Вы находитесь на странице: 1из 147

MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS

PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA


SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI. STUDI KASUS:
ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT

DISERTASI
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh:
D. ERWIN IRAWAN
NIM: 32005002
(Program Studi Teknik Geologi)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2009

ABSTRAK

MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS


PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA
SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI STUDI KASUS:
ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT
Oleh

D. Erwin Irawan
NIM : 320 05 002
Gunung Ciremai (3072 mapl) merupakan gunung api strato yang terletak di
Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Zona mata air terletak di bagian kaki dengan
jumlah total kurang lebih 200 mata air berdebit 10 L/s hingga 800 L/s. Tipe mata air
umumnya adalah rekahan pada batuan lahar dan lava, serta tipe depresi yang muncul
pada tanah pelapukan.
Penelitian ini menggunakan observasi mata air dan analisis terhadap 15 sifat fisik dan
kimia air dengan menggunakan analisis korelasi, analisis klaster serta analisis
komponen utama. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi model hidrogeologi yang
terdiri dari sistem akuifer endapan gunung api dan pola aliran air tanah.
Dari hasil analisis sifat fisik dan kimia dengan grafik korelasi dan Diagram Piper
dapat diidentifikasi dua kelompok karakter air tanah, yaitu: air tanah dengan
pengaruh air meteorik dominan dan air tanah dengan pengaruh panas bumi.
Pengelompokkan tersebut dicirikan pula oleh perubahan fasies kimia air dari daerah
tinggi ke yang lebih rendah, yakni dari fasies bikarbonat menjadi fasies kalsium
bikarbonat hasil interaksi dengan batuan kaya plagioklas, magnesiumbikarbonat
yang mengindikasikan kontak dengan batuan sedimen yang diperkirakan dolomit,
selanjutnya berubah menjadi natriumkaliumklorida hasil interaksi dengan batuan
sedimen batu lempung.
Analisis klaster berhasil mengidentifikasi dua klaster makro. Klaster 1 beranggotakan
mata air mesotermal dan hipotermal yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan
gunung api. Kelompok ini terbagi menjadi Klaster 1a beranggotakan 131 mata air
yang kaya Ca - HCO3 serta Klaster 1b yang terdiri dari tiga mata air yang
mengandung Mg - HCO3. Klaster 2 terdiri dari dua mata air yang bersirkulasi di
dalam akuifer batuan gunung api dengan tipe aliran cepat. Mata air dalam klaster ini

ii

tergolong hipertermal dengan kandungan Na-K-Cl dan nilai TDS/DHL yang lebih
tinggi dibanding air dalam Klaster 1.
Hasil Analisis Komponen Utama menunjukkan parameter utama dari Kuadran II
dengan ion bersifat seimbang beranggotakan contoh model mata air mesotermal dan
hipotermal pada elevasi yang tinggi. Parameter utama kemudian berubah menjadi pH,
Mg2+, Ca2+, HCO3- pada Kuadran IV atau tetap seimbang pada Kuadran III. Ketiga
kuadran tersebut dikendalikan oleh waktu perjalanan air tanah dari elevasi tinggi ke
rendah, komposisi akuifer batuan gunung api serta tipe aliran cepat pada media
rekahan. Pergeseran contoh air tanah dari Kuadran II ke Kuadran III dan IV
mengindikasikan adanya interaksi air tanah pada ketiga jenis akuifer piroklastik, lava,
dengan lahar. Untuk model mata air hipertermal pada Kuadran I, komponen utama
berubah menjadi TDS, DHL, Na, K, Cl, dan SO4 sebagai hasil interaksi dengan panas
bumi dari aktivitas volkanisme.
Pengamatan suhu air tanah dan suhu udara selama 24 jam dimanfaatkan untuk
mengindikasikan perilaku air tanah di dalam akuifer dengan lebih rinci. Di lokasi
mata air Cibulan, pengukuran mengindikasikan aliran air tanah pada sistem akuifer
tertutup yang tidak berhubungan dengan udara permukaan tanah. Sementara
pengukuran di Mata air Telaga Remis memperlihatkan pola interaksi air tanah dengan
lingkungan permukaan tanah.
Berdasarkan analisis respon debit mata air terhadap curah hujan pada dua lokasi mata
air dihasilkan dua bentuk kurva time series yang memiliki kemiringan gradual dan
tajam. Kurva dengan kemiringan gradual mencerminkan kendali akuifer media pori
yang dominan, sementara kemiringan tajam dikendalikan oleh akuifer media rekahan.
Kedua jenis kurva memperlihatkan perkiraan time lag rata-rata dalam kurun waktu 37 bulan. Hasil lainnya adalah perhitungan kawasan imbuhan dengan luas 3725 km2
untuk mata air Cibulan dengan volume imbuhan 8,2x109 m3/tahun, 6188 km2 untuk
mata air Telaga Remis dengan volume imbuhan 14,5x109 m3/tahun.
Kata kunci: endapan gunung api, sifat fisik dan kimia, analisis klaster, analisis
komponen utama

iii

ABSTRACT

HYDROGEOLOGICAL MODEL BASED ON ANALYSES OF


SHIFTING OF GROUNDWATERS PHYSICAL-CHEMICAL
PROPERTIES IN VOLCANIC AQUIFER SYSTEM. CASE
STUDY: SPRING ZONE OF MT. CIREMAI WEST JAVA

By

D. ERWIN IRAWAN
NIM : 320 05 002
The Mount Ciremai is a 3072 masl situated in the south of Cirebon. It constitutes of
spring zones along its foot slopes with nearly 200 groundwater springs, discharging
10 L/s to 800 L/s of water. The spring zone is fed by volcanic aquifer system, which
lie over clay-sand layers which contains large masses of intercalated evaporites. Due
to these conditions, the hydrochemical composition of the volcanic springs is
relatively variable.
In this study a hydrogeochemical characterization of the aquifer is undertaken to
identify the hydrogeological model, consists of aquifer system and groundwater flow
path pattern, based on 140 samples collected from the volcanic springs. The
identification was performed by studying hydrographs, the temporal evolution of
physico-chemical parameters, and by means of multivariate statistical analyses with
ifteen (15) hydrochemical parameters were considered (pH, EC., TDS., Twater, Tair,
elevation, lithology, aquifer medium, Ca, Mg, Na, K, HCO3, Cl, SO4). Principal
Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis (CA) were applied in order to
examine the importance of each parameter, investigate correlations among them, and
separate them into groups.
CA recognizes two clusters. Cluster 1 consists of mesothermal and hypothermal
waters which are circulating in the volcanic aquifer system. This cluster is divided in
to Cluster 1a which consists of 131 springs, with Ca-HCO3 from plagioclase rocks
and Cluster 2b constitutes 3 springs with Mg-HCO3 ferromagnesian rocks. These
samples are closely related with meteoric water. Cluster 2 consists of two springs
iv

circulating in the volcanic rock aquifer system. Both springs are hyperthermal, with
high Na-K-Cl and TDS/DHL contents from volcanic activities.
PCA identifies the balanced parameters on Quadrant II and III which consists of
mesothermal and hypothermal groundwater samples located on higher altitude.
Balanced parameters change to dominant pH, Mg, Ca, HCO3 in Quadrant IV. The
three quadrants are controlled by volcanic rock aquifer system with relatively fast
circulation in fractured aquifers. The shifting of groundwater samples from Quadrant
II to Quadrant III and IV indicate the interaction between groundwater in the three
aquifers: pyroclastics, lavas, and lahars. The prevailing balanced parameters alter to
dominant TDS/EC, Na, K, Cl, and SO4 in Quadrant I which contains volcanic
hyperthermal groundwater samples. Along the direction of flow, hydrochemical
trends are seen as the groundwater type changes from neutral type to Ca-HCO3, MgHCO3; then to Na-K-Cl derived from the mixture between cold waters and thermal
water.
Cibulan spring show different pattern of groundwater and surface temperature graphs.
It indicates closed aquifer system, un-associated with surface environment. More
similar curve pattern is shown at Telaga Remis spring. It indicates that the
groundwater flows in open aquifer system, associated with surface environment.
Gradual curve indicates the control of porous aquifer system, while the sharp one
indicates the role of fractured aquifers. The estimated time lag between spring
discharge and precipitation is within 3-7 months period. The calculation of springs
recharge area from the charts are 3725 km2 with 8.2x109 m3/year of recharge for
Cibulan, 6188 km2 with 14.5x109 m3/year of recharge for Telaga Remis.
The application of PCA and CA of hydrochemical and hydrodynamic data can be
used to extract the conceptual model of hydrochemical evolution of volcanic waters.
Moreover, the use of both approaches allows better establishment of volcanic aquifer
characterization.
Key word: volcanic aquifer system, physical and chemical properties, cluster
analysis, principal component analysis

MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS


PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA
SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI. STUDI KASUS:
ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT

Oleh:

D. ERWIN IRAWAN
NIM: 32005002
Program Studi Teknik Geologi
Institut Teknologi Bandung

Menyetujui
Tim Pembimbing
Tanggal

Juni 2009

Ketua

Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA


NIP: 131 414 797
Anggota

Anggota

Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo, M.Eng


NIP: 130 528 334

Dr.Ir. Prihadi Soemintadiredja


NIP: 131 667 756

vi

For those who always stand by me


Family, C.P and A.R.I

vii

PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI

Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan


Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak
cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan
atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan
kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin
Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

viii

UCAPAN TERIMAKASIH

Program Penelitian S3 ini mendapatkan bantuan dana dari Institut Teknologi


Bandung melalui Program Vucher ITB, serta dukungan dana penelitian dari Dirjen
Pendidikan Tinggi melalui dana Hibah Pascasarjana tahun 2005 - 2006. Rasa
terimakasih saya sampaikan kepada ketiga institusi tersebut karena telah memberi
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Rasa hormat dan terimakasih saya sampaikan untuk tim promotor yang terdiri dari
Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA, Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo, M.Eng,
dan Dr. Prihadi Soemintadiredja untuk arahan dan diskusi yang memperkaya
penelitian ini serta untuk menyempurnakan teks disertasi ini. Selain itu saya juga
menyampaikan penghargaan dan terimakasih untuk Bapak/Ibu Pimpinan FITB: Ir.
Lambok M. Hutasoit, Ph.D, Dr. Rubiyanto Kapid, dan Dr. Nining Sari Ningsih yang
telah menyediakan fasilitas kerja serta ikut memberi semangat kepada saya untuk
terus berupaya lulus tepat waktu dan menulis publikasi dan mengirimkan ke jurnal
internasional. Diskusi dan arahan teknis juga saya dapatkan dari Dr. Lilik Eko
Widodo dari KK Eksplorasi Sumber Daya Bumi, Dr. Satria Bijaksana dari KK Fisika
Kompleks, Dr. Thom Bogaard dari TU Delft, Dr. Asnawir Nasution, dan Dr. Achmad
Djumarma.
Saya mengucapkan terimakasih pula untuk Bapak Ukas dan Bapak Wahyu Hidayat
dari Bapeda Kab. Kuningan yang telah membantu menyediakan data dan
memfasilitasi observasi ke lokasi mata air, Bapak Nana Taryana yang membantu
akomodasi saya dan tim. Secara khusus pula, saya berterimakasih kepada tim
mahasiswa S1 terdiri dari Sdr. Surya Nugraha, Albertus Ditya, Grandis, Thomas,
Ryan Surjaudaja, Aditya Juanda yang telah membantu dalam akuisisi data,

ix

mahasiswa S2 Bapak Taat Setiawan dan Yayan Hendriyan yang telah membantu
dalam visualisasi GIS.
Dengan tulus, saya mengucapkan terimakasih untuk orang-orang terdekat saya,
terutama matahari kecilku Abraary Raditya Irawan serta keluarga besar yang telah
memberikan dukungan moril dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan
penelitian ini.

Bandung, Juni 2009


Penulis

DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................................ iv
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI ..........................................................viiii
UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xixx
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ........................................................... xx

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1


I.1 Distribusi Gunung Api di Indonesia ........................................................................ 1
I.2 Pemilihan Daerah Penelitian.................................................................................... 3
I.3 Daerah Penelitian ..................................................................................................... 3
I.4 Permasalahan. .......................................................................................................... 6
I.5 Lingkup Penelitian. .................................................................................................. 7
I.6 Tujuan. ..................................................................................................................... 7
I.7 Hipotesis dan Asumsi .............................................................................................. 8
I.8 Metodologi ............................................................................................................... 8
I.7.1 Kajian Penelitian Sebelumnya......................................................................... 11
I.7.2 Penelitian Lapangan ........................................................................................ 11
I.7.3 Analisis Kimia Air ........................................................................................... 12
I.7.4 Interpretasi Hasil Analisis Air ......................................................................... 12
I.7.5 Penulisan Disertasi .......................................................................................... 13
I.9 Output Penelitian. .................................................................................................. 14

xi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 15


II.1 Geologi ................................................................................................................. 15
II.2 Hidrogeologi ......................................................................................................... 17
II.3 Analisis Kelurusan Morfologi .............................................................................. 21
II.4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah ............................................................ 22
II.4.1 Analisis Grafis ................................................................................................ 22
II.4.2 Analisis Statistik Multivariabel ...................................................................... 22
A. Analisis Komponen Utama (AKU) ................................................................. 23
B. Analisis Klaster ................................................................................................ 24
II.5 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah ........................................................ 25
II.6 Analisis Respon Debit Mata Air .......................................................................... 26
II.6.1 Umum ............................................................................................................. 26
II.6.2 Analisis Respon Debit Mata Air .................................................................... 27
II.6.3 Analisis Respon TDS dan Temperatur Air pada Mata Air ............................ 31

BAB 3 HIDROGEOLOGI REGIONAL CIREMAI.............................................. 33


III.1 Sistem Akuifer .................................................................................................... 33
III.1.1 Kelompok Endapan Vulkanik ....................................................................... 33
III.1.2 Kimia Batuan ................................................................................................ 35
III.1.3 Analisis Kelurusan Morfologi ...................................................................... 36
III.1.4 Ketebalan dan Laju Infiltrasi Tanah Pelapukan ............................................ 42
III.2 Curah Hujan (Presipitasi) .................................................................................... 44
III.3 Distribusi dan Geometri Mata Air....................................................................... 48
III.3.1 Mata Air Depresi .......................................................................................... 53
III.3.2 Mata Air Rekahan ......................................................................................... 54
III.4 Survei Geolistrik ................................................................................................. 57
III.5 Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah ......................................................................... 58
III.6 Pola Aliran Air Tanah ......................................................................................... 59

xii

BAB 4 ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA AIR TANAH.............................. 62


IV.1 Sifat Fisik ............................................................................................................ 62
IV.1.1 Temperatur.................................................................................................... 62
IV.1.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids)........................................... 63
IV.1.3 pH ................................................................................................................. 64
IV.2 Sifat Kimia .......................................................................................................... 65
IV.2.1 Kalsium (Ca2+) .............................................................................................. 65
IV.2.2 Magnesium (Mg2+) ....................................................................................... 67
IV.2.3 Natrium (Na+) ............................................................................................... 68
IV.2.4 Kalium (K+) .................................................................................................. 69
IV.2.5 Klorida (Cl-) .................................................................................................. 71
IV.2.6 Sulfat (SO42-) ................................................................................................ 72
IV.2.7 Bikarbonat (HCO3-) ...................................................................................... 73
IV.2.8 Fasies Air Tanah ........................................................................................... 74
IV.3 Analisis Korelasi ................................................................................................. 77
IV.3.1 Temperatur vs Elevasi .................................................................................. 77
IV.3.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids/TDS) dengan Elemen Utama
(Na, K, Cl, SO4) ....................................................................................................... 79
IV.3.3 Klorida (Cl) dengan Sulfat (SO4) ................................................................. 80
IV.3.4 Klorida (Cl) dengan Bikarbonat (HCO3) ...................................................... 80
IV.3.5 Kalium (K) dengan Natrium (Na) ................................................................ 81
IV.3.6 Klorida (Cl) dengan Natrium (Na) ............................................................... 82
IV.4 Analisis Multivariabel......................................................................................... 84
IV.4.1 Analisis Klaster............................................................................................. 84
IV.4.2 Analisis Komponen Utama ........................................................................... 87
IV.5 Analisis Individu Mata Air ................................................................................. 89

BAB 5 ANALISIS RESPON DEBIT MATA AIR ................................................. 91


V.1 Mata Air Cibulan.................................................................................................. 91
V.1.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan .............................................. 91
V.1.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur .......................................................... 93
xiii

V.2 Mata Air Telaga Remis ........................................................................................ 95


V.2.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan .............................................. 95
V.2.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur .......................................................... 97
V.3 Pola Tipikal Respon Debit Mata Air .................................................................... 99

BAB 6 KESIMPULAN ........................................................................................... 103


VI.1 Model Hidrogeologi ...................................................................................... 103
VI.2 Hal Baru ......................................................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 108


BIODATA PENULIS .............................................................................................. 116

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1

Jalur Gunung Api di Indonesia dan Pulau Jawa (Kusumadinata, 1979


op.cit Puradimaja, 2006)........................................................................ 2

Gambar 2

a) Peta Lokasi G. Ciremai dan Citra Shuttle Radar Topographic


Mission (SRTM) memperlihatkan Morfologi Daerah Kab. Majalengka
dan Kab. Kuningan; b) Bentuk Siluet Ciremai yang Memperlihatkan
Bentuk Lereng Utara dan Selatan. ......................................................... 5

Gambar 3

Diagram Alir Penelitian yang Dilaksanakan Pada Perioda 2005-2008 . 9

Gambar 4

Diagram Alir Proses Preparasi Data. ................................................... 10

Gambar 5

Peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995) ............................... 19

Gambar 6

Simulasi Aliran Air Tanah di Lereng Timur Gunung Ciremai


(IWACO-WASECO, 1989)................................................................. 20

Gambar 7

Contoh Diagram Piper (1944) untuk menganalisis Fasies Air Tanah . 22

Gambar 8

Model skematik hidrograf mata air di kawasan karst dengan sistem


akuifer media rekahan murni (Kovacs dan Perrochet, 2008) .............. 28

Gambar 9

Beberapa Klaster Hidrograf Mata Air di Kawasan Gunung Api di P.


Jeju di Republik Korea (Kim dkk, 2007). ........................................... 29

Gambar 10

Contoh Analisis Besaran Imbuhan (R) berbasis Hidrograf Debit Mata


Air menurut Pacheo dan Alencoao (2005) .......................................... 31

Gambar 11

Grafik Klasifikasi Batuan Gunung Api (Le Bas and Streckeisen, 1991;
Pusat Survey Geologi, 2007) ............................................................... 35

Gambar 12

Pola Kelurusan yang Teridentifikasi di Daerah Penelitian.................. 37

Gambar 13

Diagram Roset Orientasi Kelurusan serta Jumlahnya. ........................ 38

Gambar 14

Histogram jarak mata air terhadap kelurusan yang terdekat. .............. 39

Gambar 15

Plot antara debit mata air (Q dalam L/d) dengan jaraknya terhadap
kelurusan (dalam m). ........................................................................... 40

Gambar 16

Peta Densitas Kelurusan dan Plot Mata Air. ....................................... 41

Gambar 17

Sketsa Profil Rekahan pada Aliran Lava dan Lahar (Irawan and
Puradimaja, 2006)................................................................................ 42

Gambar 18

Plot Interval Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan. .......................... 43

Gambar 19

Plot Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan Terhadap Elevasi. ........... 44

xv

Gambar 20

Peta Stasiun Penakar Hujan dan Data Pengukuran Rata-Rata Bulanan


pada Jan Des 2006. Peta memperlihatkan stasiun yang ada (titik
hitam) dan stasiun yang tersedia datanya (lingkaran merah) (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008) ....................................................... 46

Gambar 21

Grafik Rata-Rata Hujan Bulanan dalam mm (2006-2007) (Badan


Meteorologi dan Geofisika, 2008) ....................................................... 47

Gambar 22

Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Desember 2006 dalam mm


(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008) .......................................... 47

Gambar 23

Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Juli 2007 dalam mm


(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008) .......................................... 48

Gambar 24

Histogram Pemunculan Mata Air dan Zonasi Debitnya (Irawan dan


Puradimaja, 2006)................................................................................ 49

Gambar 25

Histogram Posisi Elevasi Mata Air ..................................................... 50

Gambar 26

Plot Interval Elevasi Mata Air Berdasarkan Jenis Batuan Penyusun


Akuifernya ........................................................................................... 51

Gambar 27

Perbandingan Jumlah dan Distribusi Mata Air Antara Lereng Barat


(warna hitam) dan Lereng Timur (warna putih) Berdasarkan Elevasi.52

Gambar 28

Penampang Geologi Gunung Ciremai Berarah Utara-Selatan (atas) dan


Barat-Timur (bawah). .......................................................................... 53

Gambar 29

Skema Interpretasi Mata Air Rekahan: ............................................... 54

Gambar 30

Skema Interpretasi Mata Air Depresi: ................................................. 56

Gambar 31

Histogram Debit Mata Air ................................................................... 56

Gambar 32

Interval Plot Debit Mata Air Berdasarkan Litologi. ............................ 57

Gambar 33

Pola Aliran Air Tanah di Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja,


2006) .................................................................................................... 60

Gambar 34

Pola Aliran Air Tanah pada Contoh Kasus Mata Air Cibulan (Irawan
and Puradimaja, 2006) ......................................................................... 61

Gambar 35

Histogram Temperatur Air Tanah pada Sistem Akuifer Endapan


Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ........... 63

Gambar 36

Histogram nilai Total Padatan Terlarut (TDS) pada sistem akuifer


endapan gunung api lahar (LhB), piroklastik (PxB), dan lava (Lv),
serta batuan sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) sebagai pembanding. .... 64

Gambar 37

Histogram pH pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar


(LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm.
Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ............................................. 65

xvi

Gambar 38

Histogram Konsentrasi Ca2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 66

Gambar 39

Histogram Komposisi Mg2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 68

Gambar 40

Histogram Komposisi Na+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer Endapan


Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ........... 69

Gambar 41

Histogram Komposisi K+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.


Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv). .. 71

Gambar 42

Histogram Komposisi Cl- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.


Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv). .. 72

Gambar 43

Histogram Komposisi SO42- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.


Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv). .. 73

Gambar 44

Histogram Komposisi HCO3- dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 74

Gambar 45

Plot Piper Contoh Air Tanah dan Rekonstruksi Proses Perubahan Sifat
Kimia Airnya ....................................................................................... 76

Gambar 46

Plot Antara Elevasi dengan Temperatur Udara Diandai Titik Hitam,


dan Temperatur Air Ditandai Titik Merah. ......................................... 78

Gambar 47

Plot TDS dan Na, K, Cl, SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung
Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan
Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ....................... 79

Gambar 48

Plot Antara Ion Cl dan SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api
Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen
Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ...................................... 80

Gambar 49

Plot Antara Konsentrasi Ion Cl dan HCO3 Pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 81

Gambar 50

Plot Antara Konsentrasi K dan Na pada Sistem Akuifer Endapan


Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ........... 82

Gambar 51

Plot Antara Komposisi Na dan Cl pada Contoh Air Dari Daerah Studi
Pada Diagram Join dkk (1977) ............................................................ 83

Gambar 52

Dendogram Analisis Klaster (Minitabversi 15 trial version) .............. 85

Gambar 53

Hasil Analisis Klaster Secara Spasial. ................................................. 86


xvii

Gambar 54

Plot Komponen Utama antara Komponen 1 dan Komponen 2. .......... 88

Gambar 55

Alur Proses Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah Secara
Skematik di Gunung Ciremai. Warna merah mengindikasikan
kelompok air tanah hipertermal. .......................................................... 88

Gambar 56

Skema Model Hidrogeologi berdasarkan Sifat Fisik dan Kimia Air .. 89

Gambar 57

Skema Sistem Panas Bumi (Ellis dan Mahon, 1978) .......................... 89

Gambar 58

Skema mata air no 26 (Mata Air Cibewok) dan no 226 (Mata Air
Rajawangi). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis akuifer.
............................................................................................................. 90

Gambar 59

Skema mata air no 17 (Mata Air Sangkanurip) dan no 226 (Mata Air
Cigirang). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis akuifer.
............................................................................................................. 90

Gambar 60

Plot Berurut Waktu Antara Debit Mata Air (sumbu y kanan) dan
presipitasi (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan........................ 92

Gambar 61

Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Cibulan .................. 93

Gambar 62

Plot Berurut Waktu TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan Presipitasi
(sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan ......................................... 94

Gambar 63

Plot Hasil Pengukuran Suhu Air dan Udara di lokasi Mata Air Cibulan
Selama 24 jam ..................................................................................... 95

Gambar 64

Plot Berurut Waktu Antara Debit (sumbu y kanan) dan Curah Hujan
(sumber y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis .............................. 96

Gambar 65

Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Telaga Remis ......... 97

Gambar 66

Plot Berurut Waktu Antara TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan
Curah Hujan (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis. ......... 98

Gambar 67

Plot Berurut Waktu Hasil Pengukuran Temperatur Air Pada Mata Air
Dan Temperatur Udara di Mata Air Telaga Remis. ............................ 99

Gambar 68

Usulan Model Umum Hidrograf Mata Air Pada Sistem Akuifer


Gunung Ciremai (a) dan (b) dan Perbandingannya dengan model
Umum Hidrograf Sistem Akuifer Media Rekahan Murni (c) ........... 101

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Rangkuman Kondisi Hidrogeologi Gunung Ciremai (Irawan dan


Puradimaja, 2006) .................................................................................. 34

Tabel 2

Komposisi Kimia Batuan Gunung Api Ciremai Hasil Analisis


Laboratorium (Pusat Survey Geologi, 2007) ......................................... 35

Tabel 3

Nilai Laju Infiltrasi Pada Tanah Pelapukan (cm/menit) ........................ 43

Tabel 4

Data Curah Hujan dari 13 stasiun 2006 dan 2007 dalam mm (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008) ......................................................... 45

Tabel 5

Ringkasan Data Mata Air Hasil Observasi ............................................ 50

Tabel 6

Perbandingan Komposisi Ca pada Batuan dan Air Tanah ..................... 66

Tabel 7

Perbandingan Komposisi Mg pada Batuan dan Air Tanah.................... 67

Tabel 8

Perbandingan komposisi Na pada batuan dan air tanah ........................ 69

Tabel 9

Perbandingan Komposisi K pada Batuan dan Air Tanah ...................... 70

Tabel 10

Koefisien Korelasi Hasil Analisis .......................................................... 77

Tabel 11

Bobot Faktor (factor loading) pada Analisis Komponen Utama ........... 87

Tabel 12

Pengukuran Suhu Air Tanah dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Cibulan ............................................................................................ 95

Tabel 13

Pengukuran Suhu Air Tanah Dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Telaga Remis ................................................................................... 99

Tabel 14

Rangkuman Hasil Perhitungan Luas Kawasan Imbuhan Mata Air ..... 102

Tabel 15

Resume Analisis Multivariabel ............................................................ 103

xix

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Singkatan

Nama

Pemakaian
pertama
kali
pada halaman

mapl

Meter di atas permukaan laut

SRTM

Shuttle Radar Topographic Mission

Debit (dalam satuan L/det)

Temperatur (dalam satuan C)

TDS

Total Dissolved Solids (dalam satuan ppm)

DHL

Daya Hantar Listrik (S/cm)

SMEWW

Standard Method Evaluation for Water and


Waste Water

12

CA

Cluster Analysis

12

PCA

Principal Component Analysis

12

AK

Analisis Klaster

12

AKU

Analisis Komponen Utama

12

Utara

19

Selatan

19

Barat

19

Timur

19

LhB

Lahar

35

Lv

Lava

35

PxB

Piroklastik

35

NW

North West

59

SE

South East

59

H 2S

Hidrogen Sulfida

79

Na

Natrium

17

Ca

Kalsium

17

Lambang

xx

Mg

Magnesium

17

Kalium

17

HCO3

Bikarbonat

17

Cl

Klorida

17

Qt

debit mata air pada waktu t

30

Q0

debit pada to

30

(t2-t1)

beda waktu antara Qt dan Qo

30

basis angka logaritmik

30

koefisien resesi

30

Besaran Recharge (imbuhan)

31

Rho

57

Ohm

57

xxi

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Distribusi Gunung Api di Indonesia


Indonesia merupakan bagian dari jalur gunung api dunia yang memiliki kurang
lebih 128 gunung api (Gambar 1), dan meliputi lahan seluas 33.000 km2
(Kusumadinata, 1979). Jumlah gunung api sebanyak 128 telah direvisi menjadi
129 menurut website Pusat Vulkanologi dan mitigasi bencana alam geologi
(http://portal.vsi.esdm.go.id) sejak meletusnya Gunung Anak Ranakan di Pulau
Flores pada tahun 1990. Sebagian besar diantaranya adalah gunung api berumur
kuarter berbentuk strato. Jumlah yang sangat besar tersebut membuat Indonesia
menjadi salah satu negara penting dalam penelitian kegunungapian di dunia.
Namun demikian masih belum banyak penelitian yang secara spesifik menelaah
kondisi hidrogeologi di kawasan gunung api.
Menurut Kusumadinata (1979) terdapat 73 gunung api Tipe A, 21 diantaranya
(29%) berada di Pulau Jawa dan sisanya tersebar di Pulau Sumatra 12 gunung
(16%), Bali dan NTB sebanyak lima gunung (7%,) NTT sebanyak 13 gunung
(18%), Kepulauan Banda sebanyak tujuh gunung (10%), Sulawesi dan Kepulauan
Sangir sebanyak 11 gunung (15%), Kepulauan Maluku sebanyak empat gunung
(5%). Menurut Situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(http://portal.vsi.esdm.go.id), tiga tipe gunung api berdasarkan keaktifannya dapat
diterangkan sebagai berikut:

Tipe A: gunung berapi yang pernah mengalami erupsi magmatik


sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.

Tipe B: gunung berapi yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan
erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti
kegiatan solfatara.

Tipe C: gunung berapi yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah


manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa
lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah.

o
5
1
1

o
5

u
r
e
m
e
S

o
0
1

A
U
P
A
P

I
S
E
W
A
L
U
S

A
W
A
J

o
5
1
1

o
0
1
1

o
5
0
1

o
0
0
1

Gambar 1 Jalur Gunung Api di Indonesia dan Pulau Jawa (Kusumadinata, 1979 op.cit Puradimaja, 2006)

i
p
a
n
a
e
g
n
a
S
a
r
o
b
m
a
T

A
W
A
B
M

i U
n S
a
j
n K
O
a i B
R
r
u
M
p r
O
a
u
gL
g t
n
r a
u
A B
g
g IA
n
a L
y A
I B
n
e
g
j n
nI u
a a
y g a
a n R
o
bgm
o
a
an
m
L
a
rr
o
r
ui
B
Sl
e
W
- d
o
u
n l
u
e
sK
ji
l
u ri
w AW
a a
L t
u

N
A
T
N
A
M
I
L
A
K

A
R
T
A
M
U
S

o
0
1

m
k
0
0
3
0
0
2
0
0
1
0

A
W
A
J

nb ir
aa
a
p
n r
b a
a
k
a
r r
g
g n
e e
a
n U
M M
sa
y
a
g
dr g g o
a
ot
n
n Y
B
oi
e
e i
rb
aa
o
m
hgP D d
a
t nu
ki e
la
ra
g
a uS
aat
m m Sn
KTu
n
u
a
e
a
g
l
B
ur S
gy
i
a
h
n
r
k
d u
C u
a
u
n n
rg t
l
a
en
a
n
a
P
Gp M
a u
a
j
no
.
a a
gG P w
m
t b
n
a
K
u
K
r k
u
a g
u
kend a
n
d
d
a
h
n
ae
a u
i
t
J GkT B
W
i
a
a
t
P
gl k
g
na k a
n
aS a
a
b
r
y
r
ge
a a
a
K
W
i s
GP
r
e
a r
s
e
a b
l
a
u r
P
a
i
K
750km

h
t
r
o
N
o
0
1
1

o
5
0
1

o
0
0
1

o
5

I.2 Pemilihan Daerah Penelitian


Studi komparatif telah dilakukan oleh penulis terhadap sistem akuifer endapan
gunung api di G. Ciremai, G. Tangkubanparahu, G. Gede Pangrango, dan G.
Karang. Beberapa karakter dan catatan penting khususnya di bidang hidrogeologi
pada masing-masing gunung api telah diringkas pada Tabel 1.
Tabel 1 Ringkasan Kondisi Hidrogeologi G. Ciremai, G. Tangkubanparahu, G.
Gede Pangrango, dan G. Karang yang disarikan dari peneliti
sebelumnya. (Situmorang, 1995, Djuri, 1995, Effendi, 1974, IWACOWASECO, 1989) dan hasil survei awal
Parameter yang
dibandingkan
Kemiringan lereng

Ciremai

Gede

Karang

5 20o

Tangkubanparahu
5 70o

5 30o

22 lapisan batuan
gunung api
Patahan
terpendam
1 10

12 lapisan batuan
gunung api
Patahan
terpendam
1 10

18 lapisan batuan
gunung api
Patahan
terpendam
1 10

5 lapisan batuan
gunung api
Tidak ada patahan

116

32

50

27

Dalam 3 zona
elevasi
Rekahan

Di kaki gunung,
tersebar
Rekahan

Di kaki gunung,
tersebar
Rekahan

Di kaki gunung,
tersebar
Depresi

1 900
23 - 63
100 - 3000
100 - 2500
Penelitian
magister

1 400
23 49
100 1500
100 - 1250
Penelitian skala
regional

1 200
23 47
100 2000
100 1700
Penelitian skala
regional

1 12
27 41
100 600
100 400
Penelitian skala
regional

5 20o

Geologi regional:
Litologi
Struktur
Ketebalan tanah
pelapukan
Sistem Akuifer Tak
Tertekan:
Mata Air:
Jumlah yang telah
terpetakan
Distribusi di bagian
kaki
Tipe mata air
dominan
Debit (L/det)
Temperatur (oC)
TDS (ppm)
DHL (S/cm)
Penelitian sebelumnya

15

I.3 Daerah Penelitian


Gunung Ciremai merupakan gunung api yang soliter atau terpisah dari gunung api
lainnya. Gunung api strato ini memiliki elevasi 3072 mapl, dan terletak 20 km ke
arah selatan Cirebon. Lereng timur Ciremai termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Kuningan, sementara lereng barat termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Majalengka (Gambar 2). Puncaknya terletak pada koordinat 6 53 30
latitude dan 108 24 00 longitude dengan diameter dari puncak ke kaki kurang

lebih 10 km. Sebagian kawasan Ciremai, seluas 15.000 ha telah dikelola sebagai
kawasan konservasi berupa taman hutan lindung sejak tahun 1994. Peruntukannya
ditetapkan berdasarkan SK.424/Menhut-II/04 tanggal 19 Oktober 2004.
Curah hujan rata-rata adalah 3028 mm/tahun dengan kisaran antara 1507 hingga
4746 mm/tahun (Badan Geofisika dan Meteorologi, 2008). Presipitasi yang sangat
tinggi tersebut berpotensi menjadi imbuhan ke dalam akuifer produktif endapan
gunung api yang kemudian muncul sebagai mata air di bagian kaki gunung. Tabel
2 memperlihatkan contoh kisaran debit pada 13 mata air yang terdapat di Gunung
Ciremai.

