Вы находитесь на странице: 1из 17

KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Pendahuluan
Glukokortikoid

merupakan

terapi

utama

di

dalam

bidang

dermatologi karena sifatnya sebagai imunosupresif dan anti inflamasi.


Pemahaman terhadap sifat dan mekanisme kerja glukokortikoid yang baik
memungkinkan

penggunaannya

sebagai

obat

untuk

terapi

secara

maksimal.
Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari
preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak
diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi termasuk
dalam bidang dermatologi kortikosteroid merupakan pengobatan yang
paling seringdiberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari
hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini
dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot
dan resistensi tubuh.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua
golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berdasarkan
cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang
digunakan di kulit pada tempat tertentu dan merupakan terapi topikal
yang memberi pilihan untuk para ahli kulit dengan menyediakan banyak
pilihan

efek

pengobatan

yang

diinginkan,

diantaranya

termasuk

melembabkan kulit, melicinkan, atau mendinginkan area yang dirawat.


Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid
adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena
khasiat inilah kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi.
Defenisi

Kortikosteroid

adalah

suatu

kelompok

hormon

steroid

yang

dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas


hormon

adrenokortikotropik

(ACTH)

yang

dilepaskan

oleh

kelenjar

hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh,
misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh,
dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein,
kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dan 2 bagian yaitu bagian korteks dan
medulla, sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu
fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih
besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2
jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya
nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil
atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison,
yang

merupakan

glukokortikoid

alam.

Terdapat

juga

glukokortikoid

sintetik, inisalnya prednisolon,triamsinolon, dan betametason.


Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na
dan deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen
hepar sangat kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan
dalam terapi. Prototip dan golongan ini adalah desoksikortikosteron.
Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang
berarti, kecuali 9 a-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak
pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada
keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.

Biologi dan Mekanisme kerja


Kortisol merupakan bentuk alami dari glukokortikoid yang disintesis
dari kolesterol di dalam korteks adrenal. Dalam keadaan normal, di dalam

sirkulasi terdapat kurang dari 5% kortisol bebas yang merupakan bentuk


aktif dalam terapi. Sedangkan sisanya dalam bentuk inaktif karena terikat
dengan

cortisol-binding

globulin

(CBG,

atau

yang

dikenal

sebagai

transcortin) (95%) atau berikatan dengan albumin (5%).

Sekresi cortisol setiap harinya berkisar antara 10-20 mg, dengan


puncak diurnal sekitar pukul 8 pagi. Kortisol memiliki waktu paruh 90
menit. Metabolismenya terutama berlangsung di dalam hepar dan
metabolit yang dihasilkan diekskresikan oleh ginjal dan hepar.

Mekanisme

kerja

glukokortikoid

melalui

difusi

pasif

melalui

membran sel, diikuti dengan ikatan dengan protein reseptor di dalam


sitoplasma. Kompleks reseptor hormon kemudian masuk ke dalam nukleus
mempengaruhi transkripsi sejumlah gen-gen target yang menyebabkan
penurunan

sintesis

molekul-molekul

proinflamasi

termasuk

sitokin,

interleukin, molekul adhesi dan protease.

Glukokortikoid mempengaruhi replikasi dan pergerakan sel serta


menimbulkan keadaan monositopenia, eosinopenia dan lymphocytopenia.
Efeknya terhadap sel T lebih besar dibandingkan dengan sel B.
Lymphocytopenia

timbul

sebagai

akibat

redistribusi

sel-sel

yang

bermigrasi dari sirkulasi menuju jaringan lymphoid lainnya, dan diyakini


bahwa glukokortikoid menyebabkan apoptosis.

Glukokortikoid

juga

berperan

dalam

aktivasi,

proliferasi

dan

diferensiasi sel. Fungsi makrofag berkurang oleh kortisol dan penurunan


ini memperngaruhi reaksi hipersensitivitas sedang dan lambat. Fungsi
monosit dan lymphosit juga turut terpengaruh. Penggunaan glukokortikoid
juga menyebabkan produksi antibodi berkurang.

