Вы находитесь на странице: 1из 10

SOSIOLOGI DAN POLITIK

SUMBER DAN PENANGANAN KONFLIK MASYARAKAT LOKAL


(REKLAMASI TELUK BENUA)

Oleh :
Kelompok IV
1.

NI KADEK DEWI OCTAVIANI

1215351023

2.
3.
4.
5.
6.
7.

MELLY YULIANA
ANINSA ANGGARIANI PUTRI
PUTU DEVI SANDRA
LUKI SETIAWAN DJAJADI
KOMANG SUDAARSA
BUDI ISMANTO PRASETYO

1215351162
1315351135
1415351160
1415351161

PROGRAM EKSTENSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
REKLAMASI TELUK BENOA

A. SUMBER KONFLIK
1. Adanya pengajuan izin reklamasi teluk benoa oleh PT TWBI.
2. Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Dan Tabanan,
yang antara lain menyatakan bahwa perairan Kawasan Teluk Benoa merupakan
kawasan yang memiliki ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
3. Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Dan Tabanan yang merubah
status kawasan perairan teluk benoa menjadi zona penyangga konservasi.
B. PIHAK YANG BERKONFLIK
Pihak yang berkonflik adalah pihak yang mendukung reklamasi dengan pihak yang
menolak rencana tersebut.
Adapun pihak yang mendukung rencana reklamasi teluk benoa adalah:
1. PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI)
PT.Tirta Wahana Bali Internasional (PT.TWBI) merupakan perusahaan yang bergerak di
bidang properti yang berbasis ramah lingkungan.
Berlokasi di Provinsi Bali, Indonesia.
Alasan melakukan reklamasi:
Menjaga dan melindungi eksistensi lingkungan sekaligus pemberdayaan masyarakat
di lingkungan sekitar.
Adapun Pihak yang menolak rencana reklamasi teluk benoa, antara lain:
1. ForBali (Forum Rakyat Bali):
ForBALI adalah aliansi masyarakat sipil lintas sektoral yang terdiri dari gerakan
mahasiswa, LSM, musisi, seniman, dan individu-individu yang peduli lingkungan hidup
dan mempunyai keyakinan bahwa perencanaan reklamasi seluas 838 hektar di Teluk
Benoa adalah bagian dari kebijakan penghancuran Bali.
Anggota ForBali:
1. FRONTIER (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali).
2. KEKAL (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup Bali).

3. GEMPAR Teluk Benoa (Gerakan Masyarakat Pemuda Tolak Reklamasi Teluk


4.
5.
6.
7.
8.

Benoa).
WALHI Bali, Sloka Institute, Mitra Bali.
PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) Bali.
PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia).
BEM Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Bali.
SID, dll.

Alasan menolak reklamasi teluk Benoa:


1.
2.
3.
4.

Mengganggu kesakralan Bali.


Menimbulkan banjir.
Menggangu ekosistem laut.
Makin maraknya investasi yang pada akhirnya tidak menguntungkan masyarakat

lokal.
C. KRONOLOGIS
Pro dan kontra mengenai rencana reklamasi Teluk Benoa masih terus memanas.
Kondisi ini dipicu oleh keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2014
tentang Perubahan Perpres Nomor 45 tahun 2011 yang mengatur kawasan Sarbagita
(Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) menyebutkan perubahan sebagian status zona
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kawasan Teluk Benoa, serta arahan umum
pemanfaatan ruang kawasan tersebut.
Presiden SBY telah memberikan penjelasan melalui Sekretaris Kabinet (Seskab)
Dipo Alam seperti dikutip dari laman setkab.go.id, bahwa perubahan Perpres No. 45/2011
dilakukan dengan pertimbangan untuk menyelaraskan arahan pengaturan peruntukan dan
pemanfaatan ruang di Kawasan Teluk Benoa seperti diatur dalam Perpres No. 45/2011
dengan Perpres No. 12/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali.
Pertimbangan selanjutnya yaitu karena adanya perkembangan kebijakan strategis
nasional dan dinamika internal di Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan
Tabanan, khususnya terkait pemanfaatan ruang di Kawasan Teluk Benoa, sehingga perlu
dilakukan kebijakan revitalisasi kawasan yang sesuai dengan perkembangan potensi alam,
wisata, lingkungan dan masyarakat di Bali secara khusus dan umum.
Sementara kondisi eksisting Kawasan Teluk Benoa sudah tidak seluruhnya
memenuhi kriteria sebagai kawasan konservasi perairan, dimana secara faktual telah ada
perubahan fisik antara lain jalan tol, jaringan pipa migas, maupun pelabuhan internasional

Benoa. Selain itu, terjadinya pendangkalan, menjadi salah satu pertimbangan bahwa
Kawasan Benoa tersebut tidak lagi tepat untuk dikatakan sebagai kawasan konservasi.
Khusus keberadaan jalan tol layang diatas kawasan pantai, telah mengubah dinamika
ekosistem pantai di Kawasan Teluk Benoa, sehingga diperlukan penyesuaian peruntukan
ruang.
Pertimbangan lainnya yaitu bahwa kawasan Teluk Benoa dinilai dapat
dikembangkan sebagai kawasan pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan
agama, dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi Taman Hutan Raya Ngurah Rai
dan pelestarian ekosistem kawasan sekitarnya, termasuk tanaman bakau. serta keberadaan
prasarana dan sarana infrastruktur di Kawasan Teluk Benoa.
Dan pertimbangan terakhir adalah bahwa perubahan Perpres Sarbagita itu untuk
menyesuaikan dinamika dan perubahan tujuan pembangunan perekonomian nasional,
khususnya yang terkait dengan rencana percepatan pembangunan di Bali, yang merupakan
bagian dari rencana Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi Indonesia
2011-2025 (MP3EI).
Pemerintah Pusat dan Pemda Bali telah memberikan lampu hijau kepada investor
untuk melakukan kajian terhadap Teluk Benoa sehingga bisa menjadikannya sebagai situs
wisata terpadu seperti Pulau Sentosa di SIngapura.
Pemerintah Propinsi Bali menilai bahwa Bali sebagai Pulau Dewata yang menjadi tujuan
pariwisata dunia sudah selayaknya membangun segala penunjang wisata baik restoran,
hotel maupun infrastruktur lainnya.
Penolakan Reklamasi
Masyarakat

sekitar

Teluk

Benoa

menolak

dilakukan

reklamasi

karena trauma dengan reklamasi yang dilakukan investor di Pulau Serangan, Kota
Denpasar. Perluasan dengan reklamasi yang proyeknya dikerjakan PT Bali Turtle Island
Development (BTID) sejak tahun 1996 lalu hingga kini terhenti dan tidak ada aktivitas
lanjutan. Proyek ini juga ditengarai telah menyebabkan abrasi di bibir pantai di sepanjang
garis pantai selatan Pulau Bali.

Walhi sendiri juga menolak reklamasi Teluk Benoa yang seluas 700 hektar tersebut.
Perpres 51 tahun 2014 dinilai membuat status Teluk Benoa yang sebelumnya termasuk
kawasan konservasi menjadi zona penyangga konservasi memungkinkan eksploitasi
kawasan tersebut. Walhi menilai rencana reklamasi akan menimbulkan ancaman bencana
ekologis berupa banjir di sekitar teluk benoa. Ancaman ekologis ini timbul karena Teluk
Benoa sebagai muara 4 sungai besar akan kehilangan fungsinya sebagai penampung air.
Penerbitan Perpres 51 Tahun 2014 juga menunjukkan Presiden tidak menghiraukan hasil
studi kelayakan yang dilakukan oleh Universitas Udayana yang menyatakan bahwa rencana
reklamasi Teluk Benoa tidak layak. Reklamasi sendiri akan dilaksanakan oleh PT Tirta
Wahana Bahari Internasional (TWBI) yang merupakan perusahaan milik konglomerat
Tommy Winata.
Akan tetapi Seskab Dipo Alam justru menyatakan bahwa kajian tim yang
beranggotakan para pakar dari beberapa universitas, seperti UGM, ITB, IPB, ITS, dan
Universitas Hasanudin menyimpulkan bahwa jika teluk Benoa dibiarkan seperti sekarang
tanpa revitalisasi, maka seiring dengan berjalannya waktu akan terjadi pendangkalan masif
di teluk, yang akan berdampak pada hancurnya taman hutan raya mangrove karena
kekurangan air. Dengan kondisi demikian, menurut kajian tim, perlu dilakukan revitalisasi
secara keseluruhan teluk Benoa yang luasnya kurang lebih 1.800 hektar.
Dalam kajian revitalisasi tersebut juga telah mempertimbangkan keberadaan
berbagai budi daya yang telah ada, dan masih akan dipertahankan keberadaannya di
kawasan Teluk Benoa, di antaranya kegiatan penangkapan ikan tradisional beserta jalurjalur nelayan tradisional untuk penangkapan ikan, kegiatan budidaya perairan termasuk
kegiatan budidaya karamba jenis tangkap dan karamba jenis apung, kegiatan penambakan,
pembesaran kepiting, wisata bahari, tempat pelelangan ikan, maupun permukiman bagi
nelayan setempat.
Menilai dari perang kajian yang dibuat oleh para ahli tersebut, sepertinya saat ini
keputusan mengenai Teluk Benoa berada di tangan Presiden Jokowi. Saat berkunjung ke
Bali bulan Agustus lalu Presiden yang baru terpilih itu mengatakan bahwa ia masih
akan mengkaji lebih jauh permasalahan tersebut.
D. RANGKAIAN KEJADIAN

12 September 2012:
MOU antara TWBI dan UNUD terkait kajian kelayakan dengan dalih Tri Dharma
Perguruan Tinggi.
18 September 2012:
TWBI mengajukan surat permohonan kepada UNUD untuk pembuatan kajian kelayakan
dan AMDAL.
1 Oktober 2012:
Penandatanganan surat perjanjian kerjasama antara PT TWBI dan LPPM UNUD untuk
pembuatan kajian kelayakan.
5 November 2012:
PT. TWBI mengajukan surat permohonan audiensi kepada Gubernur Bali dengan nomor
009/TWBI/L/XI/2012.
12 November 2012:
LPPM UNUD melakukan presentasi pertama dokumen studi kelayakan di BAPPEDA
Bali.
14 Desember 2012:
LPPM UNUD melakukan presentasi kedua dokumen studi kelayakan di BAPPEDA
Bali.
20 Desember 2012:
DPRD Bali menerbitkan rekomendasi untuk tindak lanjut kajian kelayakan oleh LPPM
UNUD dengan nomor 660.1/142781/DPRD. Rekomendasi inilah yang menjadi dasar
dikeluarkannya SK 2138/02-C/HK/2012.
26 Desember 2012:
Gubernur Bali menerbitkan SK 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin dan Hak Pemanfaatan,
Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa. Tidak ada publikasi
apapun mengenai hal ini.
1 Januari 2013:
Setelah penerbitan SK I tsb, mulai santer diberitakan di beberapa portal berita bisnis
bahwa sebuah konsorsium multinasional akan membangun sirkuit F1 di Teluk Benoa
3 Juli 2013:
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengesahkan Peraturan Menteri dengan nomor
17/PERMEN-KP/2013 yang mengizinkan reklamasi di zona konservasi non inti. Tidak
ada publikasi apapun mengenai hal ini.
3 Agustus 2013:
Presentasi oleh tim LPPM UNUD dalam dialog terbuka di kantor Gubernur. Dalam
dialog ini Gubernur menyatakan tidak akan ngotot mempertahankan rencana reklamasi
jika hasil studi kelayakan menyatakan tidak layak.

12 Agustus 2013:
DPRD Bali menerbitkan rekomendasi bernomor 900/2569/DPRD kepada Gubernur Bali
untuk meninjau ulang dan/atau Pencabutan SK Gubernur Bali nomor 2138/02C/HK/2012.
16 Agustus 2013:
Gubernur Bali mencabut SK 2138/02-C/HK/2012, namun menerbitkan SK 1727/01B/HK/2013tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan
Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa dan mendorong supaya kajian kelayakan
sebagai bagian dari usaha reklamasi diteruskan.
19 Agustus 2013:
Draft laporan final studi kelayakan oleh LPPM UNUD yang menyatakan reklamasi
Teluk Benoa layak bersyarat.
20 Agustus 2013:
Rapat koordinasi tim pengulas studi kelayakan oleh LPPM UNUD, hasilnya: reklamasi
tidak layak.
23 Agustus 2013:
ForBALI melaporkan Gubernur Bali dan DPRD ke Ombudsman atas dugaan
maladministrasi atas keluarnya SK Reklamasi Teluk Benoa. Laporan ForBALI
Ombudsman (pdf)
2 September 2013:
Rapat senat UNUD di kampus Bukit; reklamasi Teluk Benoa dinyatakan tidak layak.
Namun di hari yang sama, beberapa portal berita bisnis merilis berita bahwa reklamasi
Teluk Benoa dinyatakan layak bersyarat dan dapat diteruskan.
9 September 2013:
ForBALI mengirimkan surat kepada Rektor UNUD, mendesak supaya Rektor UNUD
melarang akademisinya terlibat dalam studi kelayakan reklamasi Teluk Benoa. Rektor
UNUD menolak dengan dalih melibatkan diri adalah hak pribadi masing-masing
akademisi.
18 September 2013:
Denpasar Lawyers Club dan Aliansi Jurnalis Independen Bali mengadakan diskusi
publik Menyoal Pro-Kontra SK Reklamasi Jilid 2. Dalam diskusi ini perwakilan
LPPM UNUD menegaskan lagi bahwa hasil studi kelayakan tidak layak, Pemprov
bersikukuh SK Jilid II bukan SK Reklamasi, dan ForBali mengupas modus-modus SK
Jilid II.
20 September 2013:

Prof. Ketut Satriyawan, ketua LPPM UNUD menegaskan kembali bahwa reklamasi
Teluk Benoa tidak layak.
30 September 2013:
UNUD kembali menyatakan hasil studi kelayakan reklamasi Teluk Benoa tidak layak.
Rapat Sabha Desa Pekraman Tanjung Benoa juga menyatakan menolak seluruh rencana
dan/atau kegiatan reklamasi di kawasan perairan Teluk Benoa. Surat penolakan
tertanggal 30 September 2013 yang dikeluarkan dari rapat tsb telah dikirimkan ke DPRD
dan Gubernur.
3 Oktober 2013:
DPD RI menyatakan akan memanggil Gubernur Bali terkait dugaan pelanggaran UU
dalam rencana reklamasi Teluk Benoa. Akan dihadirkan juga Kementerian Lingkungan
Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perhubungan, dan Menko Perekonomian
18 Oktober 2013:
Warga Tanjung Benoa kembali menegaskan sikapnya menolak reklamasi Teluk
Benoadalam aksinya di depan kantor Gubernur Bali.
22 Januari 2014:
ForBALI, musisi-musisi Bali, dan beberapa organisasi masyarakat pemerhati lingkungan
hidup seperti Walhi, Kiara, dll melakukan demonstrasi penolakan reklamasi Teluk Benoa
dan penyelamatan pesisir Indonesia di depan Istana Negara Jakarta.
16 Februari 2014:
Jaringan Aksi Tolak Reklamasi (JALAK) Sidakarya melakukan aksi damai
pembacaanpernyataan sikap, pengumpulan tanda tangan, dan cap jempol darah sebagai
bentuk penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Aksi ini berlangsung selama
dua jam di depan kantor kepala desa Sidakarya.26 Februari 2014
26 Februari 2014:
JALAK Sidakarya menyerahkan spanduk berisi tanda tangan dan cap jempol
darah warga kepada Gubernur dan DPRD Bali. Spanduk ini diterima oleh Kabag Humas
DPRD Bali.
27 Februari 2014:
Gubernur Bali mengadakan konferensi pers terkait penyerahan spanduk bertandatangan
dan bercap jempol darah yang diserahkan oleh JALAK Sidakarya pada hari Rabu, 26
Februari 2014. Di spanduk tsb ditemukan banyak makian, namun yang digarisbawahi
oleh Gubernur adalah tulisan Penggal Kepala Mangku P. Tulisan ini dianggapnya
sebagai ancaman fisik yang serius, dan ditindaklanjutinya dengan pelaporan ke Polda
Bali.

28 Februari 2014:
JALAK Sidakarya membantah tuduhan penulisan Pengal Kepala Mangku P di
spanduk bertandatangan dan bercap jempol darah yang mereka serahkan kepada
Gubernur dan DPRD Bali pada hari Rabu, 26 Februari 2014.Pihaknya memang
menggalang aksi pengumpulan tanda tangan dan cap jempol darah tsb, namun
menegaskan bahwa ketika spanduk tsb diserahkan, tulisan tsb tidak ada. Hal ini mereka
anggap sebagai bentuk pengalihan isu reklamasi.
1 Maret 2014:
I Wayan Tirtayasa, seorang aktivis JALAK Sidakarya ditangkap oleh Polda Bali. Ia
dijerat dengan pasal 336 KUHP ayat 2.
3 Maret 2014:
3 aktivis JALAK Sidakarya menyerahkan diri ke Polda Bali diantar oleh warga
Sidakarya sebagai pejuang lingkungan hidup.
25-27 Maret 2014:
Organisasi-organisasi masyarakat sipil terkemuka seperti Walhi, Kontras, dan
Greenpeace Indonesia mendesak pembebasan empat aktivis lingkungan dari Sidakarya.
Mereka merilis siaran pers dan mengirimkan surat kepada Kapolda Bali Irjen Pol AJ
Benny Mokalu.
28 Maret 2014:
Karena besarnya desakan dari organisasi-organisasi masyarakat tersebut, keempat
aktivis lingkungan hidup dari Sidakarya dibebaskan oleh Polda Bali.
30 Mei 2014:
Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Prsiden Nomor 51 tahun 2014 yang mengijinkan
reklamasi dilakukan di wilayah konservasi Teluk Benoa.
Sekarang:
Hingga saat ini masih belum ada titik temu dari kedua pihak yang berkonflik. Sepertinya
saat ini keputusan mengenai Teluk Benoa berada di tangan Presiden Jokowi.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.selasar.com/ekonomi/keputusan-reklamasi-teluk-benoa-ada-di-jokowi

Вам также может понравиться