Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ASAL MULA KOSMOS, PERSOALAN RUANG & WAKTU, RELASI RUANG DAN
WAKTU, DINAMIKA KOSMOS, DAN AKHIR KOSMOS.
1. Deskripsi Batak Toba
Suku bangsa Batak mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan
Daerah Istemewa Aceh di Utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di
sebelah Selatan. Selain daripada itu suku bangsa Batak mendiami dataran rendah yang berada di
antara pegunungan dengan pantai Timur Daerah Sumatera Utara.
Suku bangsa Batak sebenarnya terdiri dari sub-sub yaitu:
a. Batak Toba yang mendiami daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi
Toba, Wilayah Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga, daerah pegunungan
antara Pahae dan Habinsaran. Dengan kata lain daerah induk batak Toba ialah daerah
Kabupaten Tapanuli Utara sekarang.
b. Batak Angkola/Mandailing mendiami daerah induk Angkola/Sipirok, Padang Lawas
daerah Batang Toru, sebahagian dari Sibolga, daerah induk Mandailing, Ulu,
Pakantan dan bagian Selatan Padang Lawas. Dengan kata lain daerah induk Batak
Angkola/Mandailing adalah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.
c. Batak Karo, mendiami daerah induk Dataran Tinggi Karo, Langkat, Hulu, Deli-Hulu,
Serdang-Hulu dan sebagian dari daerah Dairi.
d. Batak Simalungun, mendiami daerah induk Simalungun atau Daerah Kabupaten
Simalungun termasuk Kodya Pematang Siantar.
e. Batak Dairi, mendiami daerah induk Dairi atau Kabupaten Dairi.
Adapun istilah dalam bahasa Batak Toba yaitu Huta dan Partungkoan. Huta merupakan
kesatuan territorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu marga (klen). Sedangkan
Partungkoan ialah sebidang tanah tempat bersidang dekat pintu gerbang dari Huta, biasanya
pertungkoan ini di tempat yang diteduhi oleh pohon beringin atau pohon hariara. Pohon tersebut
sebagai penghubung antara dunia bawah dan dunia atas. Dimana Dunia ginjang (atas) adalah
kerajaan dewa tertinggi, Ompu Mula Jadi Na Bolon, dan roh-roh leluhur yang sudah meninggal.
Sedangkan dunia toru (bawah) adalah tempat tinggal untuk para hantu dan setan (dalam bahasa
Batak Toba disebut dengan parbeguan) yang diperintah oleh Naga Padoha, yakni: sang ular
naga.
Orang Batak Toba mempunyai konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya, diciptakan
oleh Mulajadi Na Bolon yang berada di langit yang ketujuh. Menurut kepercayaan orang batak
Toba langit yang kita lihat itu terdiri dari tujuh lapis yang masing-masing lapisan mempunyai
penghuni. Disamping pembagian langit tersebut, masyarakat Batak Toba membagi alam semesta
ini atas tiga benua yaitu: Benua Bawah, Benua Tengah dan Benua atas yang masing masing
dipegang tiga dewa yang di sebut Batara Guru (Tuan Pane Na Bolon), Batara sori (Tuan Silaon
Na Bolon) atau Tri tunggal Dewa. Selain daripada Mulajadi Na Bolon, Masyarakat Batak Toba
masih percaya bahwa masih ada tiga lagi dewa-dewa kecil seperti :
a. Boras Pati Ni tano sebagai dewa penjaga tanah yang dilambangkan dengan biawak.
b. Soniang Naga, sebagai penjaga laut dan danau.
c. Debata Idup, sebagai penjaga kebahagiaan rumah tangga.
