Вы находитесь на странице: 1из 37

1

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai
kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan Makalah dengan topik Steven
Johnson Syndrome
Penulis terdorong untuk menulis tentang topik ini dikarenkan masih
kurangnya pengetahuan masyarakat luas tentang efek pemakain obat tidak sesuai
aturan yang dapat menyebabkan penyakit tersebut.
Makalah ini berhasil penulis selesaikan karena dukungan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tidak
terhingga kepada :
1. Prof. Dr. H. Djanggan Sargowo, dr.Sp.PD,Sp.JP (K), FIHA, FACC, FCAPC,
FESC, FASCC, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya yang telah memberika kesempatan kepada penulis menuntut ilmu di
Fakultas Kedoktera Universita Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Erni, Sp.A(K), sebagai kepala bagian dan dosen yang mengajar Ilmu
Kesehatan Anak.
3. Prof. Soegeng Soegijanto, SpA, sebagai dosen yanga mengajar Ilmu
Kesehatan Anak.
4. dr.Ayling Sanjaya, M.Kes., SpA, sebagai dosen yanga mengajar Ilmu
Kesehatan Anak.
5. dr.Haryson Tondy W, Msi.Med., SpA, sebagai dosen yanga mengajar Ilmu
Kesehatan Anak.
6. Semua pihak yang tidak mungkin dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan masukan demi sempurnanya tulisan ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi berbagai
pihak yang terkait.

Surabaya, 1 Desember 2014

Penulis

Daftar Isi

Daftar Tabel
Tabel 2.1 Pembagian Obat Yang Dapat Menimbulkan Sindrom Stevens-Johnson... 12
Tabel 2.2 Diagnosis banding sindrom Stevens-Johnson .. 19
Tabel 2.2 Skala SCORTEN 22

Daftar Gambar
Gambar 2.1 SJS yang banyak melibatkan kulit dan membran mukosa.. 19
Gambar 2.2 Lesi yang tersebar pada daerah dada pada anak dengan SJS. 19

Daftar Singkatan
SJS

: Steven Johnson Syndrome

EM

: Eritema Multiformis

TEN

: Toxic Epidermal Necrolysis

HLA : human leukocyte antigen


NK

: natural killer

MAC : membrane attack complex

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

7
SSJ pertama kali dilaporkan oleh Stevens dan Johnson pada tahun
1922 sebagai ectodermosis erosiva pluriorificialis (Odom RB et all, 2000:
136-9). Gejala klinis yang ditemukan terdiri atas kelainan pada kulit dan
mukosa disertai gejala sistemik, yang dapat bervariasi dari ringan sampai berat
dan fatal. Sindrom ini dinamakan juga dengan Severe Bullous Form, Eritema
Exudativum Multiforme Mayor dan Erythema Bulosum Maligna (Breathnach,
2004)
Eritema Multiformis (EM),

sindrom

Stevens-Johnson/Stevens-

Johnson Syndrome (SJS), dan Nekrolisis Epidermal Toksik/Toxic Epidermal


Necrolysis (TEN) merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang memiliki
beberapa kemiripan karakteristik dan lesi. EM tidak akan berkembang menjadi
SJS ataupun TEN dan tidak ada laporan mengenai mortalitas. Sementara
angka mortalitas pada SJS adalah 5%, dan pada TEN mencapai 30%. Pada EM
hanya sedikit lesi yang mengenai membran mukosa, sementara pada SJS lesi
mukosa mendominasi (Amieva-Wang et al, 2011).
Nekrosis yang terjadi pada SJS seringkali pada membran mukosa dan
melibatkan kurang dari 10% seluruh permukaan tubuh. Pada TEN, nekrosis
terjadi lebih banyak pada kulit dan melibatkan lebih dari 30% seluruh
permukaan tubuh. Gejala klinis yang tampak pada SJS antara lain adalah
vesikel dan ulkus pada mukosa faring, genital, dan konjungtiva. Pada anakanak, kondisi ini disertai bercak merah menyeluruh dengan lesi target atau
vesikel dan bula. Walaupun SJS biasanya dapat membaik sendiri, tetapi dapat
menyebabkan dehidrasi dan melibatkan pernafasan dan hal inilah yang
membahayakan (Fleisher dan Ludwig, 2010).
Epidemiologi SJS yaitu 1:30.000. Etiologi yang paling sering
ditemukan pada reaksi hipersensitivitas ini adalah obat-obatan seperti NSAID,

