Вы находитесь на странице: 1из 18

PENDAHULUAN

Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran, hadits Nabi
memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena
pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak
meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan
dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat
Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan
celah oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau
berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup
ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan
orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi
untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu
dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang
orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat
kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena
pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang
berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang
paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk
mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu
tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan
memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas
permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam
meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai dengan keahlian
masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang
pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan
dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena
berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadits
begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas
hadits Nabi juga begitu banyak.
1

PEMBAHASAN
ILMU HADITS
A. PENGERTIAN ILMU HADITS
Kata hadits secara etimologi (lughawiyah), berarti Komunikasi, kisah,
percakapan, religius, atau sekuler, historis atau kontemporer. Bila digunakan
dalam kata sifat berarti baru.1
Menurut Mahmud Yunus kata al-hadits sekurang-kurangnya mempunyai
dua pengertian:
a. Jadid (yang baru)lawan dari kata qadim jamaknya Hidats, Hudatsa.
b. Khabar (Berita Riwayat), jamaknya Ahadits, Hidtsan dan Hudstan.2
Sedangkan kata ilmu hadits bersumber dari kata Ilm Al-Hadits yang
berarti, ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang
disandarkan kepada Nabi SAW

baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,

maupun lainnya.3
Menurut al-Suyuthi, ulama mutaqaddimin, mendefinisikan ilmu hadits
sebagai berikut:

. .


.

Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits
sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang
menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya
sanad dan sebagainya.4
Ilmu hadits ini sering juga disebut dengan ilmu Musthalah Hadits, yang
berarti ilmu untuk mengetahui tentang apa yang telah dimufakati oleh hadits
dan telah lazim dipergunakan dalam pembahasan diantara mereka.5
Dari beberapa defenisi diatas dapat dipahami bahwa Ilmu hadits ialah ilmu
tentang hadits. Ilmu ialah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis, dalam bidang atau disiplin tertentu, serta memiliki objek kajian
yang jelas.

Muhammad Mustafha Azami, Memahami Ilmu Hadits (Telaah Metodologi dan


Literatur Hadis), Lentera, 1977 h. 3
2
Endang Soetari AD. Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997) h. 1
3
Utang Ranujaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996) h. 73
4
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). h. 19
5
Endang Soetari AD. Op Cit. h.13

Pada perkembangan selanjutnya, ilmu hadits ini dipecah menjadi dua yaitu
Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah
1.

Pengertian Hadits Riwayah


Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadis

Riwayah ini. Akan tertapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka


kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama
dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
Yang dimaksud dengan hadits adalah ilmu untuk mengetahui cara-cara
penukilan, pemeliharaan, pembukuan, dan penyampaian hadits (apa yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
dan lain sebagainya). 6
Sedangkan menurut Ibn al-Akfani, mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan ilmu Hadits Riwayah:
Ilmu pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi SAW, baik
periwayatannya, pemeliharaannya maupun penulisan atau pembukuaan lafazlafaznya. 7
Muhammad Abu Syihab dalam kitabnya mendefinisikan ilmu hadits
riwayah dengan:
Ilmu pengetahuan yang mencakup (pembahasan) tentang sesuatu yang
dnukil dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau pun
sifat fisik dan psikis.
Ilmu hadits Riwayah ini sudah ada sejak Nabi SAW masih hidup, yaitu
bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits itu sendiri. Para Sahabat Nabi
SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadits Nabi SAW. Mereka
berupaya untuk memperoleh Hadits-Hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi
majelis Rasul SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasehat yang
disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadangkadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk secara bergantian menghadiri
majelis Nabi SAW tersebut, manakala diantara mereka ada yang sedang
berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Umar r.a., yang
menceritakan, Aku beserta seorang tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani
Umayyah Ibnu Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul SAW. Apabila
6
7

Endang Soetari AD. Op. Cit h. 14


Munzier Suparta. Op. Cit h. 24

giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku
dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu dan sebaliknya, apabila giliran dia yang
hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.
Urgensi atau tujuan dalam ilmu hadits riwayah ini agar hadits itu tidak
lenyap

dan

sia-sia,

serta

terhindar

dari

kekeliruan

dan

kesalahan

periwayatannya. Sehingga hadits itu terpelihara kemurnian isi dan maknanya.


Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT agar menjadikan Nabi Muhammad
SAW sebagai teladan dalam kehidupan ini.
2. Pengertian Hadits Dirayah
Para Ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadits
Dirayah ini. Akan tetapi, apabila dicermati definisi-definisi yang mereka
kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya.
Ibnu al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut:
Ilmu Hadits yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan
untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukumhukumnya,

keadaan

para

perawi,

syarat-syarat

mereka,

jenis

yang

diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.8


Muhammad Ajjaj al-Khatib, mendefinisikan ilmu hadits dirayah adalah:
Sekumpulan kaidah-kaidah dan masalah yang dengannya dapat diketahui
keberadaan periwayat dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari segi dapat
diterima atau ditolaknya suatu hadits.9
Muhammad Mahfuzh al-Tarmizi dalam kitabnya Manhaj Dzawi al-Nazhar,
mendefinisikan ilmu hadits dirayah dengan:
Undang-undang atau kaidah untuk mengetahui ilmu keadaan sanad dan
matan.10
Tujuan dan urgensi ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan
menetapkan hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau
untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang ditolak)
Dari beberapa pengertian diatas bahwa objek pembahasan ilmu hadits
dirayah, adalah keaadaan para perawi dan marwinya. Keadaan perawi baik
8

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001), h. 9

Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 59


Munzier Suparta. Op. Cit h. 26

10

menyangkut pribadinya seperti akhlak, tabiat, dan keadaan hafalannya maupun


yang menyagkut persambungan dan terputusnya sanad.
Dengan demikian, dapat dikemukan bahwa yang dimaksud dengan ilmu
hadis dalam pengertian umum ialah ilmu yang berkaitan dengan periwayatan
suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis yang berasal dan Nabi Muhammad
Saw. untuk mengetahui kualitasnya. apakah dapat dijadikan sebagai hujah
dalam berbagai perkara keislaman atau tidak.
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Sejarah perkembangan hadis adalah masa atau periode-periode yang telah
dilalui oleh hadits semenjak dari lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.11
Ilmu hadits tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan, periwayatan dan
penukilan hadits. Berawal dari cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang
sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Periode
perkembangan Ilmu hadits adalah sebagai berikut:
1. Periode Pertama : Perkembangan Hadits pada masa Rasulullah SAW.
Periode Rasulullah SAW merupakan perriode pertama dalam sejarah
perkembangan hadis. Periode ini terhitung cukup singkat dibandigkan dengan
masa-masa berikutnya. Masa ini berlansung selama 23 tahun, mulai 13
sebelum hijriah bertepatan dengan tahun 610 masehi sampai dengan tahun 11
hijriah bertepatan dengan tahun 632 masehi. Masa ini merupakan kurun
waktu turun wahyu dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan hadits.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan
masa yang lainnya. Umat islam pada masa ini lansung menerima hadis dari
Nabi SAW. Antara mere ka tidak ada jarak yang dapat menghambat atau
mempersulit pertemuannya. Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di
kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena
kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan
11

Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah Perkembangan Hadits (Tokoh-Tokoh Utama dalam


Bidang Hadits), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). h. 1

untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan


hadis dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Ada beberapa cara Rasul SAW. Menyampaikan hadits kepada para
sahabat, yaitu:
Pertama, melalui jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut
Majlis al-Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak
peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha selalu
mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran Nabi SAW.
Kedua,

dalam

banyak

kesempatan

Rasul

SAW.

Juga

menyampaikan hadisnya melalui sahabat tertentu kemudian disampaikan


disampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW. Adalah melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka. Seperti ketika pada haji wada.12
Tujuan Rasulullah SAW. Menyampaikan hadits kepada para sahabat ialah
untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT
kepadanya waktu yang cukup panjang dan juga untuk menjelaskan kepastian
hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan dialaminya.
Para sahabat yang banyak menerima hadits dari nabi SAW antara lain:
1. Yang mula-mula masuk islam, seperti: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Abdullah Ibn Masud.
2. Yang selalu menyertai Nabi SAW yaitu dan berusaha keras
menghafalnya, seperti: Abu Hurairah, dan yang mencatatnya, seperti:
Abdullah Ibn Amr Ibn Ash.
3. Yang lama hidupnya sesudah nabi SAW, dapat menerima Hadits dari
sesama sahabat seperti Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Abas.
4. Yang erat hubunganya dengan Nabi SAW yaitu ummu al-shalamh
Muminin, Seperti: Aisyah , Ummu Salamah.13
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Quran dan
hadits, sebagai dua sumber ajaran Islam Rasulullah mengambil kebijaksanaan
12
13

