Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Benigna prostat hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling umum
pada pria lansia dan penyebab paling sering untuk intervensi medis pada pria
di atas 60 tahun (Smeltzer & Bare, 2002: 1625). Sedangkan menurut
(Nursalam, 2006: 135) Benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran
prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria. Menurut
(Suharyanto, 2009 : 248) Benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran
kelenjar dari jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan
perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan.
BPH untuk mengatasinya dapat dilakukan prostatektomi. Menurut
(Doenges, 2000: 679) Prostatektomi adalah reseksi bedah bagian prostat yang
memotong uretra untuk memperbaiki aliran urine dan menghilangkan retensi
urinaria akut. Menurut (Smeltzer & Bare, 2002 : 1626) Prostatektomi adalah
pembedahan mengangkat kelenjar prostat yang mengalami hipertrofi.
Jadi berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa
benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran kelenjar prostat yang
menyebabkan obstruksi aliran urine pada uretra, dimana secara umum
diderita oleh para lansia.
B. Penyebab
Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai
dengan perubahan hormon, dengan penuaan, kadar testosteron serum
menurun, dan kadar estrogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang
hyperolasia jaringan prostat (Price & Willson, 2005: 1320).
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umum dan
hormon endrogen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pria usia 50 tahun terjadi sekitar 30%
usia 80 tahun sekitar 80% dan usia 90 tahun 100% (Mansjoer, 2000: 329).
C. Patofisiologi.
Menurut Lemone (2004: 1537), penyebab BPH tidak diketahui
pasti tetapi faktor resikonya meliputi umur, riwayat kesehatan, ras, etnik, dan
faktor-faktor hormonal. Kejadiannya oleh peningkatan faktor umur, tertinggi
terjadi di Afrika, Amerika, dan Jepang yang terendah. Rata-rata tertinggi
berkaitan dengan riwayat kesehatan keluarga dengan BPH.
Dua syarat penting untuk BPH adalah umur 50 tahun atau lebih
dan hasil yang paling tampak dengan tes. Laki-laki yang belum mengalami
pubertas
belum
mempengaruhi
mengalami
pertumbuhan
pertumbuhan
prostatik
prostat.
dalam
Androgen
semua
umur
yang
adalah
Dihydrotesteron (DHT) yang ada di prostat dalam testosteron. Meskipun lakilaki lanjut usia terjadi penurunan tingkat endrogen, sebelumnya prostat
muncul lebih sensitif dalam kelenjar prostat muncul lebih sensitif dalam
menghasilkan DHT. Estrogen diproduksi oleh efek DHT. Peningkatan tingkat
estrogen dengan usia lanjut atau sebuah peningkatan relatif di estrogen
10
dan terapi anti androgen untuk membuan atropi prostat. Lemone (2004:
1537).
Pembedahan
ini
dapat
menimbulkan
beberapa
komplikasi
D. Pathway
Umur > 50 tahun
Penurunan sistem imum disebabkan karena
proses penuaan
Peningkatan hormon
estrogen/androgen
Penurunan hormon
tetosteron
Perubahan hormon
Kadar estrogen/endrogen
Mempengaruhi
sel nuklear
Peningkatan
RNA
hormone testosteron
Tekanan ginjal
meningkat
Spasme uretra
Mepengaruhi sel
nuklear RNA
BPH
Gangguan
eliminasi urin
Gagal ginjal
Prostatektomi dengan anestesi
Trauma jaringan
prostat
Penurunan sekresi
asam prostate
Diskontinuitas
jaringan
Ujung saraf
terputus
Stimulasi saraf
bebas
Resiko tinggi
disfungsi seksual
Implus ke saraf
aferen
Perdarahan
Penurunan
fungsi uretra
Retensi urine
Pemasangan kateter
Kekurangan
volume cairan
Gangguan status
kesehatan
Situasi krisis
Kurang informasi
Kurang
pengetahuan
Iritasi
Masuk medula
spinalis
Spino talanikus di
talamus
Resiko tinggi
infeksi
Sampai ke
kotek serebri
spinotalanikus
E. Manifestasi Klinis
Medulla spinalis
Saraf eferen
Nyeri
Sumber (Price & Willson, 2005; Mansjoer, 2000; Lemone, 2004 & Doenges, 2000)
11
Menurut Mansjoer (2000: 330) terdapat dua gejala utama dari BPH
yaitu gejala obsruktif dan iritatif. Kedua gejala ini bisa muncul pada penderita
secara bersamaan.
1. Gejala iritatif
a. Sering miksi (frekuensi).
b. Terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi).
d. Nyeri pada saat miksi (disturia).
2. Gejala obsruktif
a. Pancaran melemah
b. Rasa tidak lampias sehabis miksi
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy)
d. Harus mengedan (straining)
e. Kencing terputus-putus (intermittence).
f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan
inkontinen karena overflow.
F. Pemeriksaaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Suharyanto (2009 : 251) ; Nursalam (2006 :
131)
1. Pemeriksaaan laboratorium.
a. Sedimen urine dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya proses
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna untuk
mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap
beberapa antimakroba yang diujikan.
b. Pemeriksaan faal ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan gula darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya
penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan kelainan
persarafan pada buli-buli.
d. Urinalisis : untuk mendeteksi adanya protein atau darah dalam air
kemih, berat jenis dan osmolalitas, serta pemeriksaan mikroskopik air
kemih.