Penyakit-penyakit Kulit yang Diobati oleh Glukokortikoid

Penyakit kulit yang umumnya diobati dengan glukokortikoid oral


meliputi penyakit bulosa (pemphigus, erythema multiforme dan TEN),
penyakit yang mengenai jaringan ikat (SLE, dermatomyositis), vaskulitis,
sarcoidosis, reaksi lepra tipe 1, hemangioma kapilar, panniculitis dan
urtikaria/ angioedema.

Pemakaian glukokortikoid jangka pendek pada keadaan tertentu


dapat dipakai untuk dermatitis berat seperti dermatitis kontak, dermatitis
atopik, photodermatitis dan eritroderma. Acne dan hirsutism akibat
sindrom adrenogenital juga dapat diobati dengan glukokortikoid dosis
rendah bila pengobatan secara konservatif tidak berhasil. Sementara
penggunaan glukortikoid pada penderita eritema nodosum , lichen planus,
lymphoma kutaneus sel T dan lupus erythematosus discoid masih menjadi
kontroversi.
Komplikasi atau Efek samping Terapi Glukokortikoid Sistemik

Komplikasi terapi glukokortikoid sistemik meningkat, sebanding


dengan peningkatan dosis, lamanya terapi dan peningkatan frekuensi
administrasi. Osteoporosis dan katarak dapat terjadi dalam berbagai dosis

harian,

dan

nekrosis

avaskular

dapat

terjadi

pada

pemakaian

glukokortikoid jangka pendek.


Osteoporosis

Osteoporosis terjadi pada 40% penderita dengan terapi


glukokortikoid; terutama terjadi pada anak-anak, orang tua dan wanita
post-menopause. Sepertiga dari pasien mengalami fraktur vertebra
setelah pemakaian glukokortikoid selama 5-10 tahun, proporsi ini lebih
tinggi pada wanita post-menopause. Bone loss terjadi dengan cepat pada
6 bulan pertama pemakaian glukokortikoid, dan berlanjut dengan lebih
lambat setelahnya, dengan pengurangan massa tulang sebanyak 3-10%
per tahun. Dalam beberapa kasus, bone loss dapat reversibel setelah
pemakaian glukokortikoid dihentikan, terutama pada orang muda.

Glukokortikoid menginhibisi osteoblas, meningkatkan ekskresi


kalsium oleh ginjal, menurunkan absorbsi kalsium oleh usus, dan
meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas.

Glukokortikoid
testosteron,

yang

juga

merupakan

menurunkan
faktor

kadar

penting

estrogen

pada

dan

patogenesis

osteoporosis.

Osteokalsin serum, suatu penanda fungsi osteoblas, menurun,


sehari setelah memulai pemakaian dosis regimen prednison 10 mg per
hari; dosis regimen prednison 7,5 mg per hari atau lebih, dan sering
menyebabkan bone loss yang signifikan dan meningkatkan frekuensi
terjadinya fraktur. Trabekula tulang adalah yang terutama terkena, dan
menyebabkan fraktur vertebra yang nyeri.
Nekrosis Avaskular

Nekrosis avaskular menyebabkan nyeri dan pembatasan


gerak pada satu atau lebih sendi. Dapat terjadi hipertensi intra-ossea
yang berakhir pada iskemik tulang dan nekrosis.

Umumnya,

hipertensi

intra-ossea

pada

orang

yang

mengkonsumsi glukokortikoid, disebabkan oleh hipertrofi liposit intraossea.

Selain itu, glukokortikoid menginduksi apoptosis osteoblas,


seperti yang biasa terjadi pada nekrosis avaskular. Penyakit yang
mendasari,

seperti

Systemic

Lupus

Erythematosus

(SLE),

dapat

meningkatkan induksi steroid pada nekrosis avaskular.

