Вы находитесь на странице: 1из 14

ANALISIS IMPLEMENTASI

CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY (CSR)


(STUDI KASUS PADA PT FREEPORT INDONESIA)
AGUNG PRIHANTORO, SE, MM
STMIK AKI PATI
Jl. Kamandowo 13 Pati, Jawa Tengah
email : prihantoroagung&yahoo.com
Abstract
Ethics plays important role in organization,both public and private. Organizational ethics
usually rise and develop in accordance with the organizational development. Ethics is a code of
organization conveys moral integrity and consistent values in position to people/society. The neoliberal
fenomenona existence has appeared business ethics into social responsibility activity which well known
as CSR.
It is a business commitment that role in economic developing, support cooperation between
employer and the employee, create social communication to rise the quality of life around the sociaty
through the best ways for activity and companys development. Its implementation depends on the ethics
values belongs to the management as the stategic decision maker. Beside it necessary for the government
as the stakeholder in making the regulation to control it. The society also can be a control on the CSR
implementation in accordance with the regulation.
Key words : Ethics, Organizational Ethics, Corporate Social Responbility

Tanggung jawab sosial perusahaan atau


Corporate Sosial Responsibility (CSR) dengan
etika bisnis akhir-akhir ini sangat sering terdengar.
Banyak perusahaan dituntut oleh masyarakat
sekitarnya karena telah merusak lingkungan sekitar
perusahaan, merebut kekayaan yang seharusnya
menjadi hak bagi kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Akibat dari semua itu adalah
masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi
menderita. Banyak kasus yang terjadi terkait
dengan Corporate Sosial Responsibility (CSR).
Beberapa tahun terakhir ada beberapa berita yang
mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal
dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya
lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang
disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui
memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang
penggunaannya sejak tahun 2004.
Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa
penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun
terkesan lebih mengutamakan penyelamatan asetasetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan
sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski
perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan
berjanji akan menarik produknya, ada kesan
permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang

kandungannya bisa menyebabkan kanker itu


terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk
berbahaya itu masih beredar di pasaran. Kondisi
lain adalah adanya kondisi masyarakat Irian yang
masih terbelakang, sementara hasil kekayaan yang
dimiliki wilayah tersebut diambil oleh PT.
FREEPORT tanpa meningkatkan kesejahterahaan
masyarakat sekitarnya.
Atas
kasus-kasus
itu,
perusahaanperusahaan tersebut terkesan melarikan diri dari
tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua
dikejutkan dengan pemakaian formalin pada
pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta
pembuatan terasi dengan bahan yang sudah
berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan
sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia
melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada
kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang
diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada
pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama
bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal
bagishareholders. Fokus itu membuat perusahaan
yang berpikiran pendek dengan segala cara
berupaya
melakukan
hal-hal
yang
bisa
meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin
ketat dan konsumen yang kian rewel sering
menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan
etika dalam berbisnis.
Berkaca pada beberapa contoh kasus itu,
sudah saatnya kita merenungkan kembali cara

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

25

pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai


dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis
tidak akan memberi keuntungan secara langsung.
Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis
harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran
masyarakat, terutama melalui pemerintah, badanbadan pengawasan, LSM, media, dan konsumen
yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu
meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di
Indonesia. Etika memainkan peranan penting dalam
kehidupan organisasi, baik publik maupun swasta.
Etika organisasi biasanya tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan organisasi.
Kode etik atau yang sejenis tumbuh dari
misi, visi, strategi, dan nilai-nilai organisasi. Kode
etik organisasi yang dipikirkan dengan seksama
dan efektif berfungsi sebagai pedoman dalam
pengambilan setiap keputusan organisasi yang etis
dengan menyeimbangkan semua kepentingan yang
beragam. Fenomena neoliberal inilah yang diikuti
dengan kemunculan secara paralel tuntutan
masyarakat sipil terhadap tanggung jawab sosial
perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(CSR). Semakin menguatnya dominasi entitas
bisnis dalam rantai perusahaan yang berada pada
regional negara-negara Utara dan Selatan telah
menciptakan tuntutan dan konsekuensi logis agar
mereka memperhatikan hak asasi manusia, hak
para pekerja, maupun komitmen terhadap
pelestarian lingkungan hidup.
Tidak mengherankan apabila masyarakat
(sebagai stakeholders) menuntut agar perusahaan
lebih memperhatikan keadaan stakeholders
daripada shareholdersnya. Masyarakat telah
meningkatkan perhatian dan kepekaan mereka
terhadap seluruh proses produksi yang dilakukan
oleh perusahaan yang kelak hasil produk tersebut
akan mereka konsumsi. Peningkatan perhatian dan
kepekaan masyarakat awam tersebut telah turut
memacu pihak pelaku modal untuk meningkatkan
aplikasi CSR mereka. Para pelaku perusahaan,
yang biasanya
mendapatkan keistimewaan
kekebalan hukum dari negara, sudah tidak dapat
mengelak lagi dari perhatian dan kepekaan
masyarakat terhadap dampak negatif sosial
lingkungan yang telah mereka hasilkan selama ini.
Malah
sebaliknya,
pengalaman
membuktikan bahwa keberlanjutan usaha produksi
banyak dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan
aplikasi CSR perusahaan terhadap para pemangku
kepentingan. Riset yang dilakukan oleh Sophia
Malkasian (2004) menunjukkan bahwa perusahaanperusahaan yang terus hidup adalah perusahaan
yang tidak hanya mengejar keuntungan deviden
semata. Saat perusahaan dapat membina hubungan
baik dengan para pemangku kepentingan, mereka
akan mendapatkan perlindungan dan keamanan
dalam menjalankan usahanya, ataupun sebaliknya.

Dengan kondisi tersebut menunjukkan


adanya hubungan resiprokal (timbal balik) antara
perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan dan
masyarakat adalah pasangan hidup yang saling
memberi dan membutuhkan. Dua aspek penting
harus diperhatikan agar tercipta kondisi sinergis
antara keduanya sehingga keberadaan perusahaan
membawa perubahan ke arah perbaikan dan
peningkatan taraf hidup masyarakat. Dari aspek
ekonomi,
perusahaan
harus
berorientasi
mendapatkan keuntungan (profit) dan dari aspek
sosial, perusahaan harus memberikan kontribusi
secara langsung kepada masyarakat yaitu
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan
lingkungannya. Perusahaan tidak hanya dihadapkan
pada tanggung jawab yang berpijak pada perolehan
keuntungan/laba perusahaan semata, tetapi juga
harus memperhatikan tanggung jawab sosial dan
lingkungannya.
Jika masyarakat (terutama masyarakat
sekitar)
menganggap
perusahaan
tidak
memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya
serta tidak merasakan kontribusi secara langsung
bahkan
merasakan
dampak
negatif
dari
beroperasinya sebuah perusahaan maka kondisi itu
akan menimbulkan resistensi masyarakat atau
gejolak sosial seperti kasus yang mengenai
PT.FREEPORT Indonesia. Eksplorasi sumberdaya
alam yang dilakukan oleh PT.FREEPORT selama
bertahun-tahun dan telah menghasilkan triliunan
rupiah ke dalam perusahaan tersebut tidak
diimbangi oleh perhatian khusus kepada
masyarakat sekitar pertambangan yang mana masih
hidup dalam garis kemiskinan bahkan di daerahdaerah tertentu masih ditemui kasus penduduk yang
meninggal karena kelaparan.
Dengan kondisi tersebut maka perusahaan
perlu membangun konsep Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam aktivitas perusahaan.
Komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam
pembangunan bangsa dengan memperhatikan aspek
finansial atau ekonomi, sosial, dan lingkungan
itulah yang menjadi isu utama dari konsep
Corporate Social Responsibility (CSR) atau
tanggung jawab sosial perusahaan. Implementasi
CSR merupakan perwujudan komitmen yang
dibangun oleh perusahaan untuk memberikan
kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat. Adanya CSR di Indonesia diatur dalam
Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat 1 Undangundang tersebut menyebutkan bahwa Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Dalam Undang-undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pasal 15
(b) menyatakan bahwa setiap penanam modal

