yang
mampu membuktikan hal ini. Tak di sangka di desa Podok tim
peneliti menemukan satu dari ribuan jiwa kaum adam yang
mendiami desa ini membuktikan akan pentingnya suami di
samping istri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
sepenuhnya, terlebih kepada ibu hamil sampai proses
melahirkan. Informan tak menyadari bahwa apa yang telah
iya lakukan merupakan salah satu dari program kesehatan
yang berkembang dimasyarakat dan hanya segelintir kaum
adam yang mampu melakukan hal ini.

Gambar 8
Suami Siaga di Desa Podok
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Suami siaga patut disebut kepada bapak


dengan usianya yang sudah berkepala 30 tahun dan
berprofesi sebagai petani di dusun 3 Desa Podok. Baginya

162

menjaga keluarga sangat penting terlebih untuk memenuhi


usaha kesehatan. Informan selalu memberikan dukungan
kepada istri dan kedua anaknya untuk rajin datang ke
Posyandu jika waktunya tiba. Informan juga meluangkan
waktunya untuk beayunan salah satu tradisi orang Banjar
untuk menidurkan anak. Biasanya disertai dengan nyanyian
kidung. Berusaha untuk memberikan waktu yang lebih demi
keluarga kecilnya, mendampingi dan menjaga karena
informan berpegang teguh bahwa keluarga adalah yang
nomor satu.
Riset etnografi kesehatan membelajarkan banyak hal
kepada peneliti, melihat situasi kesehatan yang
sesungguhnya, kepekaan dan rasa yang dialami oleh
masyarakat dengan serba keterbatasan tak menyulitkan
mereka untuk berusaha mencari kesehatan yang
sesungguhnya. Hal kecil yang tak disangka menjadi suatu
bentuk usaha meninggikan derajat kesehatan di wilayah
pelosok negeri ini yang masih perlu sentuhan oleh penentu
kebijakan. Mengenal lebih dekat dengan kehidupan mereka
hal sederhana yang bisa dilakukan dengan perjuangan dalam
kurun waktu yang tak bisa dipastikan. Dibalik perjuangan itu
pasti semua akan terjawab dan hanya ada satu diantara
banyak orang yang mau dan mampu mengedepankan
kesehatan di atas segala-galanya.

163

164

Cerita dari Pulau Sapudi


Izzah Dienillah Saragih

Sapudi, 30 Mei 2015


Oh ada ya bagian Indonesia namanya Pulau Sapudi,
begitu pikir saya waktu pertama kali mengetahui lokasi
penelitian Riset Etnografi Kesehtan 2015. Sempat kecil hati
saat ditempatkan di tempat yang jangankan dikunjungi,
mendengar namanya saja baru pertama kali. Sementara
teman-teman lain yang sama-sama dari Medan ditempatkan
di Sumatera. Saya merasakan kecemasan yang bergairah.
Takut, tapi tidak sabar menunggu; Bagaimana di sana? Siapa
saja yang akan ditemui di sana? Apa yang Tuhan rencanakan
dalam perjalanan kali ini?
Pulau Sapudi adalah bagian dari Indonesia, hanya tiga
jam menyeberang dengan kapal dari Kabupaten Sumenep.
Which is Sumenep sendiri adalah kabupaten paling ujung di
Pulau Madura dan hanya lima jam dari Kota Surabaya. Tidak
terlalu antah berantah, bukan?. Tapi memang seperti kata
pepatah, tak kenal maka tak sayang.
165

Gambar 1.
Peta Letak Pulau Sapudi
Sumber: Provinsi Jawa Timur

Saya tiba di Pulau Sapudi pada Minggu dua puluh


enam Mei yang cerah. Tertahan sehari di ibukota kabupaten
karena cuaca yang tidak baik, sehingga tidak ada kapal yang
berani menyeberang. Setelah menempuh tiga jam
penyeberangan dengan kapal feri (kata penumpang lainnya
laut cukup bagus dan kapal tidak goyang, tapi cukup
membuat saya menyesal kenapa tidak minum obat anti
mabuk sebelum berangkat), kami tiba di Pelabuhan Dungkek
dan dijemput dengan ambulans Puskesmas oleh Pak Abu,
supir Puskemas dan Mas Lukman, Asisten peneliti. Perjalanan
dari Pelabuhan menuju Kecamatan Gayam sekitar 45 menit
dengan kondisi jalan yang, alhamdulillah yah (diucapkan
dengan nada Syahrini), makin mendorong perut untuk
mengeluarkan isinya. Muka saya sudah pucat, akibat mabuk
perjalanan. Sepanjang perjalanan saya diajak bercakap-cakap

166

oleh Mas Lukman dan Pak Abu sehingga tidak terlalu fokus
memikirkan mual yang makin menjadi. Mereka terkagetkaget mengetahui saya datang dari Medan. Jauh sekali,
komentar mereka. Dalam hati saya, jangankan bapak yang
kaget, saya juga kaget kenapa bisa sampai disini.
Thus, saya menginap semalam di Kecamatan Gayam
di Pulau Sapudi sebelum akhirnya menetap di Desa tempat
penelitian. Saya menginap di rumah Pak Haji Nurullah, yang
berada persis di depan Puskesmas. Beliau adalah putra asli
Pulau Sapudi yang sudah mengabdi sebagai perawat sejak
tahun 1980an. Istrinya, Ibu Haji Ida adalah bidan. Pak Haji
dan Bu Haji, begitu saya menyapa mereka, saya banyak tahu
informasi mengenai pulau Sapudi. Mereka berdua membuka
klinik yang selalu ramai di samping rumah dan kadangkadang, masyarakat pulau lebih senang berobat ke warung
Pak Haji ketimbang pergi ke Puskesmas.
Orang-orang di Pulau ini baru melek kesehatan
sepuluh-dua puluh tahun lagi. Tunggu dukun-dukun itu mati,
dan tidak ada penerusnya baru semua mau ke bidan atau
puskemas, begitu komentar Pak Haji dengan logat Madura
yang kental saat kami bercakap-cakap sore hari ketika saya
baru tiba. Masyarakat di Pulau Sapudi memang masih
menganggap penyakit sebagai bentuk kiriman dari orang
yang tidak senang kepadanya atau disebut tarekaan.
Penyakit TB Paru disebut cekek, karena berasal dari minuman
yang dianggap diberi racun. Penyakit kusta dianggap kiriman
orang yang tidak senang dan masih banyak lagi. Mereka
menjadikan dukun sebagai upaya pengobatan pertama saat

167

sakit. Bila penyakit sudah parah dan tak sembuh-sembuh


barulah pergi ke bidan atau Puskesmas.
Keesokan harinya, saya menuju Desa Prambanan yang
menjadi fokus penelitian. Jarak dari Kecamatan Gayam
menuju Desa Prambanan tidak terlalu jauh. Hanya saja
kondisi jalan yang rusak parah menyebabkan perjalanan
ditempuh kurang lebih 45 menit. Jalanan lurus dan sedikit
berkelok menuju ke sana. Ada satu sudut jalan favorit saya
selama di Pulau Sapudi. Di satu tikungan dan tanjakan,
dengan sawah di sisi jalan. Dan begitu kita berkelok, tadaaa...
tampaklah laut dengan gradasi biru yang berbeda-beda mulai
dari biru muda sampai tua. Saya selalu terkagum-kagum
melihat pemandangan dari tikungan ini.
Saya tinggal di Desa Prambanan, di rumah Pak Fathur
dan Bu Chairani, bersebelahan dengan rumah kepala desa
atau disebut klebun Desa Prambanan. Belum dua puluh
empat jam saya di sana, saya langsung menyesal. Menyesal
karena pernah berprasangka buruk tentang masyarakat
Madura (yang katanya) galak, kasar, dan tidak ramah. Apa
yang saya lihat dan rasa, benar-benar berbeda dengan
dugaan awal. Cuaca di Pulau Sapudi memang menyengat,
namun keluarga ini dan seluruh penduduk pulau sangatlah
hangat.

