Вы находитесь на странице: 1из 13

RELATIONSHIP BETWEEN INTERPERSONAL

COMMUNICATION IN THE FAMILY AND


UNDERSTANDING MORAL OF YOUTH
Sry Ayu Rejeki, Praesti Sedjo
Undergraduate Program, Faculty of Psychology, 2007
Gunadarma University
http://www.gunadarma.ac.id
Keywords: interpersonal, moral.
ABSTRACT:
Adolescence is a time of transition from childhood backwards adults, this period
is recognized as an important period in the span of life, a time of change, the age
at which the individual's troubled search for identity and the threshold of
adulthood.
Collecting data in this study conducted in high school Citra Nusa Cibinong on
December 7 to 10 January 2008, with respondents as much as 70 people, who
come back and meet the characteristics of 61 study subjects.
From the results of analysis show the correlation coefficient obtained at 0.083
with significance level of 0.524 (p> 0.05). This means showing that there is no
relationship between interpersonal communications within the family with moral
comprehension in adolescents. Analysis Results also showed that subjects in this
study of interpersonal communication in the category average. Principle based on
the index, the subjects in this study are in the category of low moral
understanding.

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL


DALAM KELUARGA DENGAN PEMAHAMAN
MORAL PADA REMAJA
NPM
: 10503179
Nama
: SRY AYU REJEKI
Pembimbing
: PRAESTI SEDJO, S. PSI., M.SI
Tahun Sidang
: 2007
Subjek
: KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM,
Judul
HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM
KELUARGA DENGAN
PEMAHAMAN MORAL PADA REMAJA
Abstraksi

JURNAL PSIKOLOGI

Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga dengan


Pemahaman Moral pada Remaja

Sry Ayu Rejeki


Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma

ABSTRAKSI
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak kemasa
dewasa, masa ini diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan,
suatu masa perubahan, usia bermasalah saat dimana individu mencari identitas
dan ambang dewasa.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di SMA Citra Nusa
Cibinong pada tanggal 7 sampai 10 januari 2008, dengan responden sebanyak 70
orang, yang kembali dan memenuhi karakteristik subjek penelitian sebanyak 61.
Dari hasil analisis diketahui koefisien korelasi yang diperoleh sebesar
0,083 dengan taraf signifikansi sebesar 0,524 (p > 0,05). Hal ini berarti
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara komunikasi interpersonal dalam
keluarga dengan pemahaman moral pada remaja.
Hasil anailis juga menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini
memiliki komunikasi interpersonal dalam kategori rata-rata. Berdasarkan indeks
Principle, subjek dalam penelitian ini berada dalam kategori pemahaman moral
rendah.

Masa remaja

merupakan masa transisi dari masa anak-anak kemasa

dewasa, oleh karena itu juga disebut sebagai masa pancaroba yang penuh dengan
gejolak dan pemberontakan (Munandar, 1996).
Pada tahun 2006 kasus kenakalan remaja memiliki persentase 53,52 %
paling tinggi dibanding kasus-kasus kejahatan lainnya. Masalah yang muncul
dikalangan remaja bukan hanya dirasakan oleh kalangan remaja sendiri, tetapi
juga oleh orangtua dan orang lain disekitarnya.
Moral berasal dari bahasa latin mos (moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakam kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral (Yusuf, 2006).
Menurut Damon (dalam Zainuddin 2004) banyak faktor yang berhubungan
dengan perkembangan pemahaman moral remaja antara lain faktor keluarga,
teman sebaya, sekolah, media massa, komunitas, perkembangan kognitif,
kepribadian dan lain-lain. Diantara faktor-faktor lingkungan, faktor keluarga
adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman moral remaja.
Pendapat ini diperkuat oleh Yusuf (2006) yang mengatakan bahwa ada beberapa
faktor yang berhungan dengan pemahaman moral remaja antara lain konsistensi
dalam mendidik, penghayatan dan pengamalan agama yang dianut, sikap
konsistensi orangtua dalam menerapkan norma, dan sikap orangtua dalam
keluarga. Orangtua merupakan faktor primer bagi perkembangan anak karena
yang pertama kali memperkenalkan anak pada hukum dan sistem sosial adalah
orangtua, maka orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan pemahaman moral anak (Mounts & Steinberg, dalam Papalia
2001).
Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana ia mengalami
pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai
masa remaja dimana keluarga tidak lagi merupakan pengaruh tunggal bagi
perkembangan mereka, keluarga tetap merupakan dukungan yang sangat
diperlukan bagi perkembangan kepribadian remaja tersebut. Dengan demikian
peran orangtua sangat dibutuhkan, terutama karena bertanggung jawab

