Вы находитесь на странице: 1из 24

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberculosis Paru
2.1.1. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (TBC). Meskipun dapat menyerang hampir semua
organ tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%)
(Depkes, 2008). Tubekulosis yang menyerang paru disebut tuberculosis paru dan
yang menyerang selain paru disebut tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis paru
dengan pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif,
dikategorikan sebagai tuberculosis paru menular (Depkes, 2005).
Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur
hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir 90%
penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif dan 10%
akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50%
penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan
25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang dengan
HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin meninggal dalam
waktu yang lebih singkat (Green, 2006).
2.1.2. Bakteri Tuberculosis Paru (TB Paru)
Bakteri TB paru yang disebut Micobacterium tuberculosis dapat dikenali
karena berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron,
tahan terhadap pewarnaan yang asam, sehingga dikenal sebagai bakteri tahan
asam (BTA). Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak dan lipid, yang
membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah
bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008). Bila dijumpai
BTA atau Mycobacterium tuberculosis dalam dahak orang yang sering batuk-batuk,
maka orang tersebut di diagnosis sebagai penderita TB paru aktif dan memiliki
potensi yang sangat berbahaya (Achmadi, 2011).

Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau
kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama
bertahuntahun (Achmadi, 2008).
2.1.3. Sumber dan Cara Penularan Penyakit TB Paru
Sumber penularan penyakit TB paru adalah penderita yang pemeriksaan
dahaknya

di

bawah

mikroskop

ditemukan

adanya

bakteri

Mycobacterium

tuberculosis, yang di sebut dengan BTA (basil tahan asam). Makin tinggi derajat
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Namun tidak
semua penderita TB paru akan ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada
pemeriksaan, tergantung dari jumlah bakteri yang ada (Aditama, 2006).
Penderita dapat menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan
dahak, yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei. Sekali batuk dapat
menghasilkan

3000

percikan

dahak.

Melalui

udara

yang

tercemar

oleh

Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh penderita TB paru


saat batuk. Bakteri akan masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul hingga
berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh
rendah. Sementara, bagi yang mempunyai daya tahan tubuh baik, maka penyakit TB
paru tidak akan terjadi. Tetapi bakteri akan tetap ada di dalam paru dalam keadaan
tidur, namun jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh menurun maka bakteri
yang tidur akan bangun dan menimbulkan penyakit. Salah satu contoh ekstrim
keadaan ini adalah infeksi HIV yang akan menurunkan daya tahan tubuh secara
drastis sehingga TB paru muncul. Seseorang dengan HIV positif 30 kali lebih mudah
menderita TB paru dibandingkan orang normal (Aditama, 2006).
Pada umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana droplet (percikan
dahak) ada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah droplet,
sementara cahaya dan sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Droplet
dapat bertahan beberapa jam dalam kondisi gelap dan lembab. Orang dapat
terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Jadi penularan

TB paru tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur
(Depkes, 2005). Daya penularan dari seseorang penderita TB paru ditentukan oleh
banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Faktor yang memungkinkan
seseorang terpapar bakteri TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara
dan lama menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat terpapar
dengan droplet dan kerentanan terhadap penularan (Depkes, 2008).
Bakteri Mycobacterium tuberculosis sangat sensitif terhadap cahaya
matahari. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh bakteri di lingkungan,
dan kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil karena bahaya
penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang padat penghuni
dengan ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak dapat masuk
kedalam rumah (Achmadi, 2008).
2.1.4. Penularan Penyakit TB Paru di Dunia
Pada

tahun

1993,

Badan

Kesehatan

Dunia

WHO

(World

Health

Organization) menyatakan TB paru sebagai kegawatdaruratan global (Global Health


Emergency) dengan perkiraan sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2010). WHO memperkirakan bahwa pada
tahun 2006 terdapat 9,24 juta penderita TB paru diseluruh dunia, pada tahun 2007
jumlah penderita naik menjadi 9,27 juta jiwa. Dan hingga tahun 2009 angka
penderita TB paru menjadi 9,4 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 1,8 juta jiwa meninggal
(600.000 diantaranya adalah perempuan) naik dari angka kematian pada tahun 2007
yang berjumlah 1,77 jiwa. Setiap harinya terdapat 4.930 orang meninggal disebakan
oleh TB paru (Depkes, 2010).
2.1.5. Penularan Penyakit TB Paru di Indonesia
Laporan TB paru dunia oleh WHO tahun 2006, pernah menempatkan
Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 jiwa dan jumlah kematian sekitar 101.000
jiwa per tahun. Di Indonesia jumlah kematian akibat penyakit tuberculosis terutama
TB paru hingga tahun 2008 menurun hingga 88.113 jiwa dari jumlah kasus
penularan TB paru yang berjumlah 534.439 jiwa. Sedangkan pada tahun 2009 kasus