Dari penelitian didapatkan bahwa pasien yang menderita


nekrosis avaskular, mengalami trombofilia atau hipofibrinolisis, yang
mengarah pada oklusi trombotik dari outflow vena tulang, penurunan
perfusi arterial, dan infark tulang.
Aterosklerosis

Glukokortikoid
berhubungan

dengan

mendorong

aterosklerosis,

banyak

faktor

termasuk

resiko

hipertensi

yang

arterial,

resistensi insulin, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, dan obesitas sentral.


Oleh

karena

itu,

pasien

dengan

terapi

glukokortikoid,

memiliki

peningkatan resiko aterosklerosis.

Pasien dengan Cushings disease yang tidak diobati, memiliki


angka mortalitas empat kali lebih tinggi, akibat komplikasi kardiovaskular,
termasuk penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, dan stroke
jantung.

Faktor-faktor resiko aterosklerosis menetap, selama sedikitnya


5 tahun setelah normalisasi kadar kortisol serum pada Cushings disease,
hal yang sama juga ditemukan pada pasien dengan terapi glukokortikoid
jangka panjang.
Supresi Aksis Hipotalmik-Pituitari-Adrenal

Aksis

Hipotalmik-Pituitari-Adrenal

(HPA)

dengan

cepat

disupresi setelah onset terapi glukokortikoid. Bila terapi dibatasi selama 13 minggu, aksis HPA akan membaik dengan cepat.

Terapi

harian

glukokortikoid

yang

lebih

lama,

akan

menyebabkan supresi aksis HPA yang menetap sampai satu tahun setelah
terapi dihentikan.

Gejala-gejala dari supresi adrenal antara lain, letargi, lemah,


mual, anoreksia, demam, hipotensi ortostatik, hipoglikemi, dan penurunan
berat badan.

Dijumpai pula sindrom withdrawal dari steroid, di mana pasien


mengalami

gejala-gejala

insufisiensi

adrenal,

meskipun

tampaknya

memiliki respon kortisol terhadap adreno-corticotropic hormone (ACTH)


yang normal. Gejala-gejala

utamanya, termasuk anoreksia, letargi,

malaise, mual, penurunan berat badan, deskuamasi kulit, sakit kepala,


dan demam. Sedangkan gejala-gejala yang jarang terjadi, muntah,
mialgia, dan artralgia. Pasien-pasien ini telah menyesuaikan diri dengan
kadar glukokortikoid yang tinggi, dan gejala-gejala hilang setelah setelah
pengulangan pemberian glukokortikoid. Masalah ini dapat diatasi dengan
menurunkan dosis glukokortikoid secara bertahap, umumnya, 1 mg
prednison tiap beberapa minggu.
Efek Samping Imunologi

Glukokortikoid

memperbaiki

reaksi

hipersensitivitas

tipe

lambat karena dapat menginhibisi limfosit dan monosit. Prednison dengan


dosis harian 15 mg atau lebih dapat menekan respon terhadap tuberkulin,
meskipun diperlukan waktu sekitar 13,6 hari untuk prednison oral pada
dosis 40 mg per hari untuk menginhibit respon terhadap tuberkulin. Oleh
karena itu, bahkan pada situasi yang membutuhkan prednison segera,
adalah mungkin untuk melakukan tes purified protein derivat (PPD)
terhadap tuberkulin dan panel anergi.

