Вы находитесь на странице: 1из 13

Menguji kejujuran lembaga survei

Kamis, 10 Juli 2014 13:03 WIB | 22.832 Views

Oleh Masduki Attamami


Ilustrasi -- Pilpres 2014 (ANTARA FOTO/Spedy Paereng)

...kali ini persoalannya serius...Bagaimana


mungkin fakta itu bisa berbeda
Yogyakarta (ANTARA News) - Kesalahan dalam melakukan survei
karena faktor metodologi misalnya, masih bisa dimaklumi. Tetapi jika
terjadi ketidakjujuran dalam survei karena kepentingan tertentu, akan
merusak integritas lembaga survei itu sendiri.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ari
Dwipayana berpendapat munculnya hasil hitung cepat atau quick
count yang berbeda pada Pemilihan Umum Presiden 2014
merupakan fenomena yang menunjukkan tragedi yang
menghancurkan independensi dan profesionalitas lembaga survei.
Bahkan, ia sudah memperkirakan sebelumnya, akan muncul hasil
hitung cepat tandingan terhadap hasil hitung cepat dari lembaga
survei yang kredibel. Ia juga menilai, ini sebagai bagian dari upaya
untuk membingungkan masyarakat.
"Quick count tandingan akan dimunculkan sebagai tandingan atas
hasil hitung cepat yang dimunculkan oleh lembaga survei kredibel,"
kata Ari menanggapi munculnya perbedaan hasil hitung cepat
perolehan suara Pemilu Presiden 2014, di Jakarta, Rabu.
Modus untuk menciptakan "quick count" tandingan, menurut dia,
tampak jelas dari kasus tidak digunakannya hasil hitung cepat dari
Political Tracking yang dipimpin Hanta Yudha. "Lembaga survei
dijadikan alat propaganda politik yang tidak mengindahkan kaidahkaidah metodologi," kata Ari.
Selain itu, menurut dia, upaya memunculkan rilis hitung cepat justru
dipakai untuk merancang skenario menyesuaikan hasil real count

dengan quick count.


"Inilah bahaya berikutnya ketika akan muncul fenomena vote trading
yang berupaya memanipulasi hasil rekapitulasi suara, baik di tingkat
desa maupun kecamatan," ujar Ari.
Enam lembaga survei mengumumkan pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla sebagai pemenang Pilpres 2014 versi hitung cepat. Sedangkan
empat lembaga survei lainnya menyatakan pasangan Prabowo-Hatta
sebagai pemenang Pilpres 2014 versi hitung cepat.
Enam lembaga yang melakukan penghitungan cepat dan menyatakan
Jokowi-JK unggul adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang
mnenyebutkan Jokowi-JK 53,28 persen, Prabowo-Hatta 46,72
persen; CSIS-Cyrus Jokowi-JK 52 persen, Prabowo-Hatta 48 persen;
SMRC Jokowi-JK 52,79 persen, Prabowo-Hatta 47,21 persen;
Indikator Politik Jokowi-JK 52,65 persen, Prabowo-Hatta 47,35
persen, Litbang Kompas Jokowi-JK 52,4 persen, Prabowo-Hatta 47,6
persen; dan RRI Jokowi-JK 52,5 persen, Prabowo-Hatta 47,5 persen.
Sedangkan empat lembaga survei lain yang melakukan hitung cepat,
yakni Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis
(Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research
Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) menyatakan
pasangan Prabowo-Hatta unggul dalam Pilpres 2014.
Sementara itu, pengamat komunikasi politik dari Universitas
Diponegoro Semarang Turnomo Rahardjo menilai berbagai "quick
count" perolehan suara Pemilihan Umum Presiden 2014 perlu diuji
publik.
"Setiap penelitian, termasuk quick count, atau hitung cepat, didasari
tanggung jawab etis dan metodologis," katanya di Semarang, Rabu,
menanggapi perbedaan quick count hasil Pilpres 2014.
Menurut dia, hasil penelitian, termasuk hitung cepat merupakan milik
publik yang harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, baik

dari aspek etis maupun metodologis, yakni melalui uji publik.


