Вы находитесь на странице: 1из 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2001). World Health
Organization (WHO) tahun 2012 menyebutkan, jumlah penderita DM di dunia saat
ini mencapai lebih dari 230 juta jiwa. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat
menjadi 350 juta jiwa pada 2025 karena setiap tahunnya ada sekitar enam penderita
DM baru di dunia. Indonesia berada pada peringkat keempat dengan jumlah
penderita DM terbanyak di dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat.
Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2013 Indonesia
menempati urutan ke tujuh di dunia dengan jumlah penderita DM yang berumur 2079 tahun mencapai 8,5 juta jiwa. Hasil riskesdas tahun 2007 prevalensi DM adalah
1,1% dan pada riskesdas 2013 meningkat menjadi 2,1%. Di antara tipe DM yang
ada, DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%)
(Witasari, 2009 dalam Sholihatul, dkk, 2015).
Teknik relaksasi merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dapat
mengurangi kecemasan dan secara otomatis dapat menurunkan kadar gula darah.
Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur dan menurunkan
aktivitas sistem saraf simpatis. Stres tidak hanya dapat meningkatkan kadar gula
darah secara fisiologis. Pasien dalam keadaan stres juga dapat mengubah pola
kebiasaannya yang baik, terutama dalam hal makan, latihan dan pengobatan
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2008 dalam Asep, dkk, 2008).
Tekhnik relaksasi yang dapat dilakukan adalah Progressive Muscle Relaxation
(PMR) yang merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan suatu relaksasi pada otot
melalui pemberian tegangan pada suatu kelompok otot dan menghentikan tegangan
tersebut kemudian memusatkan perhatian untuk mendapatkan sensasi rileks.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Terapi dengan teknik relaksasi selama ini belum diterapkan pada pasien DM
tipe 2. Penanganan pasien DM tipe 2 di pelayanan kesehatan umumnya hanya
1

dengan terapi konvensional. Perawat belum memberikan terapi relaksasi, padahal


relaksasi tersebut dapat setara maknanya dengan obat penurunan gula darah baik
oral maupun insulin yang disuntikkan. Terapi relaksasi dapat mempengaruhi
hipotalamus untuk mengatur dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stres
tidak hanya dapat meningkatkan kadar gula darah secara fisiologis. Pasien dalam
keadaan stres juga dapat mengubah pola kebiasaannya yang baik, terutama dalam
hal makan, latihan dan pengobatan. pada ruang rawat inap di RSUD Kota
Tangerang, jumlah penderita DM termasuk banyak, ini terbukti dalam 2 minggu
survei kami di ruangan adanya 8 pasien penderita DM Tipe 2 yang dirawat. Rata-rata
pasien hanya diberikan terapi konvensional berupa insulin, padahal relaksasi dapat
mempengaruhi kadar gula darah pada pasien DM.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin membuktikan pengaruh
relaksasi Progressive Muscle Relaxation (PMR) terhadap penurunan kadar gula
darah pada pasien DM tipe 2 di ruang rawat inap Interna 1 RSUD Kota Tangerang.
1.3. TUJUAN
1.3.1. TUJUAN UMUM
Tujuan ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh

relaksasi Progressive

Muscle Relaxation (PMR) terhadap penurunan kadar gula darah pada pasien DM
tipe 2 di ruang rawat inap Interna 1 RSUD Kota Tangerang.
1.3.2. TUJUAN KHUSUS
1. Mengetahui kadar gula darah sebelum dilakukan relaksasi Progressive Muscle
Relaxation (PMR)
2. Mengetahui kadar gula darah setelah dilakukan relaksasi Progressive Muscle
Relaxation (PMR)
3. Mengajarkan relaksasi Progressive Muscle Relaxation (PMR) kepada pasien
dan keluarga secara mandiri

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. DIABETES MELITUS TIPE 2


2.1.1. DEFINISI
Diabetes Melitus adalah penyakit kronis progresif yang ditandai denagn
ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein mengarah ke hiperglikemian (kadar glukosa yang tinggi dalam darah)


