Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
CAMPAK
Oleh
RICKY IMRAN
1408465661
Pembimbing:
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Campak merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus.
Campak pertama kali ditemukan pada awal abad ke 7. Penyakit ini disebut sebagai
penyakit yang lebih mengerikan dibandingkan cacar air oleh Rhazes, seorang
klinisi asal Persia pada abad ke 10. Pada tahun 1846, Peter Panum, menjelaskan
tentang masa inkubasi penyakit campak serta kekebalan yang didapat terhadap
campak seumur hidup setelah sembuh dari penyakit tersebut. Enders and Peebles
berhasil mengisolasi virus campak pada kultur jaringan yang berasal dari ginjal
manusia dan juga monyet pada 1954. Satu dekade setelah itu yakni pada 1963
vaksi hidup dari campak resmi digunakan di Amerika Serikat (Edmonston B
strain).1
Sebelum adanya vaksin, infeksi campak merupakan hal yang bersifat
universal pada masa kanak-kanak. Lebih dari 90% penduduk dunia pernah
menderita campak saat masa kanak-kanak dan memiliki kekebalan tubuh setelah
umur 15 tahun. Campak masih merupakan problema kesehatan yang umum dan
dapat bersifat fatal apda negara-negara berkembang. World Health Organization
(WHO) mengestimasikan angka kematian akibat campak pada 2013 yaitu sekitar
145,700 kematian.1
Pada negara yang memiliki angka imunisasi yang rendah, pada anak yang
tidak mendapatkan imunisasi maka akan terinfeksi campak sebelum berumur 5
tahun. Setengah dari kasus ini mengenai anak dibawah umur 1 tahun yang
merupakan rentan terhadap resiko kematian. Pada negara berkembang yang
sedikit lebih maju, campak muncul pada anak anak yang lebih besar atau dapat
juga pada dewasa muda yang tidak mendapatkan imunisasi campak ataupun
imunisasi primer yang gagal. Resiko tinggi terinfeksi campak terdapat pada
masyarakat miskin yang berada di perkotaan, area dimana cakupan imunisasi
rendah atau daerah yang memiliki angka insidensi yang tinggi.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Campak
2.1.1
Definisi
Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai
melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan berat
badan lahir rendah atau lahir mati anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1
tahun.4
Angka kejadina campak di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih
tinggi sekitar 3000-4000 per tahun demikian juga frekuensi terjadinya kejadian
luar biasa tampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case
fatality rate telah diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Umur terbanyak menderita
2.1.2
campak adalah <12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun.5
Etiologi5
Virus campak berasal dari genus Morbilivirus dan famili
Paramyxoviridae. Virus campak liar hanya patogen untuk primata. Kera dapat
pula terinfeksi campak lewat darah atau sekret nasofaring dari manusia.
Hopkins, Koplan dan Hinman menyatakan bahws campak tidak
mempunyai reservoir pada hewan dan tidak menyebabkan karier pada manusia.
Virion campak berbentuk spheris, pleomorphic, dan mempunyai sampul
(envelope) dengan diameter 100-250 nm. Virion terdiri dari nukleocapsid yaitu
helix dari protein RNA dan sampul yang mempunyai tonjolan pendeK pada
permukaannya. Tonjoian pendek ini disebut pepfomer, dan terdiri dari
hemaglutinin (H) pepiomer yang berbentuk buiat dan fusion (F) peplomer yang
berbentuk seperti bel (dumbbell-shape). Bera.t molekui dari single stranded
6
RNA adalah 4,5 X 10 .
Virus campak terdiri dari 6 protein struktural, 3 tergabung dalam RNA
yaitu nukleoprotein (N), polymerase protein (P), dan large protein (L); 3 protein
lainnya berhubungan dengan sampul virus. Membran sampul terdiri dari M
protein {glycosylated protein) yang berhubungan dengan bagian dalam lipid
bilayer dan 2 glikoprotein H dan F. Glikoprotein H menyebabkan adsorbsi
virus pada resptor host. CD46 yang merupakan complement regulatory protein
dan tersebar !uas pada jaringan primata bertindak sebagai resptor glikoprotein H.
