Вы находитесь на странице: 1из 33

Presentasi Kasus

SEORANG PEREMPUAN 21 TAHUN DENGAN CEDERA OTAK BERAT


SUSPECT ICH, EDH DD SAH

Oleh:
Afrizal Tri Heryadi
G99142074

PEMBIMBING:
dr. Husni Thamrin, M.Kes, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat

pada

gangguan fungsi neurologis,fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat


temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. (Mardjono M., 2003)
B. Anatomi Kepala

1. Kulit
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari line nuchalis superior
pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepala terdiri

dari lima lapis jaringan : (Mardjono M., 2003)

Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak


kelenjar keringat serta folikel rambut.

Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan ,


memiliki banyak pembuluh darah dan saraf.

Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat


yang kuat dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis
dan muskulus frontalis.

Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons.

Pericraniumadalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang


garis sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu,
subperiosteal hematom terbentuk pada tulang tengkorak.
(Mardjono M., 2003)

2.

Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis crania berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum. (Mardjono M., 2003)
a.

Meningens

Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3


lapisan yaitu:(Mardjono M., 2003)

Duramater: secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan


endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam
cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.Pada
cedera otak pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus sinus tersebut dapat menimbulkan
perdarahan hebat.Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepalaa
dapat menyebabkan laserasi pada arteri arteri tersebut dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera arteri meningea
media yang terletak di fossa temporalis (fossa media). (Mardjono M., 2003)

Selaput arakhnoid: merupakan selaput yang tipis dan tembus pandang.


Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
sub arakhnoid yang terisi liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan oleh cedera kepala. (Mardjono M., 2003)

Piamater: melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah


membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyrus dan
masuk kedalam sulcus yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumya. Arteri arteri yang masuk kedalam
subtansi otak juga diliputi oleh piamater. (Mardjono M., 2003)

b.

Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa 14
kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari thalamus dan
hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon (midbrain) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan
serebelum. (Mardjono M., 2003)
C. Aspek Fisiologis Cedera Kepala
1. Tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi yang
selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan
konsekuensi yang menggangu fungsi otak.Tekanan intrakranial normal kira kira
10 mmHg, Tekanan intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak
normal.Semakin tinggi tekanan intrakranial setelah cedera kepalaa, semakin buruk
prognosisnya.(Markam S, 2005)
2. Hukum Monroe Kellie
Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar
dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic) adalah sama
dengan jumlah total volume komponen komponennya yaitu volume jaringan
otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (V bl).
(Markam S, 2005)
Vic = V br + V csf + V bl.
Volume tekanan intrakranial pada dewasa 1500 mL, karena volume
intrakranial tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapa tindakan
5

kompensasi terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial. (Markam S, 2005)


3.

Tekanan Perfusi otak


Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata rata

(mean arteral pressure) dengan tekanan intrakranial. Pada otak manusia normal
tekanan perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 150 mmHg, hal ini
dipengaruhi karena autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak kurang dari
50 mmHg atau lebih besar dari 150 mmHg akan memberikan prognosa yang
buruk bagi penderita. (Markam S, 2005)
4.

Aliran darah otak


Aliran darah otak normal kira kira 50 ml/100 gr jaringan otak

permenit.Bila aliran darah otak menurun sampai 20 25 ml/100 gr/menit EEG


(sebagai alat pemantau fungsi otak melalui sinyal yang dipancarkan) akan
menghilang. Apabila aliran darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit maka sel sel
otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap. (Markam S, 2005)
C. Patofisiologi Cedera Kepala

Kerusakan otak pada penderita cedera kepalaa dapat terjadi dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder.Cedera primer merupakan awal cedera otak
sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras.(Markam S, 2005)
Mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak pada
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi terjadi akibat kepalaa
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tualng tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).Cedera
sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi. (Markam S, 2005)

D. Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya. (Mardjono M., 2003)
1. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanisme cedera kepalaa dibagi atas cedera kepala tertutup
dan cedera kepala terbuka.Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.Sedangkan
untuk cedera kepala terbuka disebabkan oleh peluru atau tusukan.
M., 2003)

(Mardjono

2. Beratnya cedera kepala


Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan metode GCS.
Glasgow Coma Scale merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai
acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien
serta memiliki peranan penting untuk memprediksi resiko kematian diawal
trauma. Glasgow Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon
membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah
skor dimasing masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum
3, adalah sebagai berikut: (Mardjono M., 2003)

Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepalaa berat.