Laut
Jawa
Kab.
Kuningan
G. Ciremai
(3072 mdpl)

Kalimantan

Sumatra

Kab.
Majalengka

Jakarta
Cirebon

10 km

Bandung

Java sea

Ciremai
Java

Indian ocean
200 km

Utara

Gambar 2 a) Peta Lokasi G. Ciremai dan Citra Shuttle Radar Topographic


Mission (SRTM) memperlihatkan Morfologi Daerah Kab. Majalengka
dan Kab. Kuningan; b) Bentuk Siluet Ciremai yang Memperlihatkan
Bentuk Lereng Utara dan Selatan.

Tabel 2 Contoh Kisaran Debit Mata Air di G. Ciremai (IWACO-WASECO, 1989)


No

Nama mata air

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Cibulan
Cibulakan
Cigorowong
Cibolerang
Cipaniis
Cijumpu
Cisemaya
Cibujangga
Cicerem
Citengah
Telaga Remis
Telaga Nilem
Bojong

Elevasi
(mapl)
480
500
472
375
475
395
347
445
350
354
210
190
191

Total debit
(L/det)
400-500
250-370
250-300
160-190
> 1000
130-220
500-800
170
140-290
130-170
125-300
160-400
80-200

Akuifer yang produktif di G. Ciremai menjadi sumber air bagi masyarakat Kab.
Kuningan, sebagian Kab. Majalengka, Kab. Cirebon, dan bahkan Kota Cirebon.
Peran G. Ciremai sebagai sumber air yang sangat penting ini, mengharuskan
Pemerintah Kab. Kuningan untuk melakukan pengelolaan dengan baik.

I.4 Permasalahan.
Sebagaimana diketahui, sumber imbuhan utama air tanah adalah air hujan yang
berkisar antara 2000 4000 mm/tahun di Indonesia; namun pada kenyataannya
curah hujan tersebut tidak terdistribusi secara merata (Puradimaja, 2006). Sebagai
contoh, kawasan pantai P. Jawa hanya menerima kurang dari 250 mm/tahun,
sementara kawasan lereng gunung api dan sekitarnya menerima lebih dari 2500
mm/tahun. Presipitasi yang sedemikian besar di kawasan gunung api memberikan
peluang besar terhadap kemunculan mata air-mata air dengan debit besar dan
kualitas yang baik. Di lereng G. Ciremai terdapat ratusan mata air dengan debit
yang bervariasi dari 80 L/det hingga 1000 L/det (Bapeda Kab. Kuningan, 2002).
Masalah utama pengelolaan sumber daya air tanah di Kabupaten Kuningan adalah
kurangnya pemahaman mengenai sistem akuifer dan pola aliran air tanah serta
pemunculan mata air. Posisi dan hubungan antara daerah imbuhan (recharge
area) dengan daerah luahan (discharge area) air tanah belum dikaitkan dengan
baik, sehingga pengaturan tata ruang dan penetapan langkah konservasi belum
6

dapat dilakukan dengan tepat. Berkaitan dengan hal tersebut, Penulis merumuskan
masalah utama, yaitu bagaimana mengidentifikasi model hidrogeologi berupa
sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada sistem akifer batuan gunung api
berdasarkan analisis perubahan sifat fisik dan kimia air tanah.

I.5 Lingkup Penelitian


Lingkup penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. Obyek yang
diobservasi di lapangan adalah zona mata air di lereng Gunung Ciremai yang
berkembang pada sistem akuifer tak tertekan (bebas) pada endapan gunung api.
Observasi lapangan terdiri dari observasi kondisi geologi lapangan, pengukuran
laju infiltrasi akhir di lapangan, pengukuran sifat fisik dan kimia air tanah pada
140 mata air dan pengambilan contohnya, serta pengukuran hidrometri parameter
debit mata air (Q), temperatur air dan udara (T), total padatan terlarut/total
dissolved solids (TDS), dan daya hantar listrik (DHL). Tahap metoda analisis di
laboratorium/studio terdiri dari analisis kimia komposisi ion utama pada 140
contoh air tanah serta pemanfaatan analisis statistik multi variabel menggunakan
analisis klaster dan analisis komponen utama.

I.6 Tujuan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk model hidrogeologi berupa sistem akuifer dan
pola aliran air tanah pada sistem akifer batuan gunung api berdasarkan analisis
perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. Untuk mencapai tujuan tersebut
digunakan tiga pendekatan: observasi lapangan, analisis statistik terhadap
hidrokimia air tanah, dan analisis respon debit mata air. Rincian untuk tiap metoda
akan diterangkan pada bagian metodologi.

I.7 Hipotesis dan Asumsi


Hipotesis yang diambil dalam tulisan ini adalah bahwa model hidrogeologi berupa
sistem akuifer dan pola aliran air tanah dapat diidentifikasi berdasarkan analisis
perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. Latar belakang rasional dari hipotesis di
atas berbasis kepada asumsi-asumsi di bawah ini:
1. Sifat-sifat kimia air tanah merupakan hasil dari interaksi antara air dengan
mineral/batuan serta air dengan udara (Matthess, 1981). Penanda kimiawi
air tanah berkaitan dengan satu atau beberapa reaksi antara air tanah
dengan komposisi akuifer (Thyne dkk, 2004).
2. Reaksi antara air dengan mineral terjadi pada saat air tanah menginfiltrasi
akuifer, mengalir dalam akuifer, kemudian muncul ke permukaan sebagai
mata air, sehingga komposisi kimia air tanah. bersifat dinamis. Perubahan
sifat kimia dinyatakan pula oleh Chebotarev (1955) op.cit buku Physical
and Chemical Hydrogeology oleh Domenico dkk (1990).
3. Kondisi kimia air tanah merupakan cerminan waktu tinggal (residence
time) air di dalam akuifer. Semakin lama waktu tinggal berarti semakin
lama air tanah bersirkulasi di dalam akuifer, sehingga semakin lama pula
waktu kontak dan interaksi yang terjadi dengan mineral pembentuk
batuan. Interaksi tersebut menyebabkan perubahan dalam sifat fisik dan
kimia air tanah sampai tercapai kesetimbangan (Chebotarev, 1955 op.cit
Domenico dkk, 1990).

I.8 Metodologi
Diagram alir penelitian didisain untuk dapat selesai dalam tiga tahap yang terdiri
dari tahap prasurvei lapangan, survei lapangan, dan pasca survei lapangan dalam
waktu tiga tahun, sebagai berikut (lihat Gambar 3 dan Gambar 4).

Peta topografi
Citra SRTM
Peta geologi
Klasifikasi
mata air

Peta hidrogeologi
Observasi mata air:
Litologi & geometri
Analisis regional

Sifat fisik air tanah:


Q, T, TDS, EC, pH
Sifat kimia air tanah:
Ca2+, Na +, Mg2+, K+,
HCO3-, Cl-, SO42-

Kendali geologi
terhadap mata air
Analisis:
1. Diagram Piper
2. Korelasi
3. Komponen utama
4. Klaster
5. Hidrograf

Asal mula mata


air
Delay time,
sistem akuifer,
Kawasan
imbuhan

Data time series


hidrograf: Q, TDS, EC

Sistem input/
Output air
tanah
Model
hidrogeologi
pola aliran air
tanah

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian yang Dilaksanakan Pada Perioda 2005-2008

Contoh
air tanah

Analisis
ion utama
di laboratorium
Konsentrasi
ion utama:
Ca2+,Mg2+,Na+,K+,
Cl-,SO42-,HCO3-

Konversi
mg/L -> meq/L
=m ion/Ar * valensi

Penyaringan data (Ion Charge Balance)


( kation - anion) / ( kation + anion) x 100%
5% diterima
An.korelasi

An.Statistik
Multivariabel

Database
mataair
Analisis
korelasi
R2 0,8

Variabel

Analisis Statistik
Multivariabel
Analisis
Klaster

5% dikeluarkan

Contoh
Air tanah

Analisis
Komponen
Utama

Pemilahan contoh air tanah (genesa,


sistem hidrogeologi)

Gambar 4 Diagram Alir Proses Preparasi Data.

10

Tabel 3 Jadual pelaksanaan penelitian


Volume

No

Aktivitas

Tahap Pra Survei (Studio)


Digitalisasi peta
Analisis peta:
Peta topografi
Peta geologi
Analisis data sekunder
Analisis citra SRTM
Studi literatur
II
Tahap survei
2.1
Observasi mata air
Sifat fisik: Q, T, pH, DHL,
TDS
2.1.1
2.1.2
Pengambilan contoh air
2.1.3
Observasi singkapan
2.1.4
Geometri mata air
Pengujian kimia air (ion
utama): Ca, Na, Mg, K, HCO3,
Cl, SO4
2.2
Sampel air tanah dari mata
2.2.1
air

Jumlah Satuan

Jadual kerja
2005
2006
2007
2008
J F MA MJ J A S O N D J F MA MJ J A S O N D J F MA MJ J A S O N D J F MA MJ J A S O N D

1.1
1.2
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.3

2.2.2
2.2.3
2.2.4
2.3
2.3.1
2.3.2
2.3.3
2.4
2.4.1
2.4.2
2.4.3
III
3.1
3.1.1
3.1.2
3.1.3
3.2
3.2.1
3.2.2
3.3
3.4
3.5

Sampel air tanah dari sumur


Sampel air hujan
Sampel air sungai
Pengukuran geolistrik (pada
lokasi terpilih)

1
1
1
1
1

set
set
set
set
set

100

mata air

100

sampel

100
100
100

sampel
lokasi
mata air

100

sampel

81

sampel

10

sampel

4
5

sampel
sampel

20

titik

lokasi

15

titik

25

titik

15

titik

buah

Pengukuran data
Interpretasi data
Rekonstruksi penampang
Pengujian parameter hidrolik
lapangan (pada lokasi terpilih)
Pemboran dangkal
Pengukuran permeabilitas
lapangan
Uji permeabilitas
laboratorium
Tahap pengolahan data
(Studio)
Pengolahan data mata air
Penyusunan database mata
air
Pengolahan peta
Pembuatan penampang
Analisis statistik multi variabel
Analisis komponen utama
Analisis klaster
Pengujian hasil penelitian
Penyusunan disertasi
Penyusunan publikasi

I.7.1 Kajian Penelitian Sebelumnya


Pada tahap ini, data sekunder serta informasi yang didapat dari penelitianpenelitian dan survei sebelumnya dianalisis kembali untuk memperoleh gambaran
kondisi regional daerah penelitian yang mencakup peta topografi, peta geologi
dan peta hidrogeologi.
I.7.2 Penelitian Lapangan
Dalam tahap ini dilakukan pencatatan koordinat mata air (x, y, dan z),
pengamatan kondisi geologi di sekitar mata air dan batuan penyusun akuifer,
pengukuran debit mata air dan sifat fisik-kimia air tanah. Debit (Q) mata air yang

11

lebih besar dari 10 L/det diukur menggunakan metoda stream channeling. Untuk
debit mata air kurang dari 1 L/det, pengukuran menggunakan wadah bervolume 1
L dan stopwatch. Pengukuran debit mata air dilakukan dua kali (duplets) untuk
setiap pengamatan.
Sifat fisik-kimia air tanah yang diukur meliputi: temperatur udara (Tu),
temperatur air (Ta), Daya Hantar Listrik (DHL), Total Padatan Terlarut atau Total
Dissolved Solids (TDS), dan pH (tingkat keasaman). Temperatur udara diukur
menggunakan thermometer air raksa standar. Parameter lainnya diukur dengan
alat ukur DHL/TDS meter merk Orion dan pH meter merk Hanna Instrument.
Untuk keperluan analisis kimia, contoh air tanah diambil dengan botol plastik
berukuran 1 L.
I.7.3 Analisis Kimia Air
Uji laboratorium terdiri dari pengukuran kandungan ion utama (Ca2+, Na+, Mg2+,
K+, HCO3-, SO42-, dan Cl-) menggunakan Standard Method Evaluation for Water
and Waste Water (SMEWW) oleh The America Public Health Administration
(APHA) tahun 1999. Hasil analisis kimia diverifikasi dengan metoda ion balance
dengan persamaan 1 di bawah ini, sebelum dianalisis dan diinterpretasi lebih
lanjut. Penulis menentapkan batas error balance sebesar 10% (Matthess, 1981).
Air tanah dengan cation/anion balance lebih dari 10 % akan diuji ulang.
[( cations - anions) / ( cations + anions)] x 100%

Persamaan 1

I.7.4 Interpretasi Hasil Analisis Air


Analisis

dan

interpretasi

dalam

penelitian

ini

memerlukan

teknik

pengklasifikasian contoh air tanah berbasis sifat fisik dan kimia. Untuk itu
digunakan metoda grafis dan statistik multivariabel yaitu: Diagram Piper, Analisis
Klaster (Cluster Analysis), dan Analisis Komponen Utama (Principal Component
Analysis). Kombinasi analisis grafis dan statistik, dapat menghasilkan klasifikasi
contoh yang konsisten dan saling mendukung (Guller dkk, 2002). Analisis
statistik menggunakan piranti lunak Minitab version 15 (trial version) by Minitab
Inc.

12

I.7.5 Penulisan Disertasi


Tahap akhir dari penelitian ini adalah pelaporan dalam bentuk penulisan disertasi.
Dokumen disertasi ini kemudian akan dipertahankan di depan Komisi Program
Pasca Sarjana (KPPS) dalam Sidang Tertutup. Kerangka penulisan disertasi
adalah sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab pertama menyajikan distribusi gunung api di Indonesia, bagaimana potensi
air tanahnya, serta pemilihan daerah penelitian. Dalam bab ini juga dijelaskan
mengenai masalah dan tujuan penelitian, deskripsi metodologi yang akan
dilakukan, hipotesis dan asumsi yang digunakan, output penelitian, serta hal baru
yang diharapkan.
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Bab tinjauan pustaka menampilkan berbagai dasar teori yang berkaitan dengan
sistem endapan gunung api, pemunculan mata air, sifat fisik dan kimia air tanah,
serta berbagai analisis statistik yang akan digunakan untuk menjawab masalah
yang ada.
Bab 3 Hidrogeologi Regional Ciremai
Pada Bab 3 akan mengulas kondisi geologi dan hidrogeologi regional di kawasan
Gunung Ciremai, berdasarkan hasil penelitian dan survei yang telah dilakukan
sebelumnya.
Bab 4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah
Pada bagian ini dilakukan analisis terhadap sifat fisik dan kimia air tanah,
meliputi: analisis hidrokimia air tanah dengan Diagram Piper, Analisis Klaster
(AK) dan Analisis Komponen Utama (AKU).

13

Bab 5 Analisis Respon Debit Mata Air


Analisis lebih jauh dilakukan terhadap data pengukuran berkala (time series) dari
debit mata air, curah hujan, temperatur air dan udara, serta nilai TDS. Analisis
detil ini hanya dilakukan terhadap 3 mata air, yaitu: Cibulan, Telaga Remis, dan
Ciuyah. Ketiga mata air dipilih karena merefleksikan kondisi geologi yang
berbeda, serta pencapaian ke lokasinya yang relatif mudah. Pembahasan
diarahkan untuk memperkirakan waktu tinggal (residence time) air tanah di dalam
akuifer.
Bab 6 Kesimpulan
Bab ini menyimpulkan hasil penelitian secara komprehensif dan merumuskan
jawaban dari permasalahan yang ada.

I.9 Output Penelitian.


Penelitian ini diharapkan dapat:

Mengidentifikasi model hidrogeologi berupa sistem akuifer endapan


gunung api dan pola aliran air tanahnya.

Menguji kemampuan metoda grafis dan statistik multivariabel AK dan


AKU untuk memisahkan sistem akuifer endapan gunung api dan pola
aliran air tanahnya.
Secara rinci, output penelitian ditampilkan pada tabel berikut ini.
Tabel 4 Output penelitian yang direncanakan

Hasil
Model hidrogeologi berupa sistem akuifer
endapan gunung api dan pola aliran air
tanahnya berdasarkan analisis perubahan
sifat fisik dan kimia air tanah.

Hal baru
Kombinasi metoda pemetaan hidrogeologi
dengan menggunakan teknik observasi
mata air dengan analisis statistik multi
variable (AK dan AKU) terhadap sifat
fisik-kimia air tanah.

Model tipikal hidrograf mata air di Model tipikal hidrograf mata air di
kawasan gunung api.
kawasan gunung api, bahkan lebih luas lagi
di Indonesia, dapat lebih dimanfaatkan
dalam analisis hidrogeologi pada skala
lebih detail.

14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Geologi
Ciremai dikelompokkan sebagai gunung api Tipe A, yakni gunung api yang masih
aktif sejak 1600. Sejarah mencatat gunung api ini pernah meletus sebanyak lima
kali, yaitu pada tahun 1698, 1772, 1775, 1805, dan 1937. Interval terpendek erupsi
adalah tiga tahun, sedangkan yang terpanjang adalah 112 tahun (Kusumadinata,
1979 dan www.vsi.esdm.go.id). Endapan gunung api kuarter di daerah riset terdiri
dari tiga generasi erupsi:

Generasi pertama adalah gunung api berumur Plistosen, yang merupakan


bagian dari aktivitas vulkanisme Plio-Plistosen (Bemmelen, 1949). Unit
ini terdiri dari lava dan breksi yang diendapkan di atas batuan sedimen
berumur tersier. Sisa-sisanya dapat dilihat saat ini sebagai Gunung Putri,
Pasir Bungkirit, Pasir Wangi, Pasir Garunggang (Ciremai selatan).

Generasi kedua adalah G. Gegerhalang yang diduga memiliki elevasi 3500


mapl sebelum runtuh. Endapan gunung apinya dari tua ke muda terdiri dari
Aliran Piroklastik Puncak, Aliran Lava Karangsari, Aliran Piroklastik
Argalingga, Aliran Piroklastik Cibuluh, Aliran Lava Cibuluh, Lahar
Bantaragung, dan Lahar Kuningan. Keberadaan kawah ini dapat dideteksi
dengan adanya morfologi yang tinggi, sebagai sisa dari dinding kawah
lama.

Generasi ketiga berumur holosen, yakni G.Ciremai. Gunung ini tumbuh di


bagian utara Kaldera Gegerhalang. Produk erupsi Ciremai dari tua ke
muda terdiri dari Aliran Piroklastik Palutungan, Aliran Lava Simurugul,
Aliran

Piroklastik

Sadarehe, Aliran

Lava Pasirlamelaut, Jatuhan

Piroklastik Tegaljamuju, Aliran Lava Guawalet, Jatuhan Piroklastik


Ciremai, dan Lahar Pejambon. Erupsi berikutnya menghasilkan Lava
Pucuk, Lava Buntung, Lava Sukageri, dan Piroklastik Sukageri. Media

15

pengendapan piroklastik adalah gas dan arah jatuhan (angin), yang


distribusi umumnya pada lereng gunung api. Media pengendapan lahar
adalah air yang terdistribusi umumnya pada lereng bawah sampai elevasi
50 mapl (McPhie dkk., 1993).
Marks (1959) telah mendeskripsikan formasi-formasi batuan di Indonesia sebagai
referensi umum. Kondisi geologi regional juga telah dipetakan oleh Kusumadinata
(1977) serta Silitonga dan Masria (1978) pada skala 1:100.000.
Riset-riset lainnya di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya dapat dijelaskan
sebagai berikut. Kajian aspek geokimia telah dilakukan oleh Badrudin (1988)
sebagai bagian dari pengukuran geokimia dan COSPEC di Gunung Galunggung,
Tangkubanparahu, Tampomas, dan Ciremai. Hasilnya adalah emisi gas SO2 pada
kondisi normal rata-rata 15 ton/hari, dengan kisaran 13,55 ton/hari hingga 17,25
ton/hari.
Pengukuran gravity telah dilaksanakan oleh Husein dan Suparan (1990),
mengikuti investigasi magnetik yang telah dilaksanakan oleh Said (1984).
Purbawinata dkk. (1991) mempelajari geokimia batuan Gunung Ciremai yang
menghasilkan komposisi dominan andesit berjenis hipersten aegirin-augit, andesit
aegirin agit antofilit, antofilit augit, dan horblenda. Riset ini juga menghasilkan
batuan kalk alkali.
Pemetaan detail untuk memisahkan batuan gunung api dan distribusinya telah
dilakukan oleh Suradji (1993). Peneliti tersebut mempelajari stratigrafi vulkanik
dan potensi bencananya pada skala 1:50.000. Peta geologi lainnya juga telah
disusun oleh Djuri (1995) dengan skala 1:100.000) dan Situmorang (1995) pada
skala 1:50.000 (Gambar 5). Dari riset-riset diatas dapat disimpulkan bahwa
Gunung Ciremai memiliki setidaknya 22 jenis endapan vulkanik, terdiri dari 11
aliran lava, sembilan materials piroklastik, dan dua lapisan lahar.

16

II.2 Hidrogeologi
Hidrogeologi Gunung Ciremai telah menjadi obyek riset sejak Maier (1861)
sebagai riset pertama yang tercatat. Peneliti ini mempelajari kondisi kimiawi dua
sampel mata air panas di Gunung Ciremai. Selanjutnya Kartokusumo (1983)
mengobservasi beberapa mata air panas Gunung Ciremai dan Tampomas yang
hasilnya berupa komposisi kimia mata air panas disajikan pada Tabel 5.
Temperatur Ciniru adalah 43oC, dengan pH 7,33. Rasio kimia yang berhasil
diukur adalah Cl/SO4 4.2 dan Cl/B 38.1. Estimasi temperatur reservoirnya adalah
79,7oC (SiO2), 151,3oC (NaK-Ca), dan 200oC (Na/K). Mata air Sangkanurip
memiliki temperatur 49oC dan pH 7,70. Rasio kimia air yang berhasil diukur
adalah Cl/SO4 3,9 dan Cl/B 70,5 dengan estimasi temperatur reservoir adalah
97,7oC dengan SiO2, 168,4oC dengan NaK-Ca, dan 180oC dengan Na/K. Fasies air
panasnya adalah bikarbonat dan klorida sebagai akibat interaksi dengan batuan
sedimen laut di bawahnya.
Tabel 5 Ringkasan hidrokimia air panas di lereng Gunung Ciremai
Mata air

pH

Ciniru
Sangkanurip

7.33
7.7

Rasio Cl
Cl/SO4
Cl/B
4.2
38.1
3.9
70.5

Temperatur reservoir (oC)


SiO2
NaK-Ca
Na/K
79.7
151.3
200
97.7
168.4
180

Riset yang lebih komprehensif telah dilakukan oleh IWACO-WASECO (1990)


Menurut peneliti tersebut sistem akuifer regional di Gunung Ciremai terbagi
menjadi tiga sistem yaitu aluvial, vulkanik kuarter/muda, dan sedimen tersier.
Sistem akuifer aluvial tersebar di bagian dataran rendah di kaki Gunung Ciremai
yang terdiri dari akuifer media pori berupa pasir lepas. Sistem akuifer vulkanik
kuarter memiliki karakter akuifer yang heterogen dengan produktivitas tinggi,
berupa media pori pelapukan tanah dan media rekahan batuan segar. Sistem
akuifer sedimen tersier terletak di bawah sistem gunung api, tersusun atas akuifer
berproduktivitas rendah. Air tanah tersimpan pada tanah pelapukan dan pasir
lempungan, serta rekahan mikro pada batuan segar.
IWACO-WASECO (1990) juga telah mensimulasikan aliran air tanah dalam 2D
berarah barat laut tenggara dan barat - timur memotong puncaknya (Gambar 5)

17

dengan simplifikasi sistem akuifer menjadi dua yakni: sistem endapan gunung api
api produktif dan sistem batuan sedimen tua yang impermeable sebagai batuan
dasar cekungan air tanah. Hasil simulasi berarah SW-NE terdapat konsentrasi
pemunculan mata air yang tinggi pada elevasi 100 sampai 400 mapl, dengan
sistem aliran lokal dan sub regional. Jumlah mata air sedikit pada elevasi lebih
rendah dari 100 mapl. Selanjutnya pemunculan mata air pada elevasi 250-650
mapl, dikendalikan oleh bentuk morfologi tekuk lereng (slope break) pada elevasi
800 mapl. Bentuk tekuk lereng tersebut terbentuk karena ada perubahan dominasi
jenis batuan. Pada elevasi lebih tinggi dari 750 mapl kondisi distribusi batuan
dominan lava kemudian berubah menjadi dominan
rendah dari 750 mapl).

18

lahar pada elevasi lebih

Breksi
piroklastik
Lava

T
Breksi lahar

Fm. Halang
S
Fm. Kaliwangu

Pyroclastic
fall fall
Piroklastik
fall Piroklastik

oo

Morphology: Gradual slope with angle from 10 to 42


Morphology: gradual slope with angle from
Deposits:opiroklastik fall at higher than 2500 masl, lava 500 10-42
2500
masl. dan volcanic breccias at 100 - 500 mdpl. The
Deposits:
pyroclastic
fall sediments
at higher than
Volcanic
endapans
sit on tertiary

42

Sequence of lava flow


Lahar

10

15

2500 masl, lava at 500-2500 masl, and


volcanic breccias at 100-500 masl. The
volcanic deposits sit on tertiary sediments.
Tertiary
sedimentary
Sedimentary
rock
rock

Morphology: Sharp slope angle from 10 to

Morphology:
sharp slope
10 to 35o,
35. Occurrence
of old from
crater rim.
occurrence
of older
crater
rimpyroclastic fall
Deposits:
mainly
lava with
layers
at
the
top
Deposits: mainly lava with pyroclastic fall
layers at the top

30

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
?

35 o

+
+

Lava
Lavaflow
flow

+
+

+
? +

Lavaflow
flow
Lava

10

U
pyroclastic
Pyroclastic
fall fall

o with normal fault


Morphology: gradual slope 10-42
oo
pyroclastic fall
Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal fault
Deposits:
pyroclastic
fall atthan
higher
2000
masl,
Endapans:
pyroclastic
fall at higher
2000 than
masl, lava
1250
+
+ +
lavamasl
at 1250-2000
masl,
flow at
- 2000
dan pyroklastic
flow atand
500-pyroclastic
1250 masl. The
+ +
+ +
Volcanic
deposits
sit on
tertiary
sediments
500-1250
masl.
The
volcanic
deposits sit on
++
++
Lava
flow
tertiary sediments.
?
Lava flow

f low at 750-1250 masl. The volcanic deposits


sit on tertiary sedimentary rocks.

48
Pyroclastic
Piroklastikflow
flow

10

35
20

oo

Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal


Morphology: gradual angle f rom 10 to 42o fault
Deposits: pyroclastic fall at higher than 2000mdpl, lava 1250
pyroclastic
at higher
thanmdpl.
2000
- Deposits:
2000 mdpl dan
piroklastik fall
aliranat
750 - 1250
The
masl, lava at 1250-2000
and pyroclastic
vulkanikendapans
sit on tertiarymasl
sedimentary
batuans

Sequence of Lahar deposits


Sequence of lahar deposits

33

10

BW

T
E

Gambar 5 Peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995)

19

Situasi yang mirip juga terlihat pada penampang berarah barat timur. Gambar 6
memperlihatkan zona mata air pada elevasi 100 mapl sampai 750 mapl. Zona ini
dikendalikan oleh tekuk lereng pada elevasi 750 800 mapl. Aliran air tanahnya
diperkirakan sebagai tipe aliran lokal yang diindikasikan oleh pH normal dan
DHL yang rendah. Namun demikian hasil simulasi oleh IWACO-WASECO
(1989) ini masih perlu dirinci kembali, khususnya pada jenis aliran lokal yang
mengalir hingga kedalaman 400 m di bawah muka tanah setempat. Riset lainnya
juga telah dilakukan oleh Irawan (2001) berupa tesis magister. Peneliti tersebut
dapat mengkarakterisasi sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada lingkup
kecil di lereng timur Gunung Ciremai.

Gambar 6 Simulasi Aliran Air Tanah di Lereng Timur Gunung Ciremai


(IWACO-WASECO, 1989)
20

II.3 Analisis Kelurusan Morfologi


Kelurusan (lineament) memiliki banyak definisi. Dari hasil penelusuran literatur
di internet, dapat dikumpulkan tidak kurang dari 20 buah definisi. Beberapa
terminologi yang terkait adalah kelurusan geologi (geologic lineament), kelurusan
tektonik (tectonic lineament), kelurusan foto (photo lineament) atau kelurusan
geofisik (geophysical lineament). Definisi kelurusan yang paling banyak dirujuk
adalah dari Hobbs (1904) op.cit Sander (2007) yaitu kelurusan adalah garis
landsekap (landscape line) yang dapat dikenali secara signifikan yang disebabkan
oleh adanya proses pembentukan kekar dan patahan, yang dapat memperlihatkan
arsitektur batuan dasar.
Lebih jauh lagi, riset oleh Lattman dan Parizek (1964) dikenal sebagai salah satu
peneliti dalam bidang eksplorasi air tanah melalui pemetaan kelurusan (fracture
traces) yang diidentifikasi dalam citra stereo-pairs foto udara di kawasan batuan
karbonat di Amerika Serikat. Riset tersebut mengemukakan adanya relasi antara
produktivitas sumur dengan jarak ke rekahan/kelurusan terdekat.Menurut peneliti
tersebut, pemetaan bentuk-bentuk kelurusan adalah salah satu kunci untuk
memahami keberadaan air tanah, khususnya pada kawasan batuan beku/gunung
api, metamorf, dan batuan sedimen karbonat.
Di daerah yang didominasi batuan dasar (bed rock) dengan porositas dan
konduktivitas hidrolik rendah, umumnya air tanah terdapat pada zona rekahan
yang hadir sebagai porositas sekunder. Peta topografi, foto udara, dan bermacam
citra satelit dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan kelurusan
yang diinterpretasikan sebagai manifestasi rekahan di permukaan dan kisaran nilai
konduktivitas hidrolik besar. (Tam dkk., 2004). Namun demikian skala citra yang
berbeda dapat mengakibatkan perbedaan dalam identifikasi dan interpretasi
kelurusan. Hal ini dinyatakan oleh Puradimaja (1991) dalam disertasinya
mengenai analisis sifat fisik dan kimia air pada kawasan karbonat Perancis
Selatan.

21

II.4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah


II.4.1 Analisis Grafis
Umumnya, metoda grafis didisain untuk dapat memperlihatkan proporsi relatif ion
utama (Hem, 1989); namun demikian, metoda grafis hanya dapat memperlihatkan
parameter secara simultan dalam jumlah terbatas. Diagram Piper (Piper, 1944)
merupakan metoda grafis yang paling sering digunakan (Gambar 7). Diagram
tersebut menayangkan konsentrasi relatif kation dan anion utama pada dua plot
segitiga. Di bagian tengah diantara dua segitiga tersebut, terdapat sebuah plot
segiempat tempat setiap titik data dari dua segitiga sebelumnya diproyeksikan,
sehingga memperlihatkan karakter kimia air tanah (Guller dkk., 2002).

Gambar 7 Contoh Diagram Piper (1944) untuk menganalisis Fasies Air Tanah

II.4.2 Analisis Statistik Multivariabel


Statistik multivariabel dapat membantu analisis data set yang kompleks. Metode
ini memungkinkan penggunanya untuk menyelidiki hubungan diantara banyak
variabel yang kompleks untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih menyeluruh
(Wulder, 2008). Sebagai bahan dasar untuk analisis tersebut, set data yang terdiri
dari variabel dan kasus data disusun dalam bentuk matriks kolom dan baris
dengan jumlah kasus (baris) dua kali lipat lebih banyak dibanding jumlah variabel
(kolom) (Tabachnick dan Fidell, 1989).
22

Tujuan saintifik dari aplikasi metoda ini adalah untuk dapat mengidentifikasi
dengan baik proses-proses yang mengendalikan evolusi kimia air tanah di daerah
studi. Metoda statistik yang digunakan terdiri dari Hierarchical Cluster Analysis
(HCA) selanjutnya disebut Analisis Klaster dan Principal Components Analysis
(PCA) selanjutnya disebut Analisis Komponen Utama. Kedua metoda ini
diharapkan dapat menguraikan kendali geologi dan hidrogeologi terhadap evolusi
air tanah.
Melloul dan Collin (1992) telah menggunakan Analisis Komponen Utama untuk
mendukung metoda geokimia klasik dengan Diagram Schoeller atau Piper.
Dengan kedua jenis grafik tersebut, peneliti dapat mengidenfitikasi dengan baik
karakter utama air berdasarkan komposisi kimianya. Peneliti lainnya, Schot dan
van der Wal (1992), mengaplikasikan Analisis Komponen Utama dan Analisis
Klaster untuk menganalisis data hidrokimia guna untuk mengidentifikasi dampak
aktivitas manusia terhadap kualitas air tanah. Metoda statistik multivariabel juga
dapat diaplikasikan untuk melacak sumber unsur kimia air tanah sebagaimana
dilakukan oleh Farnham dkk (2003). Seluruh studi diatas menyatakan bahwa
analisis statistik secara signifikan dapat membantu mengelompokkan air tanah
dan mengidentifikasi mekanisme dominan yang mempengaruhi komposisi kimia
air tanah. Kombinasi interpretasi hidrokimia, pemahaman mengenai kondisi
geologi, dan metoda statistik, dapat membantu dalam menganalisis pola aliran air
tanah pada suatu sistem akuifer (Farnham dkk., 2003; Cloutier dkk., 2008) (Tabel
6).
A. Analisis Komponen Utama (AKU)
Analisis Komponen Utama merupakan salah satu teknik klasifikasi data yang
dilakukan secara simultan. Analisis ini dapat mengidentifikasi pola dan struktur
data serta menampilkan perbedaan dan kesamaannya dalam bentuk grafik (Guller
dkk., 2002 dan Davis, 1986). Umumnya, analisis ini sering digunakan dalam ilmu
kebumian untuk mengklasifikasikan data hidrogeokimia (Steinhorst dan Williams,
1985, Schot dan Van der Wal, 1992 dan Guler dkk., 2002). Jumlah komponen
yang dipilih untuk dianalisis ditetapkan tiga komponen, berdasarkan Kaiser
criterion dengan eigenvalue lebih besar dari satu (StatSoft Inc., 2004).
23

Metode ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi kesamaan dan perbedaan


dalam data. Kemampuan lain dari Analisis Komponen Utama adalah
mengidentifikasi

pola

dalam

data

(Smith,

2002).

