Вы находитесь на странице: 1из 51

KONSEP KEPERAWATAN BAYI BARU LAHIR

Tugas Maternitas

Oleh :
Kelompok 3
D-IV Keperawatan Tingkat I

Ni Made Ayu Rahayuni


Ida Ayu Rika Kusumadewi
Putu Yeni Yunitasari
Nyoman Wita Wihayati
Ni Made Ayu Lisna Pratiw
Ni Putu Erna Libya
Ni Kadek Dian Inlam Sari
Putu Meylitha B.
Ni Luh Suci Novi Ariani
Ida Ayu Diah Nareswari Keniten

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
TAHUN AJARAN 2014/2015

(P07120214013)
(P07120214013)
(P07120214013)
(P07120214013)
(P07120214013)
(P07120214013)
(P07120214013)
(P07120214013)
(P07120214021)
(P07120214039)

KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Maternitas untuk proses pembelajaran
di Politeknik Kesehatan Denpasar yang membahas tentang Konsep Keperawatan Bayi
Baru Lahir tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak. Untuk itu
dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah
membantu dalam penelitian dan pengumpulan data.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.
Om Santih, Santih, Santih, Om

Denpasar, 27 September 2014

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi

ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..1
1.2 Rumusan Masalah.........1
1.3 Tujuan Penulisan...................2
1.4 Manfaat Penulisan ...............2
1.5 Metode Penulisan......2
1.6 Sistematika penulisan....2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bayi Baru Lahir ......................................................................................3
2.2 Adaptasi Fisiologi Bayi Baru Lahir ..........................................................................3
2.3 Kelainan pada Bayi Baru Lahir ...............................................................................24
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 51
3.2 Saran
51
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bayi baru lahir normal adalah bayi lahir yang melewati masa penyesuaian
pada minggu pertama kehidupannya. Sedangkan waktu di dalam uterus ibu bayi
aman, hangat dan makan dengan baik. Setelah lahir bayi harus menyesuaikan pada
pola untuk makan, bernapas dan tetap hangat (Asuhan Bayi Baru Lahir, 2000).
Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002,
angka kematian bayi baru lahir sebesar 45/1000 kelahiran hidup dan dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain: infeksi, asfiksia neonatorum, trauma kelahiran,
cacat bawaan (seperti labio plato skisis), penyakit yang berhubungan dengan
prematuritas dan dismaturitas, imaturitas dan lain-lain. Ditinjau dari pertumbuhan
dan perkembangan bayi, periode neonatal merupakan periode yang paling kritis.
Kasus labio palato skisis merupakan salah satu bentuk kelainan kongenital pada
bayi baru lahir. Labio palate skisis sering dijumpai pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan (Randwick, 2002). Kelainan ini merupakan kelainan
yang disebabkan faktor herediter, lingkungan, trauma, virus (Sjamsul Hidayat,
1997), tetapi dapat diperbaiki dengan pembedahan. Secara umum, perawatan bayi
baru lahir berpusat pada ibu dan keluarga agar pemberian asuhan keperawatan
aman dan berkualitas dalam mengenali fokus dan adaptasi yang berorientasi
terhadap kebutuhan fisik dan psikososial bayi baru lahir. Riset menunjukkan bahwa
kontak dini yang diperpanjang antara orangtua-bayi baru lahir lebih besar secara
signifikan dibandingkan dengan risiko infeksi (Stright, 2005)

Mengingat masa

neonatus/bayi baru lahir adalah masa penentu. Perkembangan dan pertumbuhan


bayi/anak selanjutnya serta diperlukan perhatian dan penanganan yang terpadu dan
berkesinambungan, maka penyusun tertarik untuk membuat makalah dengan judul
Konsep Keperawatan Bayi Baru Lahir

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1
1.2.2

Apakah pengertian bayi baru lahir?


Bagaimanakah adaptasi fisiologi bayi baru lahir?
1.2.3 Apa sajakah Kelainan pada bayi baru lahir?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengetahuan dan memahami konsep keperawatan bayi baru
lahir.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian bayi baru lahir.
b.Untuk megetahui adaptasi fisiologi bayi baru lahir.
c. Untuk mengetahui kelainan pada bayi baru lahir
1.4 Metoda Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini penu;lis menggunakan metoda studi kepustakaan
dan penelusuran IT.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Tujuan penulisan
1.3 Metoda penulisan
1.4 Sistematika penulisan
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Bayi Baru Lahir
2.2 Adaptasi Fisiologis Bayi Baru Lahir
2.3 Kelainan Pada Bayi Baru Lahir
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bayi Baru Lahir (Neonatus atau Neonatal)
Bayi Baru Lahir (BBL)/ Neonatus/ Neonatal adalah hasil konsepsi yang baru
keluar dari rahim seorang ibu melalui jalan kelahiran normal atau dengan bantuan
alat tertentu dengan periode sejak bayi lahir sampai 28 hari pertama kehidupan.
Bayi baru lahir fisiologis adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37-42 minggu dan
berat badan lahir 2500-4000 gram. (Depkes RI, 2007). Selama beberapa minggu,
neonatus mengalami masa transisi dari kehidupan intrauterin ke extrauterine dan
menyesuaikan dengan lingkungan yang baru. Masa bayi baru lahir (Neonatal)
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Periode Partunate, dimana masa ini dimulai dari saat kelahiran sampai 15
dan 30 menit setelah kelahiran
b. Periode Neonate, dimana masa ini dari pemotongan dan pengikatan tali
pusar sampai sekitar akhir minggu kedua dari kehidupan pascamatur.
2.2 Adaptasi Fisiologis BBL Terhadap Kehidupan Diluar Uterus

Saat lahir, bayi baru lahir harus beradaptasi dari keadaan yang sangat
tergantung menjadi mandiri. Banyak perubahan yang akan dialami oleh bayi yang
semula berada dalam lingkungan interna ke lingkungan eksterna . Saat ini bayi
tersebut harus dapat oksigen melalui sistem sirkulasi pernapasannya sendiri,
mendapatkan nutrisi oral untuk mempertahankan kadar gula yang cukup, mengatur

suhu tubuh dan melawan setiap penyakit.Periode adaptasi terdahadap kehidupan


diluar rahim disebut periode transisi. Periode ini berlangsung hingga 1 bulan atau
lebih setelah kelahiran untuk beberapa sistem tubuh.Transisi yang paling nyata dan
cepat terjadi adalah pada sistem pernafasan dan sirkulasi,sistem termoregulasi dan
dalam kemampuan mengambil serta menggunakan glukosa.
Transisi dari kehidupan di dalam kandungan ke kehidupan luar kandungan
merupakan perubahan drastis, dan menuntut perubahan fisiologis yang bermakna
dan efektif oleh bayi, guna memastikan kemampuan bertahan hidup. Adaptasi bayi
terhadap kehidupan diluar kandungan meliputi :
2.2.1

Adaptasi Fisiologi Fetus


Sejak konsepsi perkembangan konseptus terjadi sangat cepat yaitu

zigot mengalami pembelahan menjadi morula (terdiri atas 16 sel blastomer),


kemudian menjadi blastokis (terdapat cairan di tengah) yang mencapai
uterus, dan kemudian sel-sel mengelompok, berkembang menjadi embrio
(sampai minggu ke-27). Setelah minggu ke-10 hasil konsepsi disebut janin.
Dengan demikian adaptasi fetus sudah terjadi secara fisiologis.
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang baru lahir dengan kehamilan
atau masa gestasinya dinyatakan cukup bulan (aterm) yaitu 36 40 minggu.
Bayi baru lahir normal harus menjalani proses adaptasi dari kehidupan di
dalam rahim (intrauterine) ke kehidupan di luar rahim (ekstrauterin).
2.2.2
Perubahan Pernafasan
1. Perubahan Pernafasan Intrauterin
Gerakan nafas janin telah dapat dilihat sejak kehamilan 12 minggu
dan pada 34 minggu secara reguler gerak nafas ialah 40-60/menit dan di
antara jeda adalah periode apnea. Cairan ketuban akan masuk sampai
bronkioli, sementara di dalam alveolus terdapat cairan alveoli. Gerakan
nafas janin dirangsang oleh kondisi hiperkapnia dan peningkatan kadar
glukosa. Sebaliknya, kondisi hipoksia akan menurunkan frekuensi nafas.
Pada aterm normal, gerak nafas akan berkurang dan dapat apnea selama
2 jam.

Alveoli terdiri atas dua lapis sel epitel yang mengandung sel tipe I
dan II. Sel tipe II membuat sekresi fosfolipid suatu surfaktan yang
penting untuk fungsi pengembangan nafas. Surfaktan yang utama ialah
sfingomielin dan lesitin serta fosfatidil gliserol. Produksi sfingomielin
dan fosfatidil gliserol akan memuncak pada 32 minggu, sekalipun sudah
dihasilkan sejak 24 minggu. Pada kondisi tertentu, misalnya diabetes,
produksi surfaktan ini kurang juga pada pretrem ternyata dapat
dirangsang untuk meningkat dengan cara pemberian kortikosteroid pada
ibunya.

Steroid

dan

faktor

pertumbuhan

terbukti

merangsang

pematangan paru melalui suatu penekanan protein yang sama .