168

Gambar 2.
Sudut favorit saya selama di Pulau Sapudi. Seringkali saya teriak-teriak
norak tiap melintas di sini.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Mereka memiliki dua orang anak, yang paling besar


perempuan dan sedang mondok di Sumenep. Anak paling
kecil, namanya Yusuf berumur enam tahun. Rumah selalu
ramai di pagi hari dengan bujukan Bu Rani dan celotehan
Yusuf karena Yusuf malas pergi ke sekolah. Malam sehabis
magrib pun juga begitu, giliran Pak Fatur yang turun tangan
mengomeli karena Yusuf malas pergi mengaji. Rumah
sebelah pun tak kalah ramai. Bu klebun memiliki perangai
yang ramah dan riang. Mereka memiliki tiga orang anak.
Anak paling besar sudah menikah, yang nomer dua, Roni
kelas tiga SMP tinggal di Kecamatan Gayam dan hanya
pulang ke rumah tiap akhir pekan. Anak paling kecil,
namanya Widhat, masih berumur empat tahun. Tipikal balita
perempuan yang aktif, lucu, dan ceriwis. Pernah satu waktu

169

ia meniru Bu Klebun yang memanggil saya dengan sebutan


Dek Izzah. Sejak saat itu saya memanggil dia dengan Mbak
Widhat dan dia memanggil saya kadang-kadang dengan
sebutan Dek Izzah. Widhat sendiri punya panggilan khusus
untuk Yusuf, yaitu cucuk. Widhat dan Yusuf ini ibarat duet
yang kalau disatukan, wah bisa ramai sekali.

Gambar 2.
Widhat memakai seragam pinjaman hanya karena mau ikut Yusuf ke
sekolah
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tidak ada hari yang tidak menyenangkan di Pulau


Sapudi. Jadwal rutin saya, Pak Basuki, beserta Mbak Ririn dan
Mas Lukman berkeliling dari pagi hingga siang sesuai dengan
170

daftar informan yang kami kejar. Sesekali melihat tempattempat unik di pulau, seperti Gua Rato Sapi (Gua yang
dipercaya masyarakat sebagai tempat asal usul sapi-sapi di
Pulau Sapudi yang tak pernah habis), Gua Celik (Celik, yang
berarti vagina dalam bahasa Madura. Dinamai karena
bentuknya menyerupai vagina), atau makam raja-raja. Atau
sore-sore mencari kerang di pantai belakang rumah Mbak
Ririn. Menghadiri acara isra miraj di mesjid yang penuh
dengan aneka kue warna-warni. Pernah satu waktu kami
dibawakan gurita oleh informan yang berprofesi sebagai
nelayan gurita. Masyarakat yang hangat, pemandangan yang
indah, makanan yang enak-enak. Kelak, ketika pamit pulang
saya kesulitan menjawab pertanyaan, kapan datang ke
Sapudi lagi?
Ada satu hari, yang kalau boleh dibilang tidak enak,
yang paling saya ingat. Saya tidak tahu bagaimana
mendeskripsikan hari itu, tapi Kamis 7 mei 2014 adalah hari
teraneh yang saya miliki di Pulau Sapudi. Pagi itu, sekitar
pukul delapan, saya dan Pak Basuki pergi ke Puskesmas di
Gayam. Kami berencana bertemu dengan Pak Hanafi dan Bu
Hasanah, informan yang merupakan pemilik Taman PAUD di
dusun Prambanan. Kami bisa menuju rumah mereka tanpa
harus melewati Puskesmas, karena lebih dekat dari desa
tempat tinggal tanpa harus turun dahulu ke Kota kecamatan.
Tetapi karena saya harus ke ATM yang hanya ada di
Kecamatan dan bertemu dengan Mbak Ririn dan Mas
Lukman, jadilah saya dan Pak Basuki mampir ke Puskesmas
dahulu.

171

Di Puskemas terlihat ramai. Mobil bak terbuka parkir


di depan Puskesmas. Di dalamnya, perempuan-perempuan
setengah baya dengan sarung dan tutup kepala seadanya
mengelilingi seorang pasien. Beberapa dari mereka mulai
berteriak dan tersedu. Saya tak berani mendekat, pikir saya
pasien tersebut pastilah sudah gawat. Seorang perempuan
muda dengan jas putihnya (syukurlah, hari itu ada dokter
jaga di Puskesmas *ucapkan dengan nada sarkas*), naik ke
atas mobil dengan tergesa kemudian langsung memeriksa.
Tangis pun pecah, teriakan makin pilu. Baru saja, satu nyawa
kembali pada-Nya.
Saya tanya pada seorang warga, itu kenapa?
Meninggal habis melahirkan. Sampai disini sudah tidak ada.
Hati saya kontan luluh-lantak. Selama ini saya belajar soal
kematian ibu sebatas teori dan kertas saja. Trias penyebab
kematian pasca melahirkan yang dulu sering diulang-ulang
dosen sampai saya mengantuk di kelas hari itu begitu nyata
terlihat. Belakangan saya tahu dari Mbak Ririn, Ibu tersebut
meninggal akibat perdarahan, plus sesak karena selama
hamil menderita TB Paru.
Entah keterlambatan jenis apa pula yang
menyebabkan ibu, yang baru melahirkan anak pertamanya
itu syahid. Terlambat karena akses kah, pengambilan
keputusan kah atau ditolong bukan oleh tenaga kesehatan
(dukun beranak), atau the worst, kombinasi semuanya.
Entahlah. Hari itu saya jadi paham, betapa persoalan angka
kematian ibu di negeri ini memang sesuatu yang membuat
kita pusing, darimana harusnya ia dientaskan?

172

Selang lima belas menit kemudian, mobil bak terbuka


itu pergi. Membawa pulang jasad ibu yang sudah syahid
diiringi tangis dan ratapan dari para pengantar. Kerumunan
mulai sepi. Orang-orang yang menonton saling berbisik dan
bergegas melanjutkan kesibukannya masing-masing. Drama
di pagi hari, esok atau lusa bisa jadi, anak, menantu, cucu,
atau bahkan dirinya sendiri bisa bernasib serupa.
Di Puskesmas, orang-orang terlihat tidak berminat
membahas kejadian tadi dengan saya. Entah karena tahu
saya dari Jakarta. Takut diintervensi atau apa, tak
mengertilah. Namun rupanya, keanehan hari itu rupanya
belum selesai. Selesai urusan di ATM dan bertemu Mbak
Ririn dan Mas Lukman, kami menuju rumah Pak Hanafi
karena saat itu hari sudah siang. Saat menuju rumah pak
Hanafi, Mbak Susi, putri kepala dusun yang menjadi penunjuk
jalan kami tiba-tiba gemurungsung.
Ada ibu melahirkan. Bayinya sudah keluar tapi ibunya tidak
sehat.
Kata tidak sehat itu membuat saya terkesiap. Oh Tuhan, tidak
lagi. Sial sekali kami kalau sampai melihat dua orang ibu
meninggal pada hari yang sama. Saya tidak berani bertanya
lebih jauh. Ciut dan merapal doa dalam hati. Semoga
selamat, semoga selamat.
Ini lahiran anak kedua..dia kepingin anak perempuan tapi
dari sejak hamil itu mbaknya sudah lemas. Sepertinya digunaguna, kata Mbak Susi lagi.
Oh nooooo..not that anymore itu bukan guna-guna mbak
susi sayaaang, itu anemiaaaaa..., batin saya rusuh. Anemia
yang jangan-jangan memang sudah didapat sejak kehamilan
173

pertama, tidak terdeteksi karena tidak pernah periksa ke


bidan atau posyandu. Kemudian setelah melahirkan langsung
pergi ke sawah dan mengurus anak. Makin parah ketika
hamil kedua. Betapa perempuan itu hebat, mengurus anak
dan rumah, ikut pula mencari nafkah. Di Pulau ini ibu juga
pergi ke sawah, mencari rumput, memberi makan sapi atau
mencari pandan lalu menganyamnya menjadi tikar. Kalaulah
boleh wanita melaut, tentu ibu juga pergi ikut. Ibu yang
begitu multitasking tidak diikuti dengan asupan gizi yang
baik, istirahat yang berkualitas, malah dibebani psikis
meyangkut ekonomi keluarga yang tidak bisa dibilang ringan.
Melahirkan sama dukun bayi. Bayinya sudah keluar.
Dukun lagi.
Bidan Ida ndak bisa datang lagi Posyandu..
Ya, di Desa Prambanan yang cukup luas dan terpencarpencar wilayah adminstratifnya ini memang hanya ada satu
bidan desa. Coba kalau ada dua tentu pelayanan kesehatan
lebih maksimal.
Ini sedang menunggu perawat desa datang
Lah, kenapa ga dibawa ke Puskesmas langsung, gumam
saya dalam hati.
Karena pusing, saya memilih diam dan tidak
berkomentar. Belakangan saya tahu, ibu tersebut dibawa ke
Puskesmas. Sesampainya di Puskesmas, diketahui kalau HB
ibu tersebut tinggal tiga! Dimana angka normal adalah 12. Ia
harus ditransfusi darah, dan hanya bisa dilakukan di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumenep yang artinya harus
menyeberang lautan. HB tinggal tiga! Saya benar-benar tak
habis pikir. Bagaimana ia bisa bertahan? Wallahuallam.
174