Metoda

ini

akan

memproyeksikan data multidimensi menjadi kumpulan data dengan dimensi lebih


rendah dengan menandai variasi data. Analisis jenis ini juga sering digunakan
sebagai pendukung analisis lainnya, misalnya pemodelan, regresi, dan analisis
klaster.
B. Analisis Klaster
Teknik statistik lain yang digunakan adalah Hierarchy Cluster Analysis (HCA)
atau Analisis Klaster. Menurut Smith (2002), ada tiga tahapan dalam analisis ini:
1. Penyaringan terhadap data pengganggu (noise) berupa data berpola acak
(outliers). Data pengganggu dapat berupa kesalahan pengukuran yang
dapat mempengaruhi hasil analisis, sehingga harus dikeluarkan dari
analisis.
2. Pemilihan jenis jarak antara klaster. Kriteria antar klaster dapat berupa
jarak (distance measuring) atau derajat kesamaan (degree of similarity).
3. Pemilihan kriteria peng-klasteran. Jenis-jenis kriteria tersebut adalah
nearest neighbour (data terdekat) dan furthest neighbour (data terjauh).
Kriteria yang pertama menggunakan titik data yang terdekat dengan titik
data yang sedang diukur sebagai referensi. Sebaliknya, kriteria yang kedua
menggunakan titik data yang terjauh sebagai referensi.

24

Tabel 6 Daftar teknik statistik dan grafis yang umum digunakan untuk
mengklasifikasi sampel air (Guller dkk, 2002).

II.5 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah


Dalam studi ini, unsur yang dianalisis adalah kelompok unsur utama (major
element). Pertimbangan penggunaan unsur utama adalah kelompok unsur tersebut
paling banyak dikandung oleh air tanah. Perubahan sifat fisik dan kimia air tanah
secara umum dapat dideteksi dengan perubahan komposisi unsur utama. Analisis
perubahan komposisinya dapat cukup mudah dianalisis dengan menggunakan
Piper diagram. Analisis unsur jarang (trace element) dapat dilakukan bila obyek
mata air panas akan dianalisis lebih mendalam. Pertimbangan yang berikutnya
adalah biaya analisis unsur jarang cukup tinggi. Berbagai rujukan mengenai
evolusi air tanah telah dipelajari, diantaranya Hem (1980), Drever (1988), dan
Chebotarev (1955) op.cit Domenico dan Schwartz (1990). Sebagaimana
dinyatakan oleh Drever (1988), salah satu proses yang dapat meningkatkan
salinitas air tanah adalah reaksinya dengan halit, sejenis evaporit laut yang
menjadi sumber ion Na dan Cl.
Proses evolusi hidrokimia oleh Chebotarev (1955) op.cit Domenico dan Schwartz
(1990) dinyatakan sebagai suatu proses yang berawal dari fasies bikarbonat dekat
25

kawasan imbuhan kemudian berevolusi menjadi dominan sulfat sejalan dengan


alirannya ke arah kawasan pengurasan. Komposisi akhir dari proses ini
didominasi oleh klorida sebagai hasil reaksi dengan berbagai jenis mineral dengan
waktu tinggal yang lama.
Pendapat lain dari Uliana dan Sharp (2001) menyatakan, bahwa data hidrokimia
melintasi aliran air tanah menunjukkan peningkatan nilai TDS dan rasio Cl/HCO3
serta penurunan rasio Na/Cl. Pada fasies bikarbonat, air tanah merepresentasikan
air imbuhan yang telah mengalami perubahan karena pelarutan mineral dan
pertukaran kation. Pada zona sulfat dan klorida, fasies hidrokimia air tanah
dikendalikan oleh gas H2S dan HCl, atau mineral yang terbentuk oleh pelarutan
endapan gipsum, anhidrit, halit, serta pertukaran kation.

II.6 Analisis Respon Debit Mata Air


II.6.1 Umum
Observasi mata air adalah sarana untuk mengetahui berbagai proses yang terjadi
di bawah permukaan di suatu wilayah, karena mata air mengintegrasikan sinyal
proses geologi dan hidrologi pada suatu wilayah dan kurun waktu. Dengan
menggunakan pengukuran debit mata air, salah satu hasilnya adalah analisis
respon debit air tanah dalam akuifer (Manga, 1999 dan 2001).
Bentuk hidrograf mata air merefleksikan respon akuifer terhadap imbuhan.
Bentuk dan gradien kurva resesi (recession curve) memberikan informasi yang
berharga mengenai storativitas, geometri akuifer, serta karakter struktur (retakan,
kekar, rongga) pada suatu sistem akuifer. Untuk analisis selanjutnya, selain debit,
pengukuran karakter sifat fisik dan kimia air secara berurut waktu dapat
mengetahui komposisi batuan penyusun akuifer.
Durasi dan intesitas presipitasi sangat mempengaruhi bentuk kurva hidrograf debit
mata air. Bentuk kurva juga mengindikasikan karakteristik cekungan hidrogeologi
seperti bentuk, ukuran, karakter litologi dan tanah pelapukan (Manga, 1999 dan
2001). Menurut peneliti tersebut, litologi dapat muncul sebagai kendali utama

26

dalam membentuk kurva hidrograf. Batuan kedap air yang mengandung sistem
rekahan cenderung menghasilkan bentuk kurva dengan kenaikan dan penurunan
garis yang relatif terjal, karena sifat storativitasnya yang rendah. Sifat itu pula
yang menyebabkan bentuk kurva debitnya responsif terhadap kurva presipitasi.
Sebaliknya, cekungan hidrogeologi dengan dominasi batuan permeabel akan
menghasilkan bentuk naik dan turun yang relatif landai dengan respon yang
lambat terhadap bentuk kurva presipitasi/hujan.
II.6.2 Analisis Respon Debit Mata Air
Proses hidrolika dalam akuifer tercermin dari perulangan titik-titik puncak dan
gradien kurva resesi (recession curve) serta seberapa cepat responnya terhadap
kurva curah hujan (presipitasi) (Gambar 8). Rujukan model umum hidrograf mata
air yang berisi anatomi dari suatu kurva serta proses hidrologi yang
direfleksikannya menggunakan model mata air karst, sebagaimana banyak
ditampilkan di beberapa publikasi. Beberapa hal yang menjadi catatan penulis
untuk menggunakan model umum hidrograf mata air karst sebagai pembanding
adalah:

Hidrograf mata air karst mencerminkan sistem akuifer media rekahan.


Mata air Gunung Ciremai juga berkembang pada sistem akuifer media
rekahan pada batuan lava, piroklastik, dan lahar (Irawan dan Puradimaja,
2006).

Perbedaan bentuk kurva yang mungkin terjadi dapat menjelaskan


perbedaan sistem hidrogeologinya.

Penjelasan mengenai anatomi kurva hidrograf mata air pada Gambar 8 untuk
contoh kasus sistem akuifer media rekahan murni dapat dijelaskan sebagai
berikut:

Terdapat jeda waktu (time lag) sebelum terjadi respon kurva debit mata
air,

Kurva debit yang naik (rising limb), terdiri dari segmen cekung dan
cembung yang dipisahkan oleh titik belok (inflection point). Kedua
segmen mengindikasikan volume simpan (storage) maksimum akuifer.
27

Titik belok merepresentasikan kapasitas infiltrasi maksimum (Kovacs dan


Perochet, 2008).

Kurva penurunan debit (recession atau falling limb) mencerminkan


kondisi debit mata air awal, sebelum hujan dan infiltrasi yang melimpah
terjadi. Kurva penurunan debit (falling limb) ini terdiri dari:
o Segmen curam: penurunan banjir (flood recession)
o Segmen landai: penurunan aliran dasar (baseflow recession).

Gambar 8 Model skematik hidrograf mata air di kawasan karst dengan sistem
akuifer media rekahan murni (Kovacs dan Perrochet, 2008)

Pencarian rujukan mengenai analisis hidrograf mata air di kawasan gunung api
telah dilakukan dengan menggunakan alat pencari (search engine) Google,
Scopus, Blackwell Publishing, ScienceDirect, dan Hydrogeology Journal.
Pencarian tersebut menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa peneliti yang
telah menelaah bentuk kurva hidrograf mata air pada endapan gunung api, yaitu
Kim dkk (2007) dengan studi kasus 23 mata air di Pulau Jeju Korea Selatan
(Gambar 9) serta Manga (1999 dan 2001) yang mempelajari hidrograf mata air di
Pegunungan Kaukasus.

28

Gambar 9 Beberapa Klaster Hidrograf Mata Air di Kawasan Gunung Api di P.


Jeju di Republik Korea (Kim dkk, 2007).

29

Analisis kuantitatif terhadap hidrograf telah dilakukan oleh Maillet (1905) op.cit
Memon (1995), yang berpendapat bahwa debit mata air merupakan fungsi dari
volume air dalam akuifer (akuifer storage). Hubungan tersebut diterangkan dalam
bentuk persamaan eksponensial sebagai berikut; bila kurva diplot pada kerja
semilog akan membentuk garis lurus dengan kemiringan lereng sebagaimana
dijelaskan pada persamaan 2 dan Gambar 10.

..Persamaan 2
Dengan Qt adalah debit mata air pada waktu t; Qo debit pada to; (t2-t1) adalah beda waktu antara Qt
dan Qo; e basis angka logaritmik; dan adalah koefisien resesi.

Nilai mengindikasikan karakter hidrogeologi, khususnya porositas efektif


(effective porosity) dan transmisivitas (transmissivity). Sebagai contoh ilustrasi,
bila terjadi kondisi sebagai berikut:

Nilai yang menunjukkan kemiringan garis resesi besar

Perioda paruh (t0.5) kecil, yaitu waktu yang diperlukan aliran dasar (base
flow) berkurang menjadi separuhnya,

maka kondisi diatas mengindikasikan proses pengurasan yang intensif dari


volume simpan (storage) akuifer, baik dalam bentuk rekahan maupun pori matriks
penyusun akuifer. Pada contoh kondisi yang lain, bila:

Presipitasi tinggi

Nilai kecil

Nilai t0.5 besar

mengindikasikan pengurasan lambat yang dapat disebabkan interval rekahan yang


rapat dengan volume simpan besar, sehingga penambahan volume imbuhan air
tidak langsung terekam pada penambahan debit mata air.

30

Suatu perhitungan besaran imbuhan (R) berbasis kepada hidrograf debit mata air
telah disampaikan oleh Pacheo dan Alencoao (2005) dengan persamaan sebagai
berikut dan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 10. Selanjutnya bila
besaran R dalam dimensi volume (L3) dibagi dengan curah hujan dalam dimensi
panjang (L) maka didapatkan estimasi luas kawasan imbuhan berdimensi luas
(L2).

Persamaan 3

Gambar 10 Contoh Analisis Besaran Imbuhan (R) berbasis Hidrograf Debit Mata
Air menurut Pacheo dan Alencoao (2005)

II.6.3 Analisis Respon TDS dan Temperatur Air pada Mata Air

Respon TDS terhadap waktu terdiri dari tiga fasa (Desmarais dan Rojstaczer,
2002), yaitu: pengenceran (flushing), pelarutan (dilution), dan pemulihan
(recovery). Fasa pengenceran merupakan respon terhadap imbuhan yang
meningkat di saat musim hujan. Fasa pelarutan ditandai dengan peningkatan nilai
TDS. Fasa ini merupakan respon dari pelarutan intensif saat musim kemarau, pada
saat imbuhan air hujan mencapai titik terendah. Fasa pemulihan dimulai pada saat
nilai TDS mencapai titik terendah, fasa ini merupakan kondisi stagnan sebelum
nilai TDS meningkat pada fasa pelarutan.

31

Observasi temperatur merupakan salah satu metoda yang tidak memerlukan biaya
tinggi untuk mengesktrak properti air tanah. Kombinasi antara temperatur air dan
temperatur udara dapat diinterpretasi untuk mengetahui perilaku air di bawah
permukaan. Salah satu interpretasinya adalah bila bentuk kurva suhu udara dan
suhu air tanah sama, tidak terjadi jeda waktu, maka air tanah diperkirakan berada
pada akuifer tak tertekan yang relatif dangkal. Sementara bila kurva kedua suhu
tersebut menunjukkan jeda waktu, maka diperkirakan air tanah berada pada
akuifer yang relatif lebih dalam. Akuifer ini tidak berinteraksi dengan lingkungan
di permukaan, sehingga suhu air tanah di dalamnya relatif lebih dingin dan stabil
dibanding suhu udara.

32

BAB 3 HIDROGEOLOGI REGIONAL CIREMAI

III.1 Sistem Akuifer


III.1.1 Kelompok Endapan Vulkanik
Endapan

gunung

api

dapat

dikelompokkan

ke

dalam

fasies,

yaitu

gabungan/kelompok tipikal batuan yang umumnya muncul pada jarak tertentu


dari puncak gunung api. Salah satu model yang ada adalah Model Fasies Gunung
api Strato Fuego oleh Cas dan Wright (1987), dari G. Fuego di Guatemala. Irawan
dan Puradimaja (2006) telah membagi fasies endapan gunung api Ciremai
berdasarkan peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995) serta peta topografi
untuk menentukan batas elevasi suatu fasies. Menurut peneliti tersebut, endapan
gunung api Ciremai terdiri dari tiga fasies (Tabel 1) berikut ini sesuai model
gunung api Fuego oleh Cas dan Wright (1980):
1) Fasies Inti Gunung api (Volcanic core) terletak pada elevasi 3050-3172 mapl,
terdiri dari andesit. Fasies ini bersifat impermeabel, sehingga tidak memiliki
mata air.
2) Fasies Proksimal Gunung Api (Volcanic Proximal Fasies) terdistribusi pada
elevasi 650-3050 mapl, terdiri dari:
2a) Proksimal 1 di elevasi 1250 3050 mapl tersusun oleh aliran dan jatuhan
piroklastik yang impermeabel dengan fragmen andesit dan matriks tuf
2b) Proksimal 2 di elevasi 650 1250 mapl tersusun oleh lava andesit yang
umumnya mengandung rekahan. Pada fasies ini terdapat zona mata air 1
terdiri dari 3 mata air dengan debit total 98 L/det.
3) Fasies Distal (Volcanic Distal Facies) terletak pada elevasi 100 650 mapl;
terdiri dari lahar permeabel, dengan fragmen andesit yang tertanam di dalam
matriks tuf atau pasir vulkanik. Batuan ini mengandung rekahan dengan
dimensi dan geometri yang tidak teridentifikasi. Pada fasies ini terletak zona
mata air 2 terdiri dari 18 mata air dengan total debit 1063 L/det.

33

Tabel 1 Rangkuman Kondisi Hidrogeologi Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja, 2006)
Volcanic facies
Symbol
Volcanic core
(3050 mapl-estimated
3100 mapl)

Description
Lithology
Volcanic neck, consists of
andesites to dacite

Slope

10o 20 30
0
45

Zone
-

Spring
Number
0

Q (L/s)
0

Physical and hydraulic


properties
Impermeable rock with less,
data is available

Proximal facies
(650 3050 masl)
Proximal 1 facies
(1250 3050 masl)

Pyroclastic
fall
and
pyroclastic flow. Consists of
andesite boulder dan tuff
matrices

Proximal 2 facies
(650 1250 masl)

Lava flow, consists


andesite to dacite lava

Distal facies
(100 650 masl)

Laharic breccias, consists of


andesite to dacite boulder
with tuff and volcanic sand
and matrices.

98
(class 1-3)*

Impermeable
rock,
high
infiltration rate of soil 1.5
cm/min, no other data is
available

of

* According to Meinzer (1944) op.cit Todd, 1984

34

18

1063
(class 1-3)*

Permeable,
secondary
permeability: cooling/sheeting
joint with unsystematic pola,
thick residual soil (2-5 m),
final infiltrasi rate of 0.5 1.2
cm/min
Permeable,
secondary
permeability: fractured with
isolated pattern, thick residual
soil (2-5 m), final infiltration
rate of 1.26 2.53 cm/min

III.1.2 Kimia Batuan


Sebanyak lima sampel batuan telah dianalisis komposisi kimia batuannya. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa sampel terdiri dari tiga jenis batuan meliputi: lahar
(LhB), lava (lv), dan piroklastik (PxB). Hasil analisis tersebut ditampilkan pada
Tabel 2. Selanjutnya persentase berat Na2O dan K2O serta SiO2 diplot ke dalam
grafik klasifikasi batuan. Plot kedua data tersebut menghasilkan klasifikasi andesit
dari kelompok kalk alkali (Gambar 11).
Tabel 2 Komposisi Kimia Batuan Gunung Api Ciremai Hasil Analisis
Laboratorium (Pusat Survey Geologi, 2007)
Unsur
(% weight)
SiO2

LhB01

LhB02

Lv01

Lv02

PxB

Rata-rata

63.9

63.6

63.8

64.3

64

54.0

Al2O3

19.7

19.9

19.3

18.9

20

19.5

Fe2O3

3.9

5.1

3.8

4.3

4.4

FeO

4.7

4.6

3.4

4.8

4.3

CaO

7.9

6.8

6.9

7.6

6.9

7.2

MgO

3.9

4.2

3.5

3.4

3.6

3.7

Na2O

3.1

3.7

3.3

3.2

K2O

0.9

1.1

1.1

1.4

1.1

PxB

L h B 02
Lv01

Kalk alkali

Lv02
L hB 01

PxB
PxB
LhB02
Lv01

LhB01
Lv02
Lv02 LhB01

Gambar 11 Grafik Klasifikasi Batuan Gunung Api (Le Bas and Streckeisen, 1991;
Pusat Survey Geologi, 2007)

35

III.1.3 Analisis Kelurusan Morfologi


Dalam analisis ini digunakan tiga set data, yakni pola kelurusan yang ditarik dari
citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), peta topografi skala 1:50.000,
peta lokasi mata air, dan data debit mata air. Perhitungan yang dilakukan adalah
distribusi panjang kelurusan, densitas kelurusan, dan jarak tegak lurus antara titik
mata air dengan kelurusan yang terdekat. Untuk memudahkan analisis digunakan
piranti lunak GIS Arc View version 3.3 dengan modul Linstat. Dua perhitungan
tersebut kemudian dikorelasikan dengan data yang berkait dengan mata air.
Metoda ini pernah dilakukan oleh Galanos dan Rokos (2006) dan Walsh (2008).
Lebih dari 200 kelurusan telah ditarik dan didigitasi pada citra sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 12. Diagram roset (rose diagram) hasil analisis
tersebut ditampilkan pada Gambar 13. Orientasi kelurusan adalah NW SE.
Keduanya menggabungkan kelurusan pada batuan sedimen dan batuan gunung
api. Kelurusan pada batuan gunung api umumnya berpola radial, sedangkan
kelurusan pada batuan sedimen berarah NW SE yang sesuai dengan orientasi
kelurusan konsisten dengan orientasi sumbu lipatan, patahan, dan dengan struktur
regional. Jumlah frekuensi kelurusan pada batuan gunung api rata-rata (ditandai
warna merah) adalah enam kelurusan untuk setiap arah kelurusan. Frekuensi
kelurusan yang berada di batuan sedimen tersebut, di luar lingkaran merah,
umumnya lebih banyak lagi.

36

Kelas debit mata air


25 50 L/d
10 25 L/d
0 10 L/d

Gambar 12 Pola Kelurusan yang Teridentifikasi di Daerah Penelitian

37

10

315

45
8
6
4
2

270

10

10

90

2
4
6
8
225

135

10

180

Gambar 13 Diagram Roset Orientasi Kelurusan serta Jumlahnya.


Garis merah menandai kisaran frekuensi kelurusan pada batuan
gunung api

Selanjutnya juga didapatkan bahwa jumlah mata air berkurang secara logaritmik
menjauhi kelurusan. Sebagian besar mata air berada pada jarak 400 m dari
kelurusan (Gambar 14). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kelurusan pada
batuan lava umumnya berkorelasi dengan kemunculan mata air di dekatnya, yaitu
pada jarak mendekati 0 m dan 400 800 m. Selanjutnya kelurusan pada lahar
memiliki jarak terdekat dengan mata air berkisar antara 0 m hingga 2800 m , serta
kelurusan pada piroklastik yang berjarak 200 m hingga 1000 m dari mata air.

38

14
12
Loc Scale N
414,3 410,7 58
387,3 293,8 45

10

418,8 347,2

Frequency
Frekuensi

LITH
Laharic breccia
Lava
Pyroclastic breccia

8
6
4
2
0

400

800

1200

1600

2000

2400

2800

Jarak mata airDISTLINE


terhadap kelurusan (m)

Gambar 14 Histogram jarak mata air terhadap kelurusan yang terdekat.

Bila dibandingkan antara debit mata air dengan jaraknya dengan kelurusan,
didapatkan populasi paling tinggi pada jarak 0 1000 m dengan debit berkisar
antara 5 hingga 40 L/d, sebagaimana disampaikan pada Gambar 15. Jumlah mata
air kemudian umumnya mengecil sejalan dengan jarak yang semakin jauh dari
kelurusan. Namun demikian juga terdapat mata air yang memiliki debit 20 30
L/d yang muncul pada jarak 2500 3000 m dari kelurusan.
Selanjutnya analisis densitas kelurusan (lineament density) telah juga dilakukan
dengan output berupa peta densitas kelurusan (Gambar 16). Pada gambar terdapat
12 buah lingkaran (garis sambung) dengan diameter enam km yang
memperlihatkan kemungkinan adanya relasi antara debit mata air dengan densitas
kelurusan. Sebaliknya terdapat lima buah lingkaran (garis putus-putus) yang
diduga memperlihatkan korelasi yang lebih lemah antara kedua parameter
tersebut.

39

Distance
lineaments
(m) (m)
Jarak mataform
air dari
kelurusan dalam

3000
2750
2500
2250
2000
1750
1500
1250
1000
750
500
400
300
250
0

10
20
30
Debit mata
air (Q) dalam
(L/d)
Spring
discharge
Q (L/s)

40

Gambar 15 Plot antara debit mata air (Q dalam L/d) dengan jaraknya terhadap
kelurusan (dalam m).

Observasi dan analisis oleh Irawan dan Puradimaja (2006) menghasilkan


kesimpulan bahwa zona rekahan mengendalikan debit mata air. Terdapat dua jenis
asal mula rekahan, yakni: rekahan pada aliran lava dan rekahan pada lahar. Jenis
yang pertama merupakan kekar pendinginan (cooling joints) pada lava yang
membentuk bukaan sempit pada batuan. Polanya tidak sistematik dengan orientasi
N630E, N900E, dan N1170E. Jenis yang kedua dijumpai pada piroklastik, yang
menyebar mengikuti punggungan batuan tersebut. Pada lokasi Mata air Cibulan,
orientasi rekahannya adalah N930E, sama dengan orientasi punggungan
(Gambar 17).

40

Kelas debit mata air

Densitas kelurusan

25 50 L/d
10 25 L/d
0 10 L/d

Gambar 16 Peta Densitas Kelurusan dan Plot Mata Air.


Lingkaran dengan garis sambung menunjukkan diduga memiliki
korelasi kuat antara debit mata air dengan kelurusan, lingkaran
dengan garis putus-putus menunjukkan diduga memiliki korelasi
lemah

41

Impermeable
pyroclastic flow

Impermeable
pyroclastic flow

Gambar 17 Sketsa Profil Rekahan pada Aliran Lava dan Lahar (Irawan and
Puradimaja, 2006).

III.1.4 Ketebalan dan Laju Infiltrasi Tanah Pelapukan


Intensitas proses pelapukan di daerah riset sangat tinggi, dicirikan dengan tanah
pelapukan yang tebalnya dari 2 m hingga mencapai 10 m. Lapisan setebal itu akan
sangat potensial untuk menyimpan dan meresapkan air hujan ke dalam akuifer.
Menurut Chow (1964) dan Miyazaki (1993), uji infiltrasi telah dilakukan untuk
menghitung laju infiltrasi akhir tanah pelapukan. Tanah pelapukan dari lahar
menunjukkan nilai laju infiltrasi akhir 1,26 2,53 cm/menit, dilanjutkan oleh
piroklastik sebesar 1,5 cm/menit, dan aliran lava dengan nilai 0,5 1,2 cm/menit
(Gambar 18). Nilai laju infiltrasi akhir tersebut, menurut Linsley, dkk (1971)
merupakan indikasi bahwa kapasitas tanah pelapukannya memiliki kapasitas yang
cukup untuk peresapan.
Pengukuran tambahan dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan nilai laju
infiltrasi akhir tanah pelapukan di daerah riset berkisar antara 0,6 to 2,53
cm/menit dengan rata-rata 1.28 cm/menit (Tabel 3). Berdasarkan Gambar 18,
tanah pelapukan lahar (LhB) memiliki kisaran nilai laju infiltrasi yang paling
lebar, sementara tanah pelapukan piroklastik (PxB) yang paling sempit. Parameter
ini terlihat tidak memperlihatkan keteraturan terhadap elevasi sebagaimana dapat
diperhatikan pada Gambar 19.

42

Tabel 3 Nilai Laju Infiltrasi Pada Tanah Pelapukan (cm/menit)


Mata air
Cicurug I
Cicurug II
Sindangparna
Pereng Cigugur
Cigugur
Telaga Remis
MJ.18
MJ.20
MJ.22
MJ.23
Cipaniis
Kebon Balong
Cibulakan Kadugede
Ciputri
Cikupa
Citiis
Cisarai
Panten Kaler
MJ.3
MJ.4
Leles
Cibulan Cilimus
Silinggonom
Cipanas Subang
Bandarosa
PDAM Paniis
MJ.1
MJ.2
MJ.6
MJ.8

Batuan
penyusun
akuifer
Lava
Lava
Lava
Lava
Lava
Lava
Lava
Lava
Lava
Lava
piroklastik
piroklastik
piroklastik
piroklastik
piroklastik
piroklastik
piroklastik
piroklastik
piroklastik
piroklastik
lahar
lahar
lahar
lahar
lahar
lahar
lahar
lahar
lahar
lahar

k
(cm/menit)
1,29
0,60
0,87
0,80
0,90
0,70
0,70
0,60
0,70
0,70
1,55
1,54
1,53
1,50
1,52
1,55
1,47
1,48
1,50
1,50
2,53
1,10
1,20
0,90
1,70
1,79
1,58
1,26
1,79
1,56

Elevasi
(mapl)
573,00
573,00
577,00
667,00
577,00
310,00
508,00
650,00
517,00
486,00
1165,00
466,00
530,00
815,00
770,00
629,00
748,00
1270,00
687,00
797,00
135,00
544,00
568,00
367,00
453,00
347,00
185,00
542,00
483,00
119,00

Lahar
LhB
LavaLv
Piroklastik
PxB
0,50

0,75

1,00

1,25
k
(cm/min)
k (cm/menit)

1,50

1,75

2,00

Laju infiltrasi akhir (cm/menit)


Gambar 18 Plot Interval Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan.
Grafik memperlihatkan nilai laju infiltrasi akhir pada batuan lahar
lebih besar akibat sifat porous tanah pelapukannya.

43

1400

Lithology
LhB
Lv
PxB

1200

Piroklastik

Ketinggian (mdpl)

1000
800

Lava

600
400

Lahar

200
0
0,5

1,0

1,5
k (cm/min)

2,0

2,5

Laju infiltrasi akhir (cm/menit)


Gambar 19 Plot Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan Terhadap Elevasi.
Grafik memperlihatkan bahwa tidak ada keteraturan antara nilai laju
infiltrasi akhir tanah pelapukan terhadap jenis batuan yang ada.

III.2 Curah Hujan (Presipitasi)


Kabupaten Kuningan memiliki 18 stasiun penakar hujan. Dari jumlah tersebut,
peneliti hanya mendapatkan data hujan dari 11 stasiun sebagai berikut: Ciwaru
(161 mapl), Ciawigebang (222 mapl), Ciniru (250 mapl), Garawangi (265 mapl),
Cihirup (283 mapl), Mandirancan (293 mapl), Susukan (309 mapl), Linggarjati
(414 mapl), Kuningan (545 mapl), Kalapagunung (635 mapl), Waduk Darma (696
mapl) (Tabel 4). Masing-masing lokasinya disajikan pada Gambar 20. Rata-rata
hujan bulanan di daerah ini pada tahun 2006 relatif lebih tinggi dibanding tahun
2007, yaitu pada bulan Januari hingga Juni. Sementara pada bulan Maret dan
April, curah hujan tahun 2007 lebih tinggi (Gambar 20).
Curah hujan terdistribusi lebih merata pada elevasi berbeda pada tahun 2006
(Gambar 21, Gambar 22, dan Gambar 23). Curah hujan tahun 2006 sebesar total
2600 mm tercatat di Stasiun Ciwaru dan yang tertinggi sebanyak 3000 mm di

44

Stasiun Waduk Darma. Pada tahun 2007, sebanyak 1700 mm tercatat di Stasiun
Waduk Darma dan 2700 mm tercatat di Stasiun Ciwaru.
Tabel 4 Data Curah Hujan dari 13 stasiun 2006 dan 2007 dalam mm (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008)
2006
STATIONS
Mandirancan
Ciniru
Cihirup
Linggarjati
Klapa Gunung
Kuningan
Susukan
Garawangi
Ciawi Gebang
Ciwaru
Waduk Darma
Total
Average
Max
Min

2006
STATIONS
Mandirancan
Ciniru
Cihirup
Linggarjati
Klapa Gunung
Kuningan
Susukan
Garawangi
Ciawi Gebang
Ciwaru
Waduk Darma
Total
Average
Max
Min
2007
STATIONS
Mandirancan
Ciniru
Cihirup
Linggarjati
Klapa Gunung
Kuningan
Susukan
Garawangi
Ciawi Gebang
Ciwaru
Waduk Darma
Total
Average
Max
Min

JAN
780
458
537
623
531
446
369
417
396
375
580
5,512
501
780
369

PEB
679
500
340
639
516
479
313
203
333
260
553
4,815
438
679
203

AGS
-

JAN
498
282
240
387
276
260
117
178
282
237
242
2,999
273
498
117

MAR
303
249
216
358
178
186
111
133
194
263
205
2,396
218
358
111

SEP
-

PEB
680
239
255
354
160
261
152
277
273
510
410
3,571
325
680
152

MAR
633
333
280
506
287
341
249
254
256
462
410
4,011
365
633
249

APR
239
184
215
463
254
304
242
275
197
393
327
3,093
281
463
184

OKT
-

APR
622
331
410
378
336
412
299
358
450
309
368
4,273
388
622
299

45

MEI
297
324
137
427
412
179
92
134
181
229
99
2,511
228
427
92

NOP
28
78
191
53
143
137
72
82
127
75
85
1,071
97
191
28

MEI
139
153
136
150
168
173
135
151
204
278
99
1,786
162
278
99

JUN

JUL

46
290
299
76
271
250
270
302
382
2,186
199
382
-

DES
242
209
173
344
194
298
65
133
194
720
421
2,993
272
720
65

JUN
111
105
96
125
91
75
42
51
73
92
96
957
87
125
42

JUL
25
4
1
60
30
2
122
11
60
-

5
5
4
11
5
5
35
3
11
-

TOTAL
2,619
2,292
2,113
2,987
2,239
2,029
1,535
1,627
1,897
2,622
2,652
24,612
2,237
2,987
1,535

TOTAL
2,708
1,447
1,417
1,900
1,318
1,522
995
1,269
1,598
1,918
1,627
17,719
1,611
2,708
995

800

800
700

800

700
600

Mandirancan

500

800

Susukan

600

500
400

400

300

300

200

200

100

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

100

800
JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

800

700

Cihirup

700

600

Linggarjati

600

800

800

500

500

400
400

300
300

200

200

100

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

100

DES

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

800
800

700
700

Kalapagunung

600

800

600

Ciawigebang

500
500

400
400

300
300

200
200

100

100

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

800
800

700

800

700

800

Darma

600

600

Garawangi

500

500

400
400

300
300

200

200

100

100

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

800

800

700

700

800

600

600

Ciniru

700

800

500
600

Kuningan

500

Ciwaru

500

400

400

300

300
400

200

200

300

100

100

200

JAN

100

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

0
ELEV.

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

JAN

PEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AGS

SEP

OKT

NOP

DES

Gambar 20 Peta Stasiun Penakar Hujan dan Data Pengukuran Rata-Rata Bulanan
pada Jan Des 2006. Peta memperlihatkan stasiun yang ada (titik
hitam) dan stasiun yang tersedia datanya (lingkaran merah) (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008)

46

OKT

NOP

DES

NOP

DES

600

Presipitasi
2007 2006
Precipitation 2007 tahun Precipitation
500

Presipitasi tahun 2006

400

mm
300

200

100

JAN

PEB

MAR

APR

MAY

JUN

JUL

AUG

SEP

OCT

NOV

DEC

Gambar 21 Grafik Rata-Rata Hujan Bulanan dalam mm (2006-2007) (Badan


Meteorologi dan Geofisika, 2008)
800

3,500

Curah hujan
700

3,000

Elevasi
600

2,500

2,000
400
1,500
300

1,000
200

500

100

Ciwaru

Ciawi Gebang

Ciniru

Garawangi

Cihirup

Mandirancan
Precipitation

Susukan

Linggarjati

Kuningan

Klapa Gunung Waduk Darma

Elevation

Gambar 22 Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Desember 2006 dalam mm


(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008)

47

Elevasi (mapl)

Curah hujan (mm)

500

3,000

800

Curah hujan

700

2,500

Elevasi

2,000
500

1,500

400

300
1,000

200

500
100

0
Ciwaru

Ciawi Gebang

Ciniru

Garawangi

Cihirup

Mandirancan
Precipitation

Susukan

Linggarjati

Kuningan

Klapa Gunung Waduk Darma

Elevation

Gambar 23 Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Juli 2007 dalam mm


(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008)

III.3 Distribusi dan Geometri Mata Air


Kajian oleh Irawan dkk (2003), berbasis kepada data IWACO-WASECO (1989),
telah mendeskripsikan tiga zona mata air secara spasial, yaitu (Gambar 24):

Zone 1: 100-250 mapl,

Zone 2: 250-650 mapl, dan

Zone 3: 650-1250 mapl,

48

Elevasi (mapl)

Curah hujan (mm)

600

Frequency of spring discharge

32
16
0
1200

243

1100
1000
900
80 0
700
600
500

E
L
V

400
300

288
4

286

14
24
3
2
235
293
279
269 234
231
233
25
232
2058 230
282
296
29218
291
295
347
289
23
346 290
317
326
344
298345
297
341
339
72338
324
340
62 349 350336
329
342
82

328

Zona 3 (650 -1250 mdpl)

335

337

351

200

Zona 2 (250-650 mdpl)

271

352

Zona 1 (100 -250 mdpl)

100
Q
30
31
34
33
40
42
50
51
52
66
75
76
94
15
14
20
22
23
27
10
11
1114
14
15
16
17
17
18
19
20 25
25
2529
29
12 10
124059 36
78407
8774 148 07
.3

4042
07

53
7Q

Spring discharge (l/sec)

S i

16

10
52

di h

(L/ )

Gambar 24 Histogram Pemunculan Mata Air dan Zonasi Debitnya (Irawan dan
Puradimaja, 2006).
Bapeda Kab. Kuningan (2002) telah memetakan 161 titik mata air dengan debit
bervariasi Hasilnya adalah lima kelas mata air berdasarkan debitnya sesuai
klasifikasi oleh Meinzer (1923) op.cit Todd (1980):

6 mata air kelas II (4%),

44 mata air kelas III (27%),

15 mata air kelas IV (9%),

40 mata air kelas V (25%),

56 mata air kelas VI (35%).