8
sulfonamide, dan antikonvulsan. SJS juga dapat terjadi karena infeksi seperti
Mycoplasma dan HSV (Amieva-Wang et al, 2011). Menurut Chung, yang
memulai reaksi imun pada SJS adalah adanya human leukocyte antigen (HLA)
yang memediasi presentasi antigen (obat dan metabolitnya) pada limfosit T.
Tetapi sampai saat ini kerentanan secara genetis dan patogenesis yang pasti
masih belum jelas. Pasien dengan infeksi HIV, Systemic Lupus Erythematous
(SLE), atau HLA-B12 memiliki risiko yang lebih besar mengalamin SJS dan
TEN. Diduga, SJS terjadi karena ketidakmampuan secara genetis dalam
membersihkan substansi yang bersifat toksik pada suatu obat ataupun
metabolitnya, sehingga akan menumpuk di kulit dan menyebabkan nekrolisis
epidermal (Amieva-Wang et al, 2011).
Infeksi sekunder dapat terjadi pada SJS, karena bulla yang pecah dan
tidak ditangani secara aseptik. Penatalaksanaan antara lain meliputi
penghentian penggunaan obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas ini,
pemberian kortikosteroid sitemik, dan terapi suportif. Biasanya pasien akan
dirawat di unit luka bakar. Tentunya memberikan obat yang merupakan
pencetus SJS pada pasien tersebut adalah kontraindikasi absolut (Habermann,
2006).
Terapi suportif seperti menyeimbangkan dan monitor elektrolit dan
cairan. Pemberian nutrisi melalui nasogastric tube hingga lesi pada mukosa
oral membaik. Pemeriksaan optalmologi diperlukan untuk meminimalisir
kerusakan permanen dan kebutaan. Emolien topikal sering dipakai untuk
menyejukkan kulit, dan harus diberikan analgesik seperti dari golongan opiat.
Jika terjadi infeksi sekunder, maka diberikan antibiotik. Pemberian
kortikosteroid pada fase awal menunjukkan perbaikan, namun didapatkan
laporan peningkatan morbiditas dan mortalitas karena sepsis. Studi

9
melaporkan juga bahwa terapi imunoglobulin intravena dapat dilakukan. 5%
mortalitas pada SJS paling banyak disebabkan oleh infeksi (Sooriakumaran
dkk, 2006).
Prognosis

bergantung

pada

kecepatan

dan

ketepatan

pertolongan/pengobatan dan komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang sering


terjadi adalah pneumonia, sepsis dan gagal ginjal serta kadang-kadang bisa
terjadi perdarahan gastrointestinal (Fritsch OP el all, 2003: 543-56).
1.2

Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan etiologi dari Stevens-Johnson Syndrome (SJS) ?
2. Bagaimana patofisiologi timbulnya Stevens-Johnson Syndrome (SJS) pada
pasien?
3. Apa faktor-faktor pencetus timbulnya Stevens-Johnson Syndrome (SJS)
pada pasien?
4. Bagaimana manifestasi klinis Stevens-Johnson Syndrome (SJS) pada
pasien ?
5. Bagaimana cara menegakkan diagnose Stevens-Johnson Syndrome (SJS) ?
6. Bagaimana prinsip penatalaksanaan dari Stevens-Johnson Syndrome
(SJS) ?
7. Apa komplikasi yang ditimbulkan dari Stevens-Johnson Syndrome (SJS)
pada pasien?
8. Bagaimana prognose dari Stevens-Johnson Syndrome (SJS) ?

1.3

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dan etiologi dari Stevens-Johnson Syndrome.
2. Untuk mengetahui patofisiologi timbulnya Stevens-Johnson Syndrome
pada pasien.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor pencetus timbulnya Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) pada pasien.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis Stevens-Johnson Syndrome (SJS)
pada pasien.
5. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnose Stevens-Johnson Syndrome
(SJS).

10
6. Untuk

mengetahui

prinsip

penatalaksanaan

dari

Stevens-Johnson

Syndrome (SJS).
7. Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) pada pasien.
8. Untuk mengetahui prognose dari Stevens-Johnson Syndrome (SJS).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi dan Etiologi


Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan
tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang
tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas
terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih
sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa
dari dua organ atau lebih. Sindrom Stevens-Johnson umumnya terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda. Laki-laki lebih retan terkena dibandingkan
perempuan (Sharma, 1996).
Pada tahun 1922, Stevens dan Johnson melaporkan dua anak yang
mengalami demam, konjungtivitis, stomatitis dan mengalami eksanthema

11
generalisata dan lesi pada kulit berupa erosi seperti eritema multiformis
(Stevens dan Johnson, 1922).
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan yang jarang dijumpai,
umumnya merupakan suatu reaksi imunitas tubuh yaitu hipersensitivitas tubuh
terhadap obat atau infeksi (Lehloenya, 2007). Umumnya, SJS diawali dengan
gejala flu-like symptoms, yang kemudian diikuti dengan munculnya ruam
merah keunguan, terasa sakit dan menyebar. SJS merupakan keadaan darurat,
karena dapat menimbulkan kematian. Perawatan pada pasien dengan SJS
harus masuk rumah sakit (MRS) (Deepalakshmi et al, 2014).
Etiologi sindrom Stevens Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan
etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya
adalah reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur,
protozoa, neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan,
bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen.
2.2

