Вы находитесь на странице: 1из 42

1.

1 Latar Belakang Penelitian


Perilaku merokok dipandang sebagai sesuatu negatif dan menimbulkan
resiko kesehatan bagi perokok maupun orang yang ada disekitarnya. Banyak
orang yang menyadari akan bahaya rokok namun hal ini tidak menjadikan para
perokok memutuskan untuk berhenti merokok. Berbagai larangan dan pencegahan
dilakukan oleh pemerintah ataupun beberapa LSM yang melakukan sosialisasi dan
kampanye untuk menurunkan kebiasaan merokok, namun tidak sedikit pihak yang
terus merokok bahkan jumlahya semakin meningkat
Hal ini dibuktikan dari Data World Health Organization (WHO) 2011
menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia dalam jumlah
perokok aktif setelah China dan India dan diperkiran akan terus meningkat. Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 perlihatkan jumlah perokok di Indonesia
mencapai sekitar 90 juta jiwa atau 36,3%, naik 2,1% dibandingkan tahun 2007.
Fenomena yang terjadi dewasa ini sudah berada dibatas wajar dan tidak
mudah untuk ditolerir. Kecenderungan usia yang mulai merokok sudah semakin
muda. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2010 menyebutkan perokok
usia di bawah lima tahun (balita) ditemukan hampir di seluruh Indonesia.
Perokok pemula juga terjadi dikalangan remaja dan terbilang tinggi.
Diketahui perokok usia muda meningkat dalam 13 tahun dari tahun 2001 hingga
tahun 2013 (Riskesdas 2013). Sementara itu menurut data Global Youth Tobacco
Survey (GYTS), prevalensi perokok remaja usia 10 - 14 tahun meningkat dari
9,5% pada 2001 menjadi 17,5% pada 2010 kemudian menduduki angka 18% di
tahun 2013. Menurut pernyataan Departemen Kesehatan RI, faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku merokok pada remaja antara lain adalah tingkat
pengetahuan, sikap, peran keluarga, pengaruh lingkungan, rasa ingin tahu, dan
korban iklan.
Masyarakat Indonesia umumnya mengetahui bahwa perokok remaja
umumnya adalah laki-laki dan perilaku merokok pada laki-laki adalah perilaku

yang dianggap normal oleh masyarakat Indonesia., namun siapa sangka remaja
perempuan pun mengambil peran dalam kasus ini.
Sebuah data yang mencengangkan dari hasil riset Kementrian Kesehatan
tahun 2013 yang menyatakan bahwa prevalensi perokok remaja 15 - 19 tahun
untuk laki-laki menurun dari 38.4 % menjadi 37,3% sedangkan perempuan
meningkat dari 0.9 % menjadi 3,1%. Data lain yang membuktikan bahwa perokok
remaja perempuan lebih besar dari pada remaja laki-laki dengan kelompok usia
13-15 seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Rata-Rata batang rokok yang dihisap perhari berdasarkan kelompok


umur. Sumber : Riskedas, 2010

Di Indonesia merokok merupakan hal tabu dan tidak pantas dilakukan oleh
perempuan. Perilaku merokok pada perempuan, cenderung diberi label negatif
oleh masyarakat. Hingga saat ini stigma dan anggapan negatif mengenai wanita
yang menjadi perokok aktif masih banyak ditemui. Masyarakat yang tidak
berfikiran terbuka masih menggangap perempuan yang merokok adalah
perempuan yang tidak baik, nakal, atau bahkan jalang (Handayani, dkk.,
2012). Pandangan semacam ini masih umum ditemui dalam masyarakat

Indonesia, dan kebanyakan orang gampang memberi penafsiran atau menghakimi


bahwa wanita perokok adalah rendah.
Para remaja putri perokok tentunya menyadari resiko yang mereka hadapi
bila mereka merokok. Selain resiko kesehatan ada pula resiko dipandang buruk
oleh orang-orang di sekitar mereka. Banyak dari masyarakat yang langsung
memandang miring perempuan yang merokok, tanpa mengetahui alasan yang ada
dibalik perempuan yang memilih untuk merokok(Handayani, dkk., 2012).
Baik remaja perempuan maupun laki-laki yang mulai merokok umumnya
berada di usia reaja awal yaitu 12-15 tahun. Masa remaja dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu masa remaja awal 12 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 18
tahun, dan masa remaja akhir 18 21 tahun (Kartono,1990). Psikolog Dharmayati
Utoyo Lubis remaja menyatakan bahwa umumnya mulai merokok di usia remaja
awal atau SMP. Perubahan psikologis pada remaja awal adalah salah satu faktor
pemicu untuk mulai mencoba-coba merokok. Pada masa remaja awal,
perkembangan intelektual yang sangat intensif sehingga minat anak pada dunia
luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi
namun sebelum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada
masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan
merasa kecewa (Kartono, 1990).
Merokok di usia dini memiliki resiko lebih tinggi pada kesehatan remaja,
terlebih ketika racun-racun dan lebih dari 4000 macam zat kimia dari rokok
masuk kedalam tubuh, maka dampaknya akan lebuh parah dibandingkan dengan
orang dewasa. Selain penyakit pernafasan, efek jangka panjang lainnya seperti
seranga jantung, penyakit pencernaan dan kanker dapat diderita oleh generasi
muda jika menjadi perokok aktif kedepannya. Terlebih lagi perempuan akan
memilki risiko yang lebih besar jika mengkonsumsi rokok dalam jangka panjang
seperti inferti (mandul), kemungkinan menopause lebih awal,sangat rentan
terkena kanker mulut rahim, tekanan darah tinggi, kemungkinan mendapatkan
bayi lahir cacat dan kematian

Kejadian penyakit jantung koroner pada perempuan 85% ditemukan di Cina


disebabkan karena wanita terpapar dengan rokok. Perokok perempuan di Amerika
Serikat terus meningkat, maka kematian perempuan akibat kanker paru lebih
tinggi dari pada kematian perempuan akibat kanker payudara. Kejadian penyakit
jantung koroner pada perempuan akan terjadi juga di Indonesia yang perokok
perempuannya juga terus meningkat. Tanpa penanganan yang memadai, tahun
2030 akan ada 1,6 milyar perokok (15% tinggal di negara maju), 10 juta kematian
(70% diantaranya di negara berkembang) dan 770 juta anak menjadi perokok
pasif dalam setahun, 20-25% kematian pada tahun itu dapat terjadi akibat rokok.
Perilaku merokok yang dilakukan oleh remaja tidak dapat disalahkan
sepenuhnya, berbagai faktor diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Dian Komalasari dari Universitas Islam Indonesia dan Avin Fadilla Helmi dari
Universitas Gadjah Mada yaitu faktor sikap permisif orang tua sebesar 38,%,
faktor lingkungan teman sebaya sebesar 33,048% dan faktor kepuasan psikologis
sebesar 40,9 %.
Selain itu murahnya harga rokok di Indonesia juga menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan angka perokok remaja terus meningkat. Sehingga bea cukai
rokok mencapai Rp. 50 triliun di tahun 2010 yang menyebabkan kerugian
ekonomi yang mencapai hampir Rp. 250 triliun di tahun 2010. Tingkat konsumsi
rokok tidak hanya mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya tapi juga sangat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2013,
sebanyak 70 % remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh oleh iklan
baik di televisi dan media cetak. Dengan rincian sebanyak 83% anak usia 13-15
tahun melihat iklan rokok di televisi, 89% lewat billboard, dan 76,6 persen via
media cetak. Kemudian pemerintah melalui Permenkes No 28 Tahun 2013
membatasi iklan, promosi, dan sponsorsip rokok demi melindungi generasi muda
dan mengurangi jumlah perokok. Pemerintah juga sebelumnya telah mengambil
sejumlah langkah guna mengurangi jumlah perokok dengan melarang iklan rokok
untuk tayang di televisi sebelum pukul 10 malam, menetapkan larangan merokok

di sejumlah ruang publik, dan memberlakukan usia minimal pembeli rokok.


