Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
IRIDOSIKLITIS
OLEH
Rindayu Ambarsih
110.2010.242
Pembimbing
dr. Diantinia Sp. M
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. T
Umur
: 57 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku/Bangsa
: Sunda
Pekerjaan
Alamat
Tgl Pemeriksaan
: 01 Agustus 2015
No. RM
: 521607
ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Mata kiri buram
timbul. Tidak ada riwayat trauma dan pemakaian lensa kontak pada mata kiri. Belum ada
riwayat pengobatan sebelumnya.
PEMERIKSAAN FISIS
Status Present
-
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Menstis
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 78 kali/menit
Pernapasan
: 21 kali/menit
Suhu
: 36,2C
BB
: 65 kg
TB
: 155 cm
Status Generalis
-
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
Genitalia
Ekstremitas
Status Oftalmologis
No
Pemeriksaan
OD
OS
1.
Visus
2.
3.
Palpebra Superior :
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
4.
Palpebra Inferior :
-
5.
Ptosis
Hematom
Vulnus Laserasi
Edema
Hiperemi
Silia
Entoprion
Edema
Hiperemi
Silia
Entoprion
Konjungtiva :
6.
Injeksi
konjungtival
Injeksi siliar
(-)
(-)
Kejernihan
Infiltrat
Sikatrik
Keratik presipitat
Jernih
Keruh
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
sedang
sedang
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
Regular
Regular
(-)
COA :
-
8.
(-)
Kornea :
-
7.
(-)
Kedalaman
Hifema
Hipopion
Flare
Iris :
-
Sinekia
11
9.
Pupil :
Bulat
Tak teratur
3 mm
2 mm
Anisokor
Anisokor
Lensa :
Jernih
Jernih
Iris shadow
(Tidak dilakukan)
(Tidak dilakukan)
11.
Korpus Vitreum :
Jernih
Jernih
12.
Fundus reflex
Cemerlang
Cemerlang
13.
Funduskopi
(tidak dilakukan)
(tidak dilakukan)
14.
TIO
Normal
Normal
10.
Bentuk
Diameter
Reflek
Isokori
RESUME
Seorang perempuan berusia 57 tahun, datang ke poliklinik mata RSUD Soreang dengan
mata buram 6 bulan yang lalu pada mata kiri. Keluhan mata buram ini terutama saat
melihat cahaya dan melihat jauh, pusing (+), silau bila terkena cahaya (+), rasa
mengganjal (-), kotoran mata berlebih (-). Terdapat
sebelumnya pada mata sebelah kiri hilang timbul. Tidak ada riwayat trauma pada mata
kiri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus OD 6/21 dan OS 3/60, OS palpebra
superior udem, OS keratic precipitate, OS Iris sinekia posterior arah jam 11, OS pupil
berbentuk tidak teratur dan mengecil.
DIAGNOSIS BANDING
Iridosiklitis OS
Uveitis Posterior OS
Panuveitis OS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Fundus reflex
DIAGNOSIS KERJA
Iridosiklitis OS
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
1. Cloramfenikol salep mata 1% 3 X 1 pada mata kiri
2. Cendo xitrol tetes mata 5 ml 3 X 1 tetes pada mata kiri
3. Sulfas Atropin 1% 3 X 1 tetes pada mata kiri
Non medikamentosa:
Kompres hangat
PROGNOSA
-
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
UVEITIS ANTERIOR (IRIDOSIKLISIS)
10
1. Anatomi
Bola Mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata, dimana dinding bola mata
terdiri atas sklera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas lensa, uvea, badan
kaca dan retina. Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola mata setelah sclera
dan tenon. Uvea merupakan jaringan lunak, terdiri dari iris, badan siliar dan
koroid.Bagian ini adalah lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea
dan sklera. Bagian ini ikut memasukkan darah ke retina.
a). Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu permukaan
pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera
anterior dari kamera posterior, yang masing-masing berisi aqueus humor. Di
dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan
11
Pasok darah ke iris adalah dari sirkulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang sehingga normalnya tidak
membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Persarafan iris
adalah melalui serat-serat di dalam nervus siliares. Iris mengendalikan
banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya
ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis
yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan
oleh aktivitas simpatik.
12
c). Khoroid
Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid
tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah khoroid; besar, sedang dan kecil.