Survei mata air oleh peneliti dilaksanakan pada perioda Mei 2006 hingga Juni
2007, umumnya pada musim kemarau. Sebanyak 140 mata air telah diobservasi,
terdiri dari 120 mata air dari lereng timur dan 20 mata air dari lereng barat (Tabel
5). Pada setiap mata air, pengukuran yang dilakukan meliputi tujuh parameter:
koordinat (x, y, z), debit (Q) in L/s, Total Padatan Terlarut (Total Dissolved
Solids) (TDS) dalam ppm, Daya Hantar Listrik (Electric Conductivity) (DHL)
dalam S/cm, keasaman (pH), suhu mata air (Ta) dan suhu udara (Tu) dalam oC.

49

No
1
2
3
4

Tabel 5 Ringkasan Data Mata Air Hasil Observasi


Batuan
Jumlah mata air
Piroklastik
16
Lava
52
lahar
71
Formasi Kaliwangu
1
(sebagai pembanding)

Jumlah

140

Mata air mulai muncul pada elevasi 100 mapl hingga 1200 mapl, berdasarkan
observasi terhadap 140 mata air dan elevasi rata-ratanya adalah 512.9 mapl.
Namun jumlah pemunculan mata air tertinggi didapatkan pada elevasi 250 mapl
dengan 25 mata air. Jumlah mata air kemudian berkurang mengikuti elevasi yang
semakin tinggi (Gambar 25).
25

Mean 512,9
StDev 258,5
N
140

Frekuensi
Frequency

20

15

10

200

400

600

800

1000

1200

ELV
Elevasi
(mapl)

Gambar 25 Histogram Posisi Elevasi Mata Air

Gambar 26 di bawah ini, memperlihatkan bahwa mata air pada batuan piroklastik
terletak pada daerah yang tinggi, dari elevasi 675 hingga lebih dari 1000 mapl.
Pada elevasi lebih rendah, 575 700 mapl, terdapat mata air pada batuan lava. Di
bawahnya, terdapat mata air yang keluar pada batuan lahar pada 320 400 mapl.
Selanjutnya mata air yang muncul dari Formasi Kaliwangu pada elevasi lebih
rendah dari 280 mapl.

50

Elevasi (mapl)

16
mata air
52
mata air
72
mata air

Elevasi (mapl)

Lahar

Lava

Piroklastik

Gambar 26 Plot Interval Elevasi Mata Air Berdasarkan Jenis Batuan Penyusun
Akuifernya

Observasi tersebut mengindikasikan adanya kombinasi sistem akuifer media pori


dan rekahan batuan. Air hujan menginfiltrasi tanah pelapukan setebal 2 m hingga
10 m, kemudian mengalir ke dalam rekahan batuan. Aliran air kemudian muncul
pada kisaran elevasi 250-750 mapl, dengan pola aliran radial. Kawasan imbuhan
diperkirakan pada elevasi lebih tinggi dari 750 m. Analisis spasial berikutnya
dengan membagi Gunung Ciremai menjadi empat kuadran menghasilkan hal-hal
berikut ini:
1. Kuadran 1 (timur laut): 37 mata air, lahar 39%, lava 28%, piroklastik 33%.
2. Kuadran 2 (barat laut): 7 mata air, lahar 30%, lava 10%, Fm. Kaliwangu
50%, piroklastik 10%.
3. Kuadran 3 (barat daya): 23 mata air, lahar 25%, aliran lava 10.5%,
piroklastik 64.5%.
4. Kuadran 4 (tenggara): 49 mata air, lahar 37.5%, lava 33.2%, piroklastik
29.3%.

51

Grafik pembanding di bawah ini memperlihatkan bahwa lereng timur memiliki


lebih banyak mata air dibandingkan lereng barat (Gambar 27). Gambar tersebut
dan penampang geologi pada Gambar 28 memperlihatkan adanya korelasi mata
air dengan endapan piroklastik di lereng barat. Sedikit mata air berkorelasi dengan
lava pada elevasi 1200-1400 mapl. Sementara di lereng timur, mata air lebih
berkorelasi dengan lahar pada elevasi 200 800 mapl.

0-200

Elevasi (mapl)

200-400
Elevation
400
- 600
400-600
600-800
800-1000
1000-1200
1200-1400
0

10

15

20

25

30

Number of spring

Jumlah mata air

Gambar 27 Perbandingan Jumlah dan Distribusi Mata Air Antara Lereng Barat
(warna hitam) dan Lereng Timur (warna putih) Berdasarkan Elevasi.

Lebih

lanjut,

penampang

geologi

berarah

utara-selatan

(Gambar

28)

memperlihatkan lereng utara-selatan yang landai. Perubahan kemiringan


lerengnya yaitu sebesar 10o, 15o, 30o, dan 42o. Endapan piroklastik jatuhan
terdistribusi pada elevasi lebih tinggi dari 2500 mapl, perulangan aliran lava pada
elevasi 5002500 mapl, dan lahar pada 100 500 mapl. Sebaliknya di lereng
selatan dijumpai perubahan kemiringan yang berubah secara tajam yaitu 10o dan
35o. Distribusi endapan gunung api relatif sama dengan lereng utara.
Kemudian pada penampang berarah barat-timur (Gambar 28) memperlihatkan
lereng yang landai di bagian barat dengan sudut 10o, 20o, dan 35o, serta adanya
indikasi normal fault. Jatuhan piroklastik terdistribusikan pada elevasi 1750-3000
mapl, aliran lava 12501750 mapl, dan piroklastik aliran pada 750 1250 mapl.
52

Lereng timur memperlihatkan lereng yang landai dengan sudut 2o, 10o, 33o, dan
48o. Pada penampang ini, endapan piroklastik terdapat di elevasi 17503000 mapl
dan lahar di 2001750 mapl.
Piroklastik fall

oo

Morphology: Gradual slope with angle from 10 to 42


Deposits: piroklastik fall at higher than 2500 masl, lava 500 2500 masl dan volcanic breccias at 100 - 500 mdpl. The
Volcanic endapans sit on tertiary sediments

42

Sequence of lava flow


Sedimentary
rock

Lahar

10

15

30

+
+
+
+
+

Piroklastik fall

Morphology: Sharp slope angle from 10 to


o
35. Occurrence of old crater rim.
Deposits: mainly lava with pyroclastic fall
layers at the top

+
+
+
+
+
?

35 o

+
+

Lava flow

+
+

+
? +

Lava flow

10

U
pyroclastic fall

pyroclastic fall

oo

Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal fault


Endapans: pyroclastic fall at higher than 2000 masl, lava 1250
- 2000 masl dan pyroklastic flow at 500- 1250 masl. The
Volcanic deposits sit on tertiary sediments
Lava flow

48

Sequence of Lahar deposits

Piroklastik flow

10

oo

Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal fault


Deposits: pyroclastic fall at higher than 2000mdpl, lava 1250
- 2000 mdpl dan piroklastik aliranat 750 - 1250 mdpl. The
vulkanikendapans sit on tertiary sedimentary batuans

+
+ +
+ +
+ +
++
++
?

35
20

33

10

W
B

TE

Gambar 28 Penampang Geologi Gunung Ciremai Berarah Utara-Selatan (atas)


dan Barat-Timur (bawah).

Sebanyak 140 mata air telah diamati geometrinya di lapangan. Beberapa mata air
terlihat dengan baik geometrinya, namun terdapat mata air yang sulit diamati
geometrinya. Kesulitan umumnya karena tanah pelapukan yang tebal, vegetasi
yang lebat, dan badan air yang telah menutupi outlet mata air. Namun demikian
dari hasil interpretasi, peneliti mengajukan dua tipe mata air yang dominan
sebagai berikut (selengkapnya pada Lampiran 1).
III.3.1 Mata Air Depresi
Mata air depresi terbentuk karena muka air tanah terpotong oleh topografi. Jenis
ini merupakan jenis yang umum muncul di lapangan. Kemunculannya ke
permukaan dikendalikan oleh distribusi dan ketebalan tanah pelapukan. Beberapa
contoh mata air depresi disajikan pada Gambar 29 yaitu Cibulan Kec. Cilimus,
Telaga Remis, dan Ciuyah Kec. Ciniru.

53

Mata air Cibulan, Mata air depresi, lahar,


104 L/d

?
Tampak depan

?
Tampak samping
(A)

Mata air Telaga Remis. Mata air


depresi, lahar, 112 L/d

?
?
Tampak depan

?
?
Tampak samping

(B)

Gambar 29 Skema Interpretasi Mata Air Rekahan: a) Cibulan Kec. Cilimus, b)


Telaga Remis
III.3.2 Mata Air Rekahan
Mata air rekahan muncul ke permukaan dikendalikan oleh sistem rekahan pada
batuan. Beberapa contoh mata air rekahan disampaikan pada Gambar 30, terdiri
dari a) Bandorasa Cigandamekar, b) Cibulakan Kec. Cigugur, c) Palutungan Kec.
Cigugur, d) Cibitung Kec. Darma, e) Citutupan Majalengka, f) Cileles
Majalengka.

54

Mata air Bandorasa. Mata air rekahan lahar,


Q=33,68 L/d
1,8 m

5m

?
Tampak depan

(A)

Tampak samping

Mata air Cibulakan. Mata air rekahan lahar,


Q=32,72 L/d
2m

5m

?
Tampak depan

(B)

Tampak samping

Mata air Palutungan. Mata air rekahan lava, Orientasi


rekahan Q=96 L/d
1m

8m

(C)

Tampak depan

Tampak samping

Mata air Cibitung. Mata air rekahan piroklastik,


Q=17,79 L/d
3m

?
7,5 m

Tampak depan

Tampak samping

(D)

Mata air Citutupan. Mata air rekahan lahar, Orientasi


rekahan Q=17,53 L/d

2m
5m

Tampak depan

?
Tampak samping

(E)
55

Mata air Cileles. Mata air rekahan piroklastik


o
Orientasi rekahan N 273 E, Q=16,37 L/d

Tampak depan

Tampak samping

(F)
Gambar 30 Skema Interpretasi Mata Air Depresi: a) Bandorasa Cigandamekar, b)
Cibulakan Kec. Cigugur, c) Palutungan Kec. Cigugur, d) Cibitung
Kec. Darma, e) Citutupan Majalengka, f) Cileles Majalengka

Debit mata air diukur pada 140 lokasi mata air dengan menggunakan stopwatch
dan wadah ukur untuk mata air berdebit lebih kecil dari 10 L/det dan metoda
stream channeling untuk mata air dengan debit lebih besar dari 10 L/det. Peneliti
mengalami kendala dalam mengukur debit karena besarnya debit dan banyanya
keluaran (outlet) yang ada. Pada Gambar 31 dapat dilihat bahwa debit berkisar
antara 5 L/det hingga 30 L/det. Terdapat debit mata air yang lebih dari 30 L/det.
Lahar memiliki rata-rata debit lebih besar, yang kedua adalah lava, dan yg relatif
kurang produktif adalah piroklastik dan Formasi Kaliwangu (Gambar 31 dan
Gambar 32).
18

Mean
StDev
N

16

Frequency
Frekuensi

14
12
10
8
6
4
2
0

12

18

24

30

Discharge (Q) (l/s)


Debit
mata air (L/d)

Gambar 31 Histogram Debit Mata Air

56

36

16.48
8.367
140

Elevasi (mapl)

16
mata air
52
mata air
72
mata air

Lahar

Lava

Piroklastik

Gambar 32 Interval Plot Debit Mata Air Berdasarkan Litologi.


Debit mata air dari batuan sedimen ditampilkan sebagai pembanding.
III.4 Survei Geolistrik
Survei geolistrik dilakukan pada dua lokasi mata air, yaitu Cibulan dan
Sangkanurip. Kedua lokasi tersebut dipilih karena memperlihatkan kondisi
geologi yang menarik, selain karena kemudahan aksesibilitasnya.Hasil interpretasi
geolistrik untuk masing-masing lokasi mata air disajikan pada Lampiran 2 3.
Mata air Cibulan dipilih karena memiliki fenomena artesis, sedangkan
Sangkanurip dipilih karena memiliki air panas yang berbeda karakteristiknya
dengan karakter umum. Sangkanurip memiliki TDS lebih rendah yaitu pada
kisaran 2000-3200 ppm dengan temperatur relatif lebih tinggi, yaitu 50oC. Air
panas yang dijumpai di Sangkanurip sangat jernih.
Konfigurasi Wenner dipilih dalam pengukuran dengan jumlah titik sebanyak lima
buah. Kondisi bawah permukaan mata air Cibulan setidaknya memiliki dua
lapisan, yaitu tanah pelapukan dengan berkisar antara 4,18 hingga 95,24 dan
endapan gunung api dengan lebih besar dari 168 , diinterpretasikan sebagai
lahar. Tanah pelapukan memiliki porositas tinggi membentuk nilai resistivitas

57

kecil. Ketebalannya maksimum 5 m. Lapisan ini menipis ke arah hulu. Lapisan


lahar terletak pada kedalaman 5 hingga 50 m dari permukaan tanah setempat.
Lapisan ini diinterpretasikan memiliki rongga antara fragmen yang cukup besar
sehingga memiliki nilai resistivitas tinggi. Lapisan ini adalah akuifer produktif
yang mensuplai mata air Cibulan. Fenomena artesis diperkirakan karena adanya
lapisan impermeabel dalam bentuk lava yang penyebarannya terbatas. Lapisan ini
menutupi lapisan akuifer lahar.
Sebanyak tiga titik pengukuran geolistrik telah dilakukan di Sangkanurip dengan
konfigurasi Wenner. Data mengindikasikan adanya empat lapisan, yakni tanah
pelapukan dengan berkisar dari 111 hingga 201,7 dan kelompok endapan
gunung api dengan bervariasi: 910,2 , 70,9-90,34 , dan 15,5-32,53 . Tanah
pelapukan diperkirakan memiliki porositas tinggi dengan kelembaban rendah,
diindikasikan oleh kenampakan lapangan dan nilai resistivitas yang relatif lebih
rendah dibanding lokasi sebelumnya. Ketebalannya maksimum sampai dengan 5
m. Lapisan endapan gunung api terletak pada kedalaman antara 5 sampai 50 m,
yang diperkirakan hadir sebagai aliran lava. Lapisan lava pertama memiliki nilai
resistivitas yang relatif lebih tinggi sebesar 70,9 hingga 90.34 ), dengan
ketebalan antara 10 sampai 40 m. Lapisan lava kedua memiliki tahanan jenis
sebesar 15,5 sampai 32,53 dengan ketebalan 10-35 m. Lapisan lava pertama
diinterpretasikan bersifat lebih impermeabel dibandingkan lapisan kedua. Lapisan
ini diduga merupakan batuan penutup bagi aliran air hipertermal di bagian
bawahnya.
III.5 Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah
Kualitas air tanah telah mulai dianalisis oleh Irawan (2001) dan hasilnya
mengindikasikan adanya air hujan sebagai sumber air tanah, dengan ciri
konduktivitas dan kandungan bikarbonat rendah. Air tanah dapat dibagi menjadi
tiga jenis berdasarkan kondisi termalnya:

58

mesotermal, konduktivitas rendah, kandungan bikarbonat tinggi.

hipotermal, konduktivitas rendah, kandungan bikarbonat

hipertermal, konduktivitas tinggi, komposisi NaK-bikarbonat.

Air tanah tipe mesotermal dan hipotermal umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
karena komposisi kimianya yang netral dan aman bagi tubuh manusia. Air jenis
hipertermal atau umum disebut air panas akan mengandung mineral yang lebih
tinggi dibanding dua jenis air lainnya. Kandungan mineral yang tinggi disebabkan
suhunya yang panas memudahkan mineral pada batuan untuk larut di dalamnya.

III.6 Pola Aliran Air Tanah


Analisis pola kontur isofreatik mencakup dua lokasi mata air yakni: Linggarjati
dan Cibulan. Kawasan mata air Linggarjati muncul dari aliran lava, mengeluarkan
debit 80 L/det; sementara mata air Cibulan muncul pada ujung punggungan aliran
lava dan mengeluarkan debit 40 L/det air tanah.

Pola aliran air tanah di kawasan Linggarjati adalah SW-NE dengan


gradien kemiringan lereng sebesar 0,4 dan 0,6. Aliran tersebut terlihat
menyebar (Gambar 33). Gradien aliran air tanah didapatkan dari
pengukuran elevasi tiap mata air.

Pola aliran air di Cibulan memperlihatkan arah NW-SE dengan gradien


0,3 gradien dan 0,4 kemiringan lereng. Pola kontur isofreatik
memperlihatkan pola garis lurus dari puncuk punggungan ke arah mataair
(Gambar 34) berdasarkan data elevasi mata air.

59

5
7
7
143

75050
7

0
800
0
8

6
650
5

123

800
80

253
243

B
5
7

2
725
0
0
700
7

575

5
7675
6

0
500
0

0
750
5

153

0 26
650
5
6

0
700
7

0
0
6

5
625
650
6

0
500
5

163

2
525
5
0 0
550
5

60075

5 06

173

0
5
550
5

ISOPHREATIC MAP OF CIBULAN MATA AIR


DI KAWASAN SUMUR ARTESIS CIBULAN
Legend:
Spring

Lava
Breccias
lahar
0

500 m

0
70

Topografic contour

Cibulan well
0
70

Isopotentiometric contour
Groundwater flow
direction

B
?

Impermeable layer

Gambar 33 Pola Aliran Air Tanah di Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja,
2006)

60

Lokasi
kolam
Pond
location

510 m0

1
5

505 5
m

0
5

0495 m 490 m
0
lp
d
0 5
m
5
0
0
5

500
4m

Well location
Lokasi
sumur

5m

Isopotentiometric
contours
Topograpical
contours

Piezometric line

T
510

Impermeable
layer
Lapisan
impermeabel

505
500
495

Lapisan
akifer
Aquifer
layer

Aliran airtanah
Groundwater
flow

Well
location
Lokas
i s umur

Gambar 34 Pola Aliran Air Tanah pada Contoh Kasus Mata Air Cibulan (Irawan
and Puradimaja, 2006)

61

BAB 4 ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA AIR TANAH

Air tanah muncul ke permukaan dalam bentuk mata air dengan demikian, mata air
merupakan sarana untuk mengidentifikasi apa yang terjadi pada sistem air tanah
(Zhang dkk, 1996). Informasi penting mengenai akuifer yang disampaikan pada
bab ini berdasarkan analisis terhadap data kualitas mata air yang disajikan pada
Lampiran 1.
IV.1 Sifat Fisik
IV.1.1 Temperatur
Rata-rata temperatur air tanah adalah 25,48oC, dengan kisaran temperatur yang
paling sering muncul adalah 22,5 hingga 25oC sebagaimana diperlihatkan pada
histogram Gambar 35. Temperatur air tanah, khususnya dalam akuifer tak
tertekan, dipengaruhi temperatur udara. Perbedaan yang relatif kecil di antara
kedua temperatur tersebut diduga merupakan indikasi akuifer tak tertekan,
sedangkan perbedaan yang besar mengindikasikan adanya aliran air tanah yang
lebih dalam. Namun demikian batasannya belum dapat ditentukan. Penetapan
kategori air mesotermal (kisaran suhu air tanah mirip dengan suhu udara),
hipotermal (kisaran suhu air tanah lebih rendah dibandingkan suhu udara), dan
hipertermal (kisaran suhu air tanah lebih tinggi dibandingkan suhu udara).

62

15.0 22.5 30.0 37.5 45.0 52.5 60.0


Klw

LhB

40
30

Frequency
Frekuensi

20
10

40

Lv

PxB

30
20

Klw
Mean 34.18
StDev 3.882
N
5
LhB
Mean 26.37
StDev 4.709
N
67
Lv
Mean 24.17
StDev 1.433
N
52
PxB
Mean 23.32
StDev 1.946
N
16

10
0
15.0 22.5 30.0 37.5 45.0 52.5 60.0

Temperatur air (oC)

WT

Gambar 35 Histogram Temperatur Air Tanah pada Sistem Akuifer Endapan


Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.1.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids)


Total Padatan Terlarut atau Total Dissolved Solids (TDS) menunjukkan
konsentrasi ion terlarut dalam air. Semakin besar nilainya, maka semakin besar
ion yang terlarutnya. Kondisi ini mengindikasikan interaksi antara air tanah
dengan akuifer yang intensif. Pada sisi lain, semakin kecil nilainya, maka semakin
sedikit ion yang terlarut. Tinggi atau rendahnya TDS mengindikasikan pola sistem
input-output air tanah. Semakin jauh kawasan imbuhannya atau adanya suhu air
yang panas, maka akan semakin besar nilai TDS nya.
Rata-rata TDS adalah 184,6 ppm dengan kisaran nilai yang sering muncul adalah
50 hingga 200 ppm (Gambar 36), sebagai indikasi jenis air meteorik. Hanya
sedikit mata air yang memiliki nilai TDS lebih dari 200 ppm. Sebagai
pembanding, mata air Ciuyah memiliki nilai TDS mendekati 12.000 ppm. Nilai
TDS yang tinggi menjadi indikasi waktu kontak antara air tanah dengan akuifer
yang relatif lama. Sebaliknya, nilai TDS yang rendah dapat diinterpretasikan
bahwa waktu kontaknya relatif singkat.

63

00
30

Klw

0
60

00
90

LhB

0
0
0
0
00 500 800 100
2
1
1
12

600
450

Frequency
Frekuensi

300
150
Lv

600

PxB

Klw
Mean 9800
StDev 4919
N
5
LhB
Mean 185.2
StDev 292.4
N
67
Lv
Mean 84.20
StDev 37.14
N
52

450
300
150

PxB
Mean 73.16
StDev 36.94
N
16

0
0

00
30

00
60

00
00
00
00
00
90 120 150 180 210

TDS (ppm)

TDS

Gambar 36 Histogram nilai Total Padatan Terlarut (TDS) pada sistem akuifer
endapan gunung api lahar (LhB), piroklastik (PxB), dan lava (Lv),
serta batuan sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) sebagai pembanding.

Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa air tanah di lahar, dan piroklastik. Bila
dikaitkan dengan elevasi mata air, maka semakin rendah elevasi mata air akan
semakin besar pula TDS nya.
IV.1.3 pH
Pengukuran pH merupakan bagian penting dalam menggali informasi mengenai
air tanah. Umumnya nilai pH bervariasi dari 6 hingga 8,5. Namun pH lebih kecil
dari 6 sangat umum dijumpai pada air hipertermal (air panas). Nilai pH lebih
besar dari 9 adalah anomali, namun menurut Hem (1980), air dengan pH 11,6 dan
12,0 dijumpai di AS sebagai hasil reaksi antara air meteorik dengan batuan
ultrabasa, misalnya serpentinit.
Hasil pengukuran pH di daerah penelitian menghasilkan kisaran 6-9 dengan ratarata 7,1 (Gambar 37). Nilai yang sering muncul adalah 7 sampai 7.2. Pada gambar
tersebut terlihat bahwa air tanah pada Formasi Kaliwangu memiliki pH paling
rendah, yaitu 6,7. Air tanah pada

lahar dan lava memiliki pH menengah.

Piroklastik memiliki pH tertinggi, sebesar 7,3.

64

6.0
Klw

6.6

7.2

7.8

8.4

9.0

LhB

16
12

Frequency
Frekuensi

8
4
Lv

16

PxB

LhB
Mean
7.264
StDev 0.6590
N
67
Lv
Mean
StDev
N

12
8

7.065
0.4350
52

PxB
Mean
7.301
StDev 0.6075
N
16

4
0

Klw
Mean
7.04
StDev 0.2302
N
5

6.0

6.6

7.2

7.8

8.4

9.0

pH

Gambar 37 Histogram pH pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar


(LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm.
Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.2 Sifat Kimia


IV.2.1 Kalsium (Ca2+)
Kalsium (Ca) merupakan unsur penyusun penting pada mineral batuan beku,
khususnya silikat piroksen dan ampfibol, serta felspar. Contoh mineral yang
umum dijumpai adalah anortit (CaAl2Si2O8). Reaksi antara anortit dengan air akan
menghasilkan aluminium silikat dan ion kalsium bebas, sebagaimana reaksi
berikut ini:
CaAl2Si2O8 + H2O + 2H+ = Al2Si2O5(OH)4 + Ca2+
Pada batuan sedimen umumnya kalsium hadir sebagai karbonat dalam bentuk
kalsit dan aragonit, keduanya memiliki rumus kimia CaCO3, serta dolomite
dengan rumus kimia CaMg(CO3)2. Mineral kalsium lainnya adalah gipsum
(CaSO4.2H2O) dan fluorit (CaF2). Ca adalah juga komponen penyusun zeolit dan
montmorilonit. Pada batupasir dan batuan detritus lainnya, Ca hadir sebagai
semen kalsit. Tabel 6 berikut ini memperlihatkan perbandingan kandungan
kalsium pada batuan dan air tanah.

65

No
1
2

Tabel 6 Perbandingan Komposisi Ca pada Batuan dan Air Tanah


Contoh
Unsur
Rata-rata
Kisaran
Contoh batuan
CaO (%)
7,2
6,8-7,9
(5 contoh)
Contoh air tanah
Ca2+ (meq/L)
0,96
0,2-1,8
(140 contoh)

Kandungan kalsium dalam air tanah rata-rata adalah 0,96 meq/L, dengan kisaran
dari 0,2 hingga 1,8 meq/L, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 38. Plot
interval of kalsium berdasarkan jenis batuan memperlihatkan Formasi Kaliwangu
has the moderate kalsium, 1,2 meq/L, lahar antara 1 1,8 meq/L, lava kisarannya
0,3 hingga 0,82 meq/L, dan piroklastik berkisar antara 0,46 1,58 meq/L.
-0.0
Klw

0.6

1.2

1.8

2.4

3.0

LhB
20
15

Frequency
Frekuensi

10
5
Lv

PxB

20

LhB
Mean
1.134
StDev 0.5876
N
67
Lv
Mean
StDev
N

15
10

0.9126
0.3564
52

PxB
Mean
1.076
StDev 0.3773
N
16

5
0

Klw
Mean
1.968
StDev 0.5442
N
5

-0.0

0.6

1.2

1.8

2.4

3.0

Ca Ca2+ (meq/L)

Gambar 38 Histogram Konsentrasi Ca2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

Secara umum, unsur Ca dari air hangat sampai dengan air panas memiliki
konsentrasi lebih besar dari 1,2 ppm. Ca diduga banyak berasal dari batuan
sedimen Formasi Kaliwangu.

66

IV.2.2 Magnesium (Mg2+)


Magnesium (Mg) adalah logam alkali tanah yang merupakan penyusun utama
mineal ferromagnesian, termasuk didalamnya adalah: olivin, piroksen, amfibole,
dan mika. Unsur ini pada batuan sedimen juga hadir dalam bentuk dolomite.
Contoh reaksi alterasi olivin magnesium menjadi serpentinit adalah sebagai
berikut:
5Mg2SiO4 + 8H+ + 2H2O = Mg6(OH)8Si4O10 + 4Mg2+ + H4SiO4
Tabel 7 berikut ini menggambarkan komparasi kandungan magnesium pada air
tanah dan batuan.

No
1
2

Tabel 7 Perbandingan Komposisi Mg pada Batuan dan Air Tanah


Contoh
Unsur
Rata-rata
Kisaran
Contoh batuan
MgO (%)
3.7
3.4 - 4.2
(5 contoh)
Contoh air tanah
Mg2+ (meq/L)
0.66
0.1-3
(140 contoh)

Komposisi magnesium pada contoh air tanah di daerah kajian berkisar dari 0,1
hingga lebih dari 3 meq/L dengan rata-rata 0,66 meq/L (Gambar 39). Beberapa
mata air mengandung magnesium lebih dari 1,8 meq/L. Kandungan magnesium
pada air tanah yang bersirkulasi pada lahar 0,65 0,98 meq/L, pada lava dari
0,44 hingga 0,55 meq/L, sementara pada piroklastik dari 0,38 sampai 0,77 meq/L.
Data-data tersebut memiliki komunalitas 95%. Mata air mata air dengan
kandungan magnesium lebih dari 1,8 meq/L ditetapkan sebagai anomali.
Seluruhnya muncul pada batuan lahar.
Secara alamiah pada suhu normal, kandungan magnesium dominan berasal dari
batuan gunung api yang berkomposisi dari basaltik hingga andesitik. Namun pada
kondisi suhu hangat sampai dengan panas, kandungan magnesium dapat berasal
dari pertukaran ion dengan ion kalsium yang berasal dari batuan sedimen.

67

-0.6 0.0 0.6 1.2 1.8 2.4 3.0


Klw

LhB

20
15

Frequency
Frekuensi

10
5
Lv

20

PxB

LhB
Mean 0.7938
StDev 0.6766
N
67
Mean
StDev
N

15
10

Lv
0.4885
0.2132
52

PxB
Mean 0.5718
StDev 0.3593
N
16

5
0

Klw
Mean
0.92
StDev 0.2049
N
5

-0.6 0.0 0.6 1.2 1.8 2.4 3.0

2+

MgMg

(meq/L)

Gambar 39 Histogram Komposisi Mg2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

IV.2.3 Natrium (Na+)


Natrium (Na) merupakan anggota grup alkali tanah yang terdapat paling banyak
di alam. Dalam batuan beku, natrium sedikit lebih banyak dibanding kalium,
sebaliknya pada batuan sedimen kandungan natriumnya sedikit. Menurut Hem
(1980), kandungan natrium pada batuan beku muncul dari beberapa sumber
berikut ini:

mineral albit dengan rumus NaAlSi3O8

pertukaran kation kalium oleh natrium pada mineral ortoklas dan


mikroklin

formasi mengandung evaporit (NaSO4)

material semen pada batuan sedimen

Tabel berikut ini memperlihatkan perbandingan antara komposisi natrium pada air
tanah dan batuan. Rata-rata kandungan natrium pada batuan dalam bentuk Na2O
adalah 3,2%, sedangkan natrium yang larut dalam air tanah rata-ratanya 0,62
meq/L dengan kisaran antara 0,04 hingga lebih dari 4,5 meq/L (lihat juga Gambar
40).
68

Tabel 8 Perbandingan komposisi Na pada batuan dan air tanah


No
Contoh
Unsur
Rata-rata
1
Contoh batuan (5 contoh)
Na2O (%)
3,2
2
Contoh air tanah
Na2+ (meq/L)
0,62
(140 contoh)

Kisaran
3-3,7
0,04-4,64

-0.75 0.00 0.75 1.50 2.25 3.00 3.75 4.50

Klw

LhB
40
30

Frequency
Frekuensi

20
10
Lv

PxB

LhB
Mean 0.6185
StDev 0.6155
N
67
Lv
Mean
StDev
N

40
30

0.4524
0.1162
52

PxB
Mean 0.5099
StDev 0.4272
N
16

20
10
0

Klw
Mean
2.696
StDev 0.3988
N
5

-0.75 0.00 0.75 1.50 2.25 3.00 3.75 4.50

Na

Na+ (meq/L)

Gambar 40 Histogram Komposisi Na+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

Plot interval konsentrasi natrium terhadap 95% komunal contoh memperlihatkan


rata-rata natrium di Formasi Kaliwangu adalah 2,3 meq/L. Rata-rata ini lebih
tinggi dari yang ada dalam lahar sebesar 0,7 meq/L, lava sebesar 0,45 meq/L, dan
piroklastik sebesar 0,5 meq/L.
IV.2.4 Kalium (K+)
Keterdapatan kalium pada batuan beku lebih sedikit dari natrium namun lebih
tinggi pada batuan sedimen. Kalium lebih sulit untuk dipisahkan dari ikatan
silikatnya dibandingkan dengan natrium. Kalium juga cenderung untuk berikatan
dengan produk pelapukan, khususnya pada beberapa jenis mineral lempung (Hem,
1980). Menurut peneliti tersebut, kalium dalam air tanah dapat berasal dari:

69

batuan kaya silikat, dalam bentuk mineral felspar ortoklas dan mikroklin
(KAlSi3O8), mineral mika dan leusit felspatoid (KAlSi2O6).

mineral felspar dan partikel mika yang menjadi semen atau mineral illit
serta mineral lempung lainnya.

batuan evaporit, yang dapat mengandung lapisan garam kalium.

Menurut Hem (1980), dalam air meteorik konsentrasi kalium umumnya atau
1/10 konsentrasi natrium. Atau dalam bentuk lain, rasio Na/K adalah 2 hingga 10.
Konsentrasi kalium lebih dari belasan mg/L umumnya ada pada air hipertermal.
Tabel berikut ini memperlihatkan perbandingan komposisi natrium pada air tanah
dan batuan.