(Black, 2014). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam
darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang di konsumsi. Insulin, yaitu
suatu hormon yang di produksi pancreas, mengendalikan kadar glukosa dalam
darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.
Pada Diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat
menurun, atau pancreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin.
Keadaan ini menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi
metabolik akut seperti Diabetes ketoasidosis dan syndrome hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat ikut
mrnyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit ginjal dan mata)
dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan
peningkatan insiden penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard,
stroke, dan penyakit vaskuler perifer (Smeltzer & Bare, 2001).
Diabetes melitus diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat status klinis
berbeda meliputu Tipe 1, Tipe 2, gestasional atau Tipe DM spesifik lainnya.
Diabetes melitus tipe 1 merupakan hasil destruksi autoimun sel beta, mengarah
kepada defisiensi insulin absolut. DM tipe 2 adalah akibat dari defek sekresi
insulin progresif diikuti dengan resistensi insulin, umumnya berhubungan
dengan obesitas. DM gestasional adalah DM yang didiagnosis selama hamil.
DM tipe lain mungkin sebagai akibat dai defek genetik fungsi sel beta, penyakit
pankreas, atau penyakit yang diinduksi oleh obat-obatan (Black, 2014).
Kurang lebih 90% hingga 95% penderita mengalami Diabetes tipe II yaitu
Diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes tipe II terjadi akibat penurunan
sensitivitas terhadap insulin (yang disebut resistensi insulin) atau akibat
penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes tipe II pada mulanya diatasi dengan
diet dan latihan. Jika kenaikan glukosa darah tetap terjadi, terapi diet dan latihan
tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik oral. Pada sebagian penyandang
diabetes tipe II, obat oral tidak mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga
diperlukan penyuntikan insulin. Di samping itu, sebagian penyangdang Diabetes
Tipe II yang dapat mengendalikan penyakit Diabetesnya dengan diet, latihan dan
obat hipoglikemia oral mungkin memerlukan penyuntikan insulin dalam periode
stress fisiologik akut ( seperti akut atau pembedahan ). Diabetes tipe II paling
sering ditemukan pada individu yang berusia lebih 30 tahun dan obesitas.

2.1.2. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer & Bare, (2001), mekanisme yang tepat yang menyebabkan
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum
diketahui. Faktor genetik

diperkirakan memegang peranan dalam proses

terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor reriko tertentu
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II. Faktor-faktor
pencetus diabetes tipe II adalah :
Usia (resistensi insulin cendrung meningkat pada usia diatas 65 tahun)
Obesitas
Riwayat keluarga
Kelompok etnik (di Amerika Serikat, gologan Hispanik serta penduduk asli
Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang paling besar untuk terjadinya
diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika).

2.1.3. MANIFESTASI KLINIS


Tiga gejala umum yang dialami penderita diabetes menurut Smeltzer & Bare,
(2001) yaitu :

Banyak minum
Banyak kencing
Sering lapar
Pada awalnya, kadang-kadang berat badan penderita DM naik. Penyebabnya,
kadar gula tinggi dalam tubuh. Maka perlu waspada apabila keinginan minum
yang terlalu berlebihan dan juga merasa ingin makan terus menerus. Berat
badan yang awalnya terus melejit naik dan tiba-tiba turun terus tanpa diet.
Gejala lain, adalah gangguan saraf tepi berupa kesemutan terutama dimalam
hari, gangguan penglihatan, gatal di daerah kemaluan atau lipatan kulit, bisul
atau luka yang lama sembuh, gangguan ereksi pada pria dan keputihan pada
perempuan.
Pada tahap lanjut gejala yang muncul antara lain:

Rasa haus
Berat badan turun
Badan lemas
Kesemutan

Banyak kencing
Sering lapar
Gangguan Penglihatan
Mulut kering

2.1.4. PATOFISIOLOGI
Pada dibetes tipe II terdapat dua macam masalah utama yang berhungan
dengan insulin, yaitu; resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikan dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikannya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II
disertai dengan penurunan reaksi intra sel dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Smeltzer &
Bare, 2001).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah , harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pda
penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin
yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes tipe II (Smeltzer & Bare, 2001).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akbat intoleransi glukosa yang berlngsung
lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelemahan , iritabilitas, poluria, polidipsia,
uka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur
( jika glokosanya sangat tinggi ) (Smeltzer & Bare, 2001).
Untuk sebagian besar pasien (kurang lebih 75%0, penyakit diabetes tipe II
yang dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada pasien
menjalani pemiriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi tidak
terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun adalah komplikasi
diabetes jangka panjang (misalnya kelaianan pada mata, neuropati perifer,
kelaian vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosa ditegakakan
(Smeltzer & Bare, 2001).
Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan menurunkan berat badan,
karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsur
yang penting pula untuk meningkatkan efektivitas insulin. Obat hipoglikemia
oral dapat ditambahkan jika diet dan latihan tidak berhasil mengendalikan kadar
glukosa darah. Jika penggunaan obat oral dengan dosis maksimal tidak berhasil

menurunkan kadar glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat
digunakan. Sebagian pasien memerlukan insuin untuk sementara waktu selama
periode stress fisiologik yang akut, seperti selama sakit atau pembedahan
(Smeltzer & Bare, 2001).
2.1.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Smeltzer & Bare (2001), pemeriksaan penunjang diantaranya :
Tes Toleransi Glukosa ( TTG ) memanjang ( lebih besar dari 200 mg/dL).
Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar gula

darah meningkat dibawah kondisi stres.