penularan TB paru menurun mencapai jumlah 528.063 jiwa dan 236.029 untuk
kasus TB paru BTA positif, akan tetapi angka kematian naik menjadi 91.368 jiwa.
Sepertiga dari jumlah tersebut terdapat di sekitar Puskesmas, di pelayanan
rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktik swasta dan sisanya belum
terjangkau unit pelayanan kesehatan. Sedangkan prevalensi untuk semua kasus
TBC diperkirakan sebanyak 565.614 atau 244/100.000 penduduk. Angka kematian
karena TB paru diperkirakan 91.368 per tahun atau setiap hari ada 250 orang
meninggal (Depkes, 2010).

Akan tetapi usaha pemerintah dalam memberantas TBC di Indonesia harus terus
berjalan. Saat ini pemerintah telah mencanangkan program pemeriksaan dan
pengobatan TBC gratis bagi masyarakat kurang mampu di setiap Puskesmas di
Indonesia. Akan tetapi sosialisasi yang dilakukan pemerintah dirasakan kurang
efektif. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat penderita TBC tidak
mengetahui program tersebut.
2.1.6. Penularan Penyakit TB Paru di Malang
Kabupaten malang melakukan berbagai upaya pengendalian TBC namun
belum terlaksana sepenuhnya. Terutama terdapat kendala pada penemuan
penderita. Angka penemuan penderita TBC paru dengan BTA positif di Kabupaten
Malang mengalami peningkatan dari 36,42% pada tahun 2010 menjadi 44,4% pada
tahun 2011 (Depkes, 2012)
2.1.7 Gejala Penyakit TB Paru

Menurut Crofton (2002), gejala yang dirasakan oleh penderita TB paru dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Permulaan Sakit
Pertumbuhan TB paru sangat menahun sifatnya, tidak berangsur-angsur
memburuk secara teratur,tetapi terjadi secara melompat-lompat. Serangan
pertama menyerupai influenzae akan segera mereda dan keadaan akan pulih
kembali. Berbulan-bulan kemudian akan timbul kembali serangan influenzae.
Tergantung dari daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil, serangan kedua bisa
terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan seterusnya. Dikatakan sebagai
multiplikasi 3 bulan. Serangan kedua akan bertahan lebih lama dari yang pertama
sebelum orang sakit sembuh kembali. Pada serangan ketiga serangan sakit akan
lebih lama dibandingkan serangan kedua. Sebaliknya masa tidak sakit menjadi
lebih pendek dari masa antara serangan pertama dan kedua. Seterusnya masa aktif
influenzae makin lama makin panjang, sedangkan masa bebas influenzae makin
pendek. Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah sering mendapatkan
serangan influenzae. Setiap kali mendapat serangan dengan suhubisa mencapai
40C-41C.
2. Malaise
Peradangan ini bersifat sangat kronik akan di ikuti tanda-tanda malaise:
anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, badan terasa pegal-pegal, demam
subfebril yang diikuti oleh berkeringat malam dan sebagainya.
3. Batuk
Mycobacterium tuberculosis mulai berkembang biak dalam jaringan paru.
Selama bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, orang sakit tidak akan batuk.
Batuk pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang produk-produk ekskresi dari peradangan keluar.
4. Batuk Darah (hemoptoe)
Batuk darah akan terjadi bila ada pembuluh darah yang terkena dan
kemudian pecah. Tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah maka akan
terjadi batuk darah ringan, sedang, atau berat tergantung dari berbagai faktor. Satu
hal yang harus diingat adalah tidak semua batuk darah dengan disertai gambaran
lesi di paru secara radiologis adalah TB paru. Batuk darah juga terjadi pada berbagai

