Вы находитесь на странице: 1из 18

Nilai Juang Perumusan Dasar Negara

Pancasila sebagai dasar negara melalui proses yang panjang dalam perumusannya. Proses
perumusan Pancasila yang dilakukan para tokoh telah memberikan pelajaran berharga bagi
kita. Semua itu dilakukan dengan penuh nilai perjuangan dan diliputi dalam semangat
kebersamaan. Dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara terdapat nilai-nilai
juang dan sebagai warga negara yang baik kita harus mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari yaitu antara lain : Para pejuang tersebut memiliki jiwa dan semangat kejuangan
yang tinggi untuk merdeka. Pada pita yang dicengkeram burung garuda tertulis Bhinneka
Tunggal Ika. Artinya, meskipun berbeda-beda, kita adalah satu. Perbedaan-perbedaan yang
ada bukan menjadi penghalang untuk bekerja sama, tolong-menolong, dan hidup rukun.
Perbedaan-perbedaan itulah yang menjadikan kita perlu saling mengenal, menghormati,
menolong, dan bekerja sama. Jiwa dan semangat kejuangan yang dimiliki oleh pejuang itu, di
antaranya sebagai berikut.

Jiwa solidaritas atau kesetiakawanan dari semua lapisan masyarakat terhadap


perjuangan kemerdekaan;

Pro patria dan primus patrialis, yaitu selalu berjiwa untuk tanah air dan mendahulukan
kepentingan tanah air;

Jiwa toleransi atau tenggang rasa antarumat beragama, suku, golongan, dan bangsa.

Jiwa tanpa pamrih dan bertanggung jawab;

Jiwa ksatria, kebesaran jiwa yang tidak mengandung balas dendam.

Pancasila adalah dasar negara Indonesia, hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945
sekaligus sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila tidak hanya sebagai jiwa
bangsa Indonesia, juga sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Salah satu upaya nyata seorang
pelajar dalam menghormati semangat dan nilai-nilai kebersamaan dalam perumusan
Pancasila adalah sebagai berikut :

belajar dengan rajin;

tidak memaksakan kehendak kepada orang lain;

saling menghormati perbedaan;

tidak semena-mena terhadap orang lain.

Nilai Kebersamaan dalam Proses Perumusan Pancasila


Ada beberapa nilai kebersamaan dalam proses perumusan dasar negara yang perlu kita
teladani dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai kebersamaan tersebut antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Menghargai pendapat orang lain

Dalam menyelesaikan masalah bersama, bangsa kita selalu menyelesaikan dengan


musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Musyawarah merupakan pembahasan bersama
dengan maksud mencapai keputusan untuk menyelesaikan masalah. Setiap keputusan yang
diambil dalam musyawarah oleh bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagi berikut:

Mengutamakan kepentingan bersama;

Tujuan diharapkan untuk kebaikan bersama;

Tidak ada pemaksaan pendapat.

2. Menerima keputusan bersama


Keputusan bersama adalah ketentuan, ketetapan dan penyelesaian yang dilakukan
sekelompok orang terhadap suatu permasalahan sehingga tercapai kesepakatan. Keputusan
bersama dapat dicapai melalui musyawarah. Musyawarah adalah adalah suatu cara untuk
merumuskan suatu masalah berdasarkan kesepakatan bersama. Upaya mencapai kesepakatan
bersama (mufakat) bukanlah perkara mudah, selama kita memaksakan pendapat sendiri,
mendahulukan kepentingan pribadi/golongan, mufakan akan gagal.
Kita dapat belajar dari sejarah sidang BPUPKI Pertama. Pada saat sebelum rapat pleno ada
pihak yang keberatan tentang rancangan Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat tentang
dasar negara. Dengan semangat kebersamaan, demi menciptakan suasana yang damai, maka
para tokoh seperti Bung Hatta, Wahid Hasyim. Mr. Teuku Moh. Hasan, dan lain-lain
menyetujui untuk menghilangkan kalimat sila pertama dasar negara yang menjadi keberatan
sebagian peserta sidang. Hal ini menunjukkan bahwa para tokoh pendiri negara kita
senantiasa mendahulukan kepentingan negara dan bangsa daripada kepentingan
pribadi/golongan.
3. Melaksanakan hasil keputusan bersama
Setelah semua pihak menerima hasil keputusan bersama, maka langkah selanjutnya adalah
melaksanakan keputusan tersebut. Semua pihak harus ikhlas dan penuh tanggung jawab
melaksanakan, hasil keputusan bersama.
Melaksanakan keputusan bersama telah ditunjukkan oleh seluruh tokoh yang terlibat dalam
proses perumusan Pancasila. Mereka senagai wakil rakyat Indonesia melaksanakan hasil
keputusan bersama denga ikhlas yaitu dengan melaksanakan Pancasila sebagai dasar negara
dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Meneladani Nilai Juang Perumusan Dasar Negara
Nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila yang dapat kita teladani dalam
kehidupan sehari-hari, diantaranya sebagai berikut:
1. Semangat persatuan dan kesatuan
Sikap ini dimiliki oleh para tokoh pejuang kita pada saat merumuskan Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI para peserta sidang diberi kesempatan untuk
menyampaikan pidatonya tentang rumusan dasar negara, kemudian dibahas dan
didiskusiakan bersama untuk mendapatkan rumusan yang terbaik. Musyawarah itu dijiwai
semangat sumpah pemuda, dengan rasa persatuan dan kesatuannya meskipun berasal dari

berbagai daerah dan mempunyai latar belakang yang berbeda. Contoh perilaku yang
menggambarkan semangat persatuan dan kesatuan adalah sebagai berikut:

Gotong-royong dalam membersihkan kelas dan lingkungan sekolah;

Tidak membeda-bedakan teman dalam pergaulan;

Kerja bakti membersihkan lingkungan masyarakat.

2. Memperjuangkan hak asasi manusia


Pada saat perumusan dasar negara Pancasila, hak asai manusia selalu menjadi perhatian
utama. Pancasila dirumuskan sebagai sumber hak asasi manusia, yang artinya bahwa hak
asasi manusia mendapat jaminan kuat dari Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Dalam
proses perumusan Pancasila para tokoh mencerminkan sikap saling menghargai hak asasi
manusia.
Sikap para tokoh dalam memperjuangkan dan menghargai hak asasi manusia itu perlu kita
teladani dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya ialah dengan :

Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain;

Memberi kesempatan orang lain untuk menyampaikan pendapatnya'

Menghargai hak-hak orang lain.