Gula darah puasa ( FBS ) normal atau diatas normal.
Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal. Tes ini mengukur
persentase glukosa yang melekat pada hemoglobin. Glukosa tetap melekat

pada hemoglobin selama hidup SDM. Rentang normal adalah 5-6%.


Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton pada respons terhadap
defisiensi

intraselular,

protein

&

lemak

diubah

menjadi

glukosa

(glukoneogenesis) untuk energi. Selama proses pengubahan ini, asam lemak


bebas dipecah menjadi badan keton oleh hepar, ketosis terjadi ditunjukkan
oleh ketonuria. Glukosuria menunjukkan ambang ginjal terhadap reabsorbsi
glukosadicapai, ketonuria menandakan ketoasidosis.
Diagnosis DM dibuat bila FBS diatas 140 mg/dL selama dua atau lebih
kejadian dan pasien menunjukkan gejala-gejala DM ( poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, ketonuria, dan kelelahan ). Juga diagnosis DM
dapat dibuat bila contoh TTG selama periode 2 jam dan periode lain ( 30 menit,
60 menit atau 90 menit) melebihi 200 mg/Dl.

2.1.6. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskular serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah
mencapai

kadar glukosa

darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya

hipoglikemia dan ngagguan serius pada pola aktivitas pasien (Smeltzer & Bare,
2001).
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes :

Diet
Latihan
Pemantauan
Terapi (jika diperlukan)
Pendidikan
Penanganan di sepanjang perjalanan penyakit diabetes akan bervariasi karena
terjadinya perubahan pada gaya hidup, keadaan fisik dan mental penderitanya
disamping karena berbagai kemajuan dalam metode terapi yang dihasilkan
dari riset. Karena itu, penatalaksanaan diabetes meliputi pengkajian yang
konstan dan modifikasi rencana penanganan oleh professional kesehatan
disamping penyesuaian terapi oleh pasien sendiri setiap hari. Meskipun tim
kesehatan akan mengarahkan penanganan tersebut, namun pasien sendirilah
yang harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan terapi yang kompleks itu
setiap harinya. Kerena alasan ini, pendidikan pasien dan keluarganya
dipandang sebagai komponen yang peting dalam menangani penyakit
diabetes sama pentingnya dengan komponen lain terapi diabetes (Smeltzer &
Bare, 2001).

2.2. PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION (PMR)


2.2.1. DEFINISI
Istilah relaksasi sering digunakan untuk menjelaskan aktivitas yang
menyenangkan. Relaksasi menghasilkan efek perasaan senang, menggurangi
ketegangan, terutama ketengangan psikis yang berkaitan dengan kehidupan
(Ramdani & Putra, 2009 dalam Duma, 2012). Definisi relaksasi yang dikemukan
oleh (McCaffery & Beebe, 1989 dalam Kwekkboom & Gretarsdootir, 2006)
menyatakan relaksasi adalah kondisi bebas secara relative dari kecemasan dan
ketegangan otot skeletal yang dimanifestasikan dengan ketenangan, kedamaian
dan perasaan ringan. Pada saat tubuh dan pikiran rileks, secara otomatis
ketegangan yang sering kali membuat otot-otot mengencang akan diabaikan
(Duma, 2012).
Progressive muscle relaxation (PMR) adalah terapi relaksasi dengan gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian tubuh pada satu
waktu

untuk

memberikan

perasaan

relaksasi

secara

fisik.

Gerakan

mengencangkan dan melemasakan secara progressive kelompok otot ini


dilakukan secara bertutut-turut (Duma, 2012). Pada saat melakukan PMR
perhatian klien di arahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat

kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi


tegang. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa PMR yang merupakan
salah satu bentuk dari terapi relaksasi dapat digunakan sebagai terapi pilihan
pada pasien yang mengalami ansietas yang sering bermanifestasi adanya
ketegangan otot.
PMR dilakukan dengan mengencangkan dan melemaskan sekelompok otot.
Kontraksi otot akan diikuti dengan relaksasi dari 14 kelompok otot, termasuk
tangan dan lengan dominan dan bukan lengan dominan, bisep dominan dan non
dominan, dahi, pipi atas dan hidung, pipi bawah dan rahang, leher dan
tenggoroka. Dada dengan bahu dan punggung atas, perut, paha dominan dan non
dominan, betis dominan dan non dominan dan kaki dominan dan non dominan
(Duma 2012).
PMR merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat diberikan
kepada pasien DM untuk meningkatkan relaksasi dan kemampuan pengelolaan diri.
Latihan ini dapat membantu mengurangi ketegangan otot, stres, menurunkan
tekanan darah, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, meningkatkan
imunitas, sehingga status fungsional dan kualitas hidup meningkat (Smeltzer &
Bare, 2001).
2.2.2. INDIKASI
PMR merupakan teknik manajemen stress dan ansietas telah digunakan pada
berbagai tatanan pada berbagai populasi dan telah dibuktikan menjadi terapi
yang efektif untuk digunakan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
ansietas, PMR telah menunjukkan manfaat dalam menggurangi ansietas yang
akan mempengaruhi berbagai gejala fisiologis dan psikologis karena kondisi
medis (Duma 2012). Teknik ini dianjurkan untuk orang-orang dengan gangguan
kecemasan, insomnia dan nyeri. Synder dan Lynquit (2002) mengatakan PMR
dapat digunakan sebagai terapi dalam manajemen stress dan kecemasan dan
nyeri pada gangguan fisik seperti pasien asma, hipertensi, COPD ( chronic
abstruvtive pulmonary disease), klien dengan gangguan jiwa ( psikiatrik), klien
dengan pemulihan memori/ ingatan, pasien kanker, post operatif, sakit kepala,
pasien mual muntah, HIV, penyakit herpes dan klien yang akan mendapat
prosedur medic tertentu (Duma, 2012).
2.2.3. KONTRAINDIKASI

Beberapa hal yang dapat menjadi kontraindikasi PMR antara lain cedera akut
atau ketidaknyaman muskuloskletal, infeksi atau inflamasi, dan penyakit jantung
berat atau akut. Latihan PMR juga tidak dilakukan pada sisi otot yang sakit
( Fritz, 2005 dalam Duma 2012). Synder & Lynquist (2002) dalam Duma
(2012), menjelaskan bahwa selama melakukan latihan PMR terdapat hal-hal
yang perlu diperhatikan anatara lain jika pasien mengalami disstres emosional
selama

melakukan

PMR

maka

dianjurkan

untuk

menghentikan

dan

mengkonsultasikannya kepada perawat atau dokter. Selain itu pemberian terapi


ini pada klien kanker harus memperhatikan tingkat kelelahan klien.
2.2.4. MANFAAT
Seseorang yang mengalami ansietas akan mengalami ketidakseimbangan
secara fisik seperti perubahan pada tanda-tanda vital, gangguan pola makan, pola
tidur dan adanya ketegangan otot. Kecemasan mencetuskan beberapa sensasi dan
perubahan pisik , meliputi peningkatan aliran darah menuju otot, ketegangan
otot, mempercepat atau memperlambat pernapasan, meningkatkan denyut
jantung dan menurunkan fungsi digestif. Center for clinical intervention (2008)
mengatakan bahwa ketegangan otot merupakan salah satu tanda yang sering
terjadi pada kondisi stress dan ansietas yang merupakan persiapan tubuh
terhadap potensial kejadian berbahaya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
pada kondisi ansietas, individu akan memerlukan banyak energy untuk
mengembalikan ketidakseimbangan yang terjadi akibat respon ansietas yang
dialami (Duma, 2012).
Duma (2012) menyatakan tujuan PMR adalah untuk menggurangi komsumsi
oksigen tubuh, laju metabolism tubuh, laju pernafasan, ketegangan otot,
kontraksi ventricular perematur dan tekanan darah sistolik serta gelombang alfa
otak serta dapat meningkatkan beta endorphin dan berfungsi meningkatkan imun
seluler. Relaksasi dapat digunakan untuk sebagai keterampilan koping yang aktif
jika digunakan untuk mengajar individu kapan dan bagaimana menerapkan
relaksasi dibawah kondisi yang menimbulkan kecemasan.
2.2.5. PELAKSANAAN
PMR atau relaksasi otot progresif melibatkan kontraksi dan relaksasi
berbagai kelompok otot. Selama melakukan latihan, pasien berfokus pada
ketegangan dan relaksasi kelompok otot wajah, leher, bahu, dada, tangan,