Namun menurut Kementerian Kesehatan, dua aturan terakhir tidak berjalan.
Sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan PP nomor 109 tahun 2012
tentang bungkus rokok harus mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk
gambar dan tulisan, minimal 10% dari total durasi iklan atau 15% dari total luas
iklan. Iklan di media cetak maupun elektronik serta kemasan rokok pun
menggunakan peringatan tulisan merokok dapat menyebabkan kanker, jantung,
impoten, gangguan kehamilan dan janin hingga merokok membunuhmunamun
tetap tidak membuat jera para pecandu rokok untuk berhenti merokok.
Terdapat penelitian terdahulu mengenai peringatan berbentuk tulisan adalah
tentang persepsi perokok aktif dalam menanggapi label peringatan bahaya
merokok yang dilakukan di Yogyakarta dengan hasilnya yaitu pengertian akan
makna yang konsumen letakkan pada stimulus dari label peringatan bahaya
merokok yang mereka lihat dan pengalaman masa lalu menjadi faktor penting
dalam pembentukan persepsi seseorang. Maksudnya adalah pembentukan
pembentukan persepsi setiap individu dipengaruhi oleh faktor-faktoor yang sama
namun hasilnya akan berbeda.
Upaya yang dilakukan untuk membuat para pecandu rokok berhenti
merokok dirasa sulit dan tidak mengurangi jumlah perokok, maka Peraturan
Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang kewajiban mencantumkan Pictorial
Health Warning (PHW) atau peringatan bahaya merokok bergambar pada
bungkus rokok dan Permenkes RI mulai diefektifkan pada tanggal 24 Juni 2014.
Menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, langkah ini dibuat untuk melindungi
generasi muda khususnya kalangan perokok pemula.
Seperti diketahui, ada lima gambar dari peringatan kesehatan yang harus
dicantumkan pada bungkus rokok. Gambar pertama ialah seorang perokok yang
mengalami kanker mulut dengan tulisan "Merokok sebabkan kanker mulut",
gambar kedua ialah seorang pria sedang merokok dengan gambar tengkorak yang
terbuat dari asap dan tulisan "Merokok membunuhmu. Gambar ketiga ialah
seorang perokok mengalami kanker tenggorokan, dengan tulisan di bawah
5

bungkusnya "Merokok sebabkan kanker tenggorokan", kemudian gambar


keempat ada seorang pria yang sedang merokok dengan menggendong bayi dan di
bawahnya ada tulisan "Merokok dekat anak berbahaya bagi mereka". Terakhir,
ada gambar paru-paru yang rusak akibat merokok, tulisan dibawahnya tercantum
"Merokok sebabkan kanker paru-paru dan brkonkitis kronis".(www.okezone.com)
Kepala Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes Lily Sulistyowati menuturkan,
gambar kedua dan keempat diperoleh melalui survey yang dilakukan Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) beberapa tahun lalu.
Dalam survey tersebut, masyarakat disodorkan gambar-gambar menyeramkan
untuk dipilih mana yang paling menyeramkan. Sementara, tiga gambar lainnya
merupakan gambar-gambar yang diadopsi dari luar negeri. Tiga gambar tersebut
berisikan gambar penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Seperti, gambar
kanker mulut, kanker tenggorokan, serta kanker paru-paru dan bronkitis kronis.
Gambar-gambar tersebut merupakan ketentuan Internasional yang juga telah
digunakan di negara-negara lain seperti Singapura dan Malaysia.
Sebuah pesan yang dihadirkan dalam bentuk tulisan atau gambar memiliki
makna tersendiri. Makna sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih dari
sekedar penafsiran atau pemahaman seorang individu saja namun melahirkan
persepsi. Menurut Rakhmat (2007:51), persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Suatu pengalaman baru bagi perokok
khususnya di kalangan remaja perempuan adalah saat hendak membeli rokok dan
melihat gambar-gambar peringatan kesehatan kemudian memberikan makna pada
gambar tersebut.
Dari hasil survei yang dilakukan Kementrian Kesehatan, anak remaja
terperangah dan mereka berpikir lagi untuk mau merokok. Persepsi yang dimiliki
remaja perempuan akan berbeda dengan remaja laki-laki. Kahn (dalam Hasanat,
1994) menyatakan bahwa perempuan mempunyai kehangatan emosionalitas,
sikap hati-hati dan sensitif serta kondisi yang tinggi daripada laki-laki.

Penelitian mengenai makna merokok pada remaja putri perokok


menunjukan bahawa pada umumnya perilaku merokok pada remaja putri
dipengatuhi oleh orang-orang disekitarnya yang merokok, seperti anggota
keluarga dan teman sebaya.
Bandung merupakan ibukota provinsi Jawa Barat yang juga menjadi kota
terbesar di Indonesia selain DKI Jakarta dan Surabaya. Bandung memiliki
pertumbuhan ekonomi dan sosial yang pesat. Gaya hidup atau life style
berpengaruh pada perilaku merokok masyarakatnya yang kemudian dilihat dan
akhirnya remaja pun ikut merokok. Namun justru fakta membuktikan bahwa
jumlah perokok di kabupaten Banung lebih tinggi dari pada kota Bandung. Salah
satunya adalah hasil riset Riskesdas Provinsi Jawa Barat (2010) yang menyatakan
bahwa jumlah perokok remaja usia 10-14 di kabupaten Bandung lebih tinggi yaitu
sebesar 12,8% dibandingkan kota Bandung yaitu sebesar 5,7%. Hal yang sama
juga ditunjukan oleh perokok kelompok usia 15-19 tahun yaitu 42,9% di
kabupaten Bandung dan kota Bandung sebesar 39,1%.
Data tersebut menjadi pendukung hasil riset Riskesdas (2010), yang
menyatakan bahwa prevalensi merokok di pedesaan lebih tinggi yaitu 36,6%
dibandingkan dengan perkotaan yaitu 31,2% dan semakin meningkat dari tahun
2004.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka peneliti akan meneliti
mengenai persepsi perokok remaja perempuan di kabupaten Bandung terhadap
label peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok.

1.2 Fokus Penelitian


Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian tentang Bagaimana persepsi perokok
remaja perempuan label peringatan kesehatan bergambar pada kemasan
rokok?.

1.3 Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana pengetahuan perokok remaja perempuan mengenai label
peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok?
2. Bagaimana kebutuhan perokok remaja perempuan mengenai label
peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok?
3. Bagaimana pengalaman yang dimiliki perokok remaja perempuan
mengenai label peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok?