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

26

berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial


perusahaan.
2. KAJIAN TEORI
2.1. Epistemologi Etika Bisnis
Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh
Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral,
akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasardasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan;
Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila.
Sedangkan secara etika (ethical) diartikan pantas,
layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika
penggunaannya
sering
dipertukarkan
dan
disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna
dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika,
sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi
oleh etika. Demikian pula perusahaan yang
memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap
karyawan memiliki moral yang baik. Sim (2003)
dalam bukunya Ethics and Corporate Social
ResponsibilityWhy Giants Fall, menyebutkan:
Ethics is a philosophical term derived from the
Greek word ethos, meaning character or custom.
This definition is germane to effective leadership in
organizations in that it connotes an organization
code conveying moral integrity and consistent
values in service to the public. (Etika adalah suatu
istilah filosofis yang berasal dari Kata Yunani "
Etos," yang berarti karakter atau kebiasaan.
Definisi tersebut berhubungan erat dengan
kepemimpinan yang efektif di dalam suatu
organisasi. Hal itu dapat diartikan juga sebagai
suatu kode organisasi yang menyampaikan
integritas moral dan nilai-nilai konsisten dalam
jabatan kepada orang banyak/masyarakat.
Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
1. Etika adalah suatu disiplin ilmu yang
membedakan apa yang baik dan buruk berkaitan
dengan hutang budi dan kewajiban, dapat juga
diartikan sebagai satuan prinsip moral atau nilainilai.
2. Perilaku etis, yaitu suatu yang diterima sebagai
moral baik dan kebenaran, dan lawan dari
keburukan atau kesalahan dalam suatu perilaku
tertentu.
3. Kesusilaan adalah suatu sistem atau doktrin dari
moral yang mengacu pada prinsip kebenaran
dan kesalahan dalam suatu perilaku.
Steade et al. (1984:584) bahwa menunjuk
sesuatu secara tepat yang merupakan perilaku
bisnis secara etik bukanlah suatu tugas gampang.
Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan
perilaku secara etik (ethical behavior) dengan
perilaku legal (legal behavior) yaitu, jika suatu
tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat
diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk
manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada
bisnis harus dipatuhi. Namun, mereka melihat

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

batas-batas legal ini sebagai suatu titik


pemberangkatan untuk perilaku bisnis dan tindakan
manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika
merefleksikan hukum ditambah tindakan etika
masyarakat, moral (kesusilaan), dan nilai-nilai
seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada
gilirannya formulasi hukum mengikuti suatu
tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara
per lahan muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan
give-and take antara apa yang legal dan apa
yang cara etik.
Etika adalah suatu cabang dari filosofi
yang berkaitan dengan kebaikan (rightness) atau
moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata
etik juga berhubungan dengan objek kelakuan
manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika
kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat,
akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika
sebagai objek perilaku manusia dalam bidang
bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai
aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari
perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik
(good) atau buruk (bad). Catatan tanda kutip pada
kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan
bahwa penentuan baik dan buruk adalah suatu
masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan
bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang
bekaitan dengan etika adalah keputusan secara
individual, yang menimbulkan konskuensi.
Keputusan ini merefleksikan banyak faktor,
termasuk moral dan nilai- nilai individu dan
masyarakat. Secara sederhana etika bisnis dapat
diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak
mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus
diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis
dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang
dijalankan.
Etika bisnis sangat penting mengingat
dunia usaha tidak lepas dari elemen- elemen
lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis
tidak hanya mempunyai hubungan dengan orangorang maupun badan hukum sebagai pemasok,
pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain
(Dalimunthe, dalam Komenaung (2005)). Etika dan
moral (moralitas) sering digunakan secara
bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti
yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos
dari mana ethics berasal dan kata latin mores dari
mana morals diturunkan keduanya artinya
kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral
(morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di
dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen
normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari
(inevitable normative elements). Dengan demikian,
moral berhubungan dengan pembicaraan tidak
hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa
masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya.

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

27

Elemen-elemen
normatif
ini,
atau
keharusan (oughtness), konflik dengan aspekaspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values)
adalah standar kultural dari perilaku yang
diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis
dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan
demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai
dalam pembuatan keputusan secara etik apakah
mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama,
manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas
mereka terhadap permasalahan etika. Mereka
menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas
nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini
pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan
masyarakat.

dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main


dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang
seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya
menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha
adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah
buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk
nasional terkena batasan di pasar internasional.
Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang
mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia
dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber
alam yang sangat berharga. Perilaku etik penting
diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang
dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis
tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik
lingkup makro maupun mikro, yang akan
dijelaskan sebagai berikut:

2.2 Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis


Perubahan perdagangan dunia menuntut
segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan
ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa
yang harus ditempuh? Didalam bisnis tidak jarang
berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara.
Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun
ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau
sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak
motor perekonomian akan berubah menjadi
binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela
dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan
kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari
semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar
janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat,
tidak memperhatikan sumber daya alam maupun
tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir
contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika
bisnis.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu
bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada
masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat
yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta
etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik
etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika
bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan
langsung maupun tidak langsung. Dengan
memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu
dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis
terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu
negara, tetapi meliputi berbagai negara yang
terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia
yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan
nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera
dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum
yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal
dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang
ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihakpihak lain yang terkait begitu kompleks.
Akibatnya, ketika dunia usaha melaju
pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

1. Perspektif Makro
Pertumbuhan suatu negara tergantung pada
market system yang berperan lebih efektif dan
efisien daripada command system dalam
mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi
yang diperlukanmarket system untuk dapat efektif,
yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti
swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan
barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi
yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika
salah satu subsistem dalam market system
melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini
akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan
menghambat pertumbuhan sistem secara makro.
Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif
bisnis makro :
1. Penyogokan atau suap. Hal ini akan
mengakibatkan
berkurangnya
kebebasan
memilih dengan cara mempengaruhi pengambil
keputusan.
2. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif
antara pelaku bisnis dengan ancaman atau
memaksa untuk tidak berhubungan dengan
pihak lain dalam bisnis.
3. Deceptive information
4. Pecurian dan penggelapan
5. Unfair discrimination.
2. Perspektif Bisnis Mikro
Dalam lingkup ini perilaku etik identik
dengan kepercayaan atau trust. Dalam lingkup
mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,
perusahaan,
konsumen,
karyawan
saling
berhubungan kegiatan bisnis
yang akan
berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai
penting dampaknya untuk selalu menjaga etika,
sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan
bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral
merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik
merupakan dasar kajian dalam pengambilan
keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