10

lengan, punggung, perut dan kaki. Meregangkan otot secara progresif dimulai
dengan menegangkan dan menegangkan kumpulan otot utama tubuh, dengan
cara ini, maka akan disadari dimana otot itu berada dan hal ini akan
meningkatkan kesadaran terhadap respon otot tubuh terhadap kecemasan dab
ketegangan (Duma, 2012).
Pelaksanaan terapi ini harus memperhatikan elemen penting yang diperlukan
untuk rileks yaitu lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman, sikap yang baik.
Lingkungan yang tenang diperlukan sehingga pasien dapat berkonsentrasi pada
relaksasi otot termasuk membatasi interupsi/gangguan, suara-suara pencahayaan.
Posisi yang nyaman member dukungan pada bagi tubuh atau berbaring di tempat
tidur pada posisi yang nyaman. Pelaksanaan PMR relaksasi otot progresif untuk
hasil yang maksimal dianjurkan dilakukan secara rutin selama 25-30 menit
setiap sesi. Latihan dianjurkan dilakukan 2 kali sehari dan dilakukan 2 jam
setelah makan untuk mencegah rasa mengantuk setelah makan. Jadwal latihan
biasanya memerlukan waktu minimal satu minggu untuk hasil yang lebih
maksimal. Berstein dan Borkovec menganjurkan menggunkan 10 sesi untuk
latihan progressive muscle relaxation. Namun beberapa penelitian mengatakan
bahwa dengan sedikitnya 4 sesi latihan sudah menunjukan efek positif dari terapi
( Gift, 1992 ; Peck 1997 dalam Synder & Lynquist, 2002 dalam Duma 2012)
2.2.6. LANGKAH-LANGKAH
Pelaksanaan PMR dilakukan dalam 4 sesi dengan 14 gerakan (Modifikasi
Alini, 2012 ; Supriati, 2010 dalam Duma 2012) 14 gerakan yang dilakukan
dalam 4 sesi dapat memudahkan klien untuk mengingat gerakan- gerakan yang
telah dilatih oleh terapis. Sesi-sesi dalam latihan PMR yaitu :
1 Pelaksanaan tehnik relaksasi yang meliputi dahi, mata, rahang, mulut leher
dimana masing-masing gerakan dilakukan sebanyak 2 kali. Pelaksanaan
PMR yaitu :
a Gerakan pertama ditunjukan untuk otot dahi dan alis sekencangkencangnya hingga kuat terasa mengerut kemudian dilemaskan
b

perlahan-lahan hingga 10 detik kemudian ulangi 1 kali lagi.


Gerakan kedua ditunjukan untuk mengendurkaan otot-otot mata didaerah
mata dirasakan menegang. Lemaskan perlahan-lahan hingga 10 detik,

lalu ulangi 1 kali lagi.


Gerakan ketiga bertujuan untuk menegangkan otot-otot rahang dengan
cara mengatupkan mulut sambil merapatkan gigi sekuat-kuatnya

11

sehingga klien merasakan ketegangan disekitar otot-otot rahang. Lemas


d

kan perlahan-lahan sampai 10 detik lalu ulangi 1 kali lagi.


Gerakan keempat dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar
mulut. Moncongkan bibir sekuat-kuatnya kedepan sehingga terasa
ketegangannya di otot-otot daerah bibir. Lemaskan mulut dan bibir

perlahan-lahan lalu ulangi 1 kali lagi.


Gerakan kelima ditujukan untuk otot-otot leher belakang. Klien diminta
untuk menekankan kepala kearah punggung sedemikian rupa sehingga
terasa tegang pada otot leher belakang, lemaskan perlahan-lahan hingga

10 detik lalu ulangi 1 kali lagi.


Gerakan keenam ditunjukan untuk melatih otot-otot leher depan.
Lakukan dengan menekukkan atau turunkan dagu hingga menyentuh
dada hingga merasakan ketegangan otot di daerah leher bagian depan,

lemaskan secara perlahan-lahan hingga 10 detik lalu ulangi 1 kali lagi.


Pelaksanaan tehnik relaksasi meliputi tangan, lengan dan bahu serta masingmasing gerakan dilakukan sebanyak dua kali. Pelaksanaan PMR terdiri dari :
a Gerakan ketujuh ditunjukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan
dengan cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
Selanjutnya minta klien untuk mengepalkan sekuat-kuatnya otot-otot
tangan sehingga merasakan ketegangan otot-otot daerah tangan.
Relaksasikan dengan membuka perlahan-lahan kepalan tangan selama
b

10 detik dan ulangi 1 kali lagi.


Gerakan kedelapan gerakan yang ditujuan untuk melatih otot-otot tangan
bagian belakang. Gerakan dilakukan dengan cara menekuk kedua
pergelangan tangan kebelakang secara perlahan-lahan hingga terasa
ketegangan pada otot-otot tangan bagian belakang dan lengan bawah
menegang, jari-jari menghadap kelangit-langit. Lemaskan perlahan-

lahan hingga 10 detik dan lakukan sekali lagi.


Gerakan kesembilan gerakan untuk melatih otot-otot lengan atau biseps.
Gerakan ini diawali dengan menggenggam kedua tangan hingga menjadi
kepalan dan membawa kepalan tersebut kepundak sehingga otot-otot
lengan bagian dalam menegang. Lemaskan perlahan-lahan hingga 10

detik lalu lakukan 1 kali lagi.