Pengajar FISIP Undip itu menjelaskan asosiasi yang menaungi
keberadaan lembaga-lembaga survei bisa "turun tangan"
memfasilitasi penyelenggaraan uji publik atas hasil "quick count" dari
setiap lembaga.
"Perlu dibuat semacam forum uji publik terhadap berbagai hasil quick
count. Masing-masing lembaga survei menyampaikan hasil
penelitiannya, metodologinya, dan sebagainya yang mungkin saja
berbeda," katanya.
Beda Metodologi dan Sampel
Turnomo mengakui perbedaan hasil "quick count" memang bisa
terjadi dan sangat mungkin, karena metodologi yang diambil setiap
lembaga bisa saja berbeda, termasuk pula sampel dan jumlah sampel
yang berbeda.
"Quick count itu kan mengambil sampel-sampel. Kalau total
itu kan penghitungan manual dari Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Jadi, quick count memang sangat mungkin hasilnya
berbeda-beda," katanya.
Antara hasil "quick count" dan hasil penghitungan manual
dari KPU, kata dia, merupakan dua persoalan yang berbeda,
sehingga uji publik untuk mempertanggungjawabkan hasil
penelitian itu tetap perlu.
"Bahwa finalnya harus menunggu hasil penghitungan resmi
dari KPU, itu pasti. Akan tetapi, lembaga-lembaga survei
harus tetap mempertanggungjawabkan hasil quick count
yang berbeda-beda tersebut," katanya.
Nantinya, Turnomo mengungkapkan masyarakat bisa menilai
sendiri lembaga-lembaga survei yang profesional dan
berintegritas melalui pengkajian metodologis yang

berlangsung terbuka dan "fair".


Sebenarnya, kata dia, perbedaan hasil "quick count"
merupakan hal yang biasa dalam penelitian atau aspek
akademis, tetapi persoalannya tidak bisa dilepaskan dari
adanya media-media yang bersikap partisan.
"Masyarakat bisa menilai mana media yang partisan, pada
akhirnya mereka tidak memercayai media-media yang
seperti itu. Apalagi, ketika mempublikasikan quick count
yang ternyata hasilnya berbeda-beda," kata Turnomo.
Diinvestigasi Secara Metodologis
Wakil Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia
(Persepi) Muhammad Qodari menilai perbedaan hasil hitung
cepat ("quick count") jumlah perolehan suara dalam
Pemilihan Umum Presiden 2014 antara sejumlah lembaga
survei perlu diinvestigasi secara metodologis.
"Perlu ada investigasi pada momen ini untuk dilihat secara
metodologis dan secara data di setiap lembaga yang
menyelenggarakan quick count, kenapa datanya bisa muncul
seperti itu (berbeda)," kata Qodari dalam diskusi di sebuah
stasiun televisi di Jakarta, Rabu.
Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei seperti SMRC,
LSI, Indikator, CSIS-Cyrrus, Kompas dan RRI menempatkan
pasangan Jokowi-JK unggul dengan rata-rata suara 52 persen
dari Prabowo-Hatta dengan rata-rata 47 persen. Namun, tiga
lembaga survei lain yakni Puskaptis, JSI, dan LSN, justru
menyatakan kemenangan berada di kubu Prabowo-Hatta.
"Ketika terjadi perbedaan seperti hari ini, mau tidak mau
harus dilakukan investigasi, harus dilihat metodologi,
sampling, data populasinya, skemanya seperti apa. Karena
bisa saja dia melakukan sampling yang benar tetapi data

populasinya yang dia dapatkan salah ya get out," ujar Qodari.


