Вы находитесь на странице: 1из 4

KONFLIK:

MASALAH, FUNGSI DAN PENGELOLAANNYA

Soetandyo Wignjosoebroto

Konflik! Sekali lagi konflik! Apakah itu? Apakah yang disebut ‘konflik’ itu?
Apakah ‘konflik’ itu harus dipandang dan dinilai sebagai masalah yang apabila dibiarkan
saja akan mengancam sistem kehidupan dan kelestariannya? Ataukah sesungguhnya ia
itu harus dikatakan punya fungsi untuk mendinamisasi sistem kehidupan, yang oleh sebab
itu harus dijaga tetap ada?

Definisi ‘Konflik’: Antara Fungsi dan Disfungsi


‘Konflik’ berasal mula dari kata asing conflict yang pada gilirannya berasal dari
kata confligere < com (yang berarti ‘bersama’ atau ‘bersaling-silang’) + fligere (yang
berarti ‘tubruk’ atau ‘bentur’). Didefinisikan secara bebas dari arti harafiahnya itu,
‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah berjumpa dan bersilang jalan
pada suatu titik kejadian, yang berujung pada terjadinya benturan. Komflik itu pada
umumnya didefinisikan sebagai suatu periatiwa yang timbul karena adanya niay-niat
bersengaja antara pihak-pihak yang berkonflik itu. Dalam peristiwa seperti ini, konflik
akan merupakan suatu pertumbukan antara dua atau lebih dari dua pihak, yang masong-
masing mencoba menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan bersama ini, atau
setidak-tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya itu ke posisi yang
lebih tersubordinasi.
Konflik itu bisa bersifat laten alias terpendam dan/atau “tertidur”, tetapi bisa pula
bersifat manifes alias terbuka. Konflik bisa pula bermula dari perbedaan kepentingan
yang materiil-ekonomik dan yang serba fisikal itu, akan tetapi bisa pula bermula dari
perbendaan dan pertentangan kepentingan ideologi atau asas moral yang serba simbolik.
Apapun wujudnya, konflik itu selalu merefleksikan tidak adanya toleransi atas eksistensi
pihak lain, suatu intoleransi yang timbul hanya karena adanya perbedaan -- dan bahkan
pertentangan --.kepentingan dan/atau paham dengan pihak lain itu. Tiadanya toleransi
seperti itu mungkin saja cuma bermula dari rasa cemburu dan curiga, akan tetapi yang
pada akhirnya akan berujung pada timbulnya rasa khawatir akan terancamnya eksistensi
atau posisinya yang selama ini dominan.
Dalam kehidupan komunitas lokal yang eksklusif, dengan sifat hubungannya yang
serba tatap muka dan mempribadi, di mana setiap warga sama-sama memiliki memori
kolektif yang serupa, konflik yang manifes dalam bentuk bersilang selisih pendapat,
apalagi yang sampai bersiterus menjadi benturan dan bertumbuk fisik, amatlah
dikhawatirkan “akan menggangu stabilitas” dan merusak suasana rukun yang berasaskan
prinsip “seia-sekata” serta semangat berbagi atas dasar prinsip “berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing”. Kalaupun dalam masyarakat seperti ini telah mengenal pola
stratifikasi yang membedakan posisi hierarkik antar-warga, askripsi-askripsi dalam hal
penetapan posisi warga menurut kelas atau kasta masing-masing itupun umumnya telah
diterima bersama secara hegemonik sebagai sesuatu yang kodrati. Bantahan terhadap
tradisi yang hegemonik seperti ini hanya akan berakibat dakwaan telah terjadinya bid’ah
yang akan menggoncangkan sistem kehidupan yang telah mapan.
Akan tetapi, dalam kehidupan yang telah mulai berubah menuju ke wujudnya
yang serba terbuka, disebabkan oleh berbagai invensi dan inovasi teknologik dalam
bidang transportasi dan komunikasi, konservatisme dan kolektivisasi pendapat --
sebagaimana tersimak dalam komunitas-komunitas lokal yang eksklusif dan tertutup
seperti itu -- mulailah menemui cabarannya. Bukan prinsip “seia dan sekata dan saiyeg
saekapraya” itu yang jadi andalan, melainkan prinsip individualisasi pendapat dan
ekspresi kreatif itulah yang mesti menjadi andalan kehidupan yang progresif. Perbedaan
pendapat adalah hak, dan toleransi atas perbedaan pendapat akan berujung terjadinya
kemajuan dalam peradaban manusia.
Di sini kehidupan manusia mulai dikonstruksi dalam modelnya yang baru sebagai
suatu kancah keragaman yang – sekalipun bermula dari merebaknya silang pendapat dan
perbedaan pilihan antar-warga – justru akan memperkaya warisan budaya suatu bangsa,
atas dasar keyakinan bahwa “perbedaan itu adalah rahmat”. Di sini kebenaran bukan lagi
berasal dari paringan para mufti, melainkan bermula dari dialektika tesis versus antitesis
yang melahirkan sintesis alias tesis baru. Paradigma baru disiarkan, bahwa dari
perbedaan paham akan dilahirkanlah kebenaran. Du choc des opinions jaillit la verite,
seperti yang ditulis Dr Mohammad Hatta dalam salah satu pengantar bukunya.

