Вы находитесь на странице: 1из 42

I.

PENDAHULUAN (tanpa titik)

1.1 Latar Belakang


Rempah merupakan tanaman obat yang memiliki banyak manfaat bagi
kesehatan. Hampir dari keseluruhan bagian tanaman ini memiliki banyak
manfaat, mulai dari akar, batang, rimpang, daun, buah, kulit, hingga biji. Rempah
juga merupakan komoditas pertanian yang menjadi daya tarik Indonesia di mata
dunia. Selain karena kualitasnya, rempah asli indonesia kaya akan cita rasa,
mulai dari aroma, rasa, warna, hingga kenampakannya berbeda dengan rempah
negara lainnya.
Rempah biasanya dimanfaatkan sebagai bahan tambahan masakan.
Namun kini, rempah bukan hanya dimanfaatkan sebagai bahan tambahan
masakan, namun juga sebagai bahan baku minuman tradisional. Minuman
tradisional ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat
tradisional karena manfaat yang dikandungnya. Salah satu minuman tradisional
berbahan baku rempah diantaranya "Sirup Pokak dan Sirup Rempah
Bonagung dimana kedua minuman tersebut merupakan minuman tradisional
khas Pasuruan.
Keberagaman produk olahan minuman berbahan baku rempah juga
menjadi cetusan (diganti dg kta lain ex: rekomendasi) untuk melakukan upaya
preventif terhadap klaim produk tradisional oleh Negara lain (Lazuardi, 2015).
Langkah awal sebagai upaya preventif yang dapat dilakukan adalah melakukan
penelitian mengenai atribut sensori pada minuman tradisional berbahan baku
rempah, dimana akan didapatkan definisi sensori minuman tradisional berbahan
baku rempah. Definisi sensori ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk
melakukan inventarisasi berupa pendataan dan pembuatan database produk
minuman tradisional berbahan baku rempah. Selain itu, dengan adanya definisi
sensori

inilah

dapat

digunakan

sebagai

petisi

yang

ditujukan

kepada

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI UNESCO Indonesia. Petisi tersebut


merupakan dukungan terhadap konservasi produk tradisional, seperti yang juga
telah diaplikasikan pada tempe (Kusmayadi, 2015).
Penelitian mengenai atribut sensori yang melekat pada minuman
tradisional berbasis rempah masih sedikit dan kurang spesifik. Tapi diantaranya
yang telah dilaporkan adalah penelitian mengenai sifat organoleptik dan
kandungan total fenol minuman rempah tradisional (minuman secang) oleh
Nirmagustina et.al (2011) dan penambahan ekstrak jahe dalam pembuatan susu
kedelai bubuk instan dengan metode spray drying: komposisi kimia, sifat sensoris
dan aktivitas antioksidan (Pramitasari et al., 2010). Berdasarkan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa penelitian terdahulu kurang memerhatikan atribut sensori
pada minuman rempah secara menyeluruh dan spesifik, sedangkan penerimaan
konsumen terhadap suatu atribut diawali dengan penilaian terhadap atribut
sensori produk tersebut (Tekpanunimus, 2006).
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menggali atribut sensori pada
minuman rempah sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran spesifik
mengenai produk Sirup Pokak dan Sirup Rempah Bonagung

dengan

menggunakan metode RATA (Rate-All-That-Apply).


NB: kalau bisa disebutkan atribut sensori yang paling mempengaruhi di
penelitian ini jd lbh jelas

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan Masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja atribut sensori serta atribut utama dari Sirup Pokak dan Sirup
Rempah Bonagung?
2. Apa yang menjadi parameter pembeda antara Sirup Pokak dan Sirup
Rempah Bonagung?
3.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan atribut sensori Sirup Pokak dan Sirup Rempah
Bonagung.
2. Untuk mengetahui parameter pembeda antara Sirup Pokak dan Sirup
Rempah Bonagung.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai informasi mengenai atribut sensori produk minuman olahan
rempah Sirup Pokak dan Sirup Rempah Bonagung.
2. Sebagai informasi mengenai atribut utama produk minuman olahan
rempah Sirup Pokak dan Sirup Rempah Bonagung.
3. Sebagai upaya konservasi kekayaan kebudayaan dan keunikan produk
minuman tradisional rempah.

I.5 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dari penelitian ini yaitu diduga terdapat perbedaan karakteristik
atribut sensori pada sampel Sirup Pokak dan Sirup Rempah Bonagung.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cengkih
Cengkih (Syzgium Aromaticum) merupakan salah satu tanaman rempah asli
Indonesia yang berasal dari Kepulauan Maluku. Cengkih termasuk dalam famili
Myrtaceae. Tanaman cengkih dapat tumbuh mulai dari dataran rendah hingga
dataran tinggi dengan ketinggian 1.500 m dpl. Namun ketinggian optimum untuk
produksi minyak atsiri sebaiknya di atas 800 m dpl. Curah hujan yang dibutuhkan
untuk penanaman cengkih berkisar antara 2.000 3.500 mm/tahun atau 60 80
mm/bulan. Tanah yang baik untuk pertumbuhan cengkih adalah tanah yang
gembur, berhumus, dan berdrainase dengan pH tanah asam hingga netral
berkisar 4,5 7 (Yuliani, 2012).

Tanaman cengkih digolongkan dalam taksonomi sebagai berikut :


Kingdom
Subkingdom
Super Divisi
Divisi
Kelas
Sub kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
Tanaman

cengkih

: Plantae
: Tracheobionta
: Spermatophyta
: Magnoliophyta
: Magnoliopsida
: Rosidae
: Myrtales
: Myrtaceae
: Syzgium
: Syzgium aromaticum L. (Plantamor, 2012)
memiliki

bagian-bagian

tanaman

yang

dapat

dimanfaatkan, seperti bunga, tangkai bunga dan daun cengkih. Bunga cengkih
lebih banyak dimanfaatkan karena memiliki kandungan minyak cengkih yang
paling tinggi diantara daun dan tangkai bunga cengkih. Minyak cengkih termasuk
dalam golongan minyak atsiri fenol. Komponen utama yang terdapat dalam
minyak cengkih adalah senyawa eugenol (EuOH) dengan kandungan mencapai
70-96 % (Alma et al., 2007). Kualitas minyak cengkih ditentukan oleh kandungan
senyawa eugenol tersebut, semakin tinggi kandungan eugenolnya maka semakin
baik kualitasnya dan semakin tinggi nilai jualnya. Dalam persyaratan mutu

minyak cengkih SNI 06-2387-2006 kandungan minimal senyawa eugenol adalah


78% (Badan Standarisasi Nasional, 2006). Senyawa penting lainnya yang
terdapat dalam cengkih yakni eugenol asetat (EuAc) dan sejumlah kecil caryofilen dan -caryofilen serta senyawa kecil lainnya seperti tannin, saponin,
alkaloid, glikosida, flavonoid, dll yang terdiri dari 15 komponen. Ketiga komponen
(senyawa eugenol, kecil -caryofilen, dan -caryofilen) merupakan penyusun
utama minyak cengkih dengan kadar total mencapai 99% dari minyak atsiri yang
dikandungnya (Sulaswatty, 2002).
Senyawa eugenol merupakan cairan berwarna bening hingga kuning
pucat. Seperti halnya minyak atsiri lainnya, senyawa eugenol yang dihasilkan
oleh minyak cengkeh memiliki rasa getir (pungent taste) dengan aroma
menyegarkan dan pedas seperti bunga cengkih kering, yang memberikan aroma
khas minyak cengkih. Aroma ini sangat dibutuhkan oleh berbagai industri yang
saat ini sedang berkembang (Kardinan, 2005). Senyawa eugenol serta berbagai
turunannya mempunyai peran yang cukup penting di berbagai industri, seperti
industri farmasi, kosmetika, makanan dan minuman, rokok, pestisida nabati,
perikanan, pertambangan, kemasan aktif, dan industri kimia lainnya (Ogata et al.,
2000). Pada bidang farmasi, senyawa eugenol memiliki aktivitas farmakologi
sebagai analgesik, antiinflamasi, antimikroba, antiemetic, stimulan, anastetik
lokal (Pramod et al., 2010). Analgesic merupakan senyawa pereda rasa sakit
atau nyeri (Kee et al., 1994). Sedangkan pada bidang pertanian, eugenol
berfungsi sebagai antiserangga, fungisida (antijamur), bakterisida, hingga
nematisida (Kardinan, 2005).