No
1
2

Tabel 9 Perbandingan Komposisi K pada Batuan dan Air Tanah


Contoh
Unsur
Rata-rata
Kisaran
Contoh batuan (5 contoh) K2O (%)
0.33
0.02-4.12
+
Contoh air tanah
K (meq/L)
1.1
0.9-1.4
(140 contoh)

Konstrasi kalium rata-rata pada contoh air tanah di daerah studi adalah 0,33
meq/L, dengan kisaran dari 0,02 hingga 3 meq/L (Gambar 41). Jumlah tertinggi
adalah contoh dengan konsentrasi kalium antara 0,2 sampai 0,3 meq/L. Plot
interval kalium memperlihatkan rata-rata pada Formasi Kaliwangu sebesar 2,4
meq/L, lahar sebesar 0,5 meq/L, lava sebesar 0,1 meq/L, dan piroklastik sebesar
0,3 meq/L.

70

-0.8

0.0

Klw

0.8

1.6

2.4

3.2

4.0

LhB
30

Frequency
Frekuensi

20
10
Lv

PxB

LhB
Mean 0.2767
StDev 0.4853
N
67
Mean
StDev
N

30
20

Lv
0.1331
0.1436
52

PxB
Mean 0.2364
StDev 0.3624
N
16

10
0

Klw
Mean
2.99
StDev 0.5941
N
5

-0.8

0.0

0.8

1.6

2.4

3.2

4.0

K+ (meq/L)

Gambar 41 Histogram Komposisi K+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.


Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv).

IV.2.5 Klorida (Cl-)


Klorida terdapat di segala jenis air meteorik dalam konsentrasi rendah.
Konsentrasinya lebih rendah dibanding sulfat atau bikarbonat. Klorida merupakan
unsur golongan halogen yang paling banyak keterdapatannya di alam. Unsur ini
mudah berikatan dengan unsur lainnya, misalnya unsur golongan logam, alkali,
dan alkali tanah. Senyawa bentukannya larut di dalam air. Unsur yang paling
mudah berpasangan dengan klorida adalah natrium.
Beberapa mineral batuan beku yang mengandung klorida antara lain felspatoid
sodalit dengan rumus kimia Na8[Cl2(AlSi4O)6. Klorida dapat hadir sebagai resistat
sebagai pada air konat dan semen pada batuan sedimen. Sedimen halus seperti
lempung dan serpih dapat menyimpan unsur klorida yang terlarut dalam air
konat/air formasi dalam waktu yang lama.
Rata-rata klorida pada contoh yang diuji adalah 0,42 meq/L, dengan kisaran dari
0,1 sampai 5 meq/L (lihat Gambar 42). Jumlah contoh terbanyak memiliki
konsentrasi klorida 0,3 sampai 0,5 meq/L. Plot interval berdasarkan jenis batuan
menunjukkan bahwa Formasi Kaliwangu memiliki rata-rata konsentrasi tertinggi

71

yaitu 3,5 meq/L, lahar sebesar 0,6 meq/L, lava dan piroklastik sebesar masingmasing 0,3 meq/L.
Menurut Hem (1980), kandungan ion klorida yang tinggi pada mata air panas
yang muncul pada batuan gunung api berasal dari reservoir panas bumi. Bila mata
air panas muncul pada batuan sedimen, ion ini berasal dari pelarutan batuan
sedimen yang mengandung NaCl. Umumnya konsentrasi ion Cl yang relatif
tinggi, lebih dari 1000 ppm, berada pada topografi relatif rendah pada suatu tubuh
gunung api. Hal ini karena pada semakin rendah pemunculan mata air, maka
semakin lama waktu sirkulasi air tanah di dalam akuifer serta jarak antara daerah
imbuhan air dengan daerah keluaran (zona mata air) relatif lebih jauh.
0

Klw

LhB

60
45

Frekuensi
Frequency

30
15
Lv

60

PxB

LhB
Mean 0.2799
StDev 0.2456
N
67
Lv
Mean
StDev
N

45
30

0.2072
0.08773
52

PxB
Mean 0.2396
StDev 0.1461
N
16

15
0

Klw
Mean
4.46
StDev 0.5595
N
5

Cl

Cl- (meq/L)

Gambar 42 Histogram Komposisi Cl- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.
Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv).

IV.2.6 Sulfat (SO42-)


Unsur sulfur terdapat pada batuan beku dan sedimen dalam bentuk mineral
sulfida. Bila mineral ini mengalami pelapukan dan kontak dengan air, sulfur akan
teroksidasi menjadi ions sulfat yang kemudian larut di dalam air. Konsentrasi
sulfur terbentuk sebagai hasil oksidasi gas H2S dengan reaksi
H2S + O2 -> SO4 + H2

72

Kandungan SO4 yang tinggi terdapat pada air panas sebagaimana disajikan dalam
lampiran 1.
Rata-rata sulfat dalam contoh yang diuji adalah 0,28 meq/L, dengan kisaran dari
0,1 sampai 1,2 meq/L (Gambar 43). Contoh air tanah pada lahar sebesar 0,35
meq/L, lava sebesar 0,2 meq/L, dan

piroklastik sebesar 0,3 meq/L. Sebagai

pembanding Formasi Kaliwangu memiliki rata-rata kandungan sulfat tertinggi,


yakni 1,2 meq/L.
-0.8

0.0

Klw

0.8

1.6

2.4

3.2

4.0

LhB
40
30

Frequency

Frekuensi

20
10
Lv

PxB

LhB
Mean 0.3509
StDev 0.5370
N
67
Lv
Mean
StDev
N

40
30

0.1916
0.08991
52

PxB
Mean 0.2670
StDev 0.2330
N
16

20
10
0

Klw
Mean
1.286
StDev 0.1999
N
5

-0.8

0.0

0.8

1.6

2.4

3.2

4.0

SO4SO

2-

(meq/L)

Gambar 43 Histogram Komposisi SO42- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.
Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv).

IV.2.7 Bikarbonat (HCO3-)


Tanah pelapukan pada daerah beriklim lembab kandungan kalsium karbonatnya
dapat menurun karena proses pencucian (leaching), mengakibatkan pH air tanah
bebas (tak tertekan) ikut menurun. Mineral dalam tanah dapat mengabsorbsi ion
H+ dalam air tanah.
Secara umum, mata air di daerah studi tergolong bikarbonat (HCO3), yng
sebagian diantaranya adalah air panas dan air hangat. Pada air tersebut
terbentuknya bikarbonat melalui reaksi sebagai berikut:

73

H2O + CO2- -> H2CO3HCO3- + H+ = H2CO3


CO32- + H+ -> HCO3Rata-rata bikarbonat dalam contoh air tanah di daerah studi adalah 1,98 meq/L,
berkisar antara 0,3 dan 6 meq/L (Gambar 44). Plot interval pada Gambar 44
memperlihatkan rata-rata kandungan bikarbonat pada lahar sebesar 2,2 meq/L,
lava sebesar 1,7 meq/L, dan piroklastik sebesar 1,9 meq/L.
-1

Klw

LhB
30

Frequency
Frekuensi

20
10
Lv

PxB

30

LhB
Mean 2.184
StDev 1.022
N
67
Lv
Mean
StDev
N

20

1.646
0.3324
52

PxB
Mean 1.907
StDev 1.236
N
16

10
0

Klw
Mean
2.44
StDev 0.2074
N
5

-1

HCO3
HCO3- (meq/L)

Gambar 44 Histogram Komposisi HCO3- dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.2.8 Fasies Air Tanah


Contoh air tanah umumnya tergolong fasies bikarbonat. Menurut Chebotarev
dalam Freeze dan Cherry (1979), air jenis ini berkorelasi dengan kawasan
imbuhan. Umumnya, mata air pada fasies ini memiliki suhu normal (mesotermal),
dan beberapa memiliki suhu hangat. Plot Piper pada Gambar 45 mengilustrasikan
tiga fasies air, yaitu Tipe A, B, dan C, berdasarkan konsentrasi ion utama. Berikut
ini merupakan deskripsi dari masing-masing fasies:

74

Fasies A: Bikarbonat

Fasies B:
o Sub fasies B1: Kalsium bikarbonat
o Sub fasies B2: Magnesium - bikarbonat

Fasies C: Natrium kalium klorida

Kimia air tanah berubah dari fasies bikarbonat (Fasies A) menjadi tiga sub fasies
dengan proses sebagai berikut (diurutkan dari elevasi tinggi ke rendah):

Menjadi kalsium bikarbonat (Fasies B1) karena kontak dengan batuan


kaya plagioklas.

Menjadi magnesium bikarbonat (Fasies B2) karena kontak dengan


batuan sedimen, diperkirakan adalah dolomit.

Menjadi natrium kalium klorida (Fasies C) karena berinteraksi dengan


batuan sedimen.

75

80
60

pe

Ch
lor
id

lo

40

20
40

20

(HC
O3
)
40

na
te
60

Bic
ar b
o

on
ate
(C O
3)
+
6

80

Do
w

nsl op

35
70
130
9571
104
26
9105
112
65
39
19
111
69 87245 83 38
93
244
34
41
129
13
236
224
223
75
244
48
132
11
243
807
15
47
131
101
85
79
221
84
37
237
18
73
78
77
52
110831
56
29
134
227
239
246
24
49
109
86
240
64
66
10
110
54
32
61
53
241
36
235
128
27
4
63
222
25
242
133
91
43
92
97
98
90
103
102
247
33
46
12
99
60
30
6
58
225
68
42
55
107
45
74
28
50
17
67
57
21
376
94
72
81
100
89
51
238
220
96
23
40
5106
88
14
20882
16
59
226
2262

Na+K

HCO3 +CO 3
%meq/l

20

40

1,2

60

20

80

Ca
rb

e
lop

ns

wn
s

Su
lf

20
80

(M
g)

60

Do

D ow

40

Ma
gn
es
40
ium

)
O4
(S

80

60

80

( K)

mdpl

60

20

CAT I O N S

um

40

te
lfa
Su

60

60

Calcium (Ca)

SO
4

80

ss i
o ta
+P

40

5112
339
58
65
50
88
74
40
87
882
78
57
46
107
245
67
108
332761
63
89
130
32
4103
133
52
27
102
220
24
105
14
28
109
110
66
111
64
17
42
15 9226
70
71
20
12
10
96
68
34
95
16
91
225
99128
60
62
8173 227
18
77
23
47
83
101
75
3779
44
55 49
97
238
30
6972 45 21
36
240
221
23619
84
43
85 8648
134
235
80
98 94
90
29
56
41
93
242
241
239
247243237
244

20

a)
(N

51 246

53
54223
222
132
mapl 76
1131
13
224
104
635
129
11
92
25 26
31

80

84
85 48
56
86
29

40

20

m
diu
So

20

243
130
80 39 71
317 105
95
93
2
244111
75
245
13 83 19
247 223
87
147
224
69
129
11
76
68
221
34
25
54
241 131
132
108
9
98
53
46
41
242
225
52
99
240
66
239
51
55
222
64
134
109
235
10 10144
246
18
237
133
92
100
30
633
60
77
106
57
3
103
24
78
50
238
27
110
90
58
61
128
22 107
59
4937
67
28
42
102
72
74
79
15
32
94
17
91
40
73
63
845
36
236
43
4 12
5220
8882
89
16
23
21
97
20
81
96
14
62 227
226

100

Ca

3570
26
104
65
112

g)
(M

20

59
22
106

iu m
es
gn
Ma
40

ate
(S
O4
)+

60

Mg

+
a)

(C

e(

Cl)

80

lciu
Ca

1,2

Panah
menunjukkan
arah aliran air
tanah

80

Chloride (Cl)

Cl

ANIONS

G. Ciremai

2500
Ion netral
Non dom.ions

2000

Nonnetral-HCO
dom.cat-HCO3
Kation
3

1500
1000

Ca-HCO3

Ca-HCO3

Ca-HCO3
Mg-HCO3

Ca-HCO3

500
km

10

15

20

Na-K-Cl

DEI,2009
30

27

Gambar 45 Plot Piper Contoh Air Tanah dan Rekonstruksi Proses Perubahan Sifat
Kimia Airnya

76

IV.3 Analisis Korelasi


Korelasi adalah ukuran hubungan antara dua atau lebih variabel/parameter, yang
direfleksikan oleh koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi bergerak dari -1,00
ke +1,00, masing-masing menunjukkan korelasi sempurna negatif dan positif.
Nilai koefisien 0,00 menunjukkan tidak ada korelasi sama sekali. Analisis korelasi
digunakan untuk mengekstrak parameter penting dan hubungannya dengan
parameter lainnya, sebagaimana ditampilkan tabel berikut ini.
Berdasarkan tabel tersebut, kita dapat melihat korelasi yang kuat antara elevasi
dan parameter lainnya. Korelasi yang kuat antara TDS dengan ion utama juga
diperlihatkan pada Tabel 10 berikut ini. Masing-masing korelasi akan
dideskripsikan pada sub bab berikut ini.
Tabel 10 Koefisien Korelasi Hasil Analisis
ELV
ELV
1
Q
-0,5
TDS
-0,3
EC
-0,3
pH
0,0
WT
-0,4
AT
-0,8
Na
-0,2
K
-0,2
Ca
-0,2
Mg
-0,2
Cl
-0,2
HCO3 -0,3
SO4
-0,1

Q
1
-0,3
-0,3
0,0
-0,1
0,3
-0,2
-0,3
-0,1
0,1
-0,3
0,0
-0,2

TDS

1
1
0,1
0,5
0,5
0,7
0,9
0,4
0,2
0,9
0,2
0,7

EC

1
0,1
0,5
0,5
0,7
0,9
0,4
0,2
0,9
0,2
0,7

pH

1
0,2
0,1
0,2
0,0
0,0
0,1
0,1
0,1
0,1

WT

AT

Na

Ca Mg

1
0,3
0,4
0,2
0,3
0,4
0,3
0,3

1
0,7
0,3
0,1
0,8
0,4
0,8

1
0,4
0,1
0,9
0,3
0,7

1
0,2
1
0,4 0,1
1
0,5 0,7 0,1
0,4 0,1 0,8

1
0,6
0,3
0,4
0,2
0,1
0,4
0,1
0,3

Cl

HCO3

SO4

1
0,1

Ket: Elv (elevasi), Q (debit), TDS (Total Dissolved Solids), EC (ElectroConductivity) atau DHL, WT (Water temperatur), AT (Air temperatur)
IV.3.1 Temperatur vs Elevasi
Distribusi elevasi dan temperatur memperlihatkan diferensiasi karakter mata air.
Dari gambar berikut ini dapat diketahui gradien temperatur lingkungan Gunung
Ciremai mengikuti persamaan berikut ini:
Elv = 2441 67.98 AT .Persamaan 4
Notasi Elv menunjukkan elevasi dan AT menunjukkan temperatur udara.

77

Garis ini merupakan referensi untuk mengklasifikasikan mata air berdasarkan


karakter termalnya (Gambar 46), menjadi mesotermik, hipotermik, dan
hipertermik sebagai berikut:
1) Mesotermik merupakan kelompok mata air yang memiliki suhu air dalam
kisaran yang sama dengan suhu udara di permukaan. Air tanah jenis ini
telah berhubungan dengan suhu udara di permukaan. Interpretasi lainnya
adalah jenis akifernya adalah akuifer tak tertekan yang tidak dalam.
2) Hipotermik mengandung mata air dengan temperatur air lebih rendah
dibanding temperatur udara. Mata air-mata air ini tidak kontak dengan
suhu permukaan. Aliran sistem ini diperkirakan berada pada sistem akuifer
tertutup, terisolasi dari suhu udara. Hal ini muncul pada akuifer lahar,
yang tersebar pada elevasi rendah.
3) Hipertermik beranggotakan mata air dengan suhu air lebih tinggi
dibanding suhu udara. Panas yang berlebihan diinterpretasikan dari
aktivitas vulkanisme. Panas yang ada diperkirakan telah turun karena
bersentuhan dengan air tanah meteorik.

1500

Elevasi = 2441-68 TudaraAT


WT
Suhu udara
Elv = 2441 - 67.98 A
Suhu air

ELV

1000

Elevasi 500
(mapl)
Hyperthermal

0
Hypothermal
-500
20

30

40

50

60

Temperatur (oC)

Gambar 46 Plot Antara Elevasi dengan Temperatur Udara Diandai Titik Hitam,
dan Temperatur Air Ditandai Titik Merah.
78

IV.3.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids/TDS) dengan Elemen


Utama (Na, K, Cl, SO4)
Total Padatan Terlarut (TDS) memiliki korelasi kuat dengan natrium, kalium,
klorida, dan sulfat. Korelasi TDS Cl lebih kuat dibanding TDS SO4. Gambar
berikut ini memperlihatkan pengelompokkan air tanah berdasarkan relasi antara
TDS dengan ion utama (Gambar 47). Menurut gambar tersebut, dapat dilihat
adanya korelasi positif yang memperlihatkan pola pengelompokkan yang serupa.
Plot air hipertermal terpisah dari air mesotermal. Contoh-contoh air tersebut, baik
yang bersifat mesotermal, hipotermal, dan hipertermal, muncul pada endapan
gunung api (Lampiran 1). Tingginya TDS, Na, Cl, K, dan SO4 pada air panas
dibandingkan unsur tersebut diatas disebabkan oleh tingkat kelarutan unsur-unsur
tersebut lebih tinggi pada air panas dibandingkan pada air dingin. Senyawa SO4
tinggi disebabkan oleh terlarutnya gas H2S dalam air panas.
Na
86

K
29
85

84
56

84

Mata air
panas
48

67
76

65

TDS

TDS (ppm)

Mata air
normal

67
65

38

76

70 64
105
225
130
53
26
92
88
238
68
100
40
43
93
94
221
78
5
54
241
227
10
90
107
87
34
61
21
66
38
49
237
99
111
30
39
33
73
41
37
13
75
98
6
222
223
89
4
109
7
28
57
82
31
63
21
8
52 245
18
16
47
24
3
108
112
25
32
20
79
132
46
17
74
45
242
103
91
224
110
23
60
128
11
129
51
50
22
15
133
12
235
95
36
59
69
42
27
35
247
243
244
240
102
101
104
55
58
83
131
72
71
134
246
239
80
77

236

19
220
226
14
62
449
81
96
97

2
SO4

Cl

2000

8586 562984

Mata air
normal

106

Mata air
normal

67

0,0

76

26
19

84
85

48

65

70
64
225
9253 68
88238
43
40
94
100
78
5444
93
562
226
107
220111
221
49
21
90
66
10
87 7 75
61
99
227
241
41
33
30
1334
14
73
37
237
8
31
17
46
18
82
81
57
197
52
2
89
4
28
6
109
63
222
98
223
79
45
32
25
16
20
3
74
24
108
47
132
112 39
96
245
51
12
50
91
22
60
15
23
103
110
128
133
11
129
242
224
42
36
55
27
72
59
235
236
244
24069
77
83
58
134
102
101
13180
247
243
246
239

38

1,2

500

67

76
65
64
70
53
130
225
92 68 105
88
43
238
40
94
100
78
54
5
93
220
221
107
226
49
21
34
87
90
61
66
241
10
227
99
41
30
33
13
39
44
9
62
14
73
37
75
237
111
8
46
17
31
82
57
81
1
2
52
7 35
89
63
28
6
98
18
4
109
222
223
32
79
25
20
16
74
245
96
97
45
24
3
132
47
108
112
12
50
51
22
15
60
91
69
242
128
110
23
103
133
129
11
224
42
36
55
27
59
72
235
236
95
244
240
58
77
8380
71
247
243
134
131
102
101
104
246
239

1000

Mata air
panas

48
106

2000

4
56
29

86

Mata air
panas

1500

500

LITH
Klw
LhB
Lv
PxB

48

226

29 86

1500

106

Mata air
normal

64
70
225
53 88
26105
92 40
238
19 130
100
43
220
94
93
221
568
78
54
241
90
10
107
87
34
66
21227
61
49
237
99
111
44
62
14
39
73
75
37
30
33
41
13
6
98
223
222
4
109
89
31
81
63
82
28
8
7
1
2
57
52
18
16
96
97
245
47
24
3
108
79
112
20
132
74 959
25
32
46
17
45
242
103
91
110
224
23
128
129
11
60
133
51
22
15
50
12
236
235
36
69
42
59
27
247
243
244
104
240
101
102
83
72
131
71
55
58
134
239
246
8035
77

56

Mata air
panas

106

1000

85

2,4

3,6

4,8 0,0

0,4

105
104

957135

0,8

13019

26
389

1,2

1,6

Gambar 47 Plot TDS dan Na, K, Cl, SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung
Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan
Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

79

IV.3.3 Klorida (Cl) dengan Sulfat (SO4)


Ion klorida dan sulfat juga memiliki kemiripan hasil plot (Gambar 48) seperti
grafik korelasi diatas. Grafik tersebut memperlihatkan pemisahan antara mata air
mesotermal dan hipertermal dengan korelasi bersifat positif. Namun demikian,
konsentrasi kedua ion meningkat pada elevasi yang semakin rendah. Pemunculan
ion klorida dan sulfat secara bersamaan mengindikasikan adanya pencampuran air
tanah yang telah berinteraksi dengan batuan sedimen dengan sumber panas dari
gas-gas SO2 pada pH yang normal.

84

29
56

86

85

Mata air panas

Cl (meq/L)
Cl

48

Menuju
elevasi
semakin rendah

LITH
Klw
LhB
Lv
PxB

38
19

1
76
11265
44 70
807
39
31
108
10
1354
68
83
93
97
131
11
52 47
98
243
66
129 75
109
2
221
1
77
132
101
92
91
17
16
64
220
133
46
25
18
3
50
94
8
28
74
81
6
79
34
106
99
100
51
60
58
55
27
53
14
90
82
36
241
242
96
240
245
73
37
78
103
225
222
49
24
43
61
57
15
236
42
89
40
21
67
87
246
102
223
224
12
45
32
63
33
235
239
244 41
23
20
88
7230
227 111
62
22
238
4247
128
134
69
110
5226
59
237
107

35
105
9571

104

130

0,2

0,4

Menuju elevasi
semakin rendah

0
0,0

26

0,6

0,8
1,0
2SO4
SO (meq/L)

1,2

1,4

1,6

Gambar 48 Plot Antara Ion Cl dan SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api
Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen
Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.3.4 Klorida (Cl) dengan Bikarbonat (HCO3)


Plot antara ion klorida dan bikarbonat memperlihatkan separasi antara kelompok
air tanah yang dominan karakter meteorik dengan air tanah yang dominan
karakter air formasi (Gambar 49). Karakter air tanah meteorik yang dominan
bikarbonat identik dengan karakter air tanah mesotermal, sedangkan karakter air
formasi memiliki kemiripan dengan air hipertermal yang mengandung klorida
80

dominan. Konsentrasi kedua ion meningkat sejalan dengan elevasi yang semakin
rendah. Air tanah mesotermal maupun hipotermal secara umum punya tipe HCO3.
Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh gas CO2 ke dalam air tanah. Air panas
memiliki Cl tinggi pada daerah gunung api pada daerah outflow dalam sistem
panas bumi. Khusus untuk kasus di daerah penelitian, air hipertermal (panas) yang
ada telah bercampur dengan air meteorik.

5
86
85

84
29
56

LITH
Klw
LhB
Lv
PxB

Mata air panas

Cl
Cl (meq/L)

48

2
Menuju
elevasi
semakin rendah
26

1
70

38

19

9
130
105
71
7 95
44
31
398093108
13 1097 68
83 11
527566
131
129
109
243
98
1132
47
77
101218
221
17
92
91
25
64
50
46
16
133
3
51
28
74 58
55
53
60
8627
79
9463
34100
81 67 40 96 14240
99
49
73
37
43
15
61
90
36
78
24
82
103
245
241
242
225
222
32
12
33
45
42
87
89
21
246
236
224
223
41
23
239
235
20
30238 102 5762
88
227
128
134
247
69
572
111 4 244
110
107
237
35104
65
112

76
54
106220

5922

226

0
0

HCOHCO3
3 (meq/L)

Gambar 49 Plot Antara Konsentrasi Ion Cl dan HCO3 Pada Sistem Akuifer
Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

IV.3.5 Kalium (K) dengan Natrium (Na)


Pemisahan juga diperlihatkan pada plot data K dan Na pada mata air antara mata
air mesotermal dan hipertermal. Dalam grafik pada Gambar 50, terlihat ada
perubahan konsentrasi K dan Na pada data sejalan dengan perubahan suhu air dan
elevasi. Semakin rendah elevasi mata air, maka semakin besar konsentrasi K dan
Na.

81

Terdapat perbedaan rasio Na/K bila contoh dikelompokkan berdasarkan batuan


penyusun akifernya. Rasio untuk mata air hipertermal yang dipengaruhi akuifer
endapan gunung api mendekati 45. Sebagai pembanding, contoh yang dipengaruhi
batuan sedimen memiliki rasio berkisar antara 0,6-0,8. Kandungan Na dan K pada
air panas lebih tinggi dibandingkan air dingin. Kondisi demikian disebabkan Na
dan K terlarut pada suhu lebih tinggi, baik itu di lingkungan gunung api maupun
berasosiasi dengan batuan sedimen.
86

29
56

Dominan batuan
gunung api

85

Dominan batuan

LITH
Klw
LhB
Lv
PxB

84

sedimen48
2
44
97
14
96
62
220
81

Mata air panas


226

236batuan gunung api

19 9

245
130
77
105
23890
76
74
71
95
64
83
39
26
8
108
66
18
79
75
21227
17
16
129
109
10
133
1
54
36
49
68
94
92
89
35
13
132
131
2
22
43
59
20
45
12
31
37
27
47
11
15
752
34
82
46
42
100
72
73
88
28
101
91
51
41
50
106
104
24
4
3
23
53
30
65
58
5
63
61
242
87
240
80
221
32
225
78
6
93
98
67
102
33
107
110
128
112
57
40
243
244
237
241
235
239
25
103
134
55
60
99
69
223
224
246
222
70
111
247

38

Na

Gambar 50 Plot Antara Konsentrasi K dan Na pada Sistem Akuifer Endapan


Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.3.6 Klorida (Cl) dengan Natrium (Na)


Differensiasi pada mata air juga terlihat pada korelasi ion Na dan Cl yang
menunjukkan komunalitas antara mata air pada akuifer relatif dangkal dengan
akuifer yang lebih dalam. Dalam grafik, data dari Gunung Ciremai mencakup
mata air mesotermal dan hipertermal (warna hijau) diplot bersama dengan data
pembanding berasal dari air hujan (warna biru) dan dari sumur di kawasan pantai
Indramayu, Semarang, dan Rembang (warna merah) (Gambar 51). Contoh air dari
daerah pantai lebih kaya akan Na dan Cl dibanding contoh dari daerah gunung

82

api. Namun demikian terdapat contoh air dari gunung api yang berkelompok
dengan contoh dari daerah pantai, yaitu mata air hipertermal dari akifer yang lebih
dalam atau setidaknya pernah berinteraksi dengan sedimen yang lebih dalam.
Publikasi oleh Join dkk (1997) menerangkan bahwa pada zona permukaan
(superficial zone) di kawasan imbuhan, akuifer berasosiasi dengan air yang
mengandung klorida alamiah dari atmosfer. Ion klorida pada contoh air berasal
dari gas HCl di daerah gunung api atau berasosiasi dengan air asin (brine water)
dari batuan sedimen. Selama proses perkolasi menuju zona yang lebih dalam,
konsentrasi natrium dan klorida bertambah secara progresif dengan pelaturan
natrium dari batuan gunung api. Kandungan klorida juga akan meningkat sejalan
interaksi air tanah dengan akuifer yang lebih dalam, sesuai dengan teori dari
Chebotarev (1955) op.cit Freeze dan Cherry (1979). Air hipertermal yang telah
bersirkulasi pada akuifer dalam dengan suhu tinggi yang mengkatalis proses
pengayaan mineral di dalam akuifer. Air jenis ini akan memiliki karakter yang
mirip dengan air tanah dari daerah pantai, yaitu mengandung klorida tinggi
dengan konsentrasi lebih dari 12.000 ppm.
9,00

y = 0,491x + 2,227
R = 0,954

8,00
7,00

Cl (meq/L)

6,00

Garis air laut/asin

5,00
4,00
3,00
2,00

y = 0,133x + 0,015
R = 0,855

Garis air hujan

1,00
0,00
0,00

2,00

Na-Cl air
tanah di
Na-Cl Coastal
pantai

4,00
Mata
Spring
air

6,00

8,00
Na (meq/L)

Na-Cl
Na-Cl
rain air
waters
hujan

10,00

Linear (Na-Cl Coastal)

12,00

14,00

Linear (Na-Cl rain waters)

Gambar 51 Plot Antara Komposisi Na dan Cl pada Contoh Air Dari Daerah Studi
Pada Diagram Join dkk (1977)

83

Pada grafik di atas, merujuk pada contoh analisis oleh Join dkk (1997) didapatkan
garis air hujan (rain water line) dan garis air asin/pantai (coastal/saline water
line) dengan persamaan sebagai berikut:
Cl =. 0.133 Na + 0.015 ; R2 = 0.86 (garis air hujan) Persamaan 5
Cl =. 0.491 Na + 2.227; R2 = 0.95 (garis air laut/asin) ... Persamaan 6
IV.4 Analisis Multivariabel
IV.4.1 Analisis Klaster
Hasil akhir dari analisis klaster adalah dendogram (diagram cabang/pohon) yang
menggambarkan kedekatan karakter antara 140 contoh air tanah pada Gambar 52
dan Gambar 53. Jauh atau dekatnya karakter contoh mata air digambarkan sebagai
jarak Euclidean (Euclidean distance). Hasil analisis menggunakan piranti lunak
Minitab 15 (trial version) menjumpai dua klaster besar (K1 dan K2). Masingmasing klaster dapat dibagi-bagi kembali menjadi sub klaster sebagai berikut:
Total contoh air tanah
Klaster 1:
Klaster 1a
Klaster 1b
Klaster 2:

140 mata air


134 mata air (kation seimbang- HCO3),
mesotermal/hipotermal
131 mata air (Mg-HCO3), mesotermal/hipotermal
3 mata air (Ca-HCO3), mesotermal/hipotermal
2 mata air (Na-K-Cl), hipertermal

Bila dikaitkan dengan analisis hasil Diagram Piper, Klaster 1 adalah mata air
meso atau hipotermal yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan gunung api.
Klaster 1 dapat dibagi menjadi Klaster 1a yang terdiri dari 131 mata air tergolong
fasies magnesium bikarbonat dan 1b yang terdiri dari tiga mata air tergolong
fasies kalsium bikarbonat. Klaster 2 yang terdiri dari dua mata air (1,4%)
hipertermal yang bersirkulasi pada sistem akuifer batuan gunung api. Klaster ini
dicirikan oleh kandungan klorida dan nilai TDS/DHL yang lebih tinggi
dibandingkan mata air pada Klaster 1.

84

16.59

Sim
ilarity
Kesamaan

Kluster 2 Kelompok
mata air hipertermal
44.39

K2b (4 contoh)
Sistem akifer
batuan sedimen

K2a (2 contoh)
Sistem akifer
batuan gunungapi

Sebagai pembanding

72.20

100.00

56

17

29

84
Observations

85

86

Contoh mata air

Kesamaan

72.20
Kluster 1 Kelompok mata
air mesotermal/hipotermal

K1a
131 contoh

K1b
3 contoh

1
2
7
4
6
28
98
57
8
18
52
109
222
82
89
223
31
16
79
96
97
108
46
25
32
245
74
63
81
3
20
24
112
132
11
51
110
128
129
12
60
242
103
133
22
91
224
23
50
15
45
47
9
13
39
75
41
37
30
33
14
62
73
10
87
34
66
49
227
44
111
237
61
99
38
5
54
220
93
78
221
226
94
21
107
90
241
27
42
36
55
244
72
240
104
134
58
102
131
247
71
83
101
243
59
77
35
235
69
95
236
19
68
43
40
100
238
80
246
239
26
105
130
88
92
53
225
64
70
65
76
67
27
17
48
48
106
106

100.00

Contoh mata air


Observations

Gambar 52 Dendogram Analisis Klaster (Minitabversi 15 trial version)

85

Klaster 1a

Klaster 2

Klaster 1b

Gambar 53 Hasil Analisis Klaster Secara Spasial.


Klaster 1a berada di lereng gunung, sedangkan klaster 1b dan 2
terletak secara berdekatan di bagian kaki gunung.

86

IV.4.2 Analisis Komponen Utama


Analisis Komponen Utama berhasil mengekstrak 2 komponen utama. Berikut ini
adalah bahasan mengenai komponen tersebut berdasarkan plot pada Gambar 54.
Komponen 1 mengakomodasi 44,5% variansi pada data, terdiri dari variabel TDS,
DHL, natrium, kalium, klorida, dan sulfat. Komponen 2 mengakomodasi 16,9%
variansi, terdiri dari variabel magnesium dan bikarbonat (Tabel 11).
Tabel 11 Bobot Faktor (factor loading) pada Analisis Komponen Utama
Variable
DHL/TDS
pH
TEMP AIR
Na
K
Ca
Mg
Cl
HCO3
SO4
Variance
% Var

Factor1
0.853
0.141
0.500
0.844
0.900
0.547
0.290
0.907
0.434
0.735
4.4534
0.445

Factor2
0.256
-0.194
0.029
0.083
0.151
-0.339
-0.797
0.266
-0.842
0.175
1.6934
0.169

Communality
0.793
0.058
0.251
0.719
0.833
0.413
0.718
0.893
0.898
0.571
6.1468
0.615

Gambar 54 memperlihatkan separasi contoh air tanah berbasis kuadran. Kuadran I


didominasi air tanah yang muncul pada elevasi tinggi yang bersirkulasi pada
batuan piroklastik dan lava, serta beberapa mata air dari lahar. Kuadran I tidak
memiliki variabel tertentu yang mendominasi karakteristik kimia dan fisika air
tanah. Kuadran I diisi oleh contoh air tanah hipertermal (panas). Kuadran ini
dikendalikan oleh variabel TDS/DHL, Na, K, Cl, dan SO4. Kuadran II dan III
tidak memiliki parameter yang dominan terhadap contoh mata air yang ada di
dalamnya. Kuadran IV berisi mata air dengan debit besar pada elevasi lebih
rendah. Air tanah dalam kuadran ini bersirkulasi dalam akuifer lahar yang
dipengaruhi oleh dominasi parameter pH, Mg2+, Ca2+, HCO3-. Perubahan sifat
fisik-kimia diatas dapat dijelaskan pada Gambar 55 dan Gambar 56. Khusus untuk
sistem panas bumi, perubahan karakter air tanah dapat dilihat pada Gambar 57.