3. Cinta tanah air


Sikap para tokoh dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan kecintaanya
terhadap tanah air Indonesia. Adapun sikap cinta tanah air yang harus diteladani dalam
kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut:

Mempelajari kebudayaan daerah;

Mencintai dan memakai produk dalam negeri;

Berprestasi dalam kegiatan yang mengharumkan nama bangsa.

4.Mendahulukan kepentingan umum


Para pejuang yang terlibat dalam perumusan dasar negara bekerja tanpa mengenal lelah.
Mereka mempersiapkan kemerdekaan beserta alat-alat perlengkapan negara dengan sungguhsungguh. Sebagai hasil jerih payah mereka, lahirlah UUD 1945 yang di dalam pembukaannya
termuat tujuan negara Indonesia. Semua itu dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara.
Adapun sikap mendahulukan kepentingan umum itu perlu kita teladani diantaranya dengan:

Ikut berpartisipasi dalam kerja bakti di lingkungan masyarakat;

Menyiapkan sarana belajar sebelum pelajaran di mulai untuk kepentingan kelas.

5. Jiwa kepahlawanan

Jiwa kepahlawanan jelas tercermin dari sikap pejuang dalam proses perumusan Pancasila.
Mereka memiliki sikap rela berkorban tanpa pamrih dalam mewujudkan Indonesia merdeka.
Jiwa kepahlawanan para tokoh bangsa tersebut dapat kita teladani, diantaranya melalui :

Membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan;

Berani menegur teman yang berbuat tidak baik;

Melerai teman yang berselisih/bertengkar.

Ditulis oleh: Tugino


Media Belajar Diperbarui pada: Sunday, August 05, 2012

Totalitas Bung Hatta


1. 1.

Pendahuluan

Dalam pengalaman hidup saya, orang yang saya amati memiliki komitmen untuk berjuang
dalam totalitas adalah Mohammad Hatta. Sejak awal perjuangannya, Mohammad Hatta
telah selalu melihat ke depan untuk mendisain wujud negara dan pemerintahan negara bila
Indonesia mencapai kemerdekaan. Perjuangan Mohammad Hatta meliputi kemerdekaan
Indonesia, dan sesudah kemerdekaan tercapai, pemikiran-pemikiran serta disain yang
dibangun oleh beliau untuk memandirikan, mensejahterakan dan mengangkat derajat bangsa
kita tetap konsisten dilakukannya.
Ia memulai perjuangannya sebagai tokoh pemuda ketika mendapat giliran menjadi Ketua
Perhimpunan Indonesia ketika sedang kuliah di Negeri Belanda. Di negara penjajah
Indonesia itu, ia menegaskan bahwa Perhimpunan Indonesia memperjuangkan kedaulatan
rakyat, kemandirian dan persatuan Indonesia bagi rakyat Hindia-Belanda.
Sebagai mahasiswa Indonesia yang kuliah di Negeri Belanda merangkap sebagai Ketua
Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta hadir pada berbagai forum-forum internasional oleh para tokoh organisasi pemuda dan mahasiswa dari negara-negara di Asia dan
Afrika yang sebagian besar tanah airnya masih berupa tanah jajahan negara-negara
kolonialisme Eropa, di antaranya di Paris dan Bierville. Dalam pertemuan forum pemuda
Asia-Afrika di Paris, Mohammad Hatta yang mewakili Indonesia dalam delegasi Asia
mempopulerkan nama Indonesia, dan sejak itu, peserta forum menggunakan nama Indonesia
bukan lagi Hindia-Belanda.

Dalam Kongres Internasional yang diadakan di Brussels, 10-15 Februari 1927 yang
diselenggarakan oleh Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, Mohammad
Hatta dapat bertemu dengan tokoh-tokoh pemuda yang kelak menjadi kepala negara,
pemimpin nasional di negara mereka masing-masing setelah merdeka, juga tokoh-tokoh
pergerakan buruh di Eropa. Di antara para tokoh pemuda itu adalah Jawaharlal Nehru dari
India, Senghor dari Senegal, Afrika, Chen Kuan dan Liau Hansin dari Cina, Roger Baldwin
dari Amerika Serikat, Willi Mnzenberg, Georg Ledebour, Edo Fimmen, di mana
presidiumnya berasal dari tokoh-tokoh Prancis, Beligia, Amerika Latin, Inggris dan
Cekoslowakia.
Perjuangan Mohammad Hatta ketika belajar di Negeri Belanda dan terutama ketika menjadi
Ketua PI, menunjukkan komitmennya yang kuat untuk membuat Indonesia merdeka. Ia
telah menyaksikan bahwa janji Gubernur Jenderal Hindia Belanda van Limburg Stirum yang
diucapkan di Volksraad pada tanggal 18 November 1918 (yang nadanya memberi harapan
tentang akan datangnya hak rakyat bumiputra untuk memimpin negaranya sendiri), dalam
realita merupakan janji kosong yang tak terbukti. Pengingkaran terhadap Janji November itu
memberikan keyakinan kepada Mohammad Hatta bahwa Indonesia harus memperoleh
kemerdekaan dari tangannya sendiri, tidak dari Pemerintah kolonial Belanda.
Itulah sebabnya manifesto politik yang dibuatnya ketika menjadi Ketua PI di Negeri Belanda,
mengarah kepada persiapan landasan untuk merdeka di kemudian hari. Menurut Hatta,
mahasiswa sebagai kaum terpelajar, apalagi yang belajar di negara sang penjajah, harus
memulai menyebarluaskan gagasan ini kepada teman-temannya sesama kaum terpelajar, dan
oleh karena itu sejak tahun 1922 ketika masih menjadi anggota biasa dari PI, bersama temanteman seperjuangannya di PI, mereka mengganti nama majalah PI, Hindia Poetra menjadi
Indonesia Merdeka.
Konsistensi perjuangan Mohammad Hatta dan teman-temannya meresahkan Pemerintah
Belanda, karena itu ia dan teman-temannya, Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo dan
Adul Madjid Djojoadiningrat, ditangkap dan dipenjara atas tuduhan menjadi anggota
perhimpunan terlarang, keterlibatan dalam pemberontakan, dan menghasut. Namun setelah
lima setengah bulan dipenjara, mereka berempat dibebaskan pada tanggal 22 Maret 1928
karena tak terbukti bersalah. Yang menarik adalah bahwa para pembela mereka semuanya
adalah orang Belanda. Pidato pembelaan (pledoi) Mohammad Hatta ditulisnya dalam Bahasa
Belanda, yang kalau dibacakan utuh makan waktu tiga setengah jam, sehingga naskah tebal
itu dipersingkat waktu dibacakan di Pengadilan Negeri Den Haag. Kini pledoi itu terbit dalam
Bahasa Indonesia, berjudul Indonesia Merdeka.
Ketika masih berjuang di Negeri Belanda, Hatta bersama temannya Soedjadi menerbitkan
majalah berkala di Jakarta yang berjudul Daulat Rajat (Daulat Rakyat), ntuk menunjukkan
sikapnya terhadap rakyat, di mana Daulat Rajat akan mempertahankan asas kerakyatan yang
sebenarnya, yaitu dalam politik, dalam perekonomian dan dalam pergaulan sosial. Pada tahun
1931, mengawali terbitnya edisi pertama dari majalah perjuangan Daulat Rajat tersebut,
Hatta menulis:

Bagi kita, rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan
(souvereiniteit), karena rakyat itu jantung hati bangsa, dan rakyat itulah yang menjadi
ukuran tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita
akan turun. Hidup atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya itu bergantung kepada
semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti
kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya
(Mohammad Hatta, Daulat Rajat, 20 September 1931 ejaan disesuaikan dengan EYD).
Pada Peringatan Satu Abad Bung Hatta pada tanggal 12 Agustus 2002, telah diterbitkan buku
monumental dengan judul Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat2.
Totalitas keilmuan dapat dilihat dari pilihan kuliah-kuliahnya. Dimulai dari belajar untuk
menjadi ahli ekonomi, Hatta melengkapi dirinya dengan matakuliah ketatanegaraan, hukum,
filsafat, ilmu sosiologi, politik, dan birokrasi, untuk mempersiapkan dirinya menjadi
pemimpin Indonesia. Ia menguasai Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Bahasa Perancis dan
Bahasa Jerman. Inilah bagian dari totalitas untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Bagian dari totalitas berikutnya dari Mohammad Hatta yang akan saya kemukakan di bawah
adalah ketika Mohammad Hatta, yang sekembalinya dari Negeri Belanda lebih dikenal
dengan nama Bung Hatta, tetap teguh berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dengan
membentuk organisasi pendidikan bernama Pendidikan Nasional Indonesia.
Sekedar untuk diketahui, pada rapat pengurus Perhimpunan Indonesia di akhir tahun 1926
Mohammad Hatta telah mengusulkan diskusi mengenai perlunya PI mendirikan suatu partai
nasionalis di Indonesia yang akan berdasarkan prinsip non-cooperation dengan penjajah.
Memang akhirnya dalam perjalanan waktu, Partai Nasionalis Indonesia terbentuk, dan
tokohnya yang terpenting adalah Sukarno.
Alasan Bung Hatta untuk mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia adalah karena menurut
pertimbangannya, melalui pendidikan, rakyat akan tahu bahwa bukan hanya pemimpin yang
harus tahu akan kewajiban, tetapi juga seluruh rakyat. Ada suatu kebenaran yang sering
dilupakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai oleh pemimpin-pemimpin saja,
melainkan oleh usahanya dan keyakinan rakyat yang banyak. Nasib rakyat Indonesia
tergenggam di dalam tangan rakyat sendiri. Di mana pun, dalam mempertahankan
kehidupannya sehari-hari, rakyat harus tahu kedaulatan rakyat, harus tahu akan hak dan harga
dirinya. Mendidik rakyat untuk menumbuhkan semangat merdeka, itulah yang utama.
Demikian menurut Bung Hatta pada tahun 1932. Dengan mendidik kita akan mencapai suatu
organisasi yang teguh. Katanya lagi, agitasi mudah membangkitkan kegembiraan hati
orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang karena kerap kali kegembiraan
sementara itu lenyap dengan lekas. Agitasi baik pembuka jalan! Didikan membimbing rakyat
ke organisasi! Sebab itu usaha kita sekarang: pendidikan!.
Menurut Bung Hatta, gagasan harus majalah merupakan sarana pendidikan yang penting.

Dalam perjuangan ini antara tahun 1932-1935, Bung Hatta dan teman-temannya dari
Pendidikan Nasional Indonesia dibuang ke Boven Digoel, tempat yang sangat berat
medannya, dan hanya orang-orang yang tak tertundukkan yang dibuang Belanda ke sana.
Apa dampak dari pendidikan bagi pengurus organisasi Pendidikan Nasional Indonesia?
Kaderisasi politik terbentuk, semangat berjuang untuk kemerdekaan tertanam pada para
anggota. Maka ketika Bung Hatta dan Bung Sjahrir sebagai pemimpin peringkat pertama
Pendidikan Nasional Indonesia ditangkap Belanda dan dibuang ke Boven Digoel kemudian
ke Bandanaira, pemimpin organisasi generasi berikut dari peringkat kedua masih bisa
menjalankan organisasi dan melaksanakan pendidikan politiknya kepada kader dan
masyarakat. Gerakan perjuangan berjalan terus. Lalu ketika mereka juga diciduk Belanda,
organisasi masih berjalan dengan pemimpin organisasi peringkat ketiga. Baru setelah
pemimpin peringkat ketiga ini ditangkap, organisasi tidak berlanjut dalam operasionalnya,
walaupun para kadernya tetap bersemangat berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Bagi Bung Hatta, pendidikan politik dalam organisasi (orpol dan ormas) sangat penting,
karena kelak jika kader menjadi pemimpin, apakah di eksekutif, legislatif atau pun judikatif,
mereka mampu dan handal memahami tugasnya dan telah diisi oleh ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan dalam pekerjaannya.
Bung Hatta termasuk sedikit pejuang Indonesia yang tak tertundukkan, Salah satu contohnya
adalah ketika di Boven Digoel, pada akhir Januari 1935, ia ditawari oleh Kapten Van
Langen, kepala pemerintahan di Boven Digoel, untuk memilih di antara dua pilihan: (1)
bekerja dengan upah 40 sen gulden per hari kepada Pemerintah Kolonial dan berharap
dipulangkan ke daerahnya kembali; (2) menjadi orang buangan yang setiap bulannya
menerima bahan in natura yang terdiri dari 18 kg beras, 1 kg kacang hijau, 2 kg ikan asin,
400 gram teh dan satu blok kecil garam. Jumlah ini haya separuh dari jumlah yang diberikan
kepada para residivis/kriminal di penjara, yang mendapatkan 2 gulden 40 sen tiap bulannya.
Selain itu, kata Kapten van Langen, untuk pilihan ini tak ada harapan untuk dipulangkan ke
Jawa atau Sumatra.
Jawab Bung Hatta, Jika saya mau bekerja untuk Pemerintah ketika saya masih di Jakarta,
pastilah saya dapat menjadi orang besar, dengan gaji yang besar pula. Tidaklah perlu saya
datang kemari menjadi kuli dengan gaji 40 sen per hari. Kata Kapten, ia akan mendapatkan
pekerjaan di kantor administrasi tempat pembuangan itu. Jawab Hatta kembali, Saya masih
tetap non-kooperator dan menolak kerjasama dan saya memilih menjadi orang buangan yang
menerima bahan makanan saja.
Kapten van Langen mengatakan, jika Tuan menjadi orang buangan penerima ransum in
natura ini, Tuan akan tinggal di sini selama-lamanya. Tuan tidak akan dikirim kembali ke
Jawa. Kata Hatta, Itu pendapat Tuan hari ini. Saat ini memang pastilah bahwa saya tidak
mungkin kembali ke Jakarta. Tetapi dunia ini terus-menerus berubah, apa yang tidak mungkin
sekarang, tentu saja dapat terjadi pada waktu yang akan datang. Dengan alasan ini, Hatta
tetap memilih menjadi orang buangan penerima ransum in natura.