Gambar 2.1 Cengkih


(Srikandi, 2015)
2.2 Pala
Pala (Myristca fragrans houtt) merupakan tanaman asli Indonesia yang
berasal dari Maluku yang sudah tersebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia.
Pala merupakan tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomis dan multiguna.
Hal ini dikarenakan setiap bagian tanamannya dapat dimanfaatkan dalam
berbagai bidang industri. Tanaman pala terdiri atas daging buah (77,8%), fuli
(4%), tempurung (5,1%), dan biji (13,1%) (Rismunandar, 1990). Buah pala
memiliki karakteristik bergerombol di ujung dahan dan berwarna hijau
kekuningan. Daging buahnya tebal dan berwarna keputihan. Daging buahnya
memiliki aroma yang harum, rasa yang getir (pungent taste) dan sedikit asam
dan juga mengandung banyak getah sehingga buah pala banyak digunakan
sebagai bahan baku pembuatan sirup. Sementara bijinya diselimuti selaput
merah yang disebut fuli. Biji, fulli, dan minyak pala merupakan komoditas ekspor
dan banyak digunakan dalam industri pangan.
Tanaman pala digolongkan dalam taksonomi sebagai berikut :
Kingdom
Subkingdom
Super Divisi
Divisi
Kelas
Sub kelas
Ordo
Famili

: Plantae
: Tracheobionta
: Spermatophyta
: Magnoliophyta
: Magnoliopsida
: Magnoliidae
: Magnoliales
: Myristaceae

Genus
: Myristica
Spesies
: Myristica fragrans Houtt
Sumber : Plantamor (2012)
Menurut Agusta (2000) kandungan minyak atsiri pada setiap bagian
tanaman pala berbeda-beda, dimana pada daun segarnya mengandung 3,78%
minyak atsiri dengan komponen terbesar -pinena (29,18%), -pinena (27,17%),
dan limonena (10,48%). Pada daging buah segar mengandung 0,32% minyak
atsiri dengan komponen terbesar -pinena (16,56%), -pinena (10,58%) dan
limonena (10,92%). Pada fuli segar mengandung 11,40% minyak atsiri dengan
komponen terbesar -pinena (16,85%), -pinena (30,43%) dan limonena
(8,48%). Pada biji segar mengandung 2,16% minyak atsiri dengan komponen
terbesar -pinena (22,48%), -pinena (39,93%) dan limonena (9,92%).
Menurut Kurniawati (2010), kulit buah pala mengandung minyak atsiri dan
zat samak. Daging buahnya mengandung kalsium, fosfor, zat besi, mangan,
vitamin A, dan vitamin C. Fuli atau bunga pala mengandung zat pati. Sedangkan
biji pala mengandung saponin, miristin, elemisi, enzim lipase, pectin, lemonena,
dan asam oleanolat. Pala memiliki efek farmakologis dapat mengatasi gangguan
perut (kembung), sebah, kejang, dapat digunakan sebagai obat diare dan untuk
meningkatkan gairah seks (Permadi, 2008).

Gambar 2.2 Pala


(http://forum.detik.com/, 2014)
2.3 Serai
Serai wangi (Cymbopogon nardus) merupakan tanaman herbal dari
keluarga Graminae dengan tinggi 50-100 cm. Tanaman ini memiliki daun
berwarna hijau muda, potongan sempit panjang, daun tunggal, dan tidak lebar.

Daunnya berbentuk pita yang semakin meruncing ke ujung, tepi daunnya kasar
dan tajam. Tulang daunnya berbentuk sejajar. Panjang daunnya mencapai 1 m
dengan lebar 1,5 cm. Serai wangi itu sendiri dapat tumbuh pada lahan pertanian
yang kurang subur hingga tandus. Hal ini dikarenakan tanaman ini dapat
beradaptasi dengan lingkungannya dengan baik dan tidak memerlukan
perawatan khusus. Hanya saja, tinggi tempat penanaman serai wangi
berpengaruh terhadap kualitas dan kandungan minyak atsiri yang diperoleh.
Pada ketinggian di atas 1.200 m dpl, kandungan minyak atsirinya lebih rendah
daripada yang tumbuh di bawah ketinggian 1.200 m dpl.
Tanaman serai wangi digolongkan dalam taksonomi sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Sub kelas
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae
Genus
: Cymbopogon
Spesies
: Cymbopogon nardus L. (Plantamor, 2012)
Komponen kimia dalam minyak serai wangi cukup komplek, namun
komponen yang terpenting adalah sitronellal dan geraniol. Kedua komponen
tersebut menentukan intensitas bau, aroma, serta nilai harga minyak serai wangi.
Kadar komponen kimia penyusun utama minyak serai wangi tidak tetap dan
tergantung beberapa faktor, namun biasanya jika kadar geraniol tinggi maka
kadar sitronellal juga tinggi. Kandungan lainnya dalam minyak atsiri serai wangi
yakni citral, methylheptenone, eugenol-methyleter, dipenten, eugenol, kadinen,
kadinol, dan limonene. Selain itu, serai juga mengandung alkaloid, flavonoid, dan
polifenol (Suryo, 2010).
Daun dan tangkai serai wangi mengandung minyak atsiri yang dalam
dunia perdagangan disebut citronella oil. Di dalam dunia perdagangan, dikenal
dua jenis minyak serai wangi, yaitu Ceylon citronella oil dan Java citronella oil.

Ceylon citronella oil hanya dihasilkan oleh Srilangka, sedangkan Java citronella
oil terutama dihasilkan oleh Indonesia, Taiwan, RRC, dan Guatemala. Minyak
serai Ceylon hanya mengandung sekitar 55-65% geraniol dan 7-15% citronelal,
sedangkan minyak serai Jawa mengandung minimum 85% geraniol dan 35%
citronelal. Kedua unsur inilah yang menentukan kualitas minyak serai tersebut.
Selain itu juga menyebabkan perbedaan terhadap penggunaannya. Minyak serai
Ceylon biasanya digunakan untuk pewangi parfum, sabun, deterjen, dan
berbagai jenis semir. Sedangkan minyak serai Jawa digunakan untuk pembuatan
aromatik, industri wewangian, dan bahan baku pembuatan jenis produk sintetis
(Santoso, 1992).
Saat ini, minyak serai Jawa memiliki kualitas yang unggul dari berbagai
Ceylon, yakni terdiri dari sitronelal (32-45%), sitronelol (16%), geraniol (11-13%),
geranyl asetat (3-8%), dan limonene (1-4%). Minyak serai jawa dapat dijadikan
sumber turunan kimia yang lebih baik dari Ceylon khususnya digunakan dalam
industry parfum sebagai blok bangunan dasar wewangian. Ceylon memiliki
komposisi yang relative lebih tinggi dari monoterpen, borneol, camphene, citral,
asam citronellic, dipentene, elemol, limonene (9-11%), metil iso-eugenol (711%),dan nerol (Agusta, 2000).
Dalam dunia medis, serai wangi memiliki kasiat sebagai obat batuk
tradisional dan dapat menimbulkan efek menenangkan. Hal ini dikarenakan
minyak atsiri yang dihasilkan oleh serai wangi memiliki rasa yang pedas dan
bersifat hangat. Serai wangi juga dapat digunakan sebagai obat antiinflamasi
(antiradang), menghilangkan rasa sakit (analgetik), melancarkan peredaran
darah serta meredakan rasa mual dan sakit perut pada wanita saat menstruasi
berlangsung (Somantri, 2011). Selain itu, serai wangi juga memiliki kasiat
meredakan nyeri otot dan sendi (rematik artritis), badan pegal linu, nyeri
lambung, kembung, sakit kepala, dan memar (Wijayakusuma, 2007). Efek
farmakologis lainnya yang dihasilkan oleh minyak serai wangi yakni dapat
membantu mengobati demam, melancarkan buang air kecil, menghilangkan bau

mulut, menghilangkan sakit gigi dan gusi bengkak, mengobati masuk angina,
melancarkan sirkulasi cairan limpa dan darah (Suryo, 2007).

Gambar 2.3 Serai Wangi


(Ubat, 2014).
2.4 Pandan Wangi
Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) adalah tanaman asli
Indonesia yang berasal dari Maluku dan tersebar luas di Asia Tenggara.
Tanaman pandan wangi memiliki daun yang selalu hijau sepanjang tahun.
Batangnya bulat, mempunyai akar udara atau akar tunjang yang muncul pada
pangkal batang. Daunnya memiliki helaian dengan ujung meruncing dengan tepi
daun rata, berwarna hijau dan tersusun spiral. Bunganya merupakan bunga
majemuk berbentuk bongkol dengan buah yang berbentuk batu, menggantung,
dan berwarna jingga. Tanaman pandan wangi ini biasanya dibudidayakan di
pekarangan rumah. Hal ini dikarenakan tanaman ini tidak memerlukan tanah
yang luas untuk tumbuh dan juga untuk memudahkan dalam pemetikan
daunnya. (Hidayat et. al, 2008).
Tanaman pandan wangi digolongkan dalam taksonomi sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Pandanales
Famili
: Pandanaceae

Genus
: Pandanus
Spesies : Pandanus amaryllifolius Roxb. (Plantamor, 2012)
Pandan wangi merupakan satu-satunya anggota suku Pandanaceae yang
memiliki daun harum. Daun pandan wangi memiliki bau yang harum (aromatik)
dan bersifat sejuk. Karakteristik aroma pandan ini berasal dari kandungan
senyawa 2-asetil-1-pirolina yang juga memberikan wangi khas pada roti putih
dan beras melati. Pandan wangi biasanya dimanfaatkan daunnya sebagai
pewangi dan pemberi warna hijau pada makanan dan minuman (Kurniawati,
2010). Menurut Sukandar (2007), daun pandan wangi kaya akan senyawa
alkaloid, saponin, flavonoid, tannin, terpenoid, steroid, polifenol, dan zat warna.
Senyawa-senyawa ini berpotensi sebagai antioksidan alami. Efek farmakologis
pandan wangi, diantaranya menguatkan saraf (tonikum), menambah nafsu
makan (stomachica), dan penenang (sedative), mengobati lemah saraf
(neurasthenia),

mengobati

sakit

disertai

gelisah,

tekanan

darah

tinggi

(hipertensi), rematik, pegal linu, menghitamkan rambut, mengatasi rambut rontok


dan ketombe (Hariana, 2013).