Munzier Suparta. Op. Cit. h. 73


Endang Soetari AD. Op. Cit h. 35

yang agak berbeda, terhadap al-quran beliau secara resmi memberi instruksi
kepada sahabat supaya menulis dan menghapalnya, sedangkan untuk hadits
perintah resmi hanya untuk menghapal dan meyampaikannya pada orang lain.
Penulisan resmi seperti halnya al-Quran tidak diperkenankan Rasul.
Dengan demikian, maka hadits hadits yang diterima Rasul SAW oleh
para sahabat dihafal secara bersungguh-sungguh dan berhati-hati untuk tidak
terjadi kekeliruan, baik dalam lafazh maupun maknanya, dan supaya tidak
bercampur dengan ayat-ayat al-Quran. Mereka menjaga pesan rasul dan
ancamannya untuk tidak melakukan kesalahan tentang apa yang diterimanya.
Periwayatan hadits pada masa Nabi SAW diselenggarakan secara seksama
dan berkembang pesat berkat perhatian yang penuh dari para sahabat seluruh
umat islam pada waktu itu, baik dari kalangan pria maupun wanita.
2. Periode Kedua: Perkembangan Hadits Pada Masa Khulafa al-Rasyidin (11 H
40 H)
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota
di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits.
Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa
cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu
Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga
dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut
disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut
dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan
nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam
permasalahan yang umum. Namun. Pembatasan tersebut tidak berarti bahwa
kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif
terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan
Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan
tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Adapun perhatian terbesar khulafa Al-Rasyidin terhadap hadits pada
dasarnya adalah:
7

a. Para khulafa Al-Rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa Hadits


adalah dasar Tasyri maka setiap Syariat Islam selalu berpedoman kepada
hadits bersama-sama dan selalu berpedoman kepada ketentuan al-Quran.
b. Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima
mereka.14
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa
Abu-Bakar dan Umar , masih terbatas sekali, disampaikan kepada yang
memerlukan saja, belum bersifat pelajaraan.
Dalam prakteknya , adapun cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua,
yaitu:
a. Dengan lafazh asli yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi
SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.15
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan
ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari
Rasulullah SAW bukan menurut redaksi mereka, bahkan menurut Ajjaj
Al-Khatib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan
hadits dengan lafzhi bukan dengan maknawi.16 Sebagian mereka secara
ketat melarang meriwayatkan hadits dengan maknannya saja, hingga satu
huruf atau kata pun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh
mendahulukan susunan kata yang disebutkan rasul dibelakang atau
meringankan bacaan yang tadinya berat dan sebaliknya.
b. Dengan maknanya saja yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan
lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi.17
Periwayatan maknawi juga dapat dijelaskan bahwa periwayatan
hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari
Rasulullah SAW, akan tetapi isis atau maknanya tetap terjaga secara utuh,
sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan
sedikitpun.
14

Ibid h. 42
Ibid. h. 43
16
Munzier Suparta. Op. Cit. h. 83
17
Endang Soetari AD. Op. Cit h. 43
15

Perlu diperjelaskan bahwa pada masa ini, bahwa belum ada usaha secara
resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti halnya al-Quran.
Hal ini disebabkan, antara lain: pertama, agar tidak memalingkan perhatian
umat Islam dalam mempelajari al-Quran; kedua, bahwa para sahabat yang
banyak menerima hadits dari Rasulullah SAW sudah tersebar keberbagai
daerah kekuasaan islam, dengan kesibukan masing-masing sebagi pembina
masyarakat.