Konflik Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Yang Berprinsip Demokrasi


Harus diakui bahwa setiap konflik itu, lebih-lebih manakala manifes dalam
bentuk benturan fisik, tak pelak akan menimbulkan goncangan, yang mungkin hanya
berskala kecil saja akan tetapi tak muhal bisa pula berskala besar. Goncangan inilah,
sekalipun berskala kecil-kecil saja, apalagi kalau berskala besar, biasa dikhawatirkan
akan mengancam tegaknya sendi-sendi kehidupan. Dapatlah dimengerti apabila
komunitas-komunitas lokal yang ekslusif dan berprinsip “seia sekata” itu akan amat
terganggu dan akan merasakan goncangan oleh terjadinya perbedaan paham yang
dikhawatirkan akan melahirkan berbagai jurus bid.ah.
Dapatlah dimengerti mengapa dalam kehidupan suku-suku dan sekte-sekte yang
eksklusif ini silang selisih dan pertentangan fisik tidak sekali-kali bisa ditenggang, dan
harus segera diatasi dengan berbagai langkah, mulai dari yang mengarah ke pemulihan
hubungan (dalam rupa “bermaaf-maafan”) sampaipun ke pengucilan dan pengusiran atau
bahkan juga bisa pematian (sebagai tindak penghukuman terhadap mereka yang durhaka
atau murtad). Kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang tersimak dalam
kehidupan bermasyarakat yang telah lebih terbuka, baik pada tataran nasional yang antar-
suku/sekte maupun pada tataran global yang antar-bangsa. Dalam kehidupan ini,
walaupun tak hendak ditanggapi sebagai peristiwa yang nyaman, akan tetapi dalam
kehidupan yang telah terbuka -- dengan kesediaan untuk menerima berbagai perubahan --
ini apa yang disebut goncangan itu tetap saja dirasakan dan dirasionalisasi sebagai
sesuatu yang perlu, sine qua non.
Dalam kehidupan industrial yang berparadigma the sovereignty of the individuals,
dengan mobilitas individu yang tinggi, untuk melintasi berbagai perbatasan teritori yang
serba fisik ataupun perbatasan budaya yang serba simbolik, setiap perbedaan pilihan
individu, yang akan mengundang konflik dan berbagai kritik yang mengguncang, akan
disambut dengan toleransi yang relatif tinggi. Perbedaan pilihan paham dianggap sebagai
obat mujarab untuk mengatasi kebekuan dan kebekuan yang konservatif, yang alih-alih
bersifat disfungsional justru dipandang amat fungsional untuk mendinamisasi setiap ide
dan ideologi atau ajaran yang telah terlanjur mapan. Konflik disambut baik sebagai suatu
pilihan manusia yang fungsional dalam kehidupannya, asal konflik itu bisa dikelola
dengan agar tak meruyak di luar kontrol. Dikatakan secara analogik, konflik itu bagaikan
api dalam kehidupan manusia, yang berpotensi merusak namun sungguh diperlukan
dalam kehidupan manusia yang beradab, asal saja tak dibiarkan berkobar liar di luar
kontrol. Bagaikan api yang harus dikontrol dalam tungku agar berguna, demikian juga
konflik-konflik agar fungsional harus dikontrol lewat berbagai cara.
Dalam kehidupan yang tak lagi tersekat-sekat pagar eksklusivisme yang kedap,
ialah ketika konteks yang dinamik merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang secara
serta merta telah meminggirkan gambaran yang serba seragam dan selaras, setiap warga
(demi survivalnya!) mau tak mau mesti belajar menerima dan beradaptasi pada realitas
lingkungannya yang kontekstual, dan tidak lagi cuma bisa bersikukuh pada ajaran-
ajarannya yang serba tekstual. Setiap warga harus belajar bersikap altruistik, dan tidak
lagi egosentrik, untuk merasa berkewajiban menghargai hak-hak orang lain yang
mempunyai pendapat yang berbeda. Dalam kehidupan seperi itu orang harus belajar
menyelesaikan persoalan atas dasar prinsip give and take. Menyadari bahwa dalam
kehidupan yang terbuka itu konflik yang terjadi antar-puak yang masing-masing
mempunyai latar kepentingan dan/atau paham yang berbeda-beda., orangpun mesti
mengembangkan seni dan mekanisme mengelola konflik. Yang penting ialah, bahwa
terjadinya konflik tetap dimungkinkan, asal dalam batas-batas suatu ruang gelanggang
kebebasan tertentu, tanpa menimbulkan cedera yang serius, yang alih-alih demikian
justru akan menyebabkan para pihak yang tengah berhadapan itu berkesempatan untuk
saling waspada dan untuk mengerahkan seluruh potensinya.