10

penyakit paru lain seperti penyakit yang namanya bronkiektesi, kanker paru dan lainlain.
5. Sakit/ Nyeri Dada
6. Keringat Malam
7. Demam
8. Sesak Nafas, dll.
Tidak semua penderita TB paru punya semua gejala diatas, kadang-kadang
hanya satu atau 2 gejala saja. Berat ringannya masing-masing gejala juga sangat
bervariasi (Aditama, 2006). Gejala-gejala tersebut diatas di jumpai pula pada
penyakit paru selain TB paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus di anggap
suspek tuberculosis atau tersangka penderita TB paru dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Aditama, 2002).
2.1.8 Risiko Menjadi Sakit TB Paru
Risiko seseorang tertular oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis untuk
menjadi sakit TB paru di gambarkan oleh Depkes (2005), sebagai berikut:
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TBC akan menjadi sakit TB paru. Dengan
ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000terinfeksi TB paru dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit
TB paru setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah penderita TB paru BTA
positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
penderita TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
2. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC
menjadi sakit TB paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem
daya tahan tubuh seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
oportunistik, seperti tuberculosis, maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat,
dengan demikian penularan TB paru di masyarakat akan meningkat pula.
2.1.9 Strategi Penemuan Penderita TB Paru
Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan

11

langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB paru. Penemuan dan


penyembuhan penderita TB paru menular, secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB paru, penularan TB paru di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB paru
yang paling efektif di masyarakat (Depkes, 2005). Menurut Depkes (2008), strategi
penemuan penderita TB paru biasanya dilakukan sebagai berikut:
1. Penemuan penderita TB paru harus dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif.

Penjaringan

tersangka

penderita

dilakukan

di

unit

pelayanan

kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas


kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka penderita TB paru. Cara ini bisa di kenal dengan istilah passive
promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi
yang aktif).
2. Pemeriksaan terhadap kontak penderita TB paru, terutama mereka yang BTA
positif, yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
3. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
2.1.10 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Menurut Aditama (2006), pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pengumpulan Dahak
Spesimen dahak dikumpulkan atau ditampung dalam pot dahak bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak
bocor yang telah diberi label atau nomor urut sediaan dahak. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS), yaitu sebagai berikut:
a. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

12

c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan


dahak pagi.
2. Pemberian Nomor Identitas Sediaan
a. Kaca sediaan dipengang pada kedua sisinya untuk menghindari sidik jari
pada badan sediaan.
b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sesuai dengan identitas pada pot
dahak dengan menggunakan spidol permanen atau pensil kaca.
c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah kemungkinan
tertukarnya sediaan.
3. Pembuatan Preparat
Pilih bagian dahak yang kental, warna kuning kehijauan, ada pus,
darah

atau

ada

perkejuan.

Ambil

sedikit

bagian

tersebut

dengan

menggunakan ose yang sebelumnya dibakar dulu sampai pijar, kemudian


didinginkan. Ratakan diataskaca obyek dengan ukuran 2-3 cm. Hapusan
sputum yang dibuat jangan terlalu tebal atau tipis. Keringkan dalam suhu
kamar. Ose sebelum dibakar dicelupkan dulu kedalam botol berisi campuran
alkohol 70% dan pasir dengan perbandingan 2 : 1 dengan tujuan untuk
melepaskan partikel yang melekat pada ose (untuk mencegah terjadinya
percikan atau aerosol pada waktu ose dibakar yang dapat menularkan
bakteri tuberculosis). Rekatkan/ fiksasi dengan cara melakukan melewatkan
preparat diatas lidah api dengan cepat sebanyak 3 kali selama 3-5 detik.
Setelah itu sediaan langsung diwarnai dengan pewarna Ziehl Neelsen.
4. Pembuatan Ziehl Neelsen
Pada dasarnya prinsip pewarnaan Mycobacterium yang dinding
selnya tahan asam karena mempunyai lapisan lemah atau lilin sehingga
sukar ditembus cat. Oleh pengaruh phenol dan pemanasan maka lapisan
lemak dapat ditembus cat basic fuchsin. Pada pengecatan Ziehl Neelsen
setelah BTA mengambil warna dari basic fuchshin kemudian dicuci dengan
air mengalir, lapisan lilin yang terbuka pada waktu dipanaskan akan merapat
kembali karena terjadi pendinginan pada waktu dicuci. Sewaktu dituang
dengan asam sulfat dan alkohol 70% atau HCI alkohol, warna merah dari
basic fuchsin pada BTA tidak akan dilepas/ luntur. Bakteri yang tidak tahan
asam akan melepaskan warna merah, sehingga menjadi pucat atau tidak