Pemeriksaan kadar L/S rasio pada air ketuban merupakan cara untuk
mengukur tingkat kematangan paru, di mana rasio L/S > 2 menandakan
paru sudah matang.
Tidak saja fosfolipid yang berperan pada proses pematangan selular.
Ternyata gerakan nafas juga merangsang gen untuk aktif mematangkan
sel alveoli. (Sarwono, Prawirohardjo., (2010,) Hal 161 ).
Janin dalam kandungan sudah mengadakan gerakan-gerakan
pernafasan, namun air ketuban tidak masuk ke dalam alveoli paruparunya. Pusat pernapasan ini di pengaruhi oleh kadar O2 dan CO2 di
dalam tubuh janin. Keadaan ini dipengaruhi oleh sirkulasi plasenter
(pengaliran darah antara uterus dan plasenta). Apabila terdapat gangguan
pada sirkulasi utero-plasenter sehingga saturasi oksigen lebih menurun,
misalnya pada kontraksi uterus yang tidak sempurna, eklampsia dan
sebagainya, maka dapatlah gangguan dalam keseimbangan asam dan
basa pada janin tersebut, dengan akibat dapat melumpuhkan pusat
pernafasan janin.
Pada permukaan paru-paru yang telah matur ditemukan lipoprotein
yang berfungsi untuk mengurangi tahanan pada permukaan alveoli dan
memudahkan paru-paru berkembang pada penarikan nafas pertama pada
janin. Ketika partus, uterus berkontraksi dalam keadaan ini darah

didalam sirkulasi utero plasenter seolah-olah diperas ke dalam vena


umbilicus dan sirkulasi janin sehingga jantung janin terutama serambi
kanan berdilatasi. Akibatnya apabila diperhatikan bunyi jantung janin
segera setelah kontraksi uterus hilang akan terdengar terlambat. Dalam
keadaan ini fisiologi bukan patologi.
2. Perubahan Pernafasan Ekstrauterin
Selama dalam uterus, janin mendapatkan oksigen dari pertukaran gas
melalui plasenta. Setelah bayi lahir, pertukaran gas harus melalui paru
paru.
a. Perkembangan paru-paru
Paru-paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx
yang bercabang dan kemudian bercabang kembali membentuk
struktur percabangan bronkus proses ini terus berlanjut sampai
sekitar usia 8 tahun, sampai jumlah bronkus dan alveolus akan
sepenuhnya berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya
gerakan napas sepanjang trimester II dan III. Paru-paru yang tidak
matang akan mengurangi kelangsungan hidup BBL sebelum usia
24 minggu. Hal ini disebabkan karena keterbatasan permukaan
alveolus, ketidakmatangan sistem kapiler paru-paru dan tidak
tercukupinya jumlah surfaktan.
b. Awal adanya napas
Faktor-faktor yang berperan pada rangsangan nafas pertama bayi
adalah :
1) Hipoksia pada akhir persalinan dan rangsangan fisik lingkungan
luar rahim yang merangsang pusat pernafasan
di otak.
2) Tekanan terhadap rongga dada, yang terjadi karena kompresi paru
-paru selama persalinan, yang merangsang masuknya udara ke
dalam paru-paru secara mekanis. Interaksi antara system
pernapasan, kardiovaskuler dan susunan saraf pusat menimbulkan

pernapasan yang teratur dan berkesinambungan serta denyut yang


diperlukan untuk kehidupan.
3) Penimbunan karbondioksida (CO2). Setelah bayi lahir, kadar CO2
meningkat dalam darah dan akan merangsang pernafasan.
Berkurangnya O2 akan mengurangi gerakan pernafasan janin,
tetapi sebaliknya kenaikan CO2 akan menambah frekuensi dan
tingkat gerakan pernapasan janin.
4) Perubahan suhu. Keadaan dingin akan merangsang pernapasan.
c. Surfaktan dan upaya respirasi untuk bernapas
Upaya pernafasan pertama seorang bayi berfungsi untuk :
1) Mengeluarkan cairan dalam paru-paru
2) Mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kali.
Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat survaktan (lemak
lesitin /sfingomielin) yang cukup dan aliran darah ke paru paru.
Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan, dan
jumlahnya meningkat sampai paru-paru matang (sekitar 30-34
minggu kehamilan). Fungsi surfaktan adalah untuk mengurangi
tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding
alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernapasan.
Tidak adanya surfaktan menyebabkan alveoli kolaps setiap saat
akhir pernapasan, yang menyebabkan sulit bernafas. Peningkatan
kebutuhan ini memerlukan penggunaan lebih banyak oksigen dan
glukosa. Berbagai peningkatan ini menyebabkan stres pada bayi yang
sebelumnya sudah terganggu.
d. Dari cairan menuju udara
Bayi cukup bulan mempunyai cairan di paru-parunya. Pada
saat bayi melewati jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga
cairan ini diperas keluar dari paru-paru. Seorang bayi yang
dilahirkan secara sectio cesaria kehilangan keuntungan dari
kompresi rongga dada dan dapat menderita paru-paru basah dalam
jangka waktu lebih lama. Dengan beberapa kali tarikan napas yang
pertama udara memenuhi ruangan trakea dan bronkus BBL. Sisa

cairan di paru-paru dikeluarkan dari paru-paru dan diserap oleh


pembuluh limfe dan darah.
2.2.3
Perubahan Sirkulasi
a. Perubahan Sirkulasi Intrauterin
Mula-mula darah yang kaya oksigen dan nutrisi yang berasal dari
plasenta, melalui vena umbilicalis, masuk kedalam tubuh janin.
Sebagian besar darah melalui ductus venosus arantii akan mengalir ke
vena cava inferior. Dalam atrium dekstra sebagian besar darah akan
mengalir secara fisiologi ke atrium sinistra, melalui voramen oval yang
terletak diantara atrium dekstra dan atrium sinistra. Dari atrium sinistra
darah mengalir ke ventricle kiri kemudian dipompakan ke aorta. Hanya
sebagian kecil darah dari atrium kanan mengalir ke ventricle kanan
bersama-sama dengan darah yang berasal dari vena cava superior.
Karena tekanan dari paru-paru yang belum berkembang, sebagian
darah dari ventricle kanan yang seharusnya mengalir melalui arteri
pulmonalis ke paru-paru, akan mengalir melalui ductus Botalii ke aorta.
Sebagian kecil akan mengalir ke paru-paru dan selanjutnya ke atrium
sinistra melalui vena pulmonalis. Darah dari sel-sel tubuh yang miskin
oksigen penuh dengan sisa pembakaran dan sebagiannya akan dialirkan
ke plasenta melalui dua ateriol umbikalis. Seterusnya akan diedarkan ke
pembuluh darah di kotiledon dan jonjot-jonjot dan kembali melalui vena
umbilikalis ke janin.
Demikian seterusnya, sirkulasi janin ini berlangsung ketika berada
dalam uterus. Ketika janin dilahirkan segera bayi menghisap udara dan
menangis kuat, dengan demikian paru-parunya berkembang.
b. Perubahan Sirkulasi Ekstrauterin
Setelah lahir darah BBL harus melewati paru untuk mengambil
oksigen dan mengadakan sirkulasi melalui tubuh guna mengantarkan
oksigen ke jaringan. Untuk membuat sirkulasi yang baik, kehidupan
diluar rahim harus terjadi 2 perubahan besar :

1) Penutupan foramen ovale pada atrium jantung


2) Perubahan duktus arteriousus antara paru-paru dan aorta.
Perubahan sirkulasi ini terjadi akibat perubahan tekanan pada
seluruh sistem pembuluh. Oksigen menyebabkan sistem pembuluh
mengubah tekanan dengan

cara mengurangi

meningkatkan

resistensinya, sehingga mengubah aliran darah.


Perbedaan sirkulasi darah fetus dan bayi
a)
Sirkulasi darah fetus
1. Struktur tambahan pada sirkulasi fetus
1) Vena umbulicalis : membawa darah yang telah mengalami
deoksigenasi dari plasenta ke permukaan dalam hepar
2) Ductus venosus : meninggalkan vena umbilicalis sebelum
mencapai hepar dan mengalirkan sebagian besar darah baru
yang mengalami oksigenasi ke dalam vena cava inferior.
3) Foramen ovale : merupakan lubang yang memungkinkan
darah lewat atrium dextra ke dalam ventriculus sinistra
4) Ductus arteriosus : merupakan bypass yang terbentang dari
venrtriculuc dexter dan aorta desendens
5) Arteri hypogastrica : dua pembuluh

darah

yang

mengembalikan darah dari fetus ke plasenta. Pada feniculus


umbulicalis, arteri ini dikenal sebagai ateri umbilicalis. Di
dalam tubuh fetus arteri tersebut dikenal sebagai arteri
hypogastica.
2. Sistem sirkulasi fetus
1) Vena umbulicalis : membawa darah yang kaya oksigen dari
plasenta ke permukaan dalam hepar. Vena hepatica
meninggalkan hepar dan mengembalikan darah ke vena cava
inferior.
2) Ductus venosus : adalah cabang cabang dari vena
umbilicalis dan mengalirkan sejumlah besar darah yang
mengalami oksigenasi ke dalam vena cava inferior.
3) Vena cava inferior : telah mengalirkan darah yang telah
beredar dalam ekstremitas inferior dan badan fetus,

menerima darah dari vena hepatica dan ductus venosus dan


membawanya ke atrium dextrum.
4) Foramen ovale : memungkinkan lewatnya sebagian besar
darah yang mengalami oksigenasi dalam ventriculus dextra
untuk menuju ke atrium sinistra, dari sini darah melewati
valvula mitralis ke ventriculuc sinister dan kemudian melaui
aorta masuk kedalam cabang ascendensnya untuk memasok
darah bagi kepala dan ekstremitas superior. Dengan demikian
hepar, jantung dan serebrum menerima darah baru yang
mengalami oksigenasi.
5) Vena cava superior : mengembalikan darah dari kepala dan
ekstremitas superior ke atrium dextrum. Darah ini bersama
sisa aliran yang dibawa oleh vena cava inferior melewati
valvula tricuspidallis masuk ke dalam venriculus dexter.
6) Arteria pulmonalis : mengalirkan darah campuran ke paru paru yang nonfungsional, yanghanya memerlukan nutrien
sedikit.
7) Ductus arteriosus : mengalirkan sebagian besar darah dari
vena ventriculus dexter ke dalam aorta descendens untuk
memasok darah bagi abdomen, pelvis dan ekstremitas
inferior.
8) Arteria hypogastrica : merupakan lanjutan dari arteria illiaca
interna, membawa darah kembali ke plasenta dengan
mengandung leih banyak oksigen dan nutrien yang dipasok
b)
1)
2)
3)
4)

dari peredaran darah maternal.