Glikoprotein F menyebabkan fusj virus pada sel host, penetrasi virus dan
hemolisis . Dalam kultur set virus campak mengakibatkan cytopathic elect
yang tcrdiri dari stellate cell dan multinucleated gisnt cells.
Virus campak ini sangat sensitif pada panas dan dingin, cepat inaktivasi
pada suhu 37C dan 20"C. Selain itu virus juga menjadi :iiaktif dengan sinar
ultraviolet, ether, trypsin dan p-propiolactone. Virus tetap infektif pada
bentuk droplet di udara selama beberapa jam terutarna pada keadaan
dengan tingkat kelembaban yang rendah.
2.1.3
Patofisiologi 3,4
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan
berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan
kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang
pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul
viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses
keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga
terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi
dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3
C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi.
Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal
infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam
makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berkembang juga pada susunan
saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah masa konvelesen
pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin
gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan
karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.4
Manusia merupakan satu-satunya inang alamiah untuk virus campak,
walaupun banyak spesies lain, termasuk kera, anjing, tikus, dapat terinfeksi secara
percobaan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui system pernafasan, dimana
mereka membelah diri secara setempat; kemudian infeksi menyebar ke jaringan
limfoid regional, dimana terjadi pembelahan diri selanjutnya. Viremia primer
menyebabkan virus, yang kemudian bereplikasi dalam system retikuloendotelial.
Akhirnya, viremia sekunder bersemai pada permukaan epitel tubuh, termasuk
kulit, saluran pernafasan, dan konjungtiva, dimana terjadi replikaksi fokal.
Campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu, yang membantu penyebarannya
di seluruh tubuh. Sel datia berinti banyak dengan inklusi intranuklir ditemukan
dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh (limfonodus, tonsil, apendiks).3
Peristiwa tersebut di atas terjadi selama masa inkubasi, yang secara khas
berlangsung 9- 11 hari tetapi dapat diperpanjang hingga 3 minggu pada orang
yang lebih tua. Mula timbul penyakit biasanya mendadak dan ditandai dengan
koriza (pilek), batuk, konjungtivitis, demam, dan bercak koplik dalam mulut.
Bercak koplik- patognomonik untuk campak- merupakan ulkus kecil, putih
kebiruan pada mukosa mulut, berlawanan dengan molar bawah. Bercak ini
mengandung sel datia, antigen virus, dan nukleokapsid virus yang dapat dikenali.3
Selama fase prodromal, yang berlangsung 2- 14 hari, virus ditemukan dalam
air mata, sekresi hidung dan tenggorokan, urin, dan darah. Ruam makulopopuler
yang khas timbul setelah 14 hari tepat saat antibody yang beredar dapat dideteksi,
viremia hilang, dan demam turun. Ruam timbul sebagai hasil interaksi sel T imun
dengan sel terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil dan berlangsung sekitar
seminggu. Pada pasien dengan cacat imunitas berperantara sel, tidak timbul
ruam.4
Keterlibatan system saraf pusat lazim terjadi pada campak. Ensefalitis
simptomatik timbul pada sekitar 1:1000 kasus. Karena virus penular jarang
ditemukan di otak, maka diduga reaksi autoimun merupakan mekanisme yang
menyebabkan komplikasi ini. 5
Sebaliknya, ensefalitis menular yang progresif akut dapat timbul pada
pasien dengan cacat imunitas berperantara sel. Ditemukan virus yang bereplikasi
secara katif dalam otakdan hal ini biasanya bentuk fatal dari penyakit.4
Komplikasi lanjut yang jarang dari campak adalah peneesefalitis
sklerotikkans subakut. Penyakit fatal ini timbul bertahun- tahun setelah infeksi
campak awal dan disebabkan oleh virus yang masih menetap dalam tubuh setelah
infeksi campak akut. Jumlah antigen campak yang besar ditemukan dalam badan
inklusi pada sel otak yang terinfeksi, tetapi paartikel virus tidak menjadi matang.