Pada pertengahan tahun 1935, Residen Ambon, Dr. Haga, datang ke Tanah Merah
menawarkan pemberian bantuan kepada Bung Hatta yang lebih banyak dari orang-orang
buangan di sana, karena dianggap intelektual. Namun kata Hatta, Jika saya dianggap sebagai
intelektual dan menerima bantuan lebih banyak dari orang-orang buangan di sini, maka saya
harus diberi bantuan yang sama seperti yang diberikan kepada orang buangan intelektual
lainnya, yaitu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri (sarjana hukum) di
Bandanaira yang menerima 175 gulden per bulan dan Ir. Sukarrno di Ende, yang menerima
150 gulden per bulan. Kata Dr. Haga, Peraturan mengenai jumlah bantuan memang berbeda
di Digoel dengan di Neira dan di Ende. Jawab Hatta, Jika memang peraturannya berlainan,
maka tidak usahlah saya diberi bantuan tambahan. Biarlah saya diperlakukan sesuai dengan
peraturan yang berlaku, sebagai penerima ransum bahan makanan. Meskipun Dr. Haga
minta Hatta memikirkan lagi keputusannya itu esok harinya, namun pada hari berikutnya
Hatta tetap menolak tambahan bantuan 7 gulden 50 sen itu.
Inilah contoh dari totalitas, konsekuen dalam menunjukkan prinsip, walaupun itu berarti
penderitaan. Bagi Hatta, penderitaan fisik mungkin saja dirasakan, tetapi selama tidak
mengorbankan harga diri, penderitaan itu dapat diatasi. Untuk memenuhi kebutuhan biaya
hidup, Hatta secara rutin menulis artikel-artikel tentang ekonomi dan politik yang dikirim ke
Jakarta untuk diterbitkan di majalah dan koran. Ini dimungkinkan oleh sistem pemerintahan
di kala itu, yang penting fisiknya tidak berada di Jakarta.
Setahun di Boven Digoel, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Bandanaira, Maluku Tengah, dan
tinggal di sana selama enam tahun hingga sampai bulan Februari 1942, dengan tunjangan 75
gulden per bulan. Lagi-lagi dibedakan dengan para pejuang lainnya. Mungkinkah karena
Hatta tak tertundukkan? Apa dampak dari prinsip tak tertundukkan ini? Mohammad Hatta
sampai sekarang dikenal oleh kaum terpelajar Belanda dan mereka menaruh hormat kepada
beliau walaupun sudah sejak 14 Maret 1980 Bung Hatta menutup mata selamanya.
1. 2.

Pandangan Bung Hatta tentang Kesejahteraan Rakyat

Kita semua telah mengetahui perjuangan Bung Hatta memproklamasikan keperdekaan


Indonesia bersama Bung Karno.
Apa yang akan saya kemukakan adalah konsistensi antara perjuangan mencapai dan mengisi
kemerdekaan yang telah dilakukan Bung Hatta sebagai contoh dari totalitasnya yang
berikutnya.
Seringkali di berbagai kesempatan dan pada berbagai tulisan, Bung Hatta menegaskan
tentang perbedaan antara kedaulatan rakyat Indonesia dengan kedaulatan rakyat di Barat.
Kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi (Volkssouvereiniteit atau peoples sovereignty)
berbeda antara paham Indonesia dan paham Barat. Kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi
tidaklah sama mengenai apa yang berlaku di Barat dan yang berlaku di Indonesia.

Demokrasi di Barat bertumpu pada paham liberalisme dan individualisme. Di pihak lain,
demokrasi di Indonesia yang juga bertumpu rasa bersama, lebih spesifik lagi, berdasar
pada paham kebersamaan dan asas kekeluargaan (brotherhood).
Kebersamaan dan asas kekeluargaan yang sesuai dengan budaya Indonesia ini juga dikenal di
Barat dengan istilah mutualism and brotherhood, yangkiranya di dalam lingkungan
masyarakat beragama Islam dikenal sebagai ke-jemaah-andanke-ukhuwah-an. Demokrasi
Barat yang juga bertumpu pada kedaulatan rakyat itu disebut sebagai demokrasi liberal yang
menjunjung tinggi nilai-nilai individualisme. Kepentingan individu atau orang per orang
lebih diutamakan dalam demokrasi Barat.
Sebaliknya dalam demokrasi Indonesia, yang dipentingkan adalah kebersamaan dan
kepentingan bersama, artinya mengutamakan kepentingan kolektif. Demokrasi Indonesia
atas dasar kebersamaan dan asas kekeluargaan ini di dalam kehidupan keekonomian
ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara.
UUD yang diamandemen pada tahun 2002 (melalui Amandemen keempat terhadap UUD
1945) menambah Pasal 33 UUD 1945 dengan dua ayat, yaitu:
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Saya bukan ahli ekonomi, saya memahami Pasal 33 UUD 1945 hanya secara umum saja,
tidak mendetail dan mendalam. Namun dari berbagai pemberitaan saat ini, saya dapat
menangkap bahwa setelah paham ekonomi komunis yang berlaku di Uni Soviet dan di Eropa
Timur runtuh dan kemudian saat ini kita menyaksikan bahwa paham kapitalisme Barat
dengan pasar-bebasnya mulai guncang dan mulai diragukan oleh rakyat Amerika Serikat dan
Eropa, maka oleh kelompok ekonomi yang menyebut dirinya berpaham ekonomi konstitusi,
Pasal 33 UUD 1945 mulai dibangkitkan kembali menjadi harapan dan andalan. Para
pemenang Nobel sejak awal millenium baru ini seperti Prof. Stiglitz, Prof. Akerlof, Prof.
Krugman telah menegaskan bahwa globalisasi yang berdasarkan kapitalisme dengan pasarbebasnya tidak bisa dipertahankan. Sebelum millennium lalu berakhir, Prof. Anthony
Giddens sudah membayangkan diperlukannya jalan ketiga yang bukan sosialis-komunis
dan bukan pula kapitalisme pasar-bebas.