Sehingga

dengan

kondisi

seperti

ini,

ada

kesulitan

mengumpulkan mereka secara lengkap; ketiga, bahwa soal membukukan


hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum
lagi terjadi nya perselisihan soal lafazh, dan keshahihannya.
c. Periode Ketiga; Perkembangan Hadits Pada Masa sahabat Kecil dan Thabiin
(40 H 100 H)
Pada masa ini daerah islam meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand bahkan pada tahun 93 Hijriah sampai ke Spanyol. Hal itu
dibarengi dengan keberangkatan para sahabat kedaerah-derah tersebut
terutama dalam rangka tugas pemerintahan dalam memangku jabatan
pemerintahan dan penyebaran ilmu agama.
Sebagai mana para sahabat, para Tabiin juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan Hadits, hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika
dibandingkan yan dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran sudah
dikumpul kan dalam asatu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan
mereka. Selain itu, pada masa ini berakhir periode khulafa ar-rasyidin (masa
khalifah Utsman bi Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar keberapa
wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakankemudahan bagi para Tabiin untuk
mempelajari hadis dari mereka.
Sesuai dengan tersebarnya para sahabat kewilayah-wilayah kekuasaan
islam, mak tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam
periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadits,
dan pada gilirannya menjadi pusat kegiatan para tabiin dalam meriwayatkan
hadits-hadits tersebut pada murid-muridnya. Kota-kota tersebut

ialah

Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman,


9

dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina Hadits cukup banyak,
antara lain, Abu-Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah,
Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Abi Said al-Khudri.18
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada
masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan:
Pertama, golongan Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan
Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang Ali, dan golongan
Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa
itu).
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal
dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah,
mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Adapun motif dan corak pemalsuan hadits adalah sebagai berikut:
a. Pemalsuan Hadits karena pengaruh atu untuk kepentingan politik.
b. Pemalsuan Hadits bermotif zandaqah, bercorak mengaburkan agama.
c. Pemalsuan bermotif Ashobiyah.
d. Pemalsuan Hadits pengaruh perselisihan faham dikalangan ulama.
e. Pemalsuan Hadits dengan bermotif pengambilan hati pembesar.
f. Pemalsuan Hadits dengan tujuan membaguskan kisah atau menarik
perhatian untuk nasihat/pelajaran.
g. Pemalsuan Hadits terbawa oleh aliran berlebih-lebihan atau tashawuf
yang menyimpang dari ajaran agama.19
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal
dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah,
mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat

18
19

Utang Ranuwija, Op Cit. h. 62


Endang Soetari, Op Cit. h. 50-53

10

d. Periode Keempat dan Kelima: Perkembangan Hadits pada Abad Kedua dan
Ketiga Hijriyah (100 H-200 H dan 200 H-300 H).
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan
pembukuan). Maksudnya, penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.
Kegiatan ini di mulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh
khalifah Umar bin Abd al-Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani
Umayah), melalui insrtuksi kepada Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin
Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan
mengumpulkan Hadits dari penghafalnya yaitu yang ada pada Amrah binti
Abdurrahman al-Anshari (w. 98 H, murid kepercayaan Siti Aisyah) dan alQasim bin Muhammad bin Abi Bakr (w. 107 H).
Abu Bakr ibn Hazm berhasil menghimpun Hadis dalam sejumlah yang
menurut para ulama kurang lengkap. Sedang ibn Syihab az-Zuhri berhasil
menghimpunya, yang dinilai oleh para ulama lebih lengkap. Akan tetapi
karya kedua Tabiin ini lenyap, tidak sampai diwariskan pada generasi
sekarang.20
Sekurang-kurangnya ada dua hal pokok mengapa Umar ibn Abd Aziz
menagambil sikap seperti ini :
a. Ia khawatir terhadap hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya
para ulama para ulama di medan perang.
b. Ia khawatir juga akan tercampurnya antara hadis-hadis yang sahih
dengang hadis yang palsu.
Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan
Islam, sementara kemampuan para tabiin antar satu dengan yang
lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi
ini. 21
20
21