Replikasi virus yang cacat adalah akibat tidak adanya pembentukan satu atau lebih
produk gen virus, sering kali protein maatriks. Tidak diketahui mekanisme apa
yang bertanggung jawab untuk pemilihan virus patogenik cacat ini.4
Adanya virus campak intraseluler laten dalam sel otak pasien dengan
panensefalitis sklerotikans subakut menunjukkan kegagalan system imun untuk
membasmi infeksi virus. Ekspresi antigen virus pasa permukaan sel dimodulasi
oleh penambahan antibosi campak terhadap sel yang terinfeksi dengan virus
campak. Dengan menngekspresikan lebih sedikit antigen virus pada permukaan,
sel- sel dapat menghindarkan diri agar tidak terbunuh oleh reaksi sitotoksik
berperantara sel atau berperantara antibody tetapi dapat tetap mempertahankan
informasi genetic virus.5
Anak- anak yang diimunisasi dengan vaksi campak yang diinaktivasi
kemudian dipaparkan dengan virus campak alamiah, dapat mengalami sindroma
yang disebut campak atipik. Prosedur inaktivasi yang digunakan dalam produksi
vaksin akan merusak imunogenisitas protein F virus; walaupun vaksin
mengembangkan respon antibody yang baik terhadap protein H, tanpa adanya
infeksi antibody F dapat dimulai dan virus dapat menyebar dari sel ke sel melalui
penyatuan. Keadaan ini akan cocok untuk reaksi patologik imun yang dapat
memperantarai campak atipik. Vaksin virus campak yang diinaktifkan tampak
digunakan lagi.4
2.1.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada PK tidak patognomonik, karena itu dibuat kriteria klinis
guna memudahkan diagnosis. Manifestasi klinis tergantung fase penyakitnya.
Tidak semua gejala klinis tampil pada satu saat sehingga kadang kita perlu
menunggu sambil mengamati gejala yang timbul sebelum menegakkan diagnosis.
Perjalanan penyakit ini dibagi atas 3 fase:
Fase akut (10 hari pertama)
A. Terdapat enam gejala yang bersifat diagnostik
1.
1.000.000 / mm3.
Fase konvalesen (6-8 minggu dari awitan)
Pada fase ini laju endap darah dan hitung trombosit mencapai nilai normal
kembali. Dapat dijumpai garis transversal yang dalam pada kuku jari tangan dan
kaki yang dikenal sebagai Beaus lines . Meskipun anak tampak menunjukkan
perbaikan secara klinis, namun kelainan jantung dapat berlangsung terus.