Perubahan pada saat lahir
Penghentian pasokan darah dari plasenta.
Pengembangan dan pengisian udara pada paru-paru.
Penutupan foramen ovale.
Fibrosis
a. Vena umbilicalis.
b. Ductus venosus.
c. Arteriae hypogastrica.

d. Ductus arteriosus.
Sirkulasi pulmonari: vena umbilikus, duktus venosus, foramen
ovale, dan duktus arteriosus.
Perbedaan sirkulasi fetus dan sirkulasi neonatal
No

Perbedaan

Sirkulasi Fetus

Sirkulasi

Aktif,

pulmonal

berkembang

meningkat

Foramen

Terbuka

Tertutup

Terbuka

Tertutup

Terbuka

Tertutup

Sirkulasi Neonatal

kurang Aktif,

perkembangan

ovale
3

Duktus
arteriosus
botali

Duktus
venosus
arantii

Sirkulasi

Aktif

dengan Aktif,

sistemik

resisten rendah

dengan

meningkatkan resistensi.

2.2.4
Termoregulasi dan Adaptasi Fisiologi Sistem Metabolisme
A. Termoregulasi
Bayi baru lahir belum dapat mengatur suhu tubuhnya, sehingga akan
mengalami Stress Dingin atau Cold Stress terutama karena perubahan
lingkungan dari dalam rahim ke dunia luar yang jauh lebih dingin.
Secara fisiologis, tubuh bayi akan menggunakan timbunan lemak
coklat (Brown Fat) untuk menghasilkan panas. Namun cadangan lemak
coklat ini akan habis dan bayi akan mudah mengalami hipoglisemia,
hipoksia dan asidosis.
Untuk itu, pencegahan kehilangan panas sangatlah diperlukan.
Perubahan kondisi terjadi pada neonatus yang baru lahir. Di dalam tubuh

induknya, suhu tubuh fetus selalu terjaga, begitu lahir maka hubungan
dengan induk sudah terputus dan neonatus harus mempertahankan suhu
tubuhnya sendiri melalui aktifitas metabolismenya.
Semakin kecil tubuh neonatus, semakin sedikit cadangan lemaknya.
Semakin kecil tubuh neonatus juga semakin tinggi rasio permukaan
tubuh dengan massanya.
Suhu permukaan kulit meningkat atau turun sejalan dengan
perubahan suhu lingkungan. Sedangkan suhu inti tubuh diatur oleh
hipotalamus. Namun pada pediatrik, pengaturan tersebut masih belum
matang dan belum efisien. Oleh sebab itu pada pediatrik ada lapisan
yang penting yang dapat membantu untuk mempertahankan suhu
tubuhnya serta mencegah kehilangan panas tubuh yaitu rambut, kulit dan
lapisan lemak bawah kulit.
Ketiga lapisan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan efisien atau
tidak bergantung pada ketebalannya. Sayangnya sebagian besar pediatrik
tidak mempunyai lapisan yang tebal pada ketiga unsur tersebut. Transfer
panas melalui lapisan pelindung tersebut dengan lingkungan berlangsung
dalam dua tahap. Tahap pertama panas inti tubuh disalurkan menuju
kulit. Tahap kedua panas tubuh hilang melalui radiasi, konduksi,
konveksi atau evaporasi.
B. Adaptasi Fisiologi Sistem Metabolisme
Untuk memfungsikan otak memerlukan glukosa dalam jumlah
tertentu. Dengan tindakan penjepitan tali pusat dengan klem pada saat
lahir seorang bayi harus mulai mempertahankan kadar glukosa darahnya
sendiri. Pada setiap baru lahir, glukosa darah akan turun dalam waktu
cepat (1 sampai 2 jam).
Koreksi penurunan gula darah dapat dilakukan dengan 3 cara :
1) Melalui penggunaan ASI (bayi baru lahir sehat harus didorong
untuk menyusu ASI secepat mungkin setelah lahir).
2) Melalui penggunaan cadangan glikogen (glikogenesis)
3) Melalui pembuatan glukosa dari sumber lain terutama lemak
(glukoneogenesis).

Bayi baru lahir yang tidak dapat mencerna makanan dalam jumlah
yang cukup akan membuat glukosa dari glikogen (glikogenolisis). Hal
ini hanya terjadi jika bayi mempunyai persediaan glikogen yang cukup.
Seorang bayi yang sehat akan menyimpan glukosa sebagai glikogen,
terutama dalam hati, selama bulan-bulan terakhir kehidupan dalam
rahim. Seorang bayi yang mengalami hipotermia pada saat lahir yang
mengakibatkan hipoksia akan menggunakan persediaan glikogen dalam
jam pertama kelahiran. Inilah sebabnya mengapa sangat penting
menjaga semua bayi dalam keadaan hangat. Perhatikan bahwa
keseimbangan glukosa tidak sepenuhnya tercapai hingga 3-4 jam
pertama pada bayi cukup bulan yang sehat. Jika semua persediaan
digunakan pada jam pertama maka otak bayi dalam keadaan beresiko.
Bayi baru lahir kurang bulan, lewat bulan, hambatan pertumbuhan
dalam rahim dan distress janin merupakan resiko utama, karena
simpanan energi berkurang atau digunakan sebelum lahir.
2.2.5

Bayi Rentan Kehilangan Panas


Pada dasarnya turunnya suhu tubuh ini dapat terjadi akibat penurunan

produksi panas, peningkatan panas yang hilang atau gangguan pada pengatur
suhu tubuh termoregulasi). Ahli kesehatan anak menerangkan bahwa
penurunan produksi panas dapat berhubungan dengan sistem endokrin,
seperti gangguan hormon tiroid atau pituitary. Peningkatan panas yang
hilang dapat terjadi akibat berpindahnya panas tubuh ke lingkungan sekitar.
Sedangkan gangguan termoregulasi dapat terjadi akibat gangguan di
hipotalamus yaitu suatu bagian otak yang Salah Satu fungsinya mengatur
suhu tubuh.
Mekanisme Kehilangan Panas Pada Neonatus
Pengaturan suhu pada neonatus masih belum baik selama beberapa saat.
Karena hipotalamus bayi masih belum matur, dan bayi masih rentan
terhadap hipotermia, terutama jika terpapar dingin atau aliran udara dingin,

saat basah, sulit bergerak bebas, atau saat kekurangan nutrisi. Bayi
memasuki suasana yang jauh lebih dingin dari pada saat kelahiran, dengan
suhu kamar bersalin 210 C yang sangat berbeda dengan suhu dalam
kandungan, yaitu 37,70 C. Pada saat lahir, faktor yang berperan dalam
kehilangan panas pada bayi baru lahir meliputi area permukaan tubuh bayi
baru lahir, berbagai tingkat insulasi lemak subkutan, dan derajat fleksi otot.
Ini menyebabkan pendinginan cepat pada bayi saat amnion menguap dari
kulit. Setiap milimeter penguapan tersebut memindahkan 500 kalori panas
(Rutter 1992). Bayi kehilangan panas melalui empat cara, yaitu:
1. Konduksi
Konduksi adalah kehilangan panas melalui kontak langsung antara tubuh
bayi dengan permukaan yang dingin.
Contoh: Bayi yang diletakkan di atas meja, tempat tidur atau timbangan
yang dingin akan cepat mengalami kehilangan panas tubuh akibat proses
konduksi.
2. Konveksi
Konveksi adalah kehilangan panas yang terjadi pada saat bayi terpapar
dengan udara sekitar yang lebih dingin.
Contoh: Bayi yang dilahirkan atau ditempatkan dalam ruangan yang
dingin akan cepat mengalami panas. Kehilangan panas juga dapat terjadi
jika ada tiupan kipas angin, aliran udara atau penyejuk ruangan.
Suhu udara di kamar bersalin tidak boleh kurang dari 20 0 C dan
sebaiknya tidak berangin. Tidak boleh ada pintu dan jendela yang
terbuka. Kipas angin dan AC yang kuat harus cukup jauh dari area
resusitasi. Troli resusitasi harus mempunyai sisi untuk meminimalkan
konveksi udara sekitar bayi.
3. Evaporasi
Evaporasi adalah kehilangan panas akibat bayi tidak segera dikeringkan.
Contoh: Kehilangan panas terjadi karena meguapnya cairan ketuban
pada permukaan tubuh setelah bayi lahir karena tubuh bayi tidak segera
dikeringkan. Hal yang sama dapat terjadi setelah bayi dimandikan.
Karena itu bayi harus dikeringkan seluruhnya, termasuk kepala dan

rambut, sesegera mungkin setelah dilahirkan. Lebih baik lagi


menggunakan handuk hangat untuk mencegah kehilangan panas secara
konduksi.
4. Radiasi
Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi saat bayi yang di
tempatkan dekat benda yang mempunyai tempratur tubuh lebih rendah
dari tempratur tubuh bayi.
Contoh: Bayi akan mengalami kehilangan panas melalui cara ini
meskipun benda yang lebih dingin tersebut tidak bersentuhan langsung
dengan tubuh bayi.
Upaya Mencegah Kehilangan Panas :

2.2.6

a.Keringkan bayi secara seksama


b. Selimuti bayi dengan selimut bersih, kering dan hangat
c.Tutupi kepala bayi
d. Anjurkan ibu memeluk dan memberikan ASI
e.Jangan segera menimbang atau memandikan bayi
f. Tempatkan bayi di lingkungan yang hangat
Perubahan Sistem Hematologi
Aliran darah fetal bermula dari vena umbilikalis, akibat tahanan

pembuluh paru yang besar ( lebih tinggi dibandingkan tahanan vaskuler


sistemik=SWR) hanya 10% dari keluaran ventrikel kanan yang sampai paru,
sedangkan sisanya (90%) terjadi shunting kanan ke kiri melalui duktus
arteriosus Bottali.
Pada waktu bayi lahir, terjadi pelepasan dari plasenta secara mendadak
(saat umbilical cord dipotong/dijepit), tekanan atrium kanan menjadi rendah,
tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) naik dan pada saat yang sama paruparu mengembang, tahanan vaskuler paru menyebabkan penutupan foramen
ovale (menutup setelah berberapa minggu), aliran darah dari duktus
arteriosus Bottali berbalik dari kiri ke kanan. Kejadian ini tersebut sirkulasi
transisi. Penutupan duktus arteriosus secara fisiologis terjadi pada umur bayi