12
untuk
mengetahui
kateterisasi setelah
miksi.
c. Pancaran urine (flow rate) dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urine.
G. Penatalaksanan
1. Keperawatan
Biasanya dilakukan pada pasien keluhan ringan. Nasihati agar
tidak minum kopi dan minum alkohol, dan anjurkan untuk minum cukup
air untuk mencegah dehidrasi (Smeltzer & Bare, 2000: 1631)
2. Pembedahan
Menurut Smeltzer dan Bare (2000 : 1626) beberapa prosedur digunakan
untuk mengangkat kelenjar bagian prostat yang mengalami hipertrofi.
13
14
kepatenan
kateter
uretra
yang
dipasang
setelah
pembedahan
1) Panatu aliran irigasi tertutup tiga jalur dan system drainase, jika
digunakan
2) Gunakan teknik aseptic, lakukan irigasi manual dengan cairan
pengirigasi 50 ml. hindari distensi yang berlebihan pada kandung
kemih, yang dapat menyebabkan hemoragi.
b. Berikan obat-obatan antikolinergik, sesuai instruksi, untuk mengurangi
spasme kandung kemih.
c. Kaji tingkat hematuria dan adanya pembentukan bekuan : drainase
harus berwarna merah muda dalam 24 jam
1) Laporkan adanya perdarahan arterial (merah terang, dengan
peningkatan viskositas) : dapat memerlukan intervensi bedah.
2) Laporkan adanya peningkatan perdarahan vena (merah gelap) :
mungkin membutuhkan traksi kateter untuk memberikan tekanan
pada fosa prostat dengan balon kateter yang dikembangkan.
3) Bersiaplah untuk transfusi darah jika perdarahan terjadi terusmenerus.
d. Berikan cairan IV sesuai instruksi dan dorongan asupan cairan oral jika
ditoleransi untuk memastikan hidrasi dan haluaran urine.
e. Pertahankan tirah baring selama 24 jam pertama : pantau tanda-tanda
vital dengan sering, asupan dan haluaran, serta observasi kondisi
balutan insisi, jiak ada (tidak ada insisi pada TURP).
f. Setelah 24 jam, anjurkan ambulasi untuk mencegah trombosit venal
embolisme pulmoner, dan pneumonia hipostatik.
15
g. Observasi warna atau bau pada urine dan ambil sampel urine untuk
evaluasi infeksi sesuai instruksi.
h. Laporkan adanya nyeri testis, pembengkakan, dan nyeri tekan, yang
dapat mengindikasikan epididimitis akibat penyebaran infeksi.
i. Bantu dengan perawatan perineal jika terdapat insisi perineal untuk
mencegah kontaminasi feses.
j. Berikan obat pereda nyeri atau pantau penggunaan analgesia oleh
pasien (PCA) sesuai instruksi.
k. Beri posisi yang nyaman dan beritahukan pasien untuk menghindari
mengejan, yang akan meningkatkan kongesti vena pelvic dan dapat
menyebabkan hemoragi.
l. Berikan pelunak feses untuk mencegah rasa tidak nyaman akibat
konstipasi.
m. Pastikan bahwa kateter terpasang dengan baik pada paha pasien untuk
mencegah traksi kateter, yang akan menyebabkan nyeri dan
kemungkinan perdarahan.
n. Perawat mengkaji peristaltic usus setiap 4-8 jam. Perawat secara rutin
mengauskultasi abdomen untuk mendeteksi kembali bising usus.
o. Pertahankan asupan nutrisi dan meningkatkan secara bertahap sesuai
program dokter.
p. Apabila peristaltic sudah kembali, berikan cairan yang encer dan
dilanjutkan dengan yang kental seperti bubur dan diet ringan yang
lebih padat dengan banyak protein untuk proses penyembuhan luka.
I. Komplikasi
1. Pre operasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensio urine.
Karena produksi urine terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak
mampu lagi menampung urine. Sehingga tekanan intra vesika meningkat.
16
asidosis metabolic.
Inkontinensia urin (urin yang keluar terus-menerus)
Struktur uretra
Prostatitis : peradangan pada prostat karena bakteri ataupun infeksi
Karena efek anestesi memperlambat mortilitas gastrointestinal
menyebabkan mual dan muntah disebabkan oleh nyeri berat, distensi
abdomen, obat-obatan dan makanan atau minum sebelum peristaltic
kembali.
i. Konstipasi adalah buang air besar yang jarang setelah pembedahan.
Jika dalam waktu 48 jam pasien belum defekasi maka perlu di
khawatirkan, karena peristaltik yang melambat dan penundaan diet
normal.
j. Distensi abdomen : retensi udara didalam usus ditandai dengan perut
terasa penuh dan nyeri karena gas.
(Pierce & Niel, 2006 : 169 ; Potter & Perry, 2005 : 1843).
J. Pengkajian
1. Pre operatif
Menurut Nursalam (2006 : 137) pengkajian pre operatif pada pasien BPH:
17
tidur,
gangguan
lengkap;
dorongan
dan
frekuensi
berkemih.
: Massa padat di bawah abdomen bawah (disertai
kandung kemih), nyeri tekan kandung kemih,Hernia
inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan
18
19
20
21
pengobatan.
Menunjukan pengetahuan Diet : gambaran diet yang