Patofisiologi
Hipersensitivitas tipe lambat telah dikaitkan dengan patofisiologi
Sindrom Stevens-Johnson. Beberapa populasi tertentu lebih rentan terhadap
sindrom ini, di antaranya individu dengan genotipe asetilator lambat, pasien
immunocompromised khususnya yang terjangkit HIV, dan pasien dengan
tumor otak yang sedang melalui radioterapi dengan pengobatan anti-epilepsi
(Rotunda et al, 2003; Gruchalla, 2003).
Pada individu dengan genotipe asetilator lambat, liver tidak bisa
mendetoksifikasi metabolit reaktif obat secara sempurna. Contohnya pada

12
kasus nekrolisis epidermal toksik yang dicetuskan oleh Sulfonamide, pasien
memiliki genotipe asetilator lambat yang mengakibatkan peningkatan
produksi Sulfonamide hydroxylamine melalui jalur P-450. Metabolitmetabolit obat ini memberi efek toksik atau berperan sebagai hapten yang
berinteraksi dengan jaringan host, menjadikannya suatu antigen (Ahmed et al,
2003; Assier-Bonnet, 1996). Presentasi antigen dan produksi tumor necrosis
factor (TNF)-alfa oleh dendrosit jaringan berujung pada proliferasi limfosit-T,
serta menambah sitotoksisitas sel efektor imun lainnya (De Rojas et al, 2007).
Sebuah molekul killer effector telah teridentifikasi perannya dalam aktivasi
limfosit sitotoksik (Morel et al, 2010). Limfosit CD8+ aktif menginduksi
apoptosis sel epidermis dengan beberapa mekanisme, termasuk melepaskan
granzyme B dan perforin.
Inachi et al (1997) mengemukakan bahwa apoptosis pada pasien
Sindrom Stevens-Johnson dimediasi oleh perforin. Perforin adalah sebuah
pore-making granul monomer yang dilepaskan sel natural killer (NK) dan
limfosit-T sitotoksik. Perforin berfungsi untuk menghancurkan sel target
dengan membentuk polimer-polimer dan struktur tubuler, tidak berbeda
dengan membrane attack complex (MAC) pada sistem komplemen.
Menurut Foster et al (1988), apoptosis keratinosit juga bisa disebabkan
oleh ikatan reseptor kematian pada permukaan dengan molekul yang sesuai,
mencetuskan aktivasi sistem caspase yang berujung pada disorganisasi DNA
dan kematian sel. Apoptosis keratinosit bisa dimediasi melalui interaksi
langsung antara reseptor Fas dan ligannya. Keduanya bisa ditemukan pada
permukaan keratinosit. Kemungkinan lain, sel-T teraktivasi melepaskan ligan
Fas dan interferon-gamma sehingga menginduksi ekspresi Fas oleh keratinosit

13
(French, 2006). Para peneliti telah menemukan peningkatan jumlah ligan Fas
dalam serum pasien dengan sindrom Stevens-Johnson atau nekrolisis
epidermal toksik sebelum pengelupasan kulit atau awal terjadinya lesi mukosa
(Murata et al, 2008). Kematian keratinosit menyebabkan pemisahan epidermis
dari dermis. Setelah apoptosis terjadi, sel-sel mati memprovokasi pengerahan
kemokin yang lebih banyak. Hal ini melangsungkan proses inflamasi yang
berakibat pada nekrolisis epidermis ekstensif (French et al, 2006).
Pengobatan Allopurinol (Halevy et al, 2008) dan Lamotrigine
(Schlienger et al, 1998) dosis tinggi serta dalam jangka waktu cepat juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya sindrom Stevens-Johnson atau nekrolisis
epidermal toksik. Risiko ini berkurang dengan pemberian awal dosis rendah
dan ditingkatkan perlahan (Mockenhaupt et al, 2005).