menciptakan sistem sosialisasi yang baik dan sehat bagi perkembangan moral
remaja. Remaja sedang tumbuh dan berkembang, karena itu mereka memerlukan
kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara
bijaksana (Santrock, 2002).
Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari
orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain apa yang dianggap benar
dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Dari penolakan sosial atau hukuman bagi
prilaku yang salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku
yang benar, anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar
perilaku yang ditetapkan anggota keluarga (Gunarsa, 1991).
Dalam hubungan dengan keluarga, hal penting yang dapat membantu
perkembangan pemahaman moral anak adalah apabila dalam interaksi orangtua
mengajak anak untuk berdialog mengenai nilai-nilai moral. Peningkatan tahap
perkembangan pemahaman moral anak dapat terjadi karena pada situasi demikian
terjadi alih peran, yaitu adanya pertukaran sudut pandang antara anak dan
orangtua (Zainuddin, 2005).
Dengan

melakukan

komunikasi

interpersonal

dengan

baik

akan

menghasilkan umpan balik yang baik pula. Komunikasi interpersonal diperlukan


untuk mengatur tata krama pergaulan antar manusia, sebab dengan melakukan
komunikasi interpersonal dengan baik akan memberikan pengaruh langsung pada
struktur

seseorang

dalam

kehidupannya

(Cangara,

2006).

Komunikasi

interpersonal dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya komunikasi


interpersonal antar sesama anggota keluarga maka akan tercipta hubungan yang
harmonis dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh
salah satu anggota keluarga. Yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal
dalam keluarga yaitu hubungan timbal balik antara anggota keluarga untuk
berbagi berbagai hal dan makna dalam keluarga. Tujuan dari komunikasi
interpersonal dalam keluarga yaitu untuk mengetahui dunia luar, untuk mengubah
sikap dan prilaku. Oleh karena itu dengan melakukan komunikasi interpersonal
yang baik diharapkan perkembangan pemahaman moral akan berjalan baik pada
seorang remaja. (Widjaya, 2000).

Faktor-faktor

yang

Mempengaruhi

Keefektivitasan

Komunikasi

Interpersonal
Menurut Widjaja (2000) faktor yang dapat mempengaruhi
komunikasi interpersonal agar menjadi lebih efektif adalah :
a. Keterbukaan
Sifat keterbukaan menunjukkan paling tidak dua aspek tentang
komunikasi interpersonal. Aspek pertama yaitu, bahwa kita harus
terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Dari sini
orang lain akan mengetahui pendapat, pikiran dan gagasan kita.
Sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Aspek kedua dari
keterbukaan merujuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan
terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang segala sesuatu yang
dikatakannya, demikian sebaliknya.
b. Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya
pada peranan atau posisi orang lain. Mungkin yang paling sulit dari
faktor komunikasi adalah kemampuan untuk berempati terhadap
pengalaman orang lain. Karena dalam empati, seseorang tidak
melakukan penilaian terhadap perilaku orang lain tetapi sebaliknya
harus dapat mengetahui perasaan, kesukaan, nilai, sikap dan perilaku
orang lain.
c. Perilaku Sportif
Komunikasi interpersonal akan efektif bila dalam diri seseorang ada
perilaku sportif, artinya seseorang dalam menghadapi suatu masalah
tidak bersikap bertahan (defensif).
Menurut Widjaya (2000), keterbukaan dan empati tidak dapat berlangsung
dalam suasana yang tidak sportif.
Menurut Kohlberg (dalam, Santrock 1998), tahapan moral ini
berhubungan dengan kemajuan kognitif dan tingkah laku moral. Dalam
perkembangan kognitif pada usia 14-15 tahun, kebanyakan remaja sepenuhnya
telah mencapai formal thinking atau yang menurut Piaget formal