13

bewarna. Akhirnya pada waktu dicat dengan Methylien Blue BTA tidak
mengambil warna biru dan tetap merah, sedangkan bakteri yang tidak tahan
asam akan mengambil warna biru dari Methylien Blue.
5. Cara Pengecatan Basil Tahan Asam
Letakkan sediaan diatas rak pewarna, kemudian tuang larutan Carbol
Fuchsin sampai menutupi seluruh sediaan. Panasi sediaan secara hati-hati
diatas api selama 3 menit sampai keluar uap, tetapi jangan sampai mendidih.
Biarkan selama 5 menit (dengan memakai pinset). Cuci dengan air mengalir,
tuang HCL alkohol 3% (alcohol asam) sampai warna merah dari fuchsin
hilang. Tunggu 2 menit. Cuci dengan air mengalir, tuangkan larutan Methylen
Blue 0,1% tunggu10-20 detik. Cuci dengan air mengalir, keringkan di rak
pengering.
6. Cara Melakukan Pemeriksaan dengan Mikroskop
Setelah preparat terwarnai dan kering, dilap bagian bawahnya dengan kertas
tissue, kemudian sediaan ditetesi minyak imersi dengan 1 tetes diatas sediaan.
Sediaan dibaca mikroskop dengan perbesaran kuat. Pemeriksaan dimulai dari ujung
kiri dan digeser ke kanan kemudian digeser kembali ke kiri (pemeriksaan
system benteng). Diperiksa 100 lapang pandang (kurang lebih 10 menit).
Pembacaan dilakukan secara sistematika, dan setiap lapang pandang dilihat, bakteri
Mycobacterium tuberculosis berwarna merah berbentuk batang lurus atau bengkok,
terpisah, berpasangan atau berkelompok dengan latar belakang biru.
7. Pelaporan Hasil
Pembacaan

hasil

pemeriksaan

sediaan

dahak

dilakukan

dengan

menggunakan skala International Union Against Tuberculosis (IUAT) yaitu dalam 100
lapang pandang tidak ditemukan BTA disebut negatif, namun jika ditemukan :
1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
2. 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah bakteri yang
ditemukan
3. 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)
4. 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+)
5. > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+)
Penulisan gradasi hasil bacaan penting, untuk menunjuk keparahan penyakit dan
tingkat penularan penderita (Depkes, 2001 dalam Supriyadi, 2003).
2.1.11 Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa

14

Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum


atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen
yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS
diulang. Jika hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita di diagnosis
sebagai penderita TB paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB
paru, maka pemeriksaan dahak SPS di ulang (Depkes, 2005).
Pemeriksaan lain seperti foto toraks dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit TB paru (Chin, 2000).
2.1.12 Pengendalian, Pencegahan dan Pengobatan TB Paru
Pengendalian TB paru yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi
penularan maupun infeksi. Pencegahan TB paru pada dasarnya adalah mencegah
penularan bakteri dari penderita yang terinfeksi dan menghilangkan atau
mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan (Crofton, 2002).
Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang
utama adalah memberikan obat anti tuberculosis yang benar dan cukup, serta
dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan
dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko yang pada dasarnya
adalah mengupayakan kesehatan lingkungan dan perilaku, antara lain dengan
pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan
anggota

keluarga,

mengatur

kepadatan

penduduk,

menghindari

meludah

sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik


dan seimbang. Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan
penyuluhan (Jusuf, 2010). Menurut Depkes (2003), selain penyuluhan, pengobatan
juga merupakan suatu hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit TB
paru.
Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan.
Salah satu komponen dalam DOTS adalah panduan pengobatan panduan OAT

15

jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan


pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) dan pemberian
panduan OAT didasarkan klasifikasi TBC. Menurut Hudoyo (2008), mengobati
penderita dengan TB paru cukup mudah, karena penyebab TB paru sudah jelas
yaitu, bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat di matikan dengan
kombinasi beberapa obat yang sudah jelas manfaatnya. Sesuai dengan sifat bakteri
Mycobacterium tuberculosis, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka
prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
1. Obat harus di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat
(Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol) dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri
(termasuk bakteri persisten) dapat di bunuh. Hal ini untuk mencegah
timbulnya kekebalan terhadap OAT.
2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan

dengan

pengawasan

langsung

(DOT=

Directly

Observed

Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).