Bukankah kalau sudah begini, kematian Ibu saat melahirkan


terasa seperti arisan maut? Karena kebetulan saja bukan
giliran nama si ibu yang keluar, makanya selamat...
Astaghfirullah.
Beberapa waktu kemudian, saya mencoba cari info
ke bidan koordinator di Puskemas. Penasaran, berapa sih
angka kematian ibu di Kecamatan Gayam ini? (karena di
Puskesmas datanya tidak ada). Batin saya rusuh, kalau sehari
itu saja saya hampir melihat dua orang lewat, jangan-jangan
angkanya memang sangat besar?. Lalu alangkah terkejutnya
saya waktu mendengar jawaban si Ibu-Bidan-Koordinator.
Ndak boleh ada angka kematian ibu. Ya kalau saya laporkan,
nanti bidan koordinatornya bisa dicopot
Jreeeenggg!! Rasanya semacam ada saronen yang
memainkan musik di kepala. Asli, saya speechless. Muka Bu
Haji yang juga nimbrung ngobrol langsung keruh mendengar
jawaban si Bidan Koordinator. Apa yang salah dari sistem
kesehatan kita sampai paradigma, jangan-dilaporin-nantibisa-dicopot itu ada?. Menurunkan angka kematian ibu,
menyehatkan masyarakat dan lain lainnya memang tugas
yang berat, namun karenanya kita ada kan?.
Kalau saya lihat, ada gap antara tenaga kesehatan
dan masyarakat. Komunikasi antara masyarakat dan tenaga
kesehatan tidak terjalin. Gap tersebut, yang kata Pak Haji di
zaman ia baru menjadi perawat di Puskesmas diminimalisir
dengan proaktif dan turun langsung ke lapangan. Sulit
memang mengubah preferensi masyarakat yang lebih suka
ke dukun ketimbang ke fasilitas kesehatan. Melihat mukamuka bidan desa yang baru lulus dan cantik-cantik, pasti
175

terbesit ragu ini benar bisa mengobati tidak? Sementara


dengan dukun, entah dari zaman ibu, bibi, nenek mereka
sudah mengenal dukun tersebut. Belum lagi ada stigma takut
terhadap alat-alat medis, seperti gunting, jarum suntik, infus,
dan semacamnya. Seolah kalau berobat dengan tenaga
kesehatan pasti bersentuhan dengan alat-alat tersebut.
Misalnya, Mbak Susi, yang melahirkan dengan dukun
bayi karena takut dengan alat-alat medis bidan. Padahal ibu
dan ayahnya adalah kader posyandu. Selain itu, masyarakat
banyak juga yang tidak tahu kalau berobat ke Puskesmas itu
gratis. Hal-hal tersebut sebetulnya bisa diminimalisir jika
tenaga kesehatannya mau turun aktif, menjalin komunikasi
dengan masyarakat. Kalau cuma duduk manis di Puskesmas
menunggu masyarakat datang, kondisinya bakal begitubegitu saja.
Tidak cuma masalah kematian ibu, permasalahan
surveillans penyakit, mau itu menular dan tidak menular juga
hampir tidak dilakukan di pulau ini. Misalnya ketika saya
wawancara dengan petugas TB Paru Puskesmas. Ia dengan
jujur mengatakan bahwa selama ini kasus TB Paru hanya
mengandalkan laporan dan masyarakat yang datang ke
puskemas saja. Active Case Finding tidak pernah dilakukan.
Berapa banyak lagi kasus TB Paru yang tidak terdeteksi?.
Berapa banyak pula orang yang rentan terhadap TB Paru
tidak mendapatkan penyuluhan maupun edukasi? Singkat
kata, upaya kesehatan preventif dan promotif tidak berjalan
di Pulau ini. Puskesmas benar-benar blass kuratif.
Di kampung saya, ada peribahasa hepeng do
mangatur nagaraon, artinya uang yang mengatur negara.
176

Apakah preventif dan promotif tidak berjalan karena masalah


dana? Contoh sederhana misalnya untuk rumah polindes
saja, si bidan desa harus membayar dengan dana pribadi.
Memang jika dilihat dari anggaran, alokasi APBD untuk
kesehatan di Kabupaten Sumenep kecil, tak sampai 10%
sesuai amanat undang-undang yang ada. Itupun sudah naik
jika dibandingkan dengan tahun 2013 lalu yang angkanya tak
sampai 7%. Kalau sudah begitu, saya gemas sendiri sama
pemerintah daerah yang seperti tak punya willing untuk
menyehatkan masyarakatnya.Mereka cuma menyediakan
pengobatan atau KB gratis. Selain berharap pada APBD,
bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang ada juga sering
terlambat cair. Bidan Ida, bidan desa di Prambanan bercerita
kalau ia pernah mengajukan proposal pelatihan untuk dukundukun bayi. Sudah detail dan bagus, tapi belum terlaksana
karena duitnya tak kunjung cair.
Hari terakhir sebelum balik ke Kabupaten, saya satu
kapal dengan ibu melahirkan dengan indikasi plasenta previa
yang dirujuk ke RSUD Sumenep, bersama Bidan Ida. Ibu itu
yang akan melahirkan, saya yang deg degan. Untungngya ia
dirujuk masih dalam kondisi sadar. Tapi tetap lucu dan miris
bagi saya, ibu hamil dengan perut buncit tergopoh-gopoh
turun dari ambulans Puskesmas lalu dipapah dengan tangan
terpasang infus menaiki dek kapal feri. Kalau ada ambulans
laut, tentu proses menjadi lebih cepat.
Lalu apa kesanmu tentang kondisi kesehatan di Pulau
Sapudi?
Seperti di film-film ataupun buku teks yang dipelajari waktu
kuliah dulu. AKI yang tinggi, akses yang sulit, upaya
177

kesehatan preventif dan promotif yang tak jalan, tenaga


kesehatan yang belum pro-aktif. Tapi, atas itu semua,
mengutip dari Pak ADL, Ini tugas berat, tentu saja! Karena
itu kita ada
(Harusnya) sesederhana itu.

178

Romantisme Kebun Sayur


Catatan Perjalanan ke Suku Tengger di Desa
Ngadiwana
Agung Dwi Laksono

Ngadiwana, 08 April 2015


Dua hari lalu, tepatnya Selasa, 07 April 2015, kami
membawa rombongan para calon peneliti Riset Ethnografi
Kesehatan tahun 2015 ke masyarakat Suku Tengger di Desa
Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Pasuruan. Kedatangan kami
bersama 60 calon ethnografer di sini untuk belajar pada Suku
Tengger tentang kehidupan keseharian mereka.
Pertama kali memasuki wilayah Ngadiwono, terbersit
pertanyaan sebagai ekspresi keterkejutan saya, Ini bukan di
Jakarta kan? Jangan-jangan ini di pojokan Surabaya?
bagaimana tidak? Perkampungan yang kami datangi sungguh
jauh berbeda dengan apa yang menjadi bayangan saya
dengan pengalaman beberapa tahun lalu berkunjung di
wilayah Tengger ini. Perkampungan Tengger di Ngadiwono
ini sungguh jauh melampaui ekspektasi saya.

179

Gambar 1.
Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perkampungan Tengger di Desa Ngadiwono kali ini


lebih mirip perkampungan di pojokan sebuah kota
metropolis sebangsa Jakarta, Surabaya, atau Bandung.
Crowded, penuh sesak! Setiap rumah saling berhimpitan,
dengan hampir tidak menyisakan halaman rumah sama
sekali. Meski masih ada juga menyisakan beberapa rumah
dengan halaman yang lebih luas khas pedesaan.
Tapi jangan salah, lebih dari 95% penduduk di wilayah
ini berprofesi sebagai petani. Kondisi perumahan yang padat
dan penuh sesak hanya ada di wilayah pemukiman saja.
Sementara sebagian tanah di wilayah pegunungan Tengger
ini merupakan lahan kebun sayur yang sangat luas dan subur.

