Вы находитесь на странице: 1из 27

PENDAHULUAN

Trauma adalah penyebab kematian pada anak-anak dan dewasa muda . Namun, insiden
kematian dan kecacatan dari trauma telah mengalami penurunan secara perlahan. Penurunan
tersebut dikarenakan adanya kesadaran untuk menggunakan alat pelindung keselamatan seperti
sabuk pengaman dan penggunaan helm untuk kendaraan bermotor. Trauma bisa menyebabkan
penyebab utama dari angka kesakitan dan angka kematian karena dapat berpengaruh pada sistem
organ utama pada tubuh.
Trauma kepala tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius, sekalipun
dengan adanya sistem pengobatan modern. Kebanyakan pasien dengan trauma kepala (75-80 %)
adalah trauma kepala ringan, sementara sisanya terbagi secara merata antara sedang dan berat.
Hampir 100% dari orang-orang dengan trauma kepala berat dan sekitar dua per tiga dari
orang-orang dengan trauma kepala sedang akan mengalami disability yang permanen, dan tidak
akan kembali ke keadaan seperti sebelum terjadi trauma.
Insidensi terjadinya trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 180-220 kasus
per 100.000 populasi (atau sekitar 600.000 kasus yang terjadi setiap tahunnya), dan sekitar 10 %
dari kasus-kasus tersebut adalah fatal, dan memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala, dan penyebab yang
paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (seperti tabrakan, pejalan kaki yang
tertabrak motor, kecelakaan sepeda), jatuh, trauma ketika berolahraga, dan trauma penetrasi.
Pada daerah pinggiran (suburban atau rural), kecelakaan kendaraan bermotor terjadi pada lebih
dari setengah kasus trauma kepala. Sementara untuk daerah dengan populasi lebih dari 100.000
penduduk, jatuh dan luka penetrasi adalah penyebab yang paling umum. Sedangkan rasio
terjadinya trauma kepala antara pria dan wanita adalah 2:1, dan prevalensi terbanyak ditemukan
pada usia < 35 tahun.

PEMBAHASAN

1. Anatomi
A. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
Skin atau kulit
Jaringan subkutis
Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan
tengkorak
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
Periosteum dan perikranium
Loose areolar tissue yang memisahkan antara galea dengan perikranium adalah tempat :
a. Untuk terjadinya hematom subgaleal
b. Flap luas dan scalping injury
Kulit kepala ini bisa mengalami perdarahan banyak , tetapi mudah diatasi dengan menekan
sebentar saja daerah yang berdarah dan perdarahan akan berhenti. Pada anak laserasi kulit kepala
berakibat kehilangan darah masif.

B. Tulang Tengkorak (Cranium)


Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii. Kalvarium , tipis pada
regio temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera kepala dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dapat dibagi atas 3 fosa yaitu :
Fosa anterior, tempat lobus frontalis
Fosa media, tempat lobus temporalis
Fosa posterior, ruang bagi batang otak bawah dan serebelum

C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
Duramater
Jaringan fibrous kuat, tebal dan kaku merupakan jaringan ikat. Spasi epidural terletak antara
tulang tengkorak dan durameter, di spasi ini terdapat arteri meningeal . Apabila terjadi perlukaan
di daerah ini dapat menyebabkan perdarahan epidural

Arakhnoid
Membran , tipis transparan menyerupai sarang laba-laba. Dibawah membran ini terdapat spasi
yang disebut sub-arachnoid space , dimana terdapat cairan otak (Cerebro spinal fluid) dan vena
meningeal . Cedera di spasi ini akan menyebabkan hematom subdural

Piamater
Melekat erat pada permukaan korteks otak (lapisan yang membungkus otak).

Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Pada beberapa tempat tertentu duramater membelah menjadi
2 lapis membentuk sinus yang mengalirkan darah vena dari otak. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus umumnya
lebih dominan di sebelah kanan. Sinus-sinus ini dapat pecah pada cedera kepala dan
mengakibatkan pedarahan hebat. Perdarahan sinus sagitalis superior pada 1/3 anterior dapat
diligasi dengan aman bila diperlukan. Namun ligasi 2/3 posterior sinus ini akan sangat berbahaya
karena menyebabkan infark vena pada otak dan kenaikan tekanan intrakranial yang refrakter
yang sulit diatasi.
Arteri-arteri meningen terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak pada
ruang epidural. Jalannya arteri-aerteri ini dapat tampak pada foto polos tengkorak karena
membuat jalur pada tubula interna tengkorak. Laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningen media yang
terletak pada fosa temporalis ( fosa media).
Di bawah duramater terdapat lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang disebut selaput
arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.

Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaputarakhnoid dan piamater dalam ruang


subarakhnoid. Bila terjadi perdarahan subarakhnoid maka darah bebas akan berada dalam ruang
ini. Perdarahan ini umumnya disebabkan oleh pecahnya aneurisma intrakranial atau akibat
cedera kepala.

D. Otak
Otak manusia tediri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater yang berada
di inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri yang kiri terdapat terdapat pusat bicara
manusia yang bekerja dengan tangan kanan, namun juga pada 85% orang yang kidal. Hemisfer
otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominant. Lobus frontalis
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung ekspresi
bicara (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi
ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja
dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporalis kiri tetap merupakan
lobus yang dominan karena bertanggung jawab dalam kemampuan bicara. Lobus temporalis
yang nondominan relatif tidak banyak berfungsi aktif. Lobus oksipitalis berukuran lebih kecil
dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons, dan medulla
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi

dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat vital
kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medulla spinalis di bawahnya. Lesi yang kecil
saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan deficit neurologis yang berat. Namun demikian,
lesi-lesi yang kecil di batang otak sering tidak tampak jelas pada CT Scan kepala. Serebelum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fossa
posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan kedua hemisfer serebri.

E. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plexus koroideus, dengan kecepatan produksi sebanyak 30
ml/jam. Plexus koroideus terletak terutama dalam ventrikel lateralis, baik kanan maupun kiri,
mengalir melalui foramen Monroe ke dalam ventrikel ke-3. Selanjutnya dalam ventrikel II,
melanjutkan diri melalui aquaductus dari sylvius menuju ventrikel IV. Selanjutnya keluar dari
system ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak
dan medulla spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulatio arachnoid
yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulation arachnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial (hidrosefalus komunikan).
F. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fossa
cranii anterior dan fossa cranii media), dan ruang infra tentorial (berisi fossa cranii posterior),
mesenfalon (mid brain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak dan berjalan melalui
celah lebar tentorium serebelli yang disebut insisura tentorial. Nervus okulomotorius berjalan di
sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak, yang umumnya
diakibatkan oleh adanya massa supratentorial atau edema otak.

Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan kontriksi pupil mata, berada pada
permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-serabut ini yang disebabkan oleh penekanan
akan mengakibatkan dilatasi pupil karena aktivitas serabut simpatik tidak dihambat. Bila
penekanan ini terus berlanjut, akan menimbulkan paralysis total okulomotorik yang
menimbulkan gejala deviasi bola mata ke lateral dan bawah.
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial
lobus temporalis yang disebut gyrus uncus. Herniasi uncus juga menyebabkan penekanan traktus
pyramidalis yang berjalan pada otak tengah. Traktus pyramidalis atau tractus motorik yang
menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada foramen magnum, sehingga penekanan
pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral
disertai hemiplegi kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi umumnya
perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi,
walaupun tidak selalu. Tidak jarang, lesi massa yang terjadi menekan dan mendorong otak
tengah ke sisi berlawanan pada tepi tentorium serebelli, dan mengakibatkan hemiplegi dan
dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematoma intrakranialnya, sindroma ini dikenal
sebagai sindroma lekukan Kernohan.