10-15 jam yang disebabkan kontraksi otot polos pada akhir arteri pulmonalis
dan secara anatomis pada usia 2-3 minggu.
Pada neonatus, reaksi pembuluh darah masih sangat kurang sehingga
keadaan kehilangan darah, dehidrasi, dan kelebihan volume juga sangat
kurang untuk ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan
dengan cermat dan teliti. Tekanan sistolik merupakan indikator yang baik
untuk menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter
yang adekuat terhadap penggantian volume. Oteregulasi aliran darah otak
pada bayi baru lahir tetap dipelihara normal pada tekanan sistemik antara 60130 mmHg. Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan
darah sekitar 80/60 mmHg.
2.2.7
Perubahan Sistem Gastrointestinal
1. Perubahan Sistem Gastrointestinal Intrauterine
Perkembangan dapat dilihat di atas 12 minggu di mana akan nyata
pada pemeriksaan USG. Pada 26 minggu enzim sudah terbentuk
meskipun amilase baru nyata pada periode neonatal. Janin meminum air
ketuban dan akan tampak gerakan peristaltik usus. Protein dan cairan
amnion yang ditelan akan menghasilkan mekonium di dalam usus.
Mekonium ini akan tetap tersimpan sampai partus, kecuali pada kondisi
hipoksia dan stres, akan tampak cairan amnion bercampur mekonium.
(Sarwono, Prawirohardjo., (2010,) Hal 161 ).
2. Perubahan Sistem Gastrointestinal Ekstrauterin
Sebelum lahir, janin cukup bulan akan mulai menghisap dan
menelan. Reflek gumoh dan reflek batuk yang matang sudah terbentuk
baik pada saat lahir.
Kemampuan bayi baru lahir cukup bulan untuk menelan dan
mencerna makanan (selain susu) masih terbatas. Hubungan antara
esofagus

bawah

dan

lambung

masih

belum

sempurna

yang

mengakibatkan gumoh pada bayi baru lahir dan neonatus, kapasitas


lambung masih terbatas kurang dari 30 cc untuk bayi baru lahir cukup

bulan. Kapasitas lambung ini akan bertambah secara lambat bersamaan


dengan tumbuhnya bayi baru lahir. Pengaturan makanan yang sering oleh
bayi sendiri penting contohnya memberi ASI on demand.
2.2.8
Perubahan Sistem Imunitas
1. Perubahan Sistem Imunitas Intrauterine
Pada kehamilan minggu ke-8 telah ada gelaja terjadinya kekebalan
dengan adanya limfosit-limfosit disekitar tempat timus kelak. Dengan
semakin tuanya usia kehamilan jumlah limfosit dalam darah perifer
meningkat dan mulai terbentuk pula folikel-folikel limfe. Jumlah
lomfosit-limfosit limfe yang terbanyak terdapat pada akhir kehamilan
misalnya di limfa memperlihatkan jaringan warna merah.
Tuanya kehamilan juga ditemukan sarang selimfoit yang makin lama
makin besar. Penangkis humoral dibentuk oleh sel limfoit, terdiri dari
pasangan polipeptin simetrik. Gama-G ditemukan pada orang dewasa,
sedikit pada janin akhir kehamilan dan dibentuk pada bulan kedua
sesudah bayi lahir. Gama-Glabulin berasal dari ibu yang disalurkan
melalui palsenta dengan cara pinositosis disebut kekebalan pasif.
Penyaluran gama-G imunoglobin dari ibu ke janin tidak selalu
menguntungkan bagi janin, pada Rh resus isoimunisasi. Gama-G
imunoglobin ibu melintasi plasenta dan merusak eritrosit janin
mengasilkan eritroblastosis retails. Janin mengandung unsur ayahnya dan
tempat implantasi plasenta. Dikenal sebagai allograft rejection.
Pembentukan benda penangkis ditemukan pada kehamilan 5 bulan.
Produksi gama-M imunoglobin meningkat setelah bayi lahir. Kelemahan
bayi baru lahir adalah hanya dilindungi oleh gama-G imunoglobin ibu
hingga terbatas kadarnya dan kurang gama-A imunoglobin.
2. Perubahan Sistem Imunitas Ekstrauterin
Sistem imunitas bayi baru lahir masih belum matang, sehingga
menyebabkan neonatus rentan terhadap berbagai infeksi dan alergi.
Sistem imunitas yang matang akan memberikan kekebalan alami

maupun yang di dapat. Kekebalan alami terdiri dari struktur pertahanan


tubuh yang mencegah atau meminimalkan infeksi.
Berikut beberapa contoh kekebalan alami:
a.Perlindungan oleh kulit membran mukosa
b. Fungsi saringan saluran napas
c.Pembentukan koloni mikroba oleh klit dan usus
d. Perlindungan kimia oleh lingkungan asam lambung
Kekebalan alami juga disediakan pada tingkat sel yaitu oleh sel darah
yang membantu BBL membunuh mikroorganisme asing. Tetapi pada
BBL se-sel darah ini masih belum matang, artinya BBL tersebut belum
mampu melokalisasi dan memerangi infeksi secara efisien.
Kekebalan yang didapat akan muncul kemudian. BBL dengan
kekebalan pasif mengandung banyak virus dalam tubuh ibunya. Reaksi
antibodi keseluruhan terhadap antigen asing masih belum dapat
dilakukan sampai awal kehidupa anak. Salah satu tugas utama selama
masa bayi dan balita adalah pembentukan sistem kekebalan tubuh.
Defisiensi kekebalan alami bayi menyebabkan bayi rentan sekali
terjadi infeksi dan reaksi bayi terhadap infeksi masih lemah. Oleh
karena itu, pencegahan terhadap mikroba (seperti pada praktek
persalinan yang aman dan menyusui ASI dini terutama kolostrum) dan
deteksi dini serta pengobatan dini infeksi menjadi sangat penting.
2.2.9
Perubahan Sistem Ginjal
1. Perubahan Sistem Ginjal Intrauterine
Pada 22 minggu akan tampak pembentukan korpuskel ginjal di zona
jukstaglomerularis yang berfungsi filtrasi. Ginjal terbentuk sempurna
pada minggu ke-36. Pada janin hanya 2 % dari curah jantung mengalir ke
ginjal, mengingat sebagian besar sisa metabolisme dialirkan ke plasenta.
Sementara itu, tubuli juga mampu filtrasi sebelum glomerulus berfungsi
penuh. Urin janin menyumbang cukup banyak pada volume cairan

amnion. Bila terdapat kondisi oligohidramnion itu merupakan pertanda


penurunan

fungsi

ginjal

atau

kelainan

sirkulasi.

(Sarwono,

Prawirohardjo., (2010,) Hal 162 ).


Janin muda mengandung sekitar 90% air. Sistem urinasi mulai pada
bulan pertama. Produksi urin pada janin dimulai antara masa gestasi 9
dan 11 minggu kehidupan intrauterin.
2. Perubahan Sistem Ginjal Ekstrauterin
Bayi ginjalnya relatif banyak mengandung air dan natrium. Fungsi
ginjal belum sempurna. Peranan ginjal janin dalam menjaga homeostasis
tubuh sampai saat ini masih dipertanyakan, ditemukan adanya
kemampuan ginjal fetus untuk memekatkan dan mengencerkan urin,
mengabsorbsi fosfat dan mengadakan transportasi zat organik.
Fungsi eksresi janin dilakukan melalui plasenta. Hal ini terbukti
dengan ditemukannya hasil pemeriksaan komposisi cairan tubuh fetus
yang normal, termasuk angka plasma kreatinin dan ureum pada neonatus
saat lahir, meskipun terdapat agenesis kedua ginjal.
2.2.10 Ikterus Neonatorum Fisiologis
Ikterus sendiri sebenarnya adalah perubahan warna kuning akibat
deposisi bilirubin berlebihan pada jaringan; misalkan yang tersering
terlihat adalah pada kulit dan konjungtiva mata.
Sedangkan definisi ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang
terjadi pada bayi baru lahir dengan keadaan meningginya kadar bilirubun
di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan
alat tubuh lainnya berwarna kucing.
Ikterus juga disebut sebagai keadaan hiperbilirubinemia (kadar
bilirubin dalam darah lebih dari 12 mg/dl). Keadaan hiperbilirubinemia
merupakan salah satu kegawatan pada BBL karena bilirubin bersifat
toksik pada semua jaringan terutama otak yang menyebabkan penyakit
kern icterus (ensefalopati bilirubin) yang pada akhirnya dapat
mengganggu tumbuh kembang bayi.

Ikterus neonatorum dibedakan menjadi 2, yaitu :


a. Neonatorum Fisiologi
Neonatorum Fisiologis Adalah keadaan hiperbirirubin karena faktor
fisiologis merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir.
Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai
berikut (Hanifa, 1987):
1.
Timbul pada hari ke-2 atau ke-3.
2.
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati
15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang
bulan.
3.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg %
per hari.
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %.
Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
Bayi tampak biasa, minum baik dan berat badan naik biasa.
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan

4.
5.
6.
7.

patologis tertentu.
Penyebab ikterus neonatorum fisiologis diantaranya adalah organ
hati yang belum matang dalam memproses bilirubin, kurang
protein Y dan Z dan enzim glukoronyl tranferase yang belum cukup
jumlahnya. Meskipun merupakan gejala fisiologis, orang tua bayi
harus tetap waspada karena keadaan fisiologis ini sewaktu-waktu bisa
berubah menjadi patologis terutama pada keadaan ikterus yang
disebabkan oleh karena penyakit atau infeksi.
b. Neonatorum Patologis
Neonatorum Patologis adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik,
atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg

% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly


menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus
menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan)
dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
2. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi
kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas

3.
4.
5.

darah, defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).