Di samping percaya kepada dewa-dewa tersebut masyarakat Batak Toba percaya akan
rokh (tondi) dan begu (hantu). Begu ini mempunyai hubungan dengan manusia yang masih hidup
dalam dua hal yaitu: mendatangkan keselamatan dan mendatangkan mala petaka. Sistem
pengetahuan Batak Toba tentang alam sekitar manusia adalah berupa pengetahuan tentang
musim-musim, tentang sifat-sifat dan gejala-gejala alam, tentang binatang-binatang, pencipta
alam, asal mula gerhana, dongeng-dongeng, mythos-mythos, folklore (cerita rakyat) kesusastraan
dan sebagainya. Pengetahuan tentang alam sekitar manusia ini banyak diketahui masyarakat
Batak pada zaman sebelum abad ke 20 ini. Mereka mengetahui musim hujan dan kemarau, sifatsifat alam dan ilmu bintang (Turnip dkk, 1977: 18).
Beberapa pertanyaan pokok mengenai konsep ruang dan waktu dalam masyarakat Batak Toba
adalah sebagai berikut:
1. Apakah masyarakat Batak berpandangan bahwa ruang dan waktu itu tunggal atau
jamak?;
2. Bagaimana menjelaskan pluralitas sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan seharihari? Namun jika jamak, bagaimana menjelaskan hubungan antara ruang dan waktu yang
satu dengan ruang dan waktu yang lain?
3. Apakah ada kemungkinan bagi penghuni suatu ruang untuk berpindah ke ruang yang lain
(persoalan impenetrability) atau bahkan mungkin berada di dua atau lebih ruang yang
berbeda pada waktu yang sama (persoalan multilokasi)?;
4. Bagaimanakah pengaruh dari konsepsi ruang dan waktu tersebut di dalam bidang yang
lain?
karena berkaitan dengan keberadaan manusia selanjutnya, yaitu mengenai keberadaan Si Boru
Deak Parujar dan Raja Odap-odap, yang menjadi asal-usul terjadinya manusia sebagai penghuni
dari banua tonga atau dunia tengah.
Benua tengah/ banua tonga
Masyarakat Batak menganggap bahwa masing-masing bagian dunia memiliki penghuni yang
berbeda-beda, dan bagian tengah atau banua tonga menjadi tempat bagi manusia. The
middleworld and its structure naturally predominate being of more immediate interest to man
(Sinaga, 1975 : 86). Benua tengah dengan demikian merupakan bagian dari kosmos yang secara
khusus menjadi wilayah manusia. Sesuai dengan mitos yang dipercayai oleh orang Batak,
manusia itu adalah keturunan dari dewa sendiri, yaitu dari putri dewa Batara Guru yang bernama
Si Deak Parujar, anak dari Batara Guru, dengan suaminya yang bernama Raja Ihatmanisia, anak
dari dewa Mangalabulan.
Berdasarkan mitos, maka bisa disimpulkan bahwa manusia adalah penghuni banua tonga,
atau dengan kata lain benua tengah adalah bagian dari kosmos yang secara khusus
dipersembahkan kepada manusia. Banua tonga adalah dunia empiris sebagai menjadi tempat
hidup manusia saat ini. Sebagaimana telah disinggung di atas, dunia tengah/banua tonga
memiliki tatanan ruang tersendiri yang sangat berkaitan erat dengan keseimbangan kosmos
secara keseluruhan. Ruang yang lebih rinci sebagaimana terdapat di dunia tengah ini, atau yang
kemudian disebut dengan istilah ruang antropogoni, oleh masyarakat Batak disebut dengan
istilah Desa na ualu, yaitu derived from Sanskrit desa, in Indonesia was place, region
(Tobing, 1956: 127) yang berarti wilayah yang terdiri atas delapan. Maksudnya adalah bahwa
ada 8 (delapan) sudut ruang, atau delapan wilayah di banua tonga, sebagaimana yang bisa dilihat
di dalam pembagian arah mata angin pada kompas modern yang ada sekarang. Nama-nama dari
delapan arah mata angin tersebut adalah purba (timur), agoni (tenggara), dangsina (selatan),
nariti (barat daya), pastima (barat), manabia (barat laut), utara (utara) dan irisanna (timur laut).
