Вы находитесь на странице: 1из 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru
manusia. Tuberkulosis disebabkan oleh kuman dan karena itu tuberkulosis bukanlah
penyakit keturunan. Selain terdapat pada paru-paru, tuberkulosis juga dapat mengenai
organ tubuh lainnya, seperti tulang, otak, otot dan lain-lain (Aditama, 1994).
Tuberkulosis disebabkan oleh basil atau kuman yang diberi nama dalam
bahasa latin Mycobacterium tuberculosis. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan
oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil
tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitarC,37yang memang
kebetulan sesuai dengan tubuh manusia (Aditama, 1994).

2.1.1. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis


Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi kuman TB Paru bila droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari
paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI,
2002).

Universitas Sumatera Utara

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman


yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

2.1.2. Risiko Penularan


Secara umum penularan penyakit tuberkulosis banyak tergantung dari
beberapa faktor seperti jumlah kuman yang ada, tingkat keganasan kuman dan daya
tahan tubuh orang yang tertulari, namun penularan mudah terjadi bila terdapat
hubungan yang erat dan lama dengan penderita tuberkulosis yang aktif, yakni
penderita TB Paru BTA positif (Amin, 1989).
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, sepuluh orang akan
terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB,
hanya sekitar 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB (Depkes RI,
2002).

2.1.3. Gejala Penyakit Tuberkulosis


Gejala utama yang dirasakan oleh penderita adalah batuk berdahak lebih dari
dua atau tiga minggu. Batuk berdahak timbul karena ada peradangan akibat
tuberkulosis pada saluran nafas, karena peradangan tersebut maka timbullah
penumpukan cairan dahak di saluran nafas dan paru.

Universitas Sumatera Utara

Adapun gejala tambahan yang sering dijumpai pada penderita tuberkulosis


paru adalah : adanya dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri
dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih
dari sebulan (Depkes RI, 2002).

2.1.4. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru


Sebagian besar kasus tuberkulosis paru didiagnosis karena pasien merasa
tidak sehat sehingga datang minta bantuan ke suatu puskesmas, klinik, rumah sakit
atau dokter praktik.
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga
patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua,
hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen
penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturutturut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang
akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan
tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan
darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 1994).

2.1.5. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru


Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian).
2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan
di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4. Lalai (Default /Drop Out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
5. Lain-lain
a. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan akhir pengobatan) atau lebih.
Bisa juga penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif yang menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
b. Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru


Menurut Depkes RI (2002), obat TB Paru diberikan dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar
semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan TB Paru
diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari selama dua bulan
dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT
terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif
sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama yaitu selama minimal empat bulan. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment
Shortcourse) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).

Universitas Sumatera Utara

2.1.7. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS


Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse), yaitu strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan
kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita
TB Paru, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat. Prinsip DOTS
adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung
dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita
tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Aditama, 1994).
Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai
dari

memfokuskan

perhatian

(direct

attention)

dalam

usaha

menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui


pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed)
dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah
yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus
menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti
tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang
adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short course) sesuai dengan
klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Aditama, 1994).
Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka
kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping
obat jika timbul dan mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut
Multiple Drug Resistance / MDR (Sembiring, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.1.8. Pengawas Minum Obat (PMO)


Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.
Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah :
-

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.

Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,

sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
Tugas seorang PMO antara lain adalah :
-

Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.

Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah
ditentukan.

Universitas Sumatera Utara

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai


gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.

2.1.9. Organisasi Pelaksana Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia


1. Tingkat Pusat
Upaya penanggulangan TB Paru di tingkat pusat berada di bawah tanggung jawab
dan kendali Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
lingkungan (PPM & PL). Adapun untuk menggalang kemitraan dalam upaya
penanggulangan penyakit TB Paru maka dibentuk Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB) yang dicanangkan oleh Menteri
Kesehatan RI pada tanggal 24 Maret 1999, bertepatan dengan peringatan hari TB
sedunia.
2. Tingkat Provinsi
Di Tingkat provinsi dibentuk Gedurnas TB Provinsi yang terdiri dari Tim
Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan daerah.
3. Tingkat Kabupaten/Kota
Di Tingkat kabupaten/kota dibentuk Gedurnas TB kabupaten/kota yang terdiri
dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan
dengan kebutuhan kabupaten/kota.

Universitas Sumatera Utara

4. Unit Pelayanan Kesehatan


Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/klinik dan Dokter Praktek
Swasta.
a. Puskesmas
Dalam pelaksanaan di puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas Pelaksana
(KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan
dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS), yang secara
keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk 50.000
150.000 jiwa. Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas
Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan
sputum BTA.
b. Rumah Sakit dan BP4
Rumah sakit dan BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana
penderita TB. Dalam hal tertentu, rumah sakit dan BP4 dapat merujuk
penderita kembali ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal penderita
untuk mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya.
c. Klinik dan Dokter Praktek Swasta (DPS).
Secara umum konsep pelayanan di klinik dan DPS sama dengan pelaksanaan
pada rumah sakit dan BP4. Dalam hal tertentu, klinik dan DPS dapat merujuk
penderita dan spesimen ke puskesmas, rumah sakit atau BP4.

