Вы находитесь на странице: 1из 23

STATUS PASIEN ANAK RSUD KABUPATEN BEKASI

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. A

Tempat/tanggal lahir

: Bekasi, 11 Agustus 2008

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Alamat

: jl Cibarengkok RT/RW: 001/002 jatiwaringin Cikarang barat

Masuk RS

: 26 September 2013

Tanggal diperiksa

: 27 September 2013

Nama Ayah/Ibu

: Tn. F

Usia

: 5 tahun

Pendidikan

: belum sekolah

II. ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan Ibu Pasien)


Keluhan Utama

: kejang

Keluhan tambahan : Demam


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kab. Bekasi dengan keluhan kejang disertai demam
sejak 3 hari SMRS. Kejang terjadi sebanyak 1 kali, lama kejang 3-4 menit. saat kejang,
menurut keluarga pasien tidak sadar, seluruh tubuh pasien kaku dan kedua mata mendelik
keatas, mulut tidak terkunci dan tidak mengeluarkan busa. setelah kejang pasien nangis,
sebelum kejang pasien mengalami demam tinggi sejak 3 hari Pasien mengeluh demam
naik turun siang dan malam sepanjang hari, . Panas turun dengan pemberian obat penurun
panas namun setelah 2 hingga 3 jam, kembali panas. Pasien diakui mengalami batuk dan
pilek. Nyeri kepala (-),bintik-bintik merah (-), gusi berdarah dan mimisan (-), ibu pasien
menyangkal adanya mual dan muntah. BAB dan BAK tidak ada keluhan, Nafsu makan
dirasakan menurun.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pernah mengalami hal yang serupa seperti ini. Riwayat kejang demam terjadi
saat usia 4 tahun, demam tinggi disertai kejang 2 kali yang berlangsung 1 kali perhari lama
kejang kurang dari 5 menit
Riwayat Penyakit Keluarga :
1

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa seperti pasien
Riwayat Kehamilan :
Ibu G2P1A0 usia 27 tahun, kontrol kehamilan setiap bulan selama kehamilan ke bidan.
Riwayat muntah-muntah diawal kehamilan, perdarahan, bengkak anggota gerak selama
kehamilan disangkal. Riwayat DM dan hipertensi disangkal. Obat-obat yang diminum
adalah vitamin dan tablet.
Riwayat Persalinan
Ibu melahirkan di bidan, cukup bulan (9 bulan), lahir spontan, BBL 3500 gram,panjang
badan 47 cm, begitu lahir langsung menangis dan tidak ada riwayat bayi kuning atau biru,
ibu sehat.tidak terdapat kelainan kongenital.
Riwayat Pasca Persalinan
Ibu mengaku rutin membawa anaknya ke posyandu untuk ditimbang dan mengaku telah
diimunisasi secara lengkap.
Kesimpulan : Riwayat kehamilan baik
Riwayat persalinan baik
Riwayat pasca persalinan baik
Riwayat Makanan
ASI diberikan sejak lahir sampai usia 1,5 tahun. Kemudian nasi tim diberikan saat
anak usia 4 bulan, nasi diberikan bersama wortel, bayam , tahu dan tempe. Kadang-kadang
diselingi oleh cemilan seperti biskuit. Anak makan dua kali sehari dan selalu habis.
Riwayat Imunisasi
BCG : usia 2 bulan
DPT : 2 kali (usia 3 bulan dan 1 tahun)
Polio : 3 kali (usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan)
Campak : usia 9 bulan
Hepatitis B : 2 kali (usia 1 bulan dan 6 bulan)
Imunisasi lain : tidak dilakukan
Kesimpulan : riwayat vaksinasi lengkap sesuai umur.
III. PEMERIKSAAN FISIK
2

Tanggal 27 September 2013


Kesadaran Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda-tanda vital

Tekanan darah: Tidak dilakukan pemeriksaan


Nadi

: 90 x/menit

Pernapasan

: 24 x/menit

Suhu

: 37,80C

Berat badan

: 16 kg

Tinggi Badan : 107


Status Gizi

: Gizi cukup
BB sekarang = 16 kg
BB normal = 17 kg (kurva CDC)
(BBs/BBn)x 100% = (16/17) x 100% = 94,1%

Kepala

: Normocephal, rambut hitam distribusi merata, wajah simetris.