Gambar 2.4 Pandan Wangi


(http://log.viva.co.id, 2015)
2.5 Lada
Lada atau (Piper nigrum L.) merupakan salah satu rempah-rempah yang
sudah dikenal sejak abad pertengahan dan tersebar di Indonesia. Di Indonesia,
lada memiliki beberapa nama lain, seperti di Sunda, lada disebut pedes, di Jawa
(merica), di Bengkulu (lada kecik), di Minangkabau (lado ketek), di Makassar

(marica), di Ternate (rica jawa), di Gorontalo (Marica lodawa), sedangkan di


Inggris lada memiliki nama lain black pepper.
Lada termasuk dalam famili Piperaceae, yakni tanaman yang merambat
seperti sirih. Tanaman penunjang yang biasa digunakan oleh lada untuk
merambat adalah tanaman cokelat, manga turi, dadap, dan tumbuhan lain
terutama yang tidak berduri. Tanaman lada dapat tumbuh di hutan dengan
ketinggian 1.500 m dpl dan memerlukan tanah yang mengandung humus dengan
drainase yang baik serta membutuhkan iklim yang basah. Oleh sebab itu,
tanaman penunjang selain dibutuhkan untuk merambat juga dibutuhkan untuk
melindungi tanaman merica.
Merica berkembang biak dengan bijinya, tetapi para petani lebih banyak
memilih stek atau dengan memotong batangnya kira-kira sepanjang 0,25-0,50 m.
Tanaman merica memiliki buah yang berukuran kecil dan berbentuk bulat. Buah
merica itu sendiri memiliki bau yang harum, rasa yang pedas, dan sedikit pahit.
Selain digunakan sebahai rempah-rempah, buah merica digunakan sebagai
bahan penyedap, pengawet makanan, dan untuk obat-obatan. Minyak atsiri yang
diperoleh dari biji merica biasanya dimanfaatkan utnuk campuran minyak wangi
dan juga bahan kosmetik lainnya (Ganie, 2008).
Di pasaran, merica atau lada dijual dalam dua jenis, yakni merica putih
dan merica hitam. Merica putih dan merica hitam dijual dalam bentuk butiran
maupun bubuk halus. Merica hitam memiliki aroma yang lebih tajam dan rasa
yang lebih pedas bila dibandingkan dengan merica putih (Sufi, 2009).
Menurut Hariana (2013), lada memiliki rasa pedas, berbau khas, dan
aromatik. Lada itu sendiri memiliki kandungan kamfena, boron, calamene,
calamenene, curuacrol chavicine, bisabolene, camphene, -carryophyllene,
terpenes, sesquiterpenes, alkaloid (piperine, piperline, piperoleine a, b, dan c,
piperanine, piperonal), saponin, flavonoid, minyak asiri, kavisin, resin, amilum,
dihidrokarveol, kanyofilene oksida, kriptone, tran pinocarrol, minyak lada (berbau
phellandren), protein, dan sejumlah kecil mineral. Dengan adanya kandungan
tersebut, merica memiliki efek farmakologis, yakni dapat mengobati impotensi

karena dapat merangsang keluarnya hormone androgen dan estrogen,


mengobati rematik, meluruhkan haid (emenagog), mencegah pengeroposan
tulang,

merangsang

semangat,

merangsang

saraf

pusat,

menghambat

prostaglandin, merelaksasi otot, menghilangkan kelelahan dan mengobati


malaria.

Gambar 2.5 Merica


(http://www.plantamor.com, 2012)
2.6 Kapulaga
Kapulaga (Amomum cardomomum) termasuk dalam famili Zingiberaceae.
Tanaman kapulaga pada umumnya tumbuh di hutan-hutan yang masih lebat,
hanya saja tanaman ini menghendaki intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi,
yakni berkisar antara 30-70%. Tanaman ini merupakan tanaman obat khas
Indonesia yang tersebar hampir ke seluruh penjuru Indonesia. Kapulaga itu
sendiri memiliki nama lain yang berbeda-beda di tiap daerah, seperti di Bali
(kapolagha), di Jawa (kapulaga), di Sunda (palago), di Minangkabau (pelage
puwar), di Bugis (gandimong), dan di Makassar (kapulaga).
Tanaman kapulaga digolongkan dalam taksonomi sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Sub kelas
: Zingiberidae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Amomum
Spesies
: Amomum Cardamomum (Dalimartha, 2008)
Bagian dari tanaman kapulaga yang banyak dimanfaatkan adalah
buahnya. Buah kapulaga mengandung minyak atsiri dengan komponen utama

sineol, terpineol, dan borneol. Kadar sineol dalam buah kapulaga lebih kurang
12%. Selain itu, buah kapulaga juga mengandung saponin, flavanoida, dan
senyawa-senyawa polifenol, serta mangan, pati, gula, lemak, protein, dan silikat
dalam jumlah yang sedikit. Sementara itu, biji kapulaga mengandung minyak
atsiri 3-7% yang terdiri atas terpineol, terpinil asetat, sineol, alfaborneol, kamper yang termasuk dalam golongan terpenoida. Disamping itu, biji kapulaga
juga mengandung minyak lemak, protein, kalsium oksalat, dan asam kersik.
Aroma yang dihasilkan oleh kapulaga berasal dari hasil penyulingan biji
kapulaga, yakni minyak atsiri yang disbut Oleum Cardamoni yang juga
digunakan sebagai stimulan.
Kapulaga (Amomum Cardamomum) selama ini dikenal sebagai rempah
untuk masakan. Selain itu, kapulaga juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan
campuran jamu. Biji kapulaga memiliki aroma yang sedap dan rasa yang agak
pahit, namun dapat memberikan efek kehangatan. Kapulaga terkenal juga
sebagai ekspektoran sekaligus antibakteri. Hal ini dibuktikan dengan adanya
beberapa penelitian yang mengungkapkan bahwa khasiat tersebut berasal dari
kandungan minyak atsiri sineol. Sineol memiliki sifat yang sama dengan
eukaliptol pada kayu putih, hanya saja sineol lebih pedas dari eukaliptol. Namun,
bila dimanfaatkan sebagai obat kumur, sineol memberikan sensasi sejuk. Bahkan
biasanya kapulaga dimanfaatkan untuk membuat peppermint tiruan (Hernawati,
2009).
Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kapulaga antara lain
minyak atsiri sineol, terpineol, alfaborneol, -kamper, sabinena, mirkena,
mirtenal, karvona, terpinil asetat, protein, gula, lemak, serta silikat. Sementara
itu, efek farmakologis yang dimiliki oleh kapulaga yakni sebagai obat batuk, obat
untuk mengatasi perut kembung, obat penurun panas, bersifat antitusif, peluruh
dahak, dan antimuntah (Hariana, 2013).

Gambar 2.6 Kapulaga


(http://www.jurnalasia.com, 2014)

2.7 Kayu Manis


Kayu manis (Cinnamomun sp) termasuk dalam famili Lauraceae. Kayu
manis itu sendiri terbagi menjadi 3 genus, yakni genus Cinnamomun burmanii,
Cinnamomun zeylanikum, dan Cinnamomun cassia. Saat ini, kayu manis yang
sudah berkembang dipasaran Indonesia yaitu Cinnamomun burmanii.

Di

Indonesia, kayu manis dibudidayakan pada daerah-daerah tertentu seperti


Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Jawa Tengah, Jawa timur, Kalimantan
Selatan. Kayu manis dibudidayakan di daerah pegunungan pada ketinggian
hingga 1.500 m dpl. Tanaman kayu manis memiliki karakteristik yakni dengan
tinggi pohon 1-12 m, dengan daun lonjong atau bulat telur berwarna hijau. Kulit
kayunya berwarna kelabu, dimana kulit kayu ini di jual dalam bentuk kering.
Selain itu, kayu manis juga dimanfaatkan minyaknya (Cinnamon bark oil) yang
diperoleh dari hasil penyulingan serbuk kulit kayu manis kering. Cinnamon bark
oil merupakan cairan berwarna kuning denga aroma khas kayu manis dengan
rasa pedas yang membakar. Cinnamon bark oil ini mengandung cinnamic
aldehide (lebih dari 55%), eugenol (4-10%), aliphatic aldehide, dan phellandene
(Harris, 1987).
Tanaman kayu manis digolongkan dalam taksonomi sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta


Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub kelas
: Magnoliidae
Ordo
: Laurales
Famili
: Lauraceae
Genus
: Cinnamomum
Spesies
: Cinnamomum burmanii (Plantamor, 2012)
Menurut Hariana (2013), kayu manis (Cinnamomun burmani) memiliki
kulit yang yang terasa pedas, berbau wangi, serta bersifat hangat. Beberapa
bahan kimia yang terkandung dalam kayu manis, siantaranya minyak atsiri
eugenol, safrole, sinamaldehide, tannin, kalsium oksalat, damar, dan zat
penyamak. Sementara itu, efek farmakologis yang dimiliki oleh kayu manis
diantaranya sebagai peluruh kentut (Carminative), peluruh keringat (diaphoretic),
antirematik, penambah nafsu makan (stomachica), dan penghilang rasa sakit
(analgesic).
Menurut Agusta (2000) kayu manis (Cinnamomun burmani) mengandung
minyak atsiri dengan komposisi yakni -pinena (0,30); kamfena (0,19); -pinena
(0,18); 4-tujanol (0,18); sineol (0,20); -linalool (0,50); DL-Kamfor (0,30);
terpineol (0,10); sinamaldehida (38,92); isoeugenol (44,45); kariofilena (3,91); kariofilena (1,30); 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol (4,52); 2-metoksi-4-(2propenil)-fenol asetat (0,30); -kariofilena (0,26); nerolidol (0,38); (E,E)-3,7dimetil-10-(1-metiletilidiena)-3,7-siklodekadien-1-on (0,12).
Selama ribuan tahun, kayu manis telah digunakan untuk mengobati batuk
pilek dan influenza. Kayu manis berkhasiat menghangatkan dan meningkatkan
energi tubuh sehingga dapat melindungi tubuh dari infeksi dan melawan rasa
lesu akibat influenza (Airey, 2005).