operation yaitu yang memungkinkan para remaja berfikir sistematis dan


dapat menalarkan secara objektif pemikiran-pemikirannya sehingga ia dapat
menerapkan prinsip-prinsip umum pada situasi tertentu yang dihadapinya.
Rest (1994) mengggambarkan perkembangan pemahaman moral
sebagai peningkatan kemampuan memahami dan mengaplikasikan prinsip
untuk memutuskan keadilan (fairness). Rest berpendapat bahwa cara terbaik
untuk menggambarkan enam tahap perkembangan penalaran moral kohlberg
adalah dengan melihatnya sebagai enam konsep cara bagaimana berhubungan
dengan orang lain.
Konsep tentang cara bagaimana berhubungan dengan orang lain
membantu individu menyaring berbagai detail untuk mengidentifikasi aspekaspek yang paling penting dalam situasi tertentu. Konsep tersebut
menyediakan suatu jalan untuk menghubungkan masing-masing pihak dan
suatu strategi untuk memutuskan pertimbangan apa yang paling penting untuk
menghasilkan tindakan yang benar secara moral.
Berikut adalah enam tahap pemahaman moral menurut Rest yaitu:
Tahap 1. The morality of obedience
Pada tahap ini individu dipengaruhi oleh kekuatan orang lain.
Individu menyadari bahwa ketidak patuhan dapat membuatnya
mendapat hukuman. Cara untuk dapat hidup bersama orang lain
adalah dengan melakukan atau mematuhi perkataan orang lain. Pada
tahap ini, yang dianggap baik dan benar adalah mematuhi tuntutan
atau perkataan orang yang lebih berkuasa.
Tahap 2. the morality of egoism and simple exchange
Pada tahap ini, individu menyadari bahwa tiap orang memiliki minat
dan keinginan masing-masing, termasuk dirinya sendiri. Pada tahap
ini, melakukan sesuatu yang baik berarti melakukan sesuatu yang
memuaskan bagi saya, tidak melakukan apa yang orang lain minta.
Walaupun pada tahap 2 ini memandang setiap individu sebagai selfcentered, tapi masih terdapat konsep tentang bagaimana individu
dapat bekerjasama. Individu dapat saling membuat perjajian jangka

pendek, dan saling memberi kebaikan. Kerjasama merupakan


pertukaran kebaikan yang sederhana.
Tahap 3. The morality of interpersonal concordance
Pada tahap ini, individu menyadari bahwa hubungan dengan individu
lain tidak hanya membuat perjanjian jangka pendek, tetapi juga
hubungan jangka panjang, yang terdiri dari kesetiaan, rasa terima
kasih, dan saling perhatian satu sama lain. Dalam hubungan tersebut,
individu tidak hanya mementingkan balas budi (siapa berhutang apa
pada siapa), tapi lebih pada komitmen dan kesetiaan terhadap
hubungan tersebut. Inti dari konsep kerjasama pada tahap ini adalah
mempertahankan hubungan dengan individu lain. Tahap tiga ini juga
mencakup reciprocal role taking, yaitu individu berusaha mengambil
sudut pandang peran individu lain, dan begitu pula individu lain
mengambil sudut pandang peran individu tersebut. Jadi pada tahap
ini,

individu

berusaha

membangun

dan

mempertahankan

persahabatan dengan cara menunjukkan kesetiaan, perhatian, dan


baik budi.
Tahap 4. The morality of low and duty to social order
Pada tahap 4, melihat kekurangan dari tahap 3 yang hanya
menyediakan dasar untuk bekerjasama dengan teman atau sekutu.
Tahap 4 sudah menyediakan dasar untuk bekerjasama dengan
masyarakat secara umum, tidak hanya dengan teman dan sekutu tapi
juga dengan orang asing, saingan dan musuh. Untuk bekerjasama
dengan orang, seseorang membutuhkan hukum (law). Masyarakat
dapat diataur oleh hukum formal yang umum dan melalui sistem
aturan formal yang diterapkan oleh institusi sekunder (seperti
universitas dan bisnis). Hukum bersifat umum, yang harus diketahui
oleh setiap orang dalam masyarakat dan diaplikasikan pada setiap
orang pula, setiap orang diatur oleh hukum. Dengan demikian kita
mengharapkan setiap orang untuk berprilaku sesuai hukum.
Tahap 5. The morality of concensus building procedure

Tahap

dikenal

sebagai

suatu

pendekatan

politik

untuk

mendefinisikan moralitas. Tahap ini ditandai dengan mekanisme


politik (pemilihan, poling, voting) untuk membuat keputusan yang
ditujukan untuk mencapai kesepakatan kelompok. Apa yang benar
adalah apa yang diputuskan bersama.

Tahap 6. The morality of non arbitrary social cooperation


Tahap 6 menampilkan pandangan akan suatu masyarakat ideal yang
menyeimbangkan antara beban dan keuntungan dalam hidup yang
kooperatif, dan yang mengoptimalkan kesejahteraan setiap individu.

Pada tahap 5 dan 6, individu menyadari bahwa masing-masing masyarakat


dapat diatur oleh sistem hukum yang berbeda. Tahap 5 dan 6 ditandai
dengan orientasi pada prinsip yang membentuk hukum dan sistem aturan
yang ada pada masyarakat. Prinsip ini kemudian yang menentukan,
mengatur, dan mengkritik hukum dan sistem aturan dalam masyarakat
kooperatif. Maka tahap 5 dan 6 disebut dengan principled morality.