2.2. Faktor yang Memengaruhi Kejadian Penyakit TB Paru
Menurut Achmadi (2008), banyak faktor yang dapat memengaruhi kejadian
penyakit TB paru. Pada dasarnya berbagai faktor saling berkaitan satu sama lain.
Faktor yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru diantaranya adalah
karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah, penghasilan keluarga dan upaya
pengendalian penyakit terhadap diri sendiri.
2.2.1. Karakteristik Individu
Beberapa karakteristik individu yang dapat menjadi faktor risiko
terhadap kejadian penyakit TB paru adalah:
1. Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Dari hasil
penelitian yang di laksanakan di New York pada panti penampungan orangorang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB
paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur. Prevalensi TB paru
tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita
prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian

16

berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai


sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002).
2.2.2. Sanitasi Lingkungan Rumah
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2011).Lingkungan rumah adalah segala sesuatu
yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik
yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu
kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak
penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan
penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara
penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana
orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur
tersebut juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan
yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial
yang baik untuk keluarga dan individu, oleh karena itu lingkungan rumah
merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kesehatan penghuninya
(Notoatmodjo, 2003). Dan lingkungan rumah yang kurang baik merupakan
salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit seperti penyakit TB
paru (Soemirat, 2009).
1. Kepadatan Penghuni Rumah
Cepat lambatnya penularan penyakit salah satunya ditentukan oleh faktor
kepadatan yang ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk. Dalam hal
ini kepadatan hunian yang apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang
memadai dan terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit

seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009).


Kepadatan adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah
anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan untuk kepadatan
hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang.
Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan
dan fasilitas yang tersedia.

17

Untuk perumahan sederhana minimum 9 m2 per orang. Untuk kamar tidur di


perlukan minimum 3 m2 per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni 2
orang kecuali untuksuami istri dan anak di bawah 2 tahun. Jarak antara
tempat tidur satu dengan lainnya adalah 90 cm. Apabila ada anggota
keluarga yang menderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan

anggota keluarga lainnya (Kepmenkes, 1999).


Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di
samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu
anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan
mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang
penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam

rumahnya (Notoatmodjo, 2003).


Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit,
semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui
udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian
dalam rumah merupakan variabel yang berperan dalam kejadian penyakit TB
paru (Supriyono, 2002).

2. Lantai Rumah
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai
rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan
debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan.
Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di
naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan
yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah
seperti tegel, semen dan keramik (Suyono, 2005). Lantai rumah jenis tanah memiliki
peran terhadap proses kejadian penyakit TB paru, melalui kelembaban dalam
ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian
viabilitas

bakteri

Mycobacterium

tuberculosis

di

lingkungan

juga

sangat

mempengaruhi (Achmadi, 2008). Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan
tempat hidup dan perkembang biakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai

18

menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya


(Suyono, 2005).
3. Ventilasi
Menurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang
baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/ kamar
memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan
penghuninya. Ventilasi bermanfaat sebagai pergantian udara dalam rumah serta
mengurangi

kelembaban.

Keringat

manusia

juga

di

kenal

mempengaruhi

kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin


tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun keringat.
Kelembaban dalam ruangan tertutup di mana banyak terdapat manusia di dalamnya
lebih tinggi di banding di luar ruangan (Sarudji, 2010).
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan
antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan meteran. Menurut
indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah <10% luas lantai rumah (Kepmenkes, 1999). Menurut Sarudji
(2010), entilasi yang baik dalam suatu ruangan memerlukan persyaratan tertentu,
diantaranya yang penting adalah luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas
lantai ruangan, sedangkan luas ventilasi insidental (yang dapat dibuka dan ditutup)
minimum 5% dari luas lantai. Menurut Notoatmodjo (2003), rumah dengan luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi
penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara dalam rumah
tersebut tetap segar. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi
aliran udara yang terus-menerus dan bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir.
Menurut Notoatmodjo (2011), fungsi lainya adalah untuk menjaga agar
ruangan selalu tetap didalam kelembaban (humidity) yang optimum. Salain itu luas
ventilasi

yang

tidak

memenuhi

syarat

kesehatan

akan

mengakibatkan

terhalangnyaproses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke


dalam rumah, akibatnya bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernapasan. Perjalanan

19

bakteri Mycobacterium tuberculosis yang setelah di batukkan akan terhirup oleh


orang disekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang
baik akan menjamin pertukaran udara, sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi.
Konsentrasi droplet bervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut
memungkinkan seseorang akan terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Selain itu pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar
oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik,
dan kelembaban udara bertambah. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi
media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk bakteri Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2002).
4. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak (Achmadi, 2008). Menurut Notoatmodjo (2003), kurangnya cahaya
yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang
nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam
rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata. Menurut
Sarudji (2010), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni :
a. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat penting, karena
dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil
Mycobacterium tuberculosis. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai
jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya
sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam
ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar
matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan
lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk
cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar
sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya
jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya
ilmiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan
tergantung dari terangnya sumber cahaya (brighness of thesource). Rumah dengan

20

pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru.


Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk,
lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun lamanya, dan mati bila
terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati
dalam waktu dua jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko
menderita TB paru 3-7 kali di bandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar
matahari (Fatimah, 2008).
5. Kelembaban
Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar di udara.
Kelembaban berhubungan negatif (terbalik) dengan suhu udara. Semakin tinggi
suhu udara, maka kelembaban udaranya akan semakin rendah (Suryanto 2003).
Kelembaban yang standar apabila kelembaban udaranya akan semakin rendah.
Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme terutama
Mycobacterium tuberculosis. Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi
penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh
terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan
daya tahan hidup bakteri. Kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40%-70% dan
buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70% (Sarudji, 2010).
Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang
tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga
kelembaban udaranya tinggi (Achmadi, 2008). Rumah yang tidak memiliki
kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan mambawa pengaruh bagi
penghuninya.

Rumah

merupakan

media

yang

baik

bagi

pertumbuhan

mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme


tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Seperti yang telah diuraikan
oleh (Gould, 2003, dalam Ayunah, 2008), bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti
halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan
merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.
6. Suhu
Salah satu faktor yang menentukan kualitas udara dalam rumah adalah
suhu. Di katakan nyaman apabila suhu udara berkisar antara 18 oC -30oC, dan
suhu tersebut di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban

21

udara. Bakteri Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh baik pada kisaran
suhu 31oC -37oC. Suhu dalam rumah akan mempengaruhi kesehatan dalam rumah,
dimana suhu yang panas tentu akan berpengaruh pada aktivitas (Depkes, 1999,
dalam Ayunah, 2008).
2.2.3. Rumah Sehat dan Persyaratannya
Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA (American Public Health
Assosiation) harus memenuhi beberapa kriteria kesehatan antara lain memenuhi
kebutuhan

physiologis,

psychologis,

mencegah

penularan

penyakit

dan

mencegah terjadinya kecelakaan (Chandra, 2006). Kondisi rumah yang baik


penting untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.
Menurut Permenkes No. 829/1999 rumah dikatakan sehat apabila memenuhi
persyaratan empat hal pokok berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang
gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti privacy yang cukup dan komunikasi
yang baik antar penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi
penyediaan air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,
bebas dari vektor penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar
matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dari
pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar rumah.
2.3. Penghasilan Keluarga
Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya bakteri Mycobacterium
tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan per
kapita. Sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit
TB paru adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (Tjiptoherijanto,
2008). Menurut (WHO, 2003 dalam Suarni, 2009) juga menyebutkan 90% penderita
TB paru di dunia menyerang kelompok dengan ekonomi lemah atau miskin.
Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB paru
merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka mereka menderita TB
paru. Kondisi ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara
langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi

22

gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan
kesehatan juga menurun.
Masyarakat dengan tingkat penghasilan tinggi lebih mampu memanfaatkan
pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan, sedangkan seorang dengan
tingkat penghasilan lebih rendah kurang memanfaatkan palayanan kesehatan yang
ada, mungkin oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau
untuk membeli yang lain. Rendahnya jumlah penghasilan keluarga juga memicu
peningkatan angka kurang gizi dikalangan masyarakat miskin yang akan berdampak
terhadap daya tahan tubuh dan dengan mudah timbulnya penyakit TB paru.
Keterbatasan biaya untuk berobat ke dokter atau ke Puskesmas, hal ini dapat
menyebabkan penyakit yang diderita bertambah parah. Masyarakat dengan
penghasilan yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik, sehingga penyakit TB paru menjadi ancaman bagi mereka
(Tjiptoherijanto, 2008).
Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB paru kehilangan 3 sampai 4
bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun
secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2008).
2.4. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu
terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih
dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat
(Notoatmodjo, 2011).
Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok usia produktif dengan
tingkat

pendidikan

relatif

rendah.

