Вы находитесь на странице: 1из 18

Desain Hidrolis Mercu Bendung (1)

1. Bentuk mercu bendung (merujuk pada KP-02, Bagian 4.2.2)


Untuk menjaga agar kondisi aliran yang melimpah diatas mercu stabil, bentuk mercu
bendung harus direncanakan secara hati-hati dari segi hidrolis.
Dua tipe mercu bendung tetap di sungai yang biasa digunakan di Indonesia adalah
tipe mercu bulat dan tipe mercu ogee, sebagaimana diuraikan di bawah ini:
1.1. Mercu bulat

Mercu bendung bulat mempunyai koefisien debit yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan mercu bendung ambang lebar. Pada sungai, ini akan banyak memberikan
keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama
banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan
tekanan negatif pada mercu.
1.2. Mercu Ogee
Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi. Oleh
karena itu mercu ini tidak akan memberikan tekanan subatmosfer pada permukaan
mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang lebih
rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, US. Army Corps of
Engineers telah mengembangkan persamaan berikut :
Y/hd = (I/k) . (X/hd)n
Dimana:
X dan Y : koordinat-koordinat permukaan hilir; hd : tinggi energy rencana diatas
mercu; K dan n : parameter yang tergantung pada kecepatan aliran dan kemiringan
hilir.
Harga k dan n
Kemiringan permukaan
k
N
hilir
Vertikal
2.000
1.850
1 - 0.33
1.936
1.836
1 - 0.67
1.939
1.810
1-1
1.873
1.776
Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir, seperti
terlihat pada gambar berikut :

2. Lebar Bendung
Lebar bendung yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment),
sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil.
Dibagian ruas bawas sungai, lebar rata-rata ini dapat diambil pada debit
penuh (bankfull discharge); di bagian ruas atas mungkin sulit untuk
menentukan debit penuh. Dalam hal ini banjir rata-rata tahunan dapat
diambil untuk menentukan lebar rata-rata bendung.
Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1.2 lebar rata-rata
sungai pada ruas yang stabil.
Untuk sungai-sungai yang mengangkut bahan-bahan sedimen kasar yang
berat, lebar bendung tersebut harus disesuaikan laga terhadap lebar ratarata sungai, yakni jangan diambil 1.2 kali lebar sungai tersebut.
Agar pembuatan bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka
aliran per satuan lebar hendaknya dibatasi sampai sekitar 12-14
m3/dt.m, yang memberikan tinggi energi maksimum sebesar 3.5 4.5 m
(lihat gambar di bawah Lebar efektif mercu).
Lebar efektif mercu (Be) dihubungkan dengan lebar mercu yang
sebenarnya (B), yakni jarak antara pangkal-pangkal bendung dan/atau
pilar-pilar dengan persamaan berikut :
Be = B-2.(n.Kp + Ka).H1 (2)
dimana: n : jumlah pilar; Kp : koefisien kontraksi pilar; Ka : koefisien
kontraksi pangkal bendung (abutment); H1 : tinggi energi, m
Harga koefisien Ka dan Kp diberikan pada tabel berikut (merujuk pada KP02, Bagian 4.2.1).
Pilar Kp
Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang
dibulatkan
Dengan jari-jari 0.1 dari tebal pilar. 0.02
Untuk pilar berujung bulat 0.01
Untuk pilar berujung runcing 0
Abutment Ka

0.20

Untuk abutment segiempat dengan tembok hulu 90 ke arah aliran

Untuk abutment bulat dengan tembok hulu 90 Kearah aliran


dengan 0.5 H1 > r > 0.15 H1 0.10
Untuk abutment bulat dengan r > 0.5 H1 dan tembok hulu tidak
lebih dari 45 ke arah aliran 0

Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya (dengan bagian
depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk mengkompensasi perbedaan
koefisien debit dibandingkan dengan mercu bendung itu sendiri (lihat gambar Lebar efektif
mercu)

Debit yang melimpas lewat mercu dan pintu

Persamaan tinggi energy-debit untuk bendung ambang pendek dengan


pengontrol segi empat adalah :
Q = Cd . (2/3) . {(2/3).g} . b . (H1)1.5 (1)

Dimana: Q : debit, m/dt

Cd : koefisien debit (Cd = C0.C1.C2)

g : percepatan gravitasi, m/dt ( 9.8)

b : panjang mercu bendung, m

H1 : tinggi energy diatas mercu, m


Koefisien debit Cd adalah hasil dari:
C0 : fungsi dari H1/r (lihat gambar berikut)
C1 : fungsi dari P/H1 (lihat gambar berikut)
C2 : fungsi dari P/H1 dan kemiringan permukaan hulu bendung (lihat gambar
berikut)
C0 mempunyai harga maksimum 1.49 jika H1/r lebih dari 5.0. Harga C 0 sahih
apabila mercu bendung cukup tinggi diatas dasar rata-rata alur pengarah (p/H1
> 1.5).
Dalam tahap perencanaan P dapat diambil setengah dari jarak dari mercu
sampai dasar rata-rata sungai sebelum bendung dibuat. Untuk harga-harga P/H1
yang kurang dari 1.50 maka gambar tersebut dapat dipakai untuk menemukan
faktor pengurangan C1.

Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung bagian


hulu terhadap debit diberikan pada gambar dari koefisien C2 untuk mercu
bendung ogee dengan kemiringan permukaan hulu. Koefisien koreksi (C2)
diasumsi kurang lebih sama dengan harga factor koreksi untuk bentuk-bentuk
mercu tipe ogee.
Harga-harga factor pengurangan aliran tenggelam f sebagai fungsi perbandingan
H2/H1 dapat diperoleh pada gambar di bawah. Faktor pengurangan aliran
tenggelam mengurangi debit dalam keadaan tenggelam.

Koefisien debit efektif Ce adalah hasil Co, C1, dan C2 (Ce = C0 . C1 . C2).
C0 adalah konstanta (= 1.30)
C1 adalah fungsi P/hd dan H1/hd.
C2 adalah factor koreksi untuk permukaan hulu
Faktor koreksi C1 disajikan pada gambar factor koreksi untuk selain tinggi
energy rencana pada bendung mercu Ogee, dan sebaiknya dipakai untuk
berbagai tinggi bendung diatas dasar sungai.
Harga-harga C1 pada gambar tersebut berlaku untuk bendung mercu ogee
dengan permukaan hulu vertical. Apabila permukaan bendung bagian hulu
miring, koefisien koreksi tanpa dimensi C2 harus dipakai; ini adalah fungsi baik
kemiringan permukaan bendung maupun perbandingan p/H1. Harga C2 dapat
diperoleh pada gambar harga koefisien C2 untuk bendung mercu Ogee dengan
kemiringan hulu

3. Kolam Olak (merujuk pada KP-02, Bagian 4.2.4)


Gambar berikut menunjukkan metode perencanaan kolam loncat air.

Dari grafik (q) dengan H1 dan tinggi jatuh z, kecepatan V1 di awal


loncatan dapat dihitung dengan persamaan :
V1 = { (2g) . [( . H1 ) + z]}0.5
dimana : V1 : kecepatan aliran di awal loncatan, m/dt; g : percepatan gravitasi,
m/dt ( 9.8); H1 : tinggi energy diatas ambang, m; z: tinggi jatuh, m
Dengan q = V1 . yu, dan persamaan untuk kedalaman konjugasi di
loncatan hidrolis adalah :
y2 / yu = (1/2) . [1+(8Fr)]0.5
Fr = V1 / (g . yu)0.5

dimana : y2 : kedalaman air diatas ambang ujung, m; yu : kedalaman air di awal


loncatan, m; Fr : bilangan Froude; V1 : kecepatan di awal loncatan, m/dt;
g : percepatan gravitasi, m/dt ( 9.8)
Kedalaman konjugasi untuk setiap q dapat ditemukan dan diplot. Untuk
menjaga agar loncatan tetap dekat dengan muka miring bendung dan
diatas lantai, maka lantai harus diturunkan hingga kedalaman air hilir
sekurang-kurangnya sama dengan kedalaman konjugasi. Untuk aliran
tenggelam, yakni jika muka air hilir lebih tinggi dari 2/3 H1 diatas mercu,
tidak diperlukan peredam energi.

Panjang Kolam Olak


Panjang kolam loncat air di belakang potongan U biasanya kurang dari
panjang bebas loncatan tersebut karena adanya ambang ujung (end sill).
Ambang yang berfungsi untuk memantapkan aliran ini umumnya
ditempatkan pada jarak:
Lj =5 ( n + y2 )

Dimana : Lj : panjang kolam olak, m; n : tinggi ambang ujung hilir, m; y 2 : kedalaman


air diatas ambang, m.
Tinggi yang diperlukan ambang ujung ini sebagai fungsi bilangan Froude
(Fru), kedalaman air yang masuk (yu), dan tinggi muka air hilir, dapat
ditentukan dari grafik pada gambar berikut :

Perhitungan Kolam Olak Tipe MDL dan MDO


Kolam olak tipe MDL adalah kolam olak tipe loncatan air, sedangkan tipe
MDO adalah kolam olak datar dengan ambang ujung hilir. Kedua tipe ini
merupakan tipe pengembangan dari tipe bak tenggelam dan kolam olak
tipe USBR berdasarkan penelitian hidrolis dari Laboratorium Hidrolika
DPMA Bandung.
Tahapan dalam desain kolam olak tipe MDL adalah sebagai berikut :
1. Dari perencanaan mercu sebelumnya diketahui : Elevasi mercu,
lebar bendung efektif Be, jari-jari mercu R (untuk tipe mercu bulat),
tinggi muka air banjir diatas mercu h1.
2. Direncanakan kemiringan hilir tubuh bendung (misalnya, 1:1)
3. Dihitung degradasi hilir berdasarkan kondisi tanah dasar sungai hilir
(bila tidak ada data yang pasti asumsi kedalaman gerusan minimal
2.00 m)
4. Hitung kedalaman air di hilir, h2 dengan lengkung debit yang
diketahui (jika ada), atau dengan pendekatan rumus Manning
(dengan parameter hidrolis rata-rata, yaitu : lebar dasar sungai, b;
kemiringan talud, m; koefisien kekasaran, n; dan kemiringan dasar
sungai, I), atau berdasarkan hasil analisis hidrolika sungai
(misalnya dengan analisis hydraulic HEC-RAS)
5. Hitung Z = (Elevasi mercu + h1 elevasi dasar sungai dengan
keadaan degradasi + h2), atau dengan persamaan Z = (P+h1) h2
d (degradasi)
6. Hitung debit persatuan lebar, q = Q/B; dengan : Q = debit banjir
rencana, m3/dt; B = lebar total kolam olak, m.
7. Hitung parameter energi berdasarkan persamaan : (q/(g.z^3)^0.5)

