Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ARTIKEL ILMIAH
Page 2 of 14
PENDAHULUAN
Potret pembangunan Desa di Indonesia masih menunjukkan banyak masalah yang
mengkhawatirkan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui masih adanya desa yang
belum didukung infrastruktur listrik sebanyak 12.000 lebih desa atau sebesar 15,
40 % dari keseluruhan jumlah desa di Indonesia (kondisi sampai dengan akhir
Tahun 2014, Badan Pusat Statistik; 2015). Tidak berbeda dengan minimnya
dukungan infrastruktur listrik tersebut, terdapat 12. 636 desa yang telah memiliki
sarana jalan desa namun belum bisa dilalui oleh kendaraan roda 4. Gambaran ini
jelas mengkhawatirkan karena di balik ketiadaan dukungan energi listrik serta
minimnya ketersediaan sarana jalan di desa akan memberikan dampak negatif
bagi kelancaran aktivitas kegiatan masyarakat desa hingga dimensi kenyamanan
dan keamanannya.
Kondisi faktual sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya menjadi salah satu
bahagian kecil dari banyaknya akar permasalahan yang masih dapat ditemukan di
desa sehingga memicu diberlakukannya Undang- undang No. 6 tahun 2014
tentang Desa. Kebijakan ini merupakan dinamika baru yang terjadi di era
pemerintahan yang desentralistis. Penyerahan kewenangan kepada desa sebagai
kesatuan masyarakat otonom berdaulat ini lebih mengedepankan keinginan desa
tidak lagi menjadi objek dalam upaya pembangunannya, melainkan menjadi
subjek utama dalam upaya membangun desa sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Kewenangan yang diserahkan tersebut juga tidak bersifat politik
dan administratif belaka, namun telah dilengkapi dengan perangkat kewenangan
fiskal sehingga ketika kebijakan ini dilaksanakan desa telah memiliki sumber daya
keuangan yang lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
Secara operasional penyelenggaraan kewenangan fiskal oleh pemerintah desa
telah diatur dengan jelas. Proses ini dapat dipahami dengan berbagai aturan yang
mendukung pelaksanaan kewenangan mengatur dan mengelola desa berdasarkan
kebutuhan pembangunannya masing- masing. Wujud aturan tersebut antara lain;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan kemudian dikuatkan dengan Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, juga dikeluarkannya Peraturan Menteri
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa.
Pola kebijakan yang runtun tersebut di atas belum tentu menghasilkan kinerja
pembangunan desa yang efektif. Hal ini disebabkan karena kuatnya semangat dan
komitmen pemerintah pusat saat ini belum tentu mendapatkan respon, persepsi
maupun pemahaman yang sama oleh pemerintah desa nantinya. Asumsi ini
dibangun atas informasi bahwasanya kemampuan perencanaan khususnya pada
sisi penganggaran di desa saat ini belum sesuai dengan keinginan dan petunjuk
pelaksanaan yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Fakta inipun didukung oleh
adanya laporan sebuah hasil temuan penelitian yang menjelaskan bahwa secara
struktural, pemerintah desa sebagai institusi belum memiliki kesiapan pada
Page 3 of 14
UU No. 6/2014
Kewenangan berdasarkan hak asal
usul
Kewenangan lokal berskala Desa
Page 4 of 14
UU No. 32/2004
pengaturannya kepada desa
Tugas pembantuan dari Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan/
atau Pemerintah Kabupaten/
Kota
Urusan pemerintahan lainnya
yang oleh peraturan perundangundangan
diserahkan kepada
Desa
UU No. 6/2014
Kewenangan yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
Kewenangan lain yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan
Di era desentralisasi seperti saat ini, kewenangan desa tersebut dimaknai sebagai
hak desa untuk mengatur, mengurus dan bertanggung jawab atas urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Secara mendasar yang
dimaksud dengan mengatur dan mengurus serta bertanggung jawabmenurut
(Eko, 2014) mempunyai makna yang beragam. Desa berkewenangan mengatur
dan mengurus memiliki makna bahwa sebagai suatu lembaga, desa memiliki
otoritas untuk mengeluarkan dan menjalankan kebijakan, tentangapa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dalam batas wilayah desa. Misalnya desa menetapkan kebijakan
pembangunan pembangkit listrik karena desanya hingga saat ini belum dialiri
listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Makna selanjutnya juga menjelaskan
bahwa kewenangan mengatur dan mengurus tersebut berarti memutuskan dan
menjalankan alokasi sumberdaya (baik dana, peralatan maupun sumber daya
manusia) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan bagi warga desa, termasuk
membagi sumberdaya kepada penerima manfaat.
Sebagai contoh, desa
memutuskan alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan struktur pengelola BUM
Desa atau mengalokasikan dana desa kepada peruntukan beasiswa sekolah bagi
anak-anak desa yang berprestasi namun tidak didukung kemampuan ekonomi
keluarganya (miskin). Dalam makna operasional mengatur dan mengurus tersebut
dapat diartikan kewenangan menjalankan, melaksanakan, maupun merawat public
goods yang ada di desa.
