Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pendahuluan
Glukokortikoid
merupakan
terapi
utama
di
dalam
bidang
penggunaannya
sebagai
obat
untuk
terapi
secara
maksimal.
Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari
preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak
diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi termasuk
dalam bidang dermatologi kortikosteroid merupakan pengobatan yang
paling seringdiberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari
hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini
dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot
dan resistensi tubuh.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua
golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berdasarkan
cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang
digunakan di kulit pada tempat tertentu dan merupakan terapi topikal
yang memberi pilihan untuk para ahli kulit dengan menyediakan banyak
pilihan
efek
pengobatan
yang
diinginkan,
diantaranya
termasuk
Kortikosteroid
adalah
suatu
kelompok
hormon
steroid
yang
adrenokortikotropik
(ACTH)
yang
dilepaskan
oleh
kelenjar
hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh,
misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh,
dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein,
kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dan 2 bagian yaitu bagian korteks dan
medulla, sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu
fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih
besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2
jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya
nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil
atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison,
yang
merupakan
glukokortikoid
alam.
Terdapat
juga
glukokortikoid
cortisol-binding
globulin
(CBG,
atau
yang
dikenal
sebagai
Mekanisme
kerja
glukokortikoid
melalui
difusi
pasif
melalui
sintesis
molekul-molekul
proinflamasi
termasuk
sitokin,
timbul
sebagai
akibat
redistribusi
sel-sel
yang
Glukokortikoid
juga
berperan
dalam
aktivasi,
proliferasi
dan
harian,
dan
nekrosis
avaskular
dapat
terjadi
pada
pemakaian
Glukokortikoid
testosteron,
yang
juga
merupakan
menurunkan
faktor
kadar
penting
estrogen
pada
dan
patogenesis
osteoporosis.
Umumnya,
hipertensi
intra-ossea
pada
orang
yang
seperti
Systemic
Lupus
Erythematosus
(SLE),
dapat
Glukokortikoid
berhubungan
dengan
mendorong
aterosklerosis,
banyak
faktor
termasuk
resiko
hipertensi
yang
arterial,
karena
itu,
pasien
dengan
terapi
glukokortikoid,
memiliki
Aksis
Hipotalmik-Pituitari-Adrenal
(HPA)
dengan
cepat
disupresi setelah onset terapi glukokortikoid. Bila terapi dibatasi selama 13 minggu, aksis HPA akan membaik dengan cepat.
Terapi
harian
glukokortikoid
yang
lebih
lama,
akan
menyebabkan supresi aksis HPA yang menetap sampai satu tahun setelah
terapi dihentikan.
gejala-gejala
insufisiensi
adrenal,
meskipun
tampaknya
Glukokortikoid
memperbaiki
reaksi
hipersensitivitas
tipe
Endocrinologic
Suppression of HPA
psychiatric disorder
Growth failure
Musculoskeletal
Secondary amenorrhea
Osteoporosis
with Metabolic
spontaneous
Hyperglycemia
fracture
unmasking genetic
predispotition to diabetes
Myopathy
mellitus
Ocular
Nonketotic
hyperosmolar
state
Gastrointestinal
Hyperlipidemia
Peptic ulceration
Intestinal perforation
(typical
Pancreatitis
Cardiovascular
cushingoid appearance)
and
fluid
retention
Hypertension
effect
of
Hypokalemic alkalosis
biscoumacetate)
Atherosclerosis
Fibroblast inhibition
Hypersensitivity reaction
Urticaria
Anaphylaxis
and
ethyl
incidence
of
Interaksi Obat
pada
ibu
yang
sedang
menerima
glukokortikoid
harus
Tabel Glucocorticoids
Equivalent
Minera Plas
ma
Durati
on
cortico Half-
of
id
Action
life
Potenc (min
(H)
20
0,8
90
8-12
25
30
8-12
Short-acting
Hydrocortison
e
(Cortisol)
0,25
60
24-36
Cortisone
0,25
200
24-36
Intermediate-
180
24-36
acting
300
24-36
0,75
200
36-54
Prednisone
Prednisolone
Methylprednis
olone
Triamcinolone
Long-acting
Dexamethaso
ne
Prinsip Dasar
1.Sebelum
pemberian
terapi
dengan
glukokortikoid
harus
dipertimbangkan :
2.Keuntungan yang didapat dibandingkan dengan efek samping
potensial.
3.Terapi
alternatif
atau
terapi
tambahan
terutama
apabila
digunakan
dalam
terapi
karena
memiliki
diberikan
dengan
konsentrasi
40mg/ml.