Tabel 2.1 Pembagian Obat Yang Dapat Menimbulkan Sindrom StevensJohnson


Risiko Tinggi

Allopurinol
Sulfamethoxazole
Sulfadiazine
Sulfadoxine
Sulfasalazine
Carbamazepine
Lamotrigine
Phenobarbital
Phenytoin
Phenylbutazone
Nevirapine
NSAID oxicam
Thiacetazone

Risiko Rendah

NSAID asam asetat


Aminopenisilin
Cephalosporin
Quinolon
Cyclin
Macrolide

Risiko Diragukan

Tidak Terbukti

Paracetamol
Pyirazolone
NSAID lainnya
Sertraline

Berisiko
Aspirin
Sulfonilurea
Diuretik Thiazide
Furosemide
Aldactone
Calcium-channel
bloker
Beta bloker
ACE inhibitor
Antagonis ARB
Statin
Hormon
Vitamin

14
Sumber: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine (Wolff et al, 2012).
Home et al (2006) juga mengemukakan bahwa lupus sistemik juga
merupakan faktor risiko.
2.3

Manifestasi Klinis
Sindrom Stevens-Johnson umunya terdapat pada anak dan dewasa,
jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena imunitas belum
berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada
yang berat kesadarannya menurun, soporus sampai koma (Djuanda, 2009).
Biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah,
pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasinya. Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang
berkembang akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik.
Riwayat demam atau perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi,
Demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh kasus (Harsono, 2006).
Mengenali gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara
terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat
mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer,
2002):
1.
2.
3.

Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris

4.

pada hampir seluruh tubuh


Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan
kusta berwarna merah

15
5.

Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,


muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut,

6.

anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra


Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran

7.
8.

utama
Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi
permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitis
kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,
kelopak mata edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan

terjadinya

ocular

cicatricial

pemphigoid,

merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang


menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun
Bila mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila baru mulai
memakai obat baru, segera periksa ke dokter.
Menurut Djuanda dan Hamzah (2009) adapun trias kelainan pada SJS
adalah:
1.

Kelainan pada kulit


Lesi kulit pada sindrom Stevens Johnson dapat timbul
sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis
dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat

16
asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar.
Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis
yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema
ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai
maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya
dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada
permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan
pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan
seluruh permukaan tubuh (Siregar RS, 2004)
Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian
pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi
pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan
terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat
perdarahan akan menjadi krusta yang umumnya berwarna
coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit
berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi
kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar.
Terbentuknya purpura pada lesi kulit memberikan prognosis
yang buruk.
2.

Kelainan pada selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada
mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan
dilubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan
anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).

17
Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti
oleh vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi
dan mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun
bula terutama pada mukosa bibir mudah pecah Karena gerakan
lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan bicara sehingga
bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan
klinis intra oral.
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya
menjadi erosi, kemudian mengalami ekskoriasi dan terbentuk
ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarna
abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai
pseudomembran.

Jaringan

nekrotik

mudah

mengelupas

sehingga meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak


teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata yang
berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan
mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta
berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang
tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada
mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut
mulut (Langlais, 2003)

Lesi di mukosa mulut dapa juga terdapat di faring,


traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Edema pada
faring dapat menyebar ke trakea, apabila keadaan bertambah

18
berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli, sehingga dapat
menimbulkan

bronkopneumonia

serta

trakeobronkitis

(Hamzah M, 2007)
3.

Kelainan Mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus,
yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga
dapat berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
Penderita

sindrom

Stevens-Johnson

yang

parah,

kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis


purulen, photophobia, panophtalmitis, deformitas kelopak
mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta
sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat juga mengenai
kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan
kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat
menyebabkan kebutaan (A Mansjoer S dkk, 2000).
Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Demam
Ortostasis
Takikardia
Hipotensi
Penurunan kesadaran
Epistaksis
Konjungtivitis
Ulkus kornea
Vulvovaginitis erosiva atau balanitis
Kejang, koma

19

Gambar 2.1

Gambar 2.2

SJS yang banyak melibatkan


Lesi yang tersebar pada daerah
kulit dan membran mukosa
dada pada anak dengan SJS
Sumber: Diagnosis, classification, and management of erythema multiforme
and StevensJohnson syndrome (Laut-Labrzea et al, 2000).

2.4

Diagnosis
Diagnosis sindrom Stevens-Johnson 90% berdasarkan klinis. Jika
disebabkan oleh obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya
gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit (Siregar, 2004).
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar

20
IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan
dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan
bila lesi klasik tak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat
mendukung ditegakkannya diagnosis (Harsono, 2006).
Tabel 2.2 Diagnosis banding sindrom Stevens-Johnson
Diagnose
Penyebab
Staphyloccoccal scalded Infeksi bakteri
skin syndrome