Jauh-jauh hari pada tahun 1934 Bung Hatta telah menolak pasar-bebasnya Adam Smith, dan
tentu Hatta sebelum itu, tatkala memimpin Perhimpunan Indonesia, sebelum tahun 1930 telah
dengan tegas menolak pula komunisme. Kemudian ketika beliau dibuang di Boven Digoel
pada tahun 1935 Bung Hatta sudah mulai menggagas Pasal 33 UUD 1945.
Perlu saya tegaskan di sini paham ekonomi Bung Hatta sebagaimana terumuskan dalam Pasal
33 UUD 1945 bukanlah jalan tengah melainkan adalah jalan lain. Bung Hatta sendiri
menyebutnya sebagai jalan lurus, yaitu jalan Pancasila. Di sinilah dalam konsepsi
ekonomi Bung Hatta, pembangunan adalah proses humanisasi, memanusiakan manusia,
bahwa yang dibangun adalah rakyat, bahwa pembangunan ekonomi adalah derivat dan
pendukung pembangunan rakyat. Di dalam kehidupan ekonomi yang berlaku adalah daulatrakyat bukan daulat-pasar.
Bung Hatta menegaskan pula bahwa di dalam membangun perekonomian nasional berlaku
doktrin demokrasi ekonomi, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan
kemakmuran orang-seorang, kemakmuran adalah bagi semua orang, produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Sebagai ilmuan Antropologi tentu saya tidak piawai dalam ilmu ekonomi, oleh karena itu
berikut ini saya kutipkan pandangan dari seorang ekonom yang saya nilai memahami
pemikiran Bung Hatta mengenai disain ekonomi nasional Indonesia, berkaitan dengan Pasal
33 (ayat 1) UUD 1945 yang berbunyi Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar asas kekeluargaan, sebagai berikut:
Perekonomian tentu meliputi seluruh wadah ekonomi, tidak saja badan usaha koperasi,
tetapi juga meliputi BUM dan juga badan usaha swasta.
Disusun (dalam konteks orde ekonomi dan sistem ekonomi) artinya adalah bahwa
perekonomian, tidak dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme dan kekuatan pasar,
secara imperatif tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri mengikuti kehendak dan selera pasar.
Dengan demikian peran Negara tidak hanya sekedar mengintervensi, tetapi menata,
mendesain dan merestruktur, untuk mewujudkan kebersamaan dan asas kekeluargaan serta
terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 ini secara mendasar menolak paham fundamentalisme pasar. Pasar
adalah ekspresi selera dan kehendak si kaya yang memiliki tenga beli3. Oleh karena itu
dalam sistem ekonomi yang pro-pasar maka pola-produksi (dan selanjutnya pola-konsumsi)
akan dibentuk sesuai dengan kehendak si kaya dan oleh perhitungan untung-rugi ekonomi4.
Apa yang penting untuk dikemukakan di sini dalam kaitannya dengan Pasal 33 UUD 1945
adalah bahwa Pembangunan Nasional tidak seharusnya diserahkan pada kehendak pasar dan
selera pasar, apalagi pada naluri dasar (kerakusan) pasar.
Untuk Indonesia yang mewarisi berbagai ketimpangan-ketimpangan struktural, baik dari segi
hukum, sosial dan politik, tak terkecuali dari segi ekonomi, maka Pembangunan Nasional

haruslah dilakukan melalui suatu perencanaan nasional. Masa depan Indonesia harus didisain
dan ditata, strategi pembangunan harus dengan tandas digariskan, sesuai dengan pesan
konstitusi. Perencanaan pembangunan nasional adalah pilihan imperatif, perekonomian harus
disusun, sekali lagi tidak dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar-bebas. Pasar
tidak akan mampu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Usaha bersama adalah wujud paham mutualisme, suatu kehendak untuk senantiasa
mengutamakan semangat bekerjasama dalam kegotongroyongan, dalam ke-jemaah-an,
dengan mengutamakan keserikatan, tidak sendiri-sendiri.
Asas kekeluargaan adalah brotherhood atau ke-ukhuwah-an (yang bukan kinship nepotistik)
sebagai pernyataan adanya tanggungjawab bersama untuk menjamin kepentingan bersama,
kemajuan bersama dan kemakmuran bersama, layaknya makna brotherhood yang
mengutamakan kerukunan dan solidaritas. Dalam negara yang pluralistik ini brotherhood
adalah suatu ke-ukhuwah-an yang wathoniyah. .
Bolehlah saya bertanya, apakah pesan konstitusi ini telah diterjemahkan dan dijabarkan
dalam pengajaran ilmu ekonomi di ruang-ruang kelas? Dengan kata lain apakah yang
diajarkan justru ilmu ekonomi kapitalistik neoliberal yang berdasar pasar-bebas yang
ditentang oleh doktrin demokrasi ekonomi yang mendasari Pasal 33 UUD 1945?
Yang perlu kita amati adalah pendatang baru dalam pemikiran-pemikiran ekonomi yang
diperkenalkan dengan istilah Ekonomi Syariah. Sekali lagi akan saya kutipkan pendapat
seorang ekonom yang memahami pikiran-pikiran Bung Hatta yang telah secara formal
menjadi pesan konstitusi kita, sebagai berikut:
Pada kesempatan ini saya rasakan perlunya mencoba menjelaskan dari sudut pandang
Syariah sebagai berikut. Bunyi Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Perekonomian disusun, artinya imperatif harus disusun dan tidak dibiarkan tersusun sendiri,
haruslah disusun karena Firman Allah supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya di antara kamu (Al-Hasyr, ayat 7).
Demikian pula disusun agar tidak terjadi konsentrasi penguasaan (tidak boleh terjadi
pemonopolian) terhadap sumber-sumber kekayaan karena Kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya, Dia Maha Kuasa atas segalanya (AlMaidah, ayat 120). Dan sungguh, orang muslim hanya satu dalam persaudaraan (AlHujurat, ayat 10).Demikian pula Tuhan tidak menghendaki penguasaan harta secara mutlak,
maka Tuhan berfirman Celakalahyang menimbun harta dan menghitung-hitungnya
(Al-Humazah, ayat 2).
Bahwa perekonomian harus disusun, tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri melalui
mekanisme pasar-bebas a la competitive economics, maka makin jelas dari Sabda Rasul SAW
(HR Abu Dawud) agar Manusia berserikat dalam tiga hal: air, api dan rumput.

