Вы находитесь на странице: 1из 11

Sindroma Guillain-Barre (SGB)

BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma
Guillain-Barre
(SGB)
merupakan
penyebab
kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa
muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada
beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun
pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini,
yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis,
Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain
Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan
Landry Guillain Barre Syndrome.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim,
menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit
autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung
mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab
belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada
pemeriksaan
patologis
tidak
ditemukan
tanda-tanda
radang.Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis
memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat
disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf
perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak
ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut
spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula
spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada
terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan
perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Parry mengatakan bahwa SGB adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialis

2.2 Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste
Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan
istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal.
Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan
Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa
peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai
peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi
sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan
Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa
untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan LCS, juga adanya
kelainan
pada
pemeriksaan
EMG
dapat
membantu
menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan
hantar saraf pada EMG.
2.3 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua
musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada
akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi
peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun
didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat
dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak
bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu
pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma
Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central
Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan
insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi
antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Lakilaki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang
tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran
epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan
bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1
dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim

hujan dan kemarau.


2.4 Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan
perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a. Keganasan
b. Systemic lupus erythematosus
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini
sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum
gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella-zoster Measless
Vaccinia/smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campilobacter Typhoid Borrelia B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria
2.5 Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor
lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada
SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan


seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious
pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi
pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului
SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap
jaringan sistim saraf-saraf perifer.Infeksi-infeksi meningokokus,
infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis,
dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di
negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis.
Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu
dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis).
Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun
kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiksradiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja
yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi.
Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada
otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar
persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut
bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua
tungkai atau otot-otot anggota gerak.Secara patologis
ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau
tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel
mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit
berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul
sel plasma dan sel mast.Serabut saraf mengalami degenerasi
segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen
proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf
perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang
efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah
tersebut.
2.6 Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel
limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell
yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi
antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui

makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)


antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen
lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen
(antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut
akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T
tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan
oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka
sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan
protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.
2.7 Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi
ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu
sebelumnya. Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah
suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada
kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan
setelah vaksinasi influensa.Masa latenWaktu antara terjadi
infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat
timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar
antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten
ini belum ada gejala klinis yang timbul.Keluhan utamaKeluhan
utama
penderita
adalah
prestasi
pada
ujung-ujung
ekstremitas,
kelumpuhan
ekstremitas
atau
keduanya.
Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau
terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala Klinis1.KelumpuhanManifestasi klinis utama adalah
kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neuron.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke
badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang
juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan
otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian
proksimal.2.Gangguan sensibilitasParestesi biasanya lebih jelas
pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan
distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal
dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada

sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti


rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.3.Saraf KranialisSaraf
kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian
segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat
antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I
dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau
N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n.
laringeus.4.Gangguan fungsi otonomGangguan fungsi otonom
dijumpai pada 25 % penderita SGB. Gangguan tersebut berupa
sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang
berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse
diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang
dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari
satu atau dua minggu.5.Kegagalan pernafasanKegagalan
pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan
ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otototot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita.6.PapiledemaKadang-kadang dijumpai papiledema,
penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena
peninggian
kadar
protein
dalam
cairan
otot
yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga
absorbsi cairan otak berkurang.7.Perjalanan penyakitPerjalan
penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase
progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini
kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal.
Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang
yang melebihi 8 minggu.Segera setelah fase progresif diikuti
oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai
maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari,
paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan
kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa
bulan.Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam
waktu yang kurang dari 6 bulan.
Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya
kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB (3).
1.Variasi klinisDi samping penyakit SGB yang klasik seperti di
atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang
dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of
Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS)

pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :- Sindroma MillerFisher


- Defisit sensoris kranialis- Pandisautonomia murni- Chronic
acquired demyyelinative neuropathy.
2.Pemeriksaan laboratoriumGambaran laboratorium yang
menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak :
> 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian
kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2
dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6
minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan
peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin
serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma
Inapproriate
Antidiuretik
Hormone).3.Pemeriksaan
elektrofisiologi
(EMG)Gambaran
elektrodiagnostik
yang
mendukung diagnosis SGB adalah :- Kecepatan hantaran saraf
motorik dan sensorik melambat- Distal motor retensi
memanjang- Hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.Di
samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis
penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna.2.8 Diagnosa Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai
dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadangkadang harus dibedakan
dengan keadaan lain, seperti:
Mielitis akuta
Poliomyelitis anterior akuta
Porphyria intermitten akuta
Polineuropati post difteri
Botulisme
2.9 Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri.
Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun
dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan
tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi
beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui

sistem imunitas (imunoterapi).


Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan
preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk
terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar. Pemakaian
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik,
berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat
bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance
0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
1. 6 merkaptopurin (6-MP)
2. Azathioprine
3. Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah,
mual dan sakit kepala.
Perawatan Umum dan Fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan
pada perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan,
mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan saluran kencing
harus segera diobati. Respirasi diawasi secara ketat, terhadap
perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan
permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan
pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan
pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk
waktu
yang
lama
maka
trakheotomi
harus
dikerjakan.Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting.
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi
sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh
mencegah deep voin thrombosis spint mungkin diperlukan
untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan
kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.Segera setelah

penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif


dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari
irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat
diberikan analgetik.
2.10 Prognosis
Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000)
memperlihatkan bahwa prognosis SGB tergantung pada
progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur
pasien. Kajian yang dilakukan Seneviratne, (2000) serta Spies
dan Sheikh, (2001) terhadap berbagai penelitian terdahulu
menghasilkan beberapa faktor prediktor prognosis SGB.

Tabel 6. Faktor prediktor prognosis SGB yang buruk


Faktor prediktor Keterangan
1. Prediktor klinik Usia tua, didahului
gastrointestinal,tergantung pada ventilator,
progresivitas yang cepat,defisit motorik berat

oleh

infeksi

2. Etiologi CMV dan Campylobacter jejuni


3. Marker biokimiawi Antibodi anti GM1
4. Neurofisiologi Derajat degenerasi aksonal dan CMAP rendah
yang persisten
Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian Lyu
dkk, (1997) adalah :
(1) Usia > 40 tahun
(2) Amplitudo CMAP yang rendah
(3) Perlunya ventilasi mekanik.
Sebuah penelitian prospektif lain dengan waktu follow-up 1
tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998)
memperlihatkan bahwa usia tua ( 60 tahun) merupakan
faktor prediktor prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya
pemulihan sempurna (p=0.05; odds ratio 0.35; 95% CI 0.121.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001) menunjukkan
bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu
prediktor tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala
Hughes meningkat 2 skor dalam waktu 14 hari) (44% : 9%,

p=0,01).
Tabel 7. Prognosis SGB dari berbagai penelitian terdahulu
Peneliti
(tahun) Tempat Metode dan subjek Gambaran prognosis
Jumlah (%)
Lyu, dkk Taiwan Prospektif (median follow-up - Pulih hampir
sempurna 127(87%)
(1997) 12,8bulan); 145/167follow-up - Independen 18 (13%)
lengkap
Ress, dkk Inggris Prospektif 1 tahun; Pulih hampir sempurna 49
(62%)
(1999) 79 pasien SGB Tidak sempurna 30 (38%)
- Tidak dapat lari 14 (18%)
- Berjalan dengan bantuan 7 (9%)
- Tidak dapat bangun 3 (4%)
- Meninggal dunia 6 (8%)
Kuwabara, Jepang Prospektif 6 bulan; - Pulih cepat (2 minggu)
9 (11%)
dkk (2001) 80 pasien SGB - Pulih dalam 6 bulan 65 (81%)
- Tidak dapat berjalan 6 (8%)
sendiri setelah 6 bulan

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari serangkaian
pembahasan di atas adalah sebagai berikut :
1. Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah salah satu kelainan
poliradikulopati menyangkut demielinasi inflamasi bisa akut
maupun subakut yang mengarah pada paralisis ascenden dan
ditandai oleh kelemahan, parestesia, dan hiporefleksia
2. Mekanisme autoimun dipercaya bertanggung jawab pada
sindrom ini.

3. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh


respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh
berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah
infeksi virus.
4. Sindroma Guillain-Barre (SGB) secara khas digambarkan
dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia.
5. Terapi meliputi farmakoterapi dan terapi fisik,
6. Prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit,
derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Arnason B.G.W. 1985. Inflammatory polyradiulopathy in Dick
P.J. et al Peripheral neuropathy. Philadelphia : WB. Sounders.
Asbury A.K. 1990. Gullain-Barre Syndrome : Historical aspects.
Annals of Neurology (27): S2-S6
Asbury A.K. and David R. Crnblath. 1990. Electrophysiology in
Guillain-Barre Syndrome. Annals of Neurology (27): S17
Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute
immuno-mediated polyradiculoneuropathies. The Neurologist
(4); 211-226
Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma
gullain-barre. Medika (11); 918-922
Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th
ed. Guillain-Barre Syndrome Foundation International 2000.
Hurwitz E.S. Guillain-Barre Syndrome and the 1978-1979
influenza vaccine. The New England Med. (304); 1557-1561
Morariu M.A. 1979. major Neurological syndrome. Illinois :
Charles C. Thomas Publisher.
Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime
Medical Publisher
Van der Meche et all. 1992. A randomized trial comparing
intravenous globulin and plasma exchange injury Guillain-Barre
Syndrome. The New England JournaL of Med. 326(April 23);
1123-1129
Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990. Guillain-Barre
Syndrome, optimum management. Clin. Immunother. 2(2): 8999
Visser L.H. et all. 1995. Guillain-Barre Syndrome without
sensory loss (acute motor neuropathy). A subgroup with
specific clinical, electrodiagnostic and laboratory features.
Brain (118); 841-847

Вам также может понравиться