Qodari mengatakan perlu juga dilihat siapa relawan dari
lembaga survei itu, dan dari sisi pengumpulan datanya perlu
diamati apakah terjadi penyimpangan atau misinterpretasi di
lapangan, atau mengalami perubahan dari lapangan hingga
ke pusat nantinya.
"Karena untuk melakukan quick count itu, ada dua aspek
yang penting, pertama adalah pewawancara atau volunteer
yang ke lapangan. Yang kedua dari mereka dikirim lewat IT
(teknologi). Kalau IT nya trouble, itu kan bisa berubah juga
angkanya. Terakhir dari pusat sendiri bagaimana, apakah
data dari bawah itu memang disampaikan apa adanya, atau
ada yang diubah atau diganti misalnya. Jadi panjang sekali
ya, dari hulu ke hilir," kata Qodari.
Menurut dia, banyak pihak mungkin mengatakan survei
adalah sesuatu yang bersifat opini, sehingga bisa berbedabeda hasilnya. Namun untuk hitung cepat, hal tersebut tidak
berlaku. Jika ada perbedaan data hasil resmi di TPS (tempat
pemungutan suara) dengan data yang masuk dan dilaporkan
ke publik, hal tersebut merupakan persoalan serius.
"Menurut saya, ini serius, kali ini persoalannya serius. Saya
kira lembaga survei yang menyelenggarakan quick count
harus dievaluasi. Survei itu implikasinya tidak sebesar quick
county ya, kalau quick count ini implikasinya besar karena ini
ngomongin hasil riil, bukan bicara tentang kemungkinankemungkinan. Ini berbicara tentang fakta. Bagaimana
mungkin fakta itu bisa berbeda," ujar Qodari.
Bijak Menyikapi Hasil Pilpres
Qodari berharap kedua pasangan calon presiden dan wakil
presiden 2014, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, dapat bijak
menyikapi hasil pemungutan suara Pilpres 2014 versi hitung

cepat dari sejumlah lembaga survei.


Ia berharap kedua pasangan capres-cawapres dapat segera
menyikapi hasil tersebut, kendati bukan merupakan hasil
resmi, dengan pernyataan-pernyataan yang menenangkan
situasi politik di Tanah Air.
"Ucapan-ucapan yang kemarin disampaikan oleh calon
presiden beberapa waktu lalu bahwa mereka siap menang
siap kalah, dan semuanya diserahkan kepada rakyat, itu
betul-betul menemukan maknanya pada hari ini. Kalau
disampaikan kemarin-kemarin, ya silahkan, tapi bisakah anda
menyampaikan itu pada hari ini ketika masyarakat sudah
menggunakan hak pilihnya," ujar Qodari.
Pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif Indo Barometer
itu menceritakan pengalamannya saat pemilihan kepala
daerah (pilkada) di Provinsi Jawa Tengah. Saat itu,
"incumbent" Mayjen TNI Bibit Waluyo yang dikenal sebagai
sosok yang keras mampu dengan lapang dada menerima
hasil pemungutan suara di Jateng yang dimenangkan Ganjar
Pranowo.
"Kita berpikir beliau akan keras, tapi begitu hasil hitung
cepat, pilkada Jateng itu sudah bisa disimpulkan hasilnya,
dan saat diwawancara beliau menjawab dengan jawaban
yang menyejukkan sekali. "Ya kalau ini kehendak rakyat, ya
saya menerima". Dengan cepat tensi politik di Jateng saat itu
langsung adem," kata Qodari.
Terkait dengan hasil pemungutan suara Pilpres 2014 versi
hitung cepat yang berbeda di antara sejumlah lembaga
survei, Qodari menilai adanya perbedaan tersebut
implikasinya luas. "Saya kira kalau angkanya bisa berbeda
begini, implikasinya luas. Implikasi paling besar adalah
pendukung masing-masing kubu merasa dia yang menang,
sehingga akan ngotot dengan kemenangannya. Kalau ngotot,

ini kan bisa dua macam, bisa ngotot verbal, bisa ngotot
fisikal, ini yang kita khawatirkan," ujar Qodari.
Oleh karena itu, menurut dia, tidak ada cara lain yang harus
dilakukan masing-masing kubu yakni mengawal proses
penghitungan suara secara ketat di setiap tingkatan mulai
dari TPS hingga tingkat kabupaten, provinsi, sampai ke
tingkat pusat atau nasional.
Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT ANTARA 2014

