Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran, hadits Nabi
memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena
pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak
meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan
dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat
Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan
celah oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau
berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup
ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan
orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi
untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu
dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang
orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat
kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena
pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang
berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang
paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk
mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu
tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan
memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas
permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam
meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai dengan keahlian
masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang
pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan
dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena
berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadits
begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas
hadits Nabi juga begitu banyak.
1
PEMBAHASAN
ILMU HADITS
A. PENGERTIAN ILMU HADITS
Kata hadits secara etimologi (lughawiyah), berarti Komunikasi, kisah,
percakapan, religius, atau sekuler, historis atau kontemporer. Bila digunakan
dalam kata sifat berarti baru.1
Menurut Mahmud Yunus kata al-hadits sekurang-kurangnya mempunyai
dua pengertian:
a. Jadid (yang baru)lawan dari kata qadim jamaknya Hidats, Hudatsa.
b. Khabar (Berita Riwayat), jamaknya Ahadits, Hidtsan dan Hudstan.2
Sedangkan kata ilmu hadits bersumber dari kata Ilm Al-Hadits yang
berarti, ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang
disandarkan kepada Nabi SAW
maupun lainnya.3
Menurut al-Suyuthi, ulama mutaqaddimin, mendefinisikan ilmu hadits
sebagai berikut:
. .
.
Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits
sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang
menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya
sanad dan sebagainya.4
Ilmu hadits ini sering juga disebut dengan ilmu Musthalah Hadits, yang
berarti ilmu untuk mengetahui tentang apa yang telah dimufakati oleh hadits
dan telah lazim dipergunakan dalam pembahasan diantara mereka.5
Dari beberapa defenisi diatas dapat dipahami bahwa Ilmu hadits ialah ilmu
tentang hadits. Ilmu ialah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis, dalam bidang atau disiplin tertentu, serta memiliki objek kajian
yang jelas.
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu hadits ini dipecah menjadi dua yaitu
Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah
1.
giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku
dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu dan sebaliknya, apabila giliran dia yang
hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.
Urgensi atau tujuan dalam ilmu hadits riwayah ini agar hadits itu tidak
lenyap
dan
sia-sia,
serta
terhindar
dari
kekeliruan
dan
kesalahan
keadaan
para
perawi,
syarat-syarat
mereka,
jenis
yang
10
dalam
banyak
kesempatan
Rasul
SAW.
Juga
yang agak berbeda, terhadap al-quran beliau secara resmi memberi instruksi
kepada sahabat supaya menulis dan menghapalnya, sedangkan untuk hadits
perintah resmi hanya untuk menghapal dan meyampaikannya pada orang lain.
Penulisan resmi seperti halnya al-Quran tidak diperkenankan Rasul.
Dengan demikian, maka hadits hadits yang diterima Rasul SAW oleh
para sahabat dihafal secara bersungguh-sungguh dan berhati-hati untuk tidak
terjadi kekeliruan, baik dalam lafazh maupun maknanya, dan supaya tidak
bercampur dengan ayat-ayat al-Quran. Mereka menjaga pesan rasul dan
ancamannya untuk tidak melakukan kesalahan tentang apa yang diterimanya.
Periwayatan hadits pada masa Nabi SAW diselenggarakan secara seksama
dan berkembang pesat berkat perhatian yang penuh dari para sahabat seluruh
umat islam pada waktu itu, baik dari kalangan pria maupun wanita.
2. Periode Kedua: Perkembangan Hadits Pada Masa Khulafa al-Rasyidin (11 H
40 H)
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota
di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits.
Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa
cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu
Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga
dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut
disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut
dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan
nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam
permasalahan yang umum. Namun. Pembatasan tersebut tidak berarti bahwa
kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif
terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan
Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan
tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Adapun perhatian terbesar khulafa Al-Rasyidin terhadap hadits pada
dasarnya adalah:
7
Ibid h. 42
Ibid. h. 43
16
Munzier Suparta. Op. Cit. h. 83
17
Endang Soetari AD. Op. Cit h. 43
15
Perlu diperjelaskan bahwa pada masa ini, bahwa belum ada usaha secara
resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti halnya al-Quran.
Hal ini disebabkan, antara lain: pertama, agar tidak memalingkan perhatian
umat Islam dalam mempelajari al-Quran; kedua, bahwa para sahabat yang
banyak menerima hadits dari Rasulullah SAW sudah tersebar keberbagai
daerah kekuasaan islam, dengan kesibukan masing-masing sebagi pembina
masyarakat.