2. Fisiologi
a. Tekanan intrakranial (TIK)
Tekanan Intrakranial adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala terhadap tekanan atmosfir
yang dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak, serebrospinalis (CSS), dan volume sirkulasi
darah otak. TIK ini merupakan suatu keadaan dinamis yang berfluktuasi secara terus menerus
yang dapat berubah sebagai respon terhadap berbagai aktivitas dan proses fisiologis tertentu
seperti olahraga, batuk, peregangan, denyut nadi dan siklus pernapasan. Secara klinis TIK bisa
diukur langsung dari intraventikuler, intraparenkim, subdural atau epidural dimana dengan
pengukuran secara terus menerus dapat diperoleh informasi adanya perubahan fisiologis dan
patologis didalam rongga intrkranial. Pengukuran ini dapat bermanfaat dalam penanganan
penderita dengan kelainan intrakranial. TIK dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain orientasi
sumbu kraniospinal terhadap gravitasi, volume komponen intrakranial, elastan , dan tekanan
atmosfer. Rongga kepala merupakan suatu struktur yang rigid dan berisi tiga komponen utama
yang terdiri dari otak (mencakup elemen neuroglia dan cairan intrtisiel sel), darah (arteri dan
vena), dan CSS. Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial yang selalu dipertahankan
konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg.
Bila pada suatu keadaan didapatkan adanya penambahan suatu massa intrakranial, maka sebagai
kompensasi awal adalah penurunan volume darah vena dan likuor secara respirokal. Keadaan ini
dikenal dengan doktrin Monro-Kellie Burrous , yang telah dibuktikan melalui penelitian
eksperimental maupun klinis. Sistem vena akan segera menyempit bahkan kolaps dan darah akan

diperas keluar melalui vena jugularis atau melalui vena-vena emisaria dan kulit kepala.
Kompensasi selanjutnya adalah CSS akan terdesak melalui foramen magnum ke arah rongga
subaraknoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini akan berlangsung sampai batas waktu tertentu
yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan kemudian akan menjadi peningkatan tekanan
intrkranial yang hebat secara tiba-tiba. Parenkim otak dan darah tidak ikut serta dalam
mekanisme kompensasi tersebut. Beberapa istilah yang berhubungan dengan TIK adalah
komplians (dV/dP) dan elastans (dP/dV). Komplians adalah nilai perubahan volume akibat
adanya perubahan tekanan. Nilai ini menggambarkan kemampuan dari akomodasi rongga kepala.
Nilai komplians disebut tinggi bila rongga kepala bisa mengakomodasikan suatu tambahan
massa yang besar hanya dengan sedikit perubahan tekanan saja. Elastans adalah nilai perubahan
tekanan akibat perubahan volume. Elastans menggambarkan ketahanan terhadap adanya suatu
massa intrakranial. Elastans dpat diukur dengan menyuntikkan 1 mL larutan salin steril kedalam
ventrikel dalam waktu 1 detik dan diukur perubahan TIK yang terjadi. Peningkatan melebihi 2
mmHg mnunjukkan elastans yang rendah dan komplians yang tinggi. Kenaikan TIK lebih dari
10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan yang patologis (hipertensi inrakranial) , keadaan ini
berpotensi merusak otak. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan intrakranial tinggi
adalah sebagai akibat gangguan aliran darah serebral dan sebagai akibat dari proses mekanis
pergeseran otak yang kemudian menimbulkan pergeseran dan herniasi jaringan otak.
b. Doktrin Monro-Kellie
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah tulang tengkorak tidak dapat meluas, sehingga bila
salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi
dengan mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intrakranial
ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan
adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi
yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran
otak ke arah bawah (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat
berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme
kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.

c. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting dengan TIK. TPO mempunyai
formula sebagai berikut:
TPO = MAP TIK
Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah
sangat penting, terutama pada keadaan TIK yang tinggi.
TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang buruk pada penderita
cedera kepala.
d. Aliran Darah ke Otak (ADO)
Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila ADO menurun
sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit, selsel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma, fenomena
autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila MAP 50-160 mmHg.
Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP >160mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami
gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap
cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba.
Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak
sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila
terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus
dipertahankan

TRAUMA KEPALA
Definisi
Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan non
kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang menyebabkan terjadinya
kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial yang permanen atau sementara, dengan
disertai berkurangnya atau perubahan tingkat kesadaran.

Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan cenderung untuk
bervariasi bergantung kepada spesialitas dan keadaan lingkungan. Seringkali, trauma/cedera otak
disamakan dengan trauma kepala.