1.4 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan perokok remaja perempuan
mengenai label peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok
2. Untuk mengetahui bagaimana kebutuhan perokok remaja perempuan
mengenai label peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok
3. Untuk mengetahuui bagaimana pengalaman yang dimiliki perokok remaja
perempuan mengenai label peringatan kesehatan bergambar pada
kemasan rokok

1.5 Kegunaan Penelitian


1.5.1
Kegunaan Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan penelitian dapat berguna untuk
menambah wawsan ilmiah di bidang ilmu komunikasi khususnya dalam
kajian yang memfokuskan kajian pada studi lapangan untuk melihat
berbagai kejadian komunikasi sebagai sebuah fenomena yang menarik di
masyarakat

1.5.2

Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan


masukan bagi pembaca dalam memahami dan memandang makna dari
karya berupa gambar peringatan kesehatan berupa dampak merokok.
Selain itu, peneliti berharap penelitian ini memberikan konstribusi positif
bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terkait dengan tujuan
yang ingin dicapai oleh lembaga tersebut.

1.6 Kerangka Pemikiran


1.6.1 Landasan Teori
1.6.1.1
Teori Persepsi Sosial
Teori adalah serangkaian hipotesa atau proposisi yang saling
berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala
(Sarwono, 1995: 4). Dalam buku Sarlito Wirawan Sarwono yang berjudul
Teori-teori Psikologi Sosial (1995: 237-238) terdapat 4 teori persepsi
sosial, yaitu:
1) Teori Heider, adalah teori yang dikemukakan oleh Heider. Secara
konseptual teori ini memang kaya dan merangsang sumbangansumbangan teori dari psikolog-psikolog sosial lain. Selain itu, teori
ini juga merangsang banyak penelitian. Teori Heider tentang
hubungan antar pribadi yang dapat diterapkan secara sangat umum
ini, menunjukkan kekayaan dan keluasan pikirannya.
2) Teori Jones & Davis, adalah teori yang dikemukakan oleh Jones &
Davis. Teori ini terbatas pada atribusi terhadap orang. Teori ini
bertanggung jawab pada sebagian dari berkembangnya sekumpulan
penelitian tentang atribusi pribadi (personal). Teori ini juga
menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang harus ada untuk dapat
terjadinya prediksi.
3) Teori Kelley, adalah teori yang dikemukakan oleh Kelley. Teori ini
terbatas pada atribusi terhadap lingkungan luar. Teori ini masih relatif
baru dan belum mampu merangsang penelitian karena para psikolog

sosial lebih tertarik pada persepsi, atribusi dan keputusan/penilaian


pribadi dari pada atribusi lingkungan. Walaupun demikian, konsepkonsep dari Kelley cukup teruji dan cukup bermakna dalam bidang
psikologi sosial.
4) Teori Festinger, adalah teori yang dikemukakan oleh Festinger. Teori
ini hanya sedikit menyinggung proses atribusi dan persepsi sosial.
Secara khusus, teori ini membicarakan proses yang digunakan oleh
seorang individu untuk menilai keampuhan pendapatnya sendiri dan
kekuatan dari kemampuan-kemampuannya sendiri dalam hubungan
dengan pendapat-pendapat dan kemampuan-kemampuan orang lain
yang ada dalam suatu lingkungan sosial. Persepsi tentang atribusi
orang lain hanya merupakan faktor sekunder. Yang terpenting adalah
dampak dari perbandingan sosial terhadap perubahan-perubahan dari
pendapat pada individu itu sendiri.
Berdasarkan teori-teori tersebut, teori yang cocok dalam penelitian
ini adalah teori Jones dan Davis. Hal ini dikarenakan setiap orang
memiliki

ilmu

serta

pengalaman

yang

berbeda-beda

sehingga

menimbulkan persepsi yang berbeda antara individu satu dengan individu


lain. Kondisi tersebut memang harus ada untuk terjadinya persepsi atau
prediksi.

1.6.2
1.6.2.1

Kerangka Konseptual
Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan

menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna


kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan
seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif (Robbins, 2006).
Menurut Rakhmat (2007, h.51), persepsi adalah pengalaman
tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Stimuli yang

10

muncul akan diterima melalui alat indera yang disebut sensasi. Sensasi
merupakan tahap paling awal dalampenerimaan informasi. Jadi, sensasi
adalah proses menangkap stimuli dan persepsi adalah proses memberi
makna pada sensasi.
Menurut Daviddof, persepsi adalah suatu proses yang dilalui oleh
suatu

stimulus

yang

diterima

panca

indera

yang

kemudian

diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari yang


diinderanya itu.
Walgito

(1993)

mengemukakan

bahwa

persepsi

seseorang

merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus


yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan
pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam
menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar
selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang
diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara
individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka
diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian
merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan
pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang
terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa
seseorang akan bertindak.
Atkinson dan Hilgard mengemukakan bahwa persepsi adalah
proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus
dalam lingkungan. Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya
respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat
komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan
serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan
persepsi.

11

1.6.2.2

Proses Persepsi Dalam Diri Individu


Berikut ini merupakan tahapan dari proses persepsi dari dalam diri

individu (Wood,.2010:68)

Gambar 2. Wood, 2010 : 68 Tahapan Tahapan Proses Persepsi menurut Wood


a. Seleksi
Menurut Wood (69 : 2010), seleksi adalah fokus seseorang yang
secara selektif menarik apa yang menjadi perhatiannya dan mengabaikan
yang dianggap tidak penting. Stimulus yang menonjol akan lebih menjadi
perhatian individu. Seperti sesuatu yang tampak berbeda pada umumnya,
suara yang lebih keras dari pada yang lain, atau pun hal-hal yang penting
bagi kita menjadi tahapan awal individu dalam mempersepsikan sesuatu.
b. Organisasi
Setelah melalui proses seleksi dalam diri individu, lebih lanjut
Wood (2010 :70)

menjelaskan dimana rangsangan-rangsangan yang

diterima oleh individu akan dipadukan menjadi satu kesatuan yang


bermakna, yang disebut dalam tahapan organisasi.
c. Interpretasi
Setelah melalui dua tahapan seleksi dan organisasi, tahap yang
terakhir adalah proses intepretasi dimana proses yang subyektif dalam
menciptakan penjelasan atas apa yang kita amati dan alami (Wood,
74:2010).

Interpretasi

mempersepsikan

merupakan

sesuatu

tahapan

dimana

informasiinformasi yang telah terorganisasi.


12

yang
individu

terakhir

dalam

menafsirkan

1.6.2.3

Faktor-Fakor Perbedaan Persepsi


Hal-hal yang menyebabkan perbedaan persepsi antarindividu dan

antar kelompok menurut Sarwono (2002) adalah sebagai berikut


1.

Perhatian

Pada setiap saat ada ratusan, mungkin ribuan rangsangan yang tertangkap
oleh semua indra kita. Tentunya kita tidak mampu menyerapseluruh
rangsangan yang ada di sekitar kita sekaligus karena keterbatasan daya
serap dari persepsi kita, maka kita terpaksa memusatkan perhatian pada
salah satu atau dua objek saja.
2.

Set

Set (mental set) adalah kesiapan mental seseorang untuk menghadapi


sesuatu rangsangan yang akan timbul dengan cara-cara tertentu. Misalnya,
seorang atlet pelari yang siap di garis start mempunyai set bahwa
beberapa detik lagi akan terdengar bunyi pistol saat mana ia harus berlari.
Terlambatnya atau batalnya bunyi pistol, bisa membuat atlet tersebut
kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.
3.