http://www.antaranews.com/berita/443439/menguji-kejujuran-lembaga-survei

Cerminan Ekonomi Nasional


Pra dan Pasca Pemilu

21

MondayAPR 2014

POSTED BY FMEINDONESIA IN UNCATEGORIZED


LEAVE A COMMENT

Pada tahun 2014 ini, Indonesia sedang merayakan demokrasinya. Baru saja
Indonesia melaksanakan pemilihan legislatif pada tanggal 9 April lalu, dan akan
dilanjutkan dengan pemilihan presidenpada 9 Juli mendatang. Pemilu yang
datang setiap 5 tahun sekali merupakan ajang perubahan yang dinantikan oleh
seluruh rakyat Indonesia. Sosok pemimpin terpilih akan menentukan arah dan
wajah baru bagi negara Indonesia, sehingga seluruh lapisan masyarakat
Indonesia larut dalam antusiasme momen pemilu. Namun, momen tersebut
tidak hanya memberikan dampak bagi kondisi perpolitikan yang ada di
Indonesia, tetapi juga berdampak bagi perekonomian bangsa. Sebab
bagaimanapun kondisi politik memainkan peran besar dalam ekspektasi,
besarnya uang yang dikeluarkan pada pre maupun pasca pemilupun turut
memberi sumbangan bagi fluktuasi perekonomian. Indikator yang kami gunakan
untuk menilai dampak pemilu terhadap perekonomian ini adalah melalui Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Inflasi, yang kami nilai mendapatkan
sumbangan pengaruh yang cukup signifikan dengan batasan waktu pada
triwulan ke 4 tahun 2013 hingga triwulan pertama 2014.
Pemilu dan Inflasi
Dari tren pemilu tahun 2004 dan tahun 2009, pemilu selalu
menyumbang kenaikan harga yang pada akhirnya menyebabkan inflasi. Padahal
inflasi sangat erat kaitannya dengan kemampuan daya beli masyarakat karena
berkaitan dengan kenaikan harga. Apalagi di Indonesia, banyak penduduk yang
berada pada kisaran garis kemiskinan sehingga sangat rentan terhadap
perubahan harga. Secara teoritis, hal ini dikarenakan banyaknya uang yang
beredar karena pengeluaran biaya pemilu ataupun banyaknya permintaan akan
barang, baik untuk keperluan administrative maupun kampanye. Namun,
melihat data inflasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan BPS, inflasi pada
triwulan ke 4 tahun 2013 sempat melaju sampai dengan puncaknya di bulan
Desember (0,55%), namun justru mengalami penurunan pada bulan
Januari(1,07%) hingga Maret (0.08%) 2014. Apabila melihat dari data
komoditas yang terpengaruh oleh inflasi, komoditas yang mengalami inflasi

tinggi berada pada makanan jadi, tembakau, dan rokok. Komoditas bahan
makanan pokok justru mengalami penurunan harga sebesar 0,44%.
Hal ini bukan menandakan tidak ada dampak signifikan dari pemilu terhadap
inflasi. Kami menilai ada beberapa hal yang menyebabkan inflasi menurun ketika
momen pemilu diselenggarakan. Yang pertama adalah dari target inflasi Bank
Indonesia sendiri. Pada tahun ini Bank Indonesia mengumumkan target inflasi
sebesar 4,5% +/- 1, atau kurang lebih 3,5-5,5%. Jauh lebih rendah dari inflasi
tahun lalu yang sampai pada tingkat 8,38% dari tahun sebelumnya. Kebijakan
target inflasi yang rendah tentunya menjadikan kontrol terhadap tingkat harga
menjadi lebih ketat. Bank Indonesia sendiri sebagai otoritas moneter di
Indonesia tentunya memiliki instrument-instrumen tight money policy yang
dapat membendung angka inflasi tersebut. Sehingga meskipun terjadi pemilu,
inflasi tetap dapat menurun dari tahun sebelumnya. Yang kedua, terkait dengan
harga pangan yang tahun lalu menyumbang angka inflasi cukup tinggi, Food and
Agriculture Organization (FAO) telah memprediksikan harga yang turun karena
cadangan makanan akan lebih stabil dari tahun-tahun berikutnya. Selain itu,
nilai tukar rupiah mulai menguat meskipun tidak terlalu besar. Penguatan nilai
rupiah tentunya memberikan dampak bagi harga barang-barang impor yang
seolah-olah menjadi semakin rendah. Dari sisi lain, saat ini partai yang
mengikuti pemilu berkurang ketika dibandingkan dengan 2009 lalu. Selain itu
Komisi Pemilihan Umum juga membatasi jumlah massa yang ikut serta terhadap
kampanye terbuka. Kedua hal tersebut pada akhirnya berpengaruh pada
pengeluaran partai.
Pemilu dan IHSG
Sebagaimana telah dicantumkan pada awal tulisan ini, pemilu
memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap harapan dan ekspektasi
ekonomi masyarakat. Harapan dan ekspektasi, seringkali menjadi poin penting
dalam perokonomian negara. Ketika ekspektasi tersebut positif, maka geliat
perindustrian dan investasi sedikit banyak akan membaik. Geliat tersebut sangat
erat kaitannya dengan Indeks Harga Saham Gabungan, sebagimana saham
adalah satuan nilai yang mengacu pada kepemilikan perusahaan atau investasi.