(Koma sopor)

Cedera kepalaa sedang memiliki nilai GCS 9 13. (Somnolen)

Cedera kepalaa ringan dengan nilai GCS 14 15. (Composmentis)

3. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial. (Mardjono M., 2003)
a. Fraktur tulang tengkorak
Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak (basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula
terbuka atau tertutup. (Mardjono M., 2003)

Fraktur Linier: Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada


tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan
radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.

Fraktur Distase: Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi


pemisahan sutura kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3 tahun.

Fraktur Comminuted: Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur.


Ketiga fraktur di atas tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika
disertai lesi intrakranial seperti epidural hematoma, subdural hematoma,
dll. Jika disertai dengan laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debrimen
yang baik dan luka dapat segera ditutup dengan penjahitan.

Fraktur Depressed: Fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur
terletak di bawah level anatomi normal dari tabula interna tulang
tengkorak sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi
benturan relatif besar terhadap area yang relatif kecil. Misalnya benturan
oleh martil, kayu, batu, pipa besi.

Fraktur Konveksitas: Fraktur yang terjadi pada tulang tulang yang


membentuk koveksitas (kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os.
Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis.

Fraktur Basis Cranii: Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk
dasar tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian. Fraktur pada
masing masing fossa akan memberikan manifestasi yang berbeda.
o Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior: Bagian posterior dari fossa
anterior dibatasi oleh os. Sphenoid, processus clinoidalis anterior
dan jugum sphenoidalis. Manifestasi klinisnya yaitu Ecchymosis
periorbita, bisa bilateral dan disebut brill hematoma atau racoon
eyes. Eccymosis ini kadang kadang sulit dibedakan dengan
ecchymosis yang timbul karena cedera langsung.
o Fraktur Basis Cranii Fossa Media: Bagian anterior langsung
berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior
dibatasi oleh pyramida petrosus os. Temporalis, processus

clinoidalis posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinisnya


adalah: Ecchymosis pada mastoid (battles sign); otorrhea,
pembuktiannya sama dengan rhinorahea; hemotympanum

jika

membran tympani robek maka dijumpai darah pada kanalis


auricularis eksterna; kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau
nervus vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis
frakturnya transversal terhadap aksis pyramida petrosus. Jenis ini
hanya 25 %, sedangkan sisanya longitudinal terhadap aksis
pyramida petrosus; Carotid Cavernosus Fistula (CCF) yang
ditandai

dengan

chymosis,

sakit

kepalaa,

adanya

bruit,

exopthalmus yang berdenyut mengikuti irama jantung, gangguan


visus dan gangguan gerakan bola mata.
o Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior: Merupakan dasar dari
kompartemen infratentorial. Adanya fraktur pada daerah ini harus
waspada terhadap kemungkinan timbulnya hematoma. Sering tidak
disertai dengan gejala dan tanda yang jelas, tetapi dapat segera
menimbulkan kematian karena penekanan terhadap batang otak.
Fraktur ini kadang kadang juga menyebabkan memar pada
mastoid (battles sign). Beberapa hal yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan penanganan fraktur basis cranii antara lain:
lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS, biasanya
membaik secara spontan; Tidak perlu memberikan antibiotika
profilaksis karena biasanya antibiotika tidak efektif mencegah
terjadinya meningitis serta akan menseleksi organisme yang
resisten terhadap antibiotika yang diberikan, jika terjadi meningitis
atau infeksi intrakranial lainnya, akan sulit diatasi. Jika setelah 2
minggu kebocoran LCS tidak berhenti atau berkurang serta dinilai
bahwa usaha atau penatalaksanaan secara konservatif gagal, maka
dilakukan operasi untuk memperbaiki dura yang bocor tersebut
oleh ahli bedah saraf.

10

b.

Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau


kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan.Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusio (hematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difus menunjukan koma di klinis. (Mardjono
M., 2003)

Hematoma epidural: Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang


kepalaa yang dapat merobek pembuluh darah terutama arteri meningea
media yang masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara duramater dan tulang di permukaan os. Temporal. Pada bayi
hematom epidural ini dapat dilihat bila ubun ubun bayi mengembung
setelah trauma terjadi.Robeknya arteri meningea media menimbulkan
hematom epidural dan desakan oleh hematom memisahkan duramater dari
tulang kepalaa sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat
menekan batang otak hingga terjadi kematian.Penderita akan mengalami
sakit kepalaa, mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran
setelah trauma. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata
anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar, terjadi pula kenaikan tekanan
darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma
yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
ahkirnya kedua pupil tidak menunjukan reaksi terhadap cahaya.Ciri khas
hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak waktu antara saat
terjadinya trauma dan munculnya tanda hematom epidural. Jeda waktu
yang terjadi selama beberapa menit hingga jam. Diagnosis didasarkan
pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen
kepalaa. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila
sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar, garis fraktur
dapat menunjukan lokasi hematom. (Mardjono M., 2003)

11

Hematom subdural (SDH): Hematom subdural (SDH) adalah perdarahan


yang terjadi diantara duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 % hematom
subdural terjadi pada kasus cedera kepalaa berat. Hematom tesebut terjadi
akibat robeknya vena penghubung (bridging veins) antara korteks serebri
dan sinus dura. Hematom tersebut biasanya terjadi pada kasus cedera
karena pukulan. Hematom subdural terbagi menjadi akut dan kronis.
(Mardjono M., 2003)
o Hematom subdural akut: Hematom subdural akut biasanya
berkaitan dengan riwayat trauma yang jelas dan yang paling sering
terjadi pada regio frontoparietal.
o Hematom subdural kronis: Terjadi pada riwayat trauma yang tidak
jelas, hematom tersebut sering berkaitan dengan atrofi otak, yang
pada akhirnya meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah
tengkorak sehingga vena penghubung menjadi semakin mudah
robek.

Hematom intraserebral: Hematom intraserebral adalah perdarahan yang


terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya
laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya pula
pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang
paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup).
Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan.Penyebab yang paling sering dari hematom
intraserebral adalah penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering
terjadi pada ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum dan
korteks serebral. Hematom yang mengisi ruang menyebabkan kenaikan
intrakranial. Sebagian besar perdarahan intraserebral yang terjadi pada
penderita hipertensi, akibat dari ruptur pada arteriol kecil, terutama pada
cabang lentikulostriata dari arteri serebral media. Kontusi serebral murni

12

biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi otak hampir selalu berkaitan


dengan hematom subdural akut. Sebagian besar kontusi terjadi pada lobus
frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi dan hematom
intarserebral traumatika tidak jelas batasnya. Bagaimana pun, terjadi zona
peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematom
intraserebral dalam beberapa hari. (Mardjono M., 2003)

Kontusio Serebral: Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau


kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah
yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah
lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisi lainya `(countercoup). Defisit neurologis
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas
perdarahan. (Mardjono M., 2003)
Edema Serebral: Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan
gejala patologis pada penderita cedera kepalaa dan terjadi akibat
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan intrakranial. Terdapat dua
terminologi yaitu edema dan swelling yang sering diartikan sama yaitu
bengkak. Edema otak menadakan adanya penambahan kandungan air
13

didalam jariungan otak, sedangkan brain swelling merupakan keadaan


yang

diakibatkan hiperemia

dan dilatasi

sistem serebrovaskular.

(Mardjono M., 2003)


Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI): Cedera ini
terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus neuron akibat dari
gerak putar otak di dalam tengkorak kepalaa. Keadaan ini sering terjadi
tanpa adanya fraktur tulang tengkorak dan kontusio serebral.Cedera
aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera kepalaa
fatal.Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera
kepalaa berat, dua komponen penting yang ditemukan , yaitu:
(Anderson S. McCarty L, 2005)
o Lesi perdarahan kecil dalam korpus kalosum dan kuadran
dorsolateral batang otak.
o Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola retraksi aksonal.

14

E. Pemeriksaan Neurologis Cedera Kepala


Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap
penderita cedera kepalaa setelah resusitasi meliputi: (Anderson S.
McCarty L, 2005)

Tingkat kesadaran.

Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial.

Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar.

Reaksi motorik terbaik.

Pola pernapasan.