28

etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip


yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik
dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip
konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah
konsep etika yang berfokus pada konsekuensi
pengambilan keputusan.
Artinya keputusan dinilai etik atau tidak
berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan
tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of
Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian
peraturan
yang
digunakan
sebagai
petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan
berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a)
Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia
yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak
saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip
Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait
dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga
jenis yaitu: (1) Keadilan distributive,yaitu keadilan
yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan
beban antar anggota kelompok sesuai dengan
kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap
benefit.Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan,
kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban
terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social;
(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait
dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas
kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab
atas konsekuensi negatif atas tindakan yang
dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas
paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan
kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan
kompensasi
bagi
pihak
yang
dirugikan.
Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan
medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.
Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat
menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa
manusia.
Apabila moral merupakan suatu pendorong
orang untuk melakukan kebaikan, maka etika
bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang
merupakan kesepakatan secara rela dari semua
anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang
bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan
bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika
sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok
masyarakat akan dapat membimbing dan
mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan
yang terpuji (good conduct) yang harus selalu
dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis
sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang
berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang
terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk
mewujudkan etika dalam berbisnis perlu
pembicaraan yang transparan antara semua pihak,
baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun
bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang

menjalankan etika sementara pihak lain berpijak


kepada apa yang mereka inginkan.
Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak
mengetahui dan menyetujui adanya moral dan
etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan
bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi,
jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam
berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara
satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan
yang bersifat global yang mengarah kepada suatu
aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian. Dalam menciptakan etika bisnis,
Dalimunthe
(2004)
menganjurkan
untuk
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu
mengendalikan diri mereka masingmasing untuk
tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam
bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri
tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main
curang atau memakan pihak lain dengan
menggunakan keuntungan tersebut. Walau
keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi
pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus
memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.
Inilah etika bisnis yang "etik".
b. Pengembangan tanggung jawab sosial (Social
Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli
dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam
bentuk "uang" dengan jalan memberikan
sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki
oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat
harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess
demand harus menjadi perhatian dan kepedulian
bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang
berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand
pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan
memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap
masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa
dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di
sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan,
kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
c. Mempertahankan jati diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah
untuk
terombang-ambing
oleh
pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi adalah
salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun
demikian bukan berarti etika bisnis anti
perkembangan informasi dan teknologi, tetapi
informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan
untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan
yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang
dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan
teknologi.
d. Menciptakan persaingan yang sehat

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

29

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk


meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah,
dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat
antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah
kebawah, sehingga dengan perkembangannya
perusahaan besar mampu memberikan spread effect
terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu
dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatankekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis
tersebut.
e. Menerapkan
konsep
Pembangunan
Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan
keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu
memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa
datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut
tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan
saat sekarang semaksimal mungkin tanpa
mempertimbangkan lingkungan dan keadaan
dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan
kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
f. Menghindari
sifat
5K
(Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu
menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan
terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi,
manipulasi dan segala bentuk permainan curang
dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang
mencemarkan nama bangsa dan negara.
g. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang
tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh)
karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan
menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta
melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah.
Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan
kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak
yang terkait.
h. Menumbuhkan sikap saling percaya antar
golongan pengusaha
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang
"kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust)
antara golongan pengusaha kuat dengan golongan
pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah
mampu berkembang bersama dengan pengusaha
lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama
ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak
golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya
memberikan kesempatan kepada pihak menengah
untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia
bisnis.
i. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main
bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah
ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila
setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten
dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya
semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada

"oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak


yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan"
demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika
bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
j. Memelihara kesepakatan
Memelihara
kesepakatan
atau
menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa
Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah
salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika
etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas
semua memberikan suatu ketentraman dan
kenyamanan dalam berbisnis.
k. Menuangkan ke dalam hukum positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan
dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan
Perundang-Undangan
dimaksudkan
untuk
menjamin kepastian hukum dari etika bisnis
tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha
lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang
bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak
apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan
globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral
dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua
pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu
akan dapat diatasi.

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

2.3 Corporate Social Responbility


Pada sesi sebelumnya telah disebutkan
salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam
menciptakan etika bisnis harus diciptakan tanggung
jawab social, yang mana tanggung jawab social
bagi perusahaan dilakukan dengan program
Corporate Sosial Responsibility (CSR). Bank
Dunia dalam Endro Sampurna (2007) mempunyai
definisi CSR sebagai berikut: CSR is the
commitment of business to contribute to
sustainable economic development working with
employees andtheir representative, the local
community and society at large to improve quality
of life, in ways that are both good forbusiness and
good for development. (CSR merupakan
komitmen
bisnis
yang
berperan
untuk
pembangunan ekonomi, mendukung kerjasana
antar karyawan dengan pimpinan, menciptakan
komunikasi social terhadap guna meningkatkan
kualitas hidup masyarakat sekitar, dengan caracara yang baik bagi kegiatan dan pengembangan
perusahaan).
Menurut Canadian Business for Social
Responsibility dalam Roida (2008), CSR
didefinisikan sebagai: Acompanys commitment
to
operating
in an
economically and
environmentally sustainable manner; at the same
time, recognize the interests of its stakeholders.
(komitmen perusahaan untuk beroperasi secara
ekonomis dan mendukung lingkungan, dan pada
waktu yang sama memperhatikan kepentingan

30

stakeholders). Berdasarkan definisi tersebut


menunjukkan CSR disusun sebagai komitmen
perusahaan untuk menciptakan komunikasi sosial,
antara manajemen perusahaan dengan share holder,
dan juga stakeholder sehingga kegiatan perusahaan
dapat berjalan dengan baik. Definisi tersebut
mengindikasikan bahwa disusunnya CSR masih
menunjukkan adanya cela yaitu ditujukan untuk
terciptanya eksistensi perusahaan di masa yang
akan datang.
Untuk itu dijelaskan definisi CSR oleh
Bateman dan Snell (2002) sebagai: ...set of
corporateactions that positively affects an
identifiable social stakeholders interest and does
not violate the legitimate claims of another
identifiable social stakeholder (in long run).
(satuan kegiatan perusahaan yang secara positif
mengidentifikasi kebutuhan sosial stakeholder dan
tidak melanggar aturan dari sosial stakeholder
dalam jangka panjang) Sedangkan CSR
didefinisikan sebagai the set of corporate
actions that negatively affects an identifiable social
stakeholders legitimate claims (in long run).
(satuan tindakan perusahaan yang secara negatif
mempengaruhi sosial stakeholder dalam jangka
panjang).
Dari definisi tersebut semakin diperjelas
bahwa aktivitas CSR yang dilakukan oleh suatu
perusahaan
tidak
boleh
melanggar
peraturan/undang-undang yang berlaku terhadap
sosial stakeholder. Dengan demikian pelaksanaan
CSR memerlukan tindakan aktif dari pemerintah
untuk sebagai regulator untuk melindungi pihakpihak yang berkepentingan dengan perusahaan,
seperti masyarakat sekitarnya. Sedangkan penilain
perusahaan sudah menjalankan CSR atau CSR
sangat tergantung pada seberapa banyak program
yang dijalankan perusahaan yang dianggap
berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat.
Pelaksanaan CSR dalam sutau organisasi
atau perusahaan masih belum benar-benar
dilakukan didasarkan pada tanggun jawab sosial
perusahaan. Carroll (1981) menyatakan: isu social
responsibility dikenali dengan melakukan beberapa
tanggung jawab sosial dan etika bisnis pada
aktivitas organisasi, yang selanjutnya berpengaruh
pada pembuatan keputusan manajer. Kebijakan ini
bagaimanapun masih menjadi perdepatan bagi
organisasi untuk melanjutkan kegiatan tersebut atau
tidak, karena hal tersebut memang benar-benarbenar aktivitas social responsibility atau hanya
untuk kepentingan organisasi. Urian tersebut
menunjukkan
bahwa
perusahaan-dalam
menjalankan CSR masih dikaitkan dengan
kepentingan-kepentingan
perusahaan,
seperti
kelangsungan dan perkembangan perusahaan.