Universitas Sumatera Utara

2.2. Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)


Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang menyelenggarakan upaya kesehatan paru
strata dua serta bersifat mandiri (fungsional) yang melaksanakan tugas teknis
operasional dan/atau tugas teknis penunjang dari Dinkes Provsu.
BP4 menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru secara menyeluruh dan
terpadu, menggunakan teknologi tepat guna, didukung peran serta aktif masyarakat,
kerjasama lintas program dan lintas sektoral. BP4 dibentuk sebagai upaya untuk lebih
mendekatkan dan memberikan pelayanan spesialistik khusus paru ke masyarakat
maupun untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan paru di masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas tersebut maka BP4 menjalankan fungsi : penetapan
diagnosa penyakit paru, pengobatan penderita penyakit paru, perawatan penderita
penyakit paru, membantu usaha pemberantasan penyakit tuberkulosis dan
melaksanakan sistem rujukan (Profil BP4 Medan, 2008).
Dalam melaksanakan pelayanannya, BP4 menerima pasien yang berasal dari
pasien rujukan baik yang dirujuk dari puskesmas dan rumah sakit dan pasien yang
datang sendiri dengan dana pribadi. Anggaran BP4 diperoleh dari APBD yaitu berupa
Anggaran Rutin (DASK) yang digunakan untuk membiayai kegiatan dan keperluan
rutin BP4 seperti gaji pegawai, biaya operasional kegiatan pelayanan medis dan lainlain, serta APBN yang digunakan untuk kegiatan sosialisasi pembinaan ke kab/kota
serta kegiatan luar gedung lainnya.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Konsep Perilaku


Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas manusia itu
sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan,
menangis, tertawa, membaca dan sebagainya. Sebagaimana dapat disimpulkan bahwa
perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Skinner (Notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam
memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari
yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa
orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respon
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini
dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,
sosial budaya, ekonomi dan sebagainya.
Berdasarkan teori Skinner, dapat dikatakan bahwa kepatuhan penderita TB
Paru untuk minum obat secara teratur adalah merupakan tindakan yang nyata dalam
bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri si penderita
(faktor internal) maupun dari luar diri si penderita (faktor eksternal). Faktor internal
yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan serta faktor

Universitas Sumatera Utara

motivasi dari dalam diri penderita TB Paru seperti rasa tanggung jawab. Adapun
faktor eksternalnya yaitu motivasi dari luar diri penderita TB Paru yang meliputi
dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas.
Perilaku seseorang itu sebenarnya dapat dikaji sebagai saling interaksinya atau
ketergantungannya beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Sebagaimana
menurut Fred Luthans dalam Thoha (2008) terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan
(need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari
motivasi dan tujuan. Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan dari motivasi itu
sendiri. Dorongan ini yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai
tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan ini pula yang menyebabkan
seseorang itu berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatankegiatan serta menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut.

2.4. Kepatuhan Berobat


Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku
pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut
Sarafino (Bart, 1994), kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan
cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain.
Menurut Sarafino (Bart, 1994), secara umum ketidaktaatan meningkatkan
risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk
kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah
opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan
pengobatan.

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi


empat bagian, yaitu :
1. Pemahaman tentang Instruksi
Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa
lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti
tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan
oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,
penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus
diingat oleh pasien.
Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh
DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu :
a. Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan.
b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang
harus diingat.
c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,
maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal
yang pertama kali ditulis.
d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal
penting perlu ditekankan.
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian
yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatnya interaksi

Universitas Sumatera Utara

profesional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan
umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien
membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang
dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini.
3. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program
pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan
membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.
4. Keyakinan, sikap, Kepribadian
Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuranpengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian
secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orangorang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, sangat
memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang
kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et
al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu
yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program
pengobatan.
Menurut Schwartz & Griffin (Bart, 1994), riset tentang ketaatan pasien
didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat
dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang
lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk

Universitas Sumatera Utara

mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas


sosio ekonomi, pendidikan, umur dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat
meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut

merupakan

pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara
mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seseorang dapat menjadi tidak taat kalau
situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional
dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan
sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika
hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya.
Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan :
1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan
Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit
kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang
jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan
yang kompleks, serta pengobatan dengan efek samping.
Menurut Sarafino (Bart,1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk
menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar
78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang, tingkat
tersebut menurun sampai 54%.
2. Komunikasi antara pasien dan dokter
Berbagai aspek komunukasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat
ketidaktaatan

misalnya,

informasi

dengan

pengawasan

yang

kurang,

Universitas Sumatera Utara

ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter serta


ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.
3. Variabel-variabel sosial
Secara umum, orang-orang yang merasa menerima penghiburan, perhatian, dan
pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung
lebih mengikuti nasihat medis daripada pasien yang kurang mendapat dukungan
sosial.
4. Ciri-ciri individual
Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan.
Sebagai contoh : di Amerika Serikat kaum wanita, kaum kulit putih dan orang tua
cenderung mengikuti anjuran dokter.