Wajah

: Pipi kanan/kiri tidak bengkak

Mata

: CA -/- SI -/-

Hidung

: Deformitas (-), deviasi septum (-), secret -/-, pernapasan cuping


hidung (-)

Mulut

: sianosis (-), faring hiperemis (-), lidah kotor (-)

Telinga

: Normotia, membran tympani intak +/+, serumen -/-, secret -/-

Pemeriksaan Leher
Tidak ada pembesaran KGB, Trachea di tengah, dan tidak tidak terdapat kaku kuduk
Pemeriksaan Khusus
Thoraks

: dinding dada simetris kanan dan kiri

Jantung
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V

Perkusi

: redup

Batas Jantung :
Kanan atas : ICS III Linea Parasternalis dextra
3

Kiri atas : ICS III Linea Midclavicula sinistra


Kanan bawah : ICS V Linea Parasternalis dextra
Kiri bawah : SIC V Linea Midclavicula sinistra
Auskultasi

: Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), Gallop (-)

Inspeksi

: Kedua hemithorax simetris dalam keadaan statis dan dinamis,

Paru :
retaksi sela iga (-)
Palpasi

: Vocal fremitus kanan dan kiri simetris

Perkusi

: Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/- , wheezing -/-

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi: Dinding dada sejajar dengan dinding perut, tidak ada masssa
Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Timpani pada seluruh lapang abdomen

Palpasi

: Supel, tidak teraba masa, hepar dan lien tidak teraba

Genital

: Dalam Batas Normal

Kandung kemih : Teraba kosong


Ekstremitas
Akral hangat dan Edema (-)
Refleks meningeal
a. Kaku kuduk : (-)
b. Brudzinsky I : (-)
c. Brudzinsky II : (-)
d. Kernig : (-)
e. Laseque : (-)
Pemeriksaan Kulit
a. Pucat

: (-)

b. Sianosis

: (-)

c. Ikterus

: (-)

d. Perdarahan

: (-)
4

e. Edema

: (-)

f. Turgor

: baik

g. Lemak bawah kulit

: cukup

h. Pembesaran KGB generalisata : (-)


IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal pemeriksaan 26 September 2013
Hemoglobin :11.6 g/dl
Hematokrit :34%
Leukosit
:13300/mm3
Tromobosit :348 000/mm3
Diff count
:
- Lim
:15
- Mono
:2
- Basofil
:0
- Eosinofil: 1
- Batang
:2
- Segmen:80
- Eritrosit:4.0
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Kejang Demam Simpleks
2. Kejang Demam Kompleks
3. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam
VI. DIAGNOSIS KERJA
1. Kejang Demam Sederhana
VII. RENCANA PENGELOLAAN
a. Rencana Pemeriksaan:
1. EEG
2. CT Scan
b. Rencana Pengobatan dan diit
Medikamentosa
IVFD ka-EN 3a 16 tpm makro
Cefotaxime 2x750 mg i.v
Puyer : Sanmol 20 mg dan Diazepam 1,6 mg 4 X 1

c. Rencana Pemantauan
Pemantauan tanda-tanda vital
d. Rencana Edukasi
Memberikan makanan yang bergizi
Menjaga kebersihan
VIII. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam

: ad bonam

b. Quo ad functionam : ad bonam


c. Quo ad sanationam : ad bonam
FOLLOW UP
TANGGAL
27 September 2013

FOLLOW UP
S : Demam dan Nafsu makan menurun
O : Kesadaran : Compos Mentis
TD: tidak dilakukan
HR: 90
RR: 24
Suhu: 37,8oC
A : Kejang Demam Simpleks
P : IVFD ka-EN 3a 16 tpm makro
Cefotaxime 2x750 mg i.v
Puyer : Sanmol 20 mg dan Diazepam 1,6 mg 4 X 1

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium / tanpa adanya infeksi

susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak di atas umur 1 bulan, dan
tidak ada riwayat kejang sebelumnya.
II. Epidemiologi
Hampir sebanyak 1 dari setiap 25 anak pernah mengalami kejang demam dan lebih
dari sepertiga dari anak-anak tersebut mengalaminya lebih dari 1 kali.(3) Kejang
demam terjadi pada 2-5% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun,
insidensi tertinggi pada umur 18 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau
lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi susunan saraf pusat, atau epilepsy yang kebetulan terjadi bersama
demam. Anak yang pernah kejang tanpa demam, kemudian kejang kembali disertai
demam tidak termasuk dalam kejang demam.(2) Seorang anak yang mengalami
kejang demam, tidak berarti dia menderita epilepsi karena epilepsi ditandai dengan
kejang berulang yang tidak dipicu oleh adanya demam.
III.