Dengan

rendahnya

tingkat

pendidikan,

pengetahuan tentang penyakit TB paru yang kurang, kesadaran untuk menjalani


pengobatan secara teratur dan lengkap juga relatif rendah. Pengaruh lain dari
tingkat pendidikan yang rendah tercermin dalam hal menjaga kesehatan dan
kebersihan lingkungan yaitu perilaku dalam membuang dahak dan meludah di
sembarang tempat (Suarni, 2009).
Pendidikan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit
TB paru. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pegetahuan seseorang
di antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
tentang penyakit TB paru. Sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka

23

seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat
(Suarni, 2009).
2.5. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).Menurut
Notoatmodjo (2011), ada 4 pokok unsur perilaku kesehatan yaitu:
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia
berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, mempersepsi penyakit dan
rasa sakit yang ada dalam dan luar dirinya), maupun aktif (tindakan) yang dilakukan
sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan
penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit
yaitu:
a. Perilaku

sehubungan

dengan

peningkatan

dan

pemeliharaan

kesehatan (health promotion behaviour). Misalnya makan makanan


yang bergizi, olahraga dan sebagainya.
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), adalah
respon untuk melakukan pencegahan penyakit. Misalnya perilaku untuk
tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan.
Misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari
pengobatan ke fasilitas-fasilitan kesehatan modern (Puskesmas,
mantri, dokter praktik dan sebagainya) maupun ke fasilitas kesehatan
tradisional.
d. Perilaku sehubungan

dengan

pemulihan

kesehatan

(health

rehabilitation behaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan


usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu
penyakit.
2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, yaitu respons seseorang terhadap
sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun
tradisional.
3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yaitu respons seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

24

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behaviour) adalah


respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.
Menurut Maulana (2009), perilaku terhadap lingkungan kesehatan juga merupakan
suatu upaya seseorang merespons lingkungan sebagai determinan agar tidak
mempengaruhi kesehatannya.
2.6. Perilaku dalam Upaya Pengendalian Penyakit TB Paru
Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
timbulya masalah penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis. Seorang
penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang anggota keluarganya. Namun
demikian pengetahuan dan perilaku penderita dalam mencegah agar anggota
keluarga tidak tertular berpengaruh besar dalam kesembuhan dan pencegahan
penyakit TB paru (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011).
Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam menularkan penyakit menular
terutama perilaku yang tidak positif, sehingga lingkungan dapat berubah sedemikian
rupa menjadi tempat yang ideal sebagai tempat penularan penyakit. Perilaku
penderita TB paru BTA positif yang tidur bersama-sama dalam satu tempat
tidur/kamar dengan istri, suami anak dan anggota keluarga lainnya dapat
menularkan penyakit TB paru sebanyak 68%. Selama sakitnya penderita TB paru
dengan sputum BTA positif bisa menularkan berpuluh-puluh orang sampai beratusratus orang tetapi bisa juga hanya 1-2 orang saja atau nihil. Untuk mempertahankan
keadaan seimbang atau prevalensi tetap sama. Seorang penderita TB paru dengan
BTA positif hanya perlu menulari 20 orang sehat, dan kemudian di antaranya satu
orang akan menjadi pengganti sebagai sumber penularan baru setelah lama menjadi
sembuh atau mati (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011).
2.6.1. Perilaku Hidup Sehat
Menurut Entjang (2000), perilaku hidup sehat merupakan salah satu hal yang
sangat penting dalam pengendalian penyakit TB paru. Berikut ini ada beberapa
upaya pengendalian diri terhadap penyakit TB paru yang berkaitan dengan perilaku
hidup sehat yaitu:
1. Memelihara kebersihan diri, rumah dan lingkungan
a. Badan : mandi minimal dua kali sehari, gosok gigi, cuci tangan dan
sebagainya.