Gerakan kesepuluh ditunjukkan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi
ini dilakukan dengan mengendurkan bagian otot-otot bahu dengan cara

12

mengangkat kedua bahu kearah telinga setinggi-tingginya. Lemaskan


3

dan turunkan perlahan-lahan selama 10 detik dan lakukan satu kali lagi.
Pelaksanaan tehnik relaksasi yang meliputi punggung, dada, perut, tungkai
dan kaki dimana masing-masing gerakan dilakukan sebanyak dua kali :
a Gerakan kesebelas bertujuan melatih otot-otot punggung. Gerakan ini
dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi lalu
busungkan dada dan pertahankan selama 10 detik lalu lemaskan
b

perlahan-lahan dan ulangi satu kali lagi.


Gerakan keduabelas untuk melatih otot-otot dada. Gerakan ini dilakukan
dengan cara menarik nafas dalam sedalam-dalamnya dan tahan beberapa

detik sambil merasakan ketegangan didada dan diperut.


Gerakan tigabelas untuk melatih otot-otot perut. Gerakan ini dilakukan

dengan menarik perut kearah dalam sekuat-kuatnya.


Gerakan keempatbelas gerakan yang ditunjukan merelaksasikan otot-otot
kaki. Gerakan ini dilakukan dengan meluruskan kedua telapak kaki
selama 10 detik hingga terasa tegang pada daerah paha. Lemaskan kedua

kaki secara perlahan-lahan hingga 10 detik lakukan sekali lagi.


Terakhir merupakan sesi evaluasi kemampuan klien melakukan latihan
relaksasi progresif gerakan pertama hingga keempatbelas yang meliputi dahi,
mata, rahang, mulut, leher, tangan, telapak tangan, bahu, punggung, dada,
perut, tungkai dan kaki.

BAB III
RESUME JURNAL

3.1. NAMA PENELITI


Asep Kuswandi, Ratna Sitorus dan Dewi Gayatri
3.2. TEMPAT dan WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di salah satu Rumah Sakit di Tasikmalaya Jawa Barat
3.3. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui perbedaan kadar gula darah pasien diabetes melitus sebelum dan sesudah
relaksasi.
3.4. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain kuasi eksperimen pre dan
post test, menggunakan kelompok kontrol. Pengukuran kadar gula darah dilakukan

13

dua jam setelah makan pagi. Pengukuran selanjutnya dilakukan pada hari ketiga,
kelima dan ketujuh. Waktu yang diperlukan untuk setiap pasien adalah selama tujuh
hari.
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 100 pasien dengan perincian 50
pasien pada kelompok intervensi dan kontrol. Teknik pengambilan sampel adalah
dengan cara purposed sampling.
3.5. HASIL PENELITIAN
1. Terdapat perbedaan antara kelompok interaksi dan kelompok kontrol
2. Penurunan kadar gula darah sangat signifikan pada kelompok intervensi setelah
melakukan relaksasi selama tujuh hari dan dilakukan dua kali sehari
3. Penurunan paling tinggi ada pada hari ketujuh (p=0,000)
4. Perbedaan jenis kelamin tidak membedakan rerata penurunan kadar gula darah
pada kedua kelompok (p=0,730)
3.6. SARAN PENELITIAN
1. Perawat diharapkan mampu memberikan hak pasien, diantaranya memberikan
pendidikan kesehatan dan latihan tentang relaksasi terutama bagi pasien DM tipe
2
2. Para manajer keperawatan di tatanan pelayanan kesehatan diharapkan mampu
membuat standar operasional prosedur penanganan DM tipe 2 dengan
memasukan teknik relaksasi ini.

14

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. ANALISA JURNAL


4.1.1. HASIL PENELITIAN
Ada pengaruh yang signifikan pada kelompok intervensi setelah melakukan
relaksasi selama tujuh hari dan dilakukan dua kali sehari.
4.1.2. HUBUNGAN HASIL PENELITIAN DENGAN KONDISI DI LAHAN
KLINIS
Dari implikasi keperawatan progressive muscle relaxation (PMR) di ruang
rawat inap Interna 1 RSUD Kota Tangerang pada pasien DM tipe 2. Hal ini tidak
berkesinambungan dengan jurnal yang diangkat yaitu jurnal yang berjudul
Pengaruh Relaksasi Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 Di sebuah Rumah Sakit Di Tasikmalaya.
4.2. PERBANDINGAN ISI JURNAL
Ada beberapa penelitian yang mendukung hasil penelitian dari Asep Kuswandi
dkk. Menurut penelitian Mashudi (2012) menunjukkan bahwa PMR berpengaruh
terhadap penurunan rata-rata kadar glukosa darah. Mekanisme PMR dalam
menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 erat kaitannya
dengan stres yang dialami pasien baik fisik maupun psikologis. Hal ini juga didukung
dengan hasil penelitian Sholihatul Maghfirah dkk (2015) yang menunjukkan bahwa