Hand-foot-mouth

Infeksi bakteri

Gejala Klinis Utama


Eritema generalisata nyeri
Tanda Niklosky
Deskuamasi, terdapat erosi

syndrome

lembab
Anak-anak dibawah 5 tahun
Gejala prodormal berupa
demam,

anoreksia,

nyeri

tenggorokan
Lepuhan
(bliser)

oval

dengan

distribusi

akral,

jumlah lebih sedikit


Lesi oral oval dangkal

dengan dasar eritema


Menular terutama

pada

musim panas dan musim


Sindrome

Stevens Hipersensitivitas

Johnson

gugur
Gejala prodormal, yaitu :
demam,

sakit

kepala,

malaise, nyeri tenggorokan,

batuk, muntah, diare


Keterlibatan dua permukaan
mukosa,

biasanya

terlihat

seperti krusta hemoragik di

21

bibir
Lesi target berkembang dari
vesikula

sentral

nekrosis

epidermal

dapat

Nekrolisis

epidermal hipersensitivitas

toksik

memiliki

Ekstrinsik

luas;

lembaran

kulit yang mengelupas


Berhubungan dengan infeksi

dan obat
Dermatitis eksofoliatif parah
Berhubungan dengan obat
obatan

Luka bakar

menjadi

(misalnya

sulfonamide, antikonvulsan)
Tanda Nikolsky
Bentuk dan konfigurasi tidak

teratur
Dapat menjadi tanda abuse
Keparahan
penyakit
bervariasi dari derajat satu
sampai tiga, bula pada luka

Urtikaria pigmentosa

derajat dua tiga


Tanda darier positif,

seringkali

hiperpigmentasi,

biasanya

bermanifestasi saat bayi, seringkali


Miliaria kristalina

dermatografisme positif
Bersih, vesikel superficial 1-2mm
terjadi

bergerombol,

spontan.

Terdapat

interginosa,

terutama

rupture

pada
leher

area
dan

aksila
Sumber : J. Karren.Nelson dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak edisi 6. Jakarta :
Elsevier.2011. 799-800

22

2.5

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga
sebagai penyebab SJS. Selanjutya perawatan lebih bersifat simtomatik
(Gruchalla, 2000), antara lain:
1. Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus/gatal,
bisa dipakai:
a. Fenilamin hidrokloride maleat dapat diberikan dengan
dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12
tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
b. Difenhidramin hidrokloride 1 mg/kg berat badan,
diberikan 3 kali/hari.
c. Setrizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun
2,5 mg/dosis, 1 kali/hari, > 6 tahun 5-10 mg/dosis 1
kali/hari.
2. Lesi kulit bisa dikompres biasa dengan larutan Burowi.
3. Papula dan makula pada kulit baik intak diberikan steroid
topikal, kecuali kulit yang terbuka.
4. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang
paling berisiko tinggi adalah Lactam dan Sulfa, maka
sebaiknya jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan
antibiotika spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan
dan uji resistensi kuman dari sediaan kulit dan darah. Terapi
infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya Klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara
intravena, diberikan 2 kali/hari (Reilly et al, 2000).

23
5. Kortikosteroid Deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus
intravena, kemudian dilanjutkan 0,2 0,5 mg/kg BB intravena
tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi.
Beberapa

peneliti

menyetujui

pemberian

kortikosteroid

sistemik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan


beratnya penyakit, mempercepat konvalesensi, mencegah
komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit, dan
menvegah

kekambuhan.

Beberapa

literatur

menyatakan

pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi


dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesis
lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu
kortikosteroid dapat meregulasi respon imun melalui down
regulation ekspresi gen sitokin. Faktor lain yang perlu
dipertimbangkan yaitu harus tappering off 1-3 minggu. Bila
tidak ada perbaikan selama 3-5 hari, maka sebaiknya
pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberikan
Kenalog in Orabase (Scheuerman et al, 2001).

6. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal 0,5 mg/kg berat


badan pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 di rumah sakit. Pemberian
IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian
keratinosit yang dimediasi FA (Volchek, 2004).

Selain penatalaksanaan yang telah diuraikan di atas, dapat juga


dilakukan penatalaksanaan menurut literatur-literatur lain, di antaranya:

24
1. Perawatan pada kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan
penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan
ointment berupa Vaselin, Polisporin, dan Basitrasin. Rasa nyeri
seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali
melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosif dapat diatasi
dengan memberikan Sofratulle atau krim Sulfadiazine perak,
larutan Salin 0,9 % atau Burowi. Kompres dengan Asam
Salisilat 0,1%. Kerja sama antara dokter gigi dan dokter
spesialis kulit dan kelamin sangat diperlukan (Hamzah, 2007).
2. Perawatan pada mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,
kompres dengan larutan Salin serta lubrikasi mata dengan air
mata artifical dan ointment. Pada kasus yang kronis, suplemen
air mata sering kali di gunakan untuk mencegah terjadinya
corneal

epithelial

breakdown. Antibiotik

topikal

dapat

digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder


(Perdoski, 2003).
3. Perawatan pada genital
Larutan Salin dan Petroleum berbentuk gel sering di gunakan
pada area genital penderita. Penderita SJS yang seringkali
mengalami gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis
atau vulvovagonitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk
memperlancar buang air kecil (Perdoski, 2003).
4. Perawatan pada oral
Rasa nyeri yang di sebabkan lesi oral dapat di hilangkan
dengan pemberian anestetik topikal dalam bentuk larutan atau