2.4. Manfaat Corporate Social Responsibility


Bagi Perusahaan

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

A.B Susanto (2007) mengemukakan


bahwa dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam)
manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR.
1.
Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap
perlakuan tidak pantas yang diterima
perusahaan. Perusahaan yang menjalankan
CSR secara konsisten akan mendapat
dukungan luas dari komunitas yang merasakan
manfaat dari aktivitas yang dijalankan. CSR
akan mengangat citra perusahaan, yang dalam
rentang
waktu
yang
panjang
akan
meningkatkan reputasi perusahaan.
2. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan
membantu perusahaan meminimalkan dampak
buruk yang diakibatkan suatu krisis. Sebagai
contoh adalah sebuah perusahaan produsen
consumer goods yang beberapa waktu yang
lalu dilanda isu adanya kandungan bahan
berbahaya dalam produknya. Namun karena
perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam
menjalankan CSR-nya maka masyarakat
menyikapinya dengan tenang sehingga relatif
tidak mempengaruhi aktivitas dn kinerjanya.
3.
Keterlibatan dan kebanggaan karyawan.
Karyawan akan merasa bangga bekerja pada
perusahaan yang memiliki reputasi yang baik,
yang secara konsisten melakukan upaya-upaya
untuk membantu meningkatkan kesejahteraan
dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Kebanggaaan ini pada akhirnya
akan menghasilkan loyalitas sehingga mereka
merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih
keras demi kemajuan perusahaan.
4. CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan
mampu
memperbaiki
dan
mempererat
hubungan antara perusahaan dengan para
stakeholdersnya. Pelaksanaan CSR secara
konsisten menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak
yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai
aktivitas serta kemajuan yang mereka raih.
5. Meningkatnya penjualan. Konsumen akan
lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh
perusahaan yang secara konsiten menjalankan
CSRnya sehingga memiliki reputasi yang baik.
6. Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak
dan berbagai perlakuan khusus lainnya.
2.6 Implementasi dan Model atau Pola
Corporate Social Responsibility
Dalam menjalankan aktivitas CSR tidak
ada standar atau praktik-praktik tertentu yang
dianggap terbaik, setiap perusahaan memiliki
karakteristik dan situasi yang unik yang
berpengaruh terhadap tanggung jawab sosialnya.

31

Model atau pola CSR yang umum diterapkan di


Indonesia menurut Susiloadi (2008) adalah:
1. CSR bisa dilaksankan secara langsung oleh
perusahaan. Perusahaan menjalankan program
CSR
secara
langsung
dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau
menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa
perantara. Untuk menjalankan tugas ini,
perusahaan bisa menugaskan salah satu
pejabat seniornya, seperti corproate secretary
atau public affair manager atau menjadi
bagian dari tugas divisi human resource
development atau public relations.
2. CSR bisa pula dilaksanakan oleh yayasan atau
organisasi sosial milik perusahaan atau
groupnya. Perusahaan mendirikan yayasan
atau organisasi sosial sendiri di bawah
perusahaan atau groupnya yang dibentuk
terpisah dari organisasi induk perusahaan
namun tetap harus bertanggung jawab ke
dewan direkai. Model ini merupakan adopsi
yang lazim dilakukan di negara maju. Disini
perusahaan menyediakan dana awal, dana
rutin atau dana abadi yang dapat digunakan
untuk operasional yayasan.
3. Sebagian besar perusahaan di Indonesia
menjalankan CSR melalui kerjasama atau
bermitra dengan pihak lain. Perusahaan
menyelenggarakan CSR melalui kerjasama
dengan instansi pemerintah, perguruan tinggi,
LSM, atau lembaga konsultan baik dalam
mengelola dana maupun dalam melaksanakan
kegiatan sosialnya.
4. Beberapa perusahaan bergabung dalam sebuah
konsorsium untuk secara bersama-sama
menjalankan
CSR.
Perusahaan
turut
mendirikan, menjadi anggota atau mendukung
suatu lembaga sosial yang didirikan untuk
tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium yang
dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang
mendukungnya akan secara proaktif mencari
kerjasama dari berbagai kalangan dan
kemudian mengembangkan program yang
telah disepakati.
2.7 Corporate Social Responbility dalam
perspektif islam
Setelah tenggelam sekian lama, kini ide
untuk memasukan etika ke dalam dunia ekonomi
(bisnis) mencuat kembali. CSR tidak lagi
ditempatkan dalam ranah sosial dan ekonomi
sebagai imbauan, tetapi masuk ranah hukum yang
memaksa perusahaan ikut aktif memperbaiki
kondisi dan taraf hidup masyarakat. Disahkannya
Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas
(RUU PT) telah menuai pro-kontra, terutama
terhadap Pasal 74 tentang Aturan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan, yang rumusannya,

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

perseroan di bidang/berkaitan dengan SDA wajib


melaksanakan CSR. Perseroan yang tidak
melaksanakan wajib CSR dikenai sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Yang
dimaksud SDA adalah sumber daya alam,
sedangkan CSR adalah corporate social
responsibility atau tanggung jawab sosial
korporat/perusahaan.
Tanggung jawab sangat terkait dengan hak
dan kewajiban, yang pada akhirnya dapat
menimbulkan kesadaran tanggung-jawab. Ada dua
bentuk kesadaran: Pertama, kesadaran yang muncul
dari hati nurani seseorang yang sering disebut
dengan etika dan moral. Kedua, kesadaran hukum
yang bersifat paksaan berupa tuntutan-tuntutan
yang diiringi sanksi-sanksi hukum. Etika memiliki
dua pengertian: Pertama, etika sebagaimana
moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret
yang menjadi pedoman dan pegangan hidup
manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika
sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika membantu
manusia bertindak secara bebas tetapi dapat
dipertanggung-jawabkan.
Sedangkan
bisnis
mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai suatu
organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan
penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh
konsumen untuk memperoleh profit.
Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti
memaksakan norma-norma agama bagi dunia
bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi
sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan
keterampilan memenuhi tuntutan-tuntutan etika
pihak-pihak luar untuk mencari aman dan
sebaginya. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang
memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga
kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial
merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islami
ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai
bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan
(barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi
dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan
hartanya karena aturan halal dan haram (lihat. QS.
2:188, 4:29).
Etika bisnis islam sebenarnya telah
diajarkan
Nabi
Saw.
saat
menjalankan
perdagangan. Karakteristik Nabi SAW., sebagai
pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya
juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan
tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.
Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu
melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan
atas dasar nilai-nilai yang diajarkan islam.
Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai
kebaikan, meski menghadapi godaan dan
tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan
dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan
sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal.
Fathanah berarti mengerti, memahami, dan
menghayati secara mendalam segala yang menjadi

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

32

tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan


menimbulkan
kreatifitas
dan
kemampuan
melakukakn berbagai macam inovasi yang
bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam
melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah
ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran,
pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan)
dalam segala hal. Tablig, mengajak sekaligus
memberikan contoh kepada pihak lain untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran islam
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam
konteks corporate social responsibility (CSR), para
pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut
besikap tidak kontradiksi secara disengaja antara
ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka
dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui
kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi),
selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara
berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan
berbohong. Pelaku usaha/pihak perusahaan harus
memiliki amanah dengan menampilkan sikap
keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal,
dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal,
apalagi
berhubungan
dengan
pelayanan
masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha
memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan
kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat
disampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah),
sabar,
argumentatif,
dan
persuasif
akan
menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid
dan kuat. Para pelaku usaha dituntut mempunyai
kesadaran mengenai etika dan moral, karena
keduanya merupakan kebutuhan yang harus
dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang
ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan
berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam
hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan
dirinya sendiri.
Al-Quran adalah suatu ajaran yang
berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap
moral yang benar bagi tindakan manusia. Moral
menurut intelektual asal Pakistan Fazlur Rahman
(2000:354), merupakan esensi etika al-Quran yang
akhirnya menjadi esensi hukum dalam bentuk
perintah dan larangan. Nilai-nilai moral adalah
poros penting dari keseluruhan sistem yang
menghasilkan
hukum.
Dalam
aktivitas
kehidupannya,
umat
islam
dianjurkan
mengutamakan kebutuhan terpenting (mashlahah)
agar sesuai dengan tujuan syariat (maqashid alsyariah). Mengikuti al-Syatibi, M. Fahim Khan,
(1992: 195), mengatakan mashlahah adalah
pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang
mengandung elemen dasar dan tujuan kehidupan
umat manusia di dunia ini (dan peroleh pahala
untuk kehidupan akhirat). Maslahah ini tidak bisa
dipisahkan dengan maqashid al-syariah. Al-Izz alDin bin Abd al-Salam diikuti Sobhi Mahmassani