Tipe Kejang
Kejang diklasifiaksikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah
kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang
parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan
parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).
1. Kejang parsial
Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala
kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus
terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot;
sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami
gejala gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, atau
seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan
klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi motorik. Gejala
autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya
ingat, disfagia, dan deJa vu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial.
Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai
hilangnya kesadaran.

Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks ( dahulu dikenal sebagai
kejang psikomotot atau lobus temporalis ) sering berasal dari lobus temporalis
medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum
yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang
kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau
rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang
terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis ( automatic behavior ).
Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk
tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin
mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama
serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. kejang parsial
kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.
2.

Kejang Generalisata
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta
ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di
kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal.
Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami
kejang. Kejang ini i muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat
beberapa tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang tonik-klonik,
kejang mioklonik, kejang atonik, kejang tonik dan kejang klonik.
a. Kejang absence ( petit mal )
Ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih
dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan
pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien
mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali
sehari. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang
dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang
setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonikklonik.

b. Kejang tonik-klonik ( grand mal )

Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik


diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara
menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau
abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik
kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi ( atau keduanya ), disertai
disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik
memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian
berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak.
Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah.
Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien ( spasme
rahang dan lidah ). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan
diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit
sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan,
agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus.
Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya.
Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam,
paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan
bahwa kejang ini disebabkan oleh hipernatremia yang muncul secara cepat
yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya
berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada
beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak mungkin
mengalami kejag non demam pada kehidupan selanjutnya.

Gambar 1. Kejang Tonik-Klonik

c. Kejang mioklonik
Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau tungkai,
cenderung singkat.
d. Kejang atonik
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh.
e. Kejang klonik
Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tungal atau multipel di
lengan, tungkai, atau torso.
f. Kejang tonik
Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontaksi) wajah dan tubuh
bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin
berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas.
IV. Klasifikasi Kejang Demam
Kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
1. Kejang Demam Sederhana
Adalah kejang yang terjadi pada umur antara 6 bulan sampai 5 tahun, berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
bersifat umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Frekwensi kejang kurang dari 4x/tahun, dan biasanya kejang
timbul dalam 16 jam sesudah kenaikan suhu. Kejang demam sederhana
merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
2. Kejang Demam Kompleks
Adalah kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit, atau berulang dalam
24 jam. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.
V.

Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya kejang demam tidak diketahui. Faktor resiko
kejang demam yang penting adalah demam. Namun kadang-kadang demam yang
tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang. Selain itu terdapat faktor resiko lain,
seperti riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan
10

terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar
natrium rendah.
Kejang demam biasanya berhubungan dengan demam yang tiba-tiba tinggi dan kebanyakan
terjadi pada hari pertama anak mengalami demam. Dalam literatur disebutkan bahwa infeksi
oleh virus herpes simpleks manusia 6 yang merupakan penyebab dari Roseola sering menjadi
penyebab pada 20 % pasien kejang demam serangan pertama. Disentri karena Shigella juga
sering menyebakan demam tinggi dan kejang demam pada anak-anak. Dan pada sebuah studi
dibicarakan mengenai adanya hubungan antara kejang demam yang berulang dengan infeksi
virus influenza A.(5)
Demam dapat muncul pada permulaan penyakit infeksi (extra Cranial), yang
disebabkan oleh banyak macam agent, antara lain :
Bakteri

Penyakit pada Tractus Respiratorius :


Pharingitis
Tonsilitis
Otitis Media
Laryngitis
Bronchitis
Pneumonia

Pada Gastro Intestinal Tract :


Dysenteri Baciller, Shigellosis
Sepsis.

Pada tractus Urogenitalis :


Pyelitis
Cystitis
Pyelonephritis

Virus:
Terutama yang disertai exanthema :
Varicella
Morbili
11

Dengue
Exanthemasubitung
VI.