Patofisiologi
Pada cedera kepala kerusakan otak terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder . Cedera primer merupakan Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala .
Pada cedera kepala dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa kerusakan pada durameter dan dinamakan
lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut kontusio coup, diseberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup . Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear,
bahkan akselerasi yang dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.
Akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, contercoup , dan intermediet .
Yang disebut lesi kontusio intermediet adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan terhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countercoup).
Kerusakan sekunder tehadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menimbulkan efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami
cedera , jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan , kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa
natrium pad dinding sel yang berperan dalm berperannya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak bergantung dari menit
ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen , dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila supali berhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak.

II.5 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
Mekanisme
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul.
Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput dura
menentukan cedera apakah cedera tembus atau tumpul.

Beratnya cedera
GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya cedera penderita kepala. Penderita
dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala ringan, GCS 9-13 termasuk cedera
kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala berat. (1)
Glasgow Coma Scale

Nilai

Respon membuka mata (E)


Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

Tabel Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury


Klasifikasi
Ringan

Kehilangan kesadaran <20 menit


Amnesia post traumatil <24 jam
GCS = 13-15

Sedang

Kehilangan kesadaran >20 menit dan <36


jam
Amnesia post traumatik>24 jam dan < 7
hari
GCS 9-12

Berat

Kehilangan kesadaran >36 jam


Amnesia post traumatik > 7hari
GCS 3-8

3. Morfologi
A. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atas atau dasar tengkorak , dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan tekhnik bone window untuk memperjelas
garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk

kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Klasifikasi fraktur tulang tengkorak adalah :
1. Gambaran fraktur dibedakan atas :
a. Linear
Fraktur yang paling tersering ditemukan , terjadi retakan pada fraktur linear tetapi tidak terjadi
displacement dan umunya tidak terlalu memerlukan perawatan. Fraktur ini biasanya terjadi
akibat trauma tumpul pada permukaan yang luas dari tulang tengkorak. Secara umum fraktur ini
tidak memberikan arti klinis yang berarti kecuali mengenai jaringan vaskuler, sinus, pembuluh
darah.
b. Diastase
Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura kranial. Fraktur ini biasa
terjadi pada anak usia dibawah 3 tahun

c. Comminuted
Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur
d. Depresi
Apabila fragmen tulang tertekan dengan atau tanpa robekan pada kulit kepala . Fraktur depresi
dapat diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih fraktur terletak
dibawah level anatomik normal dari tabula interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh.
Kriteria untuk menegakan fraktur tulang kepala :
-

Depresi > 8-10 mm (>tebal dari tulang tengkorak


Defisit yang berkaitan dengan tulang
Kebocoran CSF
Fraktu terbuka depresi

e. Basilar
Fraktur linear meliputi dasar pertengahan pada tulang tengkorak. Biasanya berhubunganpada
dural . Biasanya terdapat pada 2 regio yaitu regio temporal dan kondilar oksipital.
Kebanyakan dari fraktur basal tulang kepala adalah terdapat ekstensi dari fraktur pada kubah
tengkorak.

Diagnosis :
-

CT scan merupakan pemeriksaan paling buruk untuk medeteksi fraktur basal


tulang kepala
Pemeriksaan BSF dengan X rays tulang tengkorak dan kriteria klinis lebih
sensitif.
Diagnosis klinis
Beberapa tanda ini muncul dalam beberapa jam kedepan setelah trauma
CSF Otorrhea dan rhinorhea
Hemotimpanium atau laserasi dari kanal auditori eksternal
Ekimosis postaurikular (Battle sign)
Periorbital ekimosis (Racoons eyes), dengan tidak adanya trauma orbital langsung kecuali bila
bilateral.
Cedera nervus cranial :
a. VII DAN VIII : pada fraktur tulang temporal
b. cedera nervus olfaktori : BSF sering terjadi pada fossa anterior dan mengakibatkan
anosmia.Patah tulang ini dapat meluas ke kanal optik dan menyebabkan cedera pada kanal optik.