Semakin dalam pembuluh terletak di dalam khoroid, semakin lebar lumennya.
Bagian dalam pembuluh darah khoroid dikenal sebagai khoriokapilaris. Darah
dari pembuluh darah khoroid dialirkan melalui empat vena vortex, satu di
masing-masing kuadran posterior. Khoroid di sebelah dalam dibatasi oleh
membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid terletak di
antara khoroid dan sklera. Khoroid melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus
optikus. Ke anterior, khoroid bersambung dengan korpus siliare. Agregat
pembuluh darah khoroid memperdarahi bagian luar retina yang mendasarinya.
2. Definisi
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars
plicata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea
dan sklera. Peradangan pada uvea dapat mengenai hanya pada iris yang disebut iritis
13
atau mengenai badan siliar yang di sebut siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan
siklitis yang disebut iridosiklitis atau uveitis anterior.
2.3. Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data akurat mengenai jumlah kasus uveitis. Di Amerika
Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000
penduduk per tahun. Insidennya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak
pada usia sekitar 30-an.
4. Etiologi
Penyebab eksogen seperti trauma uvea atau invasi mikroorganisme atau agen lain
dari luar. Secara endogen dapat disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan,
14
mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya infeksi
tuberkulosis, herper simpleks. Etiologi uveitis dibagi dalam :
Berdasarkan spesifitas penyebab :
1. Penyebab spesifik (infeksi) Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, ataupun
parasit yang spesifik.
2. Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme atau antigen
yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi antigen antibodi dengan
predileksi pada traktus uvea.
Berdasarkan asalnya:
1. Eksogen : Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intraokuler,
ataupun iatrogenik.
2. Endogen :disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan, mikroorganisme atau agen
lain dari dalam tubuh pasien misalnya infeksi tuberkulosis, herpes simpleks.
5. Klasifikasi
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis
yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi uveitis
dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis,
15
16
6. Patofisiologi
17
Seperti semua proses radang, uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi
pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi
perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan
menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp)
hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak
Brown (efek Tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses keradangan akut.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang di dalam BMD yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam
BMD, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan
berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai
keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic precipitate,yaitu:
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang
difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan berjalan
terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas
dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang
disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia
anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio
pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil.
18
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh selsel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik
mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan
mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans. Selanjutnya tekanan
dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi .gangguan metabolisme lensa yang
menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila
peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif berat
dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca)
ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul
tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera
ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang
semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi
akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier.
7. Gambaran Klinis
Gejala akut dari uveitis anterior adalah mata merah, fotofobia, nyeri, penurunan
tajam penglihatan dan hiperlakrimasi. Sedangkan pada keadaan kronis gejala uveitis
anterior yang ditemukan dapat minimal sekali, meskipun proses radang yang hebat
sedang terjadi.
19
20
8. Diagnosis
Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1). Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien, misalnya
pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya, kemudian riwayat penyakit
sistemik yang mungkin pernah diderita oleh pasien.
Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain:
Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih terasa ketika
mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut dapat beralih ke daerah
pelipis atau daerah periorbital. Nyeri tersebut sering timbul dan menghilang
segera setelah muncul.
21
Umumnya unilateral
Tekanan intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah daripada
mata yang sehat. Hal ini secara sekunder disebabkan oleh penurunan produksi
cairan akuos akibat radang pada korpus siliaris. Akan tetapi TIO juga dapat
meningkat akibat perubahan aliran keluar (outflow)cairan akuos.
Konjungtiva : terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pula (pada kasus
yang jarang) injeksi pada seluruh konjungtiva
Camera
Oculi
Anterior (COA)
hipopion.
yang
aktif.
Jumlah
sel
yang
ditemukan
pada
22
+1 : 5-10 sel
+2 : 11-20 sel
+3 : 21-50 sel
+4 : > 50 sel
Aqueous flare adalah akibat dari keluarnya protein dari pembuluh darah iris
yang mengalami peradangan. Adanya flaretanpa ditemukannya sel-sel bukan
indikasi bagi pengobatan. Melalui hasil pemeriksaan slit-lamp yang sama
dengan pemeriksaan sel, flare juga diklasifikasikan sebagai berikut:
23
kronis.