Berdasarkan pandangan Batak mengenai Desa na ualu tersebut maka bisa diketahui bahwa
masyarakat Batak memiliki konsepsi mengenai arah mata angin yang berjumlah delapan, yang
menurut Tobing merupakan simbol dari dunia tengah, dalam hal ini adalah Pulau Sumatera
(Tobing, 1956: 127).
Masyarakat Batak, namun demikian, juga memiliki konsep yang lain mengenai ruang di
banua tonga, di samping kedelapan penjuru mata angin yang telah disebutkan di atas. Konsep
yang kedua berkaitan dengan arah mata angin tersebut terdiri atas empat arah mata angin, yaitu :
Habinsaran (timur), Djae (selatan), Hasundutan (barat), dan Djulu (utara). Apabila
dibandingkan dengan konsep yang pertama, sebenarnya konsep yang kedua tidak jauh berbeda
karena konsep yang kedua hanya terfokus pada empat arah mata angin utama, yang sebenarnya
juga terdapat di dalam konsep yang pertama. Perbedaannya hanyalah dalam hal nama untuk
menyebut keempat arah mata angin utama tersebut. Dua konsep mengenai arah mata angin di
dunia tengah ini namun demikian memunculkan pertanyaan karena tidak mungkin suatu konsep
mengenai sesuatu muncul begitu saja tanpa alasan yang jelas.
Benua bawah/banua toru
Sesuai dengan namanya, benua bawah atau banua toru adalah bagian paling bawah dari
dunia, dan menjadi tempat bagi Dewa Perusak (primordial dragon/evil spirit/ demons/ the dead)
dalam kepercayaan masyarakat Batak, yaitu Naga Padoha. Naga Padoha dengan demikian adalah
dewa yang menjadi semacam musuh bagi manusia karena ia selalu berusaha memusnahkan
dunia tengah, dunia yang dihuni oleh manusia. Konsep mengenai Dewa Perusak ini oleh
karenanya hampir mirip dengan konsepsi agama Hindu mengenai peran Syiwa, meskipun ada
perbedaan dalam beberapa hal di antara keduanya. Jika di dalam Hindu, Syiwa adalah dewa yang
merusak dalam rangka keseimbangan alam, Naga Padoha lebih tampak sebagai simbol kekuatan
jahat yang tidak melakukannya sebagai kekuatan penyeimbang dunia tengah, namun karena
memang sejak awal ia memang sudah menghalangi pernciptaan dunia tengah dan menjadi
musuh atau pengganggu bagi kehidupan manusia. Dunia bawah di dalam kepercayaan
masyarakat Batak ini oleh karenanya tidak dapat diabaikan begitu saja di dalam eksistensi
kosmos atau alam semesta karena ia adalah penopang dari dunia-dunia yang ada di atasnya.
Dunia atas menjadi tempat Debata Mulajadi Na Bolon, Tuhan dalam kepercayaan
masyarakat Batak; dunia tengah adalah dunia manusia; dan dunia bawah adalah tempat dewa
penghancur, yaitu Nada Padoha. Pembagian dunia dengan penghuninya ini menunjukkan bahwa
masyarakat Batak memiliki konsep mengenai pembagian fungsi dari entitas alam. Ketiga
banua di atas bisa dikatakan tersungkup ke dalam suatu totalitas demi tercapainya harmoni
kosmos yang senantiasa berkembang secara siklis dalam perputaran alam yang bersifat abadi.
Kejamakan konsepsi ruang dalam masyarakat Batak ini tentu saja tidak lantas
menyelesaikan persoalan ruang yang akan dijelaskan. Konsepsi ruang yang jamak tersebut justru
menimbulkan pertanyaan baru berkaitan dengan bagaimana menjelaskan hubungan di antara
ruang-ruang yang ada tersebut. Apakah masing-masing ruangan terpisah satu sama lain, atau
semuanya terhubung dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain?