(1977: 159), mengutarakan maqashid al-syariah


ialah perintah-perintah yang pada hakikatnya
kembali untuk kemaslahatan hamba Allah dunia
dan akhirat.
Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H) dalam alMuwafaqat, tujuan pokok syariat islam terdiri atas
lima komponen: pemeliharaan agama (hifdh aldin), jiwa (hifdh al-nafs), akal (hifdh al-aql),
keturunan (hifdh nasl) dan harta (hifdh al-maal).
Lima komponen pokok syariah itu disesuaikan
dengan tingkat kebutuhan dan kepentingan manusia
(mashlahah), yaitu kebutuhan primer (dharuriyyah),
skunder (hajiyyah) dan tertier (tahsiniyyah). Dalam
konteks ini, kebutuhan primer (dharuriyyah) adalah
sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan
kemaslahatan agama dan dunia. Jika kebutuhan itu
hilang, maka kemaslahatan manusia sulit terwujud.
Bahkan,
dapat
menimbulkan
keruksakan,
kekacauan dan kehancuran. Skunder (hajiyyah)
adalah segala hal yang dibutuhkan untuk
memberikan kelonggaran dan mengurangi kesulitan
yang biasanya menjadi kendala dalam mencapai
tujuan. Sedangkan tertier (tahsiniyyah) ialah
melakukan tindakan yang layak menurut adat dan
menjauhi perbuatan-perbuatan aib yang ditentang
akal sehat.
Tujuan syariah itu dapat menentukan
tujuan perilaku konsumen dalam islam dan
tercapainya kesejahteraan umat manusia (maslahah
al-ibad). Semua barang dan jasa yang dapat
memiliki kekuatan untuk memenuhi lima
komponen pokok (dharury) telah dapat dikatakan
memiliki maslahat bagi umat manusia. Lebih
lanjut, Khan (1992: 195), mengutarakan semua
kebutuhan tidak sama penting. Kebutuhan itu
meliputi: tingkat di mana lima elemen pokok di
atas dilindungi secara baik; tingkat di mana
perlindungan lima elemen pokok di atas, dilengkapi
untuk memperkuat perlindungannya dan tingkat di
mana lima element pokok di atas secara sederhana
diperoleh
secara
jelas.
Berkaitan dengan corporate sosial responsibility
(CSR), kelima komponen itu perlu mendapat fokus
perhatian. Dalam skala primer, perusahaan atau
badan-badan komersial perlu menghargai agama
yang dianut masyarakat. Jangan sampai
kepentingan masyarakat terhadap agamanya
diabaikan, seperti perusahaan yang mengabaikan
atau mengganggu peribadatan warga setempat.
Bahkan, semestinya pihak perusahaan atau
badan-badan
komersial
harus
mampu
mengembangkan
jiwa
usahanya
dengan
spiritualitas islam. Dalam pemeliharaan jiwa seperti
makan dan minum ditujukan agar hidup dapat lebih
bertahan dan mencegah ekses kepunahan jiwa
manusia. Ironisnya, kini, banyak perusahaan air
mineral telah menyebabkan kekeringan air di
daerah atau kondisi udara di Jakarta telah
mengandung zat pencemar udara yang sebagian

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

33

besar sulfur dioksida, karbon monoksida, nitrogen


dioksida dan partikel debu. Sekitar 70 persen polusi
udara di Jakarta akibat asap transportasi. Menurut
staff pengajar Fakultas Teknologi Kelautan
Universitas Darma Persada Jakarta Agung Sudrajad
(Inovasi, Vol. 5, 2005), di Jakarta pertambahan
kendaraan tercatat 8.74 persen per tahun sementara
prasarana jalan meningkat 6.28 persen per tahun.
Ini tentu menambah semakin terpuruknya kondisi
lingkungan udara kita. Begitu juga, pihak korporasi
harus mampu menjaga keutuhan dan kehormatan
(rumah tangga) warga masyarakat terkait atau
internal perusahaan.
Perusahaan dilarang memberikan ekses
negatif dalam kegiatannya yang akan mengganggu
rusaknya akal pikiran manusia. Islam melarang
umatnya mengkonsumsi atau memproduksi
makanan dan minuman yang dapat merusak akal
karena akan mengancam eksistensi akalnya. Dalam
pemeliharaan harta, transaksi jual beli harus
dilakukan secara halal. Jika tidak, maka eksistensi
harta akan terancam, baik pengelolaan atau
pemanfaatannya. Karena itu, pihak perusahaan
dilarang melakukan kegiatan yang secara jelas
melangar aturan syara. Dalam konteks tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility/(CSR),
maqashid
as-yariah
ditujukan agar pelaku usaha atau pihak perusahaan
mampu menentukan skala prioritas kebutuhannya
yang terpenting.
Kebutuhan-kebutuhan itu tidak hanya
diorientasikan untuk jangka pendek, tetapi juga
jangka panjang dalam mencapai ridha Allah.
Kegiatan ekonomi tidak saja melibatkan aspek
materi, tapi juga kualitas keimanan seorang hamba
kepada
Allah
Swt.
Oleh karena itu, konsep pembanguan yang
melibatkan maqashid as-yariah dimaksudkan agar
terbentuk pribadi-pribadi muslim yang memiliki
keimanan dan ketakwaan. Tentu saja sikap ini tidak
saja didapatkan dari lubuk hati yang dalam. Tetapi,
dilandasi juga dari kesadaran manusia untuk
melaksanakan kewajiban sebagai seorang hambaNya. Kewajiban mengaplikasikan tanggung jawab
seorang hamba untuk melakukan kejujuran,
kebenaran, kebajikan dan kasih sayang terhadap
seluruh data kehidupan aktual. Islam mengajarkan
tanggung jawab agar mampu mengendalikan diri
dari tindakan melampaui batas kewajaran dan
kemanusiaan. Tanggung jawab ini mencakup
tanggung jawab kepada Allah, kepada sesama dan
lingkungannya.
3. PEMBAHASAN
3.1. Sekilas Sejarah Perusahaan
PT.FREEPORT Indonesia (PTFI) adalah
sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas
sahamnya dimiliki Freeport Mc MoRan Copper &