180

Hasil sayuran utama di wilayah ini adalah kobis,


kentang dan wortel. Ada komoditi tanaman lain semacam
jagung, ketela, bawang, cabe, dan beberapa sayuran lainnya.
Orang sini lebih suka tanaman yang umurnya pendek
mas, terang mas Sug, lelaki asli Tengger berumur 38 tahun
yang juga berprofesi sebagai petani, saat saya mintai
penjelasan tentang kecenderungan menanam sayur mayur
tersebut.
Masyarakat yang hampir seluruhnya petani, tentu
saja membawa konsekuensi pada kultur budaya yang
mempunyai kecenderungan seperti wilayah agraris lainnya.
Hampir seluruh waktu masyarakat Tengger pada siang hari,
terutama yang dewasa, berada di kebun. Sementara di
rumah menyisakan anak-anak dan beberapa orang tua yang
sudah tidak seberapa kuat untuk menjalankan aktivitas
secara fisik di kebun.
Konsekuensi inilah yang membuat banyak aktivitas
rumah tangga yang bagi masyarakat lain umumnya dilakukan
di rumah, menjadi bergeser ke kebun, termasuk di dalamnya
bercinta. Bagaimana bisa? Kebiasaan masyarakat Tengger
yang berangkat ke kebun berdua dari pagi, bekerja keras
merawat kebun, hingga pulang pada sore harinya, membuat
sedikit waktu yang tersisa untuk mengerjakan aktivitas
lainnya.
lha kalo pulang kan sudah capek mas. Kan habis
nyangkul-nyangkul di kebun, kilah mas Har. Lelaki berumur
33 tahun ini sudah menghasilkan dua anak laki-laki hasil
berkebun bersama Nah, istrinya yang malu-malu saat
suaminya bercerita tentang hal tersebut.
181

Gambar 2
Kenampakan Posisi Kebun dan Rumah Masyarakat Tengger
di Desa Ngadiwono
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kondisi di kebun dengan angin pegunungan yang


semilir, serta keadaan yang cukup sepi, mampu
membangkitkan romantisme saat hanya berduaan dengan
pujaan hati. Tidak ada gangguan anak-anak yang bisa
merusak suasana romantis yang terbangun, bukannya
mereka sedang menunggu di rumah. Aman terkendali.
Mas Sug (38 tahun) pun mengakui adanya
romantisme kebun sayur ini. Anak perempuan yang
dimilikinya pun diakui merupakan hasil kerja kerasnya saat
men'cangkul' di kebun. Yaaa banyak yang memang begitu
mas, melakukan itu di kebun kan kebunnya jauh-jauh
Kondisi kepemilikan tanah kebun yang cukup luas
pada masing-masing keluarga membuat jarak antar kebun
182

tidak mengganggu aktivitas bercinta mereka. Rasa takut


ketahuan tetangga menjadi hilang, meski sebenarnya rasa
takut dan deg-degan ketahuan itulah yang sesungguhnya
membuat romantisme kebun sayur jauh lebih membara. Ahh
seandainya

183

184

Menapak Mesuji;
Feminisme Bioepik Daerah Konflik
Harun Alrasyid

Mesuji, 15 Mei 2015


Jika kita mengetikkan satu kata kunci saja di mesin
serba tahu google mengenai Mesuji, maka kita akan
menemukan puluhan artikel, berita, dan jurnal mengenai
konflik yang terjadi di daerah perbatasan ini. Kemudian jika
discroll ke bagian bawah, maka google akan menampilkan
secara otomatis beberapa kata kunci yang paling umum
dalam Searches related to Mesuji seperti, kasus Mesuji,
Mesuji berdarah, kerusuhan Mesuji, hingga tragedi Mesuji.
Ya, memang daerah ini memiliki catatan hitam nan kelam
dalam proses perkembangannya sebagai kabupaten baru
sehingga membuat siapa saja berpikir berulang kali untuk
mengunjunginya, kendati pun sebuah tugas. Tercatat, pernah
terjadi beberapa kali kerusuhan di daerah ini hingga terjadi
pembantaian dan penembakan akibat sengketa lahan. Awal
mula permasalahan adalah berakar dari konflik agraria yang
185

kunjung tidak terselesaikan. Bahkan konflik ini memasuki


babak baru dengan perhatian internasional terhadap
kabupaten Mesuji atas isu pelanggaran Hak Azazi Manusia
(HAM) di daerah register 45.

Gambar 1
Rute Perjalanan Palembang Mesuji Lampung
Sumber: Google Maps

Karena berada pada daerah perbatasan provinsi,


maka ada dua rute perjalanan yang dapat kita pilih untuk
dilalui. Rute pertama, Bandar Lampung-Mesuji dan rute
kedua, Palembang-Mesuji. Kedua rute ini memiliki
keunggulan dan kekurangan masing-masing. Jika kita melalui
rute Bandar LampungMesuji, maka perjalanan relatif lebih
186

smooth dibandingkan dengan rute Palembang-Mesuji. Hanya


saja waktu tempuh untuk rute pertama akan jauh lebih lama
dibandingkan dengan rute kedua. Akhirnya saya dan rekan
Tim Riset Etnografi Kesehatan memilih rute kedua untuk
kami lalui dengan pertimbangan efisiensi waktu. Rute yang
kami pilih memang berbeda dari rute yang kami tempuh saat
melakukan persiapan daerah. Jika pada persiapan daerah
kami memilih rute Lampung-Mesuji, sedangkan pada kali ini
kami menempuh jalur lebih singkat yaitu PalembangKayuagung-Mesuji. Untuk mengefisiensi waktu, perjalanan
kami mulai pada pukul 05.05 WIB setelah bada subuh. Kami
melewati jalan Lintas Timur, dimana ini adalah jalan darat
satu-satunya untuk menuju ke kabupaten Mesuji lampung
dari Sumsel. Jalan Lintas Timur adalah jalur lintas provinsi
yang menghubungkan antara Provinsi Sumatera Selatan
dengan Provinsi Lampung. Kabupaten Mesuji berada di
perbatasan kedua provinsi ini. Jarak antara PalembangMesuji Lampung sekitar 237 km dengan memakan waktu
tempuh normal tanpa hambatan 4-5 jam.
Hingga memasuki daerah Teluk Gelam jalan yang
dilalui agak sedikit tersedat dengan adanya jalan-jalan rusak
di beberapa titik, bahkan jalan pemerintah sedikit pun tidak
memanjakan perjalanan kami. Seakan menjadi penawar,
sepanjang perjalanan kami menikmati proses alamiah yang
terjadi. Sunrise yang seakan membentuk frame-frame yang
membuat panorama begitu asri, sedap di pandang mata.
Terlihat sepanjang jalan, bagaimana proses tumbuh
kembang daerah-daerah dulu yang hanya berisi pohonpohon hutan yang lebat sekarang sudah menjadi rumah187

rumah dan sesak dengan bangunan seperti di Tugu Mulyo.


Dulu, saat tahun 90-an saat saya masih kecil, daerah ini sama
halnya seperti Mesuji saat ini bahkan lebih parah. Namun
saat transmigrasi dimulai oleh Pak Presiden Soeharto,
perkembangan dan perbedaan itu pun sangat terlihat. Mesuji
saat ini bertahap untuk menuju ke arah tersebut, setidaknya
itulah yang saya tahu sebelum tinggal dan mendalaminya
lebih jauh.

Gambar 2
Matahari Terbit, di Jalan Lintas Timur Sumatera
Sumber: Dokumen Peneliti

Pukul 09.15 WIB kami tiba di Simpang Pematang atau


akrab disebut dengan Unit 2 atau A oleh masyarakat Mesuji,
kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamaatan
Brabasan yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten
Mesuji. Meskipun hujan tadi malam, namun karena pagi ini
matahari cukup terik untuk mengeringkan jalan-jalan
berlumpur di Mesuji membuat perjalanan kami menuju

188

Kecamatan Brabasan cukup mulus, setidaknya lebih baik dari


Persiapan daerah bulan lalu. Sekitar pukul 10.30 WIB kami
sampai di Kecamatan Brabasan dan langsung menuju Dinkes
Kab. Mesuji untuk melapor. Kami melanjutkan perjalanan
menuju Desa Wiralaga sebagai desa lokus penelitian kami.
Kami tiba di puskesmas dan disambut oleh Kepala Puskesmas
Wiralaga dan untuk sementara kami memutuskan untuk
tinggal di Puskesmas Wiralaga sebagai basecamp awal.