Bertanggungjawab memiliki arti sebagai subjek pembangunan desa saat ini
merencanakan, menganggarkan dan menjalankankegiatan pembangunan atau
pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul. Sebagai contoh, karena
BUM Desa Pembangkit Listrik telah menjadi kewenangan lokal, maka desa
bertanggungjawab melembagakan BUM Desa ke dalam perencanaan desa,
sekaligus menganggarkan untuk kebutuhan usahanya termasuk menyelesaikan
masalah yang muncul.
Jika desa berwenang mengatur, dengan sendirinya desa juga mengurus terhadap
hal-hal yang diatur. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan mengatur dan mengurus
terhadap aset atau hak milik desa. Namun demikian, menurut (Eko, 2014) konsep
mengurus tidak mesti merupakan konsekuensi dari kuasa mengatur atas hak milik
tersebut. Mengurus,dalam hal ini, berarti mengelola atau menjalankan urusan
Page 5 of 14
yang diberikan oleh pemerintah kepada desa, atau bisa juga disebut sebagai
hakkelola desa. Hasil pemikiran ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh
Gayatri (2008) yang menjelaskan bahwasanya secara teoritis kewenangan
mengurus bermakna bebas dari intervensi pemerintah pusat (state), otoritas dan
kewenangan desa dalam kerangka otonomi lebih besar dari sekedar kewenangan
suatu institusi belaka. Dengan demikian kewenangan desa dalam mengurus dan
mengatur kebutuhan pembangunannya merujuk pada konsensus lokal secara
politis sehingga menuntut adanya kapasitas pemberdayaan komunitas sosial (civil
society) serta kesadaran politik yang lebih besar pula.
Kedua pandangan yang berbeda tersebut jika dipahami datang melalui arah
kewenangan berbeda yang melekat pada desa. Ketika kewenangan mengatur dan
mengurus tersebut datang melalui arah sentral, maka akan terlihat jelas bahwa
desa akan dihadapkan kepada otoritas yang lebih besar sehingga dalam
pengaturannya tidak dapat dilaksanakan secara semena- mena keinginan
masyarakatnya belaka. Namun ketika perspektif kewenangan itu muncul sebagai
prakarsa bottom, kewenangan desa justru benar- benar independen baik secara
politis dan administratif.
Tarik menarik konsep kewenangan desa tersebut menunjukan bahwasa upaya
membangun desa merupakan proses yang kompleks. Hal ini disebabkan
kebutuhan masyarakat desa yang juga sarat dengan kompleksitas dan masalah
yang berkelanjutan. Oleh karena demikian penelitian ini berasumsi bahwa dalam
menjalankan kewenangan mengatur serta mengurus, desa seyogyanya meletakkan
fokus permasalahan yang sederhana dan mudah diselesaikan sebagai prioritas
awal pencapaian tujuan pembangunannya.
Page 6 of 14
pemerintah desa, bukan pula sepenuhnya hanya untuk membangun prasarana fisik
desa, tetapi alokasi untuk investasi manusia dan pengembangan ekonomi lokal
yang berorientasi untuk penanggulangan kemiskinan.
Wujud alokasi anggaran desa kepada perogram dan kegiatan bernilai manfaat bagi
pembangunan desa bukanlah hal yang mudah. Tantangan keterlibatan secara aktif
masyarakat dalam merencanakannya merupakan salah satu fondasi penting hingga
alokasi tersebut diputuskan untuk dilaksanakan. Menentukan prioritas
penganggaran dalam skup pemerintahan lokal membutuhkan keseriusan dan
partisipasi aktif dari masyarakat (civil socity) sebagaimana dijelaskan melalui
hasil penelitian di China oleh Baogang (2011), Reddy (2014) yang merupakan
hasil riset desa di India serta sebuah tim peneliti dari Tanzania Research on
Poverty Alleviation (REPOA, 2008). Tidak hanya sekedar partisipasi aktif
masyarakatnya namun sebuah hasil penelitian menambahkan faktor political will
dari pemimpin lokal.
Berbagai penjelasan tersebut di atas menguatkan salah satu asumsi dasar bagi
penelitian ini bahwa secara teknis rangkaian kegiatan penganggaran desa
memerlukan adanya deteksi awal khususnya dalam hal tingkat keterlibatan
masyarakat desa dalam menentukan dan memutuskan item kegiatan pembangunan
desa yang dianggarkan dalam APB Desa.
Page 7 of 14
METODE
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa penelitian ini memiliki kecendrungan
penggunaan pendekatan kualitatif dalam proses pengolahan hingga analisis
terhadap data dan informasi penelitian. Pemilihan rancangan penelitian kualitatif
ini didasarkan atas kemampuannya yang fleksibel dalam upaya menemukan
potensi gagalnya penganggaran APB Desa serta model berfikir yang sederhana
sebagai alat pendeteksi dini. Dengan demikian penelitian ini nantinya akan lebih
menjelaskan fenomena penganggaran APB Desa secara komprehensif.