Mengontrol Dan Mengelola Konflik


Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih
kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang
demokratik dan beradab. Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya
menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi
tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah
cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari
itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai
lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah
perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik
pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan
diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan
kelestarian kehidupan yang tenteram.
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan
mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan
sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-
insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak
hendak menyatukan dirinya ke puak lain, bahkan, alih-alih demikian, ia besikap
konfrontatif dengan puak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik
yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all
serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang
pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada
model yang demikian ini, yang tak muhal bisa terjadi juga dalam masyarakat yang
demokratik, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi; ialah dicegah untuk
menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang
“pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-
aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan)
yang telah dimengerti dan disosialisasikan.
Maka, dalam masyarakat demokratik, anak-anak bangsa lebih sering dilatih untuk
bisa berkonflik dengan adab yang baik, bersaing keras atas dasar aturan permainan yang
disepakati bersama. Semangat inklusivisme mesti dipegang teguh, dengan mengalahkan
lawan tanpa mencederai lawan (menang tanpa ngasorake), dengan menundukkan lawan
tanpa membangkitkan rasa dendam di pihak lawan. Bukan barang kebetulan kalau model
pendidikan anak-anak bangsa di negeri-negeri demokratik itu justru pendidikan untuk
bertarung dengans semangat inklusivisme seperti itu. Olah raga yang kompetitif untuk
memperebutkan kemenangan yang dilimpahi kehormatan, sebahagian malah dengan
memperbanyak body contacts yang tak hanya qakan menguji kekuatan badan akan tetapi
juga kekuatan mengontrol emosi dan sportivitas untuk membangun apresiasi pada
perlawanan lawan, adalah bagian dari pendidikan masyarakat-masyarakat demokratik.

Epilog
Memperbincangkan ihwal konflik yang terjadi dan tengah kita amati sehari-hari
setakat ini di Jawa Timur, assessments apakah yang dapat kita buat dan jelaskan
berdasarkan model konseptual-teoretik di muka itu. Adakah Jawa Timur ini – sekalipun
sudah berformat dan berskala propinsi – masih harus kita bilangkan sebagai kumpulan
masyarakat lokal yang eksklusif, yang tak sedikitpun terjamah ide inklusivisme? Adakah
dengan demikian warga daerah Jawa Timur ini sebetulnya masih dikuasai orientasi
eksklusivisme pra-demokratik, yang oleh sebab itu menampilkan diri sebagai sosok-
sosok yang tidak akan bisa menenggang perbedaan, untuk memandang perbedaan itu
adalah sumber segala konflik? Nota bene konflik-konflik ini harus dibilangkan sebagai
konflik yang mesti diselesaikan dengan strategi ‘kalah-memang’, dan upaya agar
memang harus diupayakan apapun caranya, karena sang pemenang akan memperoleh
semuanya, tanpa perlu menyisakan apapun (tak juga kehormatan dan penghormatan!)
untuk yang tengah kebetulan kalah, tak peduli apapun dendam mereka itu? Adakah
kehidupan yang secara ekonomik telah terbuka, namun diwawas dari optik sosial dan
kultural masuh jauh dari prinsip keterbukaan? Adakah semua itu pratanda bahwa
demokrasi di propinsi Jawa Timur ini masih jauh dari kenyataan< dan baru ada dalam
impian, slogan dan retorika para elit?

0000

Вам также может понравиться