Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat berdasarkan keparahan cedera
mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui intervensi medis yang
segera. Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan keahlian setempat.
Sistem triase biasanya sering ditemukan pada perawatan gawat darurat di suatu
bencana.Dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup
pasien. Misalnya adabeberapa orang pasien yang harus ditangani oleh perawat
tersebut.dimana setiap pasien dalam kondisi yang berbeda. Jadi perawat harus mampu
menggolongkan pasien tersebut dengan sistem triase.
1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dan triage
b. Untuk mengetahui tujuan triage
c. Untuk mengetahui klasifikasi triage
d. Untuk mengetahui pengambilan keputusan dalam triage
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SejarahTriage
Definisi : dari kata Perancis Trier yang artinya membagi dalam 3 group
Di kembangkan di medan pertempuran
Konsep ini digunakan bila terjadi bencana
Dilaksanakan di ruang gawat darurat dari 1950 / 1960 karena 2 alasan :
o Meningkatkan kunjungan
o Meningkatkan penggunaan untuk non urgen
2.2 PengertianTriage
Triage adalah suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat
kegawatan kondisinya.
Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat berdasarkan keparahan
cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui intervensi medis yang
segera.Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan keahlian setempat. Prioritas yang
lebih tinggi diberikan pada korban yang prognosis jangka pendek atau jangka panjangnya
dapat dipengaruhi secara dramatis oleh perawatan sederhana yang intensif.
Sistem triase biasanya sering ditemukan pada perawatan gawat darurat di suatu
bencana.Misalnya ada beberapa orang pasien yang harus ditangani oleh perawat
tersebut.dimana setiap pasien dalam kondisi yang berbeda. Jadi perawat harus mampu
menggolongkan pasien tersebut dengan sistem triase. Pasien pertama kondisinya sudah tidak
mungkin untuk diselamatkan lagi ( sudah meninggal), terdapat luka parah atau kebocoran di
kepala, sehingga pasien tersebut digolongkan pada triase lampu hitam. pasien kedua
kondisinya mengalami patah tulang, luka-luka dan memar pada tubuhnya, sehingga pasien
berteriak, mungkin karena kejadian yang membuat pasien syok, maka pasien diklasifikasikan
pada triase lampu hijau, tidak perlu penanganan cepat. Selanjutnya ditemui pasien dengan
kondisi lemah, kritis, nadi lemah, serta pernafasan yang sesak. Maka pasien ini lah yang
sangat membutuhkan pertolongan pada saat itu, yang tergolong pada triase lampu merah.
Karena jika tidak diselamatkan, nyawa pasien bisa tidak tertolong lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem triase ini digunakan untuk menentukan prioritas
penanganan kegawat daruratan. Sehingga perawat benar-benar memberikan pertolongan pada
pasien yang sangat membutuhkan, dimana keadaan pasien sangat mengancam nyawanya,
namun dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup pasien
tersebut. Tidak membuang wakunya untuk pasien yang memang tidak bisa diselamatkan lagi,
dan mengabaikan pasien yang membutuhkan.
Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi
Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
KodeWarnaInternationalDalamTriage:
Sistem triage dikenal dengan system kode 4 warna yang diterima secara internasional. Merah
menunjukan perioris tinggi perawatan atau pemindahan, Kuning menandakam perioritas
sedang, hijau digunakan untuk pasien rawat jalan, dan hitam untuk kasus kematian atau
pasien menjelang ajal. Perawat harus mampu mampu mengkaji dan menggolongkan pasien
dalam waktu 2 3 menit.
1. Prioritas 1 atau Emergensi: warna MERAH (kasusberat)
Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan
kaki,waktu tunggu 30 menit, area critical care.
Trauma thorax non asfiksia
Fraktur tertutup pada tulang panjang
Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW )
Cedera pada bagian / jaringan lunak
Penalaran deductive adalah 'menyiangi' yang simultan dari solusi yang mungkin sementara
aktif mengumpulkan informasi pasien, strategi ini sering tidak diketahui atau tidak dikenal
dan menjadi bagian dari praktek ahli. Memungkinkan praktisi untuk cepat mengurutkan yang
relevan dan tidak relevan dari informasi untuk mencapai keputusan.
