Вы находитесь на странице: 1из 4

h.

Perubahan dalam Pendidikan

Pendidikan pesantren berkembang di berbagai daerah Indonesia pada masa


sebelum kedatangan Bangsa Barat. Bagaimana pendidikan pada masa
kolonial Barat? Terdapat dua pendidikan yang dikembangkan pada masa
pemerintah kolonial Barat. Pertama adalah pendidikan yang dikembangkan
oleh pemerintah, dan yang kedua adalah pendidikan yang dikembangkan
oleh masyarakat.

Pusat-pusat kekuasaan Belanda di Indonesia di berbagai kota di Indonesia


menjadi pusat pertumbuhan berbagai sekolah di Indonesia. Kamu dapat
menemukan sekolah-sekolah yang telah berdiri sejak zaman penjajahan di
kota provinsi tempat tinggalmu. Pada masa penjajahan Belanda juga telah
berkembang perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan
Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pada masa pemerintahan Kolonial Barat, terjadi diskriminasi pendidikan di


Indonesia. Sekolah dibedakan menjadi dua golongan yakni sekolah untuk
bangsa Eropa dan sekolah untuk penduduk pribumi. Hal ini mendorong
lahirnya berbagai gerakan pendidikan di Indonesia. Taman Siswa yang
berdiri di Yogyakarta merupakan salah satu pelopor gerakan pendidikan
modern di Indonesia. Sekolah-sekolah yang dipelopori berbagai organisasi
pergerakan nasional tumbuh pesat pada awal abad XX.

25

Pengaruh pendidikan modern berdampak pada perluasan lapangan kerja


pada masyarakat Indonesia. Munculnya elit intelektual menyebabkan
lahirnya jenis pekerjaan baru seperti guru, administrasi, pegawai
pemerintah, dan sebagainya.

Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda


Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan
bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan
menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada.
Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas
mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda
mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran
harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe-ordonnantie yang
menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup

50

75

memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua


merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh
para pengikut agama Islam. Komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup
menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberap waktu
berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke
pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran.
Pada tahun terakhir di masa pemerintahannya, dikeluarkan peraturan
persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan
penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya, ide-ide Daendels pada masa
sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan
bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan pada masa ini. Hal tersebut sangat
jelas karena dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pada masa ini
sangatlah sedikit yang membahas masalah pengajaran untuk penduduk
jajahan. Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah
yang berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang Belanda saja. Dan bahkan
peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur
Jenderal Van der Capellen. Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan
Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang isinya antara lain
membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik
orang Eropa maupun penduduk jajahan. Namun pada kenyataannya yang
memasuki sekolah sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari
kalangan pribumi. Pada tahun 1817, didirikan sekolah dasar khusus untuk
anak-anak dari golongan bangsa Belanda (Europeese Lagere School).
Bahasa pengantar di sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa Belanda dan
sistem maupun kurikulumnya disesuaikan dengan yang berlaku di Belanda
agar tetap sinergis dengan sekolah lanjutan di Belanda. Sekolah ini semakin
banyak didirikan di berbagai daerah sejalan dengan semakin banyak pula
orang Belanda yang datang ke bumi nusantara sambil membawa
keluarganya ikut serta. Pendirian ELS ini tidak hanya dilakukan oleh pihak
pemerintah, melainkan juga pihak swasta seperti NZG atau yang dikenal
dengan zending. Menurut Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang
dualitas pada masa ini juga membuat garis pemisah yang tajam antara dus
subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi. Tetapi pada
tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan
karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa
berbahasa Belanda, sebagaimana berikut: 1. Sekolah kelas satu (ongko sidji)
atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan pelajaran
bahasa Belanda; 2. Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk
rakyat kebanyakan tanpa pelajaran bahasa Belanda. Menurut Soemanto
dan S
ooyarno dalam Rifai
konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja
atau kantor-kantor yang lain.

Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis


tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan
priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah
status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda
telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit. Menurut Ary
Gunawan dalam Rifai

100

125

, prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu: 1. Pemerintah kolonial


berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu. 2. Pendidikan
diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi
kepentingan kaum penjajah. 3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan
stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. 4. Pendidikan diarahkan
untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda. 5. Dasar
pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada
pengetahuan dan kebudayaan barat. Kesempatan mendapatkan pendidikan
diutamakan kepada anak-anak bengsawan bumiputera serta tokoh-tokoh
terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak akan menjadi kader
pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan
merupakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri.
Mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya
Belanda untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan
bangsa Indonesia. Dengan adanya Politik Etis, terjadi perubahan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bahasa Belanda mulai diberikan
pula di sekolah Kelas I dan sekolah-sekolah guru. Mr. JH. Abendanon
menginginkan kursus/sekolah kejuruan (vak), termasuk juga sekolah bagi
kaum wanita (bersama dengan Van Deventer, Abendanon, menaruh
perhatian pada usaha R.A. Kartini). Sekolah teknik pertama kali dibuka pada
1909. Untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak
bumiputera ke sekolah-sekolah atau melanjutkan sekolah, di antaranya
dibuka sekolah voorklas di MULO (kelas persiapan ke MULO). Sekolahsekolah desa diperbanyak. Namun demikian, masih ada perbedaan
pelayanan bagi anak-anak bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu
diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk sekolah Belanda. Anak-anak
Indonesia diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu sehingga
dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang
tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda. Secara tegas, tujuan pendidikan
selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah dinyatakan, tetapi
dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum
modal Belanda, di samping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk
menjadi tenaga-tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan
lain-lain yang dianggap sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga.

Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu pidatonya mengatakan


bahwa Politik Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan kemajuan
pendidikan pribumi, tetapi tetap saja pola kebijakan pendidikan kolonial
tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis, individualis dan materialis.

Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena pendidikan dan


pengajaran semakin diperluas. Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan yang
pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran makin diarahkan kepada
kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung, pengaruh Politik
Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi
munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan
pentingnya pendidikan dan kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat
ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh yang
memerhatikan pendidikan bagi rakyat.
Kesimpulan

150

Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan


bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan
menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada.
Konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja
atau kantor-kantor yang lain. Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak
golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang
lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah
Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit.
Secara tidak langsung, pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan
memberikan dampak positif bagi munculnya kaum pendidik dan pergerakan
Indonesia. Sedangkan pendidikan di masa sekarang ditujukan untuk
kemajuan rakyat Indonesia, hanya saja penerapannya salah, padahal sistem
yg dikembangkan pemerintah sudah benar. Sistem kurikulum yg
dikembangkan hebat, tetapi terlalu sering berganti-ganti.

Вам также может понравиться