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

Gold Inc. PT. Freeport Indonesia merupakan


penghasil terbesar konstrat tembaga dari bijih
mineral yang juga mengandung emas dalam jumlah
yang berarti. Awal berdirinya PT.FREEPORT
Indonesia (PTFI) bermula saat seorang manajer
eksplorasi Freeport Minerals Company: Forbes
Wilson, melakukan ekspedisi pada tahun 1960 ke
Papua setelah membaca sebuah laporan tentang
ditemukannya Ertsberg (Gunung Bijih), sebuah
cadangan mineral, oleh seorang geolog Belanda;
Jean Jacques Dozy, pada tahun 1936. setelah
ditandanganinya kontrak karya pertama dengan
Pemerintah Indonesia bulan April 1967, Konstruksi
skala besar dimulai bulan Mei 1972. Setelah para
geolog menemukan cadangan kelas duni Grasberg
pada tahun 1988, operasi PTFI menjadi salah satu
proyek tambang tembaga/emas terbesar di dunia.
Di akhir tahun 1991, Kontrak Karya kedua
ditandangani dan PTFI diberikan hak oleh
Pemerintah
Indonesia
untuk
meneruskan
operasinya selama 30 tahun
PTFI merupakan salah salah satu
pembayar pajak terbesar bagi Negara Indonesia.
Sejak tahun 1992 sampai 2005, manfaat langsung
dari operasi perusahaan terhadap Indonesia dalam
bentuk dividen, royalti dan pajak mencapai sekitar
3,9 milliar dolar AS. Selain itu PTFI juga telah
memberikan manfaat tidak langsung dalam bentuk
upah, gaji dan tunjangan, reinvestasi dalam negeri,
pembelian barang dan jasa, serta pembangunan
daerah dan donasi. Dalam tahun 2005 PTFI telah
menghasilkan dan menjual konsentrat yang
mengandung 1,7 miliar pon tembaga gan 3,4 juta
ons emas. PTFI (PT.FREEPORT) Company
memiliki visi untuk menjadi tambang terbaik di
dunia yang berlokasi di ketinggian dan lingkungan
bercurah hujan tinggi. Kepemilikan sahamnya
adalah Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc
(AS) sebesar 81,28%, Pemerintah Indonesia
sebesar 9,36% dan PT. Indocoppor Investama
sebesar 9,36%.
Pelaksanaan
Corporate
Social
Responsibility (CSR) PT.FREEPORT memiliki
komitmen untuk mengelola dan meminimalisasi
dampak dari kegiatan operasionalnya terhadap
lingkungan dan untuk mereklamasi serta
menghijaukan kembali lahan yang terkena dampak.
Melalui kebijakan lingkungan, PT.FREEPORT
berkomitmen untuk melaksanakan pengelolaan dan
praktik-prkatik lingkungan yang baik, menyediakan
sumber daya yang cukup layak guna memenuhi
tanggung jawab tersebut dan melakukan perbaikan
berkesinambungan terhadap kinerja lingkungan
pada setiap lokasi kegiatan. PT.FREEPORT juga
memiliki komitmen kuat untuk mendukung
penelitian ilmilah guna memahami lingkungan di
sekitar tempat PT.FREEPORT beroperasi, serta
melakukan pemantauan yang komprehensif untuk

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

34

menentukan efektivitas dari praktik-praktik


pengelolaan.
Selain itu, PT.FREEPORT juga bekerja
dengan instansi pemerintah, masyarakat setempat,
maupun lembaga swadaya masyarakt yang
bertanggung jawab, untuk meningkatkan kinerja
lingkungan. Dalam hal ini PT.FREEPORT
menganut
prinsip-prinsip
kerangka
kerja
pembangunan
berkelanjutan
dari
dewan
internasional tentang pertambangan dan logam
Sustainable Development Framework of the
international Council ini Mining and Metals
(ICMM), dimana PT.FREEPORT termasuk
anggotanya:
1. Pelaksanaan Audit Lingkungan
Audit
lingkungan
yang
dilakukan
PT.FREEPORT menghasilkan informasi bagi para
manajer tentang kinerja lingkungan saat ini serta
membantu mengindentifikasi peluang-peluang
perbaikan.
2. Program Pengelolaan Trailing
Trailing adalah sisa batu alat yang digiling
harus
hasil
pengolahan
bijih
mineral.
PT.FREEPORT menggunakan proses pengapungan
(flotasi), yang merupakan pemisahan secara fisik
minerjal yang mengandung tembaga dan emas dari
batuan bijih. Dalam proses tersebut tidak
digunakan merkuri maupun sianida. Sebuah daerah
aliran sungai mengangkut sediman tersebut menuju
sebuah areal pengendapan yang telah ditentukan di
kawasan dataran rendah dan pantai, yang
dimanamakan Modified Deposition Area (Daerah
Pengendapan Dimodifikasi), yaitu sebuah sistem
yang direkayasa dan dikelola bagi pengendapan
dan pengendalian trailing. Pengambilan sampel
secara luas terhadap mutu air dalam pengelolaan
tailing menunjukkan bahwa air pada sungai yang
mengangkut tailing dari pabrik pengolahan
PT.FREEPORT di daerah dataran tinggi menuju
daerah pengendapatnd I dataran rendah telah
memenuhi baku mutu air bersih untuk logam
terlarut sesuai peraturan Pemerintah Indonesia
maupun
USEPA
(Lembaga
Perlindungan
Lingkungan AS).
3. Reklamasi dan Penghijauan kembali
a. Daerah dataran tinggi
Para ilmuwan internasional dan staff
PT.FREEPORT telah mengkaji ekologi dari
ekosistem alpin di wilayah kerja PT.FREEPORT,
serta mengembangkan cara-cara handal untuk
menghasilkan bibit jenis tanaman asli. Kajiankajian yang pernah dilakukan hingga saat ini
mencakup etnobotani, keanekaragaman hayati pada
ekosistem su-alpin dan alpin, pemanfaatan jenisjenis asli tanaman lumut dan bakteri untuk strategi
reklamasi perintis dan budi daya jaringan untuk
pengembangan jenis tanaman alpin asli.hingga
akhir 2005, lebih dari 10 hektar tanah terganggu

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

pada tambang di daerah dataran tinggi yang


berhasil dihijaujan kembali dalam rangka
memenuhi komitmen PT.FREEPORT kepada
pemerintah Indonesia.
b. Dataran rendah
Tujuan dari program reklamasi dan
penghijauan kembali PT.FREEPORT di daerah
dataran rendah adalah untuk mengubah endapan
tailing pada daerah pengendapan menjadi lahan
pertanian atau dimanfaatkan sebagai lahan
produktif lainnya, atau menumbuhkannya kembali
dengan tanaman asli setelah kegiatan tambang
berakhir.
4. Pengelolaan Overburden dan air asam tambang
PT.FREEPORT menangani overburden
melalui sebuah rencana pengelolaan overburden
komprehensif yang telah disetujui oleh Pemerintah
Indonesia. PT.FREEPORT melakukan pengelolaan
dan pemantauan terhadap air asam tambang yang
dihasilkan oleh kegiatannya. Sesuai rencan
pengelolaan overburden yang telah disetujui oleh
pemerintah,
PT.FREEPORT
menempatkan
overburden pada daerah-daerah terkelola di sekitar
tambang terbuka Grasberg.
5. Pengelolaan dan daur ulang limbah
Program-program pengelolaan lingkungan
PT.FREEPORT
mencakup
seluruh
aspek
kegiatannya bukan saja yang berhubungan dengan
pertambangan. Program-program minimilasasi
limbah yang dilaksanakan mencakup pengurangan
dan penukaran dengan produk-produk ramah
lingkungan. Bahan yang dapat didaur ulang seperti
aluminium, besi tua, dan baterai bekas didaur ulang
sesuai ketentuan pemerintah Indonesia. Mutu
limbah cair dari seluruh instalasi pengolahan
limbah cair dipantau secara berkala untuk
parameter pH (kadar alkali), BOD (Biological
Oxygen Demand), TSS (Total Suspended
Solids/total padatan tersuspensi) serta minyak dan
lemak sesuai baku mutu.
6. Dalam program Corporate Social Responsibility
(CSR) yang dilakukan oleh PT.FREEPORT
USAID dan keuskupan Timika maka
didapatkan
sebuah
model
yang
akan
mengembangkan nelayan kepada kehidupan yang
maju. Kendala nelayan terberat adalah jika tidak
ada pabrik es, tempat pelelangan ikan yang
memadai termasuk pelabuhan perikanan, sarana
penyediaan bahan bakar minyak (BBM) dan cold
storage. Bersama vibizconsulting dibangun sebuah
model CSR yang belum pernah diterapkan
sebelumnya. Nelayan akan mampu bersaing karena
pengembangan sumberdaya manusia menjadi titik
tolak berdirinya masyarakat nelayan yang tangguh.
3.2 Membangun dengan CSR
Protes terhadap PT Freeport yang berujung
pada penggugatan terhadap keberadaan perusahaan