2. Lokasi anatomis dibedakan atas :


a. Calvarium /konveksitas (Kubah atas/tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak) : melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi
rhinorea dan otore cairan serbrospinal

3. Keadaan luka dibedakan atas :


a. Terbuka
b. Tertutup

B. Lesi Intrakranial
a. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat
buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia
retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak
karena syok yang berkepanjangan atau apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa
kasus, CT scan sering menunjukan gambaran normal, atas gambaran edema dengan batas area
putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal cedera aksonal difus (CAD) untuk

mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukan danya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya. Komosio
serebro berat : berasal dari benturan kepala yang mengahsilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk kemungkinan
kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit. Tanda dan gejala geger otak adalah hilang kesadaran,
sakit kepala berat, hilang ingatan, mata berkunang-kunang , pening ,lemah , pandangan ganda.
Komosio serebro ringan dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologist yang bessifat sementaara dalam berbagai derajat. Gejalanya bingung dan disorientasi
tanpa amnesia retrogard dan intergad
b. Epidural hematom
Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka
mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi pada area parietotemporal akibat
robekan arteria meningea media. Hematoma epidural di daerah frontal dan oksipital sering tidak
dicurigai dan memberi tanda- tandea setempat yang tidak jelas. Bila hematoma epidural tidak
disertai cedera otak lainnya, pengobatan dini biasanya dapat menyembuhkan penderita dengan
sedikit atau tanpa defisit neurologis. Gejala dan tanda tampak bervariasi, tetapi beberapa
penderita hematom epidural yangvkhas memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak
sadar dalam waktu pendek, diikuti oleh periode lusid.
Hematoma yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus temporalis
otak ke arah bawah dan dalam . Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkus dan
sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi dibawah tepi tentorium . Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenali oleh tim medis.
Tekanan herniasi unkus pada sirkulasi arteria ke formasio retikularis media oblongata
menyebabkan hilangnya kesadaran. Ditempat ini juga terdapat nuklei saraf III . Tekanan pada
saraf ini menyebabkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada jaras kortikospinalis
asendens pada daerah ini menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral , refleks
hiperaktif atau sangat cepat, dan refleks babinski positif. Dengan meluasnya hematoma isi otak
akan terdorong ke arah yang berlawanan sehingga terjadi peningkatan ICP, termasuk kekauan
deserebrasi, gangguan tanda vital dan fungsi pernafasan.
Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
arteriogram karotis, ensefalogram , serta CT scan. Kebanyakan kasus perdarahan epidural adalah
kasus bedah. Indikasi pembedahan :
-Setiap gejala akut EDH
- Gejala asymptomatik akut dengan pengukuran>1cm
Objektif pembedahan:

Menghilangkan bekuan : ICP rendah dan menghilangkan cacat massa fokal


Hemostasis : penggumpalan perdarahan jaringan lunak (vena durak dan arteri)
Mencegah akumulasi kembali

c. Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural. Hematoma subdural terbagi menjadi 3 tipe : akut, subakut, dan kronik.
Hematoma subdural akut
Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24 jam sampai 48 jam
setelah cedera . Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan menjadi mortalitas
yang tinggi. Hematoma subakut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus
menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor. Cedera ini sering berkaitan dengan
cedera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak kedalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.
Keadaan ini cepat menimbulkan henti napas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
Pengobatan dengan tindakan pengangkatan hematoma , dekompresi dengan mengangkat
tempat-tempat pada lobus frontalis atau lobus temporalis serta melepaskan kompresi dura.
Hematoma subdural subakut
Menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua
minggu setelah cidera. Disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural. Riwayat
klinis yang khas dari penderita adalah trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran
selanjutnya diikuti dengan perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun setelah jangka
waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat
kesadaran menurun bertahap selama beberapa jam.
Hematoma subdural kronik
Pada anamnesis terdapat trauma otak yang terjadi akibat cedera ringan. Awitan gejala pada
umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, bahkan sampai beberapa tahun pada cedera awal.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi
perdarahan lambat ke ruang subdural. Dalam 7-10 hari setelah perdarahan darah dikelilingi oleh
membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga membentuk

peredaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma.


Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan
membran atau pembuluh daah disekelilingnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan
hematoma.
Gejala dan tanda yang paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk
apati, letargi, berkurangnya perhatian, dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan
kecakapan kognitif yang lebih tinggi. Hemianopsia, hemiparesis , dan kelainan pupil ditemukan
pada kurang dari 50% kasus.
d. Cedera otak akibat trauma ringan (Konkusio)
Pasien dengan riwayat cedera kepala dengan GCS 15 seringkali tidak terdiagnosis. Konkusio
dicurigai bila mekanisme cedera melibatkan adanya benturan di kepala , cedera akselerasideselerasi atau kejadian yang mendebarkan biasanya terjadi pada saat olahraga atau cedera akibat
bermain. Gejalanya yaitu pasien biasanya bingung saat kejadian, dan kebingungan terus menetap
setelah cidera. Tidak terdapat tanda neurologis yang khas untuk cedera kepala yang lebih berat.
Sebagian besar pasien sembuh dari konkusio tanpa gejala sisi yang serius, tetapi beberapa hari
pasien mengalami sindrom pasca concusio. Disfungsi kognitif, pusing menetap, dan sakit kepala
merupakan ciri khas sindrom ini. Ciri khas lainnya adalah gangguan tidur, gangguan bicara, dan
masalah tingkah laku yang dapat tidak terlihat atau dramatis. Gejala ini dapat menetap bebrapa
hari , minggu , atau lebih lama setelah konkusio.
Pemeriksaan penunjang
1. CT scan
Indikasi :
-

Adanya resiko kriteria sedang atau tinggi yang meliputi perubahan status mental yaitu :
GCS <14 ,defisit fokal,amnesia karena cedera, status saraf yang memburuk, tanda dari
fraktur tulang tengkorak basal atau calvarial

Penilaian sebelum anastesi umum untuk prosedur lainnya untuk mendeteksi kerusakan
yang lambat terjadi

Follow up CT :
-

Untuk pasien dengan cedera kepala berat


a. Untuk pasien stabil , follow up CT biasanya dilakukan diantara hari ke 3 sampai ke 5
dan diulangi lagi diantara hari ke 10 sampai 14.

b. rekomendasi rutin follow up CT scan beberapa jam setelah waktu nol CT


(pemeriksaan CT awal dilakukan pada jam trauma ) untuk menyingkirkan epidural
hematom dan memar traumatis.

Untuk pasien dengan cedera kepala ringan sampai sedang


a. dengan gambaran abnormal CT scan , CT scan harus diulang
b. pasien stabil dengan cedera kepala ringan dan pemeriksaan CT scan awal normal tidk
memerlukan follow up CT

2. X-ray tulang tengkorak


1. Pada pasien dengan resiko sedang untuk cedera kepala dengan mendeteksi patah tulang
tengkorak
2. Jika CT scan tidak dapat diperoleh, sinar X ray tulang tengkorak dapat
mengidentifikasi pergeseran pineal, pneumochephalus, air fluid level pada sinus, fraktur
tulang kepala (depresi atau linear)

3. MRI
Tidak dilakukan pada cedera kepala akut. MRI lebih sensitif dibandingkan dengan CT
scan . Lesi bedah yang tidak jelas pada CT scan dapat dilihat dengan menggunakan MRI.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
- Penurunan kesadaran
- Nyeri kepala:
- Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
- Bagaimana mekanisme kejadian, bagian tubuh apa saja yang terkena, dan tingkat keparahan
yang mungkin terjadi)

Berdasarkan mekanismenya, trauma dibagi menjadi :


a. Cedera tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan)
- kecepatan rendah (terjatuh atau terpukul)
b. Cedera tembus (luka tembus peluru atau tusukan) adanya penetrasi selaput dura menentukan
apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat
penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan
prognosis selanjutnya.

Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
laring atau trakea.
- Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas bebas.
- Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur - ada obstruksi
parsial.
- Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut definitif
memerlukan pemasangan selang udara.
Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi pada leher.
Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan multiple trauma,
maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan adanya fraktur
servikal dapat disingkirkan
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada,
dan diafragma.
Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah pernafasan per
menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru
Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest, dengan kontusio paru,
dan open pneumothorasks harus ditemukan pada primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru harus dikenali pada
secondary survey
Keterangan tambahan :

Gejala tension pneumothoraks :


Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi, hipotensi, deviasi
trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan distensi vena leher, hipersonor,
sianosis (manifestasi lanjut).
Gejala Flail Chest :
Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan abnormal, dan krepitasi
iga atau fraktur tulang rawan.
Gejala Open pneumothorax:
Hipoksia dan hiperkapnia
Gejala hematothorax:
Nyeri dan sesak nafas
Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena perdarahan. Fremikus sisi yang
terkena lebih keras dari sisi yang lain.
Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar atau menghilang.
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti sebaliknya.
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalarn
keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda
hipovolemik.
Nadi
Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda diperlukan resusitasi segera.

b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada luka
D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran
pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan keadaan
penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat diiakukan
pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
a.

Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)

Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)

Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing

Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala

Tidak ada kriteria cedera sedang-berat

b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)


-

Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

Konklusi

Amnesia pasca trauma

muntah

Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro spinal)
-

Kejang

c. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)


-

Skor GCS 3-8 (koma)

Penurunan derajat kesadaran secara progresif

Tanda neurologis fokal

Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma
langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Jika
hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap sebagai
penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi terhadap jejas
dan luka.

2. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi
tanda vital.

Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika belum
dilakukan pada primary survey

Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.

Penanganan
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan:
(1) Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder
(2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan
sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan
tunggu dulu pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan
yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder.
Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada
tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75
persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan
secepatnya.
Faktor-faktor yang memperjelek prognosis:
(1) Terlambat penanganan awal/resusitasi
(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat
(3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat
(4) Terlambat dilakukan tindakan bedah
(5) Disertai cedera multipel yang lain.
Penanganan di Tempat Kejadian
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum sampai
di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia.
Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak
melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher,
tulang punggung, dada, dan pelvis.
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock selama
beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat
pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil
midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu
singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya
hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita dapat
berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas
sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan
jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat
melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau
suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa

orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke
mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah
yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas
belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut
nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut
nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri
radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis
yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya
teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan
eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi
lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intrakranial.

DAFTAR PUSTAKA
1. Greenberg, Mark S. Hanbook ofNfeurosurgery . Fifth edition.2001
2. Ernest E.Moore, Keneth L.mattox, David V. Feliciano. Trauma Manual. Fourth Edition.
2003
3. Price, Sylvia A. Patofisiologi . Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Volume.
2003
4. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:Advanced Trauma
Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma
IKABI; 2004. 168-193.
5. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice ofSurgery. 4th ed. Elsevier
Churchill Livingstone;2007. 551-61.
6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrtz Principles ofSurgery. 8th ed.
McGraw-Hill;2005. 1615-20.
7. Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life Support. 1997.
USA: First Impression. Halaman 196-235.
8. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,Hartanto H, Listiawati E,
Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006

LAPORAN KASUS
CEDERA KEPALA RINGAN
KEPANITERAAN BEDAH
RSUD CIANJUR

Penyusun:
Luqmanul Hakim
2009730027

Pembimbing : dr. Asep TM, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kasih sayang
dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan Refreshing sebagai salah satu syarat
untuk melengkapi nilai Laporan Kasus.
Laporan kasus ini berjudul Cedera Kepala. Pada kesempatan ini, saya ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada pembimbing saya
dr. Asep TM, Sp.B, atas bimbingan, nasehat, bantuan serta dorongan yang sangat besar dan
berarti bagi kami selama Referat, sehingga laporan refreshing ini dapat diselesaikan.
Terima Kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua atas doa dan dukungannya,
selalu mendampingi dan penuh pengertian memberi semangat selama kami mengikuti
pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan laporan tinjauan pustaka ini. Harapan dan doa kiranya kebaikan dan bantuannya
yang diberikan kepada kami mendapat balasan dari Allah Yang Maha Pemurah. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu melimpahkan rahmat dan
karuniaNya kepada kita semua. Amin.

Cianjur, Juli 2015


Hormat Kami

Penyusun

Вам также может понравиться