2. Pengenalan pola
Ini adalah strategi yang paling umum digunakan oleh dokter, dan sangat penting ketika
membuat keputusan yang cepat berdasarkan informasi terbatas yang diperlukan selama triase.
3. Hipotesa berulang
Hipotesa berulang digunakan oleh dokter untuk menguji penalaran diagnostik. Dengan
mengumpulkan data untuk mengkonfirmasi atau menghilangkan hipotesis, keputusan dapat
dibuat. Tergantung pada tingkat keahlian metode ini dapat berupa induktif atau deduktif.
4. Representasi mental
Representasi mental adalah metode menyederhanakan situasi untuk memberikan gambaran
umum, dan memungkinkan fokus pada informasi yang relevan. Strategi ini sering digunakan
ketika suatu masalah yang sangat kompleks atau besar. Penggunaan analogi membantu dokter
memvisualisasikan situasi dengan menyederhanakan masalah dan memungkinkan perspektif
yang berbeda. Triase keputusan harus cepat dan metode ini telah digunakan secara terbatas
pada tahap dalam perawatan pasien.
5. Intuisi
Intuisi adalah terkait erat dengan keahlian, dan umumnya dipandang sebagai kemampuan
praktisi untuk memecahkan masalah dengan data yang relatif sedikit. Intuisi jarang
melibatkan analisis sadar dan sering dinyatakan sebagai 'firasat' atau 'firasat yang kuat'.
Praktisi ahli melihat situasi secara holistik dan menggambarkan berdasarkan pengalaman
masa lalu. Banyak pengetahuan mereka tertanam dalam praktek dan disebut sebagai lacit, di
mana keputusan yang efektif yang dibuat dengan menggabungkan pengetahuan dengan teoriteori pengambilan keputusan dan berpikir intuitif. Perawat ahli banyak yang tidak menyadari
proses mental yang mereka gunakan dalam penilaian dan pengelolaan pasien. Meskipun
intition tetap terukur, nilai praktek klinis adalah mengakui dan didokumentasikan dengan
baik.
Pengambilan Keputusan Selama Triase
Terdiri dari tiga tahap utama:
Identifikasi masalah
Penentuan alternatif dan.
Pemilihan alternatif yang paling tepat
1.
2.
3.
4.
5.
dikendalikan, bagi korban yang dapat berjalan agar dapat pindah dari area tempat pertolongan
korban prioritas utama (merah / immediate ). Korban ini sekarang ditandai dengan status
Minor / prioritas 3 ( hijau ).
Jika korban protes disuruh pindah dikarenakan nyeri untuk berjalan, jangan paksa
mereka untuk pindah.
Tahap ke dua: Mulai dari tempat berdiri. Mulailah tahap ke 2 dari tempat berdiri,
bergeraklah pindah dengan pola yang teratur dan mengingat korban. Berhenti pada masing
masing individu dan melakukan assesment dan tagging dengan cepat.
Tujuannya adalah untuk menemukan pasien yang butuh penanganan segera (immediate,
merah).
START didasarkan pada 3 observasi : RPM ( respiration, perfusion, and Mental Status)
Respiration / breathing
Jika pasien bernafas, kemudian tentukan frekuensi pernafasanya, jika lebih dari 30 / menit,
korban ditandai Merah / immediate. Korban ini menujukkan tanda tanda primer shock dan
butuh perolongan segera.
Jika pasien bernafas dan frekuensinya kurang dari 30 / menit, segera lakukan
observasi selanjutnya ( perfusion and Mental status ).
Jika pasien tidak bernafas, dengan cepat bersihkan mulut korban dari bahan bahan asing.
Buka jalan nafas, posisikan pasien untuk mempertahankan jalan nafasnya, dan jika pasien
bernafas tandai pasien dengan immediate, jika pasien tidak bernafas setelah dialkukan
maneuver tadi, maka korban tersebut ditandai DEAD.
Perfusion or Circulating
Bertujuan untuk mengecek apakah jantungnya masih memiliki kemampuan untuk
mensirkulasikan darah dengan adekuat, dengan cara mengecek denyut nadi. Jika denyut nadi
lemah dan tidak teratur korban ditandai immediate.
jika denyut nadi telah teraba segera lakukan obserbasi status mentalnya.