Utang Ranuwija, Op Cit. h. 67


Munzier Suparta. Op. Cit. h. 68

11

Dengan melihat berbagai berbagai persoalan yang muncul, sebagai


akibat terjadinya pergolakan, politik yang sudah cukup lama dan
mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna
peyelamatan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan, maka Umar ibn
Abdul Aziz sebagai seorang khalifah yang berakhlak mulia, adil, dan
wirai, terdorong untuk mengambil tindakan iini. Bahkan menurur
beberapa riwayat, ia turut terlibat mendiskusikan hadis-hadis yang sedang
dihimpunnya.
e. Periode Keenam dan Ketujuh: Perkembangan Hadits pada Masa Mutaakhirin
(300-)
Periode ini disebut dengan Ashr al-Tahzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa
al-Jamii (Masa Perbersihan, penyusunan, penambahan, dan pengumpulan)
Berlansung sejak abad IV sampai 656 H. Sedangkan periode Ketujuh
berlansung mulai tahun 656 H saat berakhirnya Daulah Bani Abbas
(Abbasiyah) sampai masa-masa seterusnya. Masa ini disebut Ashr al-Syarh
wa al-Jamii wa al-Tahkrij wa al-Baths (masa penyarahan pengumpulan,
pentakhrijan dan pembahasan). Ulama yang hidup pada mulai abad IV H.
Disebut ulama Mutaakhirin. Sedangkan ulama yang hidup sebelumnya
disebut ulama Mutaqaddimin.22
Corak periwayatan Hadits yang ada pada masa mutaqaddimin denagn
penukilan lansung dari pada penghapal. Maka pada masa mutaakhirin para
ulama mencukupkan periwayatan para ulama mencukupkan periwayatan
dengan menukil dan mengutip. Dari kitab-kitab Hadits yang ditadwin oleh
ulama-ulama pada abad II dan III H.
Pada masa ini ulama bersungguh-sunguh mengadakan penyaringan Hadits
yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya para ulama
pada masa ini berhasil memisahkan Hadits-hadist Dhaif dari yang Shahih
dan hadits-hadits yang Mauquf dan yang Maqtu dari yang Marfu, meskipun
berdasarkan penelitian para ulama berikutnya masih ditemukan masih

22

Endang Soetari AD. Op Cit. h 70

12

ditemukan tersisipkannya Hadits-Hadits yang Dhaif pada kitab-kitab


Shahih.23
Masa yang terakhir ini tidak berarti tidak ada lagi ulama yang menyusun
kitab-kitab Hadis Shahih. Diantara para ulama masih ada yang melakukan
penyusuan kitab hadits pada semacam ini, seperti yang dilakukan oleh Abu
Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad at-Tamimi al-Busti atau yang
dikenal dengan Ibn Hibban (w. 354) dengan karyanya Shahih Ibn Hibban.
Menurut ulama, kitab Shahih karya Ibn Hibban ini kualitasnya lebih baik dari
kitab Shahih Ibn Majah.
C. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Hadits
Adapun ruang lingkup kajian ilmu hadits atau Musthalahah Hadits (dalam
arti luas) pada garis besarnya meliputi Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits
Dirayah.
Objek Ilmu Hadits Riwayah ialah bagaimana proses menerima, memelihara,
menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mentadwinkan dalam
suatu kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan menadwinkan Hadits, hanya
dinukilkan dan dituliskanapa adanya baik mengenai Matn maupun Sanadnya.
Ilmu ini tidak membicarakan apakah matn-nya ada yang janggal atau cacat
(Syadz dan illat). Dan apakah sanad-nya bertali denagn satu sama lain atau
terputus. Dan juga tidak mebicarakan hal ihwal dan sifat-sifat perawi, apakah
mereka adil, dhabith, atau fasiq.
Faedah mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini adalah untuk menhindari
adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Adapun objek Imlu Hadits Dirayah terutama ilmu Mustalah yang khas, ialah
meneliti kelakuan para perawi , keadaan, sanad dan keadaan marwi (matn)-nya.
Ruang Lingkup ilmu hadits yang dikaitkan dengan aspek rawi, matn, dan
Sanad pada Hadits, dari jenis-jenis ilmu yang banyak itu, dapat digolongkan