Gambar 3.
Jalan Menuju Desa Wiralaga, Mesuji Lampung
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Mesuji, sebagai Sub Etnik dan Wilayah Administrasi


Jika kita menyebut Mesuji, maka akan ada dua
referensi yang akan kita gunakan yaitu Mesuji sebagai
kelompok budaya dan Mesuji sebagai sebuah wilayah
administrasi. Mesuji dalam segi budaya, merupakan sub etnik

189

atau marga yang mendiami wilayah di Sumatera bagian


Selatan. Sedangkan jika dilihat dari segi administratif, Mesuji
merupakan sebuah kabupaten yang ditinggali oleh multi
etnik bukan hanya marga Mesuji. Kabupaten Mesuji yang
terbentuk pada tahun 2008 yang lalu, saat ini sedang giatgiatnya berbenah diri membangun wilayah. Hal ini terlihat
dari telah dibangunnya komplek pemerintahan terpadu di
wilayah kecamatan brabasan. Hubungan kekerabatan yang
sangat erat dengan masyarakat Sumatera Selatan,
merupakan asal usul munculnya orang Mesuji. Suku asli
marga Mesuji merupakan keturunan orang sirah pulau
padang, yang merupakan salah satu wilayah di Ogan
Komering Ilir, Sumatera Selatan dan beberapa suku lainnya
seperti suku Kayuagung, Sugi Waras, Palembang dan suku
Lampung Tulang Bawang. Kelima suku inilah yang disebut
sebagai Marga Mesuji sebagai orang Mesuji asli.
Kehidupan masyarakat Mesuji tidak dapat dipisahkan
dari sungai dan perkebunan. Sebagai sumber utama
kehidupan, sungai dan hume menjadi mata pencaharian.
Menangkap ikan, ngehume (berladang), dan ngedolok kayu
adalah aktivitas sehari-hari yang dilakukan untuk
melanjutkan hidup. Tidak seperti dulu, kini masyarakat
Mesuji sudah bisa menikmati listrik dan teknologi. Berangkat
dari salah satu desa tua, kami mulai melakukan grounded
masyarakat Mesuji di Desa Wiralaga. Desa Wiralaga
merupakan satu dari 10 desa tertua di kecamatan Mesuji
lampung.

190

Gambar 4
Sungai Kabong, Desa Wiralaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perempuan Mesuji
Dalam adat istiadat Mesuji, perempuan memiliki
kedudukan yang tinggi dan istimewa. Hukum adat sangat
melindungi dan memberikan perhatian khusus terhadap
segala sesuatunya mengenai perempuan sehingga wajar jika
terdapat denda adat bagi siapa saja laki-laki yang berperilaku
tidak pantas kepada perempuan di Mesuji. Dalam hukum
adat istiadat Mesuji Lampung diberlakukan denda adat jika
laki-laki memegang bagian tubuh perempuan dan
perempuan merasa tidak senang. Denda adat ini mulai dari
denda uang hingga pernikahan. Pertama kali mendengar hal
ini, kontan saja saya menggunakan baju lengan panjang dan
tidak berani dekat-dekat dengan perempuan Mesuji,
sekalipun istri kapuskes. Ketika mendengar pengalaman dr.
191

Gerry (disamarkan), saya agak tergelitik untuk tertawa


karena dr. Gerry memiliki sikap yang sama dengan saya, tidak
ingin pegang pasien wanita katanya bahkan hanya untuk
menegakkan diagnosa. Beberapa cerita juga mengatakan
bahwa hukum adat ini sangat menguntungkan perempuan
dan tidak adil bagi laki-laki. Untungnya saat ini, denda adat
untuk sementara tidak diberlakukan karena Dewan Adat
Mesuji sedang menyusun Perundangan Adat Mesuji yang
baru.

Gambar 5
Perempuan Mesuji, Desa Wiralaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Cantik itu PUTIH!


Beberapa diantara pengalaman menarik yang saya
alami di Desa Wiralaga Mesuji ini adalah ketika
bersinggungan dengan hal-hal yang berbau feminisme. Tidak
disangka-sangka daerah yang kental akan konflik ini
192

menyimpan bumbu-bumbu feminisme di salah satu desanya.


Salah satunya adalah berbicara soal role model yang
dipegang teguh oleh perempuan Mesuji, khususnya kalangan
ibu-ibu dan remaja putri. Sesekali, bukan tapi berkali-kali
saya mengamati dari atas hingga ke bawah, mayoritas
penampilan perempuan-perempuan Mesuji di Desa Wiralaga
ini agak berbeda. Berbeda dalam arti yang sebenarnya,
antara warna muka dan bagian tubuh lainnya. Perempuan di
desa ini percaya bahwa, Cantik itu PUTIH !. Sehingga untuk
perempuan-perempuan yang tidak memiliki genetik kulit
putih, mencoba untuk melakukan langkah yang cukup
ekstrim. Hampir semua remaja putri dan ibu-ibu yang kami
temui mengaku memiliki cara yang cukup mudah untuk
menjadi putih bersinar. Cream pemutih yang sering mereka
sebut dengan krim putih dan cream malam yang mereka
sebut dengan SP tersedia rapi di kamar masing-masing.
Setelah dilihat cream pemutih yang disebut oleh Bidan BT
sebagai cream plasenta ini merupakan semacam cream yang
tidak memiliki etiket bahkan merk sekalipun. Jarang berharap
untuk mengetahui kandungan, cara pemakaian terlebih
indikasi dan kontraindikasi seperti produk lainnya. Sekilas
cream ini memiliki ciri-ciri mengkilat dan bau menyengat
mirip layaknya cream yang mengandung merkuri. Terlebih
harganya yang sangat murah yaitu tiga buah hanya
Rp.10.000,-. Namun belum bisa dijustifikasi apakah benarbenar mengandung merkuri atau tidak karena sampel sedang
dalam pemeriksaan laboratorium. Pengakuan masyarakat
wiralaga menyatakan bahwa dalam satu minggu kulit akan
mengelupas dan bersih seperti bayi. Meskipun pernah terjadi
193

kasus kanker kulit hingga mengakibatkan kematian namun


produk ini tetap saja laris manis di warung-warung di Desa
Wiralaga. Bidan BT yang pernah mencoba produk ini juga
mengakui bahwa perempuan-perempuan di Desa Wiralaga
sangat fanatik dengan produk ini. Bahkan bayi sekalipun
diberi cream pemutih ini oleh ibunya. Sekali lagi, Cantik itu
Putih, kawan!

Gambar 5
Remaja Putri di Desa Wiralaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti

194

Bidan Desa Tumpuan Harapan


Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Timur
Lafi Munira

Aceh, sudah sejak lama diri ini ingin menapak jejak


kaki di ujung barat Indonesiaku ini. Tuhan menjawab harapan
saya, walau saya tak pernah memanjatkan doa secara
langsung agar bisa ke Tanah Aceh, namun apalah yang tidak
bisa diketahuiNya, walau hanya sepintas harap dalam hati.
Oh sungguh Maha Suci-Nya yang memberikan kesempatan
kepada saya untuk singgah di Tanah Aceh, dan belajar
tentang kesyukuran nan senantiasa merenung akan
keindahan alam pun tentang polemik kesehatan di Tanah
Aceh ini.
Perjalanan saya dimulai dari Banjarmasin, tempat
dimana keluarga saya tercinta menetap. Pagi itu tanggal 27
April 2015 saya berangkat dari Bandara Syamsudin Noer
tepat pukul 09.00 WITA, kemudian sampai di Bandara
Soekarno-Hatta pada 09.30 WIB untuk transit. Penerbangan
Medan kembali dilanjutkan pada pukul 12.30 sampai dengan
pukul 15.10. Perjalanan dari Jakarta menuju Medan cukup
195

membuat deg-degan karena memakan waktu yang cukup


lama. Sesampainya di Bandara Kuala Namu Medan, saya
menginap 1 malam di Medan.

