Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Aku menjatuhkan tubuhku di kasur. Pikiranku masih tertinggal di PIM bersama Tristan.
Malam yang ku pikir akan terlewat begitu saja. Ternyata menjadi malam yang sangat
berkesan.
Beruntung juga si Imel punya pacar kayak Tristan. pikirku.
Ku tumpahkan buku-buku dari dalam plastik. Ku tata buku di atas meja nakas.
Seandainya gua udah di rumah sendiri. dambaku.
Suara ketokan membuatku terbangun dari tempat tidur. Sesaat kemudian muncul tante
Mirna dengan telpon di tangannya.
Mir, ini telpon dari papahmu. ujarnya.
Terima kasih Tante.
yang selalu
belakang
suara
mamah,
terdengar
pembicaraan.
Ya udah ya. Hati-hati. Pinter-pinter jaga diri.
Iya Mah. Makasih Mah. ucapku.
Daahh.
Daaah.
papah
memintanya
untuk
menyudahi
Aku keluar kamar mencari tante Mirna untuk mengembalikan wireless dan berterima
kasih. Tapi aku tidak berhasil menemukannya di atas.
Kasih ke Imel aja deh. ujarku pelan.
Pintu kamar Imel berada di depanku, namun ketika aku akan membuka pintu tersebut,
terdengar suara keras dari dalam kamar.
Aku mengurungkan niat untuk masuk dan mengembalikan wireless. Tapi aku juga
penasaran apa yang sedang Imel lakukan.
Tubuhku mematung di depan pintu kamar Imel. Aku mencondongkan sedikit tubuhku
agar dapat mendengar lebih jelas.
Dari dalam terdengar jelas pembicaraan Imel dengan seseorang di telpon. Aku
mengambil satu langkah lebih dekat.
Suara terdengar lebih jelas lagi. Imel berbicara dengan Tristan. Sepertinya bukan
percakapan yang baik-baik. Bisa terdengar jelas nada suara Imel yang meninggi.
Aku terbenam dalam percakapan mereka. Berkali-kali Imel mengatakan sayang kepada
Tristan. Tapi satu yang membuatku terhenyak. Ternyata mereka sudah tidak jadian lagi.
Kata sahabat terlontar dari mulut Imel. Namun sepertinya Imel tidak rela menjadi sahabat
Tristan, ia lebih memilih menjadi pacarnya.
Kenapa Imel mengatakan di depanku bahwa Tristan adalah pacarnya? pikirku.
Aku kembali berusaha mendengarkan kelanjutan pembicaraan mereka. Tetapi tidak ada
lagi suara yang muncul dari dalam kamar.
Dengan sedikit keraguan, aku mengetuk pintu kamar Imel dengan pelan. Satu ketukan,
dua ketukan, tidak dijawab.
Mungkin Imel tidak ingin diganggu kataku dalam hati.
Aku melangkah menuju kamarku kembali. Belum sempat aku membuka pintu, terdengar
panggilan pelan dari Imel.
Wajah Imel terlihat sangat sedih bercampur kesal. Aku khawatir, jangan-jangan Imel kesal
gara-gara aku ke Coffee Bean dengan Tristan. Seharusnya aku menolak ajakan Tristan.
Kenapa Mel? tanyaku sedikit ragu.
Lo mau nemenin gua sebentar ga? tanya Imel.
Iya, ga papa, kenapa emang Mel.
Enggak.
Imel kemudian masuk ke dalam kamarnya kemudian terduduk lesu di atas tempat
tidurnya yang kini sudah ber bed cover warna biru muda.
aku mengikutinya dari belakang dan menutup pintu kamar dengan perlahan. Jantungku
berdetak kencang. Aku takut kesedihan Imel akibat ulahku sendiri. Bagaimana aku meminta
maaf kepada Imel. Baru dua hari aku menumpang di rumahnya, sudah berulah. Mungkin
jika aku ribut dengan Imel, bukan tidak mungkin Tante Mirna mengusirku.
Kenapa sih lo Mel? Kok tampang lo sedih gitu?
Tadi lo jalan sama Tristan kan?
Hah? Eeehmm kan lo tau.
Iya, Tristan cerita-cerita tentang gua gak?
Di tengah kegugupanku, aku berusaha berpikir. Jari tangan kananku mengetuk-ketuk
daguku.
Ehhmm lupa gua.
Menurut lo Tristan gimana? tanya Imel.
Mati gua! Gua jawab apa ya? Aduuhhh mustinya gua tolak aja nemenin Imel! Ini sih
ajang bunuh diri!gerutuku dalam hati.
Hmm anaknya baik. jawabku singkat berusaha tidak membuat Imel curiga.
Selain itu? tanya Imel lagi.
Adduuuuhhh nih anak mo nyecer gua ato gimana sih? gerutuku lagi dalam hati.
Hmmm yang gua tau sih itu, abis gua belom kenal banget sih.
Jawab apaan sih lo Mir? Ga jelas banget. Adduhh nih kamar kok panas banget ya?
AC-nya nyala ga sih?
Gua bingung nih sebenernya gua sama Tristan udah ga jadian. cerita Imel.
Ohlalala bener nih! Kejadian! Gua udah feeling banget!
Kapan putusnya? tadi? di telpon? cecarku.
Enggak udah lama kok. setahun yang lalu. jawab Imel.
Setahun yang lalu?
Loh? Kok elo masih kayak jadian sih?
Abis gua takut si Tristan di rebut cewek lain. Jadi gua masih nganggep dia cowok gua.
Terus Tristannya gimana? tanyaku penasaran.
Yaa seperti yang liat. Dia tetep care sama gua. Tapi ga pernah mau balikan.
Otakku masih belum dapat menerima informasi Imel dengan baik. Aku masih bingung,
apa status Imel sebenarnya. Pacarkah? Temankah? sahabatkah? atau dianggap adik?
Tunggu Mel! Gua belum ngerti, jadi lo sama Tristan udah ga jadian, tapi lo berdua tetep
kayak masih jadian? Gitu bukan?
Yalebih ke sahabatan banget sih tapi lebih deket lagi.
Jadi lo berdua HTS1-an gitu?
Enggak juga sih. Eh iya. Duuh pusing gua!
Bagaimana aku harus memberi saran, sedangkan aku sendiri masih bingung dengan
keadaanku sekarang.
Mendingan lo omongin langsung. saranku.
Udah sering Mir, tapi Tristan tetap mo sahabatan aja. Katanya kalo pacaran malah sering
berantem.
Sigini ribetnya ternyata kalo pacaran! Pantesan mamah ngelarang gua pacaran.
Sepertinya bukan membawa kesenangan tapi kepusingan!
Tadi gua nelpon Tristan buat nanya, dia masih sayang ga sama gua. Tapi dia ga jawab.
Ngeselin banget! tambah Imel.
Aku hanya terdiam menyimak dengan seksama keluhan Imel yang menurutku sangat
konyol. Bisa saja aku menjawab Ya sudahlah! Lo aja yang kecetilan sama Tristan! tapi itu
gak mungkin aku katakan. Selain akan lebih membuat Imel kesal juga membuat diriku
terancam tidur di pinggir jalan.
Mungkin jawaban yang paling diplomatis adalah ya sudaaahhh. Lo sabar aja. Lamalama Tristan juga balik lagi sama lo. walaupun itu bull shit banget.
Ya, sudaaahhh. Lo sabar aja. Nanti Tristan juga balik lagi sama lo. ujarku menenangkan.
Bener Mir? Lo yakin?
1.HubunganTanpaStatus