Вы находитесь на странице: 1из 8

Senin, 28 November 2011

ASCARIS LUMBRICOIDES
PENDAHULUAN
Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah
perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing
(Moersintowarti, 1992).
Penyakit karena protozoa dan cacing mengenai jutaan masyarakat. Antibodi biasanya
efektif terhadap bentuk yang ditularkan melalui darah.Kebanyakan parasit cenderung
menyebabkan supresi imunologik nonspesifik pejamu. Antigen parasit yang bertahan menahun
menyebabkan kerusakan jaringan imunopatologik seperti kompleks imun pada sindroma
nefrotik, granulomatosa hati dan lesi autoimun pada jantung. Imunosupresi umum meningkatkan
kepekaan terhadap infeksi bakteri dan virus (Roitt, 2002).
Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal
dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah Infeksi yang disebabkan oleh
cacing ini disebut Dalam tubuh sendiri, infeksi cacing Ascaris menimbulkan banyak gejala
klinik, dimulai dengan rasa mual pada saluran pencernaan sampai ditemukan gejala diare.
1.

Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang dalam usus
halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan
fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan
peristaltik dan penyerapan makanan.
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, lebih
banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropik derajat
infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anakanak berusia 5 10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang
lebih tinggi (Haryanti, E,1993).
Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-otot
ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan dikeluarkan
dengan pergerakan peristaltik normal. Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti.
(1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus
manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari.
Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing
dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).
2.
Hospes dan distribusi

Hospes atau inang dari Askariasis adalah manusia. Di manusia, larva Ascaris akan
berkembang menjadi dewasa dan menagdakan kopulasi serta akhirnya bertelur. Penyakit ini
sifatnya kosmopolit, terdapat hampir di seluruh dunia. Prevalensi askariasis sekitar 70-80%.
3. Morfologi
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical),
berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina
mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 - 6 mm. Sementara cacing jantan dewasa
mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga
mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung
kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau
dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto, 1991).
Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan
hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar
dan panjang dan terletak di hipodermis; gambaran histologinya merupakan sifat tipe
polymyarincoelomyarin.Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga
badan, cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada
cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini
lebih kecil dan dikenal sebagai cincin copulas.Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid
dengan ukuran 60-70 x 30-50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel
tunggal. Sel ini dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur
cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu
tahun.
Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan
albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul (mamillation). Lapisan albuminoid
ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan telur tanpa kulit
(decorticated). Didalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu.
Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan
mempunyai ukuran 88-94 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang tipis, berwarna coklat dengan
lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.
4. Cara Hidup dan Habitat
Nemathelminthes ada yang hidup bebas, ada pula yang parasit pada manusia.
Nemathelminthes yang hidup bebas terdapat di tanah becek dan di dasar perairan, berperan untuk
menguraikan sampah organik, sedangkan yang parasit akan hidup di tubuh inangnya dan
memperoleh makanan dengan menyerap nutrisi dan darah dari inangnya. Hampir seluruh hewan
dapat menjadi inang bagi Nemathelminthes.
5. Reproduksi

Nemathelminthes umumnya bereproduksi secara seksual karena sistem reproduksinya


bersifat gonokoris, yaitu alat kelamin jantan dan betinanya terpisah pada individu yang berbeda.
Fertilisasi dilakukan secara internal. Hasil fertilisasi dapat mencapai lebih dari 100.000 telur per
hari. Saat berada di lingkungan yang tidak menguntungkan, maka telur dapat membentuk kista
untuk perlindungan dirinya.
6. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang
infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan
menembus dinding usus masuk kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran
darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa
migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari.
Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari
kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan
kemudian ke faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui
epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian
atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun,
dan kemudian keluar secara spontan. Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup
panjang, dua bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 4
minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif.
Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar
bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I sampai
stadium III yang bersifat infektif.
Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun
di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus
sehingga jika beberapa cacing keluar, yanglain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah
telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat
tersebar dimanamana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila
makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka
siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing
ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui
kontak langsung dengan kulit.

7. Cara penularan
Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya telur yang
infektif kedalammulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui
tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur infektif
tersebut akan menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus
pembuluh darah dan memasuki aliran darah (Soedarto, 1991).
8. Aspek Klinik
Kelianan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat pengaruh migrasi larva
dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena infeksi tidak menunjukkan gejala,
tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan
menimbulkan kekurangan gizi, selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh
yang menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai
dengantanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan
bagian atas.
Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti obstruksi usus,
perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing keorgan-organ misalnya ke lambung,
oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya
askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut :
1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang menyumbat rongga usus
dan menyebabkan gejala abdomen akut.
2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam apendiks, saluran
empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.

Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat disusul kolangitis
supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena desintegrasi cacing yang terjebak dan
infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar
yang dapat dikenali dalam pemeriksaan histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus
ditemukan cacing dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk
yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui pemeriksaan
mikroskopik (Soedarto, 1991).
9. Cara diagnosis
Diagnosis askariasis dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien atau
ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung, atau mulut.
10. Epidemiologi Ascariasis
Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang
dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan
kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu.
Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan,
ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur
Ascaris lumbricoides.
Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber
infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing,
selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini
lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di
pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing
mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social
ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang
kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang
seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold,
1983).
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropic dengan suhu optimal
adalah 230 C sampai 300 C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk
perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif
bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.
Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak-anak. Penyakit ini dapat
dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Pemakaian jamban keluarga
dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini.
11. Pencegahan dan upaya penagulanganya
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya pencegahannya
dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Penyuluhan kesehatan

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga dan
hygiene pribadi seperti :
Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu
dengan menggunkan sabun.

Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci
bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahuntahun, pencegahan dan
pemberantasan di daerah endemik adalah sulit. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah penyakit ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemic ataupun daerah
yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2.

Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing
misalnya memakai jamban/WC.
3.

4.

Makan makanan yang dimasak saja.

Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja
sebagai pupuk.
5.

2 Pengobatan penderita
Bila mungkin, semua yang positif sebaiknya diobati, tanpa melihat beban cacing karena
jumlah cacing yang kecilpun dapat menyebabkan migrasi ektopik dengan akibat yang
membahayakan. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat digunakan untuk mengobati
Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal.
Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak chenopodium,
hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan efek samping dan sulitnya
pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini berspektrum luas, lebih aman dan
memberikan efek samping yang lebih kecil dan mudah pemakaiannya (Soedarto, 1991) Adapun
obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah :
1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang baik.
Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa melihat umur, dengan
menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus terjadi migrasi ektopik.
2. Pirantel Pamoat.

Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk menyembuhkan kasus
lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan dan obat ini biasanya dapat diterima
(welltolerated). Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan
cacing tambang. Obat berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi multipel
berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3.Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang menyebabkan
kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis tunggal yaitu 150 mg untuk
orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak
dari pada pirantel pamoat dan mebendazol.
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk Enterobius
vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat diberikan dalam dosis
tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg piperazin). Reaksi sampingan lebih
sering daripada pirantel pamoat dan mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf
pusat seperti berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.

DAFTAR PUSTAKA
Brown HW, 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta
Faust EC., Beaver PC., and Jung RC, 1975. Animal Agents and Vector of Human diasease 4th
edition, Lea & Febiger, Philadelphia.
Hoeprich, PD, 1977. Infections Diseases. 2nd Edition, Harper and Row, Maryland.

Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI, Jakarta.

Вам также может понравиться