Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non
tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama
Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater
tradisional (Bali). Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam
pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan
Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede
Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar). Diakui oleh penciptanya bahwa Drama
Gongyang diciptakan dengan memadukan unsur-unsur drama tari tradisional Bali
seperti Sendratari, Arja, Prembon dan Sandiwara dimaksudkan sebagai sebuah prembon (seni
campuran) modern.
Unsur-unsur teater modern yang dikawinkan dalam Drama Gong antara lain :
tata dekorasi
akting
tata busana
Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka
semula Drama Gong disebut "drama klasik".
Adalah I Gusti Bagus Nyoman Panji yang kemudian memberikan nama baru (Drama Gong)
kepada kesenian ini berdasarkan dua unsur baku (drama dan gamelan gong) dari kesenian ini.
Patut dicatat bahwa sebelum munculnya Drama Gong di Bali telah ada Drama Janger,
sebuah kesenian drama yang menjadi bagian dari pertunjukan tari Janger. Dalam banyak
hal, drama Janger sangat mirip dengan Sandiwara atau Stambul yang ada dan populer sekitar
tahun 1950.
Drama Gong adalah sebuah drama yang pada umumnya menampilkan lakon-lakon yang
bersumber pada cerita-cerita romantis seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik Ingtaidan
kisah sejenis lainnya termasuk yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali. Dalam
membawakan lakon ini, para pemain Drama Gong tidak menari melainkan berakting secara
realistis dengan dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.
Para pemeran penting dari Drama Gong adalah:
Raja manis
Raja buduh
Putri manis
Putri buduh
Raja tua
Permaisuri
Dayang-dayang
Patih keras
Patih tua
dan lain-lain
Terakhir muncul Drama Gong Reformasi yang didukung oleh para bintang Drama Gong dari
berbagai daerah di Bali.
Tari Topeng
Sidakarya
pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat
dihina.
Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan
perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang
diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak
berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikustikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak
tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu
siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas
untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja
meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara
bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi).
Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya.
Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang
wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih
banyak menutup wajah terutama mulut dengan kain putih yang dibawanya.
Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider
buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu
menarikan Dalem Sidakarya. Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak
mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak
ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan
topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa
pementasan topeng. Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng
yang sudah berhak (secara ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.
Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun
gender biasa, disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya.
Dalam hal ini penari Topeng Sidakarya disebut Topeng Pajegan, karena dia harus
menarikan berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni
ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya penari pajegan ini melakukan
improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya.
Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana,
tergantung siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu
dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya
untuk mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media
dharma wacana. Sekarang ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga
terjadinya kemerosotan moral pada generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng
Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam mengatasi masalah moral ini dan
bisa menjadi tongkak untuk menguatkan kesenian di bali khususnya seni tari wali
ini.
Ritual pembuatan
Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena
memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topengtopeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau
pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual
memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut.
Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini.
Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan
dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses
inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng
Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah.
Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten. penyakralan
pada pembuatan topeng ini mampu menahan manusia untuk tidak semena-mena
terhadap alam, khususnya pepohonan. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga
penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya dengan
tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang
dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup
umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan
uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah
satu pesan topeng Sidakarya tentang alam.
Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang
pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Hal yang unik selama pembuatan
topeng sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah
bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus. Awet dan
tidaknya topeng juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau
batang kamboja, termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Dari puluhan tahun
lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika dan pertimbangan penuh.
Inilah seni lokal genius. Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti
dengan pewarnaan alami. Pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat
antara puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, terpaksa digantikan dengan cat
kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid. Topeng sakral selain topeng
Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja disakralkan dan
biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan Irarung.
Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu pementasan
sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa, terutama ketika
tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.