Secara keseluruhan, terjadi peningkatan insiden infeksi yang


dapat disebabkan oleh glukokortikoid maupun perubahan imunologis yang
berhubungan dengan penyakit yang mendasari.
Komplikasi Terapi Glukokortikoid

Central nervous system

Endocrinologic

Pseudotumor cerebri and

Suppression of HPA

psychiatric disorder

Growth failure

Musculoskeletal

Secondary amenorrhea

Osteoporosis

with Metabolic

spontaneous

Hyperglycemia

fracture

unmasking genetic

Aseptic necrosis of bone

predispotition to diabetes

Myopathy

mellitus

Ocular

Nonketotic

Glaucoma and cataracts

hyperosmolar

state

Gastrointestinal

Hyperlipidemia

Peptic ulceration

Alterations of fat distribution

Intestinal perforation

(typical

Pancreatitis
Cardiovascular

cushingoid appearance)
and

fluid

retention
Hypertension

Fatty infiltration of the liver


Drug interaction (decreased
anticoagulant

Sodium and fluid retention

effect

of

Hypokalemic alkalosis

biscoumacetate)

Atherosclerosis

Fibroblast inhibition

Hypersensitivity reaction
Urticaria
Anaphylaxis

and

ethyl

Inhibition of wound healing


Subcutaneous tissue atrophy
(striae, purpura,
ecchymoses)
Suppression of host defenses
Immunosuppression, anergy
Effects on phagocyte kinetics
and function
Increased
infection

incidence

of

Interaksi Obat

Glukokortikoid memiliki beberapa interaksi obat yang penting. Obat


seperti barbiturat, fenitoin, dan rifampin, yang menginduksi enzim
mikrosomal hepar, dapat mempercepat metabolisme glukokortikoid. Obat
seperti kolestiramin, kolestipol, dan antasid, memperbaiki absorpsi
glukokortikoid. Glukokortikoid menurunkan kadar salisilat serum dan
menyebabkan kebutuhan dosis warfarin (Coumadin) yang lebih tinggi
untuk antikoagulasi.
Hubungan dengan Masa Kehamilan dan Laktasi

Glukokortikoid dapat menembus plasenta, tetapi tidak bersifat


teratogenik. Neonatus yang terpapar, begitu juga bayi yang masih
menyusui

pada

ibu

yang

sedang

menerima

glukokortikoid

harus

dimonitor, untuk supresi adrenal dan supresi pertumbuhan.

Tabel Glucocorticoids
Equivalent

Minera Plas

Glucocorticoid Potency lo(MG)

ma

Durati
on

cortico Half-

of

id

Action

life

Potenc (min

(H)

20

0,8

90

8-12

25

30

8-12

Short-acting

Hydrocortison

e
(Cortisol)

0,25

60

24-36

Cortisone

0,25

200

24-36

Intermediate-

180

24-36

acting

300

24-36

0,75

200

36-54

Prednisone
Prednisolone
Methylprednis
olone
Triamcinolone
Long-acting
Dexamethaso
ne

Penggunaan Terapi Glukokortikoid

Prinsip Dasar
1.Sebelum

pemberian

terapi

dengan

glukokortikoid

harus

dipertimbangkan :
2.Keuntungan yang didapat dibandingkan dengan efek samping
potensial.
3.Terapi

alternatif

atau

terapi

tambahan

terutama

apabila

memikirkan untuk terapi jangka panjang.


4.Penyakit lain yang ada bersamaan seperti diabetes, hipertensi,
atau osteoporosis.
5.Faktor predisposisi pada pasien terhadap efek samping.
Pemilihan Glukokortikoid

Sejumlah pertimbangan dalam pemilihan glukokortikoid antara lain :


Obat dengan efek mineralokortikoid minimal biasanya dipilih untuk
menurunkan retensi sodium.
Penggunaan prednison oral jangka panjang atau obat lain yang
serupa, dengan waktu paruh sedang dan afinitas reseptor steroid lemah,
dapat menurunkan efek samping. Penggunaan obat jangka panjang
seperti dexamethasone, yang mempunyai waktu paruh lama dan afinitas
reseptor-glukokortikoid tinggi, dapat mempunyai efek samping lebih
banyak daripada efek terapi.
-Jika pasien tidak berespon terhadap cortisone atau prednisone,
harus dipertimbangkan bentuk aktif biologis pengganti yaitu cortisole atau
prednisolone, kecuali pada penyakit hepar yang berat.
-Methylprednisolone

digunakan

dalam

terapi

karena

memiliki

karakteristik sodium-retaining dan potensi tinggi.


