Вы находитесь на странице: 1из 13

KONDISI PH DAN SUHU PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DI PERAIRAN NUSA PENIDA DAN PEMUTERAN, BALI

CONDITION OF PH AND TEMPERATURE ON CORAL REEF


ECOSYSTEM IN NUSA PENIDA AND PEMUTERAN WATERS, BALI
Camellia Kusuma Tito1, Eghbert Elvan Ampou1, Nuryani Widagti1, Iis Triyulianti1

ABSTRACT
The objective of the research was to identify the pH and temperature condition on
coral reef ecosystem at Nusa Penida and Pemuteran Bali. Field survey since 2010
2012 was conducted by: 1. pH and temperature monitoring, 2. time swim/visual
census using diving equipment and tagging invividual corals and also utilized
data from Goyet et al. (2000) and World Ocean Atlas (2009) which is annually
averaged data from the year 1962 to 2007. Sampling data showed that monsoonal
pattern influenced the water condition of Nusa Penida and Pemuteran. On west
monsoon, the ocean pH value and temperature in Nusa Penida and Pemuteran
water were higher than the east monsoon. The corals monitoring showed that
Nusa Penidas coral reef relative resistant than Pemuterans.
Keywords: seawater, pH, coral reef

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pH dan suhu pada ekosistem
terumbu karang di Perairan Nusa Penida dan Pemuteran. Metode yang dilakukan
adalah survei lapangan yang dimulai sejak tahun 2010 2012 yaitu: 1. Monitoring
pH dan suhu; 2. Time swim/sensus visual dengan menggunakan alat selam dan
tagging individu karang serta pengolahan data sekunder dari Goyet et al. (2000)
dan World Ocean Atlas (2009) yang merupakan data rata-rata tahunan sejak tahun
1962 hingga 2007. Dari data sampling dan data sekunder menunjukkan bahwa
pola monsunal mempengaruhi kondisi perairan Nusa Penida dan Pemuteran. Pada
musim barat, nilai pH dan suhu air laut di perairan Nusa Penida dan Pemuteran
lebih tinggi daripada musim Timur. Berdasarkan pengamatan terhadap terumbu
karang didapatkan bahwa terumbu karang di Nusa Penida relatif lebih resistant
bila dibandingkan dengan di Pemuteran.
Kata kunci: pH air laut, suhu, terumbu karang

PENDAHULUAN
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang memiliki banyak
fungsi, antara lain sebagai pelindung alamiah dari bahaya abrasi, habitat berbagai biota
laut, sebagai penyeimbang ekologis, mempunyai nilai ekonomis tinggi untuk pemenuhan
kebutuhan pangan, serta menunjang industri wisata bahari bagi perolehan devisa negara
(Dahuri et al., 1996).
Terumbu adalah endapan massive dari kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan
oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan zooxanthelae (Nybakken, 1992).
Terumbu karang diketahui rentan terhadap perubahan lingkungan. Beberapa parameter
kualitas perairan yang berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan karang adalah
kecepatan arus, pasang surut, sedimentasi, kedalaman, suhu, salinitas, kecerahan, nutrien,
oksigen terlarut dan pH (Edinger et al., 2000; Syarani, 1982; Nybakken, 1992; Sukarno
et al., 1983).
Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu
optimum antara 230C 300C (Randall, 1983; Salm and Clark, 1989; Nybakken, 1992,
Sukarno et al., 1983). Menurut Carricart-Ganivert (2004) dan Barnes et al., (2000)
kenaikan suhu permukaan laut (SPL) dapat meningkatkan kalsifikasi karang sampai pada
kecepatan tertentu, kemudian pertumbuhan kerangka akan menurun (Tomascik, 1991).
Kenaikan SPL juga dapat mengakibatkan coral bleaching yang terjadi karena hilangnya
zooxanthelae pada karang (Celliers et al., 2002) dan terkadang diikuti oleh kematian
karang (Al-Horani, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pH dan
suhu pada ekosistem terumbu karang di Perairan Nusa Penida dan Pemuteran .

METODE PENELITIAN
Monitoring pH, suhu dan terumbu karang dilakukan di Nusa Penida
Kabupaten Klungkung dan Pemuteran di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.

Untuk mengamati variasi parameter pH dan suhu, digunakan data sekunder dari
penelitian Observasi dan Kajian Kawasan Konservasi Perairan (2010), Studi
Operasional Oseanografi Untuk Konservasi Ekosistem Terumbu Karang (2011)
dan Studi Observasi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Proses Ocean
Acidification di Daerah Perairan Indonesia (2011) serta data primer dari penelitian
Studi Variabilitas CO2 di Perairan Indonesia dalam Rangka Mendukung Konsep
Blue Carbon (2012) dan Studi Implikasi Pengasaman Laut pada Ekosistem
Terumbu Karang di Kawasan Coral Triangle Initiative (CTI) (2012).