Mental status
Untuk mengetesnya dapat dilakukan dengan memnberikan instruksi yang mudah pada korban
tersebut :
buka matamu atau tutup matamu .
Korban yang mampu mengikuti instuksi tersebut dan memiliki pernafasan dan sirkulasi yang
baik, ditandai dengan Delayed
Korban yang tidak bisa mengikuti instruksi tersebut ditandai dengan Immediate
Korban D ditinggalkan di tempat mereka jatuh, ditutupi seperlunya.
Korban I merupakan prioritas utama dalam evakuasi karena korban ini memerlukan
Perawatan medis lanjut secepatnya atau paling lambat dalam satu jam (golden hour).
Korban DEL dapat menunggu evakuasi sampai seluruh korban I selesai ditranspor.
Jangan evakuasi korban M sampai seluruh korban I dan DEL selesai dievakuasi.
Korban ini dapat menunda perawatan medis lanjut sampai beberapa jam lamanya. Re-triase
korban tetap dilakukan untuk melihat apakah keadaan korban memburuk.
Reverse Triage
Sebagai tambahan pada standar triase yang dijalankan, terdapat beberapa kondisi dimana
korban dengan cedera ringan didahulukan daripada korban dengan cedera berat. Situasi yang
memungkinkan dilakukan reverse triage yaitu pada keadaan perang dimana dibutuhkan
prajurit yang terluka untuk kembali ke medan pertempuran secepat mungkin. Selain itu, hal
ini juga mungkin dilakukan bila terdapat seumlah besar paramedis dan dokter yang
mengalami cedera, dimana akan merupakan suatu keuntungan jika mereka lebih dulu
diselamatkan karena nantinya dapat memberikan perawatan medis kepada korban yang lain.
1.
2.
3.
4.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
5.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
6.
a.
b.
Sektor Triase.
Sektor Tindakan Primer.
Sektor Tindakan Sekunder.
Sektor Transportasi.
Rencana Pasca Kejadian Musibah massal :
Kritik Pasca Musibah.
CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
BAB III
PENUTUP
sistem triase ini digunakan untuk menentukan prioritas penanganan kegawat daruratan.
Sehingga perawat benar-benar memberikan pertolongan pada pasien yang sangat
membutuhkan, dimana keadaan pasien sangat mengancam nyawanya, namun dengan
penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup pasien tersebut. Tidak
membuang wakunya untuk pasien yang memang tidak bisa diselamatkan lagi, dan
mengabaikan pasien yang membutuhkan.
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage
selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan
pertolongan kedaruratan.
Sistem triage dikenal dengan system kode 4 warna yang diterima secara internasional.
Merah menunjukan perioris tinggi perawatan atau pemindahan, Kuning menandakam perioritas
sedang, hijau digunakan untuk pasien rawat jalan, dan hitam untuk kasus kematian atau pasien
menjelang ajal. Perawat harus mampu mampu mengkaji dan menggolongkan pasien dalam
waktu 2 3 menit.
Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dan integral pada medis dan praktik
keperawatan. Penilaian klinis tentang pasien membutuhkan baik pemikiran dan intuisi, dan
keduanya harus didasarkan pada professional,pengetahuan dan keterampilan.
DAFTAR PUSTAKA
Manchester Triage Group. 2006. Emergency Triage 2nd ed. Blackwell Publishing Ltd: USA
Pan American Health Organization, ed. Palupi Widyastuti. 2000. Bencana Alam : Perlindungan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
S. Khatien, dkk. 2000. Emergency Nursing Secrets. Jakarta : EGC
KONSEP TRIAGE
Oktober 7, 2012
2 Votes
1. Sejarah Triage
Triage berasal dari Bahasa Francis trier yang berarti memisahkan, memilah, atau memilih. Triage
adalah cara pemilahan penderita korban gawat darurat berdasrakan skala prioritas yang didasarkan
kepada kebutuhan terapi korban dan sumber daya yang tersedia. Kebutuhan terapi setiap korban
didasarkan pada penilaian kondisi ABC (Airways, Breathing, Circulation) pasien tersebut dimana
penilaian tersebut akan menggambarkan derajat keparahan kondisi korban.Triage juga berlaku untuk
pemilahan penderita di lapangan atau pada keadaan bencana. Triage juga berguna untuk
menentukan Rumah sakit rujukan mana yang sesuai dengan kondisi penderita.