METODE
Subjek
subjek penelitian adalah remaja yang berusia 15 19 tahun, berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan, dan tinggal bersama orangtua.
peneliti menyebarkan sebanyak 70 angket yang disebarkan kepada siswa
dan siswi kelas XII-IPA1, XII-IPA2, XII-IPA3 dan XII-IPS1. Angket yang
kembali dan memenuhi karakteristik subjek penelitian sebanyak 61 angket yang
berasal dari XII-IPA1 sebanyak 16 orang, XII-IPA2 sebanyak 15 orang, XII-IPA3
sebanyak 15 orang dan XII-IPS1 sebanyak 15 orang.

Alat
Alat pengumpul data yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Skala komunikasi interpersonal disusun berdasarkan karakteristik dari
komunikasi interpersonal.
2. Defining Issues Test (DIT) yang disusun oleh Rest,digunakan untuk
mengungkap pemahaman moral. DIT merupakan suatu alat yang bersifat
objektif.

Hasil Penelitian

Berdasarkan analisis data yang dilakukan diperoleh nilai koefisien korelasi 0,083
dengan nilai signifikansi 0,524 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang
signifikan antara komunikasi interpersonal dengan pemahaman moral pada
remaja. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi ada hubungan
antara komunikasi interpersonal dalam keluarga dengan pemahaman moral pada
remaja adalah ditolak.

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis penelitian ini
ditolak, artinya tidak ada hubungan antara komunikasi interpersonal dalam
keluarga dengan pemahaman moral pada remaja. Hasil penelitian ini ditolak
mungkin dikarenakan adanya faktor lain yaitu faktor pola asuh orangtua dalam
keluarga. Pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orangtua yang diterapkan pada
anak. Dalam keluarga, biasanya orangtua menerapkan pola pengasuhan tertentu
dalam mengasuh anak mereka.
Berdasarkan perhitungan ini diketahui bahwa mean empirik pada skala
komunikasi interpersonal lebih besar dari pada mean hipotetik MH SDH < x
MH + SDH (77,5 < x 90,48). Standar deviasi hipotetik (SDH) yang diperoleh
sebesar 15,5. Artinya, secara umum subjek penelitian memiliki tingkat
komunikasi interpersonal dalam kategori rata-rata. Berdasarkan perhitungan ini
diketahui bahwa mean empirik pada skala pemahaman moral lebih besar dari pada

mean hipotetik MH SDH < x MH + SDH (45 < x 45,21). Standar deviasi
hipotetik (SDH) yang diperoleh sebesar 54. Artinya,

secara umum subjek

penelitian ini juga memiliki tingkat pemahaman moral dalam kategori rata-rata.
Pada mean hipotetik pemahaman moral laki-laki dan perempuan berada
dalam kategori rata-rata. Namun bila dilihat dari tabel di atas, berdasarkan jenis
kelamin. Pemahaman moral yang lebih tinggi terdapat pada anak laki-laki.

berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa anak tengah memiliki


pemahaman moral yang lebih baik dibandingkan dengan anak sulung, anak
bungsu dan anak tunggal.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis penelitian ini


ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara komunikasi
interpersonal dalam keluarga dengan pemahaman moral pada remaja. Dari hasil
analisis juga diketahui bahwa pada perhitungan perbandingan mean empirik dan
mean hipotetik diketahui bahwa komunikasi interpersonal dalam keluarga
termasuk dalam kategori rata-rata, dan berdasarkan Indeks P yang diperoleh dari
Kuesioner Defining Issues Test diketahui bahwa rata-rata subjek dalam penelitian
ini memiliki tingkat pemahaman moral yang tergolong rendah.

Saran
1. Bagi orangtua, agar memperhatikan perkembangan pemahaman moral bagi
anak remajanya supaya dapat berkembang dengan baik.
2. Bagi remaja, disarankan untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan normanorma moral yang dianut dalam masyarakat. Remaja juga diharapkan dapat
menghargai hak orang lain dan dapat mempertanggung jawabkan segala
tindakannya.
3.

Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk lebih memperhatikan faktorfaktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap pemahaman moral.

DAFTAR PUSTAKA

Cangara, H. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada.
Gunarsa, S, D & Gunarsa, Y. (1995). Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan
Keluarga. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Papalia, D.E. (2001). Human Development (8 ed). New York : McGraw-Hill.
Rest, J. R & Narvaez, D. (1994). Moral Development in the Professions.. New
Jersey : Lswrence Erlbaum Associates Publishers.
Santrock, J. W. (1998). Chil Development. 8 edition (International Edition). New
York : McGraw-Hill Co.
Santrock, J. W. (2001). Adolescence (8 ed). New York : McGraw-Hill Co.
Widjaja. (2000). Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta : Rineka Cipta.
Yusuf, S. H. (2006). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Zainuddin, N. (2005). Persepsi Remaja Terhadap Peran Ayah dan Peran Teman
Sebaya dan Hubungannya dengan Tahapan Penalaran Moral Remaja. Tesis
(tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas

Вам также может понравиться