Cara Pemberian dan Dosis
Cara pemberian glukokortikoid sistemik dapat dilakukan secara
intralesi, intramuskular, oral, maupun intravena, yang pemberiannya
ditentukan oleh sifat dan tingkat keparahan penyakit.
-Konsentrasi pemberian glukokortikoid intralesi ditentukan oleh
tempat injeksi dan sifat lesi. Konsentrasi rendah (2-3 mg/ml) digunakan
pada permukaan untuk mencegah atrofi kulit, sedangkan untuk keloid
dapat

diberikan

dengan

konsentrasi

40mg/ml.

Pada

kondisi

yang

membutuhkan sustained effects, seperti keloid dan allopecia areata,


longer acting glucocorticoid seperti Aristospan, dapat diberikan sendiri
atau dicampur dengan kenalog. Lebih baik membatasi dosis total kenalog
20 mg sebulan untuk memastikan aksis HPA tidak tersupresi.
-Pada pemberian intramuskular terdapat efek kemunduran yang
serius karena absorbsi yang tidak menentu dan dosis harian kurang
terkontrol. Kenalog memiliki masa kerja yang lebih lama daripada
prednison sehingga lebih banyak efek samping potensial, termasuk
peningkatan supresi HPA dan myopati.

-Untuk pemberian glukokortikoid oral sering dipilih prednisone.


Biasanya diberikan setiap hari, namun untuk penyakit akut dapat
diberikan dengan dosis terbagi. Dosis inisial diberikan perhari untuk
mengontrol proses penyakit dan dapat diberikan dari 2,5 mg sampai
beberapa ratus miligram perhari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu
dapat diberhentikan langsung tidak secara bertahap (tappering off). Dosis
terendah yang dapat diberikan pada pagi hari dapat meminimalkan efek
samping. Karena level kortisol mencapai puncak saat pukul 8 pagi, aksis
HPA lebih sedikit ditekan saat pagi hari dan penekanan feedback
maksimal

sekresi

ACTH

oleh

kelenjar

pituitaritelah

terjadi.

Level

glukokortikoid rendah pada malam hari menyebabkan sekresi normal


ACTH. Dosis rendah prednisolon (2,5-5mg) saat tidur telah digunakan
untuk memaksimalkan supresi adrenal pada akne atau hirsutisme.
-Glukokortikoid intravena digunakan pada dua keadaan. Satu untuk
mencegah stres pada pasien penyakit akut atau pasien bedah dan pasien
yang mendapat supresi adrenal pada terapi glukokortikoid. Yang kedua
untuk pasien dengan penyakit tertentu, seperti pioderma gangrenosa,
pemfigus bulosa, SLE berat, atau dermatomyositis, untuk mengontrol
penyakit secara cepat dan meminimalkan penggunaan waktu lama.
Methytlprednisolon digunakan pada dosis 500-1000mg perhari karena
memiliki potensi tinggi dan aktivitas retensi sodium rendah. Efek samping
serius penggunaan glukokortikoid intravena termasuk reaksi anafilaksis,
kejang, aritmia, dan kematian mendadak. Efek samping lain adalah
hipotensi, hipertensi, hiperglikemi, dan psikosis akut. Pemberian yang
lebih lama (2-3 jam) dapat meminimalkan efek samping. Sangat penting
untuk memonitor elektrolit serum sebelum dan sesudah terapi terutama
pada pasien yang mendapat terapi diuretik.
Strategi Menurunkan Efek Samping Glukokortikoid