Ada dua jenis keadaan yang akan mempengaruhi proses triage :
1. Multiple Casualties
Adalah musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui
kemampuan petugas dan peralatan. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam
jiwa dan multiple trauma akan dilayani terlebih dahulu
1. Mass Casualties
Adalah musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan petugas
dan peralatan. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan hidup /survival terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga paling
sedikit.
1. Definisi
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan
trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penangnanan dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingka kegawatan
kondisinya.
Triase (Triage) adalah Tindakan untuk memilah/mengelompokkan korban berdasar beratnya cidera,
kemungkinan untuk hidup, dan keberhasilan tindakan berdasar sumber daya (SDM dan sarana) yang
tersedia.
1. Tujuan
2. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa
3. Tujuan kedua adalah untuk memprioritaskan pasien menurut ke akutannya
4. Pengkatagorian mungkin ditentukan sewaktu-waktu
5. Jika ragu, pilih prioritas yang lebih tinggi untuk menghindari penurunan triage
Tujuan triase pada musibah massal adalah bahwa dengan sumber daya yang minimal dapat
menyelamatkan korban sebanyak mungkin.KEBIJAKAN:
1. Memilah korban berdasar:
a. Beratnya cidera
b. Besarnya kemungkinan untuk hidup
c. Fasilitas yang ada / kemungkinan keberhasilan tindakan
2. Triase tidak disertai tindakan
3. Triase dilakukan tidak lebih dari 60 detik/pasien dan setiap pertolongan harus dilakukan sesegera
mungkin. PROSEDUR:
3. Penderita/korban dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut
dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien dengan kategori
triase merah selesai ditangani.
4. Penderita/korban dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila
sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat diperbolehkan untuk
pulang.
5. Penderita/korban kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah.
6. D.
PRINSIP
Pada keadaan bencana massal, korban timbul dalam jumlah yang tidak sedikit dengan resiko cedera
dan tingkat survive yang beragam. Pertolongan harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada,
baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya. Hal tersebut merupakan dasar dalam
memilah korban untuk memberikan perioritas pertolongan.
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan:
Sistem Triage
8. Non Disaster :
Untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi setiap individu pasien
1. Disaster :
Untuk menyediakan perawatan yang lebih efektif untuk pasien dalam jumlah banyak
1. F.
ii.
iii.
Evaluasi terbatas
iv.
Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera
mendapat perawatan pertama
v.
1. Klasifikasi Triage
2. Klasifikasi berdasarkan pada :
A. pengetahuan
B. data yang tersedia
C. situasi yang berlangsung
1. Sistem Klasifikasi
Sistem klasifikasi menggunakan nomor, huruf atau tanda. Adapun klasifikasinya sebagai berikut :
1. Prioritas 1 atau Emergensi
A. Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi
segera
B. Pasien dibawa ke ruang resusitasi
C. Waktu tunggu 0 (Nol)
D. Prioritas 2 atau Urgent
i.
ii.
iii.
iv.
i.
pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal
ii.
luka lama
iii.
iv.
1. H.
i.
ii.
iii.
iv.
S.T.A.R.T. MODEL
Simple triage mengidentifikasi korban berdasarkan kebutuhan untuk perwatan lebih lanjut, selain itu di
lapangan para triage ini juga harus memikirkan prioritas pasien untuk dievakuasi ke Rumah sakit.
1. Hitam/ Deceased : Korban meninggal atau tidak bernafas meskipun jalan nafas sudah
dibebaskan, korban meninngal dibiarkan di tempat kejadian dan diangkat belakangan setelah
semuanya tertolong.
2. Merah/ Immediate/ Prioritas 1 Evakuasi : Korban dengan luka yang mengancam nyawa
dimana dapat tertolong jika segera dievakuasi untuk mendapatkan perawatan lanjut. Korban
membutuhkan perwatan lanjut atau tindakan operasi sesegera mungkin dibawah 1 jam dari
waktu kejadian. Korban berada dalam kondisi kritis dan akan meninggal jika tidak segera
ditolong.