25
salep yang mengandung Lidokain 2%. Campuran 50% air dan
Hidrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan
jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Anti jamur dan antibiotik
dapat digunakan untuk mencegah infeksi. Lesi pada mukosa
bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres
Asam Borat 3%. Lesi oral pada bibir dapat diobati dengan
boraksgliserin

atau

penggunaan

Triamsinolon

asetonid.

Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid


topikal. Kortikosteroid yang biasa digunakan paa lesi oral
adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum
tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar
lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan
menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta
oleh saliva (Landow, 2001).

2.6

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom Stevens-Johnson, antara
lain (Mansjoer, 2002):
1. Oftalmologi: ulserasi kornea, panophthalmitis, kebutaan.
2. Gasteroenterologi: striktur esofageal.
3. Genitourinaria: nekrosis tubular ginjal, penile scarring, stenosis
vagina, gagal ginjal.
4. Pulmonari: pneumonia.

26
5. Kutaneus: jaringan parut dan kerusaakan kulit permanen,
sepsis, infeksis sistemik, dehidrasi berat, syok.
Konjungtivitis muncul setelah hitungan jam atau hari akibat perlukaan
di

konjungtiva

yang

dapat

menyebabkan

pseudomembran.

Hal

ini

mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Perlukaan yang terus berlanjut


menimbulkan perlukaan pada palpebra berakibat timbulnya ektopion,
enteropion, trikriasis, dan lagoftalmus. Konjungtiva yang sembuh berakibat
simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sebagai tanda peralihan
ke komplikasi perlukaan bola mata yang memiliki fase akhir terjadinya
keratitis epithelial pungtata, defek epitelial rekuren, sampai neovaskularisasi
kornea. Ini semua mengakibatkan kebutaan (Kompella, 2002).
Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia yang didapati
sekitar 16% kasus. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu kehilangan darah
atau cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok (Djuanda, 2010).

2.7

Prognosis
Pasien dengan penyakit autoimun aktif seperti sindrom StevensJohnson mengalami inflamasi aktif kronis dalam waktu lama. Jenis inflamasi
ini menyebabkan prognosis buruk pada pasien ini karena mata yang inflamasi
tidak menyediakan lingkungan yang stabil untuk limbal stem cell yang
ditransplantasikan (Lutfi et al, 2007).
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik dan penyembuhan
terjadi dalam waktu 2-3 minggu, kematian berkisar antara 5-15% pada kasus

27
berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak
memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian
biasanya

disebabkan oleh gangguan keseimbangan

cairan elektrolit,

bronkopneumonia, serta sepsis (Harsono, 2006).


Keparahan dan prognosis Steven Johnson Syndrome dapat dinilai
dengan memakai skala SCORe of Toxic Epidermal Necrosis (SCORTEN).
Skala SCORTEN adalah skala untuk menentukan keparahan dan prognosis
penyakit kulit berlepuh.

Tabel 2.2 Skala SCORTEN


Faktor prognostik

Nilai

Usia > 40 tahun

Heart rate > 120x/menit

Kanker atau keganasan hematologis

BSA yang terkena >10%

Kadar urea serum >10 mM (BUN >27 mg/dL)

Kadar bikarbonat serum <20 mEq/L

Kadar glukosa serum >14 mM (<250 mg/dL)


Penilaian SCORTEN
Jumlah skala

1
Laju Mortalitas (%)

0-1

3,2

12,1

35,3

58,3

>5

90

28
Sumber: Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis di RSUP
MH Palembang Periode 20062008 (Thaha, 2009)

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Sindrom stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan
tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang
tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura, terjadi pengelupasan
epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih (Sharma, 1996).