Gambar 2.7 Kayu Manis


(http://health.kompas.com, 2015)

2.8 Cabai Jawa


Cabai Jawa (Piper retrofaractum Vahl.) merupakan kerabat lada yang
sudah sejak lama dikenal sebagai bahan untuk membuat jamu tradisional.
Tanaman cabai Jawa ini merupakan tanaman asli Indonesia. Semula cabai jawa
hanya ditanam di Pulau Jawa, namun saat ini tersebar di berbagai daerah di
Indonesia. Cabai jawa ini umumnya digunakan sebagai rempah pedas. Cabai
jawa dikenal denan banyak nama di beberapa daerah, yakni di Sumatera dikenal
sebagai lada panjang atau cabai panjang, di Jawa dikenal sebagai cabe jamu,
cabean, cabe aurey, atau cabe sula, di Madura dikenal sebagai cabi jamo, cabi
onggu atau cabi solak, sedangkan di Makassar dikenal sebagai cabia
(Kurniawati, 2010).
Buah cabai jawa terasa pedas dan panas, sementara akarnya terasa
pedas dan hangat. Buah cabai jawa mengandung zat pedas piperine, asam
palmitik, asam tetrahidropiperik, 1-undecyclnyl-3,4-methylenedioxy benzene,
piperidine, minyak asiri, n-isobutildecatrans-2-trans-4-dienamide, dan sesamin
(Winarto, 2003). Sementara akarnya mengandung piperin, piplartin, dan piper
longuminirna (Kurniawati, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Gabrielle (2006) mengenai pemisahan
komponen-komponen minyak atsiri cabai jawa dengan menggunakan KLT,
Spektrofotometer FT-IR, dan GC-MS dengan eluen n-heksana 100%, minyak

atsiri cabai jawa mengandung sedikitnya 23 komponen dengan komponen


utamanya senyawa seskuiterpen, seperti karyofilen 14,99% ; humulen (10,25%);
germacrene

(9,29%),

dan

bisabolene

(7,55%),

serta

senyawa-senyawa

hidrokarbon alifatik jenuh dan tidak jenuh sebesar 16,67%, diantaranya 8heptadekena, pentadekana, dan heptadekana.
Berdasarkan penelitian, efek farmakologi yang dihasilkan oleh cabai jawa
atau cabai jamu adalah antipiretik karminatif, aromatik stomakik, menyenyakkan
tidur

dengan

memperlonggar

pernapasan,

antiradang,

menghangatkan,

memperlancar peredaran darah, menyegarkan, memacu pengeluaran enzim


lambung, aprodisiak, serta analgesik (bagi gastritis, flatulence, dan sakit kepala).
Piperine mempunyai daya antipiretik, analgesik, antiinflamasi, dan menekan
susunan saraf pusat. (Dalimartha, 2008).
Menurut Winarto (2003), pemakaian empiris bentuk seduhan cabai jawa
cukup aman dan digolongkan sebagai relatively harmless atau bahan yang relatif
tidak berbahaya. Selain itu, buah cabai jawa memiliki efek androgenik dan
anabolik sehingga penggunaannya sebagai obat lemah syahwat pria cukup
bagus. Cabai jawa juga terbukti dapat memperpanjang waktu tidur berkat
pengaruh obat tidur heksobarbital. Hal ini berarti cabai jawa memberikan efek
mengantuk lewat kandungan piperin. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa
cabai jawa dapat melawan dan mengurangi daya racun striknina, yakni salah
satu zat yang terkandung dalam tumbuhan bidara laut. Dengan demikian cabai
jawa dapat mencegah kemungkinan terjadinya keracunan akibat striknina
Namun, disisi lain cabai jawa mengandung zat yang bersifat abortif dan
teratogenik sehingga penggunaannya sebagai obat pengatur haid perlu
diperhatikan atau dengan kata lain perlu lebih hati-hati bila digunakan untuk
wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin.

Gambar 2.8 Cabai Jawa


(http://www.jamunusantara.com, 2015)

2.9 Jahe
Jahe (Zingiber officinale Rosc) termasuk ke dalam kelas Monocotyledon
(tanaman berkeping satu) dan famili Zingiberaceae (suku temu-temuan).
Tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah yang telah
lama tumbuh di Indonesia. Tanaman rempah ini biasanya dimanfaatkan sebagai
minuman atau campuran pada bahan pangan. Adanya rasa pedas yang
ditimbulkan oleh jahe cukup dominan, dimana rasa ini disebabkan karena
adanya senyawa keton (zingeron) dan kandungan senyawa gingerol. Kandungan
gingerol ini dipengaruhi oleh umur tanaman dan agroklimat tempat tumbuhnya
tanaman. Rasa jahe yang pedas bila dimanfaatkan sebagai minuman akan
memberikan sensasi hangat pedas sebagai pelega dan penyegar tenggorokan.
Selain itu, jahe memberikan aroma khas jahe yang harum dan menyengat yang
disebabkan karena adanya kandungan minyak atsiri yang berwarna kuning agak
kental.
Secara umum terdapat tiga jenis tanaman jahe yang dapat dibedakan dari
aroma, warna, bentuk dan besar rimpang.
a. Jahe besar
Jahe besar atau yang disebut juga jahe badak memiliki rimpang berwarna
putih kekuningan dengan ukuran yang lebih besar dan lebih menggembung
daripada jenis jahe lainnya. Jahe besar memiliki rasa yang kurang pedas
serta aroma yang kurang tajam bila dibandingkan dengan jenis jahe lainnya.

Hal ini dikarenakan kandungan minyak atsiri yang dihasilkan hanya berkisar
0,18% - 1,66% dari berat keringnya.
b. Jahe putih kecil
Jahe putih kecil (Zingiber officinale var. Amarum) atau yang biasa disebut
jahe emprit memiliki warna putih dengan bentuk yang agak pipih, berserat
lembut, dengan ukuran rimpang yang lebih kecil daripada jahe gajah, tetapi
lebih besar dari jahe merah. Jaeh putih kecil memiliki aroma yang lebih tajam
bila dibandingkan dengan jahe besar, namun tidak lebih tajam bila
dibandingkan dengan jahe merah. Hal ini dikarenakan jahe kecil memiliki
kadar minyak atsiri sebesar 1,7%-3,8% dan dengan kadar oleoresin hingga
2,39%-8,87%.

Jahe

putih

kecil

biasa

dimanfaatkan

sebagai

bahan

pembuatan jamu segar maupun jamu kering, digunakan sebagai bahan


pembuat minuman, penyedap makanan, rempah-rempah, serta cocok untuk
ramuan obat-obatan.
c. Jahe merah
Jahe merah (Zingiber Officinale var. Rubrum) atau yang biasa disebut
jahe sunti memeiliki rimpang berwarna kemerahan dan berukuran lebih kecil
bila dibandingkan dengan jahe lainnya. Jahe merah memiliki serat yang kasar
dengan rasa yang sangat pedas dan dengan aroma yang sangat tajam. Hal
ini dikarenakan kandungan minyak atsiri yang dihasilkan oleh jahe merah
lebih besar daripada jahe lainnya, yakni berkisar 2,58%-3,9% dari berat
kering. Oleh sebab itu jahe merah sering dimanfaatkan untuk pembuatan
minyak jahe dan bahan obat-obatan. (Setyaningrum, 2013).
Tanaman jahe memiliki bau aromatik khas jahe dengan rasa yang pedas,
dan hangat ditubuh. Rimpang jahe memiliki kandungan vitamin A,B,C, lemak,
protein, pati, dammar, asam organic, oleoresin (gingerin), dan minyak atsiri (nnonylaldehide, D-camphene, D--phellandrene, mthylheptone, zingeron, zingerol,
zingeberol, zingeberin, borneol, sineol, dan feladren). Oleoresin merupakan
campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari pelarut organic.
Berdasarkan kandungan minyak atsirinya, jahe merah memiliki kandungan

minyak atsiri yang kadarnya paling tinggi, kemudian jahe putih kecil, dan jahe
gajah. Meskipun demikian, jahe gajah lebih banyak dikenal daripada jahe merah
dikarenakan jahe gajah banyak digunakan sebagai bumbu dapur, rempahrempah, dan bahan obat-obatan (Hariana, 2013).
Pada jahe besar atau jahe badak, minyak atsirinya berkisar antara 0,82%,
sedangkan pada jahe kecil atau jahe emprit berkisar 1,5-3,3%. Minyak atsiri pada
jahe memiliki karakteristik yang sama seperti minyak atsiri pada umumnya, yakni
berwarna kuning, sedikit kental. Hanya saja pada minyak atsiri jahe memberikan
aroma khas jahe. Besarnya kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh umur
tanaman. Semakin tua umur jahe tersebut, maka semkain tinggi kandungan
minyak

atsiri

didalamnya.