3. Kuning/ Delayed/ Prioritas 2 evakuasi : korban yang dapat ditunda evakuasi medis setelah
korban prioritas 1 selesai dievakuasi. Korban dalam kondisi stabil, tapi tetap memerlukan
perawatan lebih lanjut
4. Hijau/ Minor/ Prioritas 3 evakuasi : korban ini akan dievakuasi setelah prioritas 1 dan 2
selesai dievakuasi. Pasien dengan luka yang merlukan pertolongan dokter tapi bisa ditunda
beberapa jam atau hari. Akan dimonitor terus sambil menunngu giliran evakuasi. Korban
biasanyta masih dapat berjalan (Walking wounded). Pasien akan dievakuasi setelah prioritas
2 selesai di evakuasi.
DAFTAR PUSTAKA
Darwis, Allan dkk. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama. Ed 2. Jakarta : Kantor Pusat Palang Merah
Indonesia.
ENA (Emergency Nurse Association). 2000. Emergency Nursing Core Curriculum, 5th Ed. USA: W.B
Saunders Company.
Teori Triage
1. Pengertian
Istilah triage (baca : trias) yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti suatu proses
pemilihan pasien yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat kegawatan
kondisinya. (Admin, 2013). triage sama hal nya dengan GAWAT DARURAT : Gawat :Suatu
kondisi dimana korban harus segera ditolong, apabila tidak segera di tolong maka akan
mengalami kecacatan atau kematian. Ex : gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi,
perdarahan hebat. Darurat :Suatu kondisi dimana korban harus segera di tolong tetapi
penundaan pertolongan tidak akan menyebabkan kematian / kecacatan.
Ex : Luka, Ca mamae, BPH, Fraktur tertutup
2. Prinsip-prinsip triage :
Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek mungkin), The Right
Patient, to The Right Place at The Right Time serta melakukan yang terbaik untuk
jumlah terbanyak dengan seleksi korban berdasarkan :
Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit
Trauma ringan
Sudah meninggal
Pengorganisasian ruang/tempat
Pengorganisasian sarana/peralatan
Pengorganisasian suplai
pelatihan
komunikasi
Pemimpin triage
Hanya melakukan :
Primary survey
Menentukan prioritas
Menentukan pertolongan yang harus diberikan
Keputusan triage harus dihargai. Diskusi setelah tindakan. Hindari untuk tidak
memutuskan sesuatu. Pemimpin triage tidak harus dokter, perawat pun bisa atau orang
yang terlatih tergantung sumber daya manusia di tempat kejadian.
Tim triage
Bertanggung jawab
Kategori triage
Selain dari penjelasan di atas di butuhkan pemahaman dampak atau psikologis pada saat keadaan
gawat darurat.
6. Aspek Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat
Cemas
cemas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan
yang difius, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala,
berkeringat, palpitasi, gelisah, dan sebagainya. Kumpulan gejala tertentu yang ditemui selama
kecemasan cenderung bervaniasi, pada setiap orang tidak sama.
Histeris
Dalam penggunaan sehari-hari nya histeria menjelaskan ekses emosi yang tidak terkendali. Orang
yang "histeris" sering kehilangan kontrol diri karena ketakutan yang luar biasa karena suatu kejadian
atau suatu kondisi
Mudah marah
Hal ini terjadi apabila seseorang dalam kondisi gelisah dan tidak tahu apa yang harus di perbuat
I. Pendekatan Pelayanan keperawatan gawat Darurat
Tepat adalah melakukan tindakan dengan betul dan benar, Cermat adalah melakukan tindakan
dengan penuh minat, perhatian, sabar, tanggap terhadap keadaan pasient, penuh ketelitian dan
berhati-hati dalam bertindak serta hemat sesuai dengan kebutuhan sedangkan Cepat adalah tindakan
segera dalam waktu singkat dapat menerima dan menolong pasien, cekatan, tangkas serta terampil.