Masyarakat Batak menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa ruang-ruang
yang ada tersebut memang saling terhubung, dalam arti menjadi satu kesatuan dalam kosmos
yang luasnya tak terhingga. Sebagaimana dikatakan oleh Tobing, untuk menghubungkan benua
atas, tengah, dan atas, beliau mengatakan bahwa the Toba Batak have a conception of a tree
reaching from the underworld into the upperworld(Tobing, 1956: 72). Kesatuan atau
keterhubungan antara benua yang satu dengan benua yang lain, dengan demikian dianalogikan
dengan pohon kosmos tersebut.
Persoalan lain yang juga menjadi implikasi dari beberapa temuan mengenai pandangan
tentang ruang dalam pemikiran masyarakat Batak di atas adalah persoalan yang oleh Anton
Bakker disebut dengan persoalan impenetrability dan multilokasi. Impenetrability adalah
persoalan mengenai kemungkinan bagi penghuni suatu ruang untuk berpindah ke ruangan yang
berbeda, sedangkan persoalan multilokasi adalah persoalan mengenai kemungkinan bagi
penghuni suatu ruang untuk berada pada ruang yang berbeda pada waktu yang sama.
Berkaitan dengan persoalan impenetrability ada kesimpulan yang bisa diambil dari uraian
yang telah dikemukakan di atas, yaitu bahwa kemungkinan untuk berpindah ke ruang yang lain
merupakan hal yang mungkin bagi penghuni suatu ruang, terutama penghuni dunia atas, yaitu
Debata Mulajadi Na Bolon beserta para dewa, dan penghuni dunia bawah, yaitu Naga Padoha.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, keduanya memiliki kekuasaan untuk
mempengaruhi dunia tengah: yang satu memberikan kekuatan positifnya, sedangkan yang kedua
memberikan kekuatan negatifnya.
Porhalaan, namun demikian bukanlah pedoman waktu yang bisa diketahui atau terlebih
lagi dipahami oleh semua orang Batak. Ada beberapa hal yang juga perlu diketahui mengenai
porhalaan ini. Pertama, orang Batak bisa mengetahui kapan saat yang tepat atau tidak tepat
untuk melakukan sesuatu ritual atau kegiatan tidak dengan membaca porhalaan oleh dirinya
sendiri, melainkan dengan bantuan datu. Datu dengan demikian adalah satu-satunya pihak yang
bisa memberikan rekomendasi kepada orang Batak untuk menggunakan atau tidak menggunakan
suatu hari. Kedua, porhalaan bukanlah sebuah pedoman ramalan yang sama bagi setiap datu,
melainkan masing-masing datu memiliki porhalaan yang bisa saja berbeda. Ketiga, pengetahuan
istimewa yang dimiliki oleh seorang datu mengenai porhalaan, dengan demikian
memunculkan pertanyaan penting: lalu dari mana datu bisa merumuskan porhalaan yang ia
gunakan? Intinya adalah bahwa seorang datu mengetahui waktu-waktu di dalam porhalaan
tersebut berdasarkan fenomena alam yang terjadi secara rutin di dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Mitos Batak, mengenai Pane Na Bolon, yang memiliki peran penting di dalam
konsepsi waktu masyarakat Batak.
Pane Na Bolon adalah salah satu makhluk yang ada di dalam mitologi masyarakat Batak,
yang dipercaya menerima kutukan dari Debata Mulajadi Na Bolon untuk terus menerus
mengelilingi banua tonga atau benua tengah, dan singgah untuk periode tertentu di setiap arah
mata angin yang ada di dalam konsep ruang masyarakat Batak. Pane Na Bolon, dianggap
menentukan baik buruknya nasib manusia karena saat yang baik atau saat yang tidak baik dalam
porhalaan, ditentukan berdasarkan letak Pane Na Bolon ini. Ia diperintahkan untuk mengitari
ruang dan waktu, yaitu mengitari delapan penjuru mata angin, selama 30 hari dalam 12 bulan.