15

adanya pengaruh relaksasi otot progresif terhadap penurunan stres psikologis pada
pasien DM tipe 2. Teknik relaksasi otot progresif bekerja menurunkan stres dengan
mengaktifkan sistem saraf parasimpatis dan menghentikan kerja sistem saraf
simpatis. Apabila sistem simpatis dihambat maka proses ini akan menurun sehingga
hormon

kortisol

ikut

menurun,

hal

ini

menyebabkan

penurunan

proses

glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru) yang sebenarnya disiapkan untuk


meningkatkan kadar glukosa darah dalam keadaan stres (sebagai sumber energi untuk
menghadapi keadaan stres). Relaksasi otot progresif berpengaruh secara signifikan
terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 2.
Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi factor resiko kardiovaskuler.
Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot
juga diperbaiki dengan berolah raga. Latihan dengan cara melawan tahanan
(resistance training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan demikian
menambah laju metabolisme istirahat. Semua efek ini sangat bermanfaat pada
diabetes karena dapat menurunkan berat badan, mengurangi rasa stress dan
mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah
yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total
serta trigliserida. Semua manfaat ini sangat penting bagi penyandang diabetes
mengingat adanya peningkatan resiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler pada
diabetes.
4.3. SARAN PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Asep Kuswandi dkk, ada beberapa saran yang
dapat dijadikan bahan pertimbangan diantaranya :
1. Dicantumkannya tempat, waktu dan tahun penelitian
2. Menyebutkan seluruh proses penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan
mengenai hasil penelitian dengan teori yang sudah ada dan penelitian sebelumnya
yang serupa.

BAB V
IMPLIKASI KEPERAWATAN

16

Hasil penelitian menunjukkan bahwa latihan progressive muscle relaxation (PMR)


terbukti tidak signifikan untuk mengurangi kadar glukosa pada pasien diabetes mellitus tipe
2, dikarenakan ada beberapa faktor tertentu yang dapat menyebabkan hasil latihan tidak
signifikan antara jurnal dengan implikasi. Penyebabnya mungkin dikarenakan pada saat
latihan kadar glukosa sedang meningkat. Penelitian ini dilakukan di lahan praktik pada
tanggal 13-16 Oktober 2015 di Ruang Interna 1 RSUD Kota Tangerang sebanyak 3 pasien
intervensi dan 3 pasien kontrol yang dilakukan selama 10 menit latihan dalam 2 kali sehari
sebelum makan. Pada hari pertama kami mendapatkan kesulitan, klien tidak sungguhsungguh untuk melakukan latihan PMR karena belum pernah melakukan terapi PMR. Pada
hari kedua klien sudah bisa melakukan sendiri tapi masih lupa dengan gerakannya dan harus
didampingi. Pada hari ketiga dan keempat klien sudah mampu untuk latihan sendiri dengan
usaha yang baik dan motivasi keluarga dalam terapi latihan progressive muscle relaxation ini
sesuai prosedur yang telah diajarkan klien berhasil melakukan dengan baik dan mendapatkan
hasil yang baik.
Dengan demikian pada implikasi keperawatan dapat disimpulkan bahwa aktifitas fisik
mampu mengurangi kadar glukosa dalam darah meskipun kadar glukosa kadang naik turun
karena beberapa faktor seperti pada saat latihan kadar glukosa sedang meningkat. Setelah
mempelajari isi jurnal diatas, kita sebagai perawat umum dan perawat penyakit dalam pada
khususnya dapat mengambil manfaat atau implikasi keperawatan sebagai berikut :
1. Terapi latihan progressive muscle relaxation (PMR) dapat mengurangi kecemasan dan
secara otomatis dapat menurunkan kadar gula dalam darah.
2. Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur dan menurunkan
aktifitas system saraf simpatis
3. Stress tidak hanya dapat meningkatkan kadar gula darah secara psikologis tetapi juga
dapat mengubah pola kebiasaannya yang baik terutama dalam hal makan, latihan, dan
pengobatan.

Hasil kelompok intervensi


Nama

Tanggal

Jam

Hasil

Tn. S
(205 mg/dl)

13-10-2015

06:00

177 mg/dl

17:00

206 mg/dl

06:00

123 mg/dl

14-10-2015

17

15-10-2015
16-10-2015
Tn. R
(215 mg/dl)

13-10-2015
14-10-2015
15-10-2015
16-10-2015

Tn.J
(113 mg/dl)