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

35

tambang tersebut membuat sebagian pihak


berargumen bahwa ini akan menjadi bad
precedent terhadap dunia investasi di Indonesia.
Tapi seberapa pentingkah precedent bagi
perusahaan yang memang tidak pernah lepas dari
kontroversi ini? Terlepas dari konteks dan
muatannya, ia memberi sebuah pesan kepada
perusahaan untuk lebih memperhatikan tanggung
jawab sosial (corporate social responsibility/CSR)
mereka. Konsep CSR secara geneologis masih
terbilang baru khususnya di Indonesia. Meski
demikian, adaptasi dan pelaksanaannya telah
menjadi trend bagi perusahaan. Maka berlombalombalah perusahaan mengklaim diri sebagai
perusahaan yang bertanggung jawab dan peduli
terhadap pembangunan masyarakat, meski tolak
ukurnya sekedar program dan divisi community
development/CD yang dimiliki.
Namun kasus Freeport (meski bukan
pertama dan satu-satunya) kemudian menjadi
puncak gunung es, yang membuat kita bertanyatanya, sejauh mana perusahaan mengintegrasikan
konsep ini ke dalam strategi dan budaya
perusahaan. Lebih jauh, kita diperhadapkan pada
keseriusan dan kesinambungan dari penjabaran
konsep itu sendiri. Tengoklah komentar dari
masyarakat yang menuntut penghentian kontrak
karya perusahaan tambang itu. Menurut mereka,
setelah lebih dari 35 tahun mengeruk keuntungan
yang luar biasa, PT Freeport belum berkontribusi
maksimal
untuk
membantu
pengentasan
kemiskinan dan ketertinggalam masyarakat Papua
sebagai pemegang hak ulayat (Kompas,
28/02/2007).
Harapan terbesar masyarakat pada
dasarnya adalah bahwa keuntungan finansial
perusahaan harus berimbang dengan sejauhmana
perbuatan baiknya. Hal ini muncul karena
keterbukaan yang tidak dapat dinafikan sebagai
bagian dari proses perwujudan good governance
yang makin mengglobal. Dalam kasus Freeport,
kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perusahaan
belum menunjukkan perbuatan baiknya, paling
begitu dalam pikiran masyarakat papua, meski
keuntungan finansial yang diraih sangatlah besar.
Dalam isu pelestarian lingkungan misalnya, PT
Freeport (dan perusahaan tambang lainnya)
menghadapi environmental scepticism yang
menganggap perusahaan tambang lebih banyak
menimbulkan kerusakan daripada manfaat. Pada
tahun 2004, kontribusi pajak dan non-pajak dari
perusahaan tambang terhadap pendapatan negara
tidak lebih dari Rp. 7,8 triliun.
Jaringan Advokasi Tambang juga mencatat
bahwa lebih dari 100 kasus muncul setiap tahunnya
antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar
atau otoritas lingkungan yang juga diakibatkan dari
pengabaian pihak perusahaan terhadap kondisi
masyarakat sekitar (The Jakarta Post, 27/02/2007).

Untuk mengatasinya, peran pemerintah pun makin


diharapkan untuk tidak lagi sekedar penagih
tanggung jawab normatif semisal royalti dan
peningkatan pendapatan. Peran pemerintah sangat
menentukan dalam membangun usaha yang
kondusif
dan
tidak
manipulatif.
Harus diakui bahwa peran pemerintah masih belum
maksimal. Ini terlihat dari belum terciptanya iklim
yang
kondusif
bagi
perusahaan
untuk
meningkatkan program CSR-nya. Selain itu,
pemerintah juga belum menyediakan regulasi yang
menjamin lintas sektor dan dunia usaha agar
mampu
menyelenggarakan
pembangunan
kesejahteraan sosial secara berkelanjutan dan
melembaga.
Sampai disini kita kemudian disadarkan
akan arti penting CSR bagi perusahaan dan
pembangunan masyarakat. Tapi pertanyaannya
kemudian, bagaimana agar CSR tidak menjadi
paradigma pinggiran (peripheral paradigm), baik
itu bagi masyarakat, pemerintah dan kalangan
dunia usaha sendiri? Apalagi dalam dunia usaha
sendiri, masih terjadi perdebatan mengenai penting
tidaknya CSR bagi perusahaan. Terlepas dari itu,
ada sejumlah kondisi yang harus dipenuhi agar
CSR menjadi paradigma arus utama (mainstream
paradigm). Pertama, perdebatan akademis atau
politik mengenai sistem pengetahuan tersebut di
arena publik. Di sini, partisipasi masyarakat adalah
prasyarat mutlak. Kedua, perdebatan tersebut
kemudian ditopang oleh jaringan kekuasaan
(legislatif-eksekutif, perguruan tinggi, media, dan
LSM).
Selanjutnya, akan tercipta kondisi ketiga,
dimana sistem ini memiliki teknologi sosial yang
secara akademis dapat dipertanggungjawabkan
(Rochman Achwan, 2006). Di atas semua itu, CSR
juga mensyaratkan agar dunia usaha mengubah
pola tanggung jawab mereka yang cenderung elitis,
dimana pelibatan masyarakat cukup melalui pejabat
atau tokoh-tokoh semata. Kasus Freeport sekali lagi
memberi pembenaran atas ini, dimana menurut
klaim perusahaan dalam laporannya, mereka telah
melakukan banyak hal untuk masyarakat. Namun
karena sifat dan desainnya yang tidak melibatkan
public sebagai objek, maka yang terjadi kemudian
adalah disharmonisasi antara apa yang dilakukan
perusahaan dengan kebutuhan masyarakat. Ke
depan, program community development, sebagai
salah
satu
pengejawantahan
CSR
yang
dilaksanakan oleh perusahaan harus dapat
menciptakan hubungan sinergi antar pelaku
pembangunan. Kekuasaan harus pula dikelola
secara
seimbang
dan
tidak
manipulatif
sebagaimana yang terjadi selama ini, dalam bentuk
pola hubungan sosial antara pemerintah,
perusahaan, dan masyarakat dengan peran masingmasing dalam menciptakan civil society dan good
governance.