Sementara itu urutan prioritas penanganan kegawatan berdasarkan pada 6-B yaitu :
B -1 = Breath system pernafasan
B -2 = Bleed system peredaran darah ( sirkulasi )
B -3 = Brain system saraf pusat
B -4 = Bladder system urogenitalis
B -5 = Bowl system pencernaan
B -6 = Bone system tulang dan persendian
Kegawatan pada system B-1, B-2, B-3, adalah prioritas utama karena kematian dapat terjadi sangat
cepat, rangkin pertolongan ini disebut Live Saving First Aid yang meliputi :
Membebaskan jalan napas dari sumbatan
Memberikan napas buatan
Pijat jantung jika jantung berhenti
Menghentikan pendarahan dengan menekan titik perdarahan dan menggunakan beban
Posisi koma dengan melakukan triple airway menuver, posisi shock dengan tubuh horizontal,
kedua tungkai dinaikan 200 untuk auto tranfusi
Bersikap tenang tapi cekatan dan berfikir sebelum bertindak, jangan panic
Lakukan pengkajian yang cepat terhadap masalah yang mengancam jiwa
Lakukan pengkajian yang siatematik sebelum melakukan tindakan secra menyeluruh.
Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan segera sesuai dengan standar dan fasilitas yang
tersedia karena faktor waktu dan infornasi terbatas untuk mencegah kematian dan mencegah
kecacatan.
II. PENGERTIAN
A. Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam
nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
B. Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker
stadium lanjut.
C. Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak mngancam nyawa dan anggota badannya,
misanya luka sayat dangkal.
Upaya pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya mencakup suatu
rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah
kematian atau cacat yang mungkin terjadi.
Cakupan pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi:
a. Penanggulangan penderita di tempat kejadian
b. Transportasi penderita gawat darurat dan tempat kejadian kesarana kesehatan yang lebih
memadai.
c. Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk menunjang kegiatan penanggulangan penderita
gawat darurat.
d. Upaya rujukan ilmu pengetahuan,pasien dan tenaga ahli
e. Upaya penanggulangan penderita gawat darurat di tempat rujukan (Unit Gawat Darurat dan ICU).
f. Upaya pembiayaan penderita gawat darurat.
2. Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51
UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan
darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya
penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa Pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir
miskin, orang terlantar dan kurang mampu.6 Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat
darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Rumah sakit di
Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari
sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan
untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.Dalam penanggulangan pasien
gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan
gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/
1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit
belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan
hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan
yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut
seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sector
kesehatan.
3. Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat
Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan dengan lingkup
kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam
pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut:6 tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi
kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan
mengandung risiko yang tidak kecil. Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan
pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenagakesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. 6 Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat
merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan
medis yang mengandung risiko. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan
tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/ 1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa
tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.6 Pengaturan di atas
menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter
memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam
keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang
bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.6,10
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama dilakukan
oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupu yang terlatih di bidang medis. Dalam hal itu
ketentuan perihal kewenangan untukmelakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan
seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan
dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena
pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan. Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan
oleh tenaga terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan
yang memang tugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak
berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan
dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.
4. Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam
pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat. Karena secara yuridis keadaan
gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu
ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian
gawat darurat adalah: An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or
whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-require immediate medical
attention. This condition continuesuntil a determination has been made by a health care professional
that the patients life or well-being is not threatened.Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya
dalam keadaan gawat darurat walaupun sebenarnya tidak demikian.Sehubungan dengan hal itu perlu
dibedakan antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah: A true
emergency is any condition clinically determined to require immediate medical care. Such conditions
range from those requiring extensive immediate care and admission to the hospital to those that are
diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and observation.Untuk
menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien
diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah dokter,
namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat melalui standing order yang
disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase
pra-rumah sakit dengan fase di rumah sakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat
berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam,
sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya
tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam
tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit
sangat menentukan survivabilitas pasien.
5. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-undangan pada
hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit
untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan
gawat darurat.3,5 Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang
harus dipenuhi adalah :
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan
pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik
biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong.
Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk
menambah keterampilan penolong. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien
menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapatkekeliruan dalam penegakan diagnosis atau
pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi
penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam
situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut
terjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan
medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai
hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana
harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam
hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut
harus disimpan dalam berkas rekam medis.