Berserikat adalah wujud paham kebersamaan, berserikat adalah wujud pengaturan berdasar
musyawarah dan mufakat.
Itulah sebabnya Pasal 33 UUD 1945 adalah sangat Islami karena diutamakannya usaha
bersama atau usaha ber-jemaah, yang dalam bahasa ekonomi saya sebut sebagai
mutualism, melalui perserikatan itu yang berarti menolak individualisme atau asas
perorangan
Demikian pula arti dari asas kekeluargaan yang dalam bahasa ekonomi saya sebut sebagai
brotherhood, yang dalam bahasa agama kita sebut sebagai ukhuwah, baik diniyah,
wathoniyah maupun bashariyah.
Demikian pula perlu kita catat bahwa Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan Fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara menunaikan QS. 107: 1-7. Bahwa
definisi pembangunan telah terkoreksi dan berkembang ke arah people-centered dan
humanism, harus kita sadari dan terus kita tuntut.
Sesungguhnya Ekonomi Syariah seiring dan compatible dengan Pasal 33 UUD 1945,
bahkan dengan Pasal 27 (ayat 2)?
Bagi Bung Hatta, ajaran agama Islam yang diterimanya sejak kecil bukan untuk
memamerkan kemampuan mengaji karena sudah seharusnya orang Islam belajar al-Quran,
atau memakai atribut-atribut dan asesori yang menggambarkan dirinya seorang Islam. Bagi
Bung Hatta, Islam untuk diamalkan, bagaikan garam, tak terlihat tetapi terasa dalam
makanan, bukan sebagai gincu (lipstick), kelihatan tetapi tak terasa. Sebaliknya bagi Bung
Hatta, nilai-nilai Islam harus dijadikan sarana untuk mensejahterakan rakyat. Ilmu ekonomi
harus membuat sistem perekonomian Indonesian menjadi sarana mensejahterakan rakyat,
bukan untuk kepentingan kelompok atau individu sebagaiman sudah dijelaskan di atas.
1. 3.
Pandangan Bung Hatta tentang Hak Mengemukakan
Pendapat
Bung Karno pada tanggal 15 Juli 1945 dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menegaskan bahwa negara ini didirikan berdasarkan rasa
bersama dan membuang jauh-jauh faham individualisme5. Menurut Bung Karno, karena
negara yang didirikan nanti adalah negara kekeluargaan yang berdasar kebersamaan, maka
tidak perlu ada hak-hak orang per orang (yang sekarang disebut sebagai hak asasi itu),
artinya, masuknya le droits de lhomme et du citoyen sebagaimana yang dicanangkan oleh
Revolusi Perancis ditolak. Dengan kata lain, Bung Karno menolak kedaulatan individu dan
mengutamakan kedaulatan rakyat.
Bung Karno kemudian menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar yang akan disusun
haruslah menentang individualisme dan liberalisme, dan memilih jiwa kekeluargaan dan
kebersamaan. Karena itu UUD tidak perlu mencantumkan hak-hak individu orang per orang

yang bersumber pada ideologi individualisme dan liberalisme, atau dengan kata lain, tidaklah
perlu Undang-Undang Dasar mencantumkan hak-hak asasi manusia.
Uraian Bung Karno yang penuh semangat itu disambut dengan tepuk tangan yang riuh dari
para anggota, sehingga Dr. Radjiman selaku Ketua menarik kesimpulan bahwa tak ada yang
menentang penjelasan Bung Karno dan karena itu minta para anggota menyetujui usul Bung
Karno.
Namun Bung Hatta meminta kesempatan untuk bicara dan menjelaskan bahwa selama 20
tahun beliau berjuang untuk menentang individualisme. Memang tidak perlu memasukkan
the rights of the citizens seperti yang dianut revolusi Perancis di bawah semboyan les
droits de lhomme et du citoyen, karena ini dimaksudkan sebagai hak individu dalam
menentang kezaliman raja-raja di masa lalu. Namun sesudah revolusi Perancis, hak-hak
warganegara dimasukkan ke dalam UUD untuk menentang kezaliman itu.
Menurut Bung Hatta, kelemahan faham individualisme patut diberantas, tetapi janganlah kita
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara dan menjadikan Indonesia
merdeka yang kita bentuk menjadi suatu negara kekuasaan (Machtsstaat). Harus ada hak dari
masing-masing anggota keluarga untuk mengeluarkan isi hatinya, karena itu Bung Hatta
mengusulkan pasal mengenai hak warganegara agar jangan takut mengeluarkan suaranya, hak
untuk berkumpul dan bersidang, hak untuk menyurat. Inilah kemudian yang menjadi Pasal 28
UUD 1945, yaitu hak warganegara dalam bentuk Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UndangUndang.
1. 4.
Pandangan Bung Hatta mengenai Hak Warganegara
atas Pekerjaan
Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945 menyatakan bahwa Tiap-tiap warganegara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini adalah pasal yang dilandasi
oleh pemikiran Bung Hatta bahwa merupakan kewajiban negaralah untuk menyediakan
lapangan kerja agar rakyat terbebas dari kemiskinan dan pengangguran. Bila saat ini
(terutama sesudah 2005 orang-orang bicara tentang pekerjaan dan kemiskinan, sebenarnya
Bung Hatta telah menegaskannya jauh-jauh hari melalui Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945.
Berhak atas pekerjaan adalah anti pengangguran (pro-job) dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan adalah anti kemiskinan (pro-poor), sekaligus mencerminkan bentuk
komitmen dan tanggungjawab negara untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia, yang
mereka sepakati waktu menyusun UUD 1945. Inilah paham pembangunan yang humanistik,
yang people-based dan people-centered, suatu pendekatan pembangunan yang saat ini masih
dianggap sebagai pendekatan pembangunan baru yang kontemporer, yang jauh-jauh hari telah
dipikirkan oleh Hatta.
1. 5.
Pandangan
Memeluk Agama

Bung

Hatta

mengenai

Kemerdekaan

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya itu adalah juga dilandasi oleh pemikiran Bung Hatta.
Hal ini sejalan dengan ajaran agama bahwa umat Islam tidak saja harus berbuat baik kepada
sesama umat Islam, namun juga berbuat baik kepada semua umat Allah SWT. Inilah makna
yang luas dari hablum minannaas.
1. 6.