29
Mekanisme terjadinya sindroma adalah reaksi hipersensitif terhadap
zat yang memicunya. Sindrom Stevens-Johnson muncul biasanya tidak lama
setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan
kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan
oleh reaksi tubuh pasien.
Sindrom Stevens-Johnson memiliki tiga gejala yang khas, yaitu
kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada oral berupa
stomatitis, serta kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis.
Manifestasi oral hampir sepenuhnya terjadi pada penderita Sindrom
StevensJohnson.
Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga
sebagai penyebab SJS. Selanjutya perawatan lebih bersifat simtomatik
(Gruchalla, 2000), antara lain:

Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus/gatal, bisa


dipakai: Fenilamin hidrokloride maleat, Difenhidramin hidrokloride,

Setrizin
Lesi kulit bisa dikompres biasa dengan larutan Burowi.
Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang paling
berisiko tinggi adalah Lactam dan Sulfa, maka sebaiknya jangan

digunakan.
Kortikosteroid Deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus intravena,
kemudian dilanjutkan 0,2 0,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam
Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom Stevens-Johnson, antara

lain

(Mansjoer, 2002) : Oftalmologi: ulserasi kornea, panophthalmitis,

kebutaan, striktur esophageal,

nekrosis tubular ginjal, penile scarring,

30
stenosis vagina, gagal ginjal, pneumonia, Kutaneus: jaringan parut dan
kerusaakan kulit permanen, sepsis, infeksis sistemik, dehidrasi berat, syok.
Prognosis

bergantung

pada

kecepatan

dan

ketepatan

pertolongan/pengobatan dan komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang sering


terjadi adalah pneumonia, sepsis dan gagal ginjal serta kadang-kadang bisa
terjadi perdarahan gastrointestinal (Fritsch OP el all, 2003: 543-56).
3.2

Saran
1. Bagi Petugas Kesehatan

Disarankan petugas kesehatan dapat memberikan penyuluhan dan


sosialisai terkait penyakit syndrome Steven Johnson agar
masyarakat dapat lebih memahami penyakit tersebut secara lebih
dini.

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat dapat menjadikan makalah ini sebagai referensi untuk


mendeteksi secara dini sindrom Johnson syndrome.

3. Bagi Penulis yang Berikutnya

Peneliti selanjutnya dapat lebih melakukan pendataan tentang


Sindrom Steven Johnson dan menyempurnakan aspek-aspek yang
kurang dalam makalah ini.

31

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed AR, Dahl MV. 2003. Consensus statement on the use of intravenous
immunoglobulin therapy in the treatment of autoimmune mucocutaneous
blistering diseases. Arch Dermatol;139(8):1051-9.
A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius; 2000.
Amieva-Wang NE, Shandro J, Sohoni A, Fassl B. 2011. A Practical Guide to
Pediatric Emergency Medicine: Caring for Children in The Emergency
Department. New York: Cambridge University Press

32
Assier-Bonnet H, Aractingi S, Cadranel J, Wechsler J, Mayaud C, Saiag P. 1996.
Stevens-Johnson syndrome induced by cyclophosphamide: report of two cases.
Br J Dermatol;135(5):864-6.
Breathnach SM. Erythema multiforme, Stevens Johnson Syndrome and Toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Burns S, Breathnach S, Cox N, Griffith, editor.
Rooks Textbook of dermatology. Edisi ke-7. Massachusetts: Blackwell, 2004:
751-2.
Chung WH. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Allergology International;59(4):32532).
De Rojas MV, Dart JK, Saw VP. 2007. The natural history of Stevens Johnson
syndrome: patterns of chronic ocular disease and the role of systemic
immunosuppressive therapy. Br J Ophthalmol;91(8):1048-53.
Deepalakshmi M, Arun KP, Gloria Sam, 2014. Stevens-Johnson Syndrome & Toxic
Epidermal Necrolysis-A Case Report. World Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences Volume 3, Issue 8, 2054-2057.
Djuanda A, Hamzah M. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Djuanda, Adhi dan Hamzah, Mochtar. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Keenam. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
Fleisher GR dan Ludwig S. 2010. Textbook of Pediatric Emergency Medicine.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

33
Foster CS, Fong LP, Azar D, Kenyon KR. 1988. Episodic conjunctival inflammation
after Stevens-Johnson syndrome. Ophthalmology;95(4):453-62.
French LE. 2006. Toxic epidermal necrolysis and Stevens Johnson syndrome: our
current understanding. Allergol Int;55(1):9-16.
French LE, Trent JT, Kerdel FA. 2006. Use of intravenous immunoglobulin in toxic
epidermal

necrolysis

and

Stevens-Johnson

syndrome:

our

current

understanding. Int Immunopharmacol;6(4):543-9.


Fritsch OP, Ramon RM. Erythema multiforme, Stevens Johnson Syndrome and Toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Fitzpatrick TB, Eisen HZ, Wolf K, Frenberg IM,
Austin KF, editor. Dermatologi in general medicine. Edisi ke-6. New York: Mc
Graw Hill Inc, 2003: 543-56.
Gruchalla RS. 2000. Understanding drug allergies. J. Allergy Clin Immunol;105-S6.
Gruchalla RS. 2003. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol;111(2 Suppl):S548-59.
Habermann, Thomas M. 2006. Mayo Clinic Internal Medicine Review 2006-2007.
Seventh Edition. Florida: CRC press.
Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, et al. 2008. Allopurinol is the most common
cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe
and Israel. J Am Acad Dermatol;58(1):25-32.
Hamzah M. 2007. Erupsi Obat Alergik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

34
Harsono, Aryanto. 2006. Sindroma Steven Johnson: Diagnosis dan Pelaksanaan. FK
Unair RSU Dr. Soetomo: Surabaya
Horne NS, Narayan AR, Young RM, Frieri M. 2006. Toxic epidermal necrolysis in
systemic lupus erythematosus. Autoimmun Rev;5(2):160-4.
Inachi S, Mizutani H, Shimizu M. 1997. Epidermal apoptotic cell death in erythema
multiforme and Stevens-Johnson syndrome. Contribution of perforin-positive
cell infiltration. Arch Dermatol;133(7):845-9.
Kompella, Viswanadh B. 2002. Ophthalmic Complications and Management of
Steven Johnson syndrome. A Tertiary Eye Care Centre in South India. Indian
Journal Ophtalmol 50: 283-286.
Landow RK. 2001. Kapita Selekta Terapi Dermatologik. EGC, Jakarta.
Laut-Labrzea C, Lamireaub L, Chawkib D, Malevillea J, Taeba A. 2000.
Diagnosis, classification, and management of erythema multiforme and
StevensJohnson syndrome.
Lehloenya, Rannakoe. 2007. Management of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. Current Allergy & Clinical Immunology. Vol 20, No.3.
Lutfi Delfitri, Zuhria Ismi, Doemilah Ratna, Eddyanto. 2007. Limbal Stem Cell
Transplantation in Limbal Stem Cell Deficiency After Steven Johnson
Syndrome. Jurnal Oftalmologi Indonesia: Surabaya
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2002. Erupsi Alergi Obat.
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta

35
Mockenhaupt M, Messenheimer J, Tennis P, Schlingmann J. 2005. Risk of StevensJohnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in new users of antiepileptics.
Neurology;64(7):1134-8.
Morel E, Escamochero S, Cabaas R, Daz R, Fiandor A, Belln T. 2010.
CD94/NKG2C is a killer effector molecule in patients with Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. J Allergy Clin Immunol;125(3):70310, 710.e1-710.e8.
Murata J, Abe R, Shimizu H. 2008. Increased soluble Fas ligand levels in patients
with Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis preceding skin
detachment. J Allergy Clin Immunol;122(5):992-1000.
J. Karren.Nelson dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak edisi 6. Jakarta :
Elsevier.2011. 799-800
Odom RB, James WD, Berger TG. Andrews disease of the skin. Edisi ke-9.
Philadelphia: WB. Saunders Co. 2000: 136-9.
Perdoski (Perhimpunan Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia). 2003. Standar
Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Jakarta.
Reilly TP, Lash LH, Doll MA. 2000. A role for bioactivation and covalent binding
within epidermal keratinocyte in sulfonamide induced cutaneus drug reaction. J
Invest Dermatol; 114:1164-73.
R.P

Langlais

CSM.

Colour

Atlas

Philadelpia: Lea & Febiger; 2003.

of

Common

Oral

Diseases.

36
Rotunda A, Hirsch RJ, Scheinfeld N, Weinberg JM. 2003. Severe cutaneous reactions
associated with the use of human immunodeficiency virus medications. Acta
Derm Venereol;83(1):1-9.
Scheuerman O, Nofech-Moses Y, Rachmel A, Ashkenazi S. 2001. Successful
treatment of anti-epileptic drug hypersensitivity syndrome with intravenous
immune globuline. Pediatrics;107:1-2.
Schlienger RG, Shapiro LE, Shear NH. 1998. Lamotrigine-induced severe cutaneous
adverse reactions. Epilepsia;39 Suppl 7:S22-6.
Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson. Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. EGC.
Jakarta. Hlm 141-142.
Sooriakumaran P, Jayasena C, Sharman A. 2006. 100 Medical Emergencies for
Finals. Abingdon: Radcliffe Publishing Ltd.
Stevens AM, Johnson FC. 1922. A new eruptive fever associated with stomatitis and
ophthalmia. Am J Dis Child;24: 526-33.
Thaha, M. Athuf. 2009. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis di
RSUP MH Palembang Periode 20062008. Media Medika Indonesia: Jawa
Tengah.
Volchek GW. 2004. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity.
Immunol Allergic Clin N Am;24:357-71.
V.K Sharma GGS. Adverse cutaneous reaction to drugs; an overview.
J Postgard Med.1996;42.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. 2012.

37
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 8th Edition, New York,
McGraw- Hill.

Вам также может понравиться