Pada momen pemilu sebelumnya, IHSG seringkali mengalami


guncangan. Pada pemilu 2004 IHSG sempat naik, sementara pada pemilu 2009
IHSG justru menurun. Dalam momen pemilu 2014 ini, IHSG sempat menjadi
topik hangat pemberitaan karena adanya Jokowi Effect yaitu penguatan harga
saham pasca penunjukan Jokowi sebagai capres dari PDIP. Rupanya penunjukan
Jokowi ini disinyalir oleh para investor sebagai sesuatu yang baik sehingga
mereka percaya untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang kemudian
membuat IHSG naik. Namun pasca pemilu legislatif, harga saham kembali turun.
Kami memandang proses politik yang sedang terjadi di Indonesia
memang memberikan dampak yang cukup besar bagi IHSG. Namun dampak
tersebut hanya berlangsung pada jangka pendek saja. Dalam jangka panjang
investor akan kembali memandang aspek-aspek perekonomian dan infrastruktur
pendukung investasi serta instrument kebijakan dan birokrasi. Sehingga dampak
yang ditimbulkan dari pemilu akan menguap ketika faktor-faktor tersebut tidak
turut mendukung.
Persiapan ekonomi dalam menghadapi pemilu
Pada momen pemilu mendatang, pemilihan presiden dibarengi dengan
datangnya bulan Ramadhan. Hal ini patut diwaspadai pemerintah, mengingat
pada bulan Ramadhan, pada umumnya harga bahan pokok akan melonjak
tinggi. Apalagi bila ditambah dengan momentum pemilu. Maka dari itu,
pemerintah sebaiknya mengawasi supply dari komoditas-komoditas yang rentan
terhadap kenaikan harga. Sehingga nantinya dampak kenaikannya dapat
teratasi. Selain itu dari segi moneter, bank Indonesia dapat merencanakan dan
melaksanakan antisipasi dari momen ini yang berupa pengontrolan inflasi
melalui tight money policy. Stabilitas ekonomi dan politik juga harus tetap
diawasi dan dijaga untuk mempertahankan kondisi perekonomian Indonesia.
Jangan sampai, momen pemilu yang seharusnya dapat dinikmati sebagai suatu
bentuk kepedulian terhadap bangsa menjadi boomerang bagi Indonesia.
KASTRAT BEM FEB UB
http://fmeindonesia.wordpress.com/2014/04/

DAMPAK PEMILU
TERHADAP
PEREKONOMIAN INDONES
IA

16

WednesdayAPR 2014

POSTED BY FMEINDONESIA IN UNCATEGORIZED


LEAVE A COMMENT

Tags
I

Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi Indonesia dimana pada tahun ini ada
pertistiwa besar politik yakni Pemilihan Umum (Pemilu) yang terdiri dari Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden. Jika dipelajari lebih dalam, pemilu ini sudah tentu
memiliki dampak terhadap perekonomian khususnya bagi pertumbuhan ekonomi
nasional. Pemilu ini dapat berdampak positif dan negatif. Di satu sisi pemilu ini
bisa mendorong perekonomian,namun di sisi lain justru mengerem laju
perekonomian nasional.
Dampak Negatif
Adanya pergantian pimpinan di legislative dan eksekutif ini tidak menutup
kemungkinan mengganti arah kebijakan termasuk kebijakan di bidang ekonomi.
Apalagi ada pepatah mengatakan bahwa biasanya di Negara berkembang seperti
Indonesia ganti pejabat makan ganti pula kebijakannya. Berubahnya kebijakan