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

36

Bagi dunia usaha saat ini, tuntutan akan


implementasi CSR tidak hanya bersifat eksternal
(tekanan dari masyrakat global), tetapi juga
haruslah bersifat internal, dimana karyawan juga
menyadari dan memberi tekanan kepada
perusahaan untuk mengimplementasikan CSR ini
dengan sungguh-sungguh sebagai bagian dari
entitas bangsa. Setelah itu, barulah kemudian
esensi dari CSR yang bertujuan sebagai
perwujudan
reorientasi
dalam
manajemen
pembangunan dari state-centered ke multi-centered,
dimana keterlibatan dunia usaha tak lagi dapat
ditawar, dapat terwujud. Kita pun akhirnya dapat
melihat prakarsa perusahaan sebagai bagian dari
potensi bangsa yang mendayagunakan diri secara
efektif bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
3.3 Pelaksanaan CSR PT Freeport Indonesia
Freeport Indonesia sebagai salah satu
perusahaan superkaya dalam dunia tambang hadir
di Papua sejak 1973. Dari pemaparan yang
disampaikan
oleh
Team
Corporate
Communications, perusahaan telah menjalankan
program CSR selama lebih kurang 20 tahun,
khususnya sejak KK I di tahun 1988. Pendekatan
CSR yang dijalankan terutama di tujukan ke
masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang
di Kabupaten Mimika. Namun dapat dikatakan
PTFI yang beroperasi di Kabupaten Mimika,
adalah tulang punggung kehidupan di seluruh
penjuru kabupaten, dapat dilihat dari sumbangan
royalti PTFI yang kini masih sebesar 96% dari total
pendapatan
Kabupaten
Mimika.
Tingkat
pendapatan kabupaten yang mungkin tertinggi di
tanah Papua, menyebabkan tingginya urbanisasi
yang menyebabkan jumlah penduduk meningkat
cukup pesat dalam beberapa tahun.
Kehidupan kota yang sebagian didominasi
oleh pendatang (yang bekerja di PTFI), serta
tingginya kesenjangan tingkat pendidikan antara
penduduk lokal dan pendatang, sangat berperan
dalam memicu konflik-konflik yang beberapa kali
terjadi antara PTFI dan masyarakat. Beberapa
tantangan ini sudah seharusnya disikapi secara
bijak juga oleh PTFI. PTFI sudah menjadi bagian
tak terpisahkan ketika bicara tentang Kabupaten
Mimika dan bukan tidak mungkin tidak dapat
dipisahkan dari kemajuan di Papua secara umum.
Oleh karenanya ke depan seharusnya PTFI
mengarahkan program-program CSR-nya yang
dapat merangkul dan mencakupi seluruh wilayah
Papua, tidak hanya membatasi dampak tambang
pada penduduk lokal di Kabupaten Mimika,
khususnya 2 suku yang memegang tanah ulayat
tempat pertambangan PTFI.
PTFI walau bagaimanapun, adalah entitas
bisnis yang tujuannya mencari keuntungan. Pada

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

akhirnya segala kegiatan/program CSR pun pada


akhirnya diharapkan dapat memberi nilai tambah
bagi peningkatan pendapatan perusahaan. Namun
demikian pada era keterbukaan dan kemajuan
teknologi serta tingginya mobilitas penduduk
termasuk di Papua, tetap harus diantisipasi oleh
PTFI sebagai bagian dari populasi di tanah Papua.
Komitmen para petinggi PTFI saat ini untuk
menjalankan program CSR (salah satu kunci
suksesnya program CSR) patut diapresiasi, namun
keberlanjutannya serta keserasian dengan nilai dan
budaya/adat lokal serta tujuan akhir yang ingin
dicapai haruslah juga dirangkai dengan komitmen
PTFI dalam misi sosial perusahaan.
3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui
bahwa pelaksanaan Corporate Sosial Responsibility
(CSR) diperusahaan khususnya PT.FREEPORT
Indonesia, masih ditemui sejumlah kelemahan.
Kelemahan yang muncul tersebut pada dasarnya
dipengaruhi oleh adanya kepentingan antara
shareholder
dengan
stakeholder.
Dimana
shareholder akan selalu berupaya untuk
menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin
dan cenderung kurang memperhatikan kepentingan
stakeholder sebagai pihak minoritas perusahaan.
Selain itu pihak stakehoder terutama pemerintah
kurang memainkan perannya dalam melakukan
kontrol kepada perusahaan, sehingga dapat saja
dikelabui oleh perusahaan dengan memberikan
sejumlah kegiatan yang terkait dengan Corporate
Sosial Responsibility (CSR) untuk sementara, dan
selanjutnya tidak dijalankan.
Kurangnya kontrol dari pemerintah
tersebut juga masih lemahnya undang-undang yang
berlaku terutama untuk mengatur kesejahteraaan
masyarakat sekitarnya sebagai pihak yang juga
berwenang atas kekayaan alam wilayah tersebut.
Dari pembahasan ini juga dapat diketahui bahwa
Corporate Sosial Responsibility (CSR) pada
dasarnya harus timbul dari kesadaran individu
masing- masing manajemen perusahaan, karena
dengan etika yang baik, akan mempengaruhi
sejumlah keputusan yang dibuat oleh manajemen
perusahaan. Disamping adanya regulator yang pasti
untuk menjamin terlaksananya CSR dengan sebaikbaiknya.
Penelitian
ini
masih
memiliki
keterbatasan, yaitu data yang diambil hanya dari
data sekunder, dari internet, yang kebenarannya
masih harus ditinjau lagi. Pengambilan data
sekunder dikarenakan adanya keterbatasan waktu
dalam penyusunan artikel ini.

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

37

DAFTAR PUSTAKA
AB
Susanto,
(2007),
Corporate
Social
Responsibility, The Jakarta Consulting Group,
Jakarta.
Azwar, Saifuddin, (2007), Metode Penelitian, Edisi
I, Cetakan I, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bateman, T.S., and Snell, S.A., (2002),
Management: Competing in The New Era (5th
edition), McGraw Hill/Irwin NY.
Carroll, A. B, (1981), Business and Society (Little,
Brown and Company, Boston).
Dalimunthe, Ritha F, (2004), Etika Bisnis,
Universitas Sumatra Utara, Jurusan Manajemen,
Fakultas Ekonomi.
Darmadji, Tjiptono dan Hendy M. Fachruddin,
(2001), Pasar Modal di Indonesia, Pendekatan
Tanya Jawab, Edisi Pertama, Salemba Empat,
Jakarta.
Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus
Inggris Indonesia. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Endro Sampurna, Muhammad, (2007), Lingkar
Studi CSR: Si Seksi CSR: 95% Retorik, 5% Aksi
Nyata, Jakarta.

Pesantren Manbaul Falah, Pasirawi Rawamerta


Karawang, Jawa Barat.
Roida, Herlina Yoka, Relevansi Program Corporate
Sosial Responsibility Bagi Wacara Publik: Menjadi
baik pada saat sudah menjadi buruk, Jurnal The
2nd National Conference UKWMS, Faculty of
EconomicsWidya Mandala Catholic University
Surabaya, Indonesia.
Silalahi, Gabriel Amin, (2003), Metodologi
Penelitian dan Studi Kasus, Cetakan Pertama, CV.
Citramedia, Sidoarjo.
Sims, R. 2003. Ethics and Corporate Social
Responsibility-Why Giants Fall. C.T. Greenwood
Press.
Susiloadi,
Priyanto,
(2008),
Implementasi
Corporate Social Responsibility Untuk Mendukung
Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Jurusan
Administrasi Negara FISIP Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Vibislearning.com (2008), Corporate Social
Resposibilty (CSR) PT.FREEPORT Indonesia
Mengembangkan Potensi Nelayan di Desa
Kokonao Timika.
Wikipedia.org,
(2008),
Indonesia,www.wikipedi a.org.

Freeport

Firman Syah, (2009), Analis Peranan Etika Bisnis


Terhadap Corporate Social Responbility (CSR)
pada PT. FREEPORT INDONESIA, Program
Pendidikan Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya, Malang.
Komenaung, Anderson Guntur, (2005), Etika
Dalam Bisnis Anderson Guntur Komenaung,
Fakultas Ekonomi dan Magister Ekonomi
Pembangunan Universitas Sam Ratulangi, Manado
Najmudin Ansorullah SHI, (2010), Corporate
Social Responsibility dalam Perspektif Islam,

Analisis Implentasi . (Agung Prihantoro)

STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38

38

Вам также может понравиться