Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Definisi
Sindroma koronaria akut adalah gabungan gejala klinik yang menadakan iskemia
miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST
segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi
segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina
pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan
erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum
yang mengalami nekrosis.
3. Sistem otoregilasi
Otot polos arteriol mampu melakukan adaptasi, berkontraksi (vasokontriksi)
maupun berdilatasi (vasodilatasi) baik oleh rangsangan metabolis maupun adanya
zat-zat lain seperti adenin ino K+, prostaglandin dan kinin. Demikian pula oleh
karena adanya regulasi syaraf, baik yang bersifat alfa dan beta adrenergik,
maupun yang bersifat tekanan (baroreseptor).
4. Tekanan perfusi
Meskipun aliran darah ke dalam arteri koroner dapat terjadi, tetapi perpusi ke
dalam jaringan membutuhkan tekanan tertentu, yang disebut tekanan perfusi.
Tekanan perfusi dipengaruhi
Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya SKA dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu
fakor resiko yang dapat di modifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, hipertensi, dan obesitas.
tekanan
darah
sistemik
meningkatkan
resistensi
terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah.
Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan
tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan
hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung.
Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan
oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,
akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark.
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekana tinggi yang lama (endothelial injury).
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.
Faktor Pencetus
1. Hipertensi
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekanan tinggi yang lama. Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.
2. Anemia
Adnya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk
ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk
meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung
meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan
gangguan pada jantung.
3. Kerja fisik/olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen
tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa
terjadi infark
Patogenesis
Sebagian besar SKA terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis sehingga terbentuk
thrombus di atas ateroma. Thrombus tersebut secara akut menyumbat lumen arteri
koroner.
Ateroskerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan
pengerasan dari dinding pembuluh dara yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang
berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis
bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat
mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma
iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut
merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.
Aterosklerosis merupakan proses inflamasi. Secara patologislesi berasal dari
disfungsi dan jejas endotel yang berkembang menjadi fatty streak kemudian menjadi plak
fibrosis dan akhirnya terbentuk lesi yang kompleks. Aterosklerosis dimulai dengan jejas
terhadap sel endotel yang melapisi dinding arteri. Penyebab yang mungkin dari jejas
endotel tersebut adalah tersebut adalah faktor resiko yaitu merokok, hipertensi, diabetes
mellitus, peningkatan LDL, HDL yang kurang, dan hiperhomosisteinemia. Penyebab lain
dapat berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi
insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. Ketika jejas terjadi,
mengakibatkan disfungsi endotel dan peradangan yang diikuti proses patofisiologi
sebagai berikut :
1. Sel endotel yang mengalami jejas terjadi peradangan dan tidak dapat mensintesis
jumlah normal dari antitrombokin dan sitokin vasodilatasi.
2. Terlepasnya berbagai sitokin proinflamasi termasuk TNF alfa dan interferon gamma,
IL-1, oksigen radikal dan heat shock protein.
3. TYerlepasnya angiotensisn II, fibroblast growth factor, dan PDGF yang merangsang
proliferasi sel otot polos pada dinding pembuluh darah.
4. Perlekatan makrofag pada endotel yang mengalami jejas dengan bantuan molekul
adhesi, misalnya VCAM-1.
5. Makrofag tersebut kemudian melepas enzim dan radikal bebas dan menyebabkan
stress oksidatif, LDL teroksidasi, juga jejas lebih lanjut pada dinding pembuluh darah.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi
dengan
mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang
dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. LDL
teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot
polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi mauk ke dalam tunika intima
dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL
disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk
jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh
darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi
radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan
imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian terjadi proliferasi
sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos
tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth
factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan
menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul
gejala klinis (angina atau claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala
klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi
inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga
menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan
berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur.
Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung
menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi
dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture)
terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple,
sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika
rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade
pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut
dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.
10
11
Stable plaque
Stable angina
Trancient
ischemia
Unstable angina
Stunned myocytes
Hibernating myocytes
Myocardial remodeling
Sustained
ischemia
Myocardial
infarction
Myocardial
inflammation
and necrosis
Unstable angina
Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan
kebutuhan oksigen jantung (cth karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya
suplai oksigen terjadi karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh
darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus. Pada banyak
pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih banyak
12
13
Infark miokard
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi
nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas
plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti
yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI
trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang
lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan
kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal
yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada
langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka
infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi
14
15
Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma
dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid)
yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE
meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan
sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi
insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah
72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam
patogenesis MI, dengan cara yaitu:
1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga
meningkatkan
beban
jantung,
akibatnya
memperparah
penurunan
peningkatan
kadar
katekolamin
dan
memperparah
vasospasme koroner.