Dan dengan bantuan grafik MDL untuk tipe MDL (peredam energy
cekung) dapat dicari : Dr = dalamnya cekungan; R = radius cekungan; Lr
= panjang cekungan; dan e = panjang ambang hilir.
Atau dengan bantuan grafik MDO untuk tipe MDO (peredam energy kolam
datar dengan ambang hilir)
8. Pasang rip-rap batu dengan diameter d=30/40 cm di hilir ambang
hilir cekungan dengan panjang > 3.00 m dan dalam minimum 4-5
lapis.
Sedangkan tahapan untuk desain kolam olak tipe MDO : tahap (1) sampai
(6) dan (8) sama seperti diatas, sedangkan untuk tahap (7) adalah :
Hitung parameter energi berdasarkan persamaan : (q/(g.z^3)^0.5)
Dengan menggunakan grafik MDO (seperti tercantum di bawah) didapat
harga Ds dari harga perbandingan Ds/D2, dimana : Ds = elevasi mercu
elevasi kolam olak; D2 = tinggi muka air hilir bendung.
Dengan menggunakan grafik MDO diperoleh panjang kolam olak L dari
perbandingan L/Ds.

PANJANG KOLAM OLAK MENURUT PENELITIAN UGM

Perhitungan desain hidrolis bendung dengan program excell

KINERJA LANTAI BETON BERTULANG PADA


JEMBATAN
RANGKA BAJA
LANNEKE TRISTANTO, REDRIK IRAWAN
PUSLITBANG JALAN DAN JEMBATAN, BALAI JEMBATAN
BANDUNG
ABSTRAK
Pada pelaksanaan penggantian lantai jembatan Comal di jalur Pantura Jatengtelah diadakan
percobaan dengan 5 tipe lantai beton bertulang dalam satu bentang jembatan, yang
dimaksudkan agar dalam waktu monitoring dapat mengungkapkan tipe yang paling tepat
dalam kekuatan dan keawetan. Setelah beberapa tahun ternyata bahwa ke 5 tipe menunjukkan
kinerja baik dan dibanding dengan lantai jembatan rangka yang lain, jembatan Comal paling
mulus.
Dalam merencanakan 5 tipe lantai diadakan sambungan konstruksi antara tiap tipe sehingga
tidak saling mempengaruhi. Sambungan konstruksi adalah salah satu cara untuk mencegah
terjadinya kerusakan lantai akibat beban radiasi matahari yaitu muai susut sepanjang masa.
Dengan demikian lantai menerus diatas beberapa tumpuan tidak tertahan dalam gerakan dan
tidak terjadi tegangan sekunder. Disimpulkan bahwa sambungan konstruksi adalah cara yang
tepat untuk menanggulangi kerusakan dini pada lantai beton bertulang dari jembatan rangka
baja.
Kelima tipe yang di-uji coba di lokasi jembatan Comal adalah sebagai berikut :
1. Tipe A : non komposit. Pelat beton bertulang yang menumpu pada gelagar-gelagar
memanjang dengan
tulangan utama dalam arah melintang jembatan (serupa desain lama
yang selama ini digunakan)
2. Tipe B : komposit. Pelat tipe A diberikan penghubung geser sepanjang gelagar memanjang
(improvisasi tipe A sebagai desain pembanding)
3. Tipe C : pracetak komposit. Pelat tipe B dalam segmen-segmen pracetak yang dicor di
tempat dalam hal ini, tetapi dimaksudkan untuk mengganti sebagian lantai yang rusak bila
diperlukan (desain pembanding). Terdapat penambahan satu gelagar memanjang diantara
gelagar memanjang lama.
4. Tipe D : tanpa gelagar memanjang. Pelat beton yang menumpu pada gelagar melintang
dengan menggunakan penghubung geser yang ada,, dengan tulangan utama dalam arah
memanjang jembatan (serupa desain lama yang selama ini digunakan)