2.1.5
Diagnosis3,4,8
Diagnosis Penyakit Kawasaki (PK) didasarkan kepada gejala klinis
2.1.7 Tatalaksana
Semua pasien dengan PK fase akut harus menjalani tirah baring dan rawat
inap. Konsultasi dengan ahli jantung anak terutama yang telah berpengalaman
dalam PK mutlak diperlukan. Tidak ada terapi spesifik untuk PK. Tujuan terapi
adalah mengurangi inflamasi pada arteri koroner dan miokardium serta mencegah
trombosis. Hingga saat ini terapi pilihan adalah pemberian dosis tinggi
immunoglobulin (gamaglobulin) yang disertai dengan aspirin dosis tinggi juga.3,6
Imunoglobulin intravena (IGIV) harus diberikan secepatnya setelah
diagnosis ditegakkan. Penggunaan IGIV mulai dipelopori oleh Furusho dkk pada
tahun 1984 di Jepang. Mekanisme gamablobulin dalam mengobati PK belum
diketahui secara pasti meskipun diyakini mempunyai efek anti inflamasi umum.3,6
Mekanisme yang diduga mungkin adalah modulasi produksi sitokin,
netralisasi super antigen bakteri atau agen etiologik lain, penguatan aktivitas sel T
supresor dan supresi sintesis antibodi. Dosis yang dianjurkan saat ini adalah 2
g/kg BB dosis tunggal yang diberikan intravena selama 10-12 jam. Pemberian
IGIV ini relatif aman. Saat awal pemberian perlu di periksa laju jantung dan
tekanan darah tiap 30 menit, 1 jam dan selanjutnya tiap 2 jam . Penelitian meta
analisis tentang pemberian IGIV secara dini terbukti mengurangi angka kejadian
kelainan koroner.3,6,8
Dosis total IGIV berbanding terbalik dengan prevalensi kelainan koroner
dan dosis 2g/kg BB adalah dosis optimal. Dulu pernah dianjurkan penggunaan
IGIV 400mg/kg BB/hari selama 4 hari namun ternyata penelitian meta analisis
membuktikan dosis tunggal 2 g/ kg BB lebih unggul dalam mencegah terjadinya
kelainan koroner.8
Pada bayi-bayi dengan PK yang mengalami gangguan fungsi jantung,
mungkin tidak dapat mentoleransi dosis tunggal IGIV mengingat jumlah cairan
yang masuk sekaligus relatif cukup banyak. Pada kelompok ini dosis IGIV 400
mg/kg BB/hari selama 4 hari dapat menjadi alternatif. IGIV harus diberikan saat
dini, terutama pada 10 hari pertama awitan penyakit.3
Meskipun demikian, jangan ragu untuk memberikan setelah hari ke 10 jika
masih tetap ada tanda tanda inflamasi atau penyakit masih aktif seperti demam
atau dilatasi koroner aktif. Pada penderita yang sudah tidak menunjukkan gejala
penyakit aktif setelah 10 hari awitan, pemberian IGIV tidak bermanfaat lagi.
Pemberian IGIV sebelum hari ke 5 ternyata hasilnya tidak lebih baik dari
pemberian pada hari ke 5-9 awitan dan bahkan mempunyai kecenderungan untuk
kelompok ini arteri koroner tidak mengalami dilatasi sebagai respon terhadap
latihan atau vasodilator koroner. Untuk ini pada pasien dengan aneurisma koroner
yang telah mengalami regesi sekalipun harus dianjurkan untuk menghindar faktor
risiko terjadinya aterosklerosis. Pada anak dengan aneurisma koroner yang
menetap akan cenderung menderita penyakit jantung iskemik pada usia dewasa
muda.
Penanganan PK selanjutnya sangat tergantung pada faktor risiko yang
ditentukan oleh kerusakan arteri koroner yang timbul.
Derajat risiko PK dan penanganan selanjutnya
Derajat risiko I
Penderita tanpa perubahan arteri koroner secara ekokardiografi pada
semua fase penyakit
Penanganan
* Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut
* Terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu awitan penyakit
* Tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan
* Dianjurkan kontrol tiap 5 tahun untuk melihat faktor risiko kardiovaskular
mengingat risiko penyakit jantung iskemik belum dapat disingkirkan
* Angiografi koroner tidak dianjurkan
Derajat risiko II
Penderita dengan pelebaran arteri koroner sementara (hilang dalam 6-8
minggu awitan).
Penanganan
* Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut
* Terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu awitan penyakit
* Tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan penyakit
* Dianjurkan kontrol tiap 3-5 tahun untuk penentuan faktor risiko
* Angiografi koroner tidak dianjurkan.
Derajat risiko III
Penderita dengan aneurisma koroner soliter kecil sampai sedang (ukuran >
3 mm tapi <6 mm atau z score antara 3-7) pada arteri koroner secara
ekokardiografi atau angiografi.