Sehingga
dengan
kondisi
seperti
ini,
ada
kesulitan
ialah
dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina Hadits cukup banyak,
antara lain, Abu-Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah,
Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Abi Said al-Khudri.18
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada
masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan:
Pertama, golongan Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan
Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang Ali, dan golongan
Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa
itu).
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal
dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah,
mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Adapun motif dan corak pemalsuan hadits adalah sebagai berikut:
a. Pemalsuan Hadits karena pengaruh atu untuk kepentingan politik.
b. Pemalsuan Hadits bermotif zandaqah, bercorak mengaburkan agama.
c. Pemalsuan bermotif Ashobiyah.
d. Pemalsuan Hadits pengaruh perselisihan faham dikalangan ulama.
e. Pemalsuan Hadits dengan bermotif pengambilan hati pembesar.
f. Pemalsuan Hadits dengan tujuan membaguskan kisah atau menarik
perhatian untuk nasihat/pelajaran.
g. Pemalsuan Hadits terbawa oleh aliran berlebih-lebihan atau tashawuf
yang menyimpang dari ajaran agama.19
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak
bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal
dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah,
mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat
18
19
10
d. Periode Keempat dan Kelima: Perkembangan Hadits pada Abad Kedua dan
Ketiga Hijriyah (100 H-200 H dan 200 H-300 H).
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan
pembukuan). Maksudnya, penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.
Kegiatan ini di mulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh
khalifah Umar bin Abd al-Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani
Umayah), melalui insrtuksi kepada Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin
Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan
mengumpulkan Hadits dari penghafalnya yaitu yang ada pada Amrah binti
Abdurrahman al-Anshari (w. 98 H, murid kepercayaan Siti Aisyah) dan alQasim bin Muhammad bin Abi Bakr (w. 107 H).
Abu Bakr ibn Hazm berhasil menghimpun Hadis dalam sejumlah yang
menurut para ulama kurang lengkap. Sedang ibn Syihab az-Zuhri berhasil
menghimpunya, yang dinilai oleh para ulama lebih lengkap. Akan tetapi
karya kedua Tabiin ini lenyap, tidak sampai diwariskan pada generasi
sekarang.20
Sekurang-kurangnya ada dua hal pokok mengapa Umar ibn Abd Aziz
menagambil sikap seperti ini :
a. Ia khawatir terhadap hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya
para ulama para ulama di medan perang.
b. Ia khawatir juga akan tercampurnya antara hadis-hadis yang sahih
dengang hadis yang palsu.
Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan
Islam, sementara kemampuan para tabiin antar satu dengan yang
lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi
ini. 21
20
21
11
22
12
23
13
kepada ilmu Hadits yang berkaitan dengan rawi atau sanad, yang berkaitan
dengan matn dan yang berkaitan dengan ketiganya (Rawi, sanad dan matn),24
Cabang ilmu hadits dari segi rawi, sanad dan matn antara lain:
1. Ilm Rijl al-Hadts; yaitu ilmu yang membahas secara umum tentang hal
ihwal kehidupan para rawi (periwayat) dari golongan sahabat, tabiin dan
atb 'tabiin.
Di dalam ilmu ini diterangkan "Tarikh ringkas" dari riwayat hidup
para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaankeadaan para perawi itu menerima hadits. Apabila dilihat lebih lanjut,
ditemukan adanya dua cabang ilmu hadits lainnya yang dicakup oleh
ilmu ini; Ilmu al-arh wa at tadil dan ilmu tarikh al-Ruwah. 25
2. Ilm al-Jarh wa al-Ta'dl. Ialah ilmu yang menerangkan tentang hal
catatan yang diharapkan kepada para perawi dan tentang pen-tadil-annya
dengan memakai kata-kata yang khusus tentang martabat kata itu.26
3. Ilm Gharib al-Hadits; yaitu suatu ilmu yang membahas tentang lafallafal matan hadis yang sulit dipahami, mungkin karena lafal itu jarang
sekali digunakan, atau karena nilai sastaranya yang sangat tinggi. Ulama
yang dianggap sebagai perintis ilmu ini ialah Ab 'Ubaydah Ma'mar bin
Mutsann al-Taymy (w. 210 H) dan Ab al-Hasan al-Mzny (w. 204
H).
4. Ilm Asbb Wurd al-Hadts; yaitu suatu ilmu yang menerangkan tentang
sebab-sebab atau latar belakang lahirnya suatu hadis. Ilmu ini dinilai
sangat membantu pengkaji dalam upaya memahami kandungan matan
hadis secara sempurna, sebagaimana halnya dengan Asbb al-Nuzl
dapat membantu untuk memahami makna ayat-ayat al-Quran dengan
baik.