Evaluasi sebelum Pengobatan

Evaluasi meliputi riwayat personal dan keluarga, dengan perhatian


serius terhadap predisposisi untuk diabetes, hipertensi, hiperlipidemia,
glaukoma, dan penyakit lain yang dapat mempengaruhi terapi steroid.
Tekanan darah dan berat badan harus diukur. Jika akan diberikan dalam
jangka panjang harus dilakukan pemeriksaan mata dan tes PPD, CT-scan
dan DEXA. Kultur Strongyloides dari feses harus dilakukan pada imigran
dari negara bagian ketiga dan veteran Vietnam.
Evaluasi selama Pengobatan
Saat follow-up pasien dengan terapi glukokortikoid jangka panjang,
harus ditanyakan tentang poliuri, polidipsi, sakit di abdomen, demam,
gangguan tidur dan efek psikologis. Tekanan darah, berat badan, elektrolit
serum, gula darah puasa, level kolesterol dan trigliserid harus dimonitor.
Pemeriksaan

mata

lanjutan

harus

dilakukan

untuk

memonitor

perkembangan katarak dan glaukoma.


Tindakan Pencegahan
Diet :

rendah kalori, lemak, dan natrium

tinggi protein, kalium, dan kalsium

meminimalkan konsumsi alkohol, kopi dan nikotin

melakukan olahraga

Infeksi :

pasien dengan PPD (+) harus diberikan profilaksis


isoniazid

pada pasien anergic harus dilakukan thorax foto untuk


mencari kemungkinan tuberculosis

demam harus dievaluasi dengan kultur dan pendekatan


diagnostik

pemberian

profilaksis

Pneumocystic

carinii

Bactrim

saat

untuk

pasien

melawan

menerima

terapi

sitotoksik
Komplikasi gastrointestinal :
pada pasien dengan dua atau lebih faktor risiko (pasien yang
mendapat

pengobatan

NSAIDs,

riwayat

ulkus

peptikum,

penyakit

keganasan, atau total dosis glukokortikoid lebih dari 100mg), dapat


dipertimbangkan pemberian profilaksis.
Profilaksis

yang

diberikan

termasuk

antasid,

H2

receptor

blocker

(cimetidin, ranitidin, nizatidin, atau famotidin), atau proton-pump inhibitor


(Prilosec or Prevacid)
Komplikasi Supresi Adrenal
Pasien dengan terapi glukokortikoid setiap hari selama 3-4 minggu
harus dicurigai adanya supresi adrenal sehingga memerlukan penurunan
dosis bertahap (tapering) untuk mengembalikan fungsi aksis HPA.
Tapering paling baik dilakukan dengan mengganti dosis tunggal harian
dengan dosis selang sehari, diikuti dengan penurunan dosis obat secara
bertahap.
Dosis harian mula-mula diturunkan secara bertahap sampai 40-50
mg prednison. Kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis tetap pada hari
berikutnya dan dikurangi 5 mg berturut-turut hingga mencapai 5 mg/hari,
atau dengan menaikkan dosis steroid pada hari berikutnya yang
dilanjutkan

dengan

penurunan

sejumlah

dosis

tersebut

pada

hari

berselang.
Setelah dosis prednison mencapai 5 mg pada hari berselang, maka
harus dilakukan kontrol terhadap terapi. Kadar kortisol plasma pada pukul
8 pagi harus diukur selama 4 minggu. Dosis prednison pada pagi hari
dipertahankan sampai kadar kortisol plasma dapat ditentukan. Bila kadar
kortisol plasma kurang dari 10 g/dL, maka dosis prednison berselang
harus dikurangi 1 mg berturut-berturut setiap 1-2 minggu sampai dosis 2
mg/hari. Kemudian kadar kortisol plasma pukul 8 pagi diperiksa kembali
setiap 2 bulan sampai mencapai lebih dari 10 g/dL, di mana dosis

glukokortikoid dapat ditentukan. Pengembalian aksis HPA dapat lebih dari


9 bulan. Pada titik tersebut ketika pasien menerima penurunan dosis
steroid, keadaan stres, seperti trauma, operasi, diare, atau demam >
38oC (101oF) dapat menjadi faktor presipitasi insufisiensi adrenal akut
sehubungan

dengan

respon

stres

yang

inadekuat.