5. Tipe E : Pelat beton bertulang komposit dengan CSP dengan penghubung geser
(improvisasi desain lama yang selama ini digunakan) Kesimpulan adalah bahwa sambungan
konstruksi dapat mengatasi efek susut muai beton dan momen sekunder akibat tumpuan
pegas setiap titik simpul jembatan rangka baja.
1. PENDAHULUAN
Bahan beton mempunyai sumber material yang cukup memadai di Indonesia. Dengan
demikian beton perlu dimanfaatkan se-optimal mungkin sebagai bahan struktur. Jembatan
rangka baja dengan lantai beton bertulang mengalami banyak permasalahan karena penyebab
kerusakan lantai tidak terungkap secara jelas untuk ditanggulangi secara tuntas.
Perkerasan kaku menggunakan sambungan konstruksi setiap 5m dengan tulangan minimal.
Lantai beton pada jembatan rangka mempunyai tulangan struktural sehingga jarak
sambungan konstruksi dapat dibuat lebih jauh misalnya pada jarak 25m, atau di tengah
bentang untuk jembatan rangka 50m. Mengingat banyak kerusakan lantai beton terjadi pada
bentang 50m dan tidak pada bentang 30m, maka perlu diadakan sambungan konstruksi pada
lantai jembatan rangka dengan bentang 50m dan lebih. Jembatan Krasak yang merupakan
jembatan CH terpanjang (80m dan 120m), tidak mengalami kerusakan lantai, karena
pengecoran lantai dibuat bertahap dan berhenti di setiap gelagar melintang. Sambungan
pengecoran lantai beton di tiap gelagar melintang atau cara papan catur adalah anjuran dari
fabrikator CH. Lantai beton yang telah berhasil dengan baik perlu dipantau dan
dipertimbangkan secara teknis. Pengalaman merupakan guru terbaik adalah pepatah yang
ampuh.
2. KERANGKA MODEL SKALA PENUH
Dalam desain kondisi aktual, pembanding dan improvisasi untuk uji-coba percontohan di
Jembatan Comal telah digunakan tabel momen lentur lantai dari Japan Road Association
dengan tegangan baja tulangan 140 MPa yang tidak tergantung pada mutu yang lebih tinggi.
Hal ini standard practice di Jepang karena kerusakan pada lantai lebih cepat terjadi
dibanding kerusakan gelagar. Cara JRA juga memberikan jumlah tulangan susut diatas 20%
terhadap tulangan utama untuk memikul beban susut-muai dalam pelat beton. Pembetonan
pada pengecoran lantai Jembatan Comal telah menggunakan agregat terbesar 20 mm dan
kekuatan beton fc 30 MPa. Mutu beton fc 30 MPa juga berlaku untuk pembuatan batu
selimut, agar struktur lantai tidak mengalami infiltrasi lewat batu selimut yang kurang baik
mutunya. Mutu baja tulangan 400 MPa (batas leleh), tebal selimut beton 35mm, mutu
penghubung geser baja 240 MPa (batas leleh), tebal aspal di tepi 5cm dengan kelandaian 2%
arah melintang.
Bila lantai beton dibuat tanpa lapis aus/perkerasan aspal, selimut beton harus minimal 45mm
di tepi atas lantai. Pembuatan uji-coba 5 tipe lantai mewakili kondisi aktual dan juga
merupakan perbaikan atau improvisasi kondisi aktual. Tipe lantai dijelaskan lebih mendalam
sebagai berikut (Gambar terlampir) :
Tipe A : non komposit (serupa kondisi aktual) Pelat beton bertulang menumpu pada gelagargelagar memanjang dengan tulangan utama diam.16mm-100mm dalam arah melintang
jembatan yang diperhitungkan dengan rumus momen lentur untuk momen positif lapangan
dan momen negatif diatas tumpuan sebagai berikut : 80% (0,12 L + 0,07) P , dimana L adalah
jarak antara gelagar memanjang 1,65m , P adalah beban roda kendaraan termasuk faktor