Kebutuhan

Kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang,


akan memengaruhi ersepsi orang tersebut. Dengan demikian, kebutuhankebutuhan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan persepsi
4.

Sistem Nilai

Sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula


terhadap persepsi. Suatu eksperimen di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin mempersepsikan mata
uang logam lebih besar daripada ukuran yang sebenarnya. Gejala ini tiak
terdapat pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya.
5.

Tipe Kepribadian

13

Tipe kepribadian juga akan memengaruhi persepsi. Misalnya, frida dan


linda bekerja di satu kantor yang sama di bawah pengawasan satu orang
atasan yang sama. Frida bertipe tertutup dan pemalu sedangkan linda lebih
terbuka dan percaya diri. Sangat mungkin frida akan mempersepsikan
atasanhya sebagai tokoh yang menakutkan dan perlu di jauhi, sementara
buat linda bosnya itu biasa saja yang dapat diajak bergaul seperti orang
biasa lainnya
6.

Gangguan Kejiwaan

Sebagai gejala normal, ilusi berbeda dari halusinasi dan delusi, yaitu
kesalahan persepsi pada penderita gangguan jiwa. Penyandang gejala
halusinasi visual seakan-akan melihat sesuatu (cahaya, bayangan, hantu
atau malaikat) dan ia percaya betul bahwa yang dilihatnya adalah realita .
sedangkan penyandang halusinasi auditif seakan-akan mendengar suara
tertentu yang diyakininya swebagai realita. Gejala ini bisa terdapat pada
satu rang yang menyebabkan orang itu mengalami delusi, Delusi
merupakan keyakinan bahwa dirinya sesuatu yang tidak sesuai dengan
realita.
Menurut Notoatmodjo (2005), ada banyak faktor yang akan
menyebabkan nstimulus masuk dalam rentang perhatian seseorang. Faktor
tersebut dibagi menjadindua bagian besar yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal adalahnfaktor yang melekat pada objeknya,
sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang
mempersepsikan stimulus tersebut :

1. Faktor Eksternal
a. Kontras
Cara termudah dalam menarik perhatian adalah dengan membuat
kontras baik warna, ukuran, bentuk atau gerakan.
b. Perubahan Intensitas

14

Suara yang berubah dari pelan menjadi keras, atau cahaya yang
berubah dengan intensitas tinggi akan menarik perhatian seseorang.
c. Pengulangan (repetition)
Dengan pengulangan, walaupun pada mulanya stimulus tersebut tidak
ntermasuk dalam rentang perhatian kita, maka akan mendapat
perhatian kita.
d. Sesuatu yang baru (novelty)
Suatu stimulus yang baru akan lebih menarik perhatian kita daripada
sesuatu yang telah kita ketahui.
e. Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak
Suatu stimulus yang menjadi perhatian orang banyak akan menarik
perhatian seseorang.

2. Faktor Internal
a. Pengalaman atau pengetahuan
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan
faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan stimulus yang
kita peroleh. Pengalaman masa lalu atau apa yang telah dipelajari akan
menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi.
b. Harapan (expectation)
Harapan terhadap sesuatu akan mempengaruhi persepsi terhadap
stimulus.
c. Kebutuhan
Kebutuhan

akan

menyebabkan

seseorang

menginterpretasikan

stimulus secara berbeda. Misalnya seseorang yang mendapatkan


undian sebesar 25 juta akan merasa banyak sekali jika ia hanya ingin
membeli sepeda motor, tetapi ia akan merasa sangat sedikit ketika ia
ingin membeli rumah.
d. Motivasi
Motivasi akan mempengaruhi persepsi seseorang. Seseorang yang
termotivasi untuk menjaga kesehatannya akan menginterpretasikan
rokok sebagai sesuatu yang negatif.
e. Emosi
Emosi seseorang akan mempengaruhi persepsinya terhadap stimulus
yang ada. Misalnya seseorang yang sedang jatuh cinta akan
mempersepsikan semuanya serba indah.
15

f. Budaya
Seseorang

dengan

latar

belakang

budaya

yang

sama

akan

menginterpretasikan orang-orang dalam kelompoknya secara berbeda,


namun akan mempersepsikan orang-orang di luar kelompoknya
sebagai sama saja.
Di samping faktor-faktor teknis seperti kejelasan stimulus (mis.
suara yang jernih, gambar yang jelas), kekayaan sumber stimulus (mis.
media multi-channel seperti audio-visual), persepsi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor psikologis. Faktor psikologis ini bahkan terkadang lebih
menentukan bagaimana informasi / pesan / stimulus dipersepsikan.
Faktor yang sangat dominan adalah faktor ekspektansi dari si
penerima informasi sendiri. Ekspektansi ini memberikan kerangka
berpikir atau perceptual set atau mental set tertentu yang menyiapkan
seseorang untuk mempersepsi dengan cara tertentu. Mental set ini
dipengaruhi oleh beberapa hal.
a.Ketersediaan informasi sebelumnya;
Ketiadaan informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi
dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena
itu, dalam bidang pendidikan misalnya, ada materi pelajaran yang harus
terlebih dahulu disampaikan sebelum materi tertentu. Seseorang yang
datang di tengah-tengah diskusi, mungkin akan menangkap hal yang
tidak tepat, lebih karena ia tidak memiliki informasi yang sama dengan
peserta diskusi lainnya. Informasi juga dapat menjadi cues untuk
mempersepsikan sesuatu.
b.Kebutuhan;
Seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu berdasarkan
kebutuhannya saat itu. Contoh sederhana, seseorang akan lebih peka
mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain yang baru saja
makan.
c.Pengalaman masa lalu;

16

Sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman akan sangat mempengaruhi


bagaimana seseorang mempersepsikan sesuatu. Contohnya ketika
seseorang memiliki pengalaman yang baik dengan bos, dia akan
cenderung mempersepsikan bosnya itu sebagai orang baik, walaupun
semua anak buahnya yang lain tidak senang dengan si bos.
1.6.2.4

Sifat Persepsi Sosial


Beberapa prinsip mengenai persepsi sosial sebgaimana dikemukan

oleh Mulyana (2000:75) sebagai berikut :


a. persepsi berdasarkan pengalamam
yaitu persepsi manusia terhadap seseorang, objek atau kejadian dan
reaksi mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman dan
pembelajaran masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek atau
kejadian serupa
b. persepsi bersifat selektif.
setiap manusia sering mendapat rangsangan indrawi sekaligus, untuk
itu perlu selektif dari rangsangan yang penting. untuk ini atensi suatu
rangsangan merupakan faktor utama menentukan selektivitas kita atas
rangsangan tersebut.
c. persepsi bersifat dugaan.
persepsi bersifat dugaan terjadi oleh karena data yang kita peroleh
mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah lengkap. persepsi
merupakan loncatan langung pada kesimpulan.
d. persepsi bersifat evaluatif.
persepsi bersifat evaluatif maksudnya adalah kadangkala orang
menafsirkan pesan sebgai usatu proses kebenaran, akan tetapi
terkadang alat indera dan persepsi kita menipu kita, sehingga kita juga
ragu seberapa dekat persepsi kita dengan realitas yang sebenarnya.
untuk itu dalam mencapai suatu tingkat kebenaran perlu evaluasievaluasi yang seksama
e. persepsi bersifat kontekstual.
persepsi bersifat kontekstual merupakan pengaruh paling kuat dalam
mempersepsi suatu objek. konteks yang melingkungi kita ketika
17

melihat seseorang, sesuatu objek atau sesuau kejadia sangat


mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan prinsipnya yaitu : 1.
kemiripin atau kedekatan dan kelengkapan 2. kita cenderung
mempersepsi suatu rangsangan atau kejadia yang terdiri dari struktur
dan latar belakangnya.