Pasien

harus

mengenakan tanda pengenal bahwa mereka sedang dalam terapi


glukokortikoid. Pada kondisi stres tersebut perlu diberikan glukokortikoid
dosis tinggi, biasanya prednison 25-70 mg/hari atau kortisol 100-300
mg/hari dengan dosis terbagi. Pasien harus diperingati untuk menghindari
stres.
Dosis glukokortikoid pada persiapan operasi harus diperhitungkan
secara individual tergantung dari beratnya operasi.
Secara umum, insufisiensi adrenal dapat pulih dalam jangka waktu
1 tahun setelah terapi glukokortikoid dihentikan. Tes stimulasi ACTH
(cosyntropin) dapat dilakukan untuk menilai fungsi adrenal. Tes ini
dilakukan dengan mengukur kadar kortisol awal, kemudian diberi suntikan
intramuskuler 0,25 mg kosintropin, dan kadar kortisol diukur lagi 1 jam
kemudian. Terjadi supresi fungsi adrenal bila kenaikan kadar kortisol
kurang dari 5 g/dL.
Komplikasi Osteoporosis
Pencegahan

osteoporosis

penting

untuk

diperhatikan

dengan

ditemukannya terapi baru yang menyebabkan hilangnya materi tulang.


Kalsium dan suplemen vitamin D, substitusi hormon seks, latihan untuk
mempertahankan berat badan, dan restriksi natrium merupakan terapi
utama.

Kalsium

bersama-sama

vitamin

D,

bukan

kalsium

saja,

mempertahankan massa tulang pasien dengan terapi glukokortikoid


jangka panjang 15 mg/hari. Pasien perlu diberikan kalsium elemental,
1500 mg/hari, dan vitamin D2, 400 unit, dua kali sehari. Bentuk aktif
(alfakalsidiol, 1 g/hari, atau kalsitriol, 0,5-1 g/hari) dapat diberikan juga,
namun perlu memonitor kejadian hiperkalsiuria dan hiperkalsemia. Pasien
dengan riwayat batu ginjal tidak dapat menerima kalsium dan suplemen
vitamin D. Pada pasien yang menerima terapi kalsium dan vitamin D2,

kadar kalsium dalam serum dan urin 24 jam harus dinilai setiap 3 bulan
atau setiap dosis glukokortikoid diubah.
Wanita pramenopause dan paskamenopause yang menjadi amenore
akibat glukokortikoid harus mendapat terapi substitusi hormon. Beberapa
terapi dapat mencegah efek glukokortikoid terhadap tulang. Wanita
paskamenopause harus menerima estrogen konjugasi oral, 0,625 mg/hari.
Wanita yang masih memiliki uterus juga menerima medroksi progesteron.
2,5 mg.hari, untuk mencegah karsinoma endometrium. Estradiol dapat
pula diberikan secara intrakutan. Terapi hormon tidak dapat diberikan
pada wanita dengan riwayat tumor payudara atau tumor sensitif-hormon
lainnya, tromboflebitis, merokok, batu empedu, atau riwayat kanker
payudara dalam keluarga. Glukokortikoid mensupresi testosteron serum
pada pria. Testosteron serum yang rendah berkaitan dengan rendahnya
densitas tulang; densitas tulang meningkat bila diberikan testosteron
suplemental. Sebuah penelitian menyatakan bahwa testosteron dapat
membalikkan efek glukokortikoid terhadap tulang.
Peningkatan osteolisis akibat steroid telah menginduksi penggunaan
beberapa zat yang menginhibisi resorpsi tulang, seperti bifosfonat dan
kalsitonin. Penghambatan resorpsi tulang ini dapat mencegah kehilangan
matriks tulang lebih lanjut. Beberapa preparat bifosfonat tersedia saat ini
untuk mencegah dan mengatasi osteoporosis yang diinduksi steroid.
Preparat tersebut meningkatkan densitas tulang vertebra dan mengurangi
fraktur vertebra pada pasien dengan terapi glukokortikoid. Kalsitronin
intranasal dapat meningkatkan densitas tulang namun kurang efektif
dibanding bifosfonat dan tidak mengurangi resiko fraktur vertebra.
Kalsitonin diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi bifosfonat
atau tidak ingin mengkonsumsi tambahan obat oral.
Aterosklerosis
-Tekanan darah, lipid serum, dan kadar glukosa harus dinilai secara rutin.
Abnormalitas diatasi dengan pengaturan diet dan pemberian obat-obatan
bila perlu. Pasien disarankan untuk berhenti merokok. Hormon seks wanita
berperan mencegah pembentukan aterosklerosis.