87

Mata air hipertermal

65

-2

-4

59
22

III
-1

17
48
Sistem
batuan
gunung
api

220

II
226
54

IV

85

29
84

Sistem
batuan
sedimen

56

Ketinggian lebih rendah

9
26

Mata air meso &


Hipotermal
Sistem batuan
gunung api
106

-3

86

38

19

102 6296
100 34
68 14
57 67221
240
40

-1

Mata air
hipertermal:
Salinitas tinggi,
kaya klorida, dan
sirkulasi regional

103 79
73 70
43
90
37
36
111
42
15
49
412
60
55
99
112
245
78
128
110
241
83
23
18
244
2
243
45
23635
237
63
101
24
227
33
20
246
47
239
1242
129
132
71
64
87
28
41
225
69
107
32
16
95 130
82
50
44
94
109
104 97
133
780
31
21
223
224
89
61
91
77
235
11
46
52
222
134
39 93105
131
247
51
30
872
53
25
392
58
74
6698
6238
88
75
10
108
27
81
5 13

Komponen
II
Second
Factor

48
17

II

76

Salinitas rendah,
kaya bikarbonat,
sirkulasi lokal dan
menengah

III

Temp A.,
DHL, Na+,
K+, Cl-,
SO42pH, Mg,
Ca,
HCO3- IV

I
LITH
Klw
Lahar
LhB
Lava
Lv
Piroklastik
PxB

Sedimen

First Factor
Komponen
I

Gambar 54 Plot Komponen Utama antara Komponen 1 dan Komponen 2.


Keterangan: Fm Kaliwangu (Klw) sebagai pembanding, lahar (Lhb),
lava (Lv), piroklastik (Pxb).

Air hujan
Elevasi TDS/EC
tinggi rendah

Infiltrasi
Mata air
Kation netral-bikarbonat
Klaster 1
meso/hipotermal
1a;
131

Akuifer batuan gunung api


1b;

Mata air
Mg-bikarbonat

Aktivitas
panasbumi

3
Mata air
Ca-bikarbonat

Akuifer
Batuan gunung
api

Klaster 2
hipertermal

TDS/EC
tinggi

Mata air
Na-K-klorida

Gambar 55 Alur Proses Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah Secara
Skematik di Gunung Ciremai. Warna merah mengindikasikan
kelompok air tanah hipertermal.

88

Model hidrogeologi regional


(2): Sistem aliran air tanah
regional dengan jarak
tempuh pengaliran air tanah
relatif lebih panjang serta
Morphology: Gradual angle from
10 to 42with normal fault
dipengaruhi
interaksi
denganpyroclastic fall
Endapans: pyroclastic fall at higher than 2000 masl, lava 1250
- 2000 masl dan pyroklastic
flow at 500- 1250 masl. The
sumber
panas.

pyroclastic fall

oo

Volcanic deposits sit on tertiary sediments

Lava flow

10

35
20

oo

Deposits: pyroclastic fall at higher than 2000mdpl, lava 1250


- 2000 mdpl dan piroklastik aliranat 750 - 1250 mdpl. The
vulkanikendapans sit on tertiary sedimentary batuans

+
+ +
+ +
+ +
++
++
?

1
48

Piroklastik flow

Sistem hidrogeologi lokal


(1): Sistem aliran lokal
dengan jarak tempuh
pengaliran air tanah yang
relatif pendek, tanpa
dipengaruhi
sumber
panas.
Morphology: Gradual angle
from 10 to 42with normal
fault

Sequence of Lahar deposits

33

10

Aliran panas
(perkiraan)

B
W

T
E

Gambar 56 Skema Model Hidrogeologi berdasarkan Sifat Fisik dan Kimia Air
(perched)
acid condensates
fumaroles & steaming ground

seepage

Cl and HCO 3 hot springs


(hydrothermal eruption crater)

Cl water hot springs


(silica sinter)

PRESSURE
20C
100C

(altered)

sinter
100C
neutral pH
chloride water

100C
~ 150C

250C

200C

mixing

0
-1

300C

~ 150C ?

-2

D
e
p
th(k
m
)

warm springs
(travertine)

HCO3- and SO42acid


waters
hot springs

Reservoir
pressure =
hydrostatic
pressure

cooled pluton
330C ?

volcanic
host rocks
~ 150C ?

-3

Perched watertable

Pressure of
marginal area

Piezometric surface
hot pluton, ~ 700C ?

Inferred zone of
mineral deposition

Gambar 57 Skema Sistem Panas Bumi (Ellis dan Mahon, 1978)

IV.5 Analisis Individu Mata Air


Analisis Komponen Utama (AKU) memperlihatkan adanya mata air yang bersifat
anomali nomor 26 dan 226. Mata air no 26 (Mata Air Cibewok) terletak pada
elevasi 570 mapl sedangkan mata air no 226 (Mata Air Rajawangi) pada elevasi
150 mapl. Kedua mata air tersebut muncul pada batuan piroklastik, namun pada
plot AKU, contoh mata air tersebut berada pada kelompok mata air yang muncul
dari batuan lahar. Kondisi ini diperkirakan karena terjadinya saling interaksi
antara air tanah pada kedua akuifer tersebut. Air tanah pada akuifer piroklastik
dapat mengalir dan bercampur dengan air tanah pada akuifer lahar. Interaksi air
tanah pada akuifer yang berbeda juga menjadi ciri pada Model Hidrogeologi
Aliran Regional. Gambar skematik yang disarikan untuk kedua mata air tersebut
adalah sebagai berikut.

89

26

100 m
226

piroklastik

100 m

lahar

Gambar 58 Skema mata air no 26 (Mata Air Cibewok) dan no 226 (Mata Air
Rajawangi). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis
akuifer.
Mata air nomor 17 (Mata Air Sangkanurip) dan 56 (Mata Air Cigirang)
merupakan mata air hipertermal. Mata air Sangkanurip memiliki suhu 44oC
sedangkan Cigirang bersuhu 42oC. Kedua mata air ini memiliki fasies air tanah
Na-K-Cl. Suhu diperkirakan berasal dari aktivitas panas bumi yang mengalir
melalui kekar dan rekahan, sedangkan komposisi kimia sebagai akibat dari
interaksi dengan batuan sedimen. Sketsa kedua mata air disajikan pada Gambar
59. Mata air nomor 38 (Mata Air Cipanas) dan 65 (Mata Air Cikalamayan)
merupakan mata air dengan suhu 37oC dan 36oC. Nilai TDS untuk kedua mata air
adalah 226 ppm dan 224 ppm. Kedua mata air ini dengan nilai TDS yang tidak
terlalu tinggi, diduga merupakan mata air yang memiliki karakter pencampuran
antara air hipertermal dari akuifer yang ada di bawahnya dengan air meteorik,
sebagaimana karakter Model Hidrogeologi Aliran Regional.
100 m
65

Lava

100 m

38

17

56

Lahar
Lahar
Batuan sedimen

Gambar 59 Skema mata air no 17 (Mata Air Sangkanurip) dan no 56 (Mata Air
Cigirang) dibandingkan dengan no 38 (Mata Air Cipanas) dan no 65
(Mata Air Cikalamayan). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua
jenis akuifer.

90

BAB 5 ANALISIS RESPON DEBIT MATA AIR

Data berurut waktu (time series) diambil dari dua mata air, yakni Cibulan dan
Telaga Remis. Ketiganya dipilih karena mencerminkan sistem hidrogeologi yang
berbeda seperti telah dijelaskan pada bab 4. Cibulan dan Telaga Remis tergolong
Sistem Hidrogeologi 1. Pengukuran yang dilakukan meliputi jumlah curah
hujan/presipitasi yang terdekat dari mata air, debit mata air, nilai TDS, dan DHL.
Tahapan ini dimulai Januari 2006 hingga Desember 2007.
V.1 Mata Air Cibulan
V.1.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan
Curah hujan diukur pada stasiun Susukan pada elevasi 309 mapl. Gambar 60
menayangkan fluktuasi debit mata air dan curah hujan. Beda waktu antara puncak
kedua data tersebut berkisar antara tiga hingga empat bulan mulai awal musim
hujan. Kemudian debit mata air mulai menurun dalam waktu tiga bulan sejak
dimulainya musim kemarau. Mencermati kondisi tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa debit mata air dipengaruhi oleh curah hujan. Respon yang
lambat disebabkan waktu perjalanan (travel time) yang lama dari kawasan
imbuhan hingga muncul di lokasi mata air. Waktu resesi yang pendek
mencerminkan pengurasan dari simpanan (storage) akuifer yang cepat. Akuifer
diduga merupakan kombinasi antara media rekahan dan media pori.

91

Gambar 60 Plot Berurut Waktu Antara Debit Mata Air (sumbu y kanan) dan
presipitasi (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan

Analisis hidrograf Cibulan untuk mengetahui luas kawasan imbuhan sesuai


contoh oleh Pacheo dan Alencoao (2005) dengan persamaan sebagai berikut dan
ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 61.
R=(Qi Qf) t/2,3 ..Persamaan 7
Dari Gambar 61 didapatkan t = 420 hari, Qi = 425 L/det dan Qf = 300 L/det,
sehingga (Qi - Qf ) adalah 125 L/det. Dengan demikian didapatkan R sebesar
kurang lebih 8.283.130.435 m3. Hasil perhitungan R tersebut bila dibagi dengan
curah hujan (CH) dengan memilih CH rata-rata selama 2 tahun (2006 dan 2007),
maka didapatkan luas daerah imbuhan sebesar kurang lebih 3.725 km2.

92

Gambar 61 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Cibulan

V.1.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur


Nilai TDS bertambah tiga kali pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah.
Kondisi yang mirip juga ditunjukkan oleh DHL, yang memperlihatkan
peningkatan nilai DHL 2,5 kali (Gambar 62). Perilaku fluktuasi kedua parameter
tersebut sama dengan rincian sebagai berikut:

Fasa Pengenceran

: Desember 2006 - Juni 2007

Fasa Pemulihan

: Juli - September 2007

Fasa Pelarutan

: Oktober - December 2007, hingga ke tahun 2008.

Kedua parameter meningkat dalam waktu 11 bulan setelah titik curah hujan
terendah. Kemudian menurun dalam waktu tujuh bulan setelah titik curah hujan
tertinggi. Dengan demikian fasa pengenceran lebih cepat dibanding fasa
pelarutan. Respon yang tidak instan tersebut mengindikasikan terdapat kombinasi
antara media pori dan rekahan pada sistem akuifer, sesuai dengan pendapat
Singhal dan Gupta (2005).

93

2 kali

Gambar 62 Plot Berurut Waktu TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan Presipitasi
(sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan

Observasi temperatur air dan udara selama 24 jam telah dilakukan pada tanggal
17 18 Mei 2006. Hasilnya ditampilkan pada Tabel 12 dan Gambar 63. Air
memiliki suhu rata-rata 23,9oC, dengan suhu maksimum 24,9oC dan suhu
minimum 23,0oC. Sementara udara memiliki suhu rata-rata 23,2oC, suhu
maksimum 28,1oC, dan suhu minimum 18,9oC. Pada waktu-waktu tertentu terjadi
perbedaan suhu. Suhu air tanah lebih rendah dibanding suhu udara pada pkl 13.00
dan 10.00-16.00. Sebaliknya suhu air tanah lebih tinggi dibanding suhu udara
pada pkl. 07.00, 22.00-07.00, dan 19.00-22.00.

94

Tabel 12 Pengukuran Suhu Air Tanah dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Cibulan
Spring
Cibulan

Date
Temp/Time
o
Air temp ( C)
o
Water temp ( C)
|Del T|

17/05/2006
18/05/2006
07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00 01.00 04.00 07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00
21
24,3
28,1
25,7
25,3
20,9
18,9
19,1
20,5
26,5
28
24,3
21
21
24,9
24,5
23,4
23,5
23,5
23
24,5
24,9
24,9
24,4
23,4
23,6
23,5
23,1
3,9
0,2
4,7
2,2
1,8
2,1
5,6
5,8
4,4
2,1
4,6
0,7
2,5
2,1

15 jam

T udara (oC)

T air (oC)

Gambar 63 Plot Hasil Pengukuran Suhu Air dan Udara di lokasi Mata Air Cibulan
Selama 24 jam

V.2 Mata Air Telaga Remis


V.2.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan
Mata air Telaga Remis dianalisis dengan menggunakan data stasiun hujan
Mandirancan pada elevasi 293 mapl. Analisis antara debit mata air dan curah
hujan tersebut disampaikan pada Gambar 64.
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa beda waktu (time lag) antara puncak
curah hujan dengan puncak debit mata air adalah 3-5 bulan. Kemudian debit mata
air berkurang disebabkan musim kemarau dengan beda waktu empat bulan sejak
awal musim tersebut. Debit paling rendah dicapai pada waktu tujuh bulan sejak
musim kemarau.
Respon yang lambat disebabkan waktu aliran air tanah yang lama dari kawasan
imbuhan ke kawasan pengurasan. Kedua parameter diatas memperlihatkan relasi
yang cukup dekat, melihat siklus debit yang mendekati siklus curah hujan.
Adanya bentuk-bentuk kemiringan lereng yang berbeda, ada yang landai dan
terjal, mengindikasikan perbedaan sistem akuifer. Lereng yang landai

95

diperkirakan karena mendapat sumbangan imbuhan dari akuifer media pori tanah
pelapukan. Sementara lereng yang terjal dapat terjadi karena air tanah mengalir
pada akuifer media rekahan.
800

450

5 bulan
400

700

350
600

500

7 bulan

3 bulan

300

250
400
200
300
150
200
100

100

50

Precipitation

Q Telaga Remis

Gambar 64 Plot Berurut Waktu Antara Debit (sumbu y kanan) dan Curah Hujan
(sumber y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis

Dari Gambar 65 didapatkan t = 525 hari, Qi = 400 L/det dan Qf = 225 L/det,
sehingga (Qi - Qf ) adalah 125 L/det. Dengan demikian didapatkan R sebesar
kurang lebih 14.495.478.261 m3. Hasil perhitungan R tersebut bila dibagi dengan
curah hujan rata-rata selama 2 tahun (2006 dan 2007), maka didapatkan luas
daerah imbuhan sebesar kurang lebih 6188 km2.

96

Gambar 65 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Telaga Remis

V.2.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur


Nilai TDS mata air Telaga Remis pada musim kemarau adalah dua kali lebih
tinggi dibanding pada musim hujan, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 66.
Kondisi yang mirip juga ditunjukkan oleh DHL, yang memperlihatkan
peningkatan nilai DHL 1,7 kali. Perilaku fluktuasi kedua parameter tersebut relatif
sama dengan membentuk lima fasa:

Fasa Pengenceran

: Januari - April 2006.

Fasa Pemulihan

: Mei 2006.

Fasa Pelarutan

: Juni 2006 Februari 2007.

Fasa Pengenceran

: Maret - Agustus 2007

Fasa pemulihan

: September - Desember 2007.

97

800

250.0

1,7 kali
700

2 kali

200.0

600

500

150.0

400

100.0

300

200
50.0
100

0.0

Precipitation

TDS Telaga Remis

EC Telaga Remis

Gambar 66 Plot Berurut Waktu Antara TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan
Curah Hujan (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis.

Dari uraian diatas dapat dihitung bahwa fasa pelarutan mineral menyebabkan nilai
TDS dan DHL meningkat dalam waktu 6 bulan setelah titik curah hujan terendah.
Kemudian kedua nilai tersebut mulai menurun kembali sejalan dengan proses
pengenceran oleh air hujan, dalam waktu 4 bulan setelah dimulainya musim
hujan. Dengan demikian fasa pengenceran juga lebih cepat dibanding fasa
pelarutan. Dari kondisi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa imbuhan air hujan
berlangsung lebih cepat dibanding lama waktu kontak air tanah di dalam akuifer.
Respon yang tidak cepat tersebut mengindikasikan terdapat kombinasi antara
media pori dan rekahan pada sistem akuifer, sesuai dengan pendapat Singhal dan
Gupta (2005).
Observasi selama 24 jam terhadap suhu air tanah pada mata air dan suhu udara
telah dilakukan pada 20 21 Februari 2006 (Tabel 13). Hasilnya ditampilkan
pada Gambar 67. Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata suhu mata air adalah
26,3oC, maksimum 28,8oC, dan minimum 23,1oC. Data lainnya, suhu udara rata98

ratanya adalah 23,6oC, maksimum 29,0oC dan minimum 19,0oC. Pola umumnya
adalah suhu mata air mengikuti fluktuasi suhu udara, dengan perbedaan yang
tidak sama. Pada siang hari pukul 12.00-13.00, perbedaan suhu sangat kecil
dibandingkan perbedaan suhu pada pukul 01.00 04.00.
Tabel 13 Pengukuran Suhu Air Tanah Dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Telaga Remis
21
19
24 23.1
3
2

19
23.2
3.10

21
27
29
25
22
25.1 27.0 28.3 28.8 27.8
3.3 3.4 3.8 3.8 3.9

23.6 29.0 19.0


26.3 28.8 23.1

2/20/2006

22.00

10.00

07.00

04.00

01.00

22.00

Berimpit
19.00

16.00

13.00

07.00

Berimpit

21
24.5
3.5

19.00

35
30
25
20
15
10
5
0

22
25
29
26
25
25.4 27.2 28.5 28.1 27.5
3.4 2.2
2 2.1 2.5

16.00

T udara ( C)
o
T air ( C)
|Del T|

10.00

Telaga
Remis

Average Max Min


2/20/2006
2/21/2006
07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00 01.00 04.00 07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00

13.00

Tanggal
Mata air T / waktu

2/21/2006

T airRemis
(oC)T udara (oC)
Telaga

o
T udara
Telaga
Remis(T C)
air (oC)

Gambar 67 Plot Berurut Waktu Hasil Pengukuran Temperatur Air Pada Mata Air
dan Temperatur Udara di Mata Air Telaga Remis.

V.3 Pola Tipikal Respon Debit Mata Air


Ketiga mata air sebagai contoh kasus menunjukkan korelasi yang relatif lemah
terhadap curah hujan. Mata air tersebut memiliki time lag yang relatif lama,
walaupun masih dalam skala waktu bulan. Namun demikian, kondisi tidak ada
hujan tidak akan mempengaruhi akuifer secara drastis.
Model hidrograf mata air di kawasan gunung api masih sangat jarang ditemui
sebagai rujukan. Sebagian besar model yang tersedia adalah untuk sistem akuifer
batugamping karst. Dalam riset ini penulis mencoba mengusulkan pola respon
debit mata air pada sistem akuifer endapan gunung api, di Gunung Ciremai.
Model hidrograf disampaikan pada Gambar 68.

99

Pada model di bawah ini disampaikan dua kurva tipe, yakni tipe kurva landai (a)
dan tipe kurva terjal (b). Kurva Tipe a dipengaruhi oleh kombinasi antara sistem
akuifer media pori dan media rekahan, sedangkan kurva Tipe b dikendalikan oleh
sistem akuifer media rekahan yang lebih dominan. Kondisi yang membedakan
antara model a dan b adalah bentuk kurva baseflow recession yang
menggambarkan kemampuan akuifer untuk menyimpan air pada saat musim
kemarau. Model menggambarkan kurva baseflow recession yang sangat singkat,
sementara untuk model a masih terdapat tenggang waktu terjadinya proses
tersebut. Dengan bentuk kurva seperti demikian, maka dapat diharapkan mata air
dengan kurva seperti model b dapat lebih resisten terhadap musim kemarau
dibanding mata air model a. Sebagai pembanding, kedua tipe kurva ini berbeda
bila dibandingkan dengan hidrograf debit mata air karst dengan sistem akuifer
rekahan murni (c) yang menggambarkan sistem imbuhan dan pengurasan yang
cepat.
Birk dkk (2004) menyatakan bahwa titik puncak tunggal pada hidrograf debit atau
DHL menggambarkan adanya proses imbuhan yang terpusat (localized). Imbuhan
yang terpusat salah satunya terjadi pada media rekahan murni, misalnya imbuhan
pada lubang/depresi berjenis dolina, uvala, atau rekahan memanjang yang sampai
ke permukaan. Menurut peneliti tersebut, dengan demikian bila ada hidrograf
dengan peningkatan debit yang gradual hanya bisa terjadi bila imbuhan bersifat
menyebar (difusif) pada area yang relatif luas. Hal ini dapat terjadi pada akuifer
media pori. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Puradimaja dan Santoso
(2005) yang menjelaskan pola respon pisometri (hidrograf) debit mata air Gua
Bribin di Gunung Kidul Jawa Tengah.
Hasil analisis hidrograf untuk menghitung luas daerah imbuhan dapat terdiri dari
3725 km2 untuk Cibulan dengan volume imbuhan 8,2x109 m3, 6188 km2 dan
untuk Telaga Remis dengan volume imbuhan 14,5x109 m3 dengan volume
imbuhan 36,9x106 m3. Ketiganya dengan menggunakan curah hujan rata-rata
selama 2 tahun (2006-2007). Tabel berikut ini menampilkan rangkuman hasil
perhitungan.

100

Model Cibulan

Debit mataair

430
410
390
370
350
330
310

Rising
limb

Rising
limb

Flood
recession

Flood
recession

Baseflow
recession

290
270
250

Hidrograf 1 tahunan
JUL
JAN

PEB

MEI

APR

JUL

SEP

JAN

DES

JUN

PEB

APR

OKT

AGS

MEI

SEP
DES

JUN

OKT

NOP

NOP

MAR

MAR

AGUST

(a)

Debit mata air

Model Telaga Remis


1,4
1,2

Flood
recession
Rising
Base flow limb
recession

Flood
recession

0,8
0,6
0,4
0,2

Hidrograf 1 tahunan
JUL

JAN

PEB

APR

MEI

JUN

AGS

JUL

SEP

DES
OKT

JAN

PEB

APR

MEI

SEP

JUN

DES
OKT

NOP

NOP

MAR

MAR

AGUST

(b)

(c)
Gambar 68 Usulan Model Umum Hidrograf Mata Air Pada Sistem Akuifer
Gunung Ciremai (a) dan (b) dan Perbandingannya dengan model
Umum Hidrograf Sistem Akuifer Media Rekahan Murni (c)

101

Tabel 14 Rangkuman Hasil Perhitungan Luas Kawasan Imbuhan Mata Air


Cibulan
R (m3)
8.283.130.435
8.283.130.435
8.283.130.435
8.283.130.435
8.283.130.435
8.283.130.435

CH (mm)
248,92
195,83
222,38
2350
2987
5337

A (mm2)
3.327.627.524.820.270
4.229.755.622.112.350
3.724.847.862.746.540
352.473.635.522.664
277.306.007.190.579
155.201.994.281.106

A (km2)
3.328
4.230
3.725
352
277
155

CH (mm)
218,25
250,25
234,25
2619
3003
2811

A (mm2)
6.641.685.342.895.560
5.792.398.905.442.380
6.188.037.678.065.980
553.473.778.574.630
482.699.908.786.865
515.669.806.505.499

A (km2)
6.642
5.792
6.188
553
483
516

Telaga Remis
R (m3)
14.495.478.261
14.495.478.261
14.495.478.261
14.495.478.261
14.495.478.261
14.495.478.261

102

BAB 6 KESIMPULAN

VI.1 Model Hidrogeologi


Proses perubahan sifat fisik-kimia air tanah berawal dari fasies ion seimbang
sebagai jenis air yang serupa dengan fasies air hujan. Kemudian air terdiferensiasi
menjadi tiga fasies dari elevasi tinggi ke rendah, yakni fasies bikarbonat,
kemudian berubah menjadi kalsium bikarbonat sebagai hasil kontak dengan
batuan yang kaya plagioklas, dan terakhir berubah menjadi fasies magnesium
bikarbonat yang diduga sebagai produk interaksi dengan batuan sedimen.
Hasil analisis hidrokimia telah mengidentifikasi beberapa faktor yang
mengendalikan variasi kualitas air tanah di lereng Gunung Ciremai. Sistem
akuifer gunung api menerima imbuhan di daerah yang tinggi kemudian air tanah
muncul di bagian kaki gunung dalam bentuk mata air. Berdasarkan bentuk
hidrograf yang menunjukkan kombinasi pola fluktuasi debit mata air yang gradual
dan spontan, maka diperkirakan sistem akuifer yang berperan adalah media pori
dan rekahan. Resume hasil analisis disampaikan pada Tabel 15 berikut ini.
Tabel 15 Resume Analisis Multivariabel
Fasies air tanah
Klasifikasi air tanah
Faktor yang
(Piper Diagram)
(Analisis Klaster)
mempengaruhi
(Analisis Komponen
Utama)
Fasies 1
Bikarbonat: dominan air
meteorik, akuifer tak
Kuadran I, III, IV
tertekan, relatif dangkal.
Debit besar pengaruh media
Klaster 1
Fasies 2
rekahan dari elevasi tinggi ke
Temperatur, TDS, dan DHL
Kalsium atau magnesiumrendah, pengaruh air
normal, dominan air
bikarbonat: dominan air
meteorik, mengalir pada
meteorik, akuifer tak
meteorik, interaksi dengan
akuifer tak tertekan, relatif
tertekan, relatif dangkal.
akuifer gunung api, akuifer
dangkal.
tak tertekan, relatif dangkal.

103

Fasies air tanah


(Piper Diagram)
Fasies 3
Natrium-kalium-klorida:
pencampuran air meteorik
dengan air hipertermal dari
aktivitas vulkanisme.

Klasifikasi air tanah


(Analisis Klaster)
Klaster 2
Temperatur, TDS, dan DHL
meningkat, dominan air
hipertermal yang mengalir
pada akuifer lebih dalam

Faktor yang
mempengaruhi
(Analisis Komponen
Utama)
Kuadran II
Hadirnya pengaruh panas
dari aktivitas volkanisme
pada akuifer yang relatif
lebih dalam, dicirikan
temperatur, TDS, dan DHL
tinggi.

Sejalan dengan interaksi antara air tanah dengan akuifer di bawah permukaan,
terjadi perubahan/evolusi komposisi kimia air tanah. Perubahan fasies hidrokimia
secara berurut adalah:

Fasies bikarbonat,

Fasies magnesium dan kalsium bikarbonat,

Fasies natrium kalium klorida.

Ketiga fasies tersebut menandakan adanya tiga pengaruh dominan, yang dapat
diurutkan dari elevasi tinggi ke rendah sebagai berikut:

pengaruh air meteorik pada air tanah dalam sistem akuifer endapan
gunung api.

pengaruh pencampuran antara air tanah meteorik dengan air tanah


hipertermal pada sistem akuifer endapan gunung api.

Analisis klaster memperlihatkan hasil yang sejalan dengan pembagian fasies


diatas. Analisis tersebut menghasilkan dua kelompok besar contoh air yang
memiliki kemiripan, sebagaimana diagram berikut:
Total contoh air tanah
Klaster 1:
Klaster 1a
Klaster 1b
Klaster 2:

140 mata air


134 mata air (kation seimbang- HCO3),
mesotermal/hipotermal
131 mata air (Mg-HCO3), mesotermal/hipotermal
3 mata air (Ca-HCO3), mesotermal/hipotermal
2 mata air (Na-K-Cl), hipertermal

104

Bila dikaitkan dengan analisis hasil Diagram Piper, Klaster 1 adalah mata air
mesotermal atau hipotermal yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan gunung api.
Lebih rinci lagi, Klaster 1 dapat dibagi menjadi Klaster 1a yang terdiri dari 131
mata air tergolong fasies magnesium bikarbonat dan 1b yang terdiri dari tiga mata
air tergolong fasies kalsium bikarbonat. Klaster 2 yang terdiri dari dua mata air
(1,4%) hipertermal yang bersirkulasi pada sistem akuifer batuan gunung api.
Klaster ini dicirikan oleh kandungan klorida dan nilai TDS/DHL yang lebih tinggi
dibandingkan mata air pada Klaster 1.
Hasil Analisis Komponen Utama menunjukkan perubahan parameter utama dari
Kuadran I yang bersifat netral beranggotakan contoh mata air mesotermal dan
hipotermal pada elevasi tinggi. Parameter utama kemudian berubah ke dalam tiga
zona:

Zona 1 terdiri dari air hipertermal berkomposisi TDS/DHL, Na, K, Cl, dan
SO4 pada Kuadran II.

Zona 2 terdiri dari air mesotermal dan hipotermal berkomposisi dominan pH,
Mg2+, Ca2+, HCO3- pada Kuadran III

Zona 3 terdiri dari air mesotermal dan hipotermal berkomposisi netral pada
Kuadran IV.

Kuadran I adalah air tanah yang telah mengalami pemanasan menjadi air
hipertermal yang mengalir melewati sistem akuifer batuan gunung api. Kuadran
II, III, dan IV merepresentasikan komposisi air tanah di kawasan imbuhan yang
kemudian mengalir ke elevasi lebih rendah. Berikut ini merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi komposisi kimia air tanah:

Komposisi endapan gunung api

Konduktivitas hidrolik endapan gunung api yang tinggi karena adanya


media rekahan

Sumber panas dari proses vulkanisme

105

Hasil dari beberapa analisis sifat fisik-kimia air tanah di atas menghasilkan dua
model hidrogeologi, yaitu Model Hidrogeologi Aliran Lokal dan Model
Hidrogeologi Aliran Regional. Model Hidrogeologi Aliran Lokal berkaitan
dengan air berfasies ion seimbang dan fasies bikarbonat. Air tanah pada sistem ini
masih didominasi oleh air meteorik atau disebut pula sebagai immature water
dalam triangular plot oleh Herdianita dan Priadi (2008). Pada model ini
diperkirakan terjadi interaksi air tanah pada akuifer batuan piroklastik, lava, dan
lahar.
Model Hidrogeologi Aliran Regional terkait dengan fasies natrium-kaliumklorida. Model ini digolongkan sebagai mature waters sebagai hasil interaksi
antara sistem air tanah hipertermal yang bercampur dengan air meteorik. Air jenis
ini ditandai dengan nilai TDS yang lebih tinggi dari air bersuhu mesotermal
dengan batas maksimum 1200 ppm. Aliran air tanahnya berawal dari air tanah
pada akuifer piroklastik, kemudian mengalir melalui akuifer lava, dan lahar.
Selanjutnya air tanah bercampur dengan air panas dari akuifer yang lebih dalam.
Air tanah kemudian muncul pada akuifer lahar.
VI.2 Hal Baru
Kajian hidrogeologi berbasis analisis klaster dan komponen utama telah lama
digunakan dalam publikasi-publikasi dari luar negeri. Namun demikian, metoda
ini belum banyak diaplikasikan untuk menganalisis model hidrogeologi pada
sistem akuifer endapan gunung api di Indonesia. Di Indonesia, baru tercatat
beberapa penelitian yang telah menggunakan metoda ini untuk menganalisis
contoh air tanah secara masal, diantaranya adalah Sunarwan (1999) dan
Notosiswoyo (1989) yang keduanya meneliti sistem akuifer dan pola aliran
airtanah Gunung Tangkubanparahu dengan memanfaatkan karakter sifat fisik,
kimia, dan isotop dalam air tanah.
Hal lainnya adalah analisis hidrograf sifat fisik dan kimia air tanah, meliputi debit,
TDS, dan DHL belum dilakukan secara terinci, walaupun teknik ini banyak
dilakukan di dalam publikasi-publikasi dari benua Eropa dan Amerika. Pencarian
rujukan dengan mesin pencari Google, Yahoo, Cuil, dan Live Search, situs

106

pengindeks Scopus dan Google Scholar, serta jurnal online berbayar


Hydrogeology Journal, Bulletin of Engineering Geology, serta Journal of
Hydrology, baru menghasilkan analisis sejenis pada lingkungan hidrogeologi
batugamping dan batuan kristalin. Publikasi atau penelitian yang menggambarkan
kondisi sifat fisik-kimia air tanah pada sistem akuifer endapan gunung api,
khususnya pada lingkungan iklim tropis yang mengandung tanah pelapukan tebal
dan jenis endapan yang bervariasi, belum banyak dilakukan.
Dari sisi keilmuan, penelitian ini berhasil menggunakan analisis sifat fisik dan
kimia air tanah dengan teknik statistik multivariabel untuk mengidentifikasi
model hidrogeologi dan perilaku air tanah pada sistem akuifer endapan gunung
api. Teknik ini dapat digunakan sebagai pelacak (tracer) untuk memilah karakter
air tanah yang bersifat atmosferik dan yang bersifat geotermik.
Pada sisi aplikasi, penelitian ini berhasil memberikan gambaran proses perubahan
sifat fisik dan kimia air tanah sebagai tambahan justifikasi mengenai tata air
dalam rancangan tata ruang di daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air
tanah di Gunung Ciremai diperkirakan rentan terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi di permukaan, contoh: pembukaan perkebunan, pertanian,
pertambangan, perumahan di kawasan imbuhan akan dapat mempengaruhi
kualitas air tanah.

107

DAFTAR PUSTAKA

American

Public Health

Administration (1999): Standard Method for

Examination Water and Waste Water, www.apha.org, diakses 20


April 2007.
Badan Meteorologi dan Geofisika (2008): Data Klimatologi, Laporan bulanan.
Badrudin, M. (1988): Penyelidikan Geokimia/Pengukuran COSPEC di G.
Galunggung, G. Tangkubanparahu, G. Tampomas dan G. Ciremai,
Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi.
Birk, S., Liedl, R., dan Sauter, M. (2004): Identification of Localised Recharge
and Conduit Flow by Combined Analysis of Hydraulic and PhysicoChemical Spring Responses (Urenbrunnen, SW-Germany), Journal of
Hydrology 286. p. 179-193.
Cas, R.A.F. dan Wright, J.V. (1987): Volcanic Successions, McGraw-Hill.
Chow, V.T. (1964): Handbook of Applied Hydrology, McGraw-Hill Book
Company.
Cloutier, V., Lefebvre, R., Therrien, R., dan Savard, M.M. (2008): Multivariate
Statistical Analysis of Geochemical Data as Indicative of the
Hydrogeochemical Evolution of Groundwater in a Sedimentary Rock
Aquifer System, Journal of Hydrology (2008) 353. p. 294 313.
doi:10.1016/j.jhydrol.2008.02.015.
Davis, J.C. (1986): Statistics and Data Analysis in Geology, John Wiley & Sons
Inc., New York.