13-10-2015
14-10-2015
15-10-2015
16-10-2015

17:00

156 mg/dl

06:00

105 mg/dl

17:00

104 mg/dl

06:00

105 mg/dl

17:00

103 mg/dl

06:00

195 mg/dl

17:00

222 mg/dl

06:00

143 mg/dl

17:00

249 mg/dl

06:00

150 mg/dl

17:00

131 mg/dl

06:00

143 mg/dl

17:00

249 mg/dl

06:00

103 mg/dl

17:00

104 mg/dl

06:00

129 mg/dl

17:00

83 mg/dl

06:00

99 mg/dl

17:00

108 mg/dl

06:00

105 mg/dl

17:00

104 mg/dl

Kelompok kontrol
Nama

Tanggal

Jam

Hasil

Tn. I
(555 mg/dl)

13-10-2015

06:00

555 mg/dl

17:00

415 mg/dl

06:00

278 mg/dl

14-10-2015

18

15-10-2015
16-10-2015
Tn. B
(272 mg/dl)

13-10-2015
14-10-2015
15-10-2015
16-10-2015

Tn.S
(146 mg/dl)

13-10-2015
14-10-2015
15-10-2015
16-10-2015

17:00

249 mg/dl

06:00

275 mg/dl

17:00

183 mg/dl

06:00

249 mg/dl

17:00

222 mg/dl

06:00

272 mg/dl

17:00

497 mg/dl

06:00

206 mg/dl

17:00

143 mg/dl

06:00

249 mg/dl

17:00

108 mg/dl

06:00

183 mg/dl

17:00

110 mg/dl

06:00

146 mg/dl

17:00

110 mg/dl

06:00

99 mg/dl

17:00

80 mg/dl

06:00

104 mg/dl

17:00

108 mg/dl

06:00

150 mg/dl

17:00

131 mg/dl

Sumber : Hasil cek GDS di ruang Interna 1 RSUD Kota Tangerang

BAB VI
PENUTUP

6.1. KESIMPULAN
Teknik relaksasi merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dapat
mengurangi kecemasan dan secara otomatis dapat menurunkan kadar gula darah.
Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur dan menurunkan
aktivitas sistem saraf simpatis. Stres tidak hanya dapat meningkatkan kadar gula
darah secara fisiologis. Pasien dalam keadaan stres juga dapat mengubah pola
kebiasaannya yang baik, terutama dalam hal makan, latihan dan pengobatan.

19

Tekhnik relaksasi yang dapat dilakukan adalah Progressive Muscle Relaxation


(PMR) yang merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan suatu relaksasi pada otot
melalui pemberian tegangan pada suatu kelompok otot dan menghentikan tegangan
tersebut kemudian memusatkan perhatian untuk mendapatkan sensasi rileks.
Dari hasil implikasi yang peneliti lakukan di ruang rawat inap adanya
perbedaan dengan jurnal yang diambil dikarenakan banyaknya faktor yang membuat
hasil kadar gula darah klien tidak mengalami penurunan yang signifikan.
.2. SARAN
Berdasarkan analisa jurnal yang telah dilakukan dengan judul pengaruh
relaksasi terhadap penurunan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di
sebuah Rumah Sakit Tasikamalaya ada beberapa saran yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan diantaranya adalah:
1. Sosialisasikan tentang upaya pencegahan primer terjadinya peningkatan kadar
glukosa darah pada pasien DM, sehingga dapat meminimalisir adanya
peningkatan glukosa darah.
2. Promosikan kesehatan tentang terapi latihan PMR yang terkait dengan DM perlu
diberikan oleh petugas kesehatan secara berkesinambungan, agar pasien mau
menerapkan pola hidup sehat baik dalam bentuk penyuluhan langsung atau
melalui media seperti leaflet dapat dilakukan pencegahan dan mengurangi
komplikasi DM yang lain
3. Tingkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama terkait dengan keperawatan
penyakit dalam di Rumah Sakit untuk mengembangkan ilmu keperawatan yang
ada.

DAFTAR PUSTAKA

Asep, Ratna & Dewi. (2008). Pengaruh Relaksasi Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Sebuah Rumah sakit Di Tasikmalaya. Diakses
pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 18.16 WIB
Black, Joyce M, Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8 buku 3.
Indonesia
Duma, Lumban. (2012). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Dan Logoterapi Terhadap
Perubahan Ansietas, Depresi, Kemampuan Relaksasi Dan Kemampuan Memaknai

20

Hidup Klien Kanker Di RS Dharmais Jakarta. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2015
jam 18.32 WIB
Endah, Dwi & Purnomo. (2014). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan Pada Klien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja
Puskesmas Karangdoro Semarang. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2015 pukul 10.55
WIB
Mashudi. (2011). Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap Kadar Glukosa Darah
Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Rumah sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Jambi. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 18.50 WIB
Sholihatul, I ketut & Ika. (2015). Relaksasi Otot Progresif Terhadap Stres Psikologis Dan
Perilaku Perawatan Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Diakses pada tanggal 20
Oktober 2015 pukul 10.11 WIB
Smeltzer, Sezane C .(2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC

Вам также может понравиться