Namun,

selama

dan

sesudah

pembungaan,

prosentase kandungan minyak atsiri tersebut akan berkurang, sehingga pada


masa tersebut tidak dianjurkan untuk dilakukan pemanenan. Dengan demikian,
selain umur simpan, kandungan minyak atsiri jahe juga dipengaruhi oleh umur
panen.
Kandungan oleoresin pada setiap jenis jahe akan berbeda-beda.
Oleoresin pada jahe bias mencapai 3%. Pada jahe merah, rasa pedasnya tinggi.
Hal ini disebabkan karena kandungan oleoresinnya tinggi. Sedangkan pada jahe
gajah atau jahe badak, rasa pedasnya kurang. Hal ini dikarenakan kandungan
oleorsinnya lebih rendah dari jahe merah (Tim Lentera, 2002).
Kandungan minyak atsiri dan oleoresin yang cukup tinggi pada jahe
merah menyebabkan jahe merah memiliki peranan penting untuk pengobatan,
baik pengobatan tradisional maupun pengobatan dengan memanfaatkan
teknologi. Jahe merah yang dimanfaatkan adalah bagian daging rimpangnya,
tetapi kulit rimpangnya juga dapat dijadikan obat. Secara turun temurun, kulit
rimpang jahe merah yang dipanggang hingga menghitam banyak digunakan
untuk obat disentri. Disamping itu, biasa digunakan oleh para wanita yang ingin
mengatur masa menstruasinya. Berdasarkan penelitian, jahe merah sebagai
bahan baku obat dengan rasanya yang panas dan pedas telah terbukti
berkhasiat dalam mengobati berbagai penyakit, misalnya untuk pencahar

(laxative), penguat lambung (stomachic), peluluh masuk angina (expectorant),


peluluh cacing penyebab penyakit (anthelmintic), sakit encok (rheumatism), sakit
pinggang (lumbago), pencernaan kurang baik (dyspepsia), radang setempat
yang mengeluarkan nanah dan darah, radang tenggorokan (bronchitis), bengek
(asma), muntah dan nyeri otot, kurang daya penglihatan (alexteric), pengobatan
balak (leucoderma), kurang darah (anemia), saban-saban (starangury), sakit
kusta (leprosy) (Tim Lentera, 2002).

Gambar 2.9 Jahe


(http://www.tribunnews.com, 2014)
2.10

Produk Minuman Olahan Rempah


Minuman tradisional berbasis rempah adalah minuman khas Indonesia

yang menggunakan rempah sebagai bahan bakunya. Produk minuman olahan


rempah di Indonesia cukup beragam, diantaranya Wedang Uwuh khas
Yogyakarta, Bajigur khas Jawa Barat, Bir Pletok khas Betawi, Sekoteng khas
Jawa Tengah, Bandrek khas Jawa Barat, Sarabba khas Makassar, Wedang
Secang khas Cirebon, Wedang Pokak dan Minuman Rempah Bonagung
khas Pasuruan (Firmansyah, 2015). Minuman tradisional khas daerah cukup
banyak namun kurang dilakukan penelitian secara mendalam sehingga perlu
dilakukan penelitian mengenai atribut sensoris dari produk minuman tradisional
sehingga tidak diklaim oleh Negara lain.
2.10.1 Wedang Pokak
Wedang Pokak merupakan minuman tradisional berbasis rempah khas
Pasuruan. Minuman ini berbahan baku rempah kompleks diantaranya cengkih,

serai, pala, jahe, cabai jamu, lada, kayu manis, pandan wangi, dan kapulaga.
Minuman ini selain menggunakan rempah sebagai bahan bakunya, juga
menggunakan gula merah dan gula pasir sebagai pemanis alaminya. Adanya
campuran rempah kompleks ini memberikan aroma dan rasa yang kuat pada
hasil akhirnya.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sirup pokak khas
pasuruan buatan Bu Endang. Pada proses pembuatan sirup pokak, semua
bahan yang ada dibersihkan terlebih dahulu. Rempah-rempah seperti bunga
pala, jahe, cengkih, merica, cabai jamu, pandan, serai, kapulaga, kayu manis
dihaluskan terlebih dahulu. Proporsinya yakni bunga pala kurang lebih sebanyak
25 gram, cengkih 25 gram, merica 25 gram, cabe jamu 25 gram, kapulaga 25
gram, kayu manis 50 gram. Setelah itu, gula pasir sebanyak 2 kg dan gula merah
sebanyak 1 kg dimasukkan ke dalam panci yang telah berisi air sebanyak 1,5
liter. Panci yang berisi campuran air dengan gula pasir dan gula merah
dipanaskan di atas kompor sambil di aduk. Kemudian daun pandan wangi
sebanyak 5 lembar daun, 2 batang serai, 50 gram jahe parut dimasukkan ke
dalam air rebusan gula tersebut. Air rebusan tersebut dimasak hingga mendidih.
Setelah mendidih, air didinginkan kurang lebih 10 menit. Pendinginan ini
dilakukan dengan tujuan untuk membuat sirup menjadi mengental. Kemudian
dilakukan penyaringan sirup dengan menggunakan saringan tradisional dan
kasa. Setelah disaring, sirup dimasukkan ke dalam botol dan ditutup. Setelah
dimasukkan, botol yang berisi sirup dipasteurisasi pada suhu 70-80 0 C selama 10
menit. Setelah dingin dilakukan pelabelan pada botol. Berikut merupakan
diagram alir proses pembuatan Sirup Pokak Bu Endang :

Diagram Alir

Gula merah 1 kg dan gula pasir 2 kg

5 lembar daun pandan wangi


2 batang serai
50 gram jahe parut
25 gram bunga pala halus
25 gram merica halus
25 gram kapulaga halus
25 gram cengkih halus
50 gram kayu manis halus

Dilarutkan dalam 1,5 liter air

Diaduk dan dipanaskan hingga mendidih

Didinginkan kurang lebih 10 menit

Sirup pokak disaring

Sirup pokak dimasukkan ke dalam botol steril

Sirup pokak dalam botol dipasteurisasi pada suhu 70-800 C selama 10


menit
Sirup pokak dalam botol didinginkan kurang lebih 30 menit

Sirup pokak dalam botol dilakukan pelabelan dan pengemasan dalam kardus

pokak dalam
botol siap
dipasarkan
Gambar 2.10. DiagramSirup
alir proses
pembuatan
Sirup
Pokak Bu Endang

(Endang, 10 Agustus 2015)

2.10.2 Minuman Rempah Bonagung


Minuman Rempah Bonagung merupakan minuman tradisional berbahan
baku rempah khas pasuruan, terutama daerah Bonagung. Minuman ini biasanya
disajikan dalam bentuk dingin maupun hangat. Minuman ini selain digunakan
sebagai pelega dahaga juga memiliki khasiat yang baik bagi tubuh.
Proses pembuatan sirup bonagung hampir sama dengan proses
pembuatan sirup pokak, hanya saja terdapat beberapa bahan yang tidak

disertakan dalam pembuatan sirup bonagung. Pada proses pembuatan sirup


bonagung, daun pandan wangi dan serai tidak digunakan. Perbedaan bahan
yang ditambahkan ini menyebabkan sirup bonagung memiliki rasa pedas yang
lebih ringan dan bau yang tidak sebegitu harum bila dibandingkan dengan sirup
pokak. Hal ini dikarenakan efek pedas dan sensasi hangat yang dihasilkan oleh
minyak atsiri serai (sitronellal dan geraniol) tidak ada dalam sirup bonagung.
Selain itu, bau yang harum (aromatik) dan bersifat sejuk yang berasal dari
kandungan senyawa 2-asetil-1-pirolina daun pandan wangi juga tidak ada dalam
sirup bonagung.
Pada tahapan pembuatan sirup bonagung, semua bahan yang ada
dibersihkan terlebih dahulu. Rempah-rempah seperti bunga pala, jahe, cengkih,
merica, cabai jamu, kapulaga, kayu manis dihaluskan terlebih dahulu.
Proporsinya yakni bunga pala kurang lebih sebanyak 100 gram, cengkih 100
gram, merica 100 gram, cabe jamu 100 gram, kapulaga 100 gram, kayu manis
Gula merah
kg danpasir
gula pasir
2 kg 2 kg dan gula
25 gram, dan jahe 25 gram. Setelah
itu,1 gula
sebanyak
250 gram jahe
merah sebanyak
1 kgparut
dimasukkan ke dalam panci yang telah berisi air sebanyak
100 gram bunga pala halus
100Panci
gram merica
1,5 liter.
yang halus
berisi campuran air dengan gula pasir dan gula merah
Dilarutkan dalam 1,5 liter air
100 gram kapulaga halus
100dipanaskan
gram cengkihdihalus
tersebut
atas kompor sambil di aduk. Kemudian rempah-rempah
250 gram kayu manis halus
yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam air rebusan gula tersebut. Air
Diaduk dan dipanaskan hingga mendidih
rebusan tersebut dimasak hingga mendidih. Setelah mendidih, air didinginkan

kurang lebih 10 menit. Pendinginan ini dilakukan dengan tujuan untuk membuat
Didinginkan kurang lebih 10 menit
sirup menjadi mengental. Kemudian dilakukan penyaringan sirup dengan
menggunakan saringan tradisional dan
kasa.
Setelah
disaring, sirup dimasukkan
Sirup
bonagung
disaring
ke dalam botol steril dan ditutup. Setelah dimasukkan, botol yang berisi sirup
0
dipasteurisasi pada suhu 70-80
C
selamadimasukkan
10 menit.keSetelah
dingin dilakukan
Sirup
bonagung
dalam botol
steril
pelabelan pada botol dan sirup siap dipasarkan. Berikut merupakan diagram alir
0
proses pembuatan
Sirup
Rempah
Bonagung
merk Salsa
:
Sirup
bonagung
dalam
botol dipasteurisasi
padaJaya
suhu 70-80
C selama 10
menit
Diagram Alir

Sirup bonagung dalam botol didinginkan kurang lebih 30 menit

Sirup bonagung dalam botol dilakukan pelabelan dan pengemasan dalam kardus

Sirup bonagung dalam botol siap dipasarkan

Gambar 2.11 Diagram alir proses pembuatan Sirup Rempah Bonagung

merk Salsa Jaya (Zulaikhah, 12 Agustus 2015)

2.11Evaluasi Sensori
Evaluasi sensori adalah metode ilmiah yang digunakan untuk mengukur,
menganalisa dan menginterpretasikan respon terhadap produk, seperti yang
dirasakan melalui indera penglihatan, penciuman, peraba, perasa, dan
pendengaran (Lawless, 2010). Seperti halnya metode ilmiah lainnya, evaluasi
sensori juga memperhatikan presisi, akurasi, sensitifitas, dan menghindari bias.
Tingkat keakuratan evaluasi sensori tergantung pada kecakapan analis dalam
mengoptimasi 4 faktor, yakni mendefiniskan masalah, merancang eksperimental,
peralatan, dan menginterpretasikan hasil (Choi, 2003).