beban dinamis 1,3 menjadi 130 kN, dan 80% adalah keadaan statis lantai yang menumpu
pada beberapa gelagar memanjang.
Tulangan pembagi diam.16mm-150mm dalam arah memanjang jembatan yang biasanya
diambil sebesar 20 % terhadap tulangan utama, dalam contoh kasus ini diperhitungkan
dengan rumus : 80% (0,10L + 0,04) P. Momen lentur akibat beban mati lantai dan lapis
perkerasan aspal diperhitungkan untuk momen positif dan negatif sebesar 1/10 x w x L2,
dimana w adalah beban mati per meter. Perlu dicatat bahwa tulangan pembagi diperhitungkan
berdasarkan momen beban hidup saja.
Tipe B : komposit (tipe A dibuat dengan penghubung geser) Improvisasi tipe A yang menjadi
komposit dibuat berdasarkan argumentasi bahwa tanpa penghubung geser, lantai melentur
dalam bentang terbesar yaitu jarak antara gelagar melintang sebesar 5m, sehingga tulangan
utama berada dalam arah memanjang jembatan. Dengan diberikannya penghubung geser,
lantai harus melentur dalam arah bentang terpendek yaitu arah melintang sesuai arah tulangan
utama menurut tipe A. Berarti arah tulangan utama dalam tipe A tidak benar !
Tipe C : pracetak komposit (tipe B dibuat segmental) Penambahan 4 gelagar memanjang
diantara 5 gelagar yang telah ada dalam kasus ini diperlukan agar lebar jembatan terbagi
dalam tiga segmen dimana
panjang kantilever sebesar jarak antara gelagar memanjang lama yaitu x 1,65m. Dengan
demikian tulangan dapat dipertahankan sama dengan tipe A dan tipe B.
Tipe D : tanpa gelagar memanjang (serupa kondisi aktual) Pelat beton yang menumpu pada
gelagar melintang dengan menggunakan penghubung geser yang ada, diperhitungkan dengan
tulangan utama dalam arah memanjang jembatan sesuai rumus momen lentur positif di
lapangan dan negative diatas tumpuan sebagai berikut : 80% (0,22L +0,08 )P dimana L
adalah 5m dan P 130 kN. Tulangan pembagi diperhitungkan dengan rumus ( 0,06 L + 0,06) P
dalam arah melintang jembatan. Momen lentur akibat beban mati diperhitungkan dengan
rumus 1/10 x w x L2, seperti dalam tipe A dengan L = 5m dalam hal ini.
Tipe E : CSP komposit di-kelem di gelagar memanjang (serupa kondisi aktual) Pelat beton
bertulang komposit dengan CSP di-improvisasi dengan penghubung geser dan tulangan
struktural untuk menahan momen negatif diatas tumpuan. Tulangan negatif diperhitungkan
serupa dengan tipe A yaitu diam 16mm-100mm untuk tulangan utama arah melintang
jembatan dan diam.16-150mm untuk tulangan pembagi arah memanjang jembatan.
Penghubung geser diam 16mm- 400mm dibuat dengan bentuk V dan tulangan momen negatif
dipasang diatasnya.
3. PEMBAHASAN DAN EVALUASI
Desain percontohan di Jembatan Comal pernah didiskusikan dengan expert JICA, yang
menilai bahwa tipe pracetak dan tipe CSP adalah tipe yang baik sekali Pustaka 1. Didalam
melaksanakan 5 tipe pada satu bentang jembatan diperlukan sambungan konstruksi, dalam
hal ini dibuat tulangan silang berupa
sendi semu.
Dari pengamatan lapangan dalam rangka updating data jembatan di Pantura telah diperoleh
laporan hasil yang baik untuk ke-5 tipe dalam model ini. Sebenarnya ingin dibuktikan tipe
yang paling baik, tetapi dengan adanya sambungan konstruksi maka semua tipe menjadi sama
baik. Sambungan konstruksi bermanfaat untuk menghilangkan pengaruh dari beban tidak
terhitung yaitu :

1. Muai susut dalam lantai menerus tertahan oleh tumpuan lantai pada pergerakan, sehingga
timbul momen sekunder, dimana tulangan susut / pembagi sebesar 20 % tulangan utama tidak
memadai untuk memikul beban tambahan tersebut.
2. Jembatan rangka baja adalah struktur fleksibel, dan terjadi penurunan/defleksi pada tiap
titik simpul yang berupa perletakan pegas. Asumsi perhitungan selama ini adalah perletakan
tetap. Momen sekunder tidak pernah diperhitungkan, sehingga diperlukan pembatasan jumlah
perletakan pegas, dengan membuat satu atau lebih sambungan konstruksi dalam satu
bentangan jembatan rangka.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan dan evaluasi dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :
1. Lantai pada jembatan rangka baja adalah serupa dengan perkerasan kaku diatas tanah yang
berupa pondasi pegas. Perkerasan kaku hanya diberi penulangan susut dan lentur praktis, dan
jarak sambungan dalam hal ini 5m. Pada lantai jembatan terdapat jumlah tulangan 2-3 %
sehingga jarak sambungan dapat dibuat jauh lebih besar.
2. Dari beberapa pengamatan diperoleh data bahwa lantai jembatan rangka dengan bentang
50 paling banyak mengalami kerusakan dini, disbanding bentang rangka 30m. Sambungan
pengecoran di setiap titik simpul adalah salah satu cara yang ampuh, Sambungan konstruksi
berupa sendi palsu pada jarak 30m maksimum adalah suatu cara alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suggestion for the floor slab test on actual bridge, December 8th 1999, Hirofumi Uemura,
JICA short term expert for Bina Marga
2. Specification for Bridges, Japanese Road Association

PENYEBAB LANTAI JEMBATAN RANGKA BAJA CEPAT RUSAK

MENGAPA LANTAI JEMBATAN RANGKA BAJA


CEPAT RUSAK????
Ir. Lanny Hidayat, MSi

Abstrak

Jumlah jembatan rangka baja pada saat ini merupakan salah satu jenis jembatan yang
terbanyak di Indonesia. Sebagian besar terletak pada jalan nasional, terutama pada ruas
jalan diluar pulau Jawa. Seringkali kerusakan jembatan mencari kambing hitam atau siapa
yang dapat dipersalahkan, walaupun tidak terlepas dari kesalahan pada saat pelaksanaan
pemasangan rangka baja dan lantai betonnya. Persoalan atau kerusakan yang terjadi pada
jenis rangka baja, menjadi salah satu alasan untuk tidak menggunakan rangka baja atau
mengganti jembatan rangka baja yang sudah rusak dengan jenis jembatan lain. Mungkin
sudah banyak penelitian atau tulisan yang mencari penyebab permasalahan ini, tetapi
masalah ini ternyata belum juga dapat diselesaikan. Sehingga masyarakat bertanya
Mengapa lantai beton pada jembatan rangka baja koq cepat rusak??