Pada
kondisi
yang
sekresi
ACTH
oleh
kelenjar
pituitaritelah
terjadi.
Level
mata
lanjutan
harus
dilakukan
untuk
memonitor
melakukan olahraga
Infeksi :
pemberian
profilaksis
Pneumocystic
carinii
Bactrim
saat
untuk
pasien
melawan
menerima
terapi
sitotoksik
Komplikasi gastrointestinal :
pada pasien dengan dua atau lebih faktor risiko (pasien yang
mendapat
pengobatan
NSAIDs,
riwayat
ulkus
peptikum,
penyakit
yang
diberikan
termasuk
antasid,
H2
receptor
blocker
dengan
penurunan
sejumlah
dosis
tersebut
pada
hari
berselang.
Setelah dosis prednison mencapai 5 mg pada hari berselang, maka
harus dilakukan kontrol terhadap terapi. Kadar kortisol plasma pada pukul
8 pagi harus diukur selama 4 minggu. Dosis prednison pada pagi hari
dipertahankan sampai kadar kortisol plasma dapat ditentukan. Bila kadar
kortisol plasma kurang dari 10 g/dL, maka dosis prednison berselang
harus dikurangi 1 mg berturut-berturut setiap 1-2 minggu sampai dosis 2
mg/hari. Kemudian kadar kortisol plasma pukul 8 pagi diperiksa kembali
setiap 2 bulan sampai mencapai lebih dari 10 g/dL, di mana dosis
dengan
respon
stres
yang
inadekuat.
Pasien
harus
osteoporosis
penting
untuk
diperhatikan
dengan
Kalsium
bersama-sama
vitamin
D,
bukan
kalsium
saja,
kadar kalsium dalam serum dan urin 24 jam harus dinilai setiap 3 bulan
atau setiap dosis glukokortikoid diubah.
Wanita pramenopause dan paskamenopause yang menjadi amenore
akibat glukokortikoid harus mendapat terapi substitusi hormon. Beberapa
terapi dapat mencegah efek glukokortikoid terhadap tulang. Wanita
paskamenopause harus menerima estrogen konjugasi oral, 0,625 mg/hari.
Wanita yang masih memiliki uterus juga menerima medroksi progesteron.
2,5 mg.hari, untuk mencegah karsinoma endometrium. Estradiol dapat
pula diberikan secara intrakutan. Terapi hormon tidak dapat diberikan
pada wanita dengan riwayat tumor payudara atau tumor sensitif-hormon
lainnya, tromboflebitis, merokok, batu empedu, atau riwayat kanker
payudara dalam keluarga. Glukokortikoid mensupresi testosteron serum
pada pria. Testosteron serum yang rendah berkaitan dengan rendahnya
densitas tulang; densitas tulang meningkat bila diberikan testosteron
suplemental. Sebuah penelitian menyatakan bahwa testosteron dapat
membalikkan efek glukokortikoid terhadap tulang.
Peningkatan osteolisis akibat steroid telah menginduksi penggunaan
beberapa zat yang menginhibisi resorpsi tulang, seperti bifosfonat dan
kalsitonin. Penghambatan resorpsi tulang ini dapat mencegah kehilangan
matriks tulang lebih lanjut. Beberapa preparat bifosfonat tersedia saat ini
untuk mencegah dan mengatasi osteoporosis yang diinduksi steroid.
Preparat tersebut meningkatkan densitas tulang vertebra dan mengurangi
fraktur vertebra pada pasien dengan terapi glukokortikoid. Kalsitronin
intranasal dapat meningkatkan densitas tulang namun kurang efektif
dibanding bifosfonat dan tidak mengurangi resiko fraktur vertebra.
Kalsitonin diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi bifosfonat
atau tidak ingin mengkonsumsi tambahan obat oral.
Aterosklerosis
-Tekanan darah, lipid serum, dan kadar glukosa harus dinilai secara rutin.
Abnormalitas diatasi dengan pengaturan diet dan pemberian obat-obatan
bila perlu. Pasien disarankan untuk berhenti merokok. Hormon seks wanita
berperan mencegah pembentukan aterosklerosis.
-Bila
pada
pasien
ditemukan
peningkatan
kadar
kolesterol
atau
sendi.
Dua
puluh
persen
pasien
AVN
memberikan
gambaran radiologi konvensional normal. Bone scan dan MRI lebih sensitif
dalam mengevaluasi AVN.
-Pasien harus ditanya secara rutin mengenai adanya keluhan nyeri dan
keterbatasan pergerakan sendi. Bila terdapat abnormalitas, maka perlu
dilakukan
pemeriksaan
radiologi.
Jika
hasil
pemeriksaan
radiologi