Menurut Oliveira (2011) terdapat 3 kategori utama dalam uji sensori, yakni
uji diskriminatif, uji afektif, dan uji deskriptif.
a. Uji afektif
Uji afektif adalah pengevaluasian sensori yang didasarkan pada
preferensi (daya terima produk) oleh konsumen. Panelis yang digunakan
dalam pengujian ini adalah panelis tidak terlatih atau konsumen. Pada
pengujian ini, panelis memberikan peringkat untuk sampel yang ia sukai pada
lembar kuisioner yang telah berisi pilihan skor untuk mengindikasikan tingkat
kesukaan konsumen terhadap produk (Choi, 2003).
b. Uji diskriminatif
Uji diskriminatif merupakan metode pengevaluasian sensori yang
digunakan untuk menentukan apakah ada perbedaan atau persamaan antara
dua atau lebih sampel. Uji diskriminatif ini dapat dilakukan oleh panelis tidak
terlatih maupun panelis terlatih (Choi, 2003). Pada penelitian ini pengujian
diskriminatif dilakukan dengan tujuan untuk membedakan antara dua sampel
berdasarkan atribut sensori yang ada pada sampel sehingga pengujian
diskriminatif dilakukan dengan menggunakan metode paired comparison test.
Menurut aturan ISO 5495 : 2005, metode paired comparison test
digunakan ketika ada perbedaan antara dua sampel atau lebih pada suatu
atribut sensori atau lebih, dimana itu dapat dilakukan untuk menentukan
adanya perbedaan penerimaan yang diutamakan pada atribut yang diberikan.
Prosedur yang dilakukan pada pengujian diskriminatif dengan menggunakan
paired comparison test adalah panelis diberikan 2 sampel dengan kode yang
tertutup. Mereka diminta untuk menilai sampel dan menentukan diantara
kedua sampel yang mana yang memiliki intensitas tertinggi dari atribut
spesifik yang diberikan. Diantara pengujian dua sampel tersebut, perlu
digunakan palate cleanser yang tepat. Hal ini dikarenakan banyaknya bahan
rempah yang mengandung flavor dan aroma yang kuat menyebabkan
timbulnya kelelahan pada fisiologis panelis dan merupakan penyebab utama

timbulnya carry-over effect (Carpenter et al., 2000).


c. Uji deskriptif
Menurut Choi (2003), uji deskriptif merupakan pengujian sensoris yang
dirancang untuk mengembangkan informasi yang ada pada karakteristik
sensori suatu produk pangan secara spesifik. Selain itu, uji deskriptif
digunakan pula untuk mengkuantifikasi perbedaan sensori diantara dua atau
lebih sampel. Uji deskriptif ini biasanya digunakan untuk penelitian dalam
mengkarakterisasi suatu produk secara selektif. Di industri, uji deskriptif
banyak

diperlukan

untuk

mengembangkan

produk

baru

dan

untuk

pengendalian mutu produk.


Uji deskriptif pada umumnya berupa sensory profiling atau karakterisasi
produk pangan. Sensory profiling merupakan pendekatan pengujian deskriptif
yang dilakukan untuk mengetahui atribut sensori serta intensitasnya. Tujuan
utama dari adanya sensory profiling adalah untuk mendapatkan deskripsi
spesifik (Choi, 2003).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
language development dan uji RATA (Rate-All-That-Apply). Pada penelitian
ini akan dilakukan penggalian atribut sensori pada produk minuman olahan
rempah dengan fokus pengujian yakni pada sampel Sirup Pokak dan Sirup
Rempah Bonagung. Selain itu dengan adanya metode RATA (Rate-All-ThatApply) ini panelis diberi kesempatan untuk mengevaluasi intensitas dari
masing-masing atribut sampel sehingga dapat diketahui atribut sensori yang
membedakan antar sampel.
2.13 Metode RATA (Rate-All-That-Apply)
RATA (Rate-All-That-Apply) merupakan sebuah metode deskripsi sensori
produk pangan yang menggunakan panelis konsumen sebagai sumber data dan
informasi. Metode ini merupakan implementasi dari metode CATA (Check-AllThat-Apply). Pada metode CATA (Check-All-That-Apply), panelis akan diberikan
daftar atribut produk dan diminta untuk memilih atribut mana yang sesuai dengan

produk (Meyners and Castura, 2014). Penggunaan metode CATA (Check-AllThat-Apply) ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya yakni struktur
pertanyaan yang ada pada kuisioner yang diberikan kepada panelis terhitung
cukup mudah sehingga pengumpulan dan penganalisan data menjadi mudah
(Ares and Varela, 2014). Selain itu, menurut Ares et. al, (2014), karakterisasi
sensori produk oleh konsumen dengan menggunakan CATA (Check-All-ThatApply) dapat dipercaya dan diandalkan dan menurut Ares and Jager (2013), bila
ditilik dari sisi konsumen, mereka menyatakan bahwa melengkapi pertanyaan
pada kuisioner CATA (Check-All-That-Apply) terbilang mudah dan tidak
membosankan. Namun, disisi lain CATA (Check-All-That-Apply) juga memiliki
kelemahan. Kelemahannya yakni metode CATA (Check-All-That-Apply) tidak
memberikan kesempatan detail dan tidak membedakan produk yang memiliki
terminologi serupa (Ares et. al, 2014). Oleh karena itu, dikembangkanlah metode
baru yang menyediakan pilihan intensitas pada setiap atribut sehingga mampu
mengkarakterisasi sensori dari suatu produk dan dapat membedakan produk
dengan karakteristik yang serupa yakni metode RATA (Rate-All-That-Apply).
Pada metode RATA (Rate-All-That-Apply), panelis akan diberi kuisioner
yang berisi berbagai macam atribut sensori produk. Panelis diminta untuk
memberi tanda pada atribut yang dianggap ditemukan pada produk, kemudian
menetapkan skala intensitas dari atribut yang dipilih dengan 3 skala (rendah,
sedang, dan tinggi). Adanya pilihan intensitas dari setiap atribut merupakan
kelebihan dari metode RATA, dimana panelis memiliki kesempatan untuk
menggambarkan seberapa besar intensitas atribut tersebut. Pada metode ini,
panelis dapat mengosongkan atribut yang dianggap tidak ditemukan pada
produk (Ares et.al., 2014).
Pada penganalisisan data, frekuensi penggunaan terminologi atribut
sensori dapat diketahui melalui perhitungan jumlah panelis yang menggunakan
terminologi tersebut dalam mendeskripsikan sampel. Perhitungan frekuensi ini
dapat

dilakukan melalui

dua

pendekatan,

yakni

dengan menggunakan

penganalisan

jumlah

frekuensi

tanpa

menggunakan

pembobotan

dan

penganalisisan jumlah frekuensi dengan menggunakan pembobotan. Pada


pendekatan

penganalisisan

jumlah

frekuensi

dengan

menggunakan

pembobotan, penganalisan dapat dilakukan dengan memberikan bobot pada


masing-masing skala intensitas atribut. Seperti contoh pada penelitian yang
menggunakan skala 3 tingkat intensitas, pembobotan dilakukan dengan
memberikan bobot 1 pada intensitas pertama, bobot 2 pada intensitas kedua,
dan bobot tiga pada intensitas ketiga. Dari setiap sampel dan setiap terminologi
atribut kemudian dilakukan skoring. Pemberian skor ini dilakukan dengan
menjumlahkan skor dari konsumen yang memilih terminologi tersebut untuk
deskripsi sampel (Ares et., al, 2004).

2.12

Atribut Sensori
Menurut Meilgard et.al (1999), atribut sensori yang ada pada produk

pangan meliputi kenampakan, aroma, konsistensi dan tekstur, serta flavor.


Kenampakan merupakan atribut sensori yang paling penting pada suatu produk.
Dimana

dalam

memilih

produk,

konsumen

akan

mempertimbangkan

kenampakan dari produk tersebut terlebih dahulu dan mengesampingkan atribut


sensori lainnya. Karakteristik dari kenampakan umum produk meliputi warna,
ukuran dan bentuk, tekstur permukaan, kejernihan, dan karbonasi. Oleh sebab
itu, perlu adanya perhatian lebih dalam mengenai segala aspek yang
berhubungan dengan kenampakan produk.
Aroma dari suatu produk pangan akan terdeteksi ketika terdapat senyawa
volatil yang terhirup masuk ke dalam bulu-bulu hidung yang menutupi nasal
ephitelium dan ditangkap oleh sistem olfaktori. Pada bahan pangan yang
mengandung senyawa volatile, aroma dari produk tersebut akan terbawa oleh
udara masuk ke dalam hidung. Senyawa volatile ini akan masuk ke dalam hidung
ketika manusia bernafas atau menghirupnya, namun juga bisa masuk dari
belakang tenggorokan selama makan (Kemp et al , 2000).

Rasa adalah salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam


memilih makanan. Rasa merupakan persepsi yang ditangkap oleh system
gustatory. Sebelum ditangkap oleh system gustatory, rasa akan diterima oleh
taste buds yang berada pada lidah. Taste buds ini biasa disebut dengan papilla.
Rata-rata manusia memiliki papilla sebanyak 2.000-8.000 papila. Namun, pada
usia lanjut, jumlah papilla yang ada pada lidah manusia akan menurun. Oleh
sebab itu, manusia pada udia diatas 45 tahun akan cenderung mengonsumsi
bahan makanan yang mengandung rempah, berasa manis dan asin dalam
jumlah yang lebih banyak bila dibandingkan dengan manusia normal. Rasa dasar
(basic taste) yang dikenali oleh papilla yakni manis, asam, asin, pahit, dan
umami (Choi, 2003).
Flavor merupakan kombinasi antara rasa, aroma, dan mouthfeel.
Mouthfeel merupakan rasa yang dirasakan mulut saat merasakan makanan,
dimana mouthfeel ini meliputi tekstural maupun sensasi kimia yang dirasakan
mulut seperti sepat (astringency), pedas (spice head), sensasi dingin (cooling),
dan bau metalik (metallic flavor). Menurut Choi (2003), untuk merasakan
pengaruh aroma terhadap flavor produk pangan dapat dilakukan dengan
menjepit hidung dan mulai makan produk tersebut. Namun ketika mengunyah
makanan, maka lepaskan jepitan di hidung, setelah itu akan dapat dirasakan
perbedaan flavor saat hidung dijepit dan saat tidak dijepit.
Selain rasa, konstitensi dan tekstur yang ada pada produk pangan juga
merupakan salah satu atribut yang mempengaruhi penerimaan konsumen.
Tekstur tergolong persepsi kompleks. Hal ini dikarenakan tekstur dapat timbul
dari persepsi ketika kita melihat produk tersebut, dapat juga timbul ketika jari
menyentuh langsung produk ataupun ketika makan menggunakan alat (seperti
contoh tekstur bakso padat dan keras), dan bisa juga hasil persepsi yang
dirasakan mulut saat menggigit amupun mengunyah makanan (Choi, 2003).
Atribut

konsistensi

dan

tekstur

dari

suatu

produk

pangan

mencakup

kekentalan/viskositas yang digunakan untuk cairan Newtonian yang homogen,

konsistensi untuk cairan non Newtonian atau cairan yang heterogen dan untuk
produk semisolid, serta atribut teksur yang digunakan untuk produk padat atau
semisolid (Meilgard et.al 1999).
2.14 Palate Cleanser
Palate cleanser merupakan bahan yang digunakan untuk membersihkan
residu sampel yang ada pada rongga mulut setelah melakukan pengevaluasian
sensori. Palate cleanser ini digunakan diantara pengujian suatu sampel dengan
sampel lainnya. Ketika melakukan pengujian pada sampel, panelis akan mulai
beradaptasi terhadap sampel tersebut. Adaptasi ini bukan hanya terjadi ketika
panelis mengunyah makanan, namun saat panelis menghirup sampel, maka
residu dari sampel akan melekat pada panelis. Penggunaan palate cleanser ini
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari carryover effects (terbawanya sisa
sampel sebelumnya saat melakukan pengujian sampel) (Choi, 2003).
Menurut Johnson (2004), palate cleanser yang baik harus mampu
meningkatkan deskriminasi atau perbedaan antar produk dan meminimalkan
penurunan sensitifitas atau yang biasa disebut adaptasi sensori. Menurut
Carpenter et.al (2000), palate cleanser yang biasa digunakan untuk pengujian
menggunakan sampel yang memiliki aroma dan flavor yang kuat adalah air
mineral, air soda, jus lemon, apel, wortel, irisan mentimun, natural yoghurt (untuk
kari dan rempah), biskuit/cookies tanpa rasa, dan crackers tanpa rasa. Pada
penelitian ini palate cleanser yang digunakan adalah irisan mentimun dan air
mineral.
2.14.1 Mentimun
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis sayuran dari
keluarga labu-labuan (Cucurbitaceae) yang sudah terkenal hampir di seluruh
penjuru dunia.
Tabel 2. Kandungan gizi buah mentimun tiap 100 gram bahan mentah (segar)

Komposisi Gizi
Energi
Protein total

Kandungan Gizi
45 kJ
0,7 g

Total-N
0,1 g
Lemak total
0,1 g
Asam lemak Jenuh 0,0 g
Karbohidrat Total
2,1 g
Karbohidrat
1,4 g
Gula tambahan
0,0 g
Serat Pangan
0,7 g
Alkohol
0,0 g
Abu
0,4 g
Kadar Air
96,7 g
Vitamin A
5,17 RE
Vitamin D
0 g
Vitamin E
0,15 -TE
Vitamin K
16,4 g
Natrium
10 mg
Kalium
136 mg
Kalsium
20,7 mg
Magnesium
9,23 mg
Phospor
25,3 mg
Besi
0,220 mg
Copper
0,028 mg
Zinc
0,129 mg
Iodin
0,3 g
Sumber : National Food Institute Technical University of Denmark (2009)

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa mentimun memiliki


kandungan air yang tinggi yakni mencapai 96,7 gram. Tingginya kandungan air
pada mentimun membuat mentimun cocok digunakan sebagai palate cleanser.
Selain karena kandungan airnya tinggi, mentimun juga tinggi serat sehingga
dapat memberikan efek mengunyah pada panelis sehingga akan dihasilkan air
liur dan dapat membersihkan residu sampel yang berada di rongga mulut.
Oleh karena sampel yang digunakan memiliki komposisi paling tinggi
yakni jahe yang memiliki aftertaste dingin dan pedas di tenggorokan maka timun
cocok digunakan sebagai palate cleanser dalam penelitian ini. Hal ini
bersesuaian dengan pendapat Ovejero-Lpez et al. (2005), yakni pada sampel

yang memiliki sensasi dingin atau seperti peppermint lebih cocok menggunakan
palate cleanser mentimun dengan lama waktu pengunyahan yakni 5 menit.
2.14.2 Air
Air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan. Air
sendiri meskipun bukan merupakan sumber nutrient seperti bahan makanan lain,
namun sangat essensial dalam kelangsungan proses biokimiawi organisme
hidup. Kualitas air untuk berbagai keperluan ditentukan berdasarkan sifat fisinya,
sifat kimiawinya, dan kandungan mikrobiologinya (Sudarmadji, 2010).
Dalam penelitian ini, air digunakan sebagai bahan pembilas sisa
mentimun yang sebelumnya dikunyah untuk membersihkan residu sampel. Air
yang digunakan dalam penelitian ini adalah air mineral. Menurut Badan
Standarisasi Nasional (2006), air mineral merupakan air minum dalam kemasan
yang mengandung mineral dalam jumlah tertentu tanpa menambahkan mineral.
Menurut Warnock and Delwiche (2006) dalam pengujian sampel larutan
yang memiliki rasa manis dapat digunakan air sebagai palate cleanser yakni
dengan memanfaatkan air untuk membilas residu sisa sampel di rongga mulut
sebanyak 3 kali selama 15 menit. Sedangkan menurut Monteleone et. al (2004),
dalam pengujian sampel yang mengandung tannin dapat digunakan crackers
yang tidak berasa dan air selama waktu penjedahan. Hal ini dikarenakan ketika
panelis menguji sampel yang mengandung tannin akan dihasilkan sensasi
astringency, yakni sensasi kompleks seperti kering pada permukaan dan
menebal dan adanya sensasi mengerut pada mukosa dan otot pada mulut
(Gawell, Oberholster, and Francis, 2000).

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sensori, Laboratorium Teknologi
Pengolahan Pangan, dan Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang pada bulan Oktober
sampai November 2015.
3.2 Sampel dan Bahan Pendukung
3.2.1 Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Sirup Pokak khas
Pasuruan merk Bu Endang produksi Tiga Putri EF Pasuruan yang diperoleh
dari rumah produksi Tiga Putri EF Pasuruan; dan Sirup Bonagung khas Pasuruan

merk Salsa Jaya produksi UD Riz Jaya Pasuruan yang diperoleh dari rumah
produksi UD Riz Jaya Pasuruan, Jawa Timur.
Cara pembuatan tiap sampel berbeda-beda proporsinya antara air panas
dengan sampel yang berupa sirup. Berikut ini adalah cara pembuatan masingmasing sampel :
a. Sampel Sirup Pokak
6 sendok makan sampel dicampur ke dalam 500 ml air panas bersuhu
80-90oC ke dalam beaker glass. Kemudian sampel diaduk dengan
homogenizer dengan kecepatan 50 rpm selama 1 menit. Setelah homogeny,
sampel dibagikan ke dalam gelas kertas polos yang telah diberi kode acak
tiga digit sebanyak 30 ml per gelas kertas. Sampel disajikan pada suhu 63 3
o

C.
b. Sampel Sirup Rempah Bonagung
10 sendok makan sampel dicampur ke dalam 500 ml air panas bersuhu
80-90oC ke dalam beaker glass. Kemudian sampel diaduk dengan
homogenizer dengan kecepatan 50 rpm selama 1 menit. Setelah homogeny,
sampel dibagikan ke dalam gelas kertas polos yang telah diberi kode acak
tiga digit sebanyak 30 ml per gelas kertas. Sampel disajikan pada suhu 63 3
o

C.

3.2.2 Bahan Pendukung


Bahan pendukung yang digunakan pada penelitian ini adalah palate
cleanser berupa irisan mentimun dan air mineral, serta air panas sebagai pelarut
sirup.
3.3 Panelis
Panelis yang digunakan pada penelitian ini adalah panelis tidak terlatih
(konsumen). Panelis yang terlibat berjumlah 110 orang yang direkrut secara acak
di Universitas Brawijaya dengan kisaran umur 17 32 tahun. Pada tahap awal
perekrutan panelis, panelis yang dipilih dengan ketentuan menyukai minuman
olahan rempah atau paling tidak dapat mengonsumsi minuman berbahan baku

rempah dan berada pada kondisi sehat ketika pengujian berlangsung.


3.4 Peralatan dan Instrumen Penelitian
3.4.1 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelit an ini antara lain gelas kertas
polos, kompor, panci, dua (2) termos untuk masing-masing sampel, sendok
plastik, termometer, alas kertas untuk palate cleanser, 3 buah gelas ukur.
3.4.2 Instrumen Penelitian
Instrument dalam penelitian ini adalah lembar kuisioner. Lembar kuisioner
digunakan

sebagai

media

panelis

dalam

memberikan

pendapat

atau

mengutarakan persepsinya terhadap sampel sesuai hasil penginderaannya.


Lembar kuisioner yang diberikan pada panelis diantaranya :
1. Kuisioner 1 berisi kuisioner identitas panelis
2. Kuisioner 2 berisi kuisoner eksplorasi Sirup Pokak dan Sirup Rempah
Bonagung
3. Kuisioner 3 berisi kuisioner pengujian paired comparison test
4. Kuisioner 4 berisi instruksi kerja untuk evaluasi sampel dan daftar
atribut sensori sampel untuk pengujian menggunakan RATA (Rate-AllThat-Apply)
3.5 Metodologi Penelitian
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah uji deskriminatif
dengan menggunakan metode paired comparison test dan uji deskriptif dengan
menggunakan RATA (Rate-All-That-Apply). Uji deskriminatif dilakukan dengan
tujuan untuk menentukan apakah ada perbedaan antara dua sampel atau lebih.
Pada penelitian ini pengujian diskriminatif dilakukan dengan tujuan untuk
membedakan antara dua sampel berdasarkan atribut sensori yang ada pada
sampel sehingga pengujian diskriminatif dilakukan dengan menggunakan
metode paired comparison test.
Menurut aturan ISO 5495 : 2005, metode paired comparison test
digunakan ketika ada perbedaan antara dua sampel atau lebih pada suatu atribut

sensori atau lebih, dimana itu dapat dilakukan untuk menentukan adanya
perbedaan penerimaan yang diutamakan pada atribut yang diberikan. Prosedur
yang dilakukan pada pengujian diskriminatif dengan menggunakan paired
comparison test adalah panelis diberikan 2 sampel dengan kode yang tertutup.
Mereka diminta untuk menilai sampel dan menentukan diantara kedua sampel
yang mana yang memiliki intensitas tertinggi dari atribut spesifik yang diberikan.
Diantara pengujian dua sampel tersebut, perlu digunakan palate cleanser yang
tepat. Hal ini dikarenakan banyaknya bahan rempah yang mengandung flavor
dan aroma yang kuat menyebabkan timbulnya kelelahan pada fisiologis panelis
dan merupakan penyebab utama timbulnya carry-over effect (Carpenter et al.,
2000).
Palate cleanser merupakan bahan yang digunakan sebagai pembersih
dari sisa sampel yang ada di mulut saat melakukan pengevaluasian sensori.
Menurut Johnson (2004) palate cleanser yang baik harus mampu meningkatkan
deskriminasi atau perbedaan antar produk dan meminimalkan penurunan
sensitifitas atau yang biasa disebut adaptasi sensori. Menurut Carpenter et.al
(2000), palate cleanser yang biasa digunakan untuk pengujian menggunakan
sampel yang memiliki aroma dan flavor yang kuat adalah air mineral, air soda,
jus lemon, apel, wortel, irisan kulit mentimun, natural yoghurt (untuk kari dan
rempah), biskuit/cookies tanpa rasa, dan crackers tanpa rasa. Pada penelitian ini
palate cleanser yang digunakan adalah biskuit/cookies tanpa rasa.
Pada penelitian ini, sampel disajikan secara berpasangan, yakni sampel
Wedang Pokak dan Jamu Bonagung. Berikut ini model penyajian sampel dengan
metode paired comparison test menurut Carpenter et.al. (2000) :
1.

A
SIRUP POKAK

B
SIRUP REMPAH BONAGUNG

2.

B
SIRUP REMPAH BONAGUNG

A
SIRUP POKAK

Setelah dilakukan pengujian diskriminatif dengan menggunakan paired


comparison test, lalu dilakukan pengujian deskriptif dengan menggunakan
metode RATA (Rate-All-That-Apply). RATA (Rate-All-That-Apply) merupakan
sebuah metode deskripsi sensori produk pangan yang menggunakan panelis
konsumen sebagai sumber data dan informasi. Metode ini merupakan
implementasi dari metode CATA. Pada metode ini panelis akan diberi kuisioner
yang berisi berbagai macam atribut sensori produk. Panelis diminta untuk
memberi tanda pada atribut yang dianggap ditemukan pada produk, kemudian
menetapkan skala intensitas dari atribut yang dipilih dengan 3 skala (rendah,
sedang, dan tinggi). Adanya pilihan intensitas dari setiap atribut merupakan
kelebihan dari metode RATA, dimana panelis memiliki kesempatan untuk
menggambarkan seberapa besar intensitas atribut tersebut. Pada metode ini,
panelis dapat mengosongkan atribut yang dianggap tidak ditemukan pada
produk (Ares et.al., 2014).
Dalam melakukan pengujian dengan menggunakan metode RATA (RateAll-That-Apply) penyajian sampel dilakukan secara sequential monadic, dimana
sampel disajikan satu persatu, dimana setelah sampel awal dilakukan
pengevaluasian sensori maka dilanjutkan oleh pengujian sampel selanjutnya.
Teknik penyajian sampel seperti ini merupakan teknik yang sesuai untuk
digunakan dalam mengukur intensitas atribut sensori dalam uji deskriptif.
Kelebihan dari penggunaan teknik penyajian ini adalah sampel di ukur
intensitasnya secara independen dan tidak dilakuan perbandingan perbedaan
atribut secara langsung selama pengujian berlangsung (Kemp et al., 2009).
3.6 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahapan. Pada tahap pertama
dilakukan pengumpulan atribut sensori dan juga pemilihan palate cleanser
yang tepat untuk pengevaluasian sensori minuman olahan rempah Sirup

Pokak dan Sirup Rempah Bonagung. Pengumpulan data atribut ini


dilakukan dengan mengujikan setiap sampel kepada 110 orang panelis dan
juga dilakukan penyebaran kuisioner atribut sensori melalui jejaring internet.
Selain itu, pemilihan jenis palate cleanser yang tepat juga dilakukan dengan
mengujikan setiap sampel kepada 110 orang panelis. Penghimpunan atribut
dan pemilihan jenis palate cleanser ini juga dilengkapi dengan melakukan
studi literatur mengenai jenis palate cleanser yang biasa digunakan untuk
membersihkan residu sampel yang mengandung setiap komponen rempah
yang digunakan sebagai bahan baku Sirup Pokak dan Sirup Rempah
Bonagung dan juga studi literatur mengenai atribut sensori pada setiap
komponen rempah yang digunakan sebagai bahan baku Sirup Pokak dan
Sirup Rempah Bonagung.
Setelah dilakukan penghimpunan data atribut sensori pada Sirup Pokak dan
Sirup Rempah Bonagung maka dilakukan proses pengerecutan terminology
atribut sensori. Setelah itu, ditentukan atribut sensori mana yang paling
berpengaruh terhadap perbedaan diantara dua sampel. Kemudian, dilakukan
pengujian dengan menggunakan paired comparison test. Pengujian paired
comparison test ini dilakukan dengan cara memberikan panelis 2 sampel dengan
kode yang tertutup. Panelis diminta untuk menilai sampel dan menentukan
diantara kedua sampel tersebut, sampel manakah yang memiliki intensitas
tertinggi dari atribut spesifik yang diberikan. Berikut ini model penyajian sampel
dengan metode paired comparison test menurut Carpenter et.al. (2000) :
1.

2.

A
SIRUP POKAK

B
SIRUP REMPAH BONAGUNG

A
SIRUP POKAK
B
SIRUP REMPAH BONAGUNG

Tahapan terakhir yakni pengujian dengan menggunakan metode RATA


(Rate-All-That-Apply).

Pada

pengujian

ini,

pertama-tama

panelis

akan

memberikan instruksi mengenai cara penilaian sampel kepada panelis. Setiap


panelis akan diberikan 2 sampel Sirup Pokak dan Sirup Rempah Bonagung
secara terpisah. Sampel yang disajikan di depan panelis bertuliskan kode acak
tanpa panelis mengetahui jenis sampel yang akan diuji. Berikut ini model
penyajian sampel dengan metode RATA (Rate-All-That-Apply) :

1.

30 ml
A
SIRUP POKAK

2.

30 ml
B
SIRUP REMPAH BONAGUNG

Pada saat pengevaluasian atribut sensori dari masing-masing sampel,


digunakan 3 skala intensitas, yakni skala 1 = rendah ; 2 = sedang ; 3 = tinggi.
Setelah panelis mengevaluasi setiap atribut sensori dari setiap sampel, maka
dilakukan pengukuran sisa volume terhadap setiap sampel. Data pengukuran
sisa volume ini digunakan sebagai data pendukung untuk mengetahui pengaruh
volume konsumsi terhadap persepsi yang dirasakan panelis.
3.7

Pengumpulan dan Analisis Data


Pada penelitian ini akan diperoleh 4 data utama, yakni data atribut

sensori, data palate cleanser, data paired comparison test, dan data RATA (Rate-

All-That-Apply).

Вам также может понравиться