2.3

Kelainan pada Bayi Baru Lahir


2.3.1 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kelainan pada Bayi Baru
Lahir
1. Faktor Infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi
yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama
kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini
dapat menimbulkan gangguan dalam penumbuhan suatu organ tubuh.
Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan
kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.
Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleh
virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi
Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital
pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai
tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.
Beberapa

infeksi

lain

pada

trimester

pertama

yang

dapat

menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus


sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis. Kelainan-kelainan kongenital

yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada


sistem saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroptalmia.
2. Faktor obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan
terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang
telah diketahui dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide
yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia.
Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari
pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini
kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus
minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian transkuilaiser untuk
penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau preparat hormon yang tidak
dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya
sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
3. Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian
kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau
ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan
pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
4. Faktor radiasi
Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin sekali akan dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi
yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat
mengakibatkan

mutasi

pada

gen

yang

mungkin

sekali

dapat

menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi


untuk keperluan diagnostik atau terapeutik sebaiknya dihindarkan dalam
masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.
5. Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa
kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada

penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan


kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan
makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari
ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi
protein, vitamin A riboflavin, folic acid, thiamin dan lain-lain dapat
menaikkan kejadian kelainan kongenital.
2.3.2

Jenis-Jenis Kelainan pada Bayi Baru Lahir


1. Labioskizis/Labiopalatoskizis
a. Pengertian
Labioskizis/Labiopalatoskizis yaitu kelainan kotak palatine (bagian
depan serta samping muka serta langit-langit mulut) tidak menutup
dengan sempurna.
b. Etiologi
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing.
Faktor tersebut antara lain , yaitu :
1) Faktor Genetik atau Keturunan
Dimana material genetik

dalam

kromosom

yang

mempengaruhi. Hal ini dapat terjadi karena adaya adanya


mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel yang
normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang
kromosom non-sex (kromosom 1 s/d 22) dan 1 pasang
kromosom sex (kromosom X dan Y ) yang menentukan jenis
kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau
Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap
sel penderita, sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya
adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir
sumbing

akan

menyebabkan

gangguan

berat

pada

perkembangan otak, jantung, dan ginjal.


2) Kurang nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B 6, vitamin C pada
waktu hamil, kekurangan asam folat.
3) Radiasi

4) Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.


5) Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya
seperti infeksi Rubella dan Sifilis, toxoplasmosis dan klamidia
6) Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi
hormonal, akibat toksisitas selama kehamilan, misalnya
kecanduan alkohol, terapi penitonin
7) Multifaktoral dan mutasi genetik
8) Diplasia ektodermal
c. Patofisiologi
Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya
karena tidak terbentuknya mesoderm, pada daerah tersebut sehingga
bagian yang telah menyatu (proses nasalis dan maksilaris) pecah
kembali.
Labioskizis terjadi akibat fusi atau penyatuan prominen
maksilaris dengan prominen nasalis medial yang diikuti disfusi
kedua bibir, rahang, dan palatum pada garis tengah dan kegagalan
fusi septum nasi. Gangguan fusi palatum durum serta palatum mole
terjadi sekitar kehamilan ke-7 sampai 12 minggu.
d. Klasifikasi
1. Berdasarkan organ yang terlibat
a) Celah di bibir (labioskizis)
b) Celah di gusi (gnatoskizis)
c) Celah di langit (palatoskizis)
d) Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di
bibir dan langit-langit (labiopalatoskizis)
2. Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk
Tingkat kelainan bibr sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan
hingga yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui
adalah:
a) Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya
disalah satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
b) Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya
disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
c) Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi
bibir dan memanjang hingga ke hidung.

e. Tanda dan Gejala


Ada beberapa gejala dari bibir sumbing yaitu :
Terjadi pemisahan langit langit
Terjadi pemisahan bibir
Terjadi pemisahan bibir dan langit langit.
Infeksi telinga berulang.
Berat badan tidak bertambah.
Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarnya
air susu dari hidung.
f. Diagnosis
Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir
mudah karena pada celah sumbing mempunyai ciri fisik yang spesifik.
Sebetulnya ada pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengetahui
keadaan janin apakah terjadi kelainan atau idak. Walaupun pemeriksaan
ini tidak sepenuhya spesifik. Ibu hamil dapat memeriksakan
kandungannya dengan menggunakaan USG.
g. Komplikasi
Keadaan kelaianan pada wajah seperti bibir sumbing ada beberapa
komplikasi karenannya, yaitu ;
1) Kesulitan makan; dialami pada penderita bibir sumbing dan jika
diikuti dengan celah palatum, memerlukan penanganan khusus
seperti dot khusus, posisi makan yang benar dan juga kesabaran
dalam memberi makan pada bayi bibir sumbing
2) Infeksi telinga dan hilangnya pendengaran. Dikarenakan tidak
berfungsi dengan baik saluran yang menghubungkan telinga tengah
dengan kerongkongan dan jika tidak segera diatasi makan akan
kehilangan pendengaran.
3) Kesulitan berbicara. Otot otot untuk berbicara mengalami
penurunan fungsi karena adanya celah. Hal ini dapat mengganggu
pola berbicara bahkan dapat menghambatnya
4) Masalah gigi. Pada celah bibir gigi tumbuh tidak normal atau bahkan
tidak tumbuh, sehingga perlu perawatan dan penanganan khusus.
h. Penatalaksanaan

Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi.


Operasi ini dilakukan setelah bayi berusia 2 bulan, dengan berat badan
yang meningkat, dan bebas dari infeksi oral pada saluran napas dan
sistemik. Dalam beberapa buku dikatakan juga untuk melakukan operasi
bibir sumbing dilakukan hukum Sepuluh (rules of Ten) yaitu, Berat badan
bayi minimal 10 pon, Kadar Hb 10 g%, dan usianya minimal 10 minggu
dan kadar leukosit minimal 10.000/ui.
2. Meningokel
a. Pengertian
Meningokel

merupakan

penyakit

kongenital

dari

kelainan

embriologis yang disebut Neural tube defect (NTD). Meningokel


disebabkan oleh banyak faktor dan metibatkan banyak gen
(multifaktoral dan poligenik). Banyak sekali penetitian yang
mengungkap bahwa sekitar tujuhpuluh persen kasus NTD dapat
dicegah dengan suplementasi asam fclai, sehingga defisiensi asam
folat dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam teratogenesis
meningokel.
b. Etiologi
Gangguan pembentukan komponen janin saat dalam kandungan,
kadar vitamin maternal rendah, termasuk asam folat, mengonsumsi
klomifen dan asam valfroat, dan hipertermia selama kehamilan.
Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat dicegah jika
wanita

bersangkutan

meminum

vitamin-vitamin

prakonsepsi,

termasuk asam folat.


c. Tanda dan Gejala
Gangguan persarafan
Gangguan mental
Gangguan tingkat kesadaran
d. Penatalaksanaan
Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal
untuk mencegah rupture. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi

spinal dan pirau CSS pada bayi hidrosefalus dilakukan pada saat
kelahiran. Pencangkokan kulit diperlakukan bila lesinya besar.
Antibiotic

profilaktik

diberikan

untuk

mencegah

meningitis.

Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya


disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai
system tubuh.
Untuk spina bifida okulta atau maningokel tidak diperlukan
pengobatan.

Perbaikan

mielomeningokel,

dan

kadang-kadang

meningokel, secara bedah diperlukan.


Apabila dilakukan perbedahan secara bedah, maka perlu dipasang
suatu pirau (shunt) untuk memungkinkan drainase CSS dan
mencegah

timbulnya

hidrosefalus

dan

peningkatan

tekanan

intrakranium.
Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat mengurangi
kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek korda
spinalis. Prognosis setelah pembedahan biasanya baik.
3. Ensefalokel
a. Pengertian
Ensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan
adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk
seperti kantung melalui suatu lubang pada tulang tengkorak. Ensefalokel
disebabkan

oleh

kegagalan

penutupan

tabung

saraf

perkembangan janin.
b. Gejala
Gejalanya berupa :

Hidrosefalus

Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadriplegia spastik)

Gangguan perkembangan

Mikrosefalus

Gangguan penglihatan

selama

Keterbeiakangan mental dan pertumbuhan

Ataksia

Kejang

c. Etiologi
Ada beberapa dugaan penyebab penyakit itu diantaranya, infeksi,
faktor usia ibu yang tertaiu muda atau tua ketika hamil, mutasi genetik,
serta pola makan yang tidak tepat sehingga mengakibatkan kekurangan
asam folat. Langkah selanjutnya, sebelun hamil, ibu sangat disarankan
mengonsumsi

asam

folat

dalam

jumlah

cukup.

Pemeriksaan

laboratorium juga diperlukan untuk mendeteksi ada-tidaknya infeksi.


d. Penatalaksanaan
Bagi ibu yang berencana hamil, ada baiknya mempersiapkan jauh
jauh hari. Misalnya, mengonsumsi makanan bergizi serta menambah
supfemen yang mengandung asam folat. Hal itu dilakukan untuk
mencegah terjadinya beberapa kelainan yang bisa menyerang bayi_
Safah satunya, encephalocele atau ensefalokel. Biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengembalikan jaringan otak yang menonjol ke
dalam tulang tengkorak, membuang kantung dan memperbaiki kelainan
kraniofasial yang terjadi. Untuk hidrosefalus mungkin perlu dibuat suatu
shunt.

pengobatan

lainnya

bersifat,

simtomatis

dan

suportif.