1.6.2.5

Label Peringatan Kesehatan Bergambar atau Pictorial

Helath Warning (PHW)


Pictorial Health Warning (PHW) adalah peringatan kesehatan
berbentuk gambar dan sarana efektif untuk mengkomunikasikan resiko
merokok bagi perokok. Sampai dengan pertengahan tahun 2009, telah
ada 25 negara yang menerapkan peringatan kesehatan berbentuk gambar.
Empat Negara ASEAN yang telah memiliki Undang Undang Peringatan
Kesehatan berbentuk gambar adalah Singapura, Thailand, Brunei
Darussalam dan Malaysia.
Indonesia telah memasukkan pasal-pasal peringatan kesehatan
berbentuk gambar dalam RUU Pengendalian Dampak Tembakau
terhadap Kesehatan yang komprehensif sebagai inisiatif anggota DPR. Di
penghujung tahun 2009, Kementrian Kesehatan mengeluarkan UU. No
36/2009 tentang Kesehatan.
Ada 2 pasal yang mengatur tentang peringatan kesehatan yaitu:
1. Pasal 114 yang berbunyi:
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah
Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.
2. Pasal 199 ayat 1 yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan
rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
tidak

mencantumkan

peringatan

18

kesehatan

berbentuk

gambar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama


5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah terbaru Nomor 109 Tahun 2012
tentang kewajiban mencantumkan Pictorial Health Warning (PHW) atau
peringatan bahaya merokok bergambar pada bungkus rokok, maka
pencantuman gambar dan tulisan tentang bahaya merokok pada kemasan
resmi diterapkan mulai 24 Juni 2014. Tujuannya adalah membatasi
konsumsi tembakau, khususnya kalangan perokok pemula.
Kesehatan masyarakat menganjurkan bungkus rokok sebagai
sarana pendidikan. Label peringatan kesehatan bergambar dinilai mudah
& murah untuk strategi penyuluhan/pendidikan kesehatan masyarakat.
Tujuan lain adalah untuk memberi peringatan kpd masyarakat tentang
bahaya rokok, setiap saat dilihat oleh perokok dan seluruh orang di
tempat

penjualan rokok .Saat mereka membeli dan mengkonsumsi

rokok, perokok yang merokok sebungkus sehari akan terpapar gambar


yang terdapat pada bungkus rokok paling tidak 20 menit per hari.
Ada lima gambar dari peringatan kesehatan yang harus dicantumkan
pada bungkus rokok.
1. Pertama ialah seorang perokok yang mengalami kanker mulut dengan
tulisan "Merokok sebabkan kanker mulut",

19

Gambar.3 Sumber : www.health.detik.com

2. Kedua ialah seorang pria sedang merokok dengan gambar tengkorak


yang terbuat dari asap dan tulisan "Merokok membunuhmu.

20

Gambar 4.
Sumber : www.health.detik.com
3. Ketiga ialah seorang perokok mengalami kanker tenggorokan, dengan
tulisan

di

bawah

bungkusnya

"Merokok

sebabkan

kanker

tenggorokan",

Gambar 5. Sumber : www.health.detik.com

4. Keempat ada seorang pria yang sedang merokok dengan menggendong


bayi dan di bawahnya ada tulisan "Merokok dekat anak berbahaya
bagi mereka".

21

Gambar 6.
Sumber : www.health.detik.com
5. Kelima ada paru-paru yang rusak akibat merokok, tulisan dibawahnya
tercantum "Merokok sebabkan kanker paru-paru dan brkonkitis
kronis"

Gambar 7. Sumber : www.health.detik.com

Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Pencantuman


gambar dan tulisan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan &
belakang seluas 50%, diawali dengan kata Peringatan dg menggunakan

22

huruf berwarna putih dengan dasar hitam, hrs dicetak denganjelas &
mencolok, baik sebagian atau seluruhnya;
2. Gambar harus dicetak berwarna;
3. Jenis huruf harus menggunakan huruf arial bold

& font 10 atau

proporsional dg kemasan, tulisan warna putih di atas latar belakang


hitam.

Gambar 8. Syarat Pencantuman Label Peringatan Kesehatan Bergambar pada


Kemasan. Sumber : Kemenkes RI

1.6.2.6

Remaja
Istilah Adolescence atrau remaja berasal dari kata laitin adolescre

(kata Belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh

23

atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock,1999). Istilah adolescence,


seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti luas mencakup
kematangan mental, emosional, spasial dan fisik.
Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis
masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat
dewasa, usia dimana anak tidak merasa di bawah tingkat orang-orang
yang lebih tua, melainkan berada di dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Menurut Monks (1999) seorang remaja selain mengalami
perkembangan secara fisik juga mengalami perkembangan peran sosial.
Dimana terjadi gejolak emosi dan konflik untuk bertumbuh menjadi
seorang dewasa.
Menurut Bachtiar (2004 : 25) masa remaja merupakan masa sturm
and drang, yaitu periode yang berada dalam dua situasi antara
keguncangan, penderitaan , asmara dan pemberontakan. Menurut
Hurlock (1991, h.206) masa remaja merupakan masa transisi dari masa
anak-anak ke masa dewasa dan dalam masa transisi ini seseorang
individu akan mengalami berbagai perubahan secara fisik dan psikologis.
Batasan usia remaja menurut Monks dkk (1999) adalah usia 12
hingga 21 tahun yang terbagi menjadi ,
1. Usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal,
Pada tahap ini remaja masih merasa heran terhadap perubahanperubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang
menyertai

perubahan-perubahan

tersebut.

Mereka

mulai

mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis


dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini
ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap ego dan
menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa
2. Usia 15-19 tahun, merupakan masa remaja tengah atau madya

24

Pada tahap in, remaja sangta membutuhkan teman-teman. Ada


kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara
lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama
dengan dirinya. pada tahap ini remaja berada delam kondisi
kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atua
peduli, ramai-ramai atau sendiri, optiis atau pesimis, dan sebagainya.
3. Usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir.
Tahap ini adalah masa mendekati yang ditandai dengan pencapaian :
a. minat yang semakin mantap terhadap fungsi fungsi intelek.
b. egonya mencari kesemptan untuk bersatu dengan orang-orang lain
dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
c. terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. egosentrisme (terlalu memustakan perhatian pada diri sendiri)
diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri
dengan orang lain
e. tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat
umum
1.6.2.7 Faktor-Faktor Remaja Awal Memulai Untuk Merokok
Faktor-faktor

remaja

awal

menjadi

perokok

dikarenakan

karakteristik yang muncul ketika menginjak usia remaja awal yaitu 12-15
tahun. Karakteristik periode remaja awal ditandai oleh terjadinya
perubahan-perubahan psikologis seperti :
a. Krisis identitas
b. Jiwa yang labil
c. Meningkatnya kemampuan verbal untuk ekspresi diri,
d. Pentingnya teman dekat/sahabat,