Patofisiologi
Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu
senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi
oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na +) dan
elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi ion K+ di
dalam

sel

neuron

tinggi

dan

konsentrasi ion Na+ rendah. Keadaan


sebaliknya terjadi di luar sel neuron.
Karena

perbedaan

jenis

dan

konsentrasi ion di dalam dan di luar


sel tersebut
potensial

maka terjadi beda

yang disebut Potensial

Membran Sel Neuron.


Gambar 2. Potensial Membran Sel Neuron

Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan


enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial
membran sel dipengaruhi oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.
Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan potensial
membran sel yang didahului dengan stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi,
channel ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari
ion Na+, sehingga menyebabkan potensial membran sel lebih positif, sehingga

12

terbentuklah suatu potensial aksi. Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron
repolarisasi, channel ion K+ harus terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar
dapat terjadi efluks ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran lebih negative
atau ke potensial membrane istirahat.
Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara 2 sel
neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan akson neuron presinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk menghantarkan arus listrik pada sinaps
ini, dibutuhkan peran dari suatu neurotransmitter.

Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu :


1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membrane lebih positif
dan mengeksitasi neuron post sinaps
2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane lebih negative
sehingga menghambat transmisi sebuah impuls. Sebagai contoh : GABA
(Gamma Aminobutyric Acid). Dalam medis sering digunakan untuk
pengobatan epilepsy dan hipertensi.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung kepada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebri kemungkinan
besar bersifat epileptogenik sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya
tidak memicu kejang. Ditingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan


apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
13

Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebih, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam


repolarisasi ) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi
pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran
sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38o C
sudah terjadi kejang, Namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada anak dengan ambang kejang rendah.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit)
biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis
laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh
disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.

Awal (< 15 menit)


Meningkatnya kecepatan

Lanjut (15-30 menit)


Menurunnya tekanan

Berkepanjangan (>1jam)
Hipotensi disertai

denyut jantung
Meningkatnya tekanan

darah
Menurunnya gula darah

berkurangnya aliran darah

darah
Meningkatnya kadar

Disritmia

glukosa
Meningkatnya suhu pusat

Edema paru nonjantung

serebrum sehingga terjadi


hipotensi serebrum
Gangguan sawar darah otak
yang menyebabkan edema
serebrum

tubuh
Meningkatnya sel darah
putih
Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak
pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah
14

yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas


vaskular dan udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi
yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada
serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.
VII.

Manifestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di
luar sistem saraf pusat, misalnya karena Tonsillitis, Bronchitis atau Otitis Media Akut.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat, dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal
atau

akinetik.

Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak
memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan
terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.
Living Stone membagi kriteria kejang menjadi 2, yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana / KDS
2. Epilepsi yang Diprovokasi oleh Demam
Epilepsi yang diprovokasi oleh demam ditegakkan apabila kejang tidak memenuhi
salah satu atau lebih kriteria KDS. Kejang pada Epilepsi adalah merupakan dasar
kelainan, sedang demam adalah faktor pencetus terjadinya serangan.
Adapun kejang demam dibagi menjadi 2 bentuk (menurut Lwingstone), yaitu :
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
Kejang umum tonik dan atau klonik
Umumnya berhenti sendiri
Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan cirri-ciri gejala
klinis sebagai berikut :
Kejang lama > 15 menit
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
15

Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.


Gejala-gejala yang dapat timbul setelah kejang adalah, otot-otot menjadi lebih lunak,
dan dalam beberapa kejadian seseorang dapat menjadi bingung dan lupa akan
kejadian sebelumnya, mengantuk dan sakit kepala.
VIII. Pemeriksaan dan Diagnosis
8.1 Pemeriksaan
Anamnesis :

Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum / saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.

Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.

Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga,


epilepsy dalam keluarga.

Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lain.

Pemeriksaan Neurologis :
Tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan. Pemeriksaan ini dilakukan sesuai indikasi
untuk mencari penyebab kejang demam atau mengevaluasi sumber infeksi.
Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit serum
(Kalsium, fosfor, magnesium), ureum, kreatinin, urinalisis, biakan darah, urin,
atau feses.
Pemeriksaan Radiologi :
X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas
indikasi. Pemeriksaan pencitraan dapat diindikasikan pada keadaan :
Adanya riwayat atau tanda klinis trauma kepala
Kemungkinan adanya lesi structural di otak (mikrosefal, spastisitas)
Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak, atau
edema papil)
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) :

16

Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan


atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis
meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan.
2. Bayi antara 12 18 bulan : dianjurkan.
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.
Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) :
Tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas
(misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang
demam fokal. Pemeriksaan ini biasanya dipertimbangkan pada keadaan kejang
demam kompleks, kejang fokal, dan kesadaran menurun.
8.2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang
mengalami demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Suhu tubuh yang
diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam lubang dubur,
menunjukkan angka lebih besar dari 38,9o Celsius.