Pemeriksaan
darah
untuk antinuclear
antibody dan rheumatoid factor serta foto rontgen lutut sebaiknya dilakukan.
Perujukan ke ahli penyakit anak dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis dengan
KP mutton fatmemberikan kemungkinan sarkoidosis. Foto rontgen toraks
sebaiknya dilakukan dan pemeriksaan terhadap enzim lisozim serum serta
serum angiotensineconverting enzyme sangat membantu.
24
9. Diagnosis Banding
Berikut adalah beberapa diagnosis banding dari uveitis anterior:
a. Konjungtivitis.
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada kotoran
mata dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotofobia atau injeksi siliaris.
b. Keratitis atau keratokonjungtivitis.
25
Pada keratitis atau keratokonjungtivitis, penglihatan dapat kabur dan ada rasa
sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan
herpes zoster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
c. Glaukoma akut.
Pada glaukoma akut pupil melebar, tidak ditemukan sinekia posterior dan
korneanya beruap.
10. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan atau
memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi
penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu
diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang
tidak diharapkan. Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi :
Terapi non spesifik
1. Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat
pemberian midriatikum.
2. Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus untuk
meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.
26
3. Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier
relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan.
Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk
mencegah terjadinya
27
Terapi spesifik
a. Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis
anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka
obat
yang
sering
diberikan
berupa
antibiotik,
yaitu
Chloramphenicol
:
Chloramphenicol
kali
25
mg/kgbb
sehari
sehari
kapsul.
3-4
kali.
Terapi konservatif :
Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
28
Terapi bedah :
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap tinggi.
Sudut tertutup : iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi
perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau PAS)
dilakukan bedah filtrasi.
11. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi dari uveitis anterior:
a. Sinekia anterior perifer.
Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer yang menghalangi
humor akuos keluar di sudut iridokornea (sudut kamera anterior) sehingga
dapat menimbulkan glaucoma.
b. Sinekia posterior
Dapat menimbulkan glaukoma dengan berkumpulnya akuos humor di
belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan.
c. Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak
29
Katarak merupakan komplikasi lebih lanjut yang serius, yang dapat dilihat
setelah serangan uveitis anterior yang berulang. Hal ini selalu memberikan
efek awal pada daerah subcapsular posterior dari lensa dan sayangnya, dapat
menganggu penglihatan pada stadium dini. Katarak juga dapat terjadi pada
penggunaan steroid topical dan sistemik jangka panjang.
d. Edema kistoid makular dan degenerasi makula
Dapat timbul pada uveitis anterior yang berkepanjangan.
12. Prognosis
Kebanyakan kasus uveitis anterior berespon baik jika dapat didiagnosis secara awal dan
diberi pengobatan. uveitis anterior mungkin berulang, terutama jika ada penyebab
sistemiknya. Karena baik para klinisi dan pasien harus lebih waspada terhadap tanda dan
mengobati dengan segera. Prognosis visual pada iritis kebanyakan akan pulih dengan
baik, tanpa adanya katarak, glaucoma atau posterior uveitis
30
BAB III
PEMBAHASAN
1. Apakah diagnosa pada pasien ini sudah benar?
31
Pasien Ny. T berumur 57 tahun datang dengan keluhan mata kiri buram sejak 6
bulan lalu .Keluhan mata buram ini terutama saat melihat cahaya dan melihat
jauh, pusing (+), silau bila terkena cahaya (+). Terdapat riwayat mata merah 6
bulan sebelumnya pada mata sebelah kiri.
Pada pemeriksaan oftalmologis ditemukan :
visus
palpebra superior
: OS udem,
Kornea
COA
Iris
Pupil
32
Non medikamentosa:
Kompres hangat
maksimal.
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Diharapkan dengan penyembuhan yang maksimal, penglihatan juga akan
mengalami perbaikan. Tapi dengan visus 3/60 kemungkinan untuk penglihatan
33
DAFTAR PUSTAKA
1.
2. Vaughan DG. Traktus Uvealis & Sklera In: Oftalmologi Umum (General
Paramita,
Galuh
P.
2010.
Uveitis
Anterior.
Available
from
URL: http://www.fkumycase.net/wiki/index.php?page=mata+%22+uveitis+anterior
%22.html
4.
Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal. 172-4.
5.
34
35