15

Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam
perkiraan prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post
resusitasi, karena penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan
sistemik yang belum begitu stabil. (Ekayuda I,2006)

Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus
dilakukan secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita
membaik atau memburuk.Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik
merupakan komponen yang paling objektif.Komponen yang menjadi
tolak ukur penilaian adalah reaksi (respons) terbaik. Tingkat kesadaran
tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisfer otak,
tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat,
atau juga ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang
otak. (Ekayuda I,2006)

Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial.


Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom,
yaitu

simpatis

dan

parasimpatis.

Sistem

simpatis

mulai

dari

hipotalamus ,melalui batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke


thorakal medula spinalis pada bagian intermediolateral. Sedangkan
aferen parasimpatis berawal dari sel ganglion retina, mengikuti nervus
dan traktus optikus hingga mencapai pretektum. Bagian eferen akan
mengikuti saraf okulomotorius ke orbita. Dua alasan penting penilaian
pupil pada cedera kepalaa: (Ekayuda I,2006)
o Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara
anatomis terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan
reaksi pupil.

16

o Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap


gangguan metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya
merupakan tanda penting untuk membedakan koma metabolik dan
koma struktural.
Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga
penilaian langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada
mata yang langsung diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak
langsung pada mata kontralateral dari mata yang diberi rangsang cahaya.
Bandingkan antara yang kanan dengan kiri isokor atau tidak. (Ekayuda
I,2006)

Reaksi terhadap berbagai rangsangan dari luar


Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai
tingkat kesadaran. Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu
reaksi dari penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan
kesadaran.Pada tahap awal dapat dicoba dengan rangsangan suara pada
berbagai tingkat intensitas, jika tidak memberikan reaksi, dilanjutkan
dengan goncangan ringan (light shaking), kemudian dengan rangsang
nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang diberikan antara lain:
-

Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang refleks


hammer, atau benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada
kuku bagian proksimal

Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum

Dengan melakukan penekanan tumpul pada supraorbita ridge


(Anderson S. McCarty L, 2005)

Reaksi motorik terbaik

17

Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri yang
bekerja sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal lainnya.
Penilaian reaksi motorik terbaik sangat penting, karena memiliki nilai
objektif yang tinggi. Tingkat reaksi motorik dibagi atas: (Anderson S.
McCarty L, 2005)
a. Gerakan bertujuian jelas (purposeful movement)
b. Gerakan bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement)
c. Postur fleksor (dekortisasi)
d. Postur ekstensor (deserebrasi)
e. Diffuse musle flaccidity
Reaksi okulosefalik (Dolls head eye phenomenon).Pemeriksaan
nervus trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes
kapas pada kornea, dilakukan dari samping. (Anderson S. McCarty L,
2005)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepalaa
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus(tembak/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala
yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.( Ekayuda I, 2006)
2.

CT Scan
Indikasi CT Scan adalah : ( Ekayuda I, 2006)

18

o Nyeri kepalaa menetap atau muntah muntah yang tidak


menghilang

setelah

pemberian

obat

obatan

analgesia/antimuntah.
o Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
o Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor faktor
ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat
terjadi karena misal syok, febris, dll).
o Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
o Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
o Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik
dari GCS.
( Ekayuda I, 2006)
3. Modalitas pemeriksaan penunjang yang lain
o MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa
kontas radioaktif.
o Cerebral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral,
seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedem,
perdarahan dan trauma.
o Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang
patologis. ( Ekayuda I, 2006)
F. Penatalaksanaan

19

Penatalaksanaan awal penderita cedera kepalaa pada dasarnya memiliki


tujuan yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepalaa sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepalaa
tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepalaa ringan, sedang,
berat.( Hafid A, 2004)
Prinsip

penanganan

awal

meliputi

survei

primer

dan

survei

sekunder.Dalam penatalaksanaan survei primer hal hal yang diprioristaskan


antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi.Pada penderita cedera kepalaa berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder. ( Hafid A, 2004)
Tidak semua pasien cedera kepalaa perlu dirawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:( Hafid A, 2004)
o Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam).
o Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
o Penurunan tingkat kesadaran.
o Nyeri kepalaa sedang hingga berat.
o Fraktur tengkorak.
o Kebocoran CSS, rhinorrhea.
o Cedera penyerta yang jelas.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepalaa dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan.Hal hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, dan antikonvulsan.( Hafid A, 2004)

20

o Penggunaan Manitol pada cedera kepalaa.


Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial.
Efek tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi
dan pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga
mekanisme kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan tekanan
darah, memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi serebral.
Manitol dapat menurunkan kandungan air pada jaringan otak yang
edema.Dosis manitol, sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan
20 persen. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5/kgBB dalam 10-20 menit,
dilakukan setip 6 jam. ( Hafid A, 2004)
Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan
pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi transtentorial
atau adanya perburukan pada keadaan neurologis yang disebakan oleh
keadaan sistemik seperti hipovolemia, dll.Pilihan utama untuk
resusitasi awal pasien cedera kepalaa yang disertai dengan hipotensi,
dikenal dengan small volume resuscitation fluid.( Hafid A, 2004)

o Kraniotomi
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepalaa memerlukan
tindakan operatif. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang
tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi tekanan intrakranial,
mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. Indikasi
tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebaga
berikut : ( Hafid A, 2004)
-

Pengankatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.

Mengurangi tekanan intrakranial

Mengevakuasi bekuan darah


21

Mengontrol bekuan darah, dan

Pembenahan organ organ intrakranial.

Tumor otak.

Perdarahan (hemorrhage)

Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysm)

Peradangan dalam otak

Apabila terjadi trauma pada tengkorak, indikasi untuk tindakan operatif


ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari
lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:( Hafid A, 2004)

Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah


supratentorial atau lebih 20 ml di daerah infratentorial.

Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis.

Tanda fokal neurologis semakin berat.

Terjadi sakit kepalaa, mual dan muntah yang semakin berat.

G. Prognosis
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepalaa sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak anak biasanya memiliki
daya pemulihan yang baik.Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepalaa.Selain
itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepalaa pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.( Hafid A, 2004)

22

23

24

25

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

ANAMNESIS
B. Identitas Penderita
Nama

: Nn. Z

Umur

: 21 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Bogor

Tanggal masuk

: 01 Oktober 2015

Tanggal pemeriksaan

: 01 Oktober 2015

No RM

: 01-31-55-62

C. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran post KLL.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke RSDM dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 60
jam SMRS setelah terjatuh dari sepeda motor. Pasien jatuh dengan posisi
kepala terbentur aspal, saat terjatuh pasien tidak mengenakan helm. .
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat cedera kepala sebelumnya : disangkal
Riwayat diabetes mellitus

: disangkal

Riwayat alergi obat

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat diabetes mellitus

: disangkal

Riwayat alergi obat

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

5. Riwayat Kebiasaan

26

Merokok

: disangkal

Minuman beralkohol

: disangkal

Ketergantungan obat

: disangkal

6. Riwayat asupan gizi


Pasien makan makanan keluarga satu hari tiga kali makan dengan nasi,
lauk dan sayur.
Kesan: asupan gizi baik.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat dengan BPJS.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway

: Terpasang oropharyngeal airway

Breathing

: Inspeksi

: Pengembangan dada kanan=kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler (+/+), ST (-/-)

Circulation : Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 86 x/menit,


RR 22x/menit.
Disability

: GCS: E1V1M2, pupil midriasis ukuran 4 mm/ 4 mm

Exposure

B. Secondary Survey
Status gizi

: Bera t badan : 53 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI

: 20.7 (normoweight)

Kulit

: Sawo matang, turgor menurun (-), lembab (-), ikterik(-)

Kepala

: terdapat hematom R. occipitalis

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga

: Sekret (-/+), nyeri tekan tragus (-), darah (+)

Hidung

: Epistaksis (+/+), nafas cuping hidung (-), sekret (-)

Mulut

: Sianosis (-), mukosa basah (+)

27

Leher

: Trakhea

di

tengah,

simetris,

massa/pembesaran

limfonodi (-), JVP tidak meningkat, terpasang colar


brace
Thoraks

: Bentuk normothoraks, retraksi dinding dada (-)


Cor

: Inspeksi
Palpasi

: Ictus cordis tidak tampak


: Ictus cordis teraba di SIC IV linea
midclavicularis, tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi

: BJ I-II int normal, reguler, bising (-)

Pulmo : Inspeksi

Abdomen

: Pengembangan dada kanan=kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-)

: Dinding perut // dinding dada, supel, timpani, hepar dan


lien tidak teraba

Ekstremitas

: Oedem

- Akral Dingin

28

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 24 September 2015
PEMERIKSAAN
Hematologi rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Golongan
Hemostasis
PT
APTT
INR
Hematologi Klinik
GDS
Ureum
Creatinin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
HbsAg

IV.