Penanganan
* Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut
* Pemberian antitrombotik jangka panjang dengan asetosal setidaknya
hingga terjadi regresi aneurisma koroner
* Aktivitas fisik tanpa restriksi setelah 6-8 minggu awitan penyakit sampai usia
dekade pertama. Stress test untuk penentuan perfusi miokardial mungkin
bermanfaat pada dekade kedua sebagai acuan untuk aktivitas fisik. Olahraga yang
dapat menimbulkan cedera fisik dihindari jika masih dalam pemberian
antitrombotik guna mencegah timbulnya perdarahan.
* Dianjurkan pemeriksaan tiap tahun oleh dokter jantung anak untuk
ekokardiografi dan EKG. Stress test untuk melihat perfusi miokardium dianjurkan
tiap 2 tahun pada penderita usia > 10 tahun.
* Angiografi koroner dianjurkan jika ditemukan iskemia miokardium pada stress
test
Derajat risiko IV
Penderita dengan aneurisma arteri koroner besar ( 6 mm), termasuk
aneurisma raksasa (giant aneurysm, ukuran > 8 mm) dan penderita dengan
aneurisma multipel (segmental) atau kompleks tanpa obstruksi.
Penanganan :
* Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut
* Pemberian antitrombotik jangka panjang dianjurkan. Pemberian warfarin
dengan target INR (International Normalized Ratio) 2 2.5 dianjurkan pada
penderita dengan aneurisma raksasa. Pemberian heparin bobot molekul rendah
merupakan alternatif warfarin jika pengambilan darah
untuk uji INR sulit dikerjakan. Sebagian ahli menganjurkan pemberian kombinasi
asetosal dan clodiprogel untuk penderita dengan aneurisma kompleks atau
multipel. Jika pemeriksaan INR tidak bisa dilakukan, digunakan nilai waktu
protrombin 11/2 sampai 2 kali kontrol
* Anjuran aktivitas fisik harus didasarkan pada hasil stress test dengan evaluasi
perfusi miokard. Olahraga yang berpotensi traumatik dihindari mengingat risiko
terjadinya perdarahan.
* Evaluasi ekokardiogram dan EKG harus dikerjakan tiap 6 bulan. Stress test
dengan evaluasi perfusi miokard harus dikerjakan tiap tahun. Harus dipantau
faktor risiko terjadinya aterosklerosis, begitu juga keluarganya.
* Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner selektif harus dilakukan 6-12
bulan atau lebih dini lagi setelah sembuh dari fase akut PK. Angiografi
selanjutnya perlu dilakukan jika ada tanda iskemia pada pemeriksaan non invasif.
Derajat risiko V
Penderita dengan obstruksi arteri koroner yang dikonfirmasi dengan
angiografi
Penanganan
* Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut
* Pemberian antitrombotik jangka panjang dengan atau tanpa warfarin
* Obat penghambat beta adrenergik perlu dipertimbangkan untuk mengurangi
konsumsi oksigen miokard
* Anjuran untuk aktivitas tergantung pada respons terhadap stress test Olah raga
yang traumatik harus dihindari karena risiko perdarahan akibat pemberian
antikoagulan. Penderita juga harus menghindari kehidupan yang minim
aktivitas.
* Evaluasi kardiologis dengan EKG dan ekokardiogram harus dikerjakan tiap 6
bulan. Stress test dengan evaluasi perfusi miokard dilakukan tiap tahun.
Penderita juga harus dipantau faktor risiko terjadinya aterosklerosis begitu juga
keluarganya
Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner selektif dianjurkan untuk
menentukan pilihan operasi pintas koroner atau intervensi dan mengetahui
besarnya perfusi kolateral. Ulangan kateterisasi diperlukan jika pemeriksaan
non invasif menunjukkan iskemia miokard baru atau perburukan yang lama.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama/No MR
Umur
: 5 tahun
Ayah/Ibu
: Suparjo/ Suci
Suku
: Jawa
Alamat
Tanggal masuk
: 23 Oktober 2015
ALLOANAMNESIS
Diberikan oleh
Keluhan Utama
: Demam tinggi
Kesadaran
: Composmentis
Tanda-tanda vital
TD
:-
Suhu : 37,8 0C
Nadi : 136 x/menit
Nafas : 40 x/menit
Gizi
TB
: 114 cm
BB
: 15 kg
Kepala
Rambut
Mata
Konjungtiva
Sklera
: Kemerahan.