Pandangan Bung Hatta mengenai Pertahanan Negara

Gagasan Bung Hatta mengenai hak warganegara tidak saja mengenai kemerdekaan
warganegara untuk memeluk agamanya masing-masng dan beribadah menurut agamanya
yang dipeluknya itu, melainkan juga mencakup tentang pertahanan negara.
Hal itu termuat dalam Pasal 30 ayat (1) mengenai pertahanan negara bahwa Tiap-tiap
warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
1. 7.
Konsepsi Bung Hatta mengenai Disain Kesejahteraan
Sosial: Pasal 33 dan 34 UUD 1945
Sebagaimana kita ketahui bersama, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 yang konseptornya
adalah Bung Hatta, berada dalam Bab XIV: Kesejahteraan Sosial (kemudian secara absurd
dirubah melalui amandemen. Dari sini kita dapat melihat disain kesejahteraan sosial yang
beliau pikirkan untuk rakyat Indonesia, bahwa isi Pasal 33 UUD 1945 yang asli tersebut
pada hakekatnya menyatakan bahwa sistem perekonomian negara ditujukan untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sementara melalui Pasal 34 rakyat yang miskin dan
terlantar menjadi tanggungjawab Negara utuk melindunginya. Kedua pasal ini untuk
mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi rakyat seluruhnya.
Konsepsi dari Negara Pengurus yang ditekankan oleh Bung Hatta ini ditegaskan oleh salah
satu Bapak Administrasi Negara, Prof. Bintoro Tjokroamidjojo sebagai konsepsi good
governance6. Kiranya atas dasar itulah maka pada peringatan Satu Abad Bung Hatta, Prof.
Bintoro menyatakan bahwa Bung Hatta adalah Bapak Kedaulatan Rakyat atau Bapak Demokrasi Indonesia.
Apa yang dikatakan oleh Prof. Bintoro adalah benar. Akan saya kutipkan pidato Bung Hatta
di depan Sidang BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945:
kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi
satu hal yang saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada
rakyat dalam Undang-Undang Dasar yang mengenai hak untuk mengeluarkan suara
mungkin terjadi suatu bentukan negara yang tidak kita setujui Hendaklah kita
memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara
kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang
berdasar gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah memperbarui masyarakat. Tetapi di

sebelah itu janganlah kita memberi kekuasaan kepada negara untuk menjadikan di atas negara
baru itu suatu negara kekuasaan sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan
rakyat 7.
Kata-kata pertanggungan kepada rakyat, negara pengurus, dan kedaulatan rakyat telah
mengingatkan kita kepada pemikiran-pemikiran baru dewasa ini, yaitu prinsip-prinsip dari
pengelolaan (pengurusan) yang amanah, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah good
governance 8.
Oleh karena itu bagi Indonesia good governance mempunyai arti dan rujukan tunggal sebagai
dapat dilaksanakannya amanah nasional oleh pemerintahan negara Indonesia sebagai negara
pengurus untuk:
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ini merupakan komitmen nasional pemerintahan negara dan sekaligus merupakan cita-cita
nasional yang harus menjadi rujukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. (Jangan
sampai pengertian good governance dikacaukan dengan good corporate governance yang
rujukan dan prinsip-prinsip pengelolaannya berbeda, yang hanya menyangkut masalah
korporasi seperti akuntabilitas transparansi, efisiensi efektivitas, inovasi, dst.
Maka tidaklah mengherankan jika Bung Hatta mendukung sila kedua Pancasila, yaitu
kemanusiaan yang adil beradab, sebagai kewajiban warganegara untuk menghormati hak
asasi sesama manusia Indonesia, bukan sebaliknya menjadi manusia warganegara sekedar
penuntut hak asasi bagi dirinya sendiri.
1. 8.

Pemikiran Bung Hatta mengenai Koperasi

Perkataan koperasi ada pada UUD 1945, pada Penjelasan Pasal 33 UUD 1945. UUD 1945
hasil amandemen tidak lagi memiliki Penjelasan. Untuk itu, hendaknya gerakan koperasi dan
pencinta koperasi tidak kehilangan semangat, karena sesuai degan penegasan ahli hukum
Prof. Maria Farida Indrati untuk Pasal-Pasal dan Ayat-Ayat yang tidak diamandemen, maka
Penjelasan UUD 1945 tetap berlaku, termasuk Penjelasan Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3) yang
tetap tidak diubah (tidak diamandemen).
Ilmu koperasi dan kooperativisme harus dapat dengan tangguh dan paripurna dipahami oleh
generasi muda masa kini.
Barangkali kita harus mampu menjelaskan kepada masyarakat umum dan juga kepada para
mahasiswa kita bahwa koperasi bukanlah PT (Perseroan Terbatas) yang diberi nama
Koperasi. Pemilik PT adalah para pemegang saham dan pelanggan PT adalah para konsumen
yang membeli barang dan jasa dari PT itu. Namun Koperasi sangat berbeda. Pemilik
Koperasi adalah juga pelanggannya sendiri. Oleh karena itu kalau PT berusaha mencari laba

yang dipungut dari para pelanggannya, maka Koperasi tidak mencari laba, karena tidak
masuk akal memungut laba pada diri sendiri, karena pelanggan adalah sekaligus pemilik yang
sama.
Tugas koperasi adalah memfasilitasi anggota agar anggota mampu mencari laba sendiri dari
usahanya (apabila anggota koperasi adalah produsen dari koperasi produksi), atau mencari
manfaat bila anggota koperasi adalah konsumen.
Hal yang penting kita ketahui adalah bahwa koperasi hanya didirikan apabila sekelompok
orang yang ingin mendirikan koperasi itu memilki kepentingan bersama (misalnya supaya
dagangannya laku, tidak menunggu pembeli hingga busuk). Kalau di antara calon-calon
anggota tidak memiliki kepentingan bersama, janganlah sekali-kali mendirikan koperasi,
sekedar karena bersimpati kepada ide koperasi.
Sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama itu haruslah orang-orang yang sering
bertemu, baik yang berdasar alasan se-rukun tempat tinggal, se-RT se-RW, setempat kerja,
seprofesi, atau pun sejenis matapencaharian.
Sukma dasar dari koperasi adalah menolong diri sendiri secara bersama-sama. Secara
bersama-sama itulah akan membentukkan sinergi, yaitu kemampuan yang berlipat-ganda
untuk menyelesaikan kepentingan bersama.
1. 9.