25

e. Berkurangnya rasa hormat terhadap orangtua,


f. kadang-kadang berlaku kasar,
g. Terdapatnya pengaruh teman sebaya (peer group)
Pada fase remaja awal mereka hanya tertarik pada keadaan
sekarang, bukan masa depan, sedangkan secara seksual mulai timbul rasa
malu, ketertarikan terhadap lawan jenis tetapi masih bermain
berkelompok dan mulai bereksperimen dengan tubuh seperti masturbasi.
Selanjutnya pada periode remaja awal, anak juga mulai melakukan
eksperimen dengan rokok, alkohol, atau narkoba. Peran peer group
sangat dominan, mereka berusaha membentuk kelompok, bertingkah laku
sama, berpenampilan sama, mempunyai bahasa dan kode atau isyarat
yang sama.
Faktor lain kemungkinan penyebab remaja merokok diantaranya adalah :
1. Pengaruh Orangtua
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak anak muda
yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua
tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman
fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anakanak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia
(Atkinson dalam Efri Widiyanti. 2007)
2. Pengaruh teman
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok
maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga
dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang
terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau
bahkan teman teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja
tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja
perokok terdapat 87% mempunyai sekurang - kurangnya satu atau lebih

26

sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Al Bachri
dalam Efri Widianti, 2007).
3. Faktor Kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin
melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari
kebosanan. Namun satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada
pengguna obat - obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Orang
yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih
mudah menjadi pengguna dibandingkan dengan mereka yang memiliki
skor yang rendah (Atkinson dalam Efri Widianti, 2007).
4. Pengaruh iklan
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan
gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour,
membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang
ada dalam iklan tersebut. (Mari Juniarti dalam Efri Widianti, 2007).

1.6.2.8 Remaja Perempuan dan Rokok


Remaja merupakan tahap pencarian jati diri yang mengoptimalkan
segala fasilitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Fase remaja
merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat
potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi maupun fisik.
Kepribadian remaja dibentuk oleh gagasan-gagasan, kepercayaankepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang diajarkan kepada remaja
oleh lingkungan budayanya, disebut juga sebagai proses sosialisasi.
Remaja memiliki dorongan yang menyebabkan remaja mau mengikuti
tuntutan lingkungan yaitu kecemasan akan menghadapi hukuman,
ancaman dan tidak adanya kasih sayang dari orang lain. Remaja
cenderung memilih norma-norma yang dianut oleh kawan-kawan
sekelompoknya karena norma itulah yang berlaku di lingkungannya.

27

Remaja, khususnya remaja perempuan akan mengikuti normanorma tersebut sebagai ukuran moralnya

karena remaja putri

beranggapan bahwa kelompoknya itulah yang patut dijadikan sebagai


pedoman (frame of reference) dalam bertingkah laku dalam masyarakat
(Wiryanto, 2000).
Kahn (dalam Hasanat, 1994) menyatakan bahwa perempuan
mempunyai kehangatan emosionalitas, sikap hati-hati dan sesnitif serta
kondisi yang tinggi daripada laki-laki. Lone (1986) menerangkan
penyebab mengapa wanita lebih bersifat emosional daripada laki-laki.
Hal tersebut terjadi karena wanita memiliki kondisi emosi didasarkan
peran sosial yang diberikan oleh masyarakat, wanita harus mengontrol
perilaku agresif dan asertifnya, tidak seperti peran sosial laki-laki. Hal ini
menyebabkan wanita kurang dapat mengontrol lingkungannya, yang
pada akhirnya menimbulkan kecemasan-kecemasan.
Rokok di tahun 2020 diperkirakan menjadi penyumbang angka
kematian paling besar di samping penyebab lainnya. Sebagian besar
perempuan tahu merokok merupakan kebiasaan yang merugikan
kesehatan. Kebiasaan merokok pada remaja perempuan terbukti akan
memberikan dampak yang kurang baik terhadap tubuh maupun kesehatan
reproduksinya ketika mereka menginjak usia dewasa dan matang.
Dibawah ini merupakan dampak buruk rokok di kalangan perempuan :
1. Nikotin yang menjadi biang kerok timbulnya gangguan haid pada
perempuan perokok. Zat yang menyebabkan seseorang ketagihan
merokok ini, ternyata mempengaruhi metabolisme estrogen. Sebagai
hormon yang salah satu tugasnya mengatur proses haid, kadar estrogen
harus cukup dalam tubuh. Gangguan pada metabolismenya akan
menyebabkan haid tidak teratur. Bahkan dilaporkan bahwa perokok
wanita akan mengalami nyeri perut yang lebih berat saat haid tiba.

28

2. Merokok berhubungan dengan risiko tinggi untuk mengalami kelainan


dalam kehamilan, antara lain ketuban pecah sebelum waktunya
(KPSW) dan gangguan pada plasenta (ari-ari). Kebiasaan merokok pun
dikaitkan dengan kelahiran prematur dan berat badan bayi yang
dilahirkan akan cenderung rendah. Bayi yang terlahir dengan berat
badan rendah biasanya memiliki risiko tinggi untuk mengalami
kesakitan bahkan kematian.
3. Perokok wanita juga rentan terserang Kanker Serviks atau kanker leher
rahim yang terjadi pada serviks uterus. Serviks uterus merupakan
daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke
rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang vagina. Kanker
mulut rahim ditandai dengan tumbuhnya sel-sel pada mulut rahim yang
tidak lazim (abnormal). Sebelum menjadi sel kanker, terjadi beberapa
perubahan yang alami sel tersebut bertahun-tahun. Penyebab kanker
leher rahim adalah human papilloma virus (HPV). HPV ini muncul
antara lain akibat perilaku sering berganti-ganti pasangan seks.

1.7 Metode Penelitian


1.7.1

Metode dan Pendekatan Penelitian


Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan

penelitian

ini

adalah

metode

penelitian

kualitatif. Alasan

peneliti

menggunakan metode ini karena metode penelitian kualitiatif lebih cocok


digunakan untuk penelitian yang berkaitan dengan kehidupan manusia yang
senantiasa mengalami perubahan.
Metode kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan
masalah manusia. Pada metode ini, peneliti membuat suatu gambaran
kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15).

29

Selain itu, Deddy Mulyana mengatakan bahwa metode kualitatif


terutama layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan alamiah
ketimbang dalam lingkungan yang agak artifisial(Mulyana 2008:13).
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan peneliti adalah
deskriptif. Penelitian deskriptif hanya memaparakan situasi atau peristiwa,
tidak mencari dan menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau
membuat prediksi (Rakhmat, 2009:24). Penelitian deskriptif juga dapat
diuraikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian suatu
lembaga, masyarakat, dan lain-lain.
Pada penelitian ini, peneliti menggambarkan fakta dan peristiwa yang
terjadi di Kabupaten Bandung. Kemudian mencatat, mendeskripsikan, dan
menganalisis satu per satu kejadian yang berhubungan dengan permasalahan
yang akan diteliti yang terjadi di daerah tersebut.