Gambar 1.
Batas Aceh dengan Sumatera Utara
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya kembali melanjutkan perjalanan keesokan


harinya berbarengan dengan kawan satu tim, mas
Subhansyah yang pada hari sebelumnya berangkat dari
Yogyakarta. Kami naik travel mulai jam 10.30 WIB travel
menjemput kami dan kami berputar-putar selama 2 jam di
Medan karena menjemputi satu-persatu penumpang yang
hendak pergi ke Kota Langsa. Sedangkan kami akan
melanjutkan perjalanan sampai dengan Kabupaten Aceh

196

Timur. Membutuhkan waktu 5 jam dari Medan ke Aceh


Timur.
Di sepanjang jalan Medan-Banda Aceh, kami disuguhi
pemandangan perkebunan sawit di sebelah kanan dan kiri
jalan. Kami singgah untuk makan dan sholat di Kota Langsa
yang merupakan daerah pemekaran. Dahulunya Kota Langsa
merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Timur, namun kini
telah menjadi kota tersendiri. Kami sampai di Puskesmas
Peudawa sekitar pukul 18.00 WIB dengan selamat dan aman.
Kami tinggal di rumah dinas Puskesmas Peudawa. Saya
tinggal satu kamar dengan dokter internship Ririn Juli
Anggraini, 25 tahun, dan petugas gizi, Desi Mauliza, 25 tahun.

Gambar 2.
Tampak Luar
Puskesmas
Peudawa
Sumber: Profil
Puskesmas
Peudawa

197

Dari pengamatan yang dilakukan, sarana Puskesmas


Peudawa cukup lengkap karena di dalamnya terdapat
beberapa poli atau program-program yang telah tertata
dengan baik. Diantaranya terdapat ruang UGD (Unit Gawat
Darurat) 24 jam, yang akan berganti-ganti shift baik pada
pagi hari sampai sore hari. Terdapat ruang laboratorium
untuk pengecekan gula dalam darah. Pelayanan Puskesmas
dimulai dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Selain itu terdapat
program KIA, Gizi, Kesling, PHBS, PM, PTM.

Bidan Desa Tumpuan Harapan


Pernah suatu hari saya mengikuti lokakarya mini
(lokmin) yang diadakan di Puskesmas pada pekan pertama
hari kamis tiap bulannya. Lokakarya mini tersebut dihadiri
oleh 17 bidan desa, petugas gizi, imunisasi, KIA, poli umum,
hingga petugas apotik yang menyampaikan progress reportnya plus uneg-uneg dalam hati. Pada lokakarya mini tersebut
saya mengamati pemaparan satu-persatu program kesehatan
yang ada. Tidak jarang saat pemaparan penanggung jawab
program, 17 bidan desa yang ada dicecar pertanyaanpertanyaan sekaligus ditegur oleh kepala pukesmas bahwa
kinerja bidan desa kurang baik. Definisi kurang baik disini
dianggap karena; 1) kurang up date permasalahan kesehatan
di desa tempat dimana bidan desa bertugas terkait masalah
penyakit menular, 2) tidak memantau pola konsumsi obat
pada pasien kusta dan TB, 3) serta pelayanan masyarakat
yang sakit di polindes atau pustu, 4) adanya pernyataan,
Mana mungkin satu penanggung jawab program (petugas

198

Puskesmas), memegang 17 desa yang ada? ya itulah tugas


kalian bidan-bidan desa.
Polindes atau Pustu yang terdapat di wilayah kerja
Puskesmas Peudawa telah memiliki peralatan Posyandu yang
lengkap. Terdapat timbangan badan, dacin, dan mikrotoa.
Posyandu dilakukan 1 bulan sekali oleh bidan desa dan kader
Posyandu serta petugas Puskesmas di 17 titik desa yang
menghimpun dusun-dusun yang terdapat di desa-desa.
Polindes juga lengkap dengan obat-obatan sehingga apabila
masyarakat merasa sakit, mereka akan berkunjung ke
Polindes untuk meminta obat kepada bidan desa.
Dari beberapa jabaran di atas, saya berfikir bahwa
tugas bidan desa cukup berat, karena selain mengurusi
permasalahan kesehatan ibu dan anak, mereka pun menjadi
tumpuan harapan keberhasilan status kesehatan masyarakat
di desa yang mereka diami. Saya mencoba bertanya kepada
salah seorang petugas kesehatan di Puskesmas Peudawa
yang sebelumnya pernah menjadi bidan desa. Kata orang
dinkes, kami lah ujung tombak pelayanan kesehatan di
desa... capek sekali jadi bidan desa.. nanti ada salah-salah
kami yang disalahkan.. belum lagi membuat laporan,, aduuh
capek kali kami waktu itu Lafi, ujarnya.
Kemudian saya bertanya kembali tentang apa yang
dialami dan dirasakan oleh mantan bidan desa yang kini
telah menjadi petugas Puskesmas, dari 2 orang informan
yang saya tanyai, keduanya melontarkan kata-kata; Ooh
tanggung jawabnya besar, beda bebannya dengan orang
yang bekerja di Puskesmas, kita berada di bawah pak
geucik (kepala desa), ada orang melahirkan kita yang
199

menolong, ada orang sakit kita yang menolong, nanti kalau


ada orang yang KBnya tidak berjalan kita juga yang ditanya,
kalau desanya tidak bersih kita juga yang ditanya,
semuanyalah, maka itu bidang desa dibilang ujung tombak
kesehatan masyarakat.
Kemudian saya menanyakan kembali apakah bidan
desa membutuhkan tenaga kesehatan pendamping untuk
meringankan beban kerjanya. Tergantung desanya kita lihat
luas atau tidak desanya, banyak tidak penduduknya.. seperti
di desa paya dua itu kan ada 4 dusun tapi dipegang oleh 1
bidan desa saja. Kalau dulu kalau desanya besar ditaroh 2
bidan desa, tapi sekarang tidak lagi karena ada peraturan 1
bidan 1 desa saja. Darimana asal peraturan datangnya kami
tidak tahu juga, tapi ada peraturan seperti itu. Untuk
penambahan tenaga kesehatan lain kami rasa tidak perlu,
cukup tambahkan jumlah bidan di desa yang luas saja. Kalau
penambahan tenaga kesehatan lain seperti perawat oh itu
tidak perlu, penambahan sesama bidan saja biar enak
komunikasinya. Tapi saat ini tidak bisa seperti itu dari
pemerintah, kalau misal bidannya ada 2 di desa berarti
gajinya dibagi dua juga. Kemudian saya menanyakan
tentang anggaran desa apakah ada pengalokasiannya ke
ranah kesehatan, menurut informan anggaran desa hanya
sebatas membantu untuk Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) lebihnya tidak ada.
Saya mencoba menarik benang merah bahwa kondisikondisi kesehatan yang ada di desa-desa yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Peudawa berasal dari perilaku
kesehatan masyarakat yang kurang mendukung, serta belum
200

efektifnya sisi promotif, dan preventif. Apakah tugas bidan


desa juga meliputi promotif dan preventif seluruh masalah
kesehatan secara holistik? Mungkin akan menarik jika ada
suatu mekanisme di dalam sistem kesehatan yang telah
dibuat untuk melibatkan SDM kesehatan berlatarbelakang
Ilmu Kesehatan Masyarakat dilibatkan dalam pendampingan
di masyarakat yang terarah dan berkontinuitas. Namun
ironinya ketika saya bertanya apakah bidan desa perlu
didampingi oleh SKM atau tidak mereka menyatakan,
emmm SKM, ini SKM yang mana dulu? SKM yang betul-betul
bisa kerja apa enggak di lapangan, SKM yang betul-betul bisa
kasih penyuluhan dan promosi kesehatan tidak, jangan
sampai SKM nanti di tempatkan di desa malah cuma dudukduduk santai saja. Sebetulnya 1 SKM di desa itu tak perlu,
namun bisa jadi ada SKM yang punya desa binaan fokus ke
desa itu.
Nah, ini jadi PR tersendiri untuk para SKM yang
kompetensinya pun masih diragukan oleh tenaga
kesehatan lain, ya inilah kenyataan di lapangan, kata-kata
penyemangat saja tidak cukup, namun inilah kenyataan di
lapangan, bahwa SKM perlu memantapkan keberadaannya di
ranah kesehatan dengan kerja-kerja nyata yang dibutuhkan
masyarakat sesederhana penyuluhan. Ya sesederhana itu.