Proses menelaah permasalahan sebagaimana telah diajukan merupakan bahagian
yang penting dilaksanakan, agar bahasan yang dihasilkan menjadi hasil pemikiran
komprehensif. Prosedur pembahasan masalah dilakukan secara operasional
mengikuti alur deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalu studi literatur
seperti dokumen perecanaan serta laporan kinerja pembangunan Desa Nagur
sebagai salah satu desa pesisir serta pengalaman penulis tentang hal ikhwal
administrasi pemerintahan di desa. Untuk menyederhanakan pelaksanaan
penulisan, maka diputuskan mengajukan kasus yang pernah dialami penulis
berkaitan dengan dinamika pembangunan Desa Nagur di Provinsi Sumatera Utara.
Tindakan ini didasarkan atas keterbatasan waktu penulisan yang tersedia yakni
dalam selang waktu 2 (Dua) Bulan yakni mulai Maret sampai dengan April Tahun
2015. Dengan demikian hasil pemikiran ini bukan dimaksudkan untuk mengeneralisasikannya bagi fenomena di wilayah desa pesisir lainnya di Indonesia.
Page 8 of 14
Tabel 1.
Pendidikan Terakhir
Responden
Tidak Pernah Sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tidak Tamat SLTP
Tamat SLTP
Tidak Tamat SLTA
Tamat SLTA
Tamat D-3
Tamat S-1
Total
Sumber : Nasution, 2014.
Frekuensi
5
187
38
18
70
5
1
2
1
327
Persentase
1.5 %
57.2 %
11.6 %
5.5 %
21.4 %
1.5 %
0.3 %
0.6 %
0.3 %
100 %
No.
1
Pernyataan
Bpk/Ibu pernah ikut serta
dalam menetapkan
program/kegiatan
pembangunan desa
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Raguragu
Setuju
Sangat
Setuju
Jumlah
0.6
76.2
7.6
15.5
100.0
Page 9 of 14
Frekwensi Jawaban
No.
Pernyataan
Dokumen RKP
disosialisasikan pada
masyarakat melalui lbg
masyarakat (pengajian, PKK,
arisan ,dll)
Sumber : Nasution, 2014.
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Raguragu
Setuju
Sangat
Setuju
Jumlah
0.9
77.8
9.2
12.1
100.0
88.7
8.9
2.4
100.0
0.9
87.8
9.2
2.1
100.0
Page 10 of 14
No.
Pernyataan
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Raguragu
Setuju
Sangat
Setuju
Jumlah
70.9
13.8
15.0
0.3
100.0
75.3
13.8
10.9
100.0
0.3
78.9
13.8
6.7
0.3
100.0
75.5
3.7
19.9
0.3
100.0
0.6
Page 13 of 14
Daftar Pustaka
Baogang He, 2011, Civic Engagement Through Participatory BudgetingIn China: Three
Different Logics At Work, Deakin University, Australia, Published online in Wiley
Online Library (http://wileyonlinelibrary.com ) DOI: 10.1002/pad.598.
Didik G. Suharto, Widodo Muktiyo, and Pawito, 2013, The Development of Village
Autonomy Using Decentralization Approach (An Indonesian Perspective),
Southeast Asian Journal of Social and Political Issues, Vol. 1, No. 3, March 2013.
Enefiok Ibok, 2013, The Impact Of Rural Roads And Bridges On The Socioeconomic
Development Of Akwa Ibom State, Nigeria: An Evaluation, Global Journal of
Political Science and Administration Vol.1, No.1, pp. 27-36, September 2013,
Published by European Centre for Research Training and Development UK
(http://ea-journal.org ).
Kartasasmita, Ginandjar, 1997, Administrasi Pembangunan, Jakarta, Pustaka LP3ES
Indonesia.
Korten, David,C. Dan Syahrir, (Penyunting), 1998,
Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia.
Pembangunan Berdimensi
Nasution, Beti, 2014, Implementasi Otonomi Desa Pesisir Nagur Kabupaten Serdang
Bedagai Provinsi Sumatera Utara, Hasil Penelitian, Program Studi S-3
Perencanaann Wilayah dan Desa, Universitas Sumatera Utara.
Research on Poverty Alleviation (REPOA), 2008, The Oversight Processes Of Local
Councils In Tanzania (Final Report), http://www.repoa.or.tz
Reddy, V.R.; Reddy, M.S. and Rout, S.K, 2014, Groundwater governance: A tale of three
participatory models in Andhra Pradesh, India, http://water-alternatives.org
Volume 7 Issue 2 Water Alternatives 7(2): 275-297.
Richard A. Leins, 2014, Village Of Ossining Westchester County, New York Fiscal Year
2015 Tentative Budget, Village Manager, Presented to the Board of Trustees on
November 5, 2014
Sakinah Nadir, 2013, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa:Menuju Pemberdayaan
Masyarakat Des, Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.
Santoso, Purwo, 2015, Sabu Kesejahteraan Nusantara: Merajut desa- desa Perbatasan
sebagai beranda Depan Indonesia, Pokja Perbatasan Universitas Gadjah Mada,
Jojakarta, psantoso@ugm.ac.id .
Sutoro Eko DKK, 2014, DESA MEMBANGUN INDONESIA, Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD), http://forumdesa.org , Cetakan Pertama, ISBN: 978602-14772-7-4.
Page 14 of 14