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

11.9
36
26.7
281
3.96
A

g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul

12.0-15.6
33-45
4.5-11.0
150-450
4.10-5.10

12.5
31.4
0.990

detik
detik

10.0-15.0
20.0-40.0

221
19
0,7

mg/dl
mg/dl
mg/dl

60-140
<50
0,6-1,1

139
3.5
109

Mmol/L
Mmol/L
Mmol/L

136-145
3.3-5.1
98-106

Nonreactive

DIAGNOSIS
Cedera Otak Berat suspect ICH, EDH dd SAH

V.

PLAN
Rontgen thorax AP/Lat
Rontgen regio cervical
MSCT kepala

VI.

TATA LAKSANA
-

Pasang endotracheal tube

Head up 30 derajat

IVFD NaCl 0.9% 20 tpm

Pasang NGT

Pasang kateter

29

VII.

Pasang collar brace

Injeksi asam tranexamat 250 mg/12 jam

injeksi ketorolac 30 mg/8 jam

Injeksi citicolin 250 mg/12 jam

Injeksi metoclopramid 10 mg/8 jam

Injeksi phenitoin 1000 mg bolus

PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam

: Dubia ad malam
: Dubia ad malam

Ad Sanationam

: Dubia ad malam

30

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Nn.Z usia 21 tahun mengalami cedera kepala setelah mengalami
kecelakaan. Hal tersebut didasari oleh definisi cidera kepala yaitu trauma mekanik
pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian
dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, yang dapat bersifat temporer atau permanent.
Pada pasien ini mengalami cidera kepala berat dengan GCS 112, yakni
sesuai dengan teori yang telah disampaikan bahwa cedera kepala berat apabila
GCS 3-8 dimana kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana
walaupun status kardiopulmonernya telah distabilkan. Cedera mempunyai risiko
morbiditas sangat tinggi.
Saat pasien datang dilakukan primary survey pasien Pada kondisi
unconsciousness dengan airway dipasang orofaringeal gudel dan diberikan
oksigenisasi untuk mencegah secondary brain damage. Hal ini sesuai dengan
penatalaksanaan airway dan breathing yaitu sering terjadinya henti nafas
sementara, penyebab kematian karena terjadi apnea yang berlangsung lama.
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penderita cedera kepala berat dengan
pemberian oksigen 100%. Tindakan hiperventilasi dilakukan secara hati-hati
untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK pada pasien yang
telah mengalami dilatasi pupil dan penurunan kesadaran. PCO2 harus
dipertahankan antara 25-35 mmHG.
Prinsip penanganan sirkulasi adalah dengan mencegah terjadinya
hipotensi. USG/lavase peritoneal diagnostic untuk menentukan adanya akut
abdomen. Setelah pasien stabil pada ABC dilakukan secondary survey serta
penderita cedera kepala perlu dikonsulkan pada dokter spesialis bedah saraf.
Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan imaging sehingga belum
dapat ditentukan diagnosis kerja. Pada pasien ini didiagnosis sementara dengan

31

cedera otak berat dengan suspect intracranial hemoragik dd epidural hemoragik dd


subdural hemoragik.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Anestesiologi.Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 3: 66-70.
Calvey TN, Williams NE., 1982. Principles and practice of pharmacology for
anaesthetists.London; Blackwell Scientific Publications; 159-84.
Campbell., 1995. Anesthesia. Blackwell scientific publication.
E.B.C, et al., 2008.Anestesiologi.Edisi 10. Jakarta: EGC.
Fendrick, A.M., Pan, D.E., and Johnson, G.E., 2008.OTC Analgesics and Drug
Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary Care2
(2).
Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12. McGrawHill Companies. New York. p 245-259
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2007. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis
Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 9.
Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010.Buku Ajar Ilmu
Anestesidan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed.
New York: Mcgraw-Hill Companies.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta, 2005, 1014-10
Ekayuda I., Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2006, 359-366
Hafid A, Subarachnoid Hemoatoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong
W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Klinis
Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

32

Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,


Gajah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005, 314

33

Вам также может понравиться