Prognosisnya tergantung kepada jaringan otak yang terkena, lokasi


kantung dan kelainan otak yang menyertainya.
4. Hidrosefalus
a. Pengertian
Hidrosefalus (kepala air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani:
hydro yang berarti air dan cephalus yang berarti kepala; sehingga
kondisi ini sering dikenal dengati kepala air) adalab penyakit yang
terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro spinal).
Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak yang

selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusatpusat saraf yang vital.
b. Etiologi

Gangguan sirkulasi LCS

Gangguan produksi LCS

c. Tanda dan Gejala


Terjadi pembesaran tengkorak
Terjadi kelainan neurologis, yaitu Sun Set Sign (Mata selalu
mengarah kebawah)
Gangguan perkembangan motorik
Gangguan penglihatan karena atrofi saraf penglihatan
d. Penatalaksanaan

Pembedahan

Pemasangan Suchn Suction

5. Fimosis
a. Pengertian
Fimosis merupakan pengkerutan atau penciutan kulit depan penis.
Fimosis merupakan suatu keadaan normal yang sering ditemukan pada
bayi baru lahir atau anak kecil, dan biasanya pada masa pubertas akan
menghilang dengan sendirinya.
Fimosis adalah penyempitan pada prepusium. Kelainan ini juga
menyebabkan bayi/anak sukar berkemih. Kadang-kadang begitu sukar
sehingga kulit prepusium menggelembung seperti balon. Bayi/anak sering
menangis keras sebelum urine keluar. Keadaan demikian lebih baik
segera disunat, tetapi kadang orang tua tidak tega karena bayi masih kecil.
Untuk menolongnya dapat dicoba dengan melebarkan lubang prepusium
dengar, cara mendorong ke belakang kulit prepusium tersebut dan
biasanyaa akan terjadi luka.
Untuk mencegah infeksi dan agar luka tidak merapat lagi pada luka
tersebut dioleskan salep antibiotik. Tindakan ini mula-mula dilakukan

oleh dokter. Selanjutrnya di rumah orang tua sendiri diminta


tnelakukannya seperti yang dilakukan dokter (pada orang Barat, sunat
dilakukan pada seorangbayi laki-laki ketika masih dirawat/ ketika baru
lahir. Tindakan ini dimaksudkan untuk kebersihan/mencegah infeksi
karena adanya smegma, bukan karena keagamaan). Adanya smegma pada
ujung prepusium juga menyulitkan bayi berkemih maka setiap
memandikan bayi hendaknya prepusium didorong ke belakang kemudian
ujungnya dibersihkan dengan kapas yang telah dijerang dengan air
matang.
b. Etiologi
Fimosis pada bayi laki-laki yang barn lahir terjadi karena ruang di
antara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini
menyebabkan kulup menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit
ditarik ke arah pangkal. Penyebabnya bisa dari bawaan dari lahir, atau
didapat, misalnya karena infeksi atau benturan.
c. Gejala
Untuk menandai apakah anak memang mengalami funosis, orang tua
sebaiknya mencermati beberapa gejala berikut : Kulit penis anak tak bisa
ditarik ke arah pangkal ketika akan dibersihkan. Anak mengejan saat
buang air kecil karena muara saluran kencing diujung tertutup. Biasanya
ia menangis dan pada ujung penisnya tampak menggembung. Air seni
yang tidak lancar, kadang-kadang menetes dan memancar dengan arah
yang tidak dapat diduga. Kalau sampai timbul infeksi, maka si buyung
akan mengangis setiap buang air kecil dan dapat pula disertai demam.
Jika gejala-gejala di atas ditemukan pada anak, sebaiknya bawa ia ke
dokter. Jangan sekali-kali mencoba membuka kulup secara paksa dengan
menariknya ke pangkal penis. Tindakan ini berbahaya, karena kulup yang
ditarik ke pangkal dapat menjepit batang penis dan menimbulkan rasa
nyeri dan pembekakan yang hebat. Hal ini dalam istilah kedokteran
disebut para Fimosis. Jika si Buyung mengalami kesulitan buang air kecil,

dokter akan mencoba melebarkan kulit yang melekat, namun hal ini harus
dilakukan

dengan

sangat

hati-hati

oleh

seorang

dokter

yang

berpengalaman.
d. Penatalaksanaan
Jika fimosis menyebabkan hambatan aliran air seni, diperlukan
tindakan sirkumsisi (membuang sebagian atau seluruh bagian kulit
preputium) atau teknik bedah plastik lainnya seperti preputioplasty
(memperlebar bukaan kulit preputiurn tanpa memotongnya). Indikasi
medis utama dilakukannya tindakan siricumsisi pada anak-anak adalah
fimosis patotogik.
Penggunaan krim steroid topikal yang dioleskan pada kutit
preputium 1 atau 2 kali sehari, selama 4-5 minggu, juga efektif dalam
tatalaksana fimosis. Namun jika fimosis telah membaik, kebersihan atat
ketamin tetap dijaga, kulit preputium harus ditarik dan dikembalikan lagi
ke posisi semula pada saat mandi dan setelah berkemih untuk mencegah
kekambuhan fimosis.
6. Hipospadia
a. Pengertian
Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang
sering

ditemukan

dan

mudah

untuk

mendiagnosanya,

hanya

pengolahannya harus dilakukan oleh mereka yang betul-betul ahli supaya


mendapatkan hasil yang memuaskan.
Hipospadia merupakan kelainan kelamian bawaan sejak lahir,
cirinya, letak lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di
ujung penis. Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra
terdapat di tengah bantang penis atau pada pangkal penis dan kadang pad
skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini sering kali
berhubungan dengan kardi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang
yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
Pada hipospadia muara orifisium uretra eksterna (lubang tempat air
seni keluar) berada diproksimal dari normalnya yaitu pada ujung distal

glans penis, sepanjang ventral batang penis sampai perineum. Jadi lubang
saluran kencing letaknya bukan pada tempat yang semestinya dan terletak
di sebelah bawah penis bahkan ada yang terletak di rentang kemaluan.
Hipospadia sering disertai kelainan bawaan yang lain, misalnya pada
scrotum dapat berupa undescensus testis, meorchisdism, disgenesis testis
dan hidrotole pada penis berupa propenil scrotum mikrophalasus dari
torsi penile. Sedang kelainan ginjal dan ureter berupa fused kidney,
malrotasi, duplek dan refluk ureter.
b. Etiologi
Trend peningkatan jumlah penderita salah satunya disebabkan faktor
lingkungan dan pola hidup yang kurang sehat, akibatnya marak
penggunaan pestisida serta tinginya kandungan polusi di udara. Zat
polutan dari pabrik, limbah dan menumpuknya sampah bisa menimbulkan
hipospadia.
Dari beberapa pasien yang ditangani ternyata mereka tinggal
disekitar daerah pembuangan sampah. Ada pula yang berasal ari keluarga
petani. Penderita hipospadia umumnya berasal dari keluarga kurang
mampu. Akibatnya banyak diantara penderita tak bisa segera ditangani.
Angka kejadian penderita hipospadia di Indonesia belum diketahui
secara pasti, tetapi dari hasil penelitian pakar kedokteran di sejumlah
negara, kelainan ini terjadi pada satu dari 125 bayi laki-laki kelahiran
hidup. Salah satu penyebab kelainan ini adalah karena keturunan.
c. Penatalaksanaan
(a) Sunat. Banyak dokter yang menyarankan sunat

untuk

menghilangkan masalah fimosis secara permanen. Rekomendasi ini


diberikan terutama bila fimosis menimbulkan kesulitan buang air
kecil atau peradangan di kepala penis (balanitis). Sunat dapat
dilakukan dengan anestesi umum ataupun lokal.
(b) Obat. Terapi obat dapat diberikan dengan salep yang meningkatkan
elastisitas kulup. Pemberian salep ini harus dilakukan secara teratur
dalam jangka waktu tertentu agar efektif.

(c) Peregangan. Terapi peregangan dilakukan dengan peregangan


bertahap kulup yang dilakukan setelah mandi air hangat selama lima
sampai sepuluh menit setiap hari. Peregangan ini harus dilakukan
dengan hati-hati untuk menghindari luka yang menyebabkan
pembentukan parut. Jangan sekali-kali membuka kulup secara paksa
dengan menariknya ke arah pangkal penis. Tindakan ini berbahaya,
karena kulup dapat terjepit, menimbul nyeri dan pembengkakan
yang hebat. Bila anak mengalami kesulitan buang air kecil, dokter
akan mencoba melebarkan kulup yang melekat. Pelebaran (dilatasi)
ini mudah, hanya sekitar 5 menit dan tidak perlu dianestesi (dibius).
Bila upaya ini gagal, maka tindakan sunat (sirkumsisi) adalah jalan
keluarnya. Apalagi, bila fimosisnya menetap atau terjadi infeksi.
Bila perlu, dilakukan pembiusan.
7. Gangguan Metabolik dan Endokrin
Gangguan metabolik herediter : Ada lebih dari 400 gangguan genetik
biokimia, kebanyakan terkait-X atau autosom resesif.
a. Etiologi
1) Bisa berhubungan dengan terputusnya sintesis atau katabolisme molekul
kompleks yang mengakibatkan gejala
progresif permanen.
2) Bisa berhubungan dengan gangguan sekuens metabolisme yang
menyebabkan akumulasi senyawa toksik.
3) Bisa berhubungan dengan detisiensi produksi atau penggunaan energi.
b. Manifestasi klinis umum
Bisa terjadi dalam beberapa jam sampai berbulan-bulan setelah lahir.
Bisa menyerupai tanda dan gejala sepsis. Banyak orang
merekomendasikan pemeriksaan kadar amonia serum untuk tiap bayi <
3 bulan yang dicurigai sepsis.
Harus dicurigai pada tiap bayi yang: nampak sehat setelah lahir tetapi
mengalami gejala setelah pengenalan makanan; mengalami asidosis
metabolic berat yang tak dapat dijelaskan; muntah rekuren datang

dengan penurunan kesadaran, dicurigai sepsis; serta memiliki riwayat


keluarga dengan gejala serupa, retardasi mental, sindrom kematian bayi
mendadak, utau kematian neonatal yang tak dapat dijelaskan.
Bisa datang dengan kejadian akut mengancam jiwa yang tidak
berespons terhadap terapi yang biasa.
Temuan klinis bisa meliputi: gastrointestinal (curigai selalu bila disertai
muntah, strkar makan, sukar menambah berat badan, diare, ikterus, atau
hepatomegali); neurologis (letargi, iritabilitas, mengisap lemah, tremor,
kejang, hipertonia, rigiditas, atau koma); jantung (kardiomiopati atau
aritmia); bau atau warna urine yang tak biasa; pernapasan (takipnea,
apnea, atau distres pcrnapasan); gambaran tubuh dismorfisme; mata
(katarak, lensa ektopik, bintik merahceri, pengabutan kornea, atau
retinitis pigmentosa); rambut (alopesia, steely hair- atau kinky hair);
kulit (nodulus kulit, kulit tebal, iktiosis, atau lesi Wit), dan kepala
(makrosefali atau mikrosefali).
c. Pemeriksaan diagnostik
1) Lakukan penapisan metabolik
2) Hitung darah lengkap
3) Urinalisis: zat pereduksi, keton, bau, dan warna.
4) Gas darah arteri: asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik.
5) Elektrolit serum: peningkatan anion gap biasanya > 16 anion gap
tidak terjadi pada semua kesalahan metabolisme sejak lahir.
6) Glukosa darah

Hipoglikemia dapat dihubungkan dengan 3-Metil-gultakonik


asiduria; penyakit urine rnaple syrup; defisiensi 3-hidroksi-3Metilglutaril CoA Liase; propionik asidemia; metilmalonik
asidemia; defisiensi Asil CoA dehidrogenase rantai sedang;
defisiensi karnitinl asilkarnitin translokase; serta defisiensi karnitinpalmitil transferase I dan karnitin-palmitil transferase II.

Hipoglikemia tidak berhubungan dengan penyakit penyimpanan


glikogen tipe II.

7) Kadar amonia plasma: sering melebihi 1000 mol/L


8) Enzim hepar, termasuk kadar hilirubin total dan direk.
9) Asam amino plasma dan urine-, asam organik urine.
10) Kadar laktat plasma.
11) Mungkin memerlukan pemeriksaan khusus (mis., pemeriksaan biopsi
kulit dan cairan serebrospitial CSFJ).
d. Intervensi
Berikan perawatan suportif. Hasilnya relatif cepat diperoleh.
Puasa sampai diagnosis diperoleh.
Lakukan selalu rujukan rnetabolik/genetik dan pertimbangkan
pemindahan ke institusi yang mengkhususkan pada gangguan
metabolik herediter.
Hasil akhir : sebagian kesalahan metabolisme sejak lahir responsif
terhadap pembahan diet : sebagian kesalahan metabolisme sejak lahir
letal dan memerlukan perawatan paliatif.
8. Atresia Esofagus
a. Pengertian
Atresia esophagus adalah esofagus/kerongkongan yang tidak
terbentuk secara sempurna, kerongkongan menyempit dan buntu tidak
tersambung dengan lambung sebagaimana mestinya. Atresia esofagus
merupakan suatu kelainan bawaan pada saluran pencernaan yang
diseababkan karena penyumbatan bagian proksimal esofagus sedangkan
bagian distal berhubungan dengan trakea.
b. Etiologi
Beberapa etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya
kelainan kongenital atresia esophagus:
Faktor obat; Salah satu obat yang diketahui dapat menimbulkan
kelainan kongenital ialah thalidomine

Faktor radiasi; Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat


menimbulkan

kelainan

kongenital

pada

janian

yang

dapat

mengakibatkan mutasi pada gen.


Faktor gizi; Penyelidikan menunjukan bahwa frekuensi kelainan
congenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan
makanan
c. Patofisiologi
Secara epidemiologi anomaly ini terjadi pada umur kehamilan 3-6
minggu akibat :
Diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan
diri untuk masing-masing menjadi esophagus dan trekea
Perkembangan sel endoteral yang tidak lengkap sehingga
menyebabkan terjadinya atresia
Perlekatan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga
terjadi fistula trekeo esophagus. Faktor genetic tidak berperan
dalam patogenesis ini
9. Obstruksi Billiaris
a. Pengertian
Obstruksi billiaris adalah tersumbatnya saluran kandung empedu
karena terbentuknya jaringan fibrosis
b. Etiologi
Degenerasi sekunder
Kelainan congenital
c. Tanda dan Gejala :
Ikterik (pada umur 2-3 minggu)
Peningkatan billirubin direct dalam serum (kerusakan parenkim
hati, sehingga bilirubin indirek meningkat)
Bilirubinuria
Tinja berwarna seperti dempul
Terjadi hepatomegali
d. Patofisiologi
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding
misalnya ada tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu
empedu dan cacing askariasis sering dijumpai sebagai penyebab
sambutan

didalam

lumen

saluran.

Pankreatis,tumor

caput

pankreas,tumor kandung empedu atau anak sebar tumor ganas didaerah


ligamentum hepato duodenale dapat menekan saluran empedu dari luar
menimbulkan gangguan aliran empedu. Beberapa keadaan yang jarang
dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista koledokus, abses
amuba pada lokasi tertentu, diventrikel duodenum dan striktur sfingter
vavila vater.
Kurangnya bilirubin dalam saluran usus bertanggung jawab atas tinja
pucat, biasanya dikaitkan dengan obstruksi empedu. Penyebab gatal
(pruritus) yang berhubungan dengan obstruksi empedu tidak jelas.
Sebagian percaya mungkin berhubungan dengan akumulasi asam
empedu di kulit. Lain menyarankan mungkin berkaitan dengan
pelepasan ovioid endogen. Penyebab obstruksi billiaris adalah
tersumbatnya saluran empedu sehingga empedu tidak dapat mengalir
kedalam usus untuk dikeluarkan (sebagai strekobillin) dalam feses.
e. Penatalaksanaan
Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan obstruksi biliaris
bertujuan untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan
aliran empedu.tindakan tersebut dapat berupa tindakan pembedahan
misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor. Dapat pula upaya
untuk menghilangkan sumbatan dengan tindakan endoskopy baik
melalui papila vater atau dengan laparoscopy. Bila tindakan
pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab
sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar empedu
yang terhambat dapat dialirkan. Drainase dapat dilakukan keluar tubuh
misalnya dengan pemasangan pipa naso bilier, pipa T pada ductus
koledokus atau kolesistostomi.
Penatalaksanaan keperawatan
Pertahankan kesehatan bayi (pemberian makan yang cukup gizi
sesuai dengan kebutuhan, serta menghindarkan kontak infeksi).
Berikan penjelasan kepada orang tua bahwa keadaan kuning pada

bayinya

berbeda

dengan

bayi

lain

yang

kuning

karena

hiperbilirubinemia biasa yang dapat hanya dengan terapi sinar atau


terapi lain. Pada bayi ini perlu tindakan bedah karena terdapatnya
penyumbatan.
Penatalaksanaan medisnya yaitu dengan operasi
10. Omfalokel
a. Pengertian
Omfalokel merupakan hernia pada pusat, sehingga isi perut keluar
dalam kantong peritoneum
b. Etiologi
Kegagalan alat dalam untuk kembali ke rongga abdomen pada waktu
janin berumur 10 minggu
c. Tanda dan Gejala
Gangguan pencernaan, karena polisitemia dan hiperinsulin
Berat badan lahir > 2500 gr
d. Penatalaksanaan
Bila kantong belum pecah, diberikan merkurokrom yang bertujuan

untuk penebalan selaput yang menutupi kantong


Pembedahan

11. Hernia Diafragmatika


a. Pengertian
Hernia diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga
dada melalui suatu lubang pada diafragma. Diafragmatika adalah sekat
yang membatasi rongga dada dan rongga perut. Secara anatomi serat otot
yang terletak lebih medial dan lateral diafragma posterior yang berasal
dari arkus lumboskral dan vertebrocostal triagone adalah tempat yang
paling lemah dan mudah terjadi rupture.
Menurut lokasinya hernia diafragma traumatika 69% pada sisi kiri,
24% pada sisi kanan, dan 15% terjadi bilateral. Hal ini terjadi karena
adanya hepar di sisi sebelah kanan yang berperan sebagai proteksi dan
memperkuat struktur hemidiafragma sisi sebelah kanan. Organ abdomen
yang dapat mengalami herniasi antara lain gaster, omentum, usus halus,

kolon, limpadan hepar. Juga dapat terjadi hernia inkarserata maupun


strangulata dari saluran cerna yang mengalami herniasi ke rongga toraks
ini.
Lubang hernia dapat terjadi di peritoneal (tipr bochdalek) yang
tersering ditemukan.

Pada hernia bochdalek umumnya langsung

menunjukkan gejala pada saat bayi. Pada kasus hernia bochdalek, bayi
akan tampak kebiruan dan perut kembung. Kemudian, anterolateral (tipe
morgagni) atau di esofageal hiatus hernia. Umumnya baru menimbulkan
gejala pada usia dewasa.
b. Penyebab
Penyebab penyakit hernia ini adalah janin tumbuh di uterus ibu
sebelum lahir, berbagai sistem organ berkembang dan matur. Diafragma
berkembang antara minggu ke-7 sampai 10 minggu kehamilan. Esofagus
(saluran yang menghubungkan tenggorokan ke abdomen), abdomen, dan
usus juga berkembang pada minggu itu.
Pada hernia tipe Bockdalek, diafragma berkembang tidak normal
atau usus mungkin terperangkap di rongga dada pada saat diafragma
berkembang. Pada hernia tipe Morgagni, otot yang seharusnya
berkembang di tengah diafragma tidak berkembang secara wajar.
Pada kedua kasus di atas perkembangan diafragma dan saluran
pencernaan tidak terjadi secara normal. Hernia difragmatika terjadi
karena berbagai faktor, yang berarti banyak faktor baik faktor genetik
maupun lingkungan.
c. Tanda dan Gejala Penyakit Hernia
Gejalanya berupa:
Gangguan pernafasan yang berat
Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen)
Takipneu (laju pernafasan yang cepat)
Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris)
Takikardia (denyut jantung yang cepat)
d. Komplikasi

Lambung, usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia.
Jika hernianya besar, biasanya paru-paru pada sisi hernia tidak
berkembang secara sempurna.
Setelah lahir, bayi akan menangis dan bernafas sehingga usus segera
terisi oleh udara. Terbentuk massa yang mendorong jantung sehingga
menekan paru-paru dan terjadilah sindroma gawat pernafasan.
Sedangkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita hernia
diafragmatika tipe Bockdalek antara lain 20 % mengalami kerusakan
kongenital paru-paru dan 5 16 % mengalami kelainan kromosom.
e. Penatalaksanaan
Berikan diet RKTP
Berikan Extracorporeal Membrane Oxygenation (EMCO)
Dilakukan tindakan pembedahan
12. Atresia Duodeni
a. Pengertian
Atresia Duodeni adalah obstruksi lumen usus oleh membran utuh,
tali fibrosa yang menghubungkan dua ujung kantong duodenum yang
buntu pendek, atau suatu celah antara ujung-ujung duodenum yang tidak
bersambung.
b. Etiologi
Kegagalan rekanalisasi lumen usus selama masa kehamilan minggu
ke-4 dan ke-5
Banyak terjadi pada bayi yang lahir premature
c. Tanda dan Gejala
Bayi muntah tanpa disertai distensi abdomen
Ikterik
d. Penatalaksanaan
Pemberian terapi cairan intravena
Dilakukan tindakan duodenoduodenostomi
13. Atresia ani/rekti (penyumbatan/obstruksi pada rectum/anus)

a. Pengertian
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya
nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri
adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal
atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi
karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses
penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh
saluran tubuh, misalnya atresia ani.
Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki
nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir
selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti
keadaan normalnya.
b. Klasifikasi Atresia Ani
Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai imperforata.
Ladd dan Gross (1966) membagi anus imperforata dalam 4 golongan,
yaitu:
Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
Membran anus menetap
Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada
bermacam-macam jarak dari peritoneum
Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita
yang sering ditemukan fisula rektovaginal (bayi buang air besar
lewat

vagina)

dan

jarang

rektoperineal,

tidak

pernah

rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula


rektourinarius dan berakhir dikandung kemih atau uretra serta
jarang rektoperineal.
c. Etiologi Atresia Ani
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.

Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12


minggu/3 bulan.
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
d. Patofisiologi Atresia Ani:
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan
berusia 12 minggu atau tiga bulan.
Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.
e. Gambaran Klinik Atresia Ani:
Pada sebagian besar anomali ini pada neonatus ditemukan dengan
obstruksi usus. Tanda berikut merupakan indikasi beberapa
abnormalitas:
Tidak adanya apertura anal
Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal
Muntah dengan abdomen yang kembung
Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip
seperti stenosis.
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi
baru lahir harus dilakukan colok anus dengan menggunakan
termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus.
Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung
tangan. Jika terdapat kelainan, maka termometer atau jari tidak dapat
masuk. Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih

tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam 24-48 jam setelah
lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.
f. Pemeriksaan Penunjang Atresia Ani:
1)
X-ray, ini menunjukkan adanya gas dalam usus.
2)
Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius,
misalnya suatu sistouretrogram mikturasi akan memperlihatkan
hubungan rektourinarius dan kelainan urinarius.
3)
Pemeriksaan urin, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat mekonium.
g. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan operatif pada malformasi anorektal dengan
tindakan bedah yang disebutkan diseksi postero sagital atau plastik
anorektal

posterosagital.

Kolostomi

merupakan

perlindungan

sementara. Ada dua tempat kolostomi yang dianjurkan dipakai pada


neonatus dan bayi yaitu transversokolostomi (kolostomi dikolon
transversum) dan sigmoidostomi (kolostomi disigmoid). Bentuk
kolostomi yang mudah dan aman adalah stoma laras ganda (Double
barrel). Teknik operatif definitif (Posterior Sagital Ano-Rekto-Plasti).
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Begitu
diketahui, segera dirujuk ke RS untuk dilakukan colostomy.
Kolostomi adalah suatu tindakan bedah untuk membuat bukaan
intestinal/kolon pada dinding abdomen. Ini memungkinkan bayi
untuk dapat tetap memiliki pasase kolon yang normal dan mencegah
obstruksi kolon. Pada ujung muara kolostomi ini dipasang sebuah
kantong untuk menampung faeces yang keluar.
14. Hirschprung
a. Pengertian
Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu
kelainan kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus
besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena

sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan


kontraksi ototnya.Sehingga menyebabkan terakumulasinya feses
dan dilatasi kolon yang masif.
b. Penyebab
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa
berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otototot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan
peristaltik).

Kontraksi

otot-otot

tersebut

dirangsang

oleh

sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah


lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada,
biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang
tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahanbahan

yang

dicerna

dan

terjadi

penyumbatan.

Penyakit

Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki.


Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya,
misalnya sindroma Down.
c. Tanda dan gejala
Segera setelah lahir, bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium
(tinja pertama pada bayi baru lahir)
tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
perut menggembung
muntah
diare encer (pada bayi baru lahir)
berat badan tidak bertambah, mungkin terjadi retardasi
pertumbuhan
malabsorbsi.
d. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan colok dubur (memasukkan jari tangan ke dalam
anus) menunjukkan adanya pengenduran pada otot rektum.
e. Pengobatan
Pengobatan dengan diberikan obat-obat yang bersifat simptomatis
atau definitif. Pada keadaan gawat darurat, mungkin juga diperlukan

koreksi cairan dan keseimbangan elektrolit. Untuk mencegah


terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan
kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada
dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar.
Pengangkatan bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali
usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan atau
lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis,
diberikan antibiotik.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bayi Baru Lahir (BBL)/ Neonatus/ Neonatal adalah hasil konsepsi yang baru
keluar dari rahim seorang ibu melalui jalan kelahiran normal atau dengan bantuan
alat tertentu dengan periode sejak bayi lahir sampai 28 hari pertama kehidupan
yang lahir dari kehamilan 37-42 minggu dan berat badan lahir 2500-4000 gram.
Masa bayi baru lahir (Neonatal) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Periode Partunate,
dan Periode Neonate. Saat lahir, bayi baru lahir harus beradaptasi dari keadaan yang
sangat tergantung menjadi mandiri.
Banyak perubahan yang akan dialami oleh bayi yang semula berada dalam
lingkungan interna ke lingkungan eksterna. Adaptasi bayi terhadap kehidupan diluar
kandungan meliputi : Adaptasi Fisiologi Fetus, Perubahan Pernafasan, Perubahan
Sirkulasi, Termoregulasi dan Adaptasi Fisiologi Sistem Metabolisme, Bayi Rentan
Kehilangan

Panas,

Perubahan

Sistem

Hematologi,

Perubahan

Sistem

Gastrointestinal, Perubahan Sistem Imunitas, Perubahan Sistem Ginjal, Ikterus


Neonatorum Fisiologis.
Ada beberapa kelainan yang dapat dialami oleh Bayi Baru Lahir. Kelainan
tersebut antara lain: Labioskizis/Labiopalatoskizis, Meningokel, Ensefalokel,
Hidrosefalus, Fimosis, Hipospadia, Gangguan Metabolik dan Endokrin, Atresia
Esofagus, Obstruksi Billiaris, Omfalokel, Hernia Diafragmatika, Atresia Duodeni,
Atresia ani/rekti (penyumbatan/obstruksi pada rectum/anus), Hirschprung.
3.2 Saran
Saran Bagi masyarakat, khususnya ibu hamil, dapat sesering mungkin untuk
memeriksakan kehamilannya dan menghindari seminimal mungkin hal-hal yang
dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital pada janin atau organ yang
dikandungnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia Nuruh Baety. 2011. Biologi Reproduksi Kehamilan dan Persalinan. Yogjakarta:
Graha Ilmu.
Depkes RI. 2007. Buku Acuan & Panduan Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi
Menyusu Dini. JNPK-KR: Jakarta
Depkes RI. 2008. Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. JNPK-KR: Jakarta
DepKes. 2005. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta : DepKes.RI
Haws, Paulette S. 2008. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat.Jakarta: EGC
Kusmiyati, Y. 2010. Perawatan Ibu Hamil. Cetakan ke VI. Yogyakarta: Fitramaya.
Hlm: 55-57.
Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi-Obstetri Patologi. Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hlm: 35-36.
MNH, JNPK-KR dan DepKes. 2002. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta :
DepKes.RI
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit.Jakarta: EGC
Nx Al'moezim. 2011. Makalah Kelainan pada bayi baru lahir. (Online) Available :
https://www.academia.edu/5562630/Makalah_kelainan_BBL (diakses pada tanggal 25
September 2015, pukul 21.05 Wita)
Neil, W.R. 2001. Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Jakarta: Dian Rakyat.
Prawirohardjo, s . 2009. Ilmu kebidanan. Jakarta: YBP-SP
Sarwono, Prawirohardjo. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka sarwono
Prawirohardjo.

Sulistyawati, A. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba


Medika.
Saifuddin, A. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.JNPK-KR: Jakarta.
Saifuddin, abdul bari.2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan

Neonatal . Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wulanda, Febri Ayu. 2012. Biologi Reproduksi. Jakarta :Salemba Mediaka


Walsh, Winda. 2007. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC. Hlm: 79-82
Image, telegraph.co.uk
Widiatun,

Diah.

2011.

Adaptasi

Fisiologi

BBL.

(Available

http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/07/adaptasi-fisiologis-bayi-baru-lahirbbl.html#ixzz3mpCMIOOy) diakses tanggal 26 September 2015


Varney, Helen, (2009), Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Jakrta: EGC

Вам также может понравиться