201

202

Aceh yang Mempesona Tak Habis


oleh Tsunami
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Aceh Utara
Siti Khodijah Parinduri

Aceh Utara, 30 Mei 2015


Aceh Utara, merupakan salah satu kabupaten dari
bentangan provinsi Aceh yang masih dalam tanda tanya dan
memberikan beribu tanya bagi kami, tapi yang kami tahu
pasti adalah Aceh Utara bagian dari Indonesia, dan sebuah
tugas penelitian etnografi kesehatan mengharuskan kami
berangkat ke Aceh Utara. Sebelum berangkat menuju lokasi
tujuan, banyak masukan dan persiapan diri terutama mental
karena terdapat beberapa wacana yang kami terima. Mulai
dari adanya berita di Koran bahwa telah terjadi penembakan
terhadap 2 TNI, baru saja terjadi banjir, hingga kasus AUDEK
yang juga terjadi penembakan. Betapa Aceh masih sangat
menyimpan banyak tanda tanya bagi kami, dan tentunya
berada disana adalah jawabannya. Tanah Aceh yang
menyimpan kisah tsunami di bulan Desember 2004 silam,
205

sangat dikenal dengan sebutan Serambi Mekah dalam


keistimewaan sistem religinya.
Perjalanan menuju Aceh dilalui melalui Bandara
Soekarno Hatta, untuk sampai di Aceh dapat dilakukan dua
kali
penerbangan,
yaitu
melalui
Jakarta-MedanLhokseumawe ataupun Jakarta-Banda Aceh-Lhokseumawe.
Jarak tempuh dari Medan-Aceh Utara sama dengan Banda
Aceh-Aceh Utara sehingga kami pun memilih penerbangan
Jakarta-Medan-Lhokseumawe. Bandara pertama yang
menjadi tempat transit kami adalah Bandara Kualanamu
Medan kemudian perjalanan dilanjutkan hingga sampailah
kami di Bandara Malikussaleh Lhokseumawe. Sebenarnya
masih ada cara lain, yaitu dengan jalur darat dari Banda Aceh
ataupun dari Medan, yaitu naik bus yang akan memakan
waktu sekitar 8 jam dengan ongkos sebesar 100.000 rupiah.
Akan tetapi jalur udara pun mampu mempersingkat waktu
tiba di Aceh Utara. Turun dari pesawat menyusuri jalan
menuju Desa Sawang, bentangan sawah pun menjadi
pemandangan segar, jalan yang masih lengang dan situasi
jalan anti macet membuat siapa saja menikmati perjalanan.
Sampai di Puskesmas Samudera, Kecamatan
Samudera, kami berharap ada staf yang bisa mengantar
kami. Namun ternyata Puskesmas kosong, petugas piket
belum hadir, maka kami memutuskan menggunakan ojek
RBT. RBT pun mengantarkan kami melewati beberapa desa
di kecamatan Samudera, hingga sampai di Desa Sawang
dengan bermodalkan alamat kedai pak Geuchik akhirnya
kami pun sampai. Ongkos yang dibayarkan untuk RBT ialah
sebesar Rp. 15.000 rupiah. Tapi tenang saja, untuk
206

masyarakat ongkos biasanya adalah Rp. 8.000 rupiah sampai


di Geudong sebagai pusat kota terdekat.

Melihat Aceh Utara dari Desa Sawang


Desa Sawang merupakan bagian dari kecamatan
Samudera kabupaten Aceh Utara memiliki luas daerah
194764.3460 m2 Jumlah penduduk Desa Sawang sebanyak
367 KK, 1500 penduduk yang merupakan jumlah penduduk
terbanyak di kecamatan Samudera. Desa Sawang dibagi
menjadi tiga bagian yaitu Sawang Barat, Sawang Timur dan
Sawang Tengah, sedangkan rumah Pak Geuchik berada di
Sawang Barat.
Perjalanan pun berjalan mulus, hanya bertanya
beberapa kali untuk menemukan kedai pak Geuchik Desa
Sawang, karena pengendara RBT yang mengantar kami
mengetahui lokasi Desa Sawang meski ia bukan warga
sekitar. Begitulah paparannya, kalau disini sudah saling tau
jadi cari alamat gak akan sulit . Aku yang berada di belakang
pun tenang dan asyik menghirup udara segar dan
pemandangan yang membuat wajah secara otomatis akan
tersenyum, membuat semakin penasaran pada Desa Sawang
dan tentunya menjadi kebahagiaan di sesi awal. Perjalanan
pun menyusuri sawah, tambak, rumah-rumah penduduk dan
masjid khas Aceh, pengrajin besi pembuat pisau, hewanhewan ternak yang bebas berjalan dan gerombolan anakanak yang bersepeda. Rasa penasaran pun semakin
membuat kami tak sabar untuk menemukan Desa Sawang,
tempat kami mengenal Aceh Utara lebih dalam.

207

Gambar 1.
Tepi jalan menuju Desa Sawang
Sumber : Dokumentasi peneliti

RBT pun berhenti tepat di depan sebuah kedai, untuk


memastikannya turunlah kami dan menanyakan dimanakah
kedai pak geuchik Desa Sawang? Dan ternyata Pak Geuchik
pun menjadi salah satu dari orang yang kami tanyakan.
Memang penampilannya agak berbeda karena sudah tidak
memiliki kumis tebal seperti pertama kali berjumpa, hehe..
Kami pun membayar RBT dan membawa barang-barang ke
dalam kedai. Di kedai tersebut hanya terlihat para pemuda
dan bapak-bapak yang sedang menikmati rokok sambil
berbincang-bincang. Tak lama aku langsung di antar ke
rumah Pak Geuchik dan bertemu dengan bu Geuchik serta
keluarga. Pak Geuchik merupakan tokoh masyarakat bagi
Aceh, biasa kita mengenal dengan sebutan kepala desa, Pak

208

Geuchik memiliki pengaruh besar di desa terutama dalam hal


administrasi seperti pengurusan akte, surat-menyurat, dan
kegiatan-kegiatan masyarakat. Bahkan dalam program
puskesmas pun pak Geuchik turut berperan.
Menyusuri rumah penduduk yang diberi pagar kayu
dan tampak beberapa rumah dengan arsitektur rumah
bantuan pasca tsunami dari Jepang, yang biasa disebut
rumah IOM. Sebagian masyarakat telah
membangun
kembali rumah dengan menambah luas dan tinggi rumah
bantuan tersebut. Rumah IOM ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1
kamar mandi, dapur dan ruangan depan. Begitu juga dengan
rumah pak geuchik yang telah dibangun kembali sehingga
menjadi lebih besar. Selain rumah IOM, disini juga terdapat
rumah PMI, yaitu rumah bantuan dari PMI dan masih ada
beberapa rumah panggung peninggalan tsunami yang masih
bisa diperbaiki kembali.
Desa Sawang dikenal tiga model rumah, yaitu rumah
IOM, PMI dan rumah panggung. Namun, rumah panggung
sudah tidak banyak lagi, terdapat hitungan jari. Menariknya
dari rumah masyarakat Sawang, hampir setiap rumah
memiliki tempat untuk duduk-duduk yang terbuat dari
bambu atau seperti rumah panggung kecil dan memiliki
pekarangan serta tanaman. Jauh dari kesan crowded
tentunya.

209

Gambar 2.
Rumah Pak Geuchik,
Rumah IOM yang sudah dibangun menjadi lebih besar.
Sumber: Dokumentasi peneliti.

Bahasa Indonesia Belum Bersahabat


Setelah sampai di rumah pak Geuchik, menjadi awal
perkenalan dengan Desa Sawang. Menyapa anak-anak yang
sedang bermain, tentunya dengan pertanyaan pertama pada
umumnya yaitu siapa namanya? Namun tanya tak berbalas.
Anak-anak pun menghindar dan tertawa. Begitu juga dengan
Bu Geuchik yang tak banyak berkata-kata. Hingga akhirnya
pak Gechik pun menyampaikan bahwa Bu Geuchik agak
kesulitan dalam bahasa Indonesia sehingga akan jarang