25

b. Rumah dan lingkungan : di sapu, membuang sampah, membuang


kotoran dan air limbah pada tempatnya, membuka jendela pada siang
hari dan lain-lain.
2. Makanan yang sehat
Makan makanan yang bersih, bebas dari penyakit, cukup kualitas maupun
kuantitasnya dan bagi penderita TB paru untuk tidak makan dengan mengunakan
piring atau gelas yang sama dengan keluarga yang lain.
3. Cara hidup sehat dan teratur
a. Makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara teratur.
b. Rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.
c. Penderita tidak tidur satu kamar dengan keluarga lainnya terutama
anak-anak.
4. Meningkatkan daya tahan tubuh
a. Menghindari kontak dengan sumber penularan penyakit baik yang berasal
dari penderita maupun sumber-sumber yang lainnya.
b. Menghindari pergaulan yang tidak baik.
c. Membiasakan diri untuk mematuhi aturan-aturan kesehatan.
d. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan-makanan yang
bergizi dan selalu menjaga kesehatan badan supaya sistem imun senantiasa
terjaga dan kuat.
e. Tidur dan istirahat yang cukup dan menghindari melakukan hal-hal yang
dapat melemahkan sistem imunitas (sistem kekebalan tubuh).
f. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.
g. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
Menurut Chin (2000), selain hal-hal diatas ada beberapa langkah yang bisa
dilakukan dalam pengendalian penyakit TB paru yaitu dengan cara pencegahan
penyebaran dan penularan penyakit sebagai upaya agar penderita tidak menularkan
kepada orang lain dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi dengan cara:
a.
b.
c.
d.

Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.
Tidak batuk di hadapan anggota keluarga atau orang lain.
Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.
Tidak meludah disembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol,
dan dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah. Meludah di tempat
yang tarkena sinar matahari merupakan hal yang dianjurkan bagi penderita

TB paru.
e. Menjemur alat tidur secara teratur pada siang hari karena bakteri
Mycobacterium tuberculosis akan mati bila terkena sinar matahari.

26

f.

Membuka jendela pada pagi hari dan mengusahakan sinar matahari masuk
ke ruang tidur dan ruangan lainnya agar rumah mendapat udara bersih dan
cahaya matahari yang cukup sehingga bakteri Mycobacterium tuberculosis

dapat mati.
g. Minum obat secara teratur sampai selesai dan sembuh bagi penderita TB
paru.
2.7. Imunisasi BCG
Pemberian imunisasi BCG pada penderita yang memiliki anak atau bayi
merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penularan.
Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap
penyakit TBC dan sebagai upaya pencegahan dini (Ayunah, 2008).
2.8 Infeksi TB-HIV
2.1.8. Pengertian
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan
HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB
merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang
tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan
besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB. Sebagian besar orang
yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB
karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit
tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem
imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah
berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi
HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya;
sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi
sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya
akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat (Depkes,2013).
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien
ko-infeksi TB-HIV.
Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan
ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai
di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut
terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV

27

sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa


bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka
perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB
tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti
bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan
kegiatan prioritas bagi pengelola program TB (Depkes,2013)..
2.8.2 Tuberkulosis pada perjalanan infeksi HIV
Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko
berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya
sistem kekebalan tubuh.
2.8.3 Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M.tuberculosis
Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang
terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notifikasi TB telah
meningkat pada populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal
yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70% (Depkes,2013).
2.8.4 Dampak pada pengendalian TB
Prinsip pengendalian TB tetap sama meskipun terdapat banyak pasien koinfeksi TB-HIV. Meskipun demikian, di populasi yang banyak terdapat pasien koinfeksi TB-HIV maka layanan kesehatan
berjuang untuk menanggulangi meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien TB.
Konsekuensinya sebagai berikut:

Overdiagnosis TB paru BTA negatif (karena kesulitan dalam diagnosis).


Underdiagnosis TB paru BTA positif (karena beban kerja petugas

laboratorium).
Pengawasan terhadap OAT tidak adekuat.
Angka kesembuhan yang rendah.
Angka kesakitan tinggi selama perawatan.
Angka kematian tinggi selama perawatan.
Angka kegagalan tinggi karena efek samping.
Tingginya angka pasien TB yang kambuh.
Meningkatnya penularan strain M.tb yang resisten obat pada pasien yang

terinfeksi HIV pada


Lingkungan yang padat seperti lapas/rutan.
2.8.5 Pola ko-infeksi TB-HIV

28

Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+
menurun. Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB.
Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah
perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Tuberkulosis ekstraparu dan
diseminata (meluas) menjadi lebih lazim ditemukan(Depkes,2013).
2.8.6 Dampak TB pada HIV
Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain termasuk TB dapat
membuat virus HIV berkembang biak dengan lebih cepat sehingga progresivitas
penyakit menjadi lebih cepat (Depkes,2013).

Вам также может понравиться