1.7.2

Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini meliputi faktor-faktor psikologis

yang mempengaruhi perbedaan persepsi yaitu :


1. Ketersediaan informasi sebelumnya/ pengetahuan
Informasi atau pengetahuan perokok remaja perempuan ketika menerima
stimulus yang baru bagi dirinya saat mempersepsikan label peringatan
keseatan bergambar.
2. .Kebutuhan;
Perokok remaja perempuan akan cenderung mempersepsikan sesuatu
berdasarkan kebutuhannya saat itu.
3. Pengalaman masa lalu;

30

Sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman perokok remaja perempuan


mengenai

label

peringatan

kesehatan

bergambar

akan

sangat

mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan sesuatu.


1.7.2.1 Subjek Penelitian
Azwar (1998:77) mengatakan bahwa populasi sebagai suatu
kelompok subyek yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik
bersama yang mebedakannya dari kelompok subyek lain. lebih lanjut
Azwar menegaskan, sebagai suatu populasi kelompok subjek ini harus
memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dari
kelompok lain.
Karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Subjek adalah remaja perempuan yang merupakan perokok aktif
setidaknya merokok 1 batang per hari atau pernah merasakan rokok.
2. Subjek memiliki rentang usia antara 12 sampai dengan 15 tahun yang
termasuk dalam kategori remaja awal (Monks dkk, 1999). Pada
remaja awal, mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran ditambah
berkurangnya pengendalian terhadap ego
3. Subjek tinggal di wilayah kabupaten bandung. Dimana data riset
membuktikan bahwa perokok remaja di kabupaten Bandung lebih
tinggi yaitu 12,8% dari pada jumlah perokok remaja di kota Bandung
yaitu 5,7 % (Riskesdas, 2010)
3. Subjek mengetahui adanya label peringatan kesehatan bergambar pada
kemasan rokok.
4. Subjek yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai
informasi.
5. Subjek yang pada mulanya tergolong cukup asing dengan peneliti
sehingga lebih valid dalam menyampaikan pendapat.
6. Subjek bersedia untuk diwawancara dan direkam aktivitasnya selama
wawancara atau selama penelitian berlangsung.

31

Subjek Penelitian ini dilakukan di beberapa Sekolah Menengah


Pertama (SMP) di kabupaten Bandung. Dari beberapa sekolah tersebut
dilakukan pra-riset untuk menentukan siapa saja partisipan yang sesuai
dengan kriteria untuk menjadi informan dalam penelitian ini.

1.7.2.2 Objek Penelitian


Objek penelitian ini adalah tentang persepsi label peringatan
kesehatan bergambar oleh perokok remaja perempuan. Yang dimaksud
persepsi disini adalah bagaimana perokok remaja perempuan menanggapi
stimulus berupa gambar pada label peringatan kesehatan bergambar pada
kemasan rokok.

1.7.3

Teknik Analisis Data


Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis interaktif. Dalam model ini ada tiga komponen analisis, yaitu :
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Untuk lebih
jelasnya masing-masing tahap dijabarkan sebagai berikut :

a. Reduksi Data
Proses penyederhanaan dimulai dari data kasar yang berupa data
naratif diambil dari data-data yang sesuai dengan tujuan penelitian
dengan membuat rangkuman yang inti. Data yang tidak perlu dipisahkan
dari data, jadi agar tidak bias. Selanjutnya dibuat berdasarkan poin-poin
yang sistematis. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama
penelitian kualitatif berlangsung hingga sesudah penelitian lapangan
sampai laporan akhir disusun. Reduksi data merupakan komponen
pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi dari field note. Proses ini berlangsung

32

terus selama penelitian. Bahkan prosesnya diawali sebelum pelaksanaan


pengumpulan data.
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Dimana sebagai komponen kedua, sajian data merupakan suatu rakitan
organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan
simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian ini merupakan suatu rakitan
organisasi informasi, diskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan
simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian ini merupakan rakitan
kalimat yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga bila dibaca
akan memudahkan untuk memahami berbagai hal yang terjadi, serta
memungkinkan peneliti untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun
tindakan lain berdasarkan pemahamannya tersebut.
c. Penarikan Kesimpulan
Merumuskan kesimpulan berdasarkan semua hal yang terdapat
dalam reduksi data dan sajian data. Jika kesimpulan dirasa kurang
mantap, maka penulis akan menggali dalam field note, tetapi jika
didalam field note belum diperoleh data yang diinginkan, maka penulis
mencari lagi data di lapangan. Kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup
mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Kesimpulan akhir
yang ditulis merupakan rangkaian keadaan dari yang belum jelas
kemudian meningkat sampai pada pernyataan yang telah memiliki
landasan yang kuat dari proses analisis terhadap fenomena yang ada.
(Sutopo, 2002: 91).
1.7.4

Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data


Untuk menguji kebenaran dari data yang terkumpul maka peneliti

melakukan triangulasi. Triangulasi merupakan cara yang paling umum


digunakan bagi peningkatan validitas dalam penelitian kualitatif.

33

Menurut Herdiansyah (2010:201), triangulasi adalah penggunaan


dua atau lebih sumber untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh
tentang suatu fenomena yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini, peniliti menggunakan data triangulation
(triangulasi dalam hal metode pengumpulan data), yaitu penggunaan
lebih dari satu metode pengumpulan data dalam kasus tunggal.
Susan Stainback (1998) menyatakan bahwa
the aim is not to determine the truth about some social
phenomenon, rather the purpose of triangulation is to increase ones
understanding of whatever is being investigated.
Tujuan dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang
beberapa fenomena tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti
terhadap apa yang telah ditemukan.
Triangulasi yang digunakan untuk pemeriksa keabsahan data pada
penelitian ini yaitu triangulasi teknik. Peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari
sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif,
wawancara mendalam, dan studi pustaka untuk sumber data yang sama
secara serempak.
1.7.5

Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara Mendalam atau In Depth Interview


Teknik pengumpulan data dengan wawancara dilakukan untuk
studi pendahuluan dalam menemukan gambaran dari objek yang diteliti,
juga untuk memperoleh data dan informasi secara mendalam dari
narasumber. Penulis menggunakan teknik wawancara untuk menggali
pandangan subjektif dari perokok remaja perempuan di Kabupaten
Bandung yang berkaitan dengan kepentingan penelitian ini.