Pandangan Bung Hatta Mengenai Masalah Globalisasi

Saat ini kita sedang ramai berbicara mengenai globalisasi. Globalisasi adalah istilah baru di
dalam kamus-kamus bahasa Inggris yang terbit sebelum 1995 tidak didapati istilah
globalization, hanya akan ditemukan perkataan global, globalism, globally, globe.
Globalisasi adalah gejala meluasnya global networking yang dipacu oleh perkembangan
komunikasi dan informasi menembus batas-batas dan sekat-sekat antar negara, dunia makin
menjadi terbuka, hubungan sosial, politik, budaya peradaban dan ekonomi makin
mengglobal. Bung Hatta, sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 3 Februari 1946
telah mampu melihat ke depan. Beliau menegaskan perlunya saat itu Indonesia
menyambung ekonomi nasional dengan ekonomi seluruh dunia. Bagi Hatta globalisasi
telah dilihatnya sebagai suatu kenyataan masa depan yang harus dirintis dan akan terjadi.
Betapapun Bung Hatta bicara mengenai bagaimana menyambung ekonomi nasional dengan
ekonomi global, namun Bung Hatta tetap berpedoman bahwa kepentingan nasional harus
diutamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global, jadi titik-tolaknya tetap berpegang
teguh pada nasionalisme ekonomi. Nasionalisme tidak pernah usang, untuk itu perlu saya
kutipkan sebagai tertulis di catatan kaki.9)
1. 10.

Berkecamuknya Neoliberalisme

Karena kita telah mengabaikan sistem demokrasi Indonesia yang kita kenal sebagai
Demokrasi Pancasila, dan dengan membiarkan meluasnya hegemoni akademis terhadap

kampus-kampus kita (sehingga kurikulum dan silabus di kelas-kelas kita terkapsul oleh
paham demokrasi Barat yang berdasar liberalisme dan individualism) maka di dalam
kehidupan ekonomi Indonesia demokratisasi ekonomi dengan sendirinya diterjemahkan
menjadi liberalisasi dan privatisasi di dalam kehidupan ekonomi. Badan-badan usaha
negara yang merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak mulai diprivatisasi, BUMN-BUMN strategis, tak
terkecuali Indosat dan Krakatau Steel dijual ke swasta, bahkan ke swasta asing. Oleh karena
itu kita perlu meluruskan makna demokrasi dengan kebersamaan dan asas kekeluargaan
sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta sebagai landasannya.
Prinsip dari demokrasi adalah partisipasi dan emansipasi. Itulah sebabnya maka Bung Hatta
mengartikan demokrasi sebagai lembaga politik di mana semua diwakili bukan yang
semua dipilih seperti demokrasi di Barat. Semu diwakili berarti pengambilan keputusan
yang paling tepat adalah melalui mekanisme musyawarah dan mufakat sedangkan semua
dipilih sebagai dasar bagi demokrasi Barat berarti sebagai konsekuensi pengambilan
keputusan dilakukan melalui voting berdasar suara terbanyak.
Dari sudut national wisdom Indonesia, maka kebenaran adalah kebenaran, sebagai suatu
permufakatan antar orang-orang yang mencari hikmah kebijaksanaan. Kebenaran bukanlah
hitung-hitungan aritmatik belaka atas dasar suara orang banyak belaka. Itulah sebabnya pula
bahwa di dalam buku kecil monumental Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita, Bung Hatta
membela Pancasila atas dasar berlakunya musyawarah dan mufakat. Di sini Bung Hatta
berbeda pendapat dengan Bung Karno yang melahirkan Pancasila dan menyebut gaya
demokrasi Bung Karno sebagai diktatur (dictatuur).
11.Penutup
Sebagai Penutup dapatlah saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, totalitas dalam perjuangan bukan berarti berjuang untuk satu usaha kecil, tetapi
perjuangan untuk mencapai suatu yang besar, demi kepentingan bangsa.
Kedua, perjuangan bagi seorang pemimpin dan tokoh nasional adalah memadukan antara
sifat-sifat teguh, tegar, konsekuen, konsisten, dengan kata lain, sama kata dengan perbuatan,
apa yang teruang dalam gagasan, diimplementasikan dalam perbuatan yang tepat.
Ketiga, bagi seorang pemimpin, perjuangan adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks Indonesia, tanah air dan bangsa harus dibangun, dalam arti membangun
manusia, membangun negara, dan melaksanakan pembangunan nasional sesuai dengan
disain bangsa kita sendiri, bukan untuk dan oleh bangsa lain.
Keempat, pemimpin Indonesia tidak boleh minder atau rendah diri kepada bangsa asing, dan
harus berjuang agar bangsa Indonesialah yang harus menjadi tuan di negeri sendiri.
Bukanlah hal itu diartikan untuk mengisolir diri, tetapi untuk duduk sama rendah dan berdiri
sama tinggi dengan bangsa lain untuk sama-sama memikirkan kemajuan peradaban dunia.

Kita harus membangun bangsa dan negara kita menjadi bangsa dan negara yang bermartabat
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Kelima, Bung Hatta telah menjalankan totalitas perjuangannya, yang garis merahnya adalah
memerdekakan bangsa, mensejahterakan bangsa dan membuat perangkat peraturan
perundang-undangan yang sesuai untuk tujuan itu.
Keenam, dari segi pribadinya, untuk mencapai totalitas perjuangannya itu, Bung Hatta
bersumpah untuk tidak menikah sebelum Indonesia karena tidak ingin membuat keluarga
menderita ketika ia sedang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Selain itu menurut Bung
Hatta, bukanlah pemimpin kalau masih lemah terhadap air mata istri yang tidak tahan hidup
menderita.
Ketujuh, Bung Hatta senang menyitir kata-kata pujangga Rene de Clerq, Hanya ada satu
negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku.
Kedelapan, Bung Hatta menulis wasiat agar beliau tidak dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, melainkan di pekuburan rakyat biasa, yang nasibnya beliau perjuangkan
hampir sepanjang hidupnya.
***
Akhirnya, mudah-mudahan dalam zamannya sendiri namun dalam prinsip hidup dan totalitas
yang sama, para pemuda masakini yang akan menjadi pemimpin Indonesia masa depan,
memikirkan sejak awal apa yang dihadapi bangsa dan negara kita, apa landasan berpijak yang
telah digariskan oleh para pendiri negara untuk dilanjutkan di masa kini dan masa depan.
Zaman berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi bertambah maju, namun prinsip-prinsip
dasar untuk membangun Indonesia sesuai yang sudah digariskan oleh para pendiri bangsa
yang sangat bijak dan pikirannya melampaui zamannya, harus tetap menjadi panutan untuk
lebih mampu membangun Indonesia.
Bung Hatta adalah pemimpin nasional yang bukan hanya cerdas melampaui zamannya,
namun juga pemimpin yang berkarakter tangguh. Kita mengharapkan, pemimpin-pemimpin
masa kini dan masa depan mendidik diri mereka sendiri untuk menjadi pemimpin berkarakter
tangguh seperti Bung Hatta.
Oleh:
MEUTIA-HATTA SWASONO
(Guru Besar Universitas Indonesia; Anggota Dewan Pertimbangan Presiden)

Вам также может понравиться