8.3.Diagnosis Banding
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang,
harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan
saraf pusat (otak). Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis.
Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan
jika pasien telah mendapat antibiotik maka perlu pertimbangan pungsi lumbal
IX. Penatalaksanaan

17

a. Penatalaksanaan Saat Kejang


Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 0,5 mg/kgBB perlahan lahan
dengan kecepatan 1 2 mg/menit atau dalam waktu 3 5 menit,dengan dosis
maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 0,75 mg/kgBB
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5
mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3
tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 0,5
mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 8
mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demamapakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
b. Pemberian Obat Pada Saat Demam
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5
10 mg/kgBB/kali, 3 4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.
2. Antikonvulsan
18

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C.
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkanataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25 % - 39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin
pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejangdemam.
3. Pemberian Obat Rumat
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai
berikut (salahsatu) :
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

Kejang demam > 4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi

pengobatan

rumat.

Kelainan

neurologis

tidak

nyata

misalnya

keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakanindikasi pengobatan rumat.


Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik.
b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang
demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,
maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka
pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur kurang dari 2 tahun
asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsihati. Dosis asam valproat 15

19

40 mg/kgBB/hari dalam 2 3 dosis, dan fenobarbital 3 4mg/kgBB/hari dalam 1


2 dosis.
X. Edukasi Pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangidengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping obat.
Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih.
Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak
yang mengalamikejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat
jarang. Angka kejadian pascavaksinasi DPT adalah 6 9 kasus per 100.000 anak
yang divaksinasi, sedangkan setelahvaksinasi MMR 25 34 per 100.000 anak.
Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral ataurektal bila anak demam,
terutama

setelah

vaksinasi

DPT

atau

MMR.

Beberapa

dokter

anak

merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian

20

XI. PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian.
a.

Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.


Perkembanganmental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitianlain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil
kasus, dan kelainanini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang
baik umum atau fokal(4). Kejang yang lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan
lebih dari 10 menit, diduga biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap.
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi (3,5) :
1.

Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %. Umumnya


terjadi pada 6 bulan pertama.

2.

EpilepsiResiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.

3.

Kelainan motorik

4.

Gangguan mental dan belajar

b.

Kemungkinan mengalami kematian

Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.


c.

Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya
kejang demam adalah :
a.

Riwayat kejang demam dalam keluarga

b.

Usia kurang dari 12 bulan

c.

Temperatur yang rendah saat kejang

d.

Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
a.

Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.

b.

Kejang demam kompleks.


21

c.

Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Masing masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 % - 6


%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetomenggolo TS. Kejang demam. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, Penyunting.
Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI;2000.h 244-52
2. Johnstone MV. Seizures In Childhood. In : Behrman Re, Kliegman RM, Jenson HB, ed.
Nelson Texbook of Pediatrics. 18 th ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. P.2457-71
3. Chan KK,Cherk SWW, Chan CH, Ng Dkk, Ho JCS. Aretrospective review of first febrile
convulsion and its risk factor for reccurence in Hongkong Children. HKJ Paediatr 2007;
12: 181-7
4. Sheng M, Kim MJ. Post synaptic signaling and plasticity mechanism, Science 2002 ; 298:
776-80
5. Fisher RS, Wu J. Basic electrophysiology of febrile seizures. In; Baram TZ, Shinnar
S,ed, Febrile Seizure. San Diego: Academic press : 2002 P. 231-47
22

6. Parmar H,Lim SH, Tan Nc, Lim CC. Acute Symptomatic seizures and hippocampus
damage : Dwi and MRS findings. Neurologu 2006 ; 66: 1732-5
7. Surges R, Schulze-Bonhage A, Alten muller DM. Hippocampal Involvement in
secondarily generalised seizures of extrahippocamal origin. J. Neurol. Neurosurg.
Psyichiatry 2008 ; 79 : 924-9
8. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006

23

Вам также может понравиться