Pupil
: Isokor, d=2mm/2mm
Refleks cahaya
Telinga
Hidung
Faring
: Hiperemis
Mulut
Bibir
Selaput lendir
Palatum
: Utuh
Lidah
Gigi
: Karies (-)
Leher
KGB
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Alat Kelamin
Ekstremitas
Status Neurologis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
Hb
: 10,5 gr/dl
Ht
: 31,4 %
Leukosit
: 5.200 /uL
Trombosit
: 208.000/uL
kesadaran (-), kejang (-) perdarahan mukosa (-), mencret (-), BAK normal.
Bercak kemerahan muncul sejak 2 hari SMRS. Tidak menonjol, tidak
mengeluarkan cairan, tidak gatal. Awalnya muncul dari belakang telinga
Selaput lender
Lidah
Thorax
Inspeksi
Abdomen
Inspeksi
Ekstremitas
: 10,5 gr/dl
Leukosit
: 5200 /uL
: RDA x BBI
90 x 18
1620 kkal
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Dubia ad Bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad Bonam
FOLLOW UP
TGL
Subjektif
Objektif
KU : Tampak sakit
bibir
sedang
Kes : CM
kemerahan, kulit
Nadi : 130x/menit
bintik
Napas : 26x/menit
Suhu : 37,80C
kemerahan,
BB : 9 kg
muntah (-),
Mata : konjungtiva
edema
ekstremitas (+),
nafsu makan
berkurang, BAB
dan BAK
Normal
KGB paraservikal
dextra 2 cm
Thoraks : Tampak
bintik kemerahan,
gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-)
suprasternal, vesikuler
+/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-, BJ I dan
II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Assessment
Terapi
Kawasaki
-IVFD KAEN 3 A
Diasease
10 tetes/ menit
-Injeksi
fase akut
Ceftriaxon 2 x
500 mg
-Paracetamol
drops 4 x 1cc
Abdomen : Tampak
bintik kemerahan,
tampak datar, supel,
hepatomegali (-),
splenomegali (-), BU
(+)
Akral : hangat, CRT <
2, edema +/+,eritema
25/10/ Demam (+),
2015
+
KU : Tampak sakit
bibir
sedang
Kes : CM
kemerahan, kulit
Nadi : 140 x/menit
bintik
Napas : 28 x/menit
Suhu : 380C
kemerahan,
BB : 9 kg
muntah (-),
Mata : konjungtiva
Kawasaki
-IVFD KAEN 3 A
Diasease
10 tetes/ menit
-Injeksi
fase akut
Ceftriaxon 2 x
500 mg
-Paracetamol
drops 4 x 1cc
- Konsul jantung
edema
ekstremitas (+),
untuk dilakukan
KGB paraservikal
Immunoglobulin
dextra 2 cm
Thoraks : Tampak
bintik kemerahan,
gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-)
suprasternal, vesikuler
+/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-, BJ I dan
II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Tampak
bintik kemerahan,
ekokardiografi
-Rencana
pemberian
bibir
sedang
Kes : CM
kemerahan, kulit
Nadi : 144 x/menit
bintik
Napas : 30 x/menit
Suhu : 38,3 0C
kemerahan,
BB : 9 kg
muntah (-),
Mata : konjungtiva
edema
ekstremitas (+),
KGB : paraservikal
dextra 2 cm
Thoraks : Tampak
bintik kemerahan,
gerakan dinding dada
Suspect
IVFD KAEN 3 A
Kawasaki
10 tetes/ menit
-Injeksi
Diasease
fase akut
Ceftriaxon 2 x
500 mg
-Paracetamol
drops 4 x 1cc
- Konsul jantung
dan hasil
ekokardiografi
ejeksi fraksi 58%,
katup
normal,normal
koroner
-Rencana
pemberian
Immunoglobulin
-Pasien Pulang
suprasternal, vesikuler
atas permintaan
sendiri
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis Penyakit Kawasaki pada pasien ini pada pasien ditegakkan
berdasarkan anamnesis adanya keluhan demam tinggi, demam terus menerus,
demam turun sedikit jika diberi obat penurun panas namun naik kembali seteah