108

Desmarais, K. dan Rojstaczer, S. (2002): Inferring Source Waters from


Measurements of Carbonate Spring Response to Storms, Journal of
Hydrology no 260. pp 118-134.
Djuri, M. (1995): Peta Geologi Regional Lembar Arjawinangun, Skala 1:100.000.
Bandung: Puslitbang Geologi.
Domenico, P.A. dan Schwartz, F.W. (1990): Physical and Chemical Properties of
Groundwater, US, McGraw-Hill.
Drever, J.I. (1988): The Geochemistry of Natural Waters, Prentice Hall.
Ellis, A.J. dan Mahon, W.A.J. (1977): Chemistry and Geothermal Systems,
Academic Press.
Effendi, A. (1974): Peta Geologi Lembar Bogor, Skala 1:100.000, Bandung:
Puslitbang Geologi.
Farnham, I.M., Johannesson, K.H., Singh, A.K., Hodge, V.F., dan Stetzenbach,
K.J.

(2003):

Factor

Analytical

Approaches

for

Evaluating

Groundwater Trace Element Chemistry Data, Analytical Chimica


Acta 490, p. 123138.
Freeze, J.A. dan Cherry, A.R. (1979): Groundwater, Prentice Hall.
Galanos, I. dan Rokos, D. (2006): A statistical approach in investigating the
hydrogeological significance of remotely sensed lineaments in the
crystalline mountainous terrain of the island of Naxos, Greece,
Hydrogeology

Journal

(2006)

14.

pp

15691581.

DOI

10.1007/s10040-006-0043-2.
Guller, C., Thyne, G.D., Mcray, J.E., dan Turner, K.A. (2002): Evaluation of
graphical and multivariate statistical methods for classification of
water chemistry data, Hydrogeology Journal (10), 455-474.

109

Hem, J.D. (1980): Hydrochemistry of Natural Waters, USGS Water Supply


Papers.
Herdianita, N.R., dan Priadi, B. (2008): The Chemical Compositions of Thermal
Waters at Ciarinem and Cilayu, Pameungpeuk, West Java
Indonesia. ITB Journal of Science. Vol. 40 A. No. 1.
Husein, H. dan Suparan, H. (1990): Pengukuran Graviti G. Ciremai, Direktorat
Vulkanologi.
Irawan, D.E. (2001): Karakterisasi Sistem Akuifer dan Pola Aliran Air Tanah
pada Gunung Api Strato, Studi Kasus Zona Mata Air Lereng Timur G.
Ciremai, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Tidak
Dipublikasikan.
Irawan, D.E. dan Puradimaja, D.J. (2006): The Hydrogeology of The Volcanic
Spring Belt, East Slope of Gunung Ciremai, West Java, Indonesia,
Intenational Association of Engineering Geologists Congress, Oct
2006.
IWACO-WASECO (1990): West Java Provincial Water Sources Master Plan for
Water Supply, Kabupaten Kuningan, Jakarta: Directorate General
Cipta Karya.
Join, J.L., Coudray, J., dan Longworth, K. (1997): Using Principal Component
Analysis and Na/Cl Ratios to Trace Groundwater Circulation in a
Volcanic Island: The Example of Reunion, Journal of Hydrology 190.
p. 1-18.
Kartokusumo, W.S. dan Somad, A. (1983): Geothermal chemistry investigation
surrounding G.Tampomas and G.Ciremai, West Java, Direktorat
Vulkanologi.
Kim, T., Moon, D.C., Park, W.B., Park, K.H., dan Ko, G.W. (2007):
Classification of springs of Jeju Island using cluster analysis of
annual fluctuations in discharge variables: investigation of the
110

regional groundwater system, Geosciences Journal, v. 11. n. 4, p. 397


413.
Kovacs, A. dan Perrochet, P. (2008): A Quantitative Approach to Spring
Hydrograph Decomposition, Journal of Hydrology. No. 352. pp 1629.
Kusumadinata, K. (ed) (1979): Data Dasar Gunungapi Indonesia, Bandung:
Departemen Pertambangan dan Energi.
Kusumadinata, K. (1977): The Geology of Ciremai, Direktorat Vulkanologi
Lattman, L.H. dan Parizek, R.R. (1964): Relationship between fracture traces and
the occurrence of groundwater in carbonate rocks, Journal of
Hydrology 2. pp 7391.
Le Bas, M.J. dan Streckeisen, A.L., (1991): The IUGS systematics of igneous
rocks, J. Geol. Soc. London 148, 825-833.
Linsley, R.K., Franzini, J.B., Freyberg, D.L., dan Tchobanoglous, G. (1971):
Water resources engineering, McGraw Hill.
Maier, P.J. (1861): Chemistry analysis on two mineral sources at east foot of
G.Ciremai, Direktorat Vulkanologi.
Manga, M. (1999): On the Timescales Characterizing Groundwater Discharge at
Springs. Journal of Hydrology 219. P. 56-69.
Manga, M. (2001): Using Springs to Study Groundwater Flow and Active
Geologic Processes. Annual Review of Earth and Planetary Sciences.
v. 29. p. 201-228. doi:10.1146/annurev.earth.29.1.201.
Marks, P. (1959): Stratigraphic Lexicon of Indonesia. Bandung.
Marpaung, J. (2003): Karakteristik Sistem Airtanah Daerah Gunungapi. Studi
Kasus: Kompleks Gunungapi Tangkuban Perahu, Burangrang, dan

111

Bukit Tunggul, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Tidak


Dipublikasikan.
Matthess, G. (1981): The Properties of Groundwater, McGraw-Hill.
McPhie, J., Doyle, M.G., dan Allen, R.L. (1993): Volcanic Textures: A guide to
the interpretation of textures in volcanic rocks, Hobart: CODES.
University of Tasmania 198.
Melloul, A. dan Collin, M. (1992): The Principal Components Statistical
Method as a Complementary Approach to Geochemical Methods in
Water Quality Factor Identification; Application to the Coastal Plain
Aquifer of Israel. Journal of Hydrology 140, p. 4973.
Memon, B.A. (1995): Quantitative Analysis of Springs. Journal of Environmental
Geology 26. p. 111-120.
Miyazaki, T. (1993): Water Flow in Soils. Marcel Dekker inc.
Notosiswoyo, S. (1989): Thermalwasser im Vulkangebiet Tangkuban Perahu bei
Bandung. Dissertation. Aachen: Rheinisch-Westfalischen Technischen
Hoch schule Aachen.
Pacheo, F.A.L. dan Alencoao, A.M.P. (2005): Role of fratures in weathering of
solid rocks: narrowing the gap between laboratory and field
weathering. Journal of Hydrology 316. p. 248-265.
Piper, A. (1944): Graphical Representation of Chemical Data. USGS.
Puradimaja, D.J. (1991): Differenciation hydrochimique et isotopique des
emergences karstique du Languedoc Roussillon (France). disertasi.
Universite Montpellier. tidak dipublikasikan.
Puradimaja, D.J. (2006): Hidrogeologi Kawasan Karst dan Gunungapi di
Indonesia. Pidato Guru Besar Institut Teknologi Bandung.

112

Puradimaja, D.J., Irawan, D.E., dan Hutasoit, L.M. (2003): Geological Control to
Spring Emergence. Case Study: East Slope of Mt. Ciremai, Buletin
Geologi. Vol 35 No 1. p. 15 23.
Puradimaja, D.J. dan Santoso, D. (2005): Detection of Bribin Underground River
Stream Using Bristow Resistivity Method, The Leading Edge, The
Society of Exploration Geophysics (SEG).
Purbawinata, M.A., Kadarsetia, E., dan Rakimin, R. (1991): Petrokimia G.
Ciremai, Direktorat Vulkanologi.
Pusat Survey Geologi, (2007): Data Geokimia Batuan G. Ciremai, laporan
laboratorium.
Said, H. (1984): Preliminary report of G.Ciremai Magnetic Investigation.
Directorate of Volcanology.
Sander, P. (2007): Lineaments in groundwater exploration: a review of
applications and limitations. Hydrogeology Journal 15. pp 7174.
Schot, P.P. dan van der Wal, J. (1992): Human Impact on Regional Groundwater
Composition through Intervention in Natural Flow Patterns and
Changes in Land Use. Journal of Hydrology 134, p. 297313.
Silitonga, P. dan Masria, M. (1978): Peta Geologi Lembar Cirebon. skala
1:100.000.
Silitonga, P. (1973): Peta Geologi Lembar Bandung (skala 1:100.000). Bandung:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Silitonga, P. (1978): Peta Geologi Regional Lembar Cirebon Skala 1:100.000.
Bandung: Puslitbang Geologi.
Singhal, B.B.S. dan Gupta, R.P. (2005): Applied Hydrogeology of Fractured
Aquifer. Kluwer Publishing.

113

Situmorang, T. (1995): Peta Geologi Gunung Ciremai, Bandung: Direktorat


Vulkanologi Indonesia.
SK.424/Menhut-II/04 October 19th 2004, Penetapan G. Ciremai sebagai Taman
Nasional.
StatSoft Inc. (2004): STATISTICA (Data Analysis Software System) Version 6
user guide, Statsoft.
Steinhorst, R.K. Williams, R.E. (1985): Discrimination of Groundwater Sources
using

Cluster

Analysis,

MANOVA,

Canonical

Analysis

and

Discriminant Analysis, Water Resources Research 21, p. 11491156.


Sudjatmiko (1972): Peta Geologi Lembar Cianjur, Skala 1:100.000, Bandung:
Puslitbang Geologi.
Sunarwan, B. (1999): Penerapan Metoda Hidrokimia Isotop Oksigen 18 (18O),
Deuterium (2H) dan Tritium (3H) dalam Karakterisasi Akuifer
Airtanah pada Sistem Akuifer Bahan Volkanik. Studi Kasus Kawasan
Padalarang Cimahi Lembang, Bandung, Bandung: Tesis Magister,
Institut Teknologi Bandung, Tidak Dipublikasikan.
Suradji, I.(1993): Stratigrafi Gunung Ciremai dan Potensi Bencana Gunung
Ciremai, Jawa Barat, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung,
Tidak Dipublikasikan.
Tabachnick, B.G. dan Fidell, L.S. (2006). Using Multivariate Analysis (4th ed),
Allyn & Bacon, New York.
Tam, V.T., De Smedt, F., Batelaan, O., dan Dassargues, A. (2004): Study on the
Relationship between Lineaments and Borehole Specific Capacity in A
Fractured and Karstified Limestone Area in Vietnam. Hydrogeology
Journal 12. pp 662673.
Thyne, G.G. (2004): Sequential Analysis of Hydrochemical Data for Watershed
Characterization. Ground Water. 42 (5). p. 711. 13.

114

Todd, D.K. (1984): Groundwater Hydrology. John Wiley and Sons.


Uliana, M.M. dan Sharp, J.M. (2001): Tracing Regional Flow Paths to Major
Springs in Trans-Pecos Texas using Geochemical Data and
Geochemical Models, Chemical Geology, 179 (2001), pp. 53-73.
Van Bemmelen, R.W. (1949): The Geology of Indonesia, The Hague: Martinus
Nijhoff, v 1. 732 p.
Walsh, P. (2008): A new method for analyzing the effects of joints and
stratigraphy on spring locations: a case study from the Sacramento
Mountains, south central New Mexico, USA. Hydrogeology Journal.
Zhang, Y.K. dan Bai, E.W. (1996): Simulation of Spring Discharge from a
Limestone Aquifer in Iowa. USA. Journal of Hydrology 4 (4).

Pustaka dari Situs Internet


http://portal.vsi.esdm.go.id/, Situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, diunduh pada 17 April 2008.
Smith, L. I. (2002): A Tutorial on Cluster Analysis, http://www.cs.montana.edu,
Situs Dep. Matematika Universitas Montana, diunduh pada 20 April
2007.
Wulder, M. (2008): Dept. of Natural Resources Canada, A Practical Guide to the
Use

of

Selected

Multivariate

Statistics,

http://www.pfc.cfs.nrcan.gc.ca/profiles/wulder/mvstats/intro_to_ms_e.
html, diunduh pada 8 Maret 2008.

115

BIODATA PENULIS

Penulis lahir di Surabaya 17 April 1976. Pendidikan dasar di SDN Kertajaya XII,
SMPN 12, dan SMAN 2, seluruhnya di Surabaya. Pada tahun 1994, penulis hijrah
ke Kota Bandung dalam rangka menempuh pendidikan sarjana di Program Studi
Teknik Geologi ITB pada tahun 1994. Pendidikan sarjana tersebut diselesaikan
dalam waktu 4 tahun. Pendidikan lanjut diikuti penulis di Program Magister
Teknik Geologi pada tahun 1999 sampai 2001, dilanjutkan dengan pendidikan
doktor di Teknik Geologi ITB mulai tahun 2005 hingga 2008.
Minat penulis di bidang hidrogeologi kawasan gunung api tercermin sejak dari
tugas akhir program sarjana dan magisternya yang mengambil contoh kasus
Kawasan Bandung Selatan dan Gunung Ciremai. Bidang peminatan tersebut terus
dikembangkan oleh penulis dalam bentuk berbagai publikasi pada jurnal nasional,
pertemuan nasional, dan internasional sejak tahun 2000. Upaya untuk dapat
menulis di jurnal internasional telah dimulai sejak tahun 2005. Saat ini sudah ada
2 publikasi, khususnya yang berkait dengan riset S3, yang telah memasuki proses
review ke-2 di Hydrogeology Journal dan ke-3 di Journal of Hydrology.
Pengalaman kerja di ITB, penulis mengawalinya sebagai asisten Laboratorium
Hidrogeologi sejak tahun 1999, Asisten Akademik di Kelompok Keilmuan
Geologi Terapan pada tahun 2005 2007 serta CPNS mulai Desember 2007.
Selain menangani kegiatan kuliah, praktikum, dan penelitian, penulis ikut
berpartisipasi dalam berbagai tugas di tingkat program studi, fakultas, dan pusat.
Penulis menikah pada tahun 2005 dan dikaruniai seorang putra yang bernama
Abraary Raditya Irawan, saat ini berusia dua tahun.

116

Daftar publikasi terkait dengan disertasi (3 tahun terakhir):


1. JURNAL INTERNASIONAL
1. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P.
(2008): The Hydrochemistry Evolution of Volcanic Waters at Ciremai,
West Java, Indonesia, submitted to Hydrogeology Journal (proses revisi
ke-2).
2. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P.
(2008): Hydrogeochemistry of Volcanic Hydrogeology based on Cluster
Analysis of Mount Ciremai, West Java, Indonesia, submitted to Journal of
Hydrology (proses revisi ke-3).
2. PROSIDING INTERNASIONAL
1. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P.
(2008): Hydrogeological Model of Stratovolcano using Physical and
Chemical Parameters of Groundwater at Mt. Ciremais Spring Zone,
dipresentasikan di International Symposium on Efficient Groundwater
Resources Management Bangkok Thailand.
2. Puradimaja, D.J., Irawan, D.E., Brahmantyo, B., Silaen, H. (2007):
Hydrodynamic Relationship between River and Aquifer to Water Quality
at Ciliwung River Banks. an Overview of Integrated Water Management,
International Symposium and Workshop on Current Problems in
Groundwater Management and Related Water Resources Issues, 2-8
December 2007.
3. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J. (2006): The Hydrogeology of The
Volcanic Spring Belt, East Slope of Gunung Ciremai, West Java,
Indonesia, IAEG Congress, Oct 2006.
3. JURNAL NASIONAL TERAKREDITASI
Puradimaja, D.J., Hutasoit, L.M., Silaen, H., Irawan, D.E. (2005): The
Origin of Hyperthermal Groundwater in Fractured Limestone Aquifer,
Parigi Formation in Palimanan, West Java, based on Its Water Chemistry
and Isotopic Composition, Jurnal Teknologi Mineral, Vol XII, No. 1,
2005, pp 59-68.
4. JURNAL NASIONAL BELUM TERAKREDITASI
Irawan, D.E., Puradimaja, D.J. (2006): The Differentiation of
Hyperthermal Groundwater Origin by using Multivariate Statistics On
Water Chemistry, Jurnal Geoaplika, Vol 1, No 2, 2006.

117

5. PROSIDING NASIONAL
1. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S. (2007): Outlining
Hydrogeological System using Multivariate Analysis on Groundwater
Quality at Mt. Ciremai, West Java, Indonesia, Joint Convention Bali, 1316 November 2007.
2. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Bogaard, T. (2006): Spatial Analysis of
Volcanic Hydrogeology at Gunung Ciremai, West Java, Indonesia,
dipresentasikan di Persidangan Bersama Geosains, Universiti Kebangsaan
Malaysia, Des 2006.
3. Puradimaja, D.J., Kombaitan, B., Irawan, D.E. (2006): Hydrogeological
Analysis in Regional Planning of Tigaraksa City, Tangerang, Banten,
Indonesia, dipresentasikan di Persidangan Bersama Geosains, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Des 2006.
6. MAJALAH POPULER
Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P. (2009):
Metoda Pelacakan Hidrokimia Untuk Memetakan Kondisi Hidrogeologi
Gunung Ciremai. Hidrogeologi sebagai Salah Satu Parameter Kendali
Perencanaan Wilayah, Warta Bapeda Edisi Juli 2009.
Daftar Riset terkait dengan disertasi (3 tahun terakhir):
2008-2009
Anggota tim, Aplikasi Tracer Technology Kimia dan Isotop Stabil
untuk Merekonstruksi Hidrodinamika Airtanah pada Sistem Akuifer
Gunungapi. Studi Kasus: Gunung Ciremai, Kabupaten MajalengkaKuningan, Jawa Barat, Competitive Research Grant of Directorate of
Higher Education LPPM ITB
2006 Anggota tim, Characterization Volcanic Hydrogeology. Case Study: Mt.
Ciremai, Mt. Tangkuban Perahu, Mt. Gede, Mt. Karang, Graduate
Research Grant (Hibah Tim Pasca Sarjana) Directorate of Higher
Education LPPM ITB
2005-2006
Anggota tim, Characterization Volcanic Hydrogeology. Case
Study: Mt. Ciremai, Mt. Tangkuban Perahu, Mt. Gede, Mt. Karang,
Research Group Grant LPPM ITB

118

LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIMIA MATA AIR

ID
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50

MATA AIR
Cicurug i
Cicurug ii
Sindangparna
Pereng
Cikamalayan
Leles
Cipari
Cipicung Kubur
Palutungan
Pereng
Talaga Remis
Balong Kagungan Cilimus
Cibulan
Dangdeur
Cicerem
Kebon Balong
Sangkanhurip
Balong Dalem
Balong Kagungan (Kramat Mulya)
Cikajayaan
Citengah
Cicerem
Silinggonom
Situsari
Cibitung
Cibewok
Cibulakan
Cikole
Ciuyah Desa
Cigugur
Ciputri
Cibinuang
Cibulakan
Citambak
Cibuluh
Citengah
Cikupa
Cipanas II
Citiis
Cikabuyutan
Cibulakan
Cipetey
Cihanyir
Citambak Girang
Balong Beunteur
Bandorasa
Puncak Lapang
Liang Panas
Cibayuning
Cibulakan Cilimus

ELEVASI
TDS
EC
Q (L/d) (MAPL)
(PPM)
(MIKROSIEMENS/CM)
19,49
573
88,00
176,00
18,81
573
90,00
180,00
21,00
565
72,00
144,00
28,42
577
91,00
182,00
36,40
137
142,00
284,00
29,69
550
98,00
196,00
17,83
667
89,00
178,00
18,19
554
94,00
188,00
5,53
1165
107,00
214,00
30,55
134
123,00
246,00
25,24
310
62,50
125,00
18,77
560
64,00
128,00
17,00
544
109,00
218,00
11,57
330
111,00
222,00
23,40
332
61,00
122,00
21,65
466
84,00
168,00
32,21
462 1200,00
2400,00
29,54
571
94,00
188,00
20,54
638
172,00
344,00
15,58
408
72,00
144,00
29,78
135
132,50
265,00
13,43
320
63,00
126,00
17,94
568
69,00
138,00
19,93
705
72,50
145,00
16,46
743
83,00
166,00
27,85
570
199,00
398,00
31,56
530
45,00
90,00
20,45
335
97,00
194,00
2,45
278 12000,00
24000,00
9,66
678
107,00
214,00
6,43
815
98,00
196,00
15,81
762
81,00
162,00
19,00
650
108,00
216,00
16,86
658
123,00
246,00
20,00
389
54,00
108,00
27,33
519
41,00
82,00
9,55
770
109,00
218,00
15,85
367
226,00
452,00
25,89
629
110,00
220,00
19,30
361
156,00
312,00
10,33
672
110,00
220,00
20,72
534
45,00
90,00
19,71
517
165,00
330,00
23,00
651
116,50
233,00
14,69
751
77,00
154,00
21,05
453
86,00
172,00
11,06
754
76,00
152,00
3,86
275 1000,00
2000,00
21,41
535
123,00
246,00
20,32
571
69,00
138,00

pH
6,70
6,80
7,60
6,70
7,80
6,80
7,00
6,90
8,10
7,40
7,70
7,00
7,90
7,60
6,85
7,20
6,80
6,70
7,80
6,80
7,40
6,48
7,20
7,10
7,00
7,90
7,35
6,60
7,30
6,90
7,10
7,25
7,00
7,70
7,00
7,00
6,15
9,00
7,90
8,00
7,20
7,10
7,20
6,90
6,90
6,70
7,60
6,70
7,10
7,10

TEMP.AIR TEMP.UDARA
(oC)
(oC)
Na K
Ca Mg Cl HCO3 SO4 BAL
23,70
26,70 0,36 0,15 0,65 0,68 0,27 1,54 0,19 -4,39
23,10
26,12 0,38 0,12 0,73 0,54 0,28 1,36 0,26 -3,32
24,60
27,58 0,48 0,09 0,74 0,68 0,19 1,84 0,12 -3,79
24,10
27,09 0,43 0,09 0,53 0,40 0,10 1,16 0,10 3,44
28,90
31,78 0,44 0,09 0,90 0,76 0,08 2,05 0,06 0,26
25,80
28,75 0,48 0,08 0,82 0,82 0,18 2,06 0,16 -4,15
22,70
25,73 0,55 0,12 0,95 0,70 0,47 1,68 0,33 -3,14
25,00
27,97 0,52 0,18 0,79 0,68 0,18 2,07 0,10 -4,01
18,40
21,53 0,97 1,15 1,01 0,92 0,60 2,80 1,03 -4,47
28,10
31,00 0,77 0,15 1,19 0,66 0,37 2,27 0,24 -1,88
27,10
30,02 0,57 0,11 0,65 0,76 0,30 1,63 0,28 -2,90
23,50
26,51 0,52 0,12 0,51 0,40 0,15 1,22 0,10 2,54
24,70
27,68 0,65 0,13 0,85 0,96 0,37 2,02 0,39 -3,50
27,30
30,22 0,62 1,08 1,21 0,88 0,16 3,48 0,10 0,61
22,80
25,83 0,51 0,12 0,48 0,36 0,16 1,20 0,18 -2,19
25,50
28,46 0,56 0,14 0,81 0,44 0,19 1,81 0,05 -2,53
44,00
27,78 0,57 0,14 0,77 0,48 0,22 0,12 1,70 -2,00
24,70
27,68 0,43 0,14 0,89 0,40 0,19 1,45 0,17 1,21
25,00
27,97 0,87 1,20 1,54 0,56 0,93 2,72 0,92 -4,63
22,60
25,63 0,57 0,13 0,69 0,44 0,11 1,71 0,05 -1,04
28,30
31,19 0,65 0,14 1,15 0,36 0,15 1,86 0,12 3,93
25,00
30,30 0,48 0,13 0,69 3,45 0,11 4,59 0,07 -0,21
23,30
26,31 0,53 0,10 0,69 0,36 0,14 1,38 0,07 2,52
22,10
25,14 0,45 0,10 0,69 0,44 0,16 1,50 0,16 -4,28
23,90
26,90 0,28 0,06 0,98 0,72 0,19 1,83 0,16 -3,30
25,20
28,17 0,77 0,17 1,54 1,45 0,93 2,08 1,03 -1,47
23,10
26,12 0,58 0,11 1,17 0,68 0,18 2,15 0,18 0,91
25,90
28,85 0,52 0,09 0,89 0,52 0,18 1,82 0,13 -2,61
39,40
42,03 2,90 3,20 2,20 0,90 4,80 2,70 1,20 2,79
22,40
25,43 0,25 0,10 1,40 0,36 0,11 2,06 0,15 -4,75
21,50
24,56 0,42 0,11 0,85 0,74 0,41 1,61 0,24 -3,26
23,40
26,41 0,50 0,09 0,77 0,52 0,15 1,68 0,16 -3,00
22,80
25,83 0,32 0,09 0,73 0,48 0,15 1,50 0,12 -4,45
25,40
28,36 0,48 0,10 1,89 0,76 0,18 2,63 0,42 0,12
24,40
27,39 0,50 0,13 0,85 0,85 0,58 1,10 0,79 -2,95
22,40
25,43 0,39 0,12 0,62 0,20 0,16 1,17 0,12 -4,42
23,70
26,70 0,54 0,12 0,67 0,32 0,16 1,20 0,16 4,11
37,00
25,43 4,64 0,06 0,61 0,12 1,20 3,70 1,02 -4,35
24,70
27,68 0,61 0,17 0,85 0,81 0,40 1,65 0,55 -3,27
25,60
28,56 0,71 0,08 1,63 1,27 0,15 3,14 0,11 4,07
23,40
26,41 0,38 0,10 1,52 0,20 0,12 1,69 0,27 2,55
23,10
26,12 0,38 0,10 0,50 0,32 0,15 1,11 0,09 -1,57
25,90
28,85 0,36 0,14 0,60 0,16 0,16 1,10 0,11 -4,56
22,90
25,92 0,50 1,10 1,09 0,56 0,47 2,09 0,44 4,20
24,00
27,00 0,42 0,12 0,95 0,26 0,15 1,59 0,12 -3,02
25,90
28,85 0,42 0,10 1,01 0,70 0,21 1,78 0,15 1,95
23,60
26,61 0,42 0,11 0,93 0,39 0,27 1,50 0,26 -4,85
37,10
39,79 2,28 2,25 1,14 0,60 3,50 2,20 1,15 -4,42
25,90
28,03 0,39 0,13 0,65 0,25 0,16 1,25 0,14 -4,51
23,70
27,50 0,52 0,10 0,65 0,66 0,20 1,71 0,12 -2,53

LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIMIA MATA AIR

ID
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100

MATA AIR
Cibulakan 1
Cibulakan tarik
Cicalung
Cigasong
Cigempur
Cigirang
Cigobang
Cigorowong
Cigugula
Ciguludung
Ciguranteng
Cihiuem
Cijambar
Cijambu
Cikalamayan
Cikamalayan
Cikaracak
Cikidang
Cikuda
Cikuya
Cilegog
Cileles
Cimalaka
Cimampira
Cinyusu
Cipago
Cipanas(Argalingga)
Cipulus
Ciruyug
Cisarai
Citembong
Citimbang
Citutupan
Ciuyah Kasim
Ciuyah Pago
Ciuyah Seugeuh
Ciwetan
Dusun Manis
Gn Herang Tonggoh
Janawi
Jingkang
Kalapa Gunung
Kebon Seureuh
Leles
Leles
MCK
Mencut(Bp. Jamahi)
Mencut(Bp. Suheri)
Pakuan
Paniis

ELEVASI
TDS
EC
Q (L/d) (MAPL)
(PPM)
(MIKROSIEMENS/CM)
11,02
484
63,00
126,00
4,72
925
93,00
186,00
13,07
483
211,00
422,00
31,85
215
143,00
286,00
28,60
413
39,00
78,00
3,06
292 1100,00
2200,00
30,78
355
96,00
192,00
26,87
561
36,00
72,00
14,87
320
42,00
84,00
11,40
486
64,00
128,00
14,30
778
120,00
240,00
12,46
324
112,00
224,00
14,08
649
101,00
202,00
20,00
443
252,00
504,00
1,28
382
224,00
448,00
9,78
652
123,00
246,00
32,00
349
562,00
1124,00
18,44
363
169,00
338,00
10,87
508
55,00
110,00
19,83
371
250,00
500,00
12,20
342
28,00
56,00
11,83
582
39,00
78,00
15,33
330
105,00
210,00
3,20
1139
81,00
162,00
22,09
650
110,00
220,00
23,32
278
475,00
950,00
3,68
1273
23,00
46,00
18,66
712
146,00
292,00
21,66
537
84,00
168,00
9,17
748
16,00
32,00
14,87
320
101,00
202,00
10,00
722
95,00
190,00
11,12
650
30,00
60,00
4,60
242 12000,00
24000,00
3,41
275 12000,00
24000,00
4,53
271 12000,00
24000,00
37,63
135
123,00
246,00
22,24
389
192,00
384,00
5,49
797
95,00
190,00
12,20
517
131,00
262,00
10,47
823
67,00
134,00
15,56
572
186,00
372,00
40,33
111
139,00
278,00
16,63
135
149,50
299,00
14,45
336
51,00
102,00
18,30
330
84,00
168,00
17,83
119
85,00
170,00
32,21
118
97,00
194,00
11,30
511
118,00
236,00
20,85
293
160,50
321,00

pH
6,40
6,92
7,02
6,77
7,20
7,80
7,50
7,15
7,40
7,29
7,40
8,50
6,90
7,70
8,80
6,90
7,90
7,90
6,75
8,00
6,50
6,50
7,40
7,05
7,00
7,80
7,38
7,10
6,40
6,80
7,30
7,10
7,07
7,20
7,00
7,00
7,40
8,40
7,21
6,36
7,37
7,70
8,00
8,40
6,99
7,20
6,99
6,48
6,80
6,90

TEMP.AIR TEMP.UDARA
(oC)
(oC)
Na K
Ca Mg Cl HCO3 SO4 BAL
26,50
29,00 0,35 0,10 0,80 0,90 0,18 1,78 0,10 2,01
22,60
23,40 0,61 0,20 1,00 0,66 0,31 1,93 0,23 0,03
25,00
28,70 0,35 0,10 0,75 0,82 0,18 1,87 0,17 -4,64
27,00
30,50 0,68 0,15 2,80 2,35 0,38 4,70 0,42 4,21
22,60
29,82 0,30 0,06 0,80 0,25 0,18 1,23 0,10 -3,52
42,00
31,60 3,10 3,26 2,10 0,80 1,20 3,50 3,90 3,70
26,00
30,67 0,61 0,08 1,60 1,07 0,17 2,78 0,17 3,64
22,40
27,64 0,52 0,10 0,80 0,74 0,18 1,98 0,16 -3,51
25,00
31,19 0,39 0,13 0,60 3,29 0,08 4,51 0,08 -2,99
24,20
27,30 0,35 0,06 0,61 0,29 0,18 1,12 0,11 -3,88
25,70
24,45 0,52 0,10 0,80 0,58 0,17 1,78 0,16 -2,61
24,00
31,13 0,52 1,08 1,12 0,66 0,11 2,90 0,08 4,39
24,40
26,35 0,48 0,10 0,60 0,49 0,15 1,54 0,14 -4,48
26,70
29,38 0,39 0,20 0,90 0,49 0,20 1,50 0,15 3,90
36,00
30,28 0,52 0,10 0,80 0,74 0,51 1,27 0,52 -3,03
23,90
26,31 0,57 0,18 1,20 0,66 0,28 2,12 0,22 -0,26
29,60
30,76 0,61 0,08 1,50 0,99 0,14 2,92 0,17 -0,91
26,30
30,55 0,48 0,13 2,00 0,82 0,34 2,60 0,21 4,23
25,50
27,50 0,30 0,05 1,40 0,33 0,08 1,76 0,36 -2,74
25,00
30,44 0,44 0,05 0,75 0,41 0,48 0,65 0,48 1,16
24,80
30,86 0,91 0,20 1,20 0,74 0,48 1,67 0,77 2,29
24,30
27,20 0,44 0,10 1,55 0,41 0,11 2,11 0,12 3,11
27,50
31,04 0,44 0,10 0,40 0,25 0,17 0,98 0,13 -3,90
22,60
23,60 0,70 0,20 0,80 0,80 0,19 1,97 0,14 4,29
25,10
26,34 0,48 0,15 1,70 0,58 0,31 2,01 0,36 4,07
26,50
31,80 0,70 0,20 2,89 2,47 0,56 4,90 0,30 4,10
19,60
22,80 0,61 0,23 1,00 0,49 0,25 1,83 0,21 0,92
26,60
25,42 0,48 0,08 0,50 0,49 0,17 1,33 0,16 -3,48
26,30
28,00 0,44 0,15 0,50 0,25 0,18 1,12 0,17 -4,84
22,30
24,89 0,44 0,08 1,84 0,33 0,42 1,75 0,32 3,67
25,10
31,19 0,44 1,05 1,00 0,58 0,18 2,74 0,14 -0,03
23,60
25,28 0,52 0,10 0,70 0,58 0,17 1,76 0,06 -2,43
23,20
26,10 0,52 0,18 0,90 0,41 0,34 1,44 0,37 -3,42
30,20
32,33 3,20 2,60 2,60 1,10 4,90 2,60 1,50 2,70
32,10
31,85 2,80 3,10 2,10 1,10 4,50 2,30 1,50 4,60
32,10
31,91 2,30 3,80 1,80 0,90 4,60 2,40 1,08 4,27
28,70
33,91 0,39 0,08 0,85 0,66 0,14 1,38 0,28 4,52
26,10
30,17 0,48 0,10 0,75 0,66 0,11 1,78 0,06 0,91
23,90
26,00 0,57 0,13 0,75 0,58 0,14 1,82 0,10 -1,07
24,90
27,70 0,35 0,15 0,80 0,16 0,17 1,23 0,11 -1,54
25,00
28,80 0,70 0,10 0,90 0,49 0,23 1,86 0,17 -1,45
24,70
27,48 0,57 0,13 0,70 0,74 0,23 1,70 0,15 1,54
29,90
34,26 0,52 0,08 1,90 0,25 0,34 1,84 0,39 3,39
28,10
33,91 0,42 0,13 1,20 0,25 0,18 1,57 0,10 3,64
24,70
28,10 0,91 0,20 1,15 0,66 0,45 1,80 0,75 -1,29
26,20
31,04 0,57 1,08 1,15 0,74 0,17 3,33 0,16 -1,78
26,00
29,50 0,65 1,10 0,90 0,49 0,32 2,37 0,21 4,05
26,00
29,90 0,57 0,08 1,85 0,33 0,29 2,15 0,19 3,47
25,90
28,38 0,30 0,05 0,80 0,33 0,18 1,32 0,12 -4,28
27,00
31,58 0,44 0,10 0,50 1,64 0,18 2,54 0,14 -3,24

LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIMIA MATA AIR

ID
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
128
129
130
131
132
133
134
220
221
222
223
224
225
226
227
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247