-Bila

pada

pasien

ditemukan

peningkatan

kadar

kolesterol

atau

trigliserida, statin dapat dapat diberikan untuk mencegah aterosklerosis


dan infark miokard. Panduan dasar dalam menentukan pasien dengan
resiko aterosklerosis, yaitu kadar LDL kolesterol lebih dari 160 mg/dL dan
kurang dari dua faktor resiko penyakit jantung koroner (kadar LDL
kolesterol tinggi, merokok, hipertensi, diabetes, jenis kelamin pria, riwayat
penyakit jantung prematur pada keluarga), kadar LDL kolesterol lebih dari
130 mg/dL dengan dua atau lebih faktor resiko penyakit jantung, dan
kadar LDL kolesterol lebih dari 100 mg/dL pada pasien dengan penyakit
arteri koroner. Kadar HDL kolesterol kurang dari 35 mg/dL secara
independen memprediksi peningkatan mortalitas penyakit koroner pada
pria dan harus disertakan dalam pertimbangan pengobatan.
-Beberapa percobaan dilakukan untuk mereduksi kejadian penyakit
jantung koroner dan angka mortalitas dengan terapi statin. Pasien juga
harus menerima suplemen folat dan vitamin B6 untuk mengontrol
peningkatan homosistein.
Nekrosis Avaskular (AVN)
-Deteksi dini penting karena intervensi dini dapat mencegah progresivitas
penyakit degeneratif pada persendian yang memerlukan substitusi
(penggantian)

sendi.

Dua

puluh

persen

pasien

AVN

memberikan

gambaran radiologi konvensional normal. Bone scan dan MRI lebih sensitif
dalam mengevaluasi AVN.
-Pasien harus ditanya secara rutin mengenai adanya keluhan nyeri dan
keterbatasan pergerakan sendi. Bila terdapat abnormalitas, maka perlu
dilakukan

pemeriksaan

radiologi.

Jika

hasil

pemeriksaan

radiologi

menunjukkan adanya AVN maka intervensi dini oleh dokter bedah


ortopedi perlu dilakukan untuk membatasi progresivitas penyakit.
-Pasien dengan AVN dapat meningkatkan resiko terjadinya abnormalitas
pada sendi lainnya.

Вам также может понравиться

  • Kespro 12
    Kespro 12
    Документ7 страниц
    Kespro 12
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Документ4 страницы
    Laporan Kasus
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Документ3 страницы
    Bab Iv
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ1 страница
    Bab I
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ18 страниц
    Bab Ii
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Sindrom Cushingjmoin
    Sindrom Cushingjmoin
    Документ17 страниц
    Sindrom Cushingjmoin
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Документ3 страницы
    Bab Iv
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ33 страницы
    Bab I
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ33 страницы
    Bab I
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Sindrom Cushingjmoin
    Sindrom Cushingjmoin
    Документ17 страниц
    Sindrom Cushingjmoin
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • Kata Pengantar Case THT Barihbk
    Kata Pengantar Case THT Barihbk
    Документ3 страницы
    Kata Pengantar Case THT Barihbk
    Mania Gemers
    Оценок пока нет
  • C. Yuniardi
    C. Yuniardi
    Документ12 страниц
    C. Yuniardi
    Intan Sanditiya Alif
    Оценок пока нет