2.5. Motivasi
2.5.1. Definisi Motivasi
Malayu (1996) menyatakan bahwa motivasi berasal dari bahasa latin, yakni
movere yang berarti daya penggerak atau dorongan dalam diri manusia yang
menyebabkan individu tersebut berbuat sesuatu. Menurut Notoatmodjo (2003)
motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak untuk mencapai tujuan tertentu.
Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Adapun perilaku
itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi
manusia dengan lingkungannya.
Menurut Mitchell dalam Winardi (2001), motivasi mewakili proses-proses
psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi

Universitas Sumatera Utara

kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Gray


(1984) menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat
internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya
antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
Menurut Walgito (2003), motivasi merupakan keadaan dalam diri individu
yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : (1)
keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state), yaitu kesiapan bergerak
karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti
berpikir dan ingatan; (2) perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini; (3) tujuan
yang dituju oleh perilaku tersebut.

2.5.2. Teori Motivasi


Banyak teori-teori yang menggambarkan tentang motivasi di antaranya :
1. Teori Penguatan
Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa
penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat
perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan faktorfaktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu
respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi (Siagian, 1995).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada pandangan
bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong perilaku positif
tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi tindakan serupa.
Sebaliknya, jika seorang manajer menegur bawahannya karena melakukan sesuatu

Universitas Sumatera Utara

hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan cenderung untuk
tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang yang bersangkutan.
Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti sikap pimpinan,
pengaruh rekan kerja dan sejenisnya (Siagian, 1995).
Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar
dirinya seperti dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat
menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten
dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus
berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari
keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta
sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponnya dan
memberikan solusi dengan baik.

2. Teori X dan Y McGregor


Teori X dari Douglas McGregor menyatakan bahwa sebagian besar orang
lebih senang diberikan pengarahan, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, serta
menginginkan

keamanan

atas

segalanya.

Mengikuti

falsafah

ini

maka

kepercayaannya adalah orang-orang itu hendaknya dimotivasi dengan uang, dan


diperlakukan dengan sanksi hukuman (Winardi, 2001).
Menurut asumsi teori X menyatakan bahwa orang-orang ini pada hakikatnya
adalah :

Universitas Sumatera Utara

1. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih
menyukai diarahkan atau diperintah.
2. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah.
3. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
4. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan.
Untuk menyadari kelemahan dari asumsi teori X itu maka McGregor
memberikan alternatif teori lain yang dinamakannya teori Y. Asumsi teori Y ini
menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat dipercaya,
tidak seperti yang diduga oleh teori X (Thoha, 2008).

2.6. Penelitian- Penelitian Sebelumnya


Berdasarkan hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan
Kota Medan Tahun 2009, ditemukan bahwa pengetahuan dan peran PMO
berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru. Menurut hasil
penelitiannya, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang
penyakit TB Paru dan yang menjadi PMO seluruhnya adalah keluarga sehingga lebih
memerhatikan kesehatan responden.
Penelitian Eliska (2005), menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang
bermakna antara pekerjaan dan faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat
kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Kota Medan. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang diterima respoden
sebaian besar dalam kategori baik (63,6%).

Universitas Sumatera Utara

Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota


Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat
penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru, ada
tidaknya Pengawas Minum Obat (PMO), efek samping obat, perilaku petugas
pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak
antara rumah pasien ke puskesmas.

2.7. Kerangka Konsep


Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka kerangka konsep
penelitian ini adalah :
Variabel Independen

Variabel Dependen

Karakteristik Individu

Umur
Jenis kelamin
Status perkawinan
Pekerjaan
Pengetahuan
Kepatuhan Berobat
Penderita TB Paru

Motivasi

Dukungan Keluarga
Peran PMO
Dorongan Petugas
Rasa Tanggung jawab
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Definisi Konsep :
1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru
yang membedakan seseorang dengan lainnya, meliputi : umur, jenis kelamin,
status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan.
2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak yang
berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari kekuatan di
luar pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat penderita TB Paru,
meliputi : dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas, dan rasa tanggung
jawab.
3. Kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam
menelan obat pada tahap intensif sesuai jadwal yang ditentukan yaitu selama 2
bulan dan menaati segala nasihat dari petugas kesehatan.

2.7. Hipotesis Penelitian


Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh karakteristik penderita TB Paru (umur, jenis kelamin, status
perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) terhadap kepatuhan berobat di BP4
Medan.
2. Ada pengaruh motivasi penderita TB paru (dukungan keluarga, peran PMO,
dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap kepatuhan berobat di BP4
Medan.

Universitas Sumatera Utara

Вам также может понравиться