5. Ilm Tawrkh al-Mutun; yaitu suatu ilmu yang menerangkan tentang
sejarah suatu matan hadis dari segi waktu dan tempat diucapkan atau
dilakukannya oleh Nabi Muhammad Saw. Ilmu ini sangat berguna untuk
mengetahui tentang nasikh dan manskh-nya suatu hadis, sehingga dapat
diketahui dan diamalkan yang nasikh dan ditinggalkan yang manskh.
24
14
Ulama yang dipandang sebagai perintis ilmu ini ialah Imam Sirj al-Dn
Ab Hafsh 'Amr al-Bulkny, yang membahas tentang hai ini dalam kitab
Mahsn al-ishtilh.
6. Ilm al-Nsikh wa al-Manskh; yaitu suatu ilmu yang membahas
tentang hadis yang me-nsakh-kan dan yang di-manskh-kan. Ulama
yang dianggap ahli dalam ilmu ini, antara lain Imam al-Syfi'iy (w. 204
H), dan Abu Bakr Muhammad bin Mus al-Hzimy {w. 584 H).
7. Ilm Talfq al-Hadts; yaitu suatu ilmu yang membahas tentang cara-cara
mengkompromikan dua hadis yang menurut lahirnya tampak berlawanan.
Hadis yang demikian itu, biasanya disebut dengan mukhtalif al-hadts.
Ulama yang pertama menghimpun ilmu ini ialah imam syfiy dalam
kitabnya yang diberi nama Mukhtalf al-Hadts.
8. Ilm Ilal al-Hadts; yaitu suatu ilmu yang menjelaskan sebab-sebab
yang samar yang dapat membuat cacat suatu hadis. Kecacatan suatu
hadis bisa terjadi pada matan dan bisa juga terjadi pada sanadnya.
9. Ilm al-Finn al-Mubhamt; yaitu suatu ilmu yang menerangkan tentang
orang-orang yang tidak disebutkan secara jelas namanya, baik yang
terjadi dalam matan maupun dalam sanad suatu hadis. Di antara ulama
yang dipandang sebagai perintis ilmu ini ialah al-Khathb al-Bagddy.27
D. Arti Penting Ilmu Hadits dalam Kajian KeIslaman.
Hadits merupakan dasar bagi ajaran Islam, merupakan salah satu pokok
Syariat, yakni sebagai sumber Syariat Islam yang kedua stelah Al-Quran. Pada
umat diharuskan dan mentaati Allah SWT dan Rasul SAW.
Mentaati rasul artinya mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan
terhadap larangannya, denagn kata lain mengikuti sunahnya. Karena itu, segala
Hadits yang diakui shahih wajib diikuti dan diamalkan oleh umat Islam, sama
halnya dengan keharusan mengikuti al-Quran, sebab hadits merupakan
interpretasi (Bayan) dari al-Quran.
Bahwa Hadits merupakan pedoman hidup yang harus diikuti. Melihat
kedudukan hadits yang sangat penting itu, maka setiap umat islam harus
27
15
28
Ibid. h. 18
16
kaedah dalam memverifikasi hadis, mana yang dapat dijadikan hujjah dan
ditolak.
Kritik sanad dan matan tidak luput dari penyelaman para ulama. Berbagai
kaedah penelitian dirumuskan untuk kepentingan penelitian keshahihan sanad
dan matn hadis. Kriteria hadis ditetapkan berdasarkan tingkatannya sesuai
dengan metodologi yang dirumuskan.
Dalam khazanah Ilmu Hadits, istilah hadits sering disebut juga dengan
istilah Sunnah, Khabar, dan Atsar.
1. Pengertian Sunnah.
Menurut bahasa Sunnah berarti: jalan yang terpuji atau yang
tercela.29
Sedangkan menurut istilah antara lain dijumpai pada kitab Ushul
al-Hadits yaitu segala yang dinukilkan dari pada nabi muhammad
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau
sesudahnya.30
Lebih jauh lagi, apabila sunnah disamakan dengan hadits berarti
tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada nabi saja, tetapi juga
termasuk segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin.
Ini berarti, pengertian sunnah bagi mereka sama dengan pengertian
hadits sebagaimana disebutkan terdahulu.
Berbeda dengan ahli hadits, ahli ushul mengatakan, sunnah adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
berhubungan dengan hukum syara, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrir beliau.31
2. Pengertian Khabar dan Atsar.
Khabar, secara etimologi berasal dari kata khabar, yang artinya
berita dan lafazh Atsar artinya bekas sesuatu.
29
Ibid h. 5
Endang Soetari, Op Cit h. 6
31
Munzier Suparta, Op Cit h.9
30
17
32
18