210

berbicara dan aku pun tersadar bahwa alasan tak ada reaksi
adalah karena bahasa yang tidak dimengerti.
Bahasa Indonesia ternyata masih dirasa sulit oleh
bangsa Indonesia sendiri hingga timbul pertanyaan dari
kepolosan seorang anak, kenapa seluruh Indonesia tidak
menggunakan
bahasa
Aceh
saja.
Bahkan
jika
membandingkan, salah seorang anak mengaku lebih bisa
menggunakan bahasa Malaysia karena belajar dari film
kartun kesukaannya. Bahasa Etnis Aceh Utara ialah bahasa
Aceh Utara, yang berbeda dengan Aceh Barat, Aceh Timur
ataupun Aceh Tenggara meskipun dalam etnis Aceh.
Modal kosakata yang harus dipegang adalah Han jiet
bahasa Aceh yang artinya tidak bisa berbahasa Aceh
ataupun Hana lon Tupu yang artinya saya tidak mengerti.
Ini sebagai senjata saat ada yang memulai percakapan
dengan bahasa Aceh Utara. Alhasil, bahasa isyarat dan
senyuman sebagai komunikasi. Syukurnya masih ada
beberapa yang dapat berbahasa Indonesia meski masih
terbata-bata ataupun harus sedikit berpikir saat
mengucapkan sebuah kalimat. Hal ini mendorong peneliti
untuk mempelajari bahasa Aceh tentunya, pun mendorong
masyarakat mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa persatuan
nampaknya belum kokoh mengakar di bumi pertiwi.
Lalu bagaimana dengan sekolah? Ya, hanya di
sekolah lah Bahasa Indonesia digunakan, itupun masih
percampuran, belum sepenuhnya menggunakan bahasa
Indonesia. Maka, yang tamat sekolah hingga SMA tentunya
bisa berbahasa Indonesia, atau minimal mengerti. Serta
beberapa pemuda yang telah merantau ke Malaysia atau
211

sekitar pulau Sumatera yang biasanya mampu berbahasa


Indonesia dengan lancar meski tetap tidak terbiasa.
Timbul kembali pertanyaan, apakah edukasi
kesehatan pun dilakukan dalam bahasa Aceh Utara? Ternyata
tetap bahasa persatuanlah yang digunakan, bahkan banyak
petugas puskesmas pun tidak mengerti bahasa Aceh Utara
dan tidak bisa menggunakan bahasa Aceh yang biasa
digunakan masyarakat. Hal ini tentu menjadi suatu
kekhawatiran bahwa pesan yang disampaikan tidak diterima
dengan baik ataupun terjadi miss komunikasi. Dan ternyata
memang terjadi.

Antara Kebahagiaan, Kesedihan dan Pengobatan :


Sebuah Pembelajaran dari Pantai Sawang
Jak u pasi! begitulah ajakan untuk pergi ke sebuah
pantai di desa sawang. Melanjutkan kembali perjalanan di
Desa Sawang, kita akan menemukan sebuah keindahan di
pagi hari dengan langit birunya dan di sore hari dengan
pesona matahari terbenamnya. Kebahagiaan selanjutnya
adalah menemukan keindahan Pantai Sawang yang dapat
dijumpai hanya dengan berjalan kaki, bahkan jalan menuju
pantainya saja sudah memanjakan mata ditambah angin
sepoi-sepoi yang bertiup. Indah dan membuat semakin
takjub pada penciptaan Nya.

212

Gambar 3.
Jalan menuju Pantai
Sawang.
Sumber: Dokumentasi
peneliti

Rekreasi Masyarakat
Pantai Sawang menjadi salah satu tempat rekreasi
yang mudah, murah dan mantab. Hari Minggu adalah hari
dimana Pantai Sawang ramai oleh pengunjung dan penduduk
setempat. Rekreasi yang dilakukan bersama keluarga ini
tentunya memberikan kebahagian disela rutinitas harian. Ada
yang sekedar berjalan-jalan di tepi pantai, ada yang bermain
air, ada yang bermain pasir ada pula yang makan bersama.
Kegiatan yang dilakukan tentunya mengundang canda dan
tawa. Setelah bermain air, perut pun terasa lapar, jika

213

berjalan ke arah tepi maka akan ditemukan pedagang


makanan dan minuman seperti baso bakar, tahu goreng, es
kelapa, dan lainnya. Untuk baso bakar dijual seharga
Rp.1.000, 00 dan ini juga menjadi jajanan paling banyak
diminati.

Gambar 4.
Keceriaan anak-anak dan masyarakat di Pantai Sawang sebagai sarana
rekreasi
Sumber: Dokumentasi peneliti.

Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari


Saat berjalan pulang dari pantai, jangan heran ketika
menemui sepasang kakek dan nenek yang membawa batangbatang kayu ataupun daun kelapa kering. Setiap harinya
beliau membawa batang tersebut yang diambil dari pantai
untuk kebutuhan memasak. Masyarakat Desa Sawang
memasak dengan menggunakan kayu, daun-daun kelapa
kering dan sabut kelapa.

214

Gambar 5.
Membawa kayu untuk memasak.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Nelayan pun tak ketinggalan, kita akan menemukan


kapal-kapal pencari ikan yang baru pulang dari melaut dan
membawa ikan untuk makanan sehari-hari. Ikan atau dalam
bahasa Aceh disebut uengkot yang paling banyak ditemukan
adalah ikan tongkol. Sehingga menjadi makan sehari-hari
masyarakat. Ikan ini dijual dengan harga Rp. 5.000 per kilo
nya oleh pedagang ikan. Ada juga jala-jala di pinggiran pantai
yang digunakan untuk menangkap ikan, udang ataupun
kepiting. Namun memang setelah pasca tsunami, tak banyak
ikan yang dapat diperoleh nelayan sehingga tak banyak lagi
yang menjadi nelayan.

Pengobatan
Pantai Sawang juga menyimpan rahasia kesehatan
bagi pengunjungnya. Menjadi obat penghilang jenuh ataupun
stress tentu sudah bukan rahasia lagi sehingga sudah menjadi
sarana bagi masyarakat untuk mengelola stress dengan
datang ke pantai sendiri ataupun bersama-sama.

215

Menguburkan setengah tubuh di pasir juga dipercaya dapat


menyembuhkan kelumpuhan atau kaki yang terasa sakit.
Salah seorang yang mempercayai hal tersebut memang
mengatakan bahwa dahulu ada yang lumpuh bertahuntahun, namun setelah menguburkan setengah bandannya di
pasir, ia pun sembuh. Semenjak itulah menguburkan tubuh di
sekitar pantai tersebut dipercaya berkhasiat menyembuhkan
kelumpuhan atau baik untuk kesehatan. Menurut yang
melakukannya, saat dikubur terasa kaki seperti diremasremas dan terasa enak di kaki setelah menguburkannya.
Salah satu anak yang baru sembuh karena jatuh pun datang
ke pantai untuk mencobanya. Anda pun perlu mencobanya
Nah, selain digunakan untuk kaki, lumpur digunakan untuk
kesehatan kulit dipercaya menghilangkan jerawat dan
memutihkan wajah dengan mengusapkan lumpur pantai ke
wajah atau bagian tangan dan kaki.
Namun bagi masyarakat Aceh, kesehatan merupakan
kuasa Allah SWT. segala suatu penyakit akan sembuh atas
izin Allah. Berdoa menjadi bagian terpenting dari
pengobatan, memohon kesembuhan kepada Allah SWT.
Segala pengobatan yang dimiliki seperti obat gampong, rajah,
dan pengobatan medis adalah jalan ataupun usaha yang
dilakukan untuk memperoleh kesembuhan itu.

216

Gambar 6.
Pengunjung yang mempercayai khasiat
menguburkan sebagian tubuh di pasir.
Sumber: Dokumentasi peneliti.

Pantai Sawang dan Tsunami


Di balik keindahan Pantai Sawang yang membuat kita
jatuh cinta menyimpan cerita tersendiri bagi masyarakat.
Disinilah kembali terkenang kisah 2004 silam yang menjadi
pelajaran berharga bagi masyarakat. Saat bencana dahsyat,
yang akal manusia tidak mampu menjangkaunya hingga
benar-benar terjadi di depan mata mereka. Kejadian Tsunami
2004 lalu tetap menjadi cerita bagi mereka bagaimana Tuhan
telah memberikan teguran atas perbuatan manusia.

217

Gambar 7.
Pantai Sawang dalam kesunyiannya.
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Desa Sawang yang hampir semua penduduk


beragama Islam ini pun memiliki tengku yang mengajarkan
nilai-nilai Islam kepada masyarakat agar menjunjung nilainilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa tsunami
menjadi pelajaran berharga sehingga adanya larangan
berpacaran di pantai menjadi salah satu upaya pencegahan.
Selain itu banyaknya korban yang telah meninggal membuat
masyarakat lebih berhati-hati dalam mencegah penyakit
kesurupan. Berjalan sendiri ke pantai bukanlah hal yang
lumrah bagi masyarakat karena khawatir menjadi kesurupan.
Tetapi tetap saja, Pantai Sawang sungguh memberi banyak
kisah dan pelajaran. Inilah Aceh Utara, sebuah Desa Sawang
218

yang membuat jatuh cinta. Melalui Pantai Sawang saja kita


dapat mengambil banyak pelajaran dari Aceh Utara.

Gambar 8.
Pantai Sawang saat terbenam matahari.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

219

220

Вам также может понравиться