Apabila kita cermati permasalahan kerusakan pada jembatan jenis rangka baja ini, dapat
dikatakan bukan pada tahap perencanaan atau fabrikasinya tetapi lebih cenderung pada
proses pelaksanaannya, yang disebabkan kekurangtahuan pelaksana tentang sifat
sambungan dan beton yang harus dilaksanakan. Pada makalah ini akan dibahas dampak
dan akibat dari kekurangpahaman pelaksana terhadap desain dan sifat sambungan pada
rangka baja, karena hal ini sangat berkaitan erat dengan kerusakan struktur rangka baja
(terjadinya lendutan, getaran yang berlebihan) sehingga menimbulkan kekhawatiran pada
masyarakat dan menjadi tidak layan, selain itu akan dibahas juga permasalahan mengapa
kerusakan pada lantai beton jembatan rangka baja sangat umum terjadi, yang pastinya
sangat berkaitan dengan cara pelaksanaan dan pengecoran beton, curing dan lain
sebagainya serta penyelesaian masalahnya.

Diharapkan makalah ini dapat membantu untuk mencari penyebab dan menyelesaikan
persoalan pelaksanaan rangka baja yang sesuai dengan mutu dan tidak terjadi kembali
kerusakan seperti pada masa yang lalu.

1. PENDAHULUAN

Jembatan yang merupakan prasarana transportasi yang sangat penting, seringkali menjadi
masalah yang mengganggu kelancaran lalu lintas kendaraan. Permasalahan yang sering
terjadi secara umum terletak pada kerusakan lantai jembatan, yang menimbulkan ketidak
nyamanan pengguna jalan dan bahkan dapat menjadi salah satu sebab terjadinya
kecelakaan.
Jumlah jembatan yang tercatat pada tahun 2003 sekitar 32.000 buah yang terletak pada
jalan nasional dan propinsi atau sepanjang 522.500 meter. Jumlah tersebut belum termasuk
jembatan yang berada pada jalan kabupaten dan kota dan jalan-jalan lainnya, yang dapat
dipastikan mencapai jumlah yang berlipat dibanding jumlah jembatan pada jalan nasional
dan propinsi. Dari jumlah yang tercatat tersebut jembatan rangka baja mempunyai
jumlah yang cukup signifikan sekitar 3000 buah jembatan atau sepanjang 185.000 meter.
Apabila dari jumlah jembatan rangka baja tersebut mempunyai nilai kondisi 3, yang pada

umumnya kerusakan terletak pada lantai jembatan, sebanyak 50%, maka, betapa
banyaknya jembatan di Indonesia ini yang mengganggu kelancaran lalu lintas. Oleh sebab
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengapa hal tersebut dapat terjadi.

2. KONDISI JEMBATAN RANGKA BAJA SAAT INI

Nilai kondisi jembatan rangka baja terpasang secara umum dapat dikatakan baik, walau,
dari data dapat disebutkan bahwa jumlah jembatan rangka baja dengan nilai kondisi 3
yaitu jembatan yang memerlukan perbaikan dan harus dipantau dengan intensif karena
sudah mengganggu kelancaran lalu lintas). Jumlah jembatan rangka baja dengan lantai
jembatan mempunyai nilai kondisi 3 sebanyak 376 buah jembatan yang tersebar pada
seluruh propinsi dan sekitar 598 bentangan jembatan atau sekitar 20.350 meter panjang
jembatan.
Nilai kerusakan lantai tersebut apabila dibandingkan dengan jumlah rangka baja mencapai
12% terhadap panjang jembatan atau 14% terhadap jumlah jembatan. Hal tersebut sudah
merupakan nilai yang cukup kritis terhadap kelancaran lalu lintas dan kenyamanan
pengguna jalan. Kerusakan tersebut terjadi pada ruas jalan nasional dan propinsi yang
sangat penting artinya bagi kelancaran perekonomian negara. Jumlah yang cukup besar
tersebut belum termasuk yang berada pada ruas jalan kabupaten dan kota.
Apabila jumlah jembatan yang mengalami kerusakan tersebut ditambah dengan nilai
kerusakan lantai jembatan sama dengan 2 atau kondisi lantai jembatan yang memerlukan
pemeliharaan berkala atau perbaikan ringan, maka jumlah kerusakan lantai jembatan
rangka baja mencapai 40.520 meter atau 726 buah jembatan. Angka tersebut mencapai 2 x
lipat atau 25% terhadap panjang total jembatan. Sehingga timbul pertanyaan mengapa
kondisi lantai jembatan rangka baja tersebut mengalami kerusakan sedemikian parahnya.
Untuk itu perlu dicari penyebabnya.