Setiap sekali dalam 3 bulan, Pane Na Bolon menempati satu ruang, dan kemudian
berpindah ke ruang yang lain dan menempatinya selama 3 bulan berikut. Dia bergerak
mengelilingi benua tengah dimulai dari timur, dan dalam kepercayaan orang Batak, ketika Pane
Na Bolon menghadap ke timur, maka ruang antara timur dan barat adalah satu hal yang baik atau
masa yang dapat memberikan keberuntungan. Sebaliknya, setiap orang yang menuju ke arah
ruang timur, maka yang terjadi adalah ketidakberuntungan baginya karena hal itu dianggap
sebagai sikap menantang Pane Na Bolon sehingga ia akan melepaskan kemarahannya (Tobing,
1956: 137). Apabila dalam suatu waktu dan untuk alasan yang sangat penting seseorang harus
berada pada ruang-waktu tempat Pane Na Bolon berada, maka dia harus membuat suatu patung
pengganti berupa patung manusia, yang disebut parsili, sebagai kurban, atau bahkan bisa
saja menjadi penangkal kemarahan Pane Na Bolon.
Dari konsep di atas kita bisa mengatakan bahwa dinamika kosmos terjadi karena
adanya sang pencipta yaitu Mulajadi na Bolon, memberikan kuasanya ke kosmos
untuk selanjutnya di laksanakan oleh manusia.
8. Akhir Kosmos
Masyarakat Batak meyakini bahwa kosmos sebelum penciptaan masih belum berbentuk,
kosong dan penuh kegelapan. Ini merupakan ciri keadaan chaos, yakni ketidakteraturan. Dalam
hal ini, Tuhan berperan (Mulajadi na Bolon) sebagai pengatur (Pengada Ilahi) yakni menciptakan
langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan ayat awal Alkitab Kejadian 1:1 Pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi.
Kosmos yang berbentuk chaos dihadapai dengan adat, yakni kekuatan hidup yang
mempertahankan hidup dan eksistensi dalam ada,yakni bersifat konstitutif dan secara mutlak
normatif. Adat sangat berperan besar dalam kehidupan masyarakat Batak toba dalam
mempertahankan keadaan kosmos. Oleh karena itu, dalam adat terdapat ketergantungan
kehidupan atau kematian. Jika adat tidak dilaksanakan atau dilanggar seperti merusak alam,
membunuh binatang di hutan sesuai kehendak sendiri,melanggar ajaran Tuhan Mulajadi na
Bolon (seperti dalam Alkitab) ,dll maka saat itu juga terjadi akhir kosmos. Akhir kosmos dalam
masyarakat Batak Toba yang dibahas adalah akhir kosmos banua tonga (benua tengah). Akhir
kosmos ini berbentuk keadaan berupa chaos, yakni ketidakteraturan seperti awal mula
kehidupan. Artinya, chaos akan kembali seperti awal kehidupan kalau adat tidak dipertahankan
dalam kehidupan masyarakat dan pada saat itu juga terjadi akhir kosmos atau kehancuran.
Masyarakat Batak kuno pada mulanya menganut aliran animisme maupun dinamisme.
Kemudian seiring berkembangnya zaman, masyarkat Hindu menyebarkan ajarannya di
Indonesia,sehingga masyarakat Batak terpengaruh oleh ajarannya, seperti bentuk bangunan
(tugu). Selanjutnya, penyebaran agama pun berkembang pesat di Indonesia. Masyarakat Batak
akhirnya didominasi oleh agama Kristen,seperti tokoh Nomennsen. Oleh karena itu, akhir
kosmos masyarakat Batak Toba
Perjanjian Baru. Wahyu merupakan surat terakhir dalam Alkitab Perjanjian Baru. Akhir kosmos
dalam Wahyu tersebut berupa sangkakala yakni surat Wahyu ayat 8-11,berisi tentang kehancuran
dunia dalam bentuk hujan,api,asap,dll. Kitab Wahyu merupakan salah satu kitab yang sulit untuk
ditafsirkan karena selain memuat banyak simbol dalam penulisannya, kitab ini merupakan kitab
nubuatan. Untuk memahaminya dibutuhkan ketelitian dan kecermatan. Oleh karena itu,
masyarakat Batak Toba tidak begitu luas atau teliti membahas akhir kosmos,yang jelas menurut
masyarakat ini yang menjadi akhir kosmos,yakni chaos.