Gambar 1. Lokasi Monitoring Kualitas Air dan Terumbu Karang

Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan WQC-24 Water


Quality Checker yaitu alat survei multiparameter portable dari DKK-TOA yang
dapat mengukur parameter suhu. Sedangkan untuk pengukuran pH digunakan

WTW pH 3310 SET 2 2AA312. Pengambilan sampel air dilakukan di beberapa


lokasi yang merupakan daerah dengan tutupan terumbu karang yang merata.
Monitoring terumbu karang dilakukan dengan tagging menggunakan kabel ties.
Tujuan tagging ini adalah untuk melihat perubahan dan perkembangan karangkarang tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengukuran pH di Nusa Penida dan Pemuteran secara spasial
menunjukkan adanya variasi musiman yaitu nilai pH di musim peralihan II
(September-Oktober-November) lebih rendah daripada di musim peralihan I
(Maret-April-Mei). pH yang terukur di Nusa Penida pada bulan April berkisar
pada 8,280 dan menurun pada pengukuran di bulan September yaitu berkisar
8.199. Di Pemuteran, pada pengukuran di bulan Maret berkisar pada 8,148 dan
menurun pada pengukuran di bulan September yaitu berkisar 8,124.

Gambar 2. Hasil pengukuran pH di Nusa Penida dan Pemuteran

Salah satu hal yang menyebabkan variasi pH di perairan Indonesia adalah


adanya angin monsun. Pada bulan musim peralihan II (September-OktoberNovember), pH perairan Indonesia cenderung lebih rendah karena adanya
pengaruh angin monsun yang mulai berhembus dari Asia ke Australia. Angin

monsun ini menyebabkan transport massa air laut dari Laut Cina Selatan yang
memiliki pH yang rendah, kurang dari 8, ke perairan Indonesia (Doney, 2006).
Angin monsun digerakkan oleh perubahan tekanan secara bergantian di Benua
Asia dan Benua Australia akibat perbedaan posisi matahari sepanjang tahun.
Angin monsun ini merupakan salah satu pembangkit arus dominan yang mampu
menggerakkan massa air yang terjadi di permukaan perairan Indonesia. Monsun
yang dialami perairan Indonesia yaitu monsun barat, yang terjadi di bulan
Desember, Januari, dan Februari serta monsun timur yang terjadi di bulan Juni,
Juli, dan Agustus. Adanya angin monsun tersebut walaupun tidak berpengaruh
secara langsung terhadap nilai pH, namun dapat menyebabkan variabilitas nilai
pH di permukaan air karena mampu menghasilkan transpor massa air laut dari
suatu perairan ke perairan lain (BPOL, 2011).

Gambar 3.

Sirkulasi transpor massa air di permukaan pada musim barat (kiri)


dan musim timur (kanan) (Wyrtki, 1961)

Selain angin monsun, menurut Nybakken (2000), faktor utama yang


mempengaruhi tingkat keasaman air laut di daerah pesisir adalah aktivitas
fitoplankton dan tumbuhan air, aliran yang berasal dari darat, pasang-surut dan

cuaca yang mempengaruhi fluktuasi kimiawi perairan. Aktivitas fitoplankton dan


tumbuhan air yang melibatkan CO2 dapat mempengaruhi keasaman perairan. Di
wilayah Nusa Penida, tidak ada aliran sungai besar yang masuk ke perairannya
dan run off dari perbukitan di sekitarnya juga tidak besar karena sebagian besar
daratannya berupa tanah bebatuan keras, sehingga relatif tidak mempengaruhi
sebaran nilai pHnya. Dinamika pasang-surut air laut sangat mempengaruhi
fluktuasi kimiawi perairan pesisir. Pada saat terjadi pasang, unsur hara, mineral,
bahan organik, sedimen dan karbon terangkat dari kolom air oleh adanya gerakan
air.
Adanya proses upwelling juga dapat mempengaruhi keasaman perairan.
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin,
salinitas tinggi, karbon dan zat-zat hara yang vertikal permukaan. Upwelling di
perairan Indonesia bersifat musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-September),
hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara upwelling, musim dan
rendahnya pengukuran pH yang terukur pada bulan September dan Oktober di
perairan Pemuteran dan Nusa Penida.
Hasil pengukuran pH di perairan Nusa penida dan Pemuteran sesuai
dengan hasil pengolahan data sekunder yang dihitung dari data WOA09 dan
model Goyet et al. (2000) yaitu bahwa untuk wilayah perairan Indonesia Timur,
nilai pH di musim timur lebih rendah daripada di musim barat.

Gambar 4. Sebaran pH di perairan Indonesia di Musim Barat (kiri) dan Timur


(kanan)
Suhu mengalami perubahan secara perlahan-lahan dari daerah pesisir
menuju laut lepas. Umumnya kondisi suhu di pesisir lebih tinggi dari daerah laut
yang suhunya relatif lebih rendah dan stabil. Rendahnya kisaran suhu di perairan
laut karena faktor kedalaman sehingga sinar matahari tidak dapat menembus
perairan, dibandingkan dengan di perairan muara dan pesisir yang kedalamannya
rendah sehingga sinar matahari dapat menembus perairan dan membuat perairan
menjadi hangat.

Gambar 5. Hasil pengukuran suhu di Nusa Penida dan Pemuteran


Hasil pengukuran secara spasial menunjukkan bahwa suhu rata-rata di
perairan Nusa Penida yaitu 23,93-26,77 0C relatif lebih rendah daripada suhu ratarata di Pemuteran yaitu 27,51-28,20 0C. Dari survei lapang, suhu paling rendah
didapatkan pada pengukuran di musim peralihan II (September-Oktober-

November). Pengukuran pada bulan Oktober di perairan Nusa Penida, suhu dapat
mencapai 23,10 0C sedangkan pengukuran di Pemuteran pada bulan September
menunjukkan suhu mencapai 27,80 0C. Hal ini di pengaruhi oleh posisi Nusa
Penida yang merupakan perairan terbuka yang banyak dipengaruhi oleh selat
Lombok yang berarus keras. Adanya arus ini menimbulkan pergerakan massa air
menuju Samudera Hindia yang dapat menyebabkan upwelling dingin sehingga
suhu perairan menjadi rendah. Sedangkan perairan Pemuteran termasuk perairan
tertutup dengan kondisi arus yang kecil dan tenang.
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke
lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih
dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang vertikal permukaan. Dalam proses
upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat
hara dibandingkan daerah sekitarnya. Upwelling di perairan Indonesia dijumpai di
Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar,
Selat Bali, dan diduga terjadi di Laut Maluku, Laut Halmahera, Barat Sumatra,
serta di Laut Flores dan Teluk Bone. Upwelling berskala besar terjadi di selatan
Jawa, sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat Makasar. Upwelling
di perairan Indonesia bersifat musiman terjadi pada Musim Timur (MeiSeptember), hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara upwelling,
musim dan rendahnya suhu yang terukur pada bulan September dan Oktober di
perairan Pemuteran dan Nusa Penida.
Pengukuran suhu juga dilakukan dengan mendeploy alat Hobo yang
dapat mengukur suhu air dalam interval waktu tertentu dengan jangka waktu yang
cukup lama. Hobo di-deploy di daerah Nusa Penida selama 7 bulan dari bulan Mei

hingga November 2011 dan di Pemuteran selama 10 bulan dari bulan Juni 2011
Maret 2012. Alat ini diatur untuk mengukur suhu air dengan interval waktu 30
menit selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu.

Gambar 6. Sebaran suhu di Nusa Penida dan Pemuteran dari hasil deploy hobo

Pada gambar 6 dapat dilihat rendahnya suhu yang terukur di perairan


Nusa Penida pada bulan September hingga Oktober yaitu berkisar 23,9

C.

Demikian pula di Pemuteran, pada bulan Juli hingga September menunjukkan


suhu yang lebih rendah daripada di bulan lainnya yaitu 27,6 OC. Variasi suhu yang
terukur di Nusa Penida dan Pemuteran masih dalam kisaran yang memungkinkan
terumbu karang untuk hidup, seperti yang disebutkan dalam Nontji (1987), bahwa
suhu optimum untuk terumbu adalah 25-30

C. Kebanyakan karang akan

kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu <16 OC dan >33.5
O

C (Mayor, 1918 dalam Supriyono, 2000).


Hasil pengukuran suhu di perairan Nusa penida dan Pemuteran sesuai

dengan hasil pengolahan data sekunder yang diolah dari data WOA09 yaitu
bahwa untuk wilayah perairan Indonesia Timur, nilai suhu di musim timur lebih
rendah daripada di musim barat.

Gambar 7.

Sebaran suhu di perairan Indonesia di Musim Barat (kiri) dan


Timur (kanan)

Pada pengamatan karang di Biowreck Pemuteran (Gambar 8 dan 9), pada


pengamatan bulan Maret terlihat beberapa bagian dari koloni karang jenis
Acropora sp dan Pocillopora sp ini mengalami pemutihan. Pemutihan karang ini
dapat terjadi karena banyak faktor, antara lain perubahan suhu yang signifikan dan
perubahan salinitas. Pertumbuhan dan perkembangan karang sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti kedalaman, suhu perairan, salinitas, sedimentasi,
kekeruhan dan aspek ekologis lainya.

Gambar 8. Tagging Acropora sp di Biowreck Pemuteran

Pada monitoring ke-2 (bulan Juni) karang tersebut telah mati dan
ditumbuhi alga. Berdasarkan ciri-cirinya karang karang tersebut mengalami
kerusakan skeleton akibat penyakit karang. Berdasarkan penyebabnya penyakit

10

karang dibagi menjadi dua yaitu penyakit karang yang disebabkan oleh mikro dan
makro parasit (infeksi pathogen) dan penyakit karang non infeksi seperti karena
kekurangan nutrisi dan faktor lingkungan. Berdasarkan ciri-cirinya karang pada
gambar disamping terkena penyakit karang yang disebabkan oleh infeksi
pathogen.

Gambar 9. Tagging Pocillopora sp di Biowreck Pemuteran

Di perairan Nusa Penida diamati karang jenis Pocillopora sp, tepatnya di


lokasi Ped. Pada pengamatan bulan Mei terlihat beberapa bagian dari koloni
karang ini mengalami pemutihan. Pemutihan karang ini dapat terjadi karena
banyak faktor, antara lain perubahan suhu yang signifikan dan perubahan
salinitas. Pertumbuhan dan perkembangan karang sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti kedalaman, suhu perairan, salinitas, sedimentasi, kekeruhan
dan aspek ekologis lainya. Pada pengamatan bulan Agustus, karang yang sama
pada bagian yang tadinya mengalami pemutihan telah ditumbuhi alga.
Pertumbuhan alga pada karang seperti itu akan membentuk kompetisi dengan
karang yang ditumbuhi alga. Pertumbuhan alga pada karang akan menutupi
karang dan menghalangi proses fotosintesis dan proses penempelan larva pada
karang. Pertumbuhan alga pada karang sangat dipengaruhi oleh kandungan

11

nutrien pada perairan terumbu karang tersebut. Selain berkompetisi dengan alga,
karang seringkali berkompetisi untuk memperebutkan ruang dengan sponge dan
tunicata. Dari hasil pengamatan dapat dilihat alga yang menempel pada terumbu
karang semakin banyak. Hal ini mengindikasikan karang kalah dalam
berkompetisi dengan alga yang menempel. Biasanya invertebrata dan ikan-ikan
herbivora akan memangsa alga-alga yang menempel di karang sehingga kompetisi
antara alga dan karang akan tereduksi secara alami.

Gambar 10. Tagging Pocillopora sp di Ped Nusa Penida

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil survei dan perhitungan data sekunder, didapatkan bahwa pola
monsunal mempengaruhi kondisi perairan Nusa Penida dan Pemuteran. Pada
musim barat, nilai pH dan suhu air laut di perairan Nusa Penida dan Pemuteran
lebih tinggi daripada musim Timur.
Hasil monitoring karang menunjukkan bahwa variabilitas pH dan suhu
relatif tidak berpengaruh pada ekosistem terumbu karang di perairan nusa penida
dan pemuteran (2010 2012). Kerusakan karang yang terjadi disebabkan oleh
penyakit karang berupa parasit dan pertumbuhan alga. Berdasarkan pengamatan

12

terhadap terumbu karang didapatkan bahwa terumbu karang di Nusa Penida relatif lebih
resistant bila dibandingkan dengan di Pemuteran.

DAFTAR PUSTAKA
BPOL. 2011. Laporan Penelitian Studi Operasional Oseanografi Untuk
Konservasi Ekosistem Terumbu Karang.
BPOL. 2011. Laporan Penelitian Studi Observasi Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Proses Ocean Acidification di Daerah Perairan Indonesia.
BPOL. 2012. Laporan Survei Studi Variabilitas CO2 di Perairan Indonesia dalam
Rangka Mendukung Konsep Blue Carbon.
BPOL. 2012. Laporan Survei Studi Implikasi Pengasaman Laut pada Ekosistem
Terumbu Karang di Kawasan Coral Triangle Initiative (CTI).
BROK. 2010. Laporan Penelitian Observasi dan Kajian Kawasan Konservasi
Perairan.
Doney, Scott C. 2006. The Danger of Ocean Acidification. Scientific American ,
March 2006.
Goyet C., Richard Healy, and John Ryan. 2000. Global Distribution of Total
Inorganic Carbon and Total Alkalinity Below The Deepest Winter Mixed
Layer Depths. Environmental Sciences Division Publication No. 4995.
Mustika, P.L., Ratha, I.M.J. dan Purwanto, S. (eds). 2011. Kajian Cepat Kondisi
Kelautan Provinsi Bali 2011. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali.
Balai Riset dan Observasi Kelautan Bali. Universitas Warmadewa.
Conservation International Indonesia. Denpasar. 122 hal.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 2000. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia.
Jakarta.
Supriyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta.
Wyrtki, K. 1961. Naga Report vol. 2 : Scientific Results of Marine Investigations
of the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. The
University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla,
California.

13

Вам также может понравиться