3. PERMASALAHAN KERUSAKAN

Permasalahan kerusakan lantai jembatan rangka baja yang menggunakan bahan beton
merupakan salah satu kerusakan yang langsung terlihat oleh pengguna jalan yaitu
masyarakat. Dengan melihat jumlah kerusakan lantai jembatan yang rusak dengan nilai
kondisi > 2, sebanyak 25 % dari jumlah panjang jembatan, maka sangat ironis, begitu tidak
nyamannya pengguna jalan dalam melewati ruas-ruas jalan nasional dan propinsi ini.
Berikut akan dibahas secara umum mengenai penyebab-penyebab kerusakan yang
mungkin menjadi pemicu kerusakan lantai beton jembatan.

3.1. PERENCANAAN vs PELAKSANAAN

Perencanaan suatu jembatan secara umum dapat dikatakan selalu mengikuti peraturan,
pedoman atau manual yang tersedia, dan dapat dengan mudah di periksa kebenarannya.
Tetapi apabila perencanaan tersebut sudah menjadi acuan dalam pelaksanaan, maka
banyak hal yang tidak tertulis atau tergambar dengan jelas, apa yang harus dilakukan oleh
pelaksana di lapangan. Hal ini sering menimbulkan kesalahan Pelaksana dalam menawar
pekerjaan (memang tidak semua Pelaksana demikian), karena kurangnya informasi penting
yang harus diperhatikan oleh seorang
Pelaksana. Jenis sambungan pada rangka baja dihitung berdasarkan slip critical friction type
atau baut geser dengan mempertimbangkan kondisi kritis baut tersebut. Lapangan atau
pengawas sering kurang mengerti apa yang dimaksud dengan jenis sambungan seperti itu,
dan bagaimana penerapannya di lapangan. Di lapangan, penyambungan baut yang
mempunyai jenis perhitungan seperti itu, permukaan pelat yang akan disambung harus
dibersihkan dan dikasarkan tanpa merusak lapisan pelindungnya, baru kemudian baut
dipasang dan dikencangkan. Kondisi dilapangan, apapun kondisi pelat baja atau profil baja
yang akan dipasang, .ya dipasang saja. Baik kotor maupun bersih, dikasarkan atau tidak,
tidak pernah menjadi suatu permasalahan. Tetapi apabila kondisi ini diijinkan di lapangan,
maka akan terjadi lawan lendut (camber) pada jembatan rangka baja yang tidak tercapai.
Besaran camber yang tidak tercapai, akan mengakibatkan lendutan atau getaran dan
goyangan yang berlebihan pada rangka baja, yang kemudian akan menimbulkan kerusakan
pada lantai beton jembatan rangka baja, yang akan terlihat secara langsung oleh pengguna
jalan.
Jadi disini ada suatu gap atau kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan,
kurangnya komunikasi antara pengawas dan pelaksana, karena kekurang tahuan atau
kekurang pahaman tentang manual pemasangan rangka baja yang harus dipelajari dan
dipahami sebelum dilakukan pemasangan. Di lapangan, pemasangan atau perakitan rangka
baja seringkali di sub kontrakkan, dan pelaksananya juga secara umum bekerja
sebagaimana biasanya saja, dan bukan seharusnya.

3.2. CARA PELAKSANAAN DI LAPANGAN


Pelaksanaan rangka baja selain pekerjaan perakitan komponen dengan menggunakan baut,
juga masalah pengecoran beton pada lantai jembatan, yang saat ini menjadi topik utama
dan menjadi sorotan masyarakat.
Pelaksanaan lantai beton jembatan rangka baja dibantu dengan adanya corrugated steel
plate (pelat baja gelombang), sehingga tidak memerlukan perancah yang juga dapat
mengakibatkan kerusakan pada beton. Tetapi CSP yang tidak dipasang dan dikencangkan
sesuai dengan persyaratannya, juga akan mengakibatkan kerusakan yang fatal terhadap
lantai beton jembatan rangka bajanya. Banyak contoh di lapangan yang memperlihatkan
kerusakan lantai jembatan yang diawali oleh kekurang kencangan baut pengikat antara CSP
dengan gelagar memanjang pada sistem lantai jembatan ranaka baja, yang mengakibatkan
kerusakan pada beton lantai jembatan yang parah
Pelaksanaan perakitan atau pemasangan rangka baja memang suatu hal yang umum dan
ada sub kontraktor tersendiri yang sering melakukan pemasangan tersebut. Tetapi

sebagaimana diuraikan di atas, adanya kekurang pahaman tentang sifat perencanaan baut
dengan apa yang seharusnya dilaksanakan di lapangan. Masih terjadi kekurangpahaman
tentang beton, yaitu antara beton karakteristik yang digunakan dalam perhitungan dan beton
yang harus dihasilkan di lapangan. Pada spesifikasi (Balitbang, tahun 2007) sudah
dijelaskan tentang pengendalian mutu dan hasil yang dicapai untuk suatu beton karakteristik
tertentu.