Kesimpulan
Kosmologi sebagai sebuah ilmu sejatinya ingin mencari apa yang berlaku di dunia ini.
Mencari apa yang dianggap berlaku dari setiap tradisi masyarakat tertentu terhadap konsepsi
kosmologinya. Keteraturan dan keharmonisan alam semesta di dalam masyarakat Batak, tidak
bisa dilepaskan dari sebuah konsep ruang masyarakat Batak, konsep ruang masyarakat Batak
sebenarnya mempunyai tiga bagian ruang diantaranya Banua Ginjang, yang disebut benua atas
(upperworld), Banua Tonga, yang disebut benua tengah (middleworld) dan Banua Toru, yang
disebut dengan benua bawah (underworld). Di dalam masyarakat Batak, ruang itu memiliki
makna (meaning) yang sangat sakral bagi mereka. Masyarakat Batak menganggap bahwa dunia
ini tercipta dari dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah.
Ketiga ruang kosmos masyarakat Batak itulah yang kemudian tidak hanya akan
melahirkan keselarasan alam semesta. Untuk menciptakan keselarasan kosmos bagi masyarakat
Batak tidak hanya berpijak dari konsep ruang saja, akan tetapi, juga diperlukan konsep waktu
sebagai upaya menjaga harmonisasi alam semesta, yakni dengan adanya ritual-ritual dari
masyarakat Batak sehingga memiliki kesatuan yang integral atas konsep ruang dan waktu
masyarakat Batak.
Konsep waktu dalam masyarakat Batak disebut dengan porhalaan/parhalaan.
Porhalaan adalah ruas bambu yang diukir dengan tanda-tanda dan simbol-simbol; dan ukiran
porhalaan itulah yang menjadikan dasar penunjuk waktu dalam masyarakat Batak. Di dalam
konsep waktu Batak ada dua kategori waktu yang penting, yakni hari dan bulan. Perlu ditegaskan
kembali bahwa ukiran di porhalaan bukan semacam kalender, akan tetapi, merupakan alat
yang digunakan untuk melakukan ramalan bagi masyarakat Batak.
Ruang bagi masyarakat Batak dilihat sebagai nilai yang dapat memberikan makna
kesejahteraan, kemakmuraan atau mungkin, sebaliknya, ruang akan memberikan penderitaan dan
kemiskinan terhadap masyarakat Batak. Sedangkan waktu, diidentikan dengan kosmik yang
mampu memberikan petunjuk. Kesatuan antara ruang dan waktu bagi masyarakat Batak tidak
bisa dipisahkan dengan Tuhan yang tertinggi yang menciptakan dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton, 1994, Kosmologi dan Ekologi, Yogyakarta, Kanisius
Tobing, Ph. O. Lumban, 1956, The Structure of the Toba-Batak Believe in the High God,
Disertasi untuk Universitas Hassanudin
Saragi, Daulat, 2007, Dimensi Simbolis Patung Primitif Batak, Disertasi, Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada
Sinaga, A. Bongsu, 1975, The Toba-Batak High God, Disertasi untuk Katholieke Universiteit
te Leuven
Siswanto, Joko, 2005, Orientasi Kosmologi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
http://risalah-filsafat.blogspot.com/2011/06/konsep-ruang-dan-waktu-masyarakat-batak.html
oleh Reno Wikandaru
NAMA KELOMPOK: