Вы находитесь на странице: 1из 17

LAPORAN KASUS

SEORANG PENDERITA RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD) DALAM


KEHAMILAN
Gusti Ayu Indah Savitri, S.Ked; Stase Ilmu Penyakit Dalam
FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar
Pendahuluan
Demam reumatik (DR) atau Rheumatic Fever (RF) adalah penyakit inflamasi sistemik oleh
karena infeksi Streptokokus hemolitik grup A yang dapat mengenai banyak organ tubuh
terutama jantung, sendi, dan sistem saraf pusat.1,2 Sedangkan Penyakit Jantung rematik (PJR)
atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa
(sekuele) dari RF, yang terjad berulang kali ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. 3 RF
dapat mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat
ringannya karditis selama serangan akut RF. Dampak penting oleh RF ini adalah kemampuannya
menyebabkan katup-katup jantung menjadi fibrosis yang akan menimbulkan gangguan
hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronis dan berat, dan pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian.1,2
RHD adalah penyakit jantung utama yang merupakan penyakit jantung yang didapat pada
anak-anak di banyak negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang.2 Angka kejadian
yang tinggi di negara berkembang berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah, pelayanan
kesehatan yang kurang memadai, infeksi tenggorokan yang tidak diobati atau penanganan yang
lambat, lingkungan yang padat, industrialisasi, dan urbanisasi. 4 Penyakit ini menjadi penyebab
utama morbiditas dan mortalitas penduduk usia muda di negara-negara yang sedang
berkembang. Diperkirakan ada lebih dari 15 juta kasus RHD di seluruh dunia, dengan 282.000
kasus baru dan 233.000 kematian setiap tahunnya. 5 Dalam laporan WHO Expert consultation
Geneva, yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk RHD 0,5 per 100.000 penduduk di
negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah Asia
Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000.3 Setidaknya 15,6 juta orang diperkirakan saat terkena
RHD dengan jumlah yang signifikan dari mereka membutuhkan rawat inap berulang dan operasi
jantung dengan biaya yang besar pada lima sampai 20 tahun berikutnya.2 Data terakhir mengenai
1

prevelensi RF di Indonesia untuk tahun 1081-1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah
dan jauh lebih rendah disbanding Negara berkembang lainnya.3
RF dan RHD adalah penyebab utama kematian penyakit jantung untuk usia dibawah 45
tahun.1 Dalam kehamilan, Penyakit jantung merupakan penyebab kematian maternal ketiga dan
penyebab utama kematian dalam penyebab kematian maternal non obstetric. Di Negara maju,
kehamilan dengan penyakit jantung katup merupakan penyakit urutan kedua tersering setelah
penyakit jantung bawaan. Menurut statistik yang ditetapkan oleh WHO, India, Bangladesh, Cina,
dan Indonesia menempati urutan teratas dalam jumlah kematian terbanyak akibat penyakit RF
dan penyakit jantung rematik. RHD juga dilaporkan terjadi pada kehamilan, angka kejadiannya
bervariasi di beberapa negara Asia yaitu 0,4-4% dari seluruh kehamilan yang dilaporkan. Insiden
umum RF dan endokarditis selama kehamilan dilaporkan rendah (0,006%). Angka kematian ibu
secara umum setelah komplikasi endokarditis dilaporkan sangat tinggi (33%), terutama terkait
dengan gagal jantung atau peristiwa emboli; sementara mortalitas janin dapat mencapai 29%.
Risiko kematian ibu berhubungan dengan terjadinya stenosis mitral disertai aitrial fibrilasi
sebesar 14-17% terutama meningkat pada trimester ketiga dan setelah melahirkan. 6 Berdasarkan
hal tersebut laporan kasus ini diangkat untuk membahas bagaimana RHD yang terjadi pada saat
kehamilan mengingat kasusnya jarang terjadi pada kehamilan namun memberikan dampak yang
membahayakan pada ibu hamil maupun janinnya.

Kasus
Seorang pasien perempuan berinisial NKIW, usia 21 tahun, perawakan pasien kurus dengan berat
badan 45 kg dan tinggi badan 160 cm, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit
Umum Daerah Sanjiwani Gianyar pada tanggal 21 Juli 2015 pukul 18.00 WITA dengan keadaan
umum sakit berat dan kesadaran compos mentis (GCS = E4V5M6). Pasien datang dengan
keluhan utama sesak. Sesak dirasakan sejak pagi dan dirasakan memberat ketika sore hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sesak hilang timbul sudah dirasakan oleh pasien sejak
kurang lebih 1 hari SMRS. Pasien mengatakan bahwa sesaknya saat ini memberat ketika
kelelahan saat berjalan jauh, dan membaik ketika pasien beristirahat. Untuk memperingan
keluhannya pasien harus duduk bahkan kalau tidur harus menggunakan 3 bantal. Pasien
2

menyangkal adanya sesak yang muncul ketika perubahan cuaca ataupun emosi. Pasien juga
mengeluhkan panas sejak 1 hari SMRS, dan panas dirasakan hilang timbul. mual sejak keluhan
panas muncul, namun tidak disertai dengan muntah. Pasien merasakan seluruh badan sakit,
terutama pada tulang dan sendi di tangan dan kaki. Makan dan minum pasien masih seperti
biasa. BAB dan BAK dikatakan normal. Pasien mengatakan pernah dirawat di RSUD Sanjiwani
pada bulan Maret 2015 yang lalu selama 4 hari karena mengeluh sesak. Setelah itu pasien dirujuk
ke RSUP Sanglah. Selain itu pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit jantung yaitu sejak
kelas 6 SD. Pasien minum 2 obat merah dan putih. Namun pasien lupa nama obat yang pernah
digunakan. Pasien mengaku putus obat setelah mengkonsumsi obat selama 2 tahun. Pasien juga
pernah mengeluhkan hal yang sama pada saat pasien masih SMA dan pada saat anak-anak
pasien sering menderita batuk pilek yang lama. Riwayat penyakit asma, penyakit ginjal,
hipertensi dan kencing manis disangkal oleh pasien. Di keluarga pasien, ayah pasien dikatakan
memiliki riwayat penyakit jantung, namun pasien tidak mengetahui secara spesifik apa penyakit
jantung yang diderita oleh ayah pasien. Riwayat penyakit asma, penyakit ginjal, diabetes, dan
riwayat penyakit kronis lainnya disangkal. Pasien memiliki hubungan baik dengan lingkungan
sekitar, tidak pernah minum alkohol, tidak merokok juga minum kopi. Makan dan minum
dikatakan baik. Pasien mengatakan tidak pernah alergi terhadap obat.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien. Pada vital signs didapatkan
tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 98 kali/menit, nafas 25 kali/menit, dan suhu aksila 37,8 oC.
Kepala dalam keadaan normocephali. Pada mata nampak anemis, tidak terdapat ikterus, dengan
reflek pupil positif isokor. Pada pemeriksaan leher ditemukan JVP = PR +2cm dan tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening. Bentuk dada normal, simetris kiri-kanan, iktus kordis terlhat
di ICS 6, 2 jari lateral midclavicula line, serta tidak ada tanda-tanda jejas maupun kelainan pada
kulit. Saat dipalpasi, gerak dada simetris, fremitus vokal normal kiri-kanan, tidak ada nodul atau
benjolan pada kulit, dan iktus kordis dapat diraba pada ICS 6. Batas jantung kiri pada aksilar line
ICS 7, batas kanan pada parasternal line ICS 6, dan batas atas pada midclavicular line ICS 4.
Sedangkan pada auskultasi, didapatkan suara S1 S2 irreguler dan terdengar adanya murmur
diastolik terutama pada daerah apeks. Suara napas utama adalah suara vesikuler, tanpa ronkhi,
dan wheezing.
Pasien mengatakan hamil anak pertama dengan hari pertama haid terakhir tanggal 12
November 2014 dan taksiran persalinan tanggal 19 Agustus 2015. Selama kehamilannya pasien
3

mengaku sudah rutin memeriksakan diri ke bidan. Saat datang pasien tidak mengeluhkan adanya
sakit perut hilang timbul, mapun keluar air atau darah pervaginam dan gerak anak masih baik.
Pada pemeriksaan abdomen sulit dilakukan karena pasien sedang dalam kondisi hamil, oleh
karena itu pasien dikonsulkan kepada bagian Obgyn. Pada ekstremitas, akral teraba hangat.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan G1P0000 35W6D
T/H suspect IUGR + RHD + anemia ringan H-M dengan taksiran berat janin (TBJ) 1888 gram
oleh bidang Obgyn.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang digunakan adalah darah lengkap (DL),
elektrolit, pemeriksaan gula darah sewaktu, dan BUN-SC. Pada DL ditemukan WBC 5,7 10 3/L
(N), RBC 3,38.20 106/L (L), Hb 9,1 g/dL (L), MCV 81,9 fl (L), MCH 26,9 pg (L), dan PLT 171
103/L (N). Pemeriksaan elektrolit didapatkan Natrium 140 mmol/L (N), Kalium 4,2 mmol/L
(N), Chlorida 97 mmol/L (N). Pemeriksaan gula darah sewaktu 70 mg/dL (N). Pemeriksaan
BUN 18 mg/dL (N), SC 0,7 mg/dL (N). Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
radiologi foto torak dikarenakan pasien menolak oleh karena pasien masih hamil.
Dilakukan juga pemeriksaan EKG pada pasien, dimana didapatkan interpretasinya sebagai
berikut:

Irama

: Sinus

Laju

: 107 kali/menit
4

Regularity

: Reguler

Axis

: Normal (Lead I (+), lead aVF (+))

Morfologi
P wave

: Normal

PR interval

: Normal

QRS kompeks : Normal


ST interval

: Normal

T wave

: Normal

Kesimpulan

: Sinus takikardi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, EKG, pasien didiagnosis


sebagai Rheumatic Heart Disease (RHD)/ MS / Fc III. Pasien kemudian diberikan terapi yaitu
diet bebas namun rendah garam, posisi duduk selama MRS, dan O2 4 liter/menit IVFD NaCl
10 tpm, dan bed rest total. Serta diberikan terapi dexamethasone 1x12mg IM selama 2 hari, dan
sulfas ferosus 1x300mg p.o. Pasien juga direncanakan pemeriksaan echocardiography dan untuk
persalinan dilakukan di RSUP Sanglah dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Selama 1 hari perawatan, pasien divisite oleh dokter penyakit dalam dan terapi dilanjtkan.
Serta dari dokter obgyn menambahkan usulan untuk dilakukan tranfusi PRC hingga hb 10 dan
diusulkan untuk melakukan pemeriksaan echocardiography. Pada pukul 17.30 WITA pasien
merasakan bahwa keluhan sesak bertambah berat. Pada pemeriksaan vital sign, didapatkan
tekanan darah terkontrol 110/90 mmHg, nadi 108 kali/menit, napas 32 kali/menit, dan suhu
aksila 36oC. Status general lainnya masih sama seperti sebelumnya. Pasien kemudian dirujuk ke
RSUP Sanglah untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
PEMBAHASAN
Penyakit Jantung rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah penyakit jantung
sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari RF yang terjadi berulang kali, yang ditandai
dengan terjadinya cacat katup jantung.1,2,3 RHD lebih sering terjadi pada pasien yang
mengalami keterlibatan jantung berat pada serangan RF akut. 7 RHD timbul
sebagai akibat peradangan bersifat sistemik yang berlangsung dalam jangka waktu lama dimana
sebelumnya pernah terpapar oleh infeksi Streptokokus hemolitikus grup A. RF dapat
5

mengakibatkan gejala sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat
ringannya karditis selama serangan akut RF. Kerusakan dapat terjadi pada katup, muskulus
papilaris dan korda tendinea dengan hasil akhir terjadi penutupan katup yang tidak sempurna. 1
Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling sering dikenai, tetapi jantung merupakan
organ dengan kerusakan yang terberat.1,7
Streptokokus hemolitikus grup A adalah kokus gram positif yang sering berkoloni di
kulit dan orofaring. Organisme ini dilindungi oleh surface protein pada dinding selnya yaitu M
protein. Protein ini merupakan faktor virulen yang utama bagi streptokokus jenis ini. Tidak
semua serotipe Streptokokus grup A dapat menimbulkan RF. Serotip tertentu Streptokokus
hemolitikus grup A, misalnya serotip M tipe 1, 3,5, 6, 18, 24 lebih sering diisolasi dari penderita
dengan RF akut. Organisme ini dapat menyebabkan lesi supuratif seperti faringitis, impetigo,
myositis, pneumonia, dan sepsis puerperalis. Ia juga dapat menyebabkan lesi nonsupuratif seperti
RF dan glomerulonefritis akut poststreptokokus. Organisme ini memiliki toksin hemolitik yaitu
streptolysin S dan O. Hanya streptolysin O yang dapat menimbulkan respon antibodi yang
persisten sebagai salah satu marker dari adanya infeksi streptokokus hemolitikus grup A.8
Individu-individu segala umur dapat diserang oleh RF akut, tetapi 90% dari serangan
pertama terdapat pada anak-anak dan orang usia muda 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi
dibawah umur 5 tahun adalah jarang sekali.1 Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam
terjadinya RF, yakni agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus -hemolitikus grup A, host
(manusia), dan faktor lingkungan. Streptokokus akan menyerang sistem pernafasan bagian atas
dan melekat pada jaringan faring. Adanya protein M menyebabkan organisme ini mampu
menghambat fagositosis sehingga bakteri ini dapat bertahan pada faring selama 2 minggu,
sampai antibodi spesifik terhadap Streptokokus selesai dibentuk. Protein M, faktor virulen yang
terdapat pada dinding sel Streptokokus, secara immunologi memiliki kemiripan dengan struktur
protein yang terdapat dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan tropomiosin), katup
jantung (laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga subtalamus dan nucleus kaudatus
(lysogangliosides) yang terdapat diotak. Adanya kemiripan pada struktur molekul inilah yang
mendasari terjadinya respon autoimun yang pada RF. Kelainan respon imun ini didasarkan pada
reaktivitas silang antara protein M Streptokokus dengan jaringan manusia yang akan
mengaktivasi sel limfosit B dan T. Sel T yang telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin dan
antibodi spesifik yang secara langsung menyerang protein tubuh manusia yang mirip dengan
6

antigen Streptokokus. Ditemukannya antibodi terhadap katup jantung yang mengalami reaksi
silang dengan N-acetylglucosamine, karbohidrat dari Streptokokus grup A, membuktikan bahwa
antibodi bertanggung jawab terhadap kerusakan katup jantung.8
Genetik juga berperan terhadap kerentanan terjadinya RF, namun mekanisme yang pasti
belum diketahui. Resiko terjadinya RF setelah faringitis oleh Streptokokus, pada mereka yang
mempunyai kerentanan secara genetik, adalah sekitar 50% dibandingkan dengan mereka yang
tidak rentan secara genetik. Telah diidentifikasi suatu alloantigen pada sel B dari 75% penderita
RF, sedangkan hanya didapatkan 16% pada yang bukan penderita. Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa antigen HLA-DR merupakan petanda RHD.8
Akhirnya, faktor lingkungan berhubungan erat terhadap perkembangan RF. Kebersihan
lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal, sarana kesehatan yang kurang memadai juga
pemberian antibiotik yang tidak adekuat pada pencegahan primer dan sekunder RF,
meningkatkan insidensi penyakit ini.8
Secara klinis artritis merupakan gejala mayor yang sering ditemukan pada RF akut. Sendi
yang biasanya terkena adalah sendi-sendi besar seperti, sendi lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Arthritis rematik bersifat asimetris dan
berpindah-pindah (poliarthritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh
spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang
lain. Pada sebagian besar pasien, arthritis sembuh dalam 1 minggu dan
biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu.1,7,8
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada RF akut dimana
40-60% pasien berkembang menjadi RHD. Karditis ini mempunyai gejala
yang nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, demam ringan, mengeluh
nafas pendek, nyeri dada dan arthalgia. Karena manifestasi yang tidak
spesifik dan lamanya timbul gejala, setiap pasien yang datang dengan
manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya
karditis. Walaupun karditis dapat mengenai perkardium, miokardium dan
endokardium, namun kelainan yang menetap hanya ditemukan pada
endokardium, terutama katup jantung. Katup yang sering terkena adalah
katup mitral dan aorta yang kelainannya dapat berupa insufisiensi atau
regurgitasi tetapi bila penyakit telah berlangsung lama dapat berupa
7

stenosis.8 Biasanya pada regugitasi

mitral disertai juga dengan stenosis

mitral, hanya sekitar 10% kasus regurgitasi mitral tanpa ada stenosis. 1
Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung (murmur). Katup mitral
merupakan katup yang paling banyak terkena dan dapat bersamaan dengan
katup aorta. Katup aorta sendiri jarang dikenai. Pada regurgitasi mitral dapat
ditemukan murmur sistolik yang menjalar ke aksila, sedangkan pada stenosis
mitral

dapat

ditemukan

murmur

diastolik.

Miokarditis

dapat

terjadi

bersamaan dengan endokarditis dengan adanya kardiomegali dan gagal


jantung. Sedangkan perikarditis sering dialami dengan adanya nyeri pada
jantung dan nyeri tekan dan pada auskultasi dijumpai adanya bising gesek
yang terjadi akibat peradangan pada perikardium parietal dan viseral. 8
Diagnosa karditis ditegakkan dengan menemukan 1 dari 4 kriteria
dibawah ini yaitu: (1) Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi
yang menunjukkan adanya insufisiensi aorta atau insufisiensi mitral saja,
tanpa adanya bising jantung organik tidak dapat disebut sebagai karditis. (2)
Perikarditis (bising gesek, efusi perikardium, nyeri dada, perubahan EKG). (3)
Kardiomegali pada foto toraks, dan (4) Gagal jantung kongestif. 8 Dengan
ekokardiografi dua dimensi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung
sedangkan dengan pemeriksaan Doppler dapat ditentukan fungsi dari
jantung.8
Korea Sydenham terjadi pada 13-34% kasus RF dan dua kali lebih
sering pada perempuan. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses
radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak .
Gejala awal biasanya emosi yang labil dan iritabilitas lalu diikuti dengan
gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan dan inkoordinasi muskular.
Semua otot dapat terkena, namun otot wajah dan ekstremitas adalah yang
paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan adanya stress dan
kelelahan namun menghilang saat pasien beristirahat.7,8
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada RF yang terjadi
kurang dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal, makular, berwarna merah
jambu atau kemerahan dengan tepi eritema yang menjalar dari satu bagian
8

ke bagian lain, mengelilingi kulit yang tampak normal. Eritema biasanya


hanya dijumpai pada pasien karditis, seperti halnya nodulus subkutan.
Sedangkan pada nodulus subkutan lebih jarang dijumpai, yaitu kurang dari
5% kasus. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada
siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit
kepala dan di atas kolumna vertebralis. Ukuran nodul bervariasi antara 0,5
2 cm, tidak nyeri, padat dan dapat bebas digerakkan. Kulit yang
menutupinya dapat bebas digerakkan dan pucat, tidak menunjukkan tanda
peradangan.

Nodul

ini

biasanya

menghilang dalam 1-2 minggu.

muncul

pada

karditis

rematik

dan

7,8

Diagnosis RF ditegakkan berdasarkan kriteria Jones, yang telah direvisi pada tahun 1992
oleh American Heart Association, dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan pertama
dari RF akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5 kriteria mayor dan 4 kriteria minor
dan persyaratan absolut

(mikrobiologik atau serologik)

dari

bukti

adanya

infeksi

Streptococcus -hemolyticus Grup A baru- baru ini. Diagnosis dari RF akut akut dapat
ditegakan dari kriteria Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor serta memenuhi persyaratan absolut. Adapun kriteria mayor
tersebut antara lain karditis, polyartritis, chorea, erythema marginatum, dan nodul subkutan.
Sedangkan kriteria minor antara lain: secara klinis ditemukan demam, poliatralgia; dan
pemeriksaan lab ditemukan peningkatan reaksi fase akut seperti yaitu LED meningkat dan hitung
leukosit meningkat. Bukti adanya infeksi Streptococcus -hemolyticus Grup A dalam 45 hari
terakhir berupa kultur apus tenggorok positif, atau tes antigen streptokokus yang cepat, atau
antistreptolysin-O (ASTO) meningkat, dan pemeriksaan EKG didapat PR interval memanjang.9
Kemudian pada tahun 2003, WHO merekomendasikan untuk melanjutkan penggunaan
kriteria Jones yang diperbaharui (tahun 1992) untuk RF serangan pertama dan serangan rekuren
dengan atau tanpa RHD seperti yang tertera pada tabel berikut.8

Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung
Rematik (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones)8
Kategori diagnostic
Kriteria
Demam rematik serangan pertama
Dua mayor atau satu mayor dan dua
minor
9

ditambah dengan bukti infeksi SGA


sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren tanpa RHD
Dua mayor atau satu mayor dan dua
minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA
Sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua minor ditambah dengan bukti
dengan RHD
Korea Sydenham

infeksi SGA sebelumnya


Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau
bukti infeksi SGA
Tidak diperlukan kriteria lainnya
untuk mendiagnosis sebagai RHD

RHD (stenosis mitral murni atau


kombinasi dengan insufisiensi mitral
dan/atau gangguan katup aorta)
Kehamilan menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan fisiologis dari sistem
kardiovaskuler yang akan dapat ditolerir dengan baik oleh wanita yang sehat, namun akan
menjadi ancaman yang berbahaya bagi ibu hamil yang mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Pada minggu ke-5 kehamilan akan terjadi resistensi vaskular sistemik dan tubuh secara fisiologis
menambah cardiac output untuk mengurangi hal tersebut, selain itu juga terjadi peningkatan
denyut jantung. Antara minggu ke-10 dan 20 terjadi peningkatan volume plasma sehingga juga
terjadi peningkatan preload. Kapasitas vaskular juga akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan
tubuh. Pada kehamilan umumnya akan terjadi pembesaran ventrikel kiri untuk memfasilitasi
perubahan cardiac output, tetapi kontraktilitasnya tidak berubah. Serta bersamaan dengan
perubahan posisi diafragma akibat tekanan dari organ panggul (rahim) yang membesar, apeks
akan bergerak ke anterior dan ke kiri.10
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan Rheumatic Heart Disease (RHD)/ MS / Fc III
yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang dan setelah
dikonsulkan ke bagian obgyn pasien juga didiagnosis dengan G1P0000 35W6D T/H suspek
IUGR + RHD. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien mengeluh sesak yang hilang
timbul sejak 1 hari SMRS dan dirasakan memberat sejak sore hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak dirasakan memberat ketika pasien berjalan dan membaik setelah beristirahat. Pasien
mengatakan memiliki riwayat penyakit jantung sejak kelas 6 SD serta pada saat anak-anak
pasien sering menderita batuk pilek yang lama. Pasien mengaku putus obat setelah
mengkonsumsi obat selama 2 tahun. Saat masih SMA dan bulan Maret 2015 pasien sempat
diopname karena keluhan sesak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya peningkatan frekueni
10

nafas 25x/menit, pembesaran jantung dan terdengar suara murmur diastolik terutama pada daerah
apeks. Serta dari pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardi dengan heart rate 107x/menit.
Kemudian dari pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan pada kadar hemoglobin,
MCV, dan MCH yaitu Hb 9,1 g/dL (L), MCV 81,9 fl (L), MCH 26,9 pg (L).
Berdasarkan teori disebutkan bahwa RHD adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya
gejala sisa (sekuele) dari RF yang terjadi berulang kali, yang ditandai dengan terjadinya cacat
katup jantung.1,2,3 RHD lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami keterlibatan jantung
berat pada serangan RF akut.7 Menurut kriteria Jones yang telah direvisi, diagnosis RHD yang
disertai dengan kelainan katup jantung ditegakkan tanpa memerlukan kriteria lainnya untuk
membantu menegakkan diagnosis. Dari faktor risiko diketahui pula bahwa pasien pernah
mengalami keluhan yang sama sama berulang-ulang dan terdapat faktor genetik serta ketidak
patuhan minum obat saat serangan RF. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya RHD. Gejala
yang paling sering ditemukan pada RHD adalah adanya sesak akibat dari terdapatnya edema
paru dan adanya murmur diastolik akibat stenosis mitral1 dimana hal ini juga ditemukan pada
pasien.
Dari pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan adanya murmur diastolik sebagai salah
satu tanda stenosis mitral. Stenosis mitral merupakan kasus yang paling sering disebabkan oleh
RF. Penyebab terseringnya adalah endocarditis reumatik akibat reaksi yang progresif dari RF
oleh infeksi streptokokus. Pada stenosis mitral akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan
pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan
fibrosis dan penebalan daun katup, kalsiikasi, fusi kommisura, fusi serta pemendekan korda atau
kombinasi dari proses tersebut. Pada akhirnya akan terjadi penyempitan lubang katup
mengurangi pergerakan daun katup sehingga menghambat aliran darah dari atrium kiri ke
vantrikel kiri selama fase diastolik ventrikel. Untuk mengisi ventrikel kiri dan mempertahankan
curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah
melampaui katup yang menyempit. Otot atrium kiri akan mengalami hipertropi untuk
meningkatkan kekuatan pemompaan darah, selain itu terjadi dilatasi atrium karena volume
atrium kiri meningkat akibat ketidakmampuan atrium mengosongkan diri secara normal.
Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh darah
paru sehingga terjadi peningkatan tekanan vena dan kapiler pulmonalis yang menyebakan
terjadinya hipertensi pulmonal dan edema paru-paru. Pada stenosis mitralis yang berat, hipertensi
11

pulmonal dapat memicu gagal jantung kanan oleh karena pembesaran ventrikel kanan.
Kegagalan ventrikel kanan dipantulkan ke belakang ke dalam sirkulasi sistemik, menimbulkan
kongesti pada vena sistemik dan edema perifer.11 Proses perubahan patologi sampai terjadinya
gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun yaitu sekitar 10-20
tahun.1,9
Pada penyakit yang ringan, pasien dapat tidak mengeluh sama sekali (asimtomatik).
Gejala-gejala secara khas belum muncul sebelum lubang katup ini mengecil sampai sekitar 50%,
yaitu dari ukuran normal 4-5 cm2 menjadi kurang dari 2,5 cm 2. Rasa lemah dan lelah dapat
merupakan gejala awal yang sering ditemukan akibat curah jantung yang menetap jumlahnya dan
akhirnya berkurang. Pada stenosis mitralis yang berat gejala-gejala pernafasan seperti sesak saat
beraktifitas (exertional dyspnea), orthopnoe, dan paroxysmal nocturnal dyspnea akan semakin
menonjol. Jika seorang wanita dengan stenosis katup mitral yang berat sedang hamil, gagal
jantung akan dapat berkembang dengan cepat. 1 Pada awalnya sesak napas akan dirasakan hanya
sewaktu melakukan aktivitas (exertional dyspnea) namun lama-kelamaan sesak akan timbul
dalam keadaan istirahat (orthopnoe). Pada stenosis mitral ringan, gejala yang muncul biasanya
dicetuskan oleh faktor yang meningkatkan kecepatan aliran darah, curah jantung, atau
menurunnya waktu pengisian diastol yang nantinya akan meningkatkan tekanan atrium kiri
secara dramatis. Hal tersebut termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam, aktivitas seksual,
kehamilan, serta fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat. 1,7,10 Pada stenosis mitral moderat
dan berat kerap mengalami perburukan hemodinamik pada trimester ketiga dan ketika
persalinan. Perubahan fisiologik terjadinya peningkatan volume darah dan peningkatan frekuensi
denyut jantung menyebabkan peningkatan takanan atrium kiri serta

vena pulmonalis yang

mengakibatkan edema paru. Pebesaran atrium kiri dapat mengakibatkan atrial fibrilasi dimana
denyut jantung menjadi cepat dan tidak teratur. Kontraksi uterus meningkatkan aliran balik vena
dan kemudian terjadi kongesti paru. dan peningkatan venous return pada partus kala II juga dapat
meningkatkan beban jantung yang dapat membahayakan nyawa pasien. Selain itu pada saat
persalinan sering terjadi dekompensasi karena nyeri akan menginduksi takikardia.10
Temuan klasik pada stenosis mitral adalah opening snap dan bising/murmur diastol kasar
(diastolic rumble) pada daerah mitral. Opening snap dari katup mitral muncul akibat adanya
tekanan yang mendadak pada daun katup setelah daun katup tebuka. Suara ini paling jelas
terdengar pada apeks jantung dengan diafragma stetoskop.1 Murmur diastolik kasar pada stenosis
12

mitral terdengar jelas di apeks jantung dengan bell stetoskop. Suara murmur yang keras dapat
menjalar ke axila atau daerah sternal kiri bagian bawah. Berdasarkan pemeriksaan penunjang
pada stenosis mitral dari EKG akan tampak pembesaran atrium kiri (gelombang P melebar dan
beratakik (paling jelas pada sadapan II dikenal sebagai P mitral), bila iramanya sinus normal;
hipertrofi ventrikel kanan; fibrilasi atrium lazim terjadi tetapi tidak spesifik untuk stenosis mitral.
Namun pada pasien ini dari hasil EKG hanya ditemukan adanya sinus takikardi. Dari foto
thoraks dapat ditemukan pembesaran atrium kiri dan ventrikel kanan; kongesti vena pulmonalis;
edema paru interstitialis; dan kalsifikasi katup mitral1, namun pada pada pasien pemeriksaan foto
thorax belum dilakukan oleh karena pasien menolak sebab pasien masih dalam keadaan hamil.
Sedangkan pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan untuk menentukan derajat stenosis
mitral, pengukuran area katup mitral (mitral valve area / MVA), fungsi pompa ventrikel kiri,
trombus, dan derajat hipertensi pumonal dengan mengukur takanan arteri pulmonal. MVA
merupakan determinan kuat untuk terjadinya edema paru akut. Pada umumnya MVA 1,5 atau 1
cm2/luas permukaan tubuh m2 merupakan batasan Mitral Stenosis berat.10 Pada kasus ini pasien
belum dilakukan pemeriksaan ekokardiografi oleh karena keterbatasan penunjang yang ada
sehingga pasien direncanakan untuk melakukan ekokardiografi di rumah sakit yang memiliki
fasilitas lebih lengkap.
Pasien kemudian diberikan terapi yaitu diet bebas namun rendah garam, posisi duduk
selama MRS, dan O2 4 liter/menit IVFD NaCl 10 tpm, dan bed rest total. Dari bagian obgyn
pasien diberikan terapi dexamethasone 1x12mg IM selama 2 hari untuk mempercepat
pematangan paru janin, sulfas ferosus 1x300mg p.o, dan tranfusi PRC hingga hb 10 sedangkan
dari bagian interna terapi dilanjutkan. Pasien juga diusulkan untuk melakukan pemeriksaan
echocardiography serta untuk persalinan dilakukan di RSUP Sanglah dengan fasilitas yang lebih
lengkap.. Pada pukul 17.30 WITA pasien merasakan bahwa keluhan sesak bertambah berat. Pada
pemeriksaan vital sign, didapatkan tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 108 kali/menit, napas 32
kali/menit, dan suhu aksila 36oC. Status interna masih sama seperti sebelumnya. Pasien
kemudian dirujuk ke RS Sanglah untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
Penanganan pasien hamil dengan RHD dibagi menjadi tiga yaitu antepartum,
intrapartum, dan postpartum. Namun pada kehamilan dengan penyakit jantung secara umum
pada functional class I dan II dapat dilanjutkan kehamilannya sedangkan pada functional class
III, dan IV dipertimbangkan untuk dilakukannya abortus provocatus medicinalis karena dapat
13

mengancam nyawa ibu. Dimana masa antepartum penderita RHD dengan mitral stenosis
penanganan bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara upaya untuk meningkatkan curah
jantung dan keterbatasan aliran darah yang melewati katup yang mengalami stenosis.
Kebanyakan ibu hamil memerlukan diuresis berupa pemberian furosemide. Pemberian -blocker
akan menurunkan denyut jantung, meningkatkan aliran darah yang melewati katup,
menghilangkan kongesti paru, dan mengurangi tekanan pada atrium kiri.10,13 Namun penggunaan
beberapa obat medikamentosa yang diperlukan sewaktu hamil dapat menimbulkan risiko pada
janin bila dikonsumsi selama kehamilan, tetapi bila manfaat untuk ibu lebih besar daripada
risiko, maka obat-obatan tersebut dapat tetap diberikan. Pada kasus ini pada pasien belum
diberikan terapi furosemide maupun -blocker. Berdasarkan Food and Drug Administration
Amerika Serikat, furosemide dan -blocker termasuk ke dalam kategori C yang artinya terdapat
efek samping pada janin dalam penelitian hewan, tetapi belum ada penelitian pada wanita hamil
yang telah dilakukan. Dalam penelitian menggunakan tikus dan kelinci, furosemide
menyebabkan kematian maternal dan abortus tanpa sebab yang dapat dijelaskan. Penelitian lain
juga menunjukkan peningkatan insiden hidronefrosis pada fetus yang mendapat furosemide
disbanding dengan kelompok kontrol. Sedangkan penggunaan -blocker masih diperdebatkan
karena dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan janin yaitu IUGR. 14
Pada saat intrapartum persalinan pervaginam dapat berjalan dengan aman pada pasien
dengan mitral stenosis yang dapat menoleransi kehamilan dengan baik yaitu pada functional
class I dan II serta apabila tekanan arteri pulmonal kurang dari 50mmHg. Namun pada pasien
dengan functional class III dan IV serta adanya tekanan nadi lebih dari 50mmHg, harus
dilakukan monitoring hemodinamik sentral dengan menggunakan kateter arteri pulmonalis atau
Swan Ganz selama persalinan karena pada saat persalinan sering terjadi dekompensasi yang
disebabkan oleh nyeri akan menginduksi takikardia. Kontraksi uterus meningkatkan aliran balik
vena dan kemudian dapat terjadi kongesti paru.. Pada persalinan kala II sebaiknya dipercepat
dengan metode forcep ekstraksi dengan tambahan anestesi epidural dan apabila dilakukan seksio
sesaria harus dengan indikasi obstetri yang membuat persalinan pervaginam tidak dapat
dilakukan seperti kesempitan panggul. Selama proses persalinan sebaiknya hindari trauma
berlebihan dan infeksi serta didampingi oleh dokter penyakit dalam.10
Fase postpartum atau puerpenium pasien disarankan untuk bedrest dan dirawat selama 510 hari mengingat komplikasi yang dapat terjadi, cegah konstipasi, dan laktasi dibatasi untuk
14

penyakit jantung dengan functional class III dan IV karena menyusui dapat mengakibatkan
keseimbangan cairan berubah dan menimbulkan dehidrasi, dimana pada pasien dengan penyakit
jantung cairan harus seimbang. Namun tidak ada kontraindikasi spesifik untuk memberi ASI (air
susu ibu) selama hidrasi yang adekuat dapat dipertahankan. Namun demikian ibu dianjurkan
untuk tidak sepenuhnya tergantung pada ASI eksklusif tetapi juga memberikan susu formula
kepada bayinya. Harus diperhatikan bahwa sebagian dari obat-obat yang diberikan kepada ibu
dalam masa postpartum dapat melewati ASI.9,10
Pada pasien juga ditemukan adanya suspek IUGR pada janin yang dikandungnya. Seperti
penyakit jantung lainnya, RHD tidak hanya memberikan dampak buruk pada ibu tetapi juga pada
janin yang dikandung. Hal ini disebabkan karena jantung tidak mampu memberikan nutrisi dan
oksigenasi pada janin yang sedang tumbuh di dalam kandungan. IUGR (Intrauterine Growth
Restriction) atau pertumbuhan janin dalam kandungan terhambat adalah komplikasi terhadap
janin yang paling sering dijumpai pada pasien hamil dengan kelainan jantung seperti RHD
karena pada pasien dengan penyakit jantung akan mengalami penurunan cardiac output oleh
karena adanya gangguan katup jantung sehingga akan menyebabkan penurunan aliran darah
uteroplacenta yang menurunkan kapasitas oksigen dan nutrisi untuk janin.12
Pasien juga sejak awal direncanakan untuk dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang
lebih lengkap. Hal ini sudah sesuai dengan alur penatalaksanaan kehamilan dengan RHD karena
pada saat intrapartum, persalinan pervaginam dengan FC III seperti pada kasus maupun FC IV,
serta adanya tekanan nadi lebih dari 50mmHg, persalinan sebaiknya dilakukan monitoring
hemodinamik sentral dengan menggunakan kateter arteri pulmonalis atau Swan Ganz selama
persalinan karena pada saat persalinan sering terjadi dekompensasi yang disebabkan oleh nyeri
yang akan menginduksi takikardia. Kontraksi uterus juga meningkatkan aliran balik vena dan
kemudian dapat terjadi kongesti paru. Pada persalinan kala II juga sebaiknya dipercepat dengan
metode forcep ekstraksi dengan tambahan anestesi epidural dan apabila dilakukan seksio sesaria
harus dengan indikasi obstetri yang membuat persalinan pervaginam tidak dapat dilakukan
seperti kesempitan panggul. Selama proses persalinan sebaiknya hindari trauma berlebihan dan
infeksi serta didampingi oleh dokter penyakit dalam. 10 Fase postpartum pasien disarankan untuk
bedrest dan dirawat selama 5-10 hari mengingat komplikasi yang dapat terjadi, cegah konstipasi,
dan laktasi dibatasi untuk penyakit jantung dengan FC III dan IV. Walaupun masih kontroversi
tentang pemberian ASI yang dapat mengakibatkan dehidrasi, namun pasien dengan FC III dan
15

IV sebaiknya mengurangi karena memperhatikan juga obat-obat yang diberikan kepada ibu
dalam masa postpartum dapat melewati ASI. 9,10

RINGKASAN
Penyakit Jantung rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah penyakit jantung
sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari RF yang terjadi berulang kali, yang ditandai
dengan terjadinya cacat katup jantung.1,2,3 Kelainan yang paling banyak disebabkan oleh RHD
adalah stenosis mitral oleh karena terjadinya endocarditis reumatik pada episode RF. RHD yang
terjadi dalam kehamilan akan meningkatkan morbiditas maupun mortalitas pada ibu dan janin
oleh karena adanya sejumlah perubahan fisiologis dari sistem kardiovaskuler selama kehamilan
yang diperberat oleh adanya gangguan hemodinamik akibat terjadinya gangguan katup jantung
Berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan pada kasus, diaganosis pasien mengarah ke RHD
yang disertai dengan mitral stenosis. Namun pada kasus ini masih diperlukan beberapa
pemeriksan penunjang tambahan lainnya seperti ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis
agar dapat ditentukan pemilihan terapi yang paling tepat pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Leman S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jilid II. Jakarta: Internal Publishing. 2009. p. 1662-66.
2. World Heart Federation. Rheumatic Heart Disease. 2012
3. Siregar AA. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara. 2008
4. Rahmawati NK, et al. Faktor Risiko Serangan Berulang Demam Rematik Penyakit Jantung
Rematik. Sari Pediatri. Vol 14 No 3. 2012
16

5. Seckeler MD, Hoke TR. The Worlwide Epidemiology of Acute Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease. Dove Press Jurnal. 2011
6. Londero AP, et al. A woman presenting rheumatic cardiopathy in pregnancy: a case report.
Journal of Medicine and Medical Sciences 2010; 1(5): 144-147
7. Leman S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.
Jilid I. Jakarta: Internal Publishing. 2014. p. 1162-68.
8. Marpaung K. Gambaran Elektrokardiogram pada Anak dengan Penyakit Jantung Rematik di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 2013
9. World Heart Organization. Reumatic Fever and Reumatic Heart Disease. 2004
10. Sedyawan JH. Penyakit Jantung Katup.. Dalam: Saifuddin AB, Rachimhadhi T,
Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi IV. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2010. p. 174-7, 766-773
11. Prices SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6, Volume
1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006
12. Suhag A, Berghella V. Intrauterine Growth Restriction (IUGR): Etiology and Diagnosis. Curr
Obstet Gynecol Rep 2013; 2:102111
13. Prosedur Tetap Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah Denpasar.
Kehamian dengan Penyakit Jantung. 2003. p. 18-20
14. Food and Drug Administration. 2012.

17

Вам также может понравиться