34

Pendapat Esterberg yang disadur oleh Sugiyono mendefinisikan


wawancara sebagai berikut:
A meeting two persons to exchange information and idea through
question and responses, resulting in communication and joint
construction of meaning about a particular topic,
wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu(Sugiyono 2010:231)
Peneliti menggunakan pedoman pertanyaan wawancara yang
berupa garis-garis besar pertanyaan wawancara yang telah dibuat
sebelumnya, kemudian mengingat dan mencatat data dari pernyataan
narasumber yang dianggap penting dan diperlukan untuk penelitian ini ke
dalam catatan harian untuk disusun dan dianalisis secara sistematis.
2. Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka atau telaah
dokumen dilakukan oleh penulis untuk memperoleh data tambahan.
Teknik ini dilakukan oleh penulis sebelum terjun ke lapangan, ketika
proses penelitian di lapangan, dan setelah penelitian dilakukan. Peneliti
mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber tertulis yang
dapat membantu dalam melakukan penelitian ini. Bogdan menyatakan
in most tradition of qualitative research, the phrase personal
documentation is used broadly to refer to any forst person narative
produced by an individual which describes his or her own actions,
experience and belief (Sugiyono 2010:240).
Penulis mengumpulkan, membaca, dan menelaah data yang
berbentuk tulisan dan gambar dari berbagai sumber tertulis dan jurnal
elektronik yang berkaitan dengan lebel peringatan kesehatan bergambar
atau Pictorial Health Warning (PWH) , juga mengenai perokok remaja
perempuan di Kabupaten Bandung.
3. Observasi

35

Marshall (1995) menyatakan bahwa through observation, the


researcher learn about behavior and the meaning attached to those
behavior. Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan
makna dari perilaku tersebut.
Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang sesuai
dengan sifat penelitian karena mengadakan pengamatan terlibat, dimana
peneliti juga menjadi instrument atau alat dalam penelitian. Sehingga
peneliti harus mencari data sendiri dengan terjun langsung atau
mengamati dan mencari langsung ke beberapa informan yang telah
ditentukan sebagai sumber data. Pada metode ini, penulis menjadi bagian
daris setiap aktivitas yang ada dalam organisasi sasaran. Dalam metode
observasi ini peneliti memilih jenis observasi (Faisol, 1990 : 78) yaitu :
a. Observasi pasrtisipatif, adalah observasi yang sekaligus melibatkan diri
selaku orang dalam pada situasi tertentu. Hal ini agar memudahkan
peneliti memperoleh data atau informasi dengan mudah dan leluasa.
Akan tetapi pada situasi lain, peneliti sebagai orang luar, hal ini untuk
menjaga objektifitas data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
permasalahan yang ada, karena tingkat kedalaman hasil observasi
partisipatif ini sangat bergantung pada kesempatan atau waktu penelitian
dilapangan.
b. Observasi terus terang dan tersamar, pada kondisi-kondisi tertentu peneliti
perlu menggunakan observasi secara secara terang-terangan, dengan
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian terlebih dahulu, agar
mempermudah mendapatkan data yang diinginkan.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang
pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Data tersebut
didapatkan langsung dari responden dan informan dengan melakukan
wawancara mendalam, serta hasil pengamatan langsung. Sementara data
sekunder didapat dari studi pustaka.

36

1.8 Lokasi Dan Waktu Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan teori-teori yang diuraikan diatas,
peneliti menentukan lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Dengan
alasan bahwa jumlah perokok remaja usia 10-19 tahun di kabupaten
Bandung persentasenya lebih tinggi dari pada di kota Bandung
(Riskesdas Jawa Barat, 2010). Penelitian akan dilakukan selama 6 bulan
terhitung dari bulan September-Fenruari 2014. Dibawah ini merupakan
jadwal penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.

Bulan
Kegiatan

Septembe

Oktobe

Novembe

Desembe

Januar

Februar

Pra Penelitian
Menemukan
Fenomena
atau masalah
Pengajuan
Judul
Survei
Pendahuluan
Penyusunan
Proposal
Penelitian
Tinjauan
Studi pustaka
Membangun
hubungan
dengan
informan

37

Wawancara
Informan
Triangulasi
Pasca Penelitian
Penyusunan
laporan
penelitian

Daftar Pustaka

Sumber Buku :
Delemarre-van de Waal. 2005. Secular Trend of Timing of Puberty. New York:
Karger
Handayani, Abni. 2012. Perempuan Berbicara Kretek. Jakarta: Indonesia
Berdikari.
Hurlock, Elizabeth, B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan Istiwidayanti &Soedjarno). Jakarta:
Penerbit Erlangga.

38

Kartini, Kartono. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar


Maju
Lone, P. & Shrene, A. 1986. Working Woman: A Guide to Fitness and Health.
Toronto : The Mosby, Co.
Meleong, Lexy J, Prof., Dr., M.A. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif.
Bandung, Remaja Rosda Karya.
Monks, FJ & Knoers, AMP, Haditono. 1999. Psikologi Perkembangan :
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (Terjemahan Siti Rahayu Haditono).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mulyana, Deddy. 2009. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Raco, J.R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Rahmat, Jalaludin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori
Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Semarang: PT. Gramedia.
Sugiyono, Prof., Dr. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Grasindo: Jakarta
Wood, T. J. 2010. Interpersonal communication. Boston: Wadsworth.

Sumber Jurnal :

39

Aditama TI. 2006. Tubrkulosis, Rokok, Dan Perempuan. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia
Departmen Kesehatan RI. 2009. Laporan Hail Riset Kesehatan Dasar Provinsi
Jawa Barat. Jakarta : Departmen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan RI. 2006. Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Hasanat, N. 1994. Apakah Peremuan lebih Depresif dari Laki-laki?. Yogyakarta :
Fakultas Psikologi UGM
Huebner A. Adolescent growth and development transition. Diunduh dari
http://www.ext.vt.edu/ pubs/family/350-380.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Kebijakan Peringatan Kesehatan Bergambar
pada Bungkus Rokok. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI
Sih Martini. 2014. Makna Merokok pada Remaja Putri Perokok. Surabaya :
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Steinberg L. The fundamental changes of adolescent: biological transition
Diunduh darihttp://highered.mcgraw-hill.com/sites/.
Sumber Internet:
http://www.who.int Tobacco in Advertising &Youth (diakses pada 16 September
2014, pukul 14:15)
http://dinkes.langkatkab.go.id 22 Anak Dan Remaja Rentan Menjadi Perokok
Pemula (diakses pada 16 September 2014, pukul 14:20)
http://tcsc-indonesia.org. Fact Sheet Peringatan Label Kesehatan (diakses pada
16 September 2014, pukul 15:55)
http://www.ash.org Young People and Smoking (diakses pada 16 September 2014,
pukul 19:15 )

40

http://www.depkes.go.id Peraturan Kementrian Keshatan Mengenai Rokok


(diakses pada 16 September 2014, pukul 20:35)
http://health.okezone.com Gambar Tulisan Bahaya Rokok Bikin Takut Perokok
Pemula (diakses pada 16 September 2014, pukul 20:59)
http://www.kpai.go.id 70 persen Remaja Indonesia Perokok Pemula (diakses pada
16 September 2014, pukul 21:47)
http://gayahidupwanita.blogspot.com Wanita Dan Rokok (Diakses pada 15
November 2014 , pukul 12:32 )
http://www.cancer.org Women and Smoking (Diakses pada 15 November 2014 ,
pukul 13.01)
http://swa.co.id Remaja Dilibatkan Menekan Jumlahpe Rokok (Diakses pada 16
November 2014, pukul 21:42)
http://www.indonesiatobacco.com Mencegah Perokok Pemula Dengan PHW
(Diakses pada 16 November 2014, pukul 21:43)

Sumber Skripsi :
Mahmudin. 2014. Persepsi Perokok Aktif Dalam Menanggapi Label Peringatan
Bahaya Merokok. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga. Yogyakarta
Widianti, Efri. 2007. Bahaya Merokok, Penyimpangan Seks pada Remaja, dan
Bahaya Penyalahgunaan Minuman Keras/Narkoba. Universitas Padjadajaran

Sumber Lain :

41

WHO. 2013. report on the global tobacco epidemic

42

Вам также может понравиться