Kematian selular.
merupakan jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan
nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan
beberapa enzim intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam
ruang intersisisal. Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh
darah limfe ke pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.
16
2-4 hari
4-10 hari
10-14 hari
6 minggu
17
18
nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil
scavenger. Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya
katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa
dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin yang
meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada
10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan
terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat
dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan
terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan
parut yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium
yang sehat.
19
No ST Elevation
Unstable
Angina
ST Elevation
Non-STEMI
Non-Q wave MI
Q wave MI
20
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Untuk Angina Tdak Stabil dan NSTEMI
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Untuk Angina Tidak Stabil dan NSTEMI
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan
keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma,
yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun
atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih
lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh
makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas,
ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di belakang sternum,
dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk
dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri
atau kedua lengan. Lama nyeri > 10menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau
pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina
yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih
lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai
muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
diaforesis, kulit yang dingin dan pucat, sinus takikardia, suara jantung ketiga, S3 atau
keempat (S4), basilar rales, dan terkadang hipotensi, menyerupai hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan pasien dengan NSTEMI yang luas.
21
Beratnya angina :
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya
nyeri dada.
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi
tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Klas III. Adanya serangan angina dalam waktu istirahat dan terjadinya secara akut
baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan Klinis:
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, ineksi lain atau
febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor extra cardiac.
Evaluasi Diagnosis
Langkah pertama dalam mengevaluasi pasien dengan kemungkinan UA/NSTEMI
adalah dari gjala yang muncul. Panduan ACC/AHA 2002 menyebutkan di antara
beberapa faktor yang berhubungan dengan sesuatu yang mungkin merupakan SKA
meliputi riwayat klinis yang khas dengan adanya tidak kenyamanan karena iskemik,
riwayat adanya penyakit arteri koroner yang di tetapkan dengan angigraphy, MI
sebelumnya, congestive heart failure, perubahan EKG yang baru terjadi, atau
22
peningkatan penanda biologis jantung. Empat hal yang menjadi major diagnostic tools
untuk mendiagnosa UA/NSTEMI adalah- riwayat klinis, EKG, marker jantung dan tes
stress.
Pemeriksaan Penunjang
i) Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko
pasien angina tak stabil. Pada UA, depresi segmen ST, elevasi segmen ST yang
sementara, dan atau inversi gelombang T yang terjadi pada 30-50% pasien tergantung
pada tingkat keparahan manifestasi klinisnya. Pada pasien dengan gejala klinis UA,
adanya deviasi segmen ST yang baru, bahkan jika hanya 0.05mV, merupakan alat untuk
memprediksi yang penting tentang adanya adverse outcome. Pada Thrombolysis in
Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak
0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk. Perubahan gelombang T sensitif
untuk iskemik tetapi kurang spesifik,adalh berupa inversi gelombang T yang dalam (
0.3mV) jika tidak baru muncul.
23
Stratifikasi Risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan
penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan
terapi awal yang segera. Beberapa pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.
Skor TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi
risiko, dan angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini
berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada
24
empat penelitian dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi
manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan low molecular weight
heparin (LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa
receptor blocker tirofiban versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel
menunjukkan penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam
memprediksi keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.
pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak
ada serangan
Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu
istirahat
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan,
maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko
rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi
yang
membutuhkan
tindakan
invasif
segera,
dengan
kemungkinan
tindakan
revaskularisasi.
26
Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari
jantung atau diluar jantung. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard
sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam
beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena
gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
27
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
28
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi
aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus
dan usia lanjut.
Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau
29
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di UGD. Pemeiksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti
kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara
kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard
gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika
obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak
30
kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau
NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural
digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan
infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG
dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q
atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.
CKMB: menigkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat
pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Mioglobinv: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam
4-8 jam.
Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
32
86000
23500
33000
3-12jam
3-12jam
3-12jam
24jam
24jam
12jam-2hari
48-72jam
5-10hari
5-14hari
Myoglobin
CKMB Tissue
Isoform
17800
1-4jam
6-7jam
24hari
86000
2-6jam
18jam
tidak diketahui
86000
1-6jam
12jam
3jam
CKMM Tissue
Isoform
Penatalaksanaan
1. Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina) dan NSTEMI
a. Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan
diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau
petidin perlu ada pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah
mendapat nitrogliserin. Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada
setiap pasien NSTEMI yaitu:
Terapi antiiskemia
Terapi antiplatelet/antikoagulan
b. Terapi Medikamentosa
Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress
dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi
pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia
terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 14mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.