3.3. LANTAI BETON JEMBATAN


Lantai beton pada jembatan rangka baja inilah yang menjadi permasalahan dan menjadi
salah satu permasalahan dan mengganggu kelancaran lalu lintas. Pada desain lantai beton
jembatan dirancang beton dengan beton karakteristik 30 Mpa, tetapi di lapangan secara
umum dapat dikatakan mereka membuat dengan mutu yang lebih rendah terhadap mutu
beton yang disyaratkan.
Pada spesifikasi (Balitbang 2007) dijelaskan tentang pengendalian mutu, bahwa apabila
suatu struktur didesain dengan beton karakteristik 30 Mpa, maka di lapangan harus
dihasilkan beton dengan mutu paling tidak 39 Mpa, karena adanya deviasi akibat masalah
pelaksanaan yang mungkin dapat terjadi di lapangan. Penerimaan hasil juga disyaratkan
yaitu rata-rata beton dari benda uji yang diambil di lapangan harus sesuai dengan hasil job
mix (campuran untuk pelaksanaan), dan tidak boleh ada satupun benda uji mempunyai
mutu kurang dari 85% terhadap job mix beton yang sudah disepakati. Apabila terdapat satu
benda uji mempunyai mutu beton yang kurang dari 85% tersebut, maka harus dilakukan
pengambilan benda uji terhadap beton yang dicor, dengan cara core drill. Benda uji core drill
tersebut harus mempunyai rata-rata mutu lebih besar dari 85% job mix dan tidak boleh ada
satupun yang mempunyai mutu kurang dari 75% terhadap hasil job mix. Apabila masih
terdapat kesalahan lagi, maka dilakukan penelitian ulang dengan menggunakan alat khusus
dan adanya pengurangan pembayaran terhadap mutu beton yang dihasilkan tersebut. Apa
yang terjadi di lapangan?. Mutu beton yang dihasilkan mempunyai mutu yang kurang dari
persyaratan, tetapi tetap diterima dan dibayar sesuai dengan mutu yang tinggi, padahal
mereka tidak melaksanakan hal tersebut.
Selain itu, masih banyak persyaratan pengecoran di lapangan yang berkaitan dengan
penguapan, suhu udara yang tinggi, yang dapat mengakibatkan keretakan pada tahap awal
pengerasan beton. Kemudian masalah waktu setting di lapangan, yang kurang dipahami
oleh pelaksana, dimana beton seharusnya sudah tidak boleh dicor karena waktu setting
sudah terlampaui, tetapi masih dicorkan juga. Hal ini mengakibatkan terjadinya kleretakan
yang cukup parah pada lantai jembatan.
Hal lain yang seringkali mengakibatkan keretakan pada lantai beton adalah masalah curing
(perawatan beton). Kapan curing harus mulai dilaksanakan? Permasalahan ini juga
merupakan salah satu sumbangan kerusakan lanta beton yang cukup besar, karena tanpa
curing yang benar dan tepat waktu serta cukup, maka mutu beton tidak dapat dicapai.

3.4. PERKERASAN ASPAL

Perkerasan aspal sebagai pelindung permukaan beton juga seringkali menyumbangkan


faktor menambah parahnya kerusakan lantai beton jembatan. Kerataan dan kerapihan
pelaksanaan perkerasan aspal di atas lantai jembatan yang kurang baik, menimbulkan
dampak atau kejut yang bertambah sehingga getaran yang terjadi meningkat dan kerusakan
betonpun dapat bertambah parah. Sehingga, walaupun perkerasan aspal di atas permukaan
lantai ebton merupakan salah satu pekerjaan yang minor, tetapi tetap akan menyumbang
kerusakan yang parah atau memperparah kerusakan keretakan lantai beton jembatan.

3.5. PENGGUNA JALAN


Ternyata juga, pengguna jalan menyumbangkan atau dapat memperparah kerusakan pada
lantai beton jembatan, walaupun sumbangannya tidak akan langsung terlihat secara
signifikan tanpa adanya kerusakan yang lainnya.
Memang dengan adanya beban berlebih (overload), dapat mengakibatkan retak pada lantai
jembatan.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan melihat beberapa penyebab kerusakan lantai beton jembatan akibat:

a. Tidak adanya komunikasi yang baik antara perencana dan


pelaksana/pengawas
b. Sifat pengencang (baut) tidak sesuai antara desain dan
pelaksanaan
c. pengencangan baut yang tidak sesuai dengan persyaratan
d. Camber tidak tercapai
e. Mutu beton dan persyaratannya yang tidak sesuai dengan
spesifikasi
f. Kekasaran permukaan aspal yang kasar yang menambah faktor
dinamis (kejut) pada struktur lantai
g. Pengguna dengan beban berlebih

Maka, perlu adanya penyegaran atau penjelasan dari pembina teknis kepada para
pelaksana di lapangan tentang hal-hal penting yang harus diperhatikan dan dilaksanakan di
lapangan, dan dilengkapi dengan monitoring dan evaluasi hasil pekerjaannya, yang
berkaitan dengan perakitan, pemasangan, pelaksanaan pengecoran lantai beton agar mutu
produk sesuai dengan persyaratan dan tidak lupa bahwa pemeliharaan rutin dan berkala
wajib dilaksanakan dengan tepat.

Вам также может понравиться