efek obat habis dengan riwayat saat demam penurunan kesadaran disangkal,
kejang disangkal, nyeri menelan disangkal, batuk dan pilek disangkal, BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Kemudian setelah beberapa hari demam mulut dan bibir
tampak kemerahan dan pecah-pecah, lidah memerah dan berbintik, selain itu pada
tubuh bagian dada, punggung dan bokong pasien tampak bintik bintik bercak
kemerahan serta telapak tangan dan kaki yang ikut memerah disertai bengkak.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien demam dengan suhu 39,5 0C, bibir yang
merah dan tampak pecah-pecah, faring tidak hiperemis, lidah merah berbintik
seperti strawberry dan pada pemeriksaan KGB didapatkan pembesaran KGB
paraservikal dextra ukuran 2 cm pada inspeksi dada pasien tampak bintik bercak
merah, bintik merah ini juga tersebar ke peut , puunggung dan bokong pasien,
pada ekstremitas ditemukan tampak bintik merah pada lengan dan tungkai,
tampak udem dengan eritema pada telapak dan punggung tangan dan kaki,
deskuamasi (-).
Menurut literatur penegakan diagnosis penyakit Kawasaki didapat dari
gejala klinis yang memenuhi beberapa kriteria, karena sampai saat ini belum ada
pemeriksaan laboratorium yang dapat menjung untuk penegakan diagnosis
penyakit Kawasaki dari 6 kriteria gejala yang diagnostik diagnosis penyakit
Kawasaki dapat ditegakkan jika terpenuhi kriteria demam ditambah dengan 4
kriteria dari 5 kriteria lainnya, pada pasien ini terpenuhi kriteria demam remiten,
dengan suhu 39,5 C dan berlangsung sudah > 5 hari karena pada saat dirawat di
RSUD AA pasien sudah demam hari ke 6, kemudian terdapat kelainan pada mulut
dan bibir pasien bibir merah dan pecah serta didapatkan lidah strawberry,
selanjutnya kriteria lain yang dapat terpenuhi adalah limfadenopati servikal
unilateral (diameter >1,5 cm) pada pasien terdapat pembesaran KGB paraservikal
kanan dengan ukuran 2 cm, pada dada punggung dan pantat pasien ini juga
ditemukan bintik bercak kemerahan yang memenuhi kriteria eksantema yang
polimorfik, serta kriteria ke 4 yang terpenuhi sehingga pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis penyakit Kawasaki adalah eritema dan edema pada kedua
ekstremitas dan telapak tangan dan karena pada pasien ini fase terjadinya penyakit
Kawasaki masih pada 10 hari pertama maka diagnosis pada pasien ini adalah
penyakit Kawasaki fase akut, pada pasien ini tidak ditemukan injeksi konjungtiva
non eksudatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. CDC. Prevention of measles, rubella, congenital rubella syndrome, and mumps,
2013: summary recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP). MMWR April 2013;62(No. 4):1-34.
2. WHO. Treating Measles in Children (updated), Department Immunization,
Vaccines and Biologicals of Child and Adolescent Health. Geneva. 2004.
3. Poorwo Soedarmo, SS., dkk. (Ed.). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi
Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta. 2008;109-121.
4. Rampengan, T.H. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi 2. EGC. Jakarta.
2008;4;79-87.
5. PPM
6. Goe F Brooks dkk, Mikrobiologi Kedokteran ;Jawetz, Melnick & Adlebergs
Medical Microbiology, Edisi 23. 2004
6. Medscape
7. Penanganan RS