34
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri
dada iskemia. Jika nyeri menetap stelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan interval
5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit).
Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700
pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan risiko infark sebesar
13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi
seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol,
metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang
serupa. Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit.
Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar : golongan dihidropiridin
seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua
golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.
Golongan
dihidropiridin
mempunyai
efek
vasodilatasi
lebih
kuat
dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif
juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark
pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang,
pengurangan
afterload
memberikan
keuntungan
pada
golongan
nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung normal. Antagonis kalsium yang
35
mengurangi frekuensi jantung seperti diltiazem dan verapamil pada pasien dengan nyeri
dada persisten.
Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan beta-bloker.
Terapi antiplatelet
Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah
dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin
menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan seumur hidup dengan dosis awal 160mgper hari dan dosis selanjutnya 80-325
mg per hari. Sindrom resistensi aspirin muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi
dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet
dan/atau kegagalan untuk memperpanjang waktu pendarahan, atau perkembangan
kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien dengan resisitensi aspirin
mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara acak
belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk memberikan terapi
klopidogrel, walaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan. Tiklopidin suatu derivat
tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan UA bila pasien tidak tahan
aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia,
dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman pemakaian
tiklopidin mulai ditinggal.
36
Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet.
Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular
dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian
klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel
dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan
platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya pada
UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina To
Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The reduction of Events
During Observation (CREDO). Efek bermanfaat ditemukan unutk semua subkelompok,
termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST dan kelompok yang memiliki skor risiko
TIMI rendah. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan pendarahan mayor dan
minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan pendarahan yang mengancam jiwa
(life-threatening bleeding).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat
lini pertama (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi
pendarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan
pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi:
37
Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir
pada proses agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3
macam obat golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu
siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan eptifibatid harus
diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau
pasien risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab
disetujui untuk pasien dengan UA dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan
invasif di mana PCI direncanakan dalam 12 jam.
Terapi antikoagulan
UFH (Unfractionated heparin)
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda.
Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan
faktor Xa. Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh tahun
penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana
UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Namun demikian terdapat kerugian pada
penggunaan UFH. Produksi antbodi antiheparin mungkin berhubungan dengan heparin-
38
39
dini, dimana pasien mendapat terapi anti iskemik dan anti trombotik diikuti dengan
watchful waiting. Arteriografi hanya dilakukan jika terdapat nyeri dada pada waktu
istirahat, perubahan pada ST segmen atau adanya bukti iskemia pada stress test.
Tabel 3 : Rekomendasi Klas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini
angina rekuren saat intirahat / aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat
terapi
Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien
yang hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tingi sebaiknya segera menjalani
arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomi revaskularisasi dapat dilakukan.
Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan
risiko tinggi.
40
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan dalam tatalaksana IMA dengan
elevasi ST adalah dari ACC/AHA 2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada
(khususnya di bidang kardiologi intervensi).
41
Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih.
C. Tatalaksana Umum
1.
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama.
2.
Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dnegan dosis 0.4mg dan dapat
diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika
42
nyeri dada terus berlansung dapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan
untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat.
3.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4mg
dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20mg. Efek
samping yang perlu diwaspadai adalh konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling venayang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Efek ini dapat diatasi dngan elevasi tungkai dan pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0.9%.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2
dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan
EMG. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.
43
Penyekat Beta
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5mg setiap 2-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24detik
dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama
48jam, dan dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif
bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang
teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
panjang yang lebih baik.
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan
dalam 30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu:
- Streptokinase (SK)
44
D. Terapi Farmakologis
1. Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa trombosis mempunyai peran penting
dalam patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah
menurunkan tedensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar
pada STEMI. Dosis yang direkomendasi adalah bolus 60U/kg (maksimum 4000U)
dilanjutkan dengan infus inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000U/jam). Activated
partial thromboplastin time selama pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
45
2. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera
jika obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan
untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv membaiki hubungan serta
kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
3. ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus
diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus
dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.
46
Komplikasi STEMI
1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara
klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri
mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya terjadi
pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan
elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi
dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering
terjadi gagal jantung dengan prognosis yang teruk
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
roentgen sering dijumpai kongesti paru.
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%
ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.
47
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam
mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi
ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan
hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI,
48
Prognosis
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca
IMA:
Klas
I
II
III
IV
Definisi
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
+ S3 dan / atau ronkhi basah
Edema paru
Syok kardiogenik
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA
Mortalitas (%)
6
17
30-40
60-80
DAFTAR PUSTAKA
49
50