pemerintah diperkirakan akan mengurangi investasi dari para penanam modal


asing. Para pemodal asing yang khawatir akan asetnya yang diperkirakan akan
mengalami fluktuatif di Indonesia pasti memilih untuk tidak berinvestasi atau
mencabut asset asetnya dari Tanah Air untuk sementara waktu sampai keadaan
politik di Indonesia sudah stabil. Hal ini menyebabkan capital flight di Indonesia
yang akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional khusunya di
sektor riil dan pasar modal. Hal ini terbukti dari respons Investor pasar modal
yang negatif terhadap hasil pemilu legislatif. Indeks Harga Saham Gabungan
pada awal perdagangan Kamis 10/4/2014 pagi melorot lebih dari 100 poin ke
kisaran level 4.800. Hingga sekitar pukul 09.15 WIB, IHSG anjlok 116,19 poin
atau 2,36 persen ke posisi 4.805,21. Tercatat 167 saham turun dan hanya 46
saham yang naik. Adapun nilai transaksi mencapai Rp 2,17 triliun. Sahamsaham yang merontokkan indesk pada awal sesi ini diantaranya Summarecon
Agung (SMRA) merosot 8,07 persen, Ciputra Development (CTRA) melorot 7,76
persen, Wijaya Karya (WIKA) melemah 7,58 persen, dan Astra International
(ASII) terkoreksi 6,54 persen. Terkait IHSG, indeks bisa responsnya bagus di
awal perdagangan. Namun bukan mustahil IHSG bisa turun karena market
menunggu terbentuknya koalisi antarpartai. Investor akan kembali berpikir logis
dan rasional serta fokus atas data ekonomi dan kinerja emiten yang diperkirakan
melambat seiring perlambatan PDB tahun ini (sumber : riset MNC securitieas).
Lantas bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut? Pemerintahan
Indonesia saat ini harus mampu menjaga stabilitas ekonominya dan
pemerintahan yang baru nanti sebaiknya mempertahankan kebijakan- kebijaka
ekonomi jangka panjang misalnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP).
Dampak Positif
Pemilu tidak hanya berdampak negative namun juga memiliki dampak positif
terhadap perekonomian Indonesia. Jumat 4/4/14 lalu Gubernur Bank Indonesia,
Darmin Nasution mengatakan Pengaruh dari aktivitas pemilu pada
pertumbuhan PDB itu positif. Akan ada tambahan pertumbuhan dari pola
normalnya tapi tidak banyak, sekitar 0,2 persen,. Dari pernyataan beliau sudah
jelas bahwa perekonomian Indonesia tumbuh akibat adanya pemilu. Jika kita
analisis, pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari perputaran uang dari

kegiatan pemilu yang terdiri 2 variabel ekonomi yakni Konsumsi ( C) dan


Pengeluaran Pemerintah (G). Dari segi konsumsi ada pembuatan atribut untuk
kampanye Partai Politik, pembayaran iklan untuk para calon legislative dan calon
presiden, dan lain sebagainya sementara dari segi pengeluaran pemerintah
sudah jelas bertambah dengan penyediaan sarana- prasarana pemilu seperti
cetak surat suara,pengadaan bilik suara, biaya distribusi dan lain-lain.
Kesimpulannya ,Perekonomian Indonesia 2014 ini tergantung pada dampak
pemilu yang lebih kuat entah itu negative atau positif. Semoga dampak
positifnya yang lebih kuat agar perekonomian Indonesia tetap stabil bahkan
berkembang.

Sara Enggar Listyani


Kastrad BEM FEM IPB
http://fmeindonesia.wordpress.com/2014/04/

Вам также может понравиться