MATA AIR
Panten Kaler
Pasawahan
Pasawahan(Bujangga)
Pasawahan(Tespong)
PDAM Paniis
Rambatan
Rancakesik
Situ Sangiang
Sugih Pamalengan
Talaga Deleg
Tarikolot
Telaga Pancar(dekat Alun2)
Talaga Deleg, Kaduela, Pasawahan, Kuningan
Cicerem, Kaduela, Pasawahan
PDAM Paniis, Pasawahan, Kuningan
Cigimpul, Cingkup, Pasawahan
Telaga Pancar, Pasawahan (dekat Alun2)
Bujangga. Padabeunghar, Pasawahan
Tespong, Padabeunghar, Pasawahan
Rt 5, Rw 1, Blok Sang Raja, Cigasong
Tirta Wening/Balong Gede, Paniis, Maja
Jero Kaso, Sada Sari, Maja
Gn Herang Tonggoh, Sada Ari, Argapura
Jingkang, Sukadana, Argapura
Rt 1/Rw 2,Kerta mukti, Cicalung, Maja
Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Suheri)
Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Jamahi)
Talaga Herang, Lengkong Kulon, Sindangwangi
Leles, Padaherang, Sindangwangi
Cikuda, Padaherang, SindangWangi
Cibulakan, Bantar Agung, Sindangwangi
Citutupan, Teja, Sindangwangi
Cileles, Teja, Rajagaluh
Janawi, Payung, Rajagaluh
Ciguludung, Payung, Rajagaluh
Panten Kaler, Aegalingga, Argapura
Cipanas, Argalingga, Argapura
Cimampira, Tejamulya, Argapura
Cibulakan tarik, Sunia Lama, Banjaran
Stu Sangiang, Sangiang, Talaga

ELEVASI
Q (L/d) (MAPL)
6,93
1270
14,72
360
9,72
448
11,77
387
31,49
347
24,84
295
10,07
149
4,61
998
5,89
866
14,67
204
34,07
145
13,58
373
30,40
204
14,87
320
16,12
347
16,73
360
21,25
373
20,82
448
14,99
387
13,41
185
12,92
542
10,23
687
10,02
797
10,55
823
12,67
483
14,58
150
14,00
119
13,75
303
12,24
395
11,00
508
11,66
484
9,76
650
10,98
582
10,29
517
11,33
486
6,24
1270
5,98
1254
6,54
1139
7,20
925
6,39
998

TDS
EC
(PPM)
(MIKROSIEMENS/CM)
29,00
58,00
34,00
68,00
65,00
130,00
38,00
76,00
199,00
398,00
910,00
1820,00
134,00
268,00
85,00
170,00
93,00
186,00
63,00
126,00
116,00
232,00
73,00
146,00
63,00
126,00
63,00
126,00
199,00
398,00
34,00
68,00
73,00
146,00
65,00
130,00
38,00
76,00
143,00
286,00
146,00
292,00
93,00
186,00
95,00
190,00
67,00
134,00
211,00
422,00
137,30
274,60
124,50
249,00
53,00
106,00
51,00
102,00
115,30
230,60
176,60
353,20
11,10
22,20
39,00
78,00
131,00
262,00
64,00
128,00
29,00
58,00
38,20
76,40
81,00
162,00
16,30
32,60
32,10
64,20

pH
7,72
7,05
6,42
8,28
6,64
8,80
7,60
8,53
6,67
6,65
7,30
6,57
6,65
6,48
6,64
7,05
6,57
6,42
8,28
6,77
6,65
6,76
7,21
7,37
7,02
6,48
6,99
6,57
6,99
6,75
6,40
7,07
6,50
6,36
7,29
7,72
7,38
7,05
6,92
8,53

TEMP.AIR TEMP.UDARA
(oC)
(oC)
Na K
Ca Mg Cl HCO3 SO4 BAL
20,80
23,50 0,55 0,10 0,80 0,41 0,25 1,29 0,21 3,21
25,00
28,30 0,65 0,08 1,50 0,82 0,14 2,60 0,19 2,01
25,00
29,30 0,35 0,06 0,40 0,29 0,17 0,93 0,10 -4,63
25,00
28,70 0,44 0,10 0,85 0,82 0,54 1,24 0,62 -4,17
26,00
30,70 0,87 0,23 1,25 0,82 0,51 2,13 0,79 -3,91
29,00
31,55 0,44 0,10 0,55 2,88 0,18 3,93 0,06 -2,57
27,30
33,70 0,26 0,08 0,75 0,49 0,06 1,56 0,10 -4,27
26,60
24,30 0,65 0,18 0,90 0,74 0,39 1,97 0,25 -2,75
22,70
23,80 0,57 0,15 0,95 0,58 0,28 1,89 0,21 -3,02
26,00
30,90 0,30 0,08 0,80 0,41 0,08 1,39 0,12 -0,27
27,30
33,76 0,22 0,05 0,70 0,33 0,08 0,90 0,22 3,66
25,10
31,10 0,48 0,08 0,80 0,66 0,48 1,21 0,50 -4,22
26,00
30,90 0,33 0,09 0,78 0,35 0,10 1,45 0,12 -4,00
25,00
30,30 0,52 0,15 0,65 0,74 0,28 1,67 0,31 -4,62
26,00
30,70 0,99 0,26 1,15 0,94 0,56 1,78 0,89 1,68
25,00
28,30 0,57 0,13 0,75 0,82 0,31 1,84 0,29 -3,77
25,10
31,10 0,52 0,13 0,60 0,74 0,25 1,66 0,27 -4,69
25,00
29,30 0,44 0,15 0,95 0,58 0,20 1,91 0,17 -3,73
25,00
28,70 0,29 0,06 1,41 0,25 0,10 1,61 0,16 3,59
27,00
30,50 0,44 1,07 2,15 1,19 0,19 4,08 0,18 4,18
25,50
28,20 0,55 0,07 2,72 0,59 0,26 3,04 0,39 3,31
24,40
29,30 0,41 0,04 0,82 0,79 0,16 1,76 0,15 0,03
23,90
26,00 0,35 0,05 0,85 0,74 0,16 1,48 0,24 2,90
25,00
28,80 0,38 0,05 0,80 0,74 0,15 1,47 0,24 2,93
25,00
28,70 0,28 0,08 1,05 0,41 0,17 1,70 0,13 -4,78
26,00
29,90 1,86 1,13 1,48 1,44 0,08 6,28 0,08 -4,27
26,00
29,50 0,89 0,16 0,55 0,40 0,11 1,78 0,17 -1,49
24,70
27,80 0,30 0,07 1,62 0,27 0,12 1,96 0,16 0,22
24,70
28,10 0,26 0,86 0,89 0,29 0,15 1,76 0,28 2,41
25,50
27,50 0,26 0,07 1,45 0,13 0,07 1,54 0,16 3,80
26,50
29,00 0,24 0,19 1,70 0,45 0,10 2,29 0,10 1,80
23,20
26,10 0,32 0,07 1,45 0,15 0,14 1,57 0,16 3,43
24,30
27,20 0,44 0,08 2,69 0,58 0,17 3,61 0,33 -4,18
24,90
27,70 0,28 0,06 1,45 0,15 0,17 1,50 0,14 3,50
24,20
27,30 0,30 0,07 1,40 0,16 0,16 1,57 0,14 1,85
22,32
23,50 0,13 0,06 1,40 0,10 0,28 1,21 0,22 -0,91
22,83
22,80 0,16 0,06 1,45 0,07 0,12 1,29 0,23 3,08
24,02
23,60 0,15 0,38 0,72 0,51 0,16 1,19 0,26 4,30
22,60
23,40 0,38 0,05 0,44 0,68 0,14 1,42 0,15 -4,62
24,67
24,30 0,04 0,02 1,70 0,11 0,10 1,58 0,12 2,15

LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIM

ID
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50

MATA AIR
Cicurug i
Cicurug ii
Sindangparna
Pereng
Cikamalayan
Leles
Cipari
Cipicung Kubur
Palutungan
Pereng
Talaga Remis
Balong Kagungan Cilimus
Cibulan
Dangdeur
Cicerem
Kebon Balong
Sangkanhurip
Balong Dalem
Balong Kagungan (Kramat Mulya)
Cikajayaan
Citengah
Cicerem
Silinggonom
Situsari
Cibitung
Cibewok
Cibulakan
Cikole
Ciuyah Desa
Cigugur
Ciputri
Cibinuang
Cibulakan
Citambak
Cibuluh
Citengah
Cikupa
Cipanas II
Citiis
Cikabuyutan
Cibulakan
Cipetey
Cihanyir
Citambak Girang
Balong Beunteur
Bandorasa
Puncak Lapang
Liang Panas
Cibayuning
Cibulakan Cilimus

TIPE MATA AIR


Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan

JENIS BATUAN HCO3/Cl HCO3/SO4 Na/Cl Na/SO4 Na/Mg K/Cl Na/K Cl/SO4
Lava
5,6
8,1
1,3
1,9
0,5 0,6 2,3
1,4
Lava
4,9
5,2
1,4
1,5
0,7 0,4 3,1
1,1
Lava
9,6
15,5
2,5
4,0
0,7 0,5 5,1
1,6
Lava
12,1
11,2
4,4
4,1
1,1 1,0 4,5
0,9
Lahar
25,6
33,2
5,5
7,2
0,6 1,2 4,7
1,3
Lahar
11,4
12,9
2,7
3,0
0,6 0,4 6,1
1,1
Lava
3,6
5,1
1,2
1,7
0,8 0,3 4,6
1,4
Lava
11,6
20,0
2,9
5,0
0,8 1,0 2,9
1,7
Piroklastik
4,6
2,7
1,6
0,9
1,1 1,9 0,8
0,6
Lahar
6,1
9,6
2,1
3,2
1,2 0,4 5,0
1,6
Lava
5,4
5,7
1,9
2,0
0,8 0,4 5,4
1,1
Lahar
8,1
11,8
3,5
5,0
1,3 0,8 4,5
1,5
Lahar
5,5
5,1
1,8
1,7
0,7 0,4 5,0
0,9
Lahar
21,3
33,7
3,8
6,0
0,7 6,6 0,6
1,6
Lahar
7,3
6,8
3,1
2,9
1,4 0,7 4,2
0,9
Piroklastik
9,4
37,8
2,9
11,7
1,3 0,7 4,1
4,0
Lahar
0,5
0,1
2,6
0,3
1,2 0,6 4,0
0,1
Lahar
7,6
8,5
2,2
2,5
1,1 0,7 3,1
1,1
Lahar
2,9
3,0
0,9
0,9
1,5 1,3 0,7
1,0
Lahar
15,5
35,7
5,1
11,8
1,3 1,2 4,3
2,3
Lahar
12,4
15,7
4,3
5,5
1,8 0,9 4,6
1,3
Lahar
41,7
61,3
4,4
6,4
0,1 1,2 3,7
1,5
Lahar
10,0
18,5
3,8
7,0
1,5 0,7 5,2
1,8
Lava
9,2
9,4
2,7
2,8
1,0 0,6 4,6
1,0
Lava
9,5
11,4
1,5
1,8
0,4 0,3 5,0
1,2
Lahar
2,2
2,0
0,8
0,7
0,5 0,2 4,4
0,9
Piroklastik
12,1
12,2
3,3
3,3
0,9 0,6 5,2
1,0
Lahar
10,2
13,9
2,9
4,0
1,0 0,5 5,7
1,4
Klw
0,6
2,3
0,6
2,4
3,2 0,7 0,9
4,0
Lava
18,7
13,7
2,3
1,7
0,7 0,9 2,5
0,7
Piroklastik
3,9
6,7
1,0
1,8
0,6 0,3 3,8
1,7
Lava
11,2
10,5
3,3
3,1
1,0 0,6 5,7
0,9
Lahar
10,1
12,5
2,2
2,7
0,7 0,6 3,7
1,2
Lava
14,8
6,3
2,7
1,2
0,6 0,6 4,8
0,4
Lahar
1,9
1,4
0,9
0,6
0,6 0,2 3,8
0,7
Lava
7,3
9,8
2,4
3,2
2,0 0,8 3,2
1,3
Piroklastik
7,5
7,5
3,4
3,4
1,7 0,8 4,5
1,0
Lahar
3,1
3,6
3,9
4,6
40,3 0,1 75,5
1,2
Piroklastik
4,1
3,0
1,5
1,1
0,8 0,4 3,5
0,7
Lahar
21,0
29,0
4,8
6,6
0,6 0,5 9,3
1,4
Lava
13,6
6,3
3,1
1,4
1,9 0,8 3,9
0,5
Lahar
7,4
12,4
2,6
4,3
1,2 0,7 3,8
1,7
Lava
7,0
10,0
2,3
3,2
2,3 0,9 2,6
1,4
Lava
4,5
4,8
1,1
1,1
0,9 2,4 0,5
1,1
Lahar
10,6
13,3
2,8
3,5
1,6 0,8 3,6
1,3
Lahar
8,7
11,6
2,0
2,7
0,6 0,5 4,3
1,3
Lava
5,5
5,8
1,5
1,6
1,1 0,4 3,8
1,1
Klw
0,6
1,9
0,7
2,0
3,8 0,6 1,0
3,0
Lava
7,8
8,9
2,4
2,8
1,6 0,8 3,1
1,1
Lava
8,7
13,7
2,6
4,2
0,8 0,5 5,1
1,6

Coord 49 M
220671,001989324
220671,001989324
221330,999366773
220669,995996319
215506,003022591
211683,996470499
219550,523683010
221102,004024830
216298,997622690
234781,744270024
214256,724628374
221397,996851678
222182,003481494
227236,689543235
215122,480558541
212405,309946133
223425,823126787
221019,001356146
220281,996038817
215658,823254928

Coord UTM
9228960,002937900
9228960,002937900
9228783,998763040
9228958,003344910
9226242,995976790
9247206,998814780
9229169,880217990
9228662,003594800
9231664,002546620
9222896,807083840
9248807,752985910
9238418,997586960
9235337,004917630
9224130,046061620
9247791,879763960
9237784,116815100
9238030,486667230
9234418,001978020
9232082,997261460
9246900,281246260

Coord S
-6,968729000
-6,968729000
-6,970352000
-6,968747000
-6,993030000
-6,803397000
-6,966778000
-6,971443000
-6,944080000
-7,024194000
-6,789056000
-6,883282000
-6,911172000
-7,012694000
-6,798278000
-6,888583000
-6,886889000
-6,919421000
-6,940487000
-6,806361000

Coord E
108,471985000
108,471985000
108,477945000
108,471976000
108,425137000
108,391607000
108,461861000
108,475868000
108,432576000
108,599333000
108,414944000
108,479014000
108,485957000
108,531139000
108,422722000
108,397667000
108,497333000
108,475395000
108,468618000
108,427528000

215089,002430700
221333,003106937
212031,138269515
213257,328299703
222230,002541141
220473,002776089
216173,446397440
223985,526300065
218954,002814951
218652,996514771
212866,417559164
219623,590109317
219584,150236049
215072,279858467
218603,001960804
212321,787789259
227286,997439285
218556,998395477
220021,996322321
215830,996483828
220390,000107405
218676,002420357
219522,380616428
212817,651635997
223227,320917050
217344,999463323

9247817,004649860
9238377,995932730
9226491,515391380
9225250,258045720
9232106,002578790
9242306,996196110
9248344,667245670
9221069,888947730
9229045,995434370
9230299,000388850
9225401,807198330
9229296,314482660
9229207,022657750
9247416,586153890
9243447,004150800
9224482,734272960
9212475,998209280
9227902,998088170
9213033,004832190
9226858,000794340
9242311,995178580
9242828,000147270
9229262,021462900
9225343,109146150
9237820,429423770
9229563,000199550

-6,798049000
-6,883649000
-6,990611000
-7,001889000
-6,940373000
-6,848101000
-6,793333000
-7,040194000
-6,967869000
-6,956531000
-7,000500000
-6,965639000
-6,966444000
-6,801667000
-6,837709000
-7,008778000
-7,118020000
-6,978178000
-7,112631000
-6,987488000
-6,848052000
-6,843307000
-6,965944000
-7,001028000
-6,888778000
-6,963118000

108,422421000
108,478424000
108,393722000
108,404750000
108,486236000
108,470835000
108,432250000
108,501583000
108,456460000
108,453799000
108,401222000
108,462528000
108,462167000
108,422250000
108,453981000
108,396250000
108,531035000
108,452814000
108,465333000
108,428107000
108,470085000
108,454612000
108,461611000
108,400778000
108,495528000
108,441933000

217835,998261926

9226646,003945690 -6,989503000

108,446231000

LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIM

ID
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100

MATA AIR
Cibulakan 1
Cibulakan tarik
Cicalung
Cigasong
Cigempur
Cigirang
Cigobang
Cigorowong
Cigugula
Ciguludung
Ciguranteng
Cihiuem
Cijambar
Cijambu
Cikalamayan
Cikamalayan
Cikaracak
Cikidang
Cikuda
Cikuya
Cilegog
Cileles
Cimalaka
Cimampira
Cinyusu
Cipago
Cipanas(Argalingga)
Cipulus
Ciruyug
Cisarai
Citembong
Citimbang
Citutupan
Ciuyah Kasim
Ciuyah Pago
Ciuyah Seugeuh
Ciwetan
Dusun Manis
Gn Herang Tonggoh
Janawi
Jingkang
Kalapa Gunung
Kebon Seureuh
Leles
Leles
MCK
Mencut(Bp. Jamahi)
Mencut(Bp. Suheri)
Pakuan
Paniis

TIPE MATA AIR


Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Kontak
Depresi
Rekahan
Rekahan
Depresi
Kontak
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Kontak
Rekahan
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Depresi
Rekahan
Rekahan
Kontak
Kontak
Depresi
Rekahan

JENIS BATUAN HCO3/Cl HCO3/SO4 Na/Cl Na/SO4 Na/Mg K/Cl Na/K Cl/SO4
Lahar
9,9
17,2
1,9
3,3
0,4 0,6 3,4
1,7
Lava
6,2
8,4
2,0
2,7
0,9 0,7 3,0
1,4
Lahar
10,4
11,0
1,9
2,0
0,4 0,6 3,4
1,1
Lahar
12,4
11,2
1,8
1,6
0,3 0,4 4,4
0,9
Lava
6,8
12,3
1,7
3,0
1,2 0,3 5,4
1,8
Lahar
2,9
0,9
2,6
0,8
3,9 2,7 1,0
0,3
Lahar
16,4
16,7
3,6
3,7
0,6 0,5 7,9
1,0
Lava
11,0
12,4
2,9
3,3
0,7 0,6 5,1
1,1
Lahar
53,3
54,2
4,6
4,7
0,1 1,5 3,1
1,0
Lava
6,2
10,2
1,9
3,2
1,2 0,3 5,9
1,6
Lava
10,5
11,1
3,1
3,3
0,9 0,6 5,1
1,1
Lahar
25,7
34,8
4,6
6,3
0,8 9,6 0,5
1,4
Lava
10,3
11,0
3,2
3,4
1,0 0,7 4,7
1,1
Lahar
7,6
10,3
2,0
2,7
0,8 1,0 1,9
1,4
Lahar
2,5
2,4
1,0
1,0
0,7 0,2 5,1
1,0
Lava
7,6
9,6
2,0
2,6
0,9 0,6 3,2
1,3
Lahar
20,7
17,5
4,3
3,7
0,6 0,5 7,9
0,8
Lahar
7,7
12,5
1,4
2,3
0,6 0,4 3,7
1,6
Lava
20,8
4,9
3,6
0,8
0,9 0,6 5,7
0,2
Lahar
1,4
1,4
0,9
0,9
1,1 0,1 8,5
1,0
Lahar
3,5
2,2
1,9
1,2
1,2 0,4 4,5
0,6
Lava
18,7
16,9
3,9
3,5
1,1 0,9 4,2
0,9
Lahar
5,8
7,5
2,6
3,3
1,8 0,6 4,2
1,3
Lava
10,4
14,1
3,7
5,0
0,9 1,1 3,4
1,4
Lava
6,5
5,6
1,5
1,3
0,8 0,5 3,1
0,9
Lahar
8,7
16,3
1,2
2,3
0,3 0,4 3,4
1,9
Lava
7,3
8,8
2,4
2,9
1,2 0,9 2,6
1,2
Lava
7,9
8,3
2,8
3,0
1,0 0,5 6,2
1,1
Lava
6,2
6,6
2,4
2,6
1,8 0,9 2,8
1,1
Piroklastik
4,1
5,5
1,0
1,4
1,3 0,2 5,7
1,3
Lahar
15,2
19,6
2,4
3,1
0,8 5,8 0,4
1,3
Lava
10,4
28,2
3,1
8,4
0,9 0,6 5,1
2,7
Lava
4,3
3,8
1,5
1,4
1,3 0,5 2,9
0,9
Klw
0,5
1,7
0,7
2,1
2,9 0,5 1,2
3,3
Klw
0,5
1,5
0,6
1,9
2,5 0,7 0,9
3,0
Klw
0,5
2,2
0,5
2,1
2,6 0,8 0,6
4,3
Lahar
9,8
4,9
2,8
1,4
0,6 0,5 5,1
0,5
Lahar
15,7
28,5
4,2
7,7
0,7 0,9 4,7
1,8
Lava
12,9
17,5
4,0
5,4
1,0 0,9 4,4
1,4
Lava
7,3
11,2
2,1
3,2
2,1 0,9 2,3
1,5
Lava
8,3
11,2
3,1
4,2
1,4 0,5 6,8
1,4
Lava
7,5
11,6
2,5
3,9
0,8 0,6 4,4
1,5
Lahar
5,4
4,8
1,5
1,3
2,1 0,2 6,8
0,9
Lahar
8,7
15,1
2,3
4,1
1,7 0,7 3,3
1,7
Lahar
4,0
2,4
2,0
1,2
1,4 0,5 4,5
0,6
Lahar
19,7
20,8
3,3
3,5
0,8 6,4 0,5
1,1
Lahar
7,4
11,4
2,0
3,1
1,3 3,4 0,6
1,5
Lahar
7,4
11,5
2,0
3,0
1,7 0,3 7,4
1,5
Lava
7,3
11,0
1,7
2,5
0,9 0,3 5,7
1,5
Lahar
14,1
18,1
2,4
3,1
0,3 0,6 4,2
1,3

Coord 49 M
210378,003159215
206217,001702271
201716,997094631
196680,996116065
216981,835988839
223314,355803594
217198,998544218
221078,000372084

Coord UTM
9245776,000090420
9230153,999903280
9239993,997000390
9242725,001112420
9245954,443768730
9220829,607856250
9213436,002803120
9226972,997387120

Coord S
-6,816264000
-6,957222000
-6,868078000
-6,843144000
-6,814972000
-7,042333000
-7,108848000
-6,986706000

Coord E
108,379730000
108,341326000
108,301137000
108,255748000
108,439444000
108,495500000
108,439814000
108,475570000

208743,000660521
220324,998116820
218538,997717379
238319,821665473
229151,003525766
227274,001988675
219559,792011999
228218,002735366
220155,999537974
211811,996711505
218494,000145056
225281,863727678
207842,001991833
227352,444705462
207454,002034331
215997,999568354
223340,610571832
208201,999062107
215507,998516911
217347,003203486
212533,384399738

9245602,995305050
9231233,000275880
9212761,000197950
9224586,733104300
9211897,995859980
9212421,999200620
9229151,563946210
9211518,003206380
9212522,998642470
9246162,001520950
9213600,999218580
9225035,581742460
9244852,997964830
9224296,632153500
9233974,002352850
9226369,000328970
9220510,062898700
9236521,003918070
9226447,004451450
9224483,004218010
9222335,301376700

-6,817747000
-6,948171000
-7,115015000
-7,009083000
-7,123333000
-7,118507000
-6,966944000
-7,126722000
-7,117246000
-6,812846000
-7,107422000
-7,004417000
-6,824480000
-7,011194000
-6,922766000
-6,991915000
-7,045222000
-6,899788000
-6,991186000
-7,009025000
-7,028194000

108,364940000
108,468965000
108,451903000
108,631417000
108,547872000
108,530915000
108,461944000
108,539412000
108,466520000
108,392714000
108,451538000
108,513500000
108,356757000
108,532194000
108,352705000
108,429593000
108,495722000
108,359597000
108,425166000
108,441702000
108,398056000

213810,088472083
207469,001225105
224665,470374866
223398,512890479
223843,145306606

9225262,495554810
9243539,995222730
9220827,538277510
9220596,465311740
9221296,512819100

-7,001806000
-6,836326000
-7,042417000
-7,044444000
-7,038139000

108,409750000
108,353320000
108,507722000
108,496250000
108,500306000

227272,995995670
204300,997321659
208597,997488576
204669,998853904
222073,999412906
238055,459897344
222187,000463138
239161,755351468

9211691,997790290
9237195,996525280
9244549,999639260
9236739,999342180
9232216,000189100
9224640,712117020
9228906,003929240
9223856,421757050

-7,125104000
-6,893492000
-6,827255000
-6,897632000
-6,939372000
-7,008583000
-6,969290000
-7,015722000

108,530870000
108,324358000
108,363577000
108,327671000
108,484831000
108,629028000
108,485693000
108,639000000

207201,003039642
207487,001903203
220885,995887652
217507,459087642

9252519,997369330
9252419,997723970
9226115,002029590
9245907,993223600

-6,755166000
-6,756084000
-6,994450000
-6,815417000

108,351341000
108,353922000
108,473791000
108,444194000

LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIM

ID
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
128
129
130
131
132
133
134
220
221
222
223
224
225
226
227
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247

MATA AIR
Panten Kaler
Pasawahan
Pasawahan(Bujangga)
Pasawahan(Tespong)
PDAM Paniis
Rambatan
Rancakesik
Situ Sangiang
Sugih Pamalengan
Talaga Deleg
Tarikolot
Telaga Pancar(dekat Alun2)
Talaga Deleg, Kaduela, Pasawahan, Kuningan
Cicerem, Kaduela, Pasawahan
PDAM Paniis, Pasawahan, Kuningan
Cigimpul, Cingkup, Pasawahan
Telaga Pancar, Pasawahan (dekat Alun2)
Bujangga. Padabeunghar, Pasawahan
Tespong, Padabeunghar, Pasawahan
Rt 5, Rw 1, Blok Sang Raja, Cigasong
Tirta Wening/Balong Gede, Paniis, Maja
Jero Kaso, Sada Sari, Maja
Gn Herang Tonggoh, Sada Ari, Argapura
Jingkang, Sukadana, Argapura
Rt 1/Rw 2,Kerta mukti, Cicalung, Maja
Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Suheri)
Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Jamahi)
Talaga Herang, Lengkong Kulon, Sindangwangi
Leles, Padaherang, Sindangwangi
Cikuda, Padaherang, SindangWangi
Cibulakan, Bantar Agung, Sindangwangi
Citutupan, Teja, Sindangwangi
Cileles, Teja, Rajagaluh
Janawi, Payung, Rajagaluh
Ciguludung, Payung, Rajagaluh
Panten Kaler, Aegalingga, Argapura
Cipanas, Argalingga, Argapura
Cimampira, Tejamulya, Argapura
Cibulakan tarik, Sunia Lama, Banjaran
Stu Sangiang, Sangiang, Talaga

TIPE MATA AIR


Rekahan
Rekahan
Kontak
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Kontak
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Depresi
Depresi
Depresi
Depresi
Kontak
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Kontak
Rekahan
Rekahan
Depresi
Rekahan
Rekahan
Rekahan
Rekahan

JENIS BATUAN HCO3/Cl HCO3/SO4 Na/Cl Na/SO4 Na/Mg K/Cl Na/K Cl/SO4
Piroklastik
5,2
6,2
2,2
2,7
1,3 0,4 5,4
1,2
Lahar
18,4
13,9
4,6
3,5
0,8 0,5 8,5
0,8
Lava
5,5
9,3
2,0
3,5
1,2 0,3 5,9
1,7
Lahar
2,3
2,0
0,8
0,7
0,5 0,2 4,2
0,9
Lahar
4,2
2,7
1,7
1,1
1,1 0,5 3,8
0,6
Lahar
21,8
63,0
2,4
7,0
0,2 0,6 4,2
2,9
Lahar
27,7
15,0
4,6
2,5
0,5 1,4 3,4
0,5
Lava
5,0
7,9
1,7
2,6
0,9 0,5 3,6
1,6
Lava
6,7
9,1
2,0
2,7
1,0 0,5 3,7
1,4
Lahar
16,4
11,1
3,6
2,4
0,7 0,9 4,0
0,7
Lahar
10,6
4,1
2,6
1,0
0,7 0,6 4,2
0,4
Lahar
2,5
2,4
1,0
1,0
0,7 0,2 6,2
1,0
Lahar
15,1
11,7
3,4
2,6
0,9 0,9 3,8
0,8
Lava
5,9
5,4
1,9
1,7
0,7 0,5 3,4
0,9
Lahar
3,2
2,0
1,8
1,1
1,0 0,5 3,9
0,6
Lava
5,9
6,3
1,8
1,9
0,7 0,4 4,4
1,1
Lava
6,5
6,1
2,1
1,9
0,7 0,5 4,1
0,9
Lahar
9,7
11,5
2,2
2,6
0,8 0,8 2,8
1,2
Lava
16,8
10,1
3,0
1,8
1,1 0,6 5,2
0,6
Lahar
21,3
22,3
2,3
2,4
0,4 5,6 0,4
1,0
Lahar
11,7
7,9
2,1
1,4
0,9 0,3 7,4
0,7
Piroklastik
10,7
12,0
2,5
2,8
0,5 0,3 9,9
1,1
Piroklastik
9,5
6,2
2,2
1,5
0,5 0,3 6,8
0,6
Piroklastik
9,7
6,1
2,5
1,6
0,5 0,4 7,1
0,6
Lahar
10,0
13,1
1,6
2,1
0,7 0,5 3,5
1,3
Piroklastik
76,5
78,5 22,7
23,3
1,3 13,8 1,6
1,0
Lahar
15,8
10,7
7,9
5,3
2,2 1,4 5,6
0,7
Lahar
15,9
12,2
2,4
1,8
1,1 0,6 4,3
0,8
Lahar
12,0
6,3
1,8
0,9
0,9 5,9 0,3
0,5
Lava
22,8
9,7
3,9
1,6
2,0 1,0 3,8
0,4
Lahar
23,9
22,9
2,5
2,4
0,5 2,0 1,3
1,0
Lava
11,4
9,8
2,4
2,0
2,1 0,5 4,6
0,9
Lahar
21,3
10,8
2,6
1,3
0,8 0,5 5,7
0,5
Lava
8,9
10,7
1,6
2,0
1,9 0,4 4,4
1,2
Lava
9,8
11,2
1,9
2,2
1,9 0,4 4,2
1,1
Piroklastik
4,3
5,5
0,4
0,6
1,3 0,2 2,2
1,3
Piroklastik
10,4
5,6
1,3
0,7
2,2 0,5 2,6
0,5
Piroklastik
7,3
4,6
0,9
0,6
0,3 2,3 0,4
0,6
Lava
10,1
9,8
2,7
2,6
0,6 0,4 7,4
1,0
Piroklastik
16,5
13,2
0,5
0,4
0,4 0,2 1,9
0,8

Coord 49 M
207831,999782702
217007,002305631
213754,997986342
213211,003146448
217574,003051110
222921,301143538
234410,714260082
206053,000105068
205437,002552782
214730,003107586
234539,868919290
215657,998670499
214730,003107586

Coord UTM
9236398,998751860
9245977,998974140
9246967,997462820
9247356,998282830
9245999,004698480
9221973,974923650
9223401,984256490
9231810,002828680
9230130,004787410
9248882,997670070
9223371,890382010
9246913,998454160
9248882,997670070

Coord S
-6,900872000
-6,814760000
-6,805657000
-6,802116000
-6,814598000
-7,031972000
-7,019611000
-6,942250000
-6,957399000
-6,788399000
-7,019889000
-6,806237000
-6,788399000

Coord E
108,356245000
108,439673000
108,410319000
108,405420000
108,444800000
108,492000000
108,596000000
108,339927000
108,334271000
108,419226000
108,597167000
108,427521000
108,419226000

217574,003051110
208743,000660521
207831,999782702
206217,001702271
213211,003146448
202437

9245999,004698480
9245602,995305050
9236398,998751860
9230153,999903280
9247356,998282830
9239005

-6,814598000
-6,817747000
-6,900872000
-6,957222000
-6,802116000

108,444800000
108,364940000
108,356245000
108,341326000
108,405420000

207487
203331
204301

9252420
9237252
9237196

210378
211069

9245776
9248437

196681

9242725

201717

9239994

207469

9243540

208202
207454
204670
206053

9236521
9233974
9236740
9231810

CIBULAN

74.8

Kabupaten Kuningan

Tim:

Aditya A.J.
Andika P.
Dhea W.D.
Fachry S.
Reza P.A.B.

74

4241
571 12.3

16.3

4.18

30

CIBULAN

60 meter

CB-1: 549 m
0

10

10

Lokasi:

1613

1355

15

15

(12305011)
(12305029)
(12305026)
(12305008)
(12305023)

10

20

20

25

25

30

30

CB-2: 546 m
15
0

CB-3: 555 m
7885

CB-4: 538 m

20

CB-5: 539 m

10

25

0
5

CIBULAN
U

35

35

40

40

45

45

30

0222025 , 9235312

CB-1: 0222085 , 9235495 , 549 m

10

15

20

CB-1 CB-2

25

CB-4: 0222245 , 9235359 , 538 m


0

CB-3: 0222086 , 9235366 , 555 m

14.2
1166

87.9

1025

61.73
95.24

5.83
30.54

CB-5: 0222272 , 9235340 , 539 m

Tanah
pelapukan

0222025 , 9235312

30

60

meter

10

30

5
10

10

35
15

25

40

15
20

30

45

20
25

35

25

50
30

30
40

35

35

5
45

563.6

20

50

50

CB-2: 0222117 , 9235395 , 546 m

15

40

10

10

15

15

35
40

40
168.8

15

20

20

20

25

25

25

Batuan
segar
(diperkirak
an lahar)

45

50

45

45

50

50

50

17631

30

30

30
0.3753

35

35

35

40

40

40

45

45

45

50

50

50

CB-3 CB-4 CB-5

Lampiran 2 Interpretasi survei geolistrik di Mata Air Cibulan

Tanah
pelapukan

Batuan segar
(diperkirakan
lava
mengandung
rekahan)

Batuan
segar
(diperkirak
an lahar)

Lampiran 3 Interpretasi survei geolistrik di Mata Air Sangkanurip

Вам также может понравиться