23

Utang Ranuwija, Op Cit. h. 70

13

kepada ilmu Hadits yang berkaitan dengan rawi atau sanad, yang berkaitan
dengan matn dan yang berkaitan dengan ketiganya (Rawi, sanad dan matn),24
Cabang ilmu hadits dari segi rawi, sanad dan matn antara lain:
1. Ilm Rijl al-Hadts; yaitu ilmu yang membahas secara umum tentang hal
ihwal kehidupan para rawi (periwayat) dari golongan sahabat, tabiin dan
atb 'tabiin.
Di dalam ilmu ini diterangkan "Tarikh ringkas" dari riwayat hidup
para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaankeadaan para perawi itu menerima hadits. Apabila dilihat lebih lanjut,
ditemukan adanya dua cabang ilmu hadits lainnya yang dicakup oleh
ilmu ini; Ilmu al-arh wa at tadil dan ilmu tarikh al-Ruwah. 25
2. Ilm al-Jarh wa al-Ta'dl. Ialah ilmu yang menerangkan tentang hal
catatan yang diharapkan kepada para perawi dan tentang pen-tadil-annya
dengan memakai kata-kata yang khusus tentang martabat kata itu.26
3. Ilm Gharib al-Hadits; yaitu suatu ilmu yang membahas tentang lafallafal matan hadis yang sulit dipahami, mungkin karena lafal itu jarang
sekali digunakan, atau karena nilai sastaranya yang sangat tinggi. Ulama
yang dianggap sebagai perintis ilmu ini ialah Ab 'Ubaydah Ma'mar bin
Mutsann al-Taymy (w. 210 H) dan Ab al-Hasan al-Mzny (w. 204
H).
4. Ilm Asbb Wurd al-Hadts; yaitu suatu ilmu yang menerangkan tentang
sebab-sebab atau latar belakang lahirnya suatu hadis. Ilmu ini dinilai
sangat membantu pengkaji dalam upaya memahami kandungan matan
hadis secara sempurna, sebagaimana halnya dengan Asbb al-Nuzl
dapat membantu untuk memahami makna ayat-ayat al-Quran dengan
baik.
5. Ilm Tawrkh al-Mutun; yaitu suatu ilmu yang menerangkan tentang
sejarah suatu matan hadis dari segi waktu dan tempat diucapkan atau
dilakukannya oleh Nabi Muhammad Saw. Ilmu ini sangat berguna untuk
mengetahui tentang nasikh dan manskh-nya suatu hadis, sehingga dapat
diketahui dan diamalkan yang nasikh dan ditinggalkan yang manskh.
24

Endang Soetari, Op. Cit. h, 28


Munzier Suparta. Op Cit. h. 30
26
Endang Soetari, Op Cit. h. 17
25

14

Ulama yang dipandang sebagai perintis ilmu ini ialah Imam Sirj al-Dn
Ab Hafsh 'Amr al-Bulkny, yang membahas tentang hai ini dalam kitab
Mahsn al-ishtilh.
6. Ilm al-Nsikh wa al-Manskh; yaitu suatu ilmu yang membahas
tentang hadis yang me-nsakh-kan dan yang di-manskh-kan. Ulama
yang dianggap ahli dalam ilmu ini, antara lain Imam al-Syfi'iy (w. 204
H), dan Abu Bakr Muhammad bin Mus al-Hzimy {w. 584 H).
7. Ilm Talfq al-Hadts; yaitu suatu ilmu yang membahas tentang cara-cara
mengkompromikan dua hadis yang menurut lahirnya tampak berlawanan.
Hadis yang demikian itu, biasanya disebut dengan mukhtalif al-hadts.
Ulama yang pertama menghimpun ilmu ini ialah imam syfiy dalam
kitabnya yang diberi nama Mukhtalf al-Hadts.
8. Ilm Ilal al-Hadts; yaitu suatu ilmu yang menjelaskan sebab-sebab
yang samar yang dapat membuat cacat suatu hadis. Kecacatan suatu
hadis bisa terjadi pada matan dan bisa juga terjadi pada sanadnya.
9. Ilm al-Finn al-Mubhamt; yaitu suatu ilmu yang menerangkan tentang
orang-orang yang tidak disebutkan secara jelas namanya, baik yang
terjadi dalam matan maupun dalam sanad suatu hadis. Di antara ulama
yang dipandang sebagai perintis ilmu ini ialah al-Khathb al-Bagddy.27
D. Arti Penting Ilmu Hadits dalam Kajian KeIslaman.
Hadits merupakan dasar bagi ajaran Islam, merupakan salah satu pokok
Syariat, yakni sebagai sumber Syariat Islam yang kedua stelah Al-Quran. Pada
umat diharuskan dan mentaati Allah SWT dan Rasul SAW.
Mentaati rasul artinya mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan
terhadap larangannya, denagn kata lain mengikuti sunahnya. Karena itu, segala
Hadits yang diakui shahih wajib diikuti dan diamalkan oleh umat Islam, sama
halnya dengan keharusan mengikuti al-Quran, sebab hadits merupakan
interpretasi (Bayan) dari al-Quran.
Bahwa Hadits merupakan pedoman hidup yang harus diikuti. Melihat
kedudukan hadits yang sangat penting itu, maka setiap umat islam harus
27

Munzier Suparta. Op Cit. h. 33

15

mempelajari Hadits dan ilmu-ilmunya, agar dapat mengetahui dan memahami


hal ihwal Hadits secara maksimal dan untuk pengalaman Syariat Islam. Untuk
melakukan istinbath hukum dan agar mengetahui problematikanya lalu dapat
meletakkan Hadits pada proporsi yang sebenarnya.28
Pada zaman kekhalifahan Ali bin abi thalib munculahberbagai macam
golongan. Setiap golongan dari mereka merasa menjadi yang paling benar.
Mereka selalu ingin berusaha untuk tetap berpengaruh. Untuk meyakinkan
semua itu mereka mencari dalil-dalil yang bisa menguatkan kelompok mereka,
bahkan sampai membuat hadist-hadist palsu. Terdapat banyak hadits dlaif dan
hadits palsu yang perlu dihindari supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum
Islam.
Ilmu ini akan membentengi kaum muslimin dari rongrongan hadits-hadits
lemah dan palsu yang banyak merebak di tengah umat, dan menjaga syariat yang
murni ini dari maraknya kesyirikan dan bidah yang tumbuh dengan subur di
tengah kaum muslimin disebabkan beredarnya hadits lemah dan palsu diantara
mereka, serta akan menanamkan urgensi berpegangteguh dengan hadits-hadits
Nabi yang shahih dalam membangun agama, baik dalam masalah aqidah,
ibadah, akhlaq, maupun muamalah.
E. Khazanah Keilmuan Bidang Ilmu Hadits
Wacana paling fundamental dalam keilmuan hadis adalah persoalan
mempertanyakan orisinilatas hadis, apakah ia benar-benar berasal dari Nabi atau
tidak. Keraguan sebagaian sarjana Muslim terhadap hadis berangkat dari
peristiwa pemalsuan hadis yang dilakukan oleh berbagai kalangan dengan
beragam motivasi. Jumlah hadis palsu tidak sedikit. Bahkan seorang pemalsu
hadis telah mengaku membuat sekitar 4000 hadis palsu.
Kehadiran hadis palsu ini menuntut kehati-hatian kaum muslimin dalam
menerima dan meriwayatkan hadis. Selain itu, hal ini menyulut semangat serjana
muslim untuk melakukan berbagai penelitian dengan merumuskan berbagai

28

Ibid. h. 18

16

kaedah dalam memverifikasi hadis, mana yang dapat dijadikan hujjah dan
ditolak.
Kritik sanad dan matan tidak luput dari penyelaman para ulama. Berbagai
kaedah penelitian dirumuskan untuk kepentingan penelitian keshahihan sanad
dan matn hadis. Kriteria hadis ditetapkan berdasarkan tingkatannya sesuai
dengan metodologi yang dirumuskan.
Dalam khazanah Ilmu Hadits, istilah hadits sering disebut juga dengan
istilah Sunnah, Khabar, dan Atsar.
1. Pengertian Sunnah.
Menurut bahasa Sunnah berarti: jalan yang terpuji atau yang
tercela.29
Sedangkan menurut istilah antara lain dijumpai pada kitab Ushul
al-Hadits yaitu segala yang dinukilkan dari pada nabi muhammad
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau
sesudahnya.30
Lebih jauh lagi, apabila sunnah disamakan dengan hadits berarti
tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada nabi saja, tetapi juga
termasuk segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin.
Ini berarti, pengertian sunnah bagi mereka sama dengan pengertian
hadits sebagaimana disebutkan terdahulu.
Berbeda dengan ahli hadits, ahli ushul mengatakan, sunnah adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
berhubungan dengan hukum syara, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrir beliau.31
2. Pengertian Khabar dan Atsar.
Khabar, secara etimologi berasal dari kata khabar, yang artinya
berita dan lafazh Atsar artinya bekas sesuatu.

29

Ibid h. 5
Endang Soetari, Op Cit h. 6
31
Munzier Suparta, Op Cit h.9
30

17

Adapun secara terminology, para ulama hadits tidak sepakat tentang


lafazh-lafazh tersebut. Sebagian mereka berpendapat bahwa khabar
adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. 32
Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang
dari selain Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang datang dari Nabi
SAW disebut Hadits. Ada juga yang mengatakan bahawa hadits lebih
umum dan lebih luas dari khabar, sehingga tiap hadits dapat dikatakan
khabar, tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadits.
Dari keempat pengertian tenatng hadits, sunnah, khabar, dan atsar
sebagaimana diuraikan, dapat ditarik satu pengertian bahwa, keempat
istilah tersebut pada dasar nya memiliki kesamaan maksud, yaitu
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun taqrirnya.

32

Endang Soetari, Op Cit. h. 9

18

Вам также может понравиться