Вы находитесь на странице: 1из 7

Kilas Balik Pengelolaan Migas di Riau

Industri minyak dan gas bumi telah terbukti menduduki peran yang sangat penting
dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Bahkan industri minyak dan gas bumi
telah menjadi unsur yang strategis dalam kaitannya dengan kepentingan negara,
geopolitik dan geoekonomi suatu wilayah. Terdapat kurang lebih 60 negara
berkembang di penjuru dunia menggantungkan perekonomiannya dari sektor
industri minyak dan gas bumi.

Sejak minyak dan gas bumi ditemukan pertama kali di Indonesia oleh Aeilko
Janszoon Zijkler di Telaga Tunggal Sumatera Utara, maka kegiatan pencarian emas
hitam (baca:minyak bumi) tersebut berlanjut ke wilayah lain di daerah jajahan
Belanda.

Tulisan ini membahas tentang kilas balik ataupun sejarah pengelolaan minyak dan
gas bumi di bumi Lancang Kuning. Dengan kita belajar dari sejarah tersebut, maka
diharapkan kita dapat memetik hikmah untuk kemajuan masyarakat di wilayah
Riau.

Zaman Penjajahan Belanda

Kegiatan eksplorasi minyak bumi di Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan


Belanda. Kajian dan Laporan yang pertama kali diterbitkan berisi tentang adanya
potensi minyak bumi yang cukup prospektif di wilayah jajahan Hindia Belanda
dibuat oleh Cornelis de Groot pada tahun 1864. Dengan adanya laporan tersebut
maka para pelaku usaha di industri minyak bumi mulai tertarik untuk
mengeksploitasi kekayaan alam tersebut. Untuk mengatur kegiatan penambangan
minyak dan gas bumi, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1899 mengeluarkan
undang-undang lndische Mijn Wet dan diumumkan dalam Staatsblad Nomor 214
tahun 1899. Salah satu isi undang-undang tersebut adalah bahwa pengusahaan dan
penambangan di wilayah Hinda Belanda diatur menurut wilayah konsesi
penambangan. Undang-undang tersebut juga memberikan peluang bagi sektor
swasta untuk berpartisipasi dalam penambangan minyak dan gas bumi. Pola kerja
sama dalam undang-undang tersebut di dasarkan pada pengakuan hak individual

secara menonjol. Setelah diterbitkannya undang-undang tersebut maka perusahaan


besar minyak dunia mulai melakukan kegiatan pencarian minyak di Hindia Belanda.

Usaha pencarian minyak bumi di Sumatera Tengah (baca: Riau) dimulai pada tahun
1924. Pada saat itu Standard Oil Company of California mengajukan hak eksplorasi
minyak bumi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Setelah menunggu selama enam
tahun, akhirnya pada tahun 1930 Pemerintah Hindia Belanda menyetujui
permintaan perusahaan Amerika tersebut untuk melakukan eksplorasi minyak.
Untuk melaksanakan operasinya di wilayah Hindia Belanda, Standard Oil Company
of California mendirikan perusahaan N.V Nederlandsche Pacific Petroleum
Maatschaappij (NPPM) pada bulan Juni 1930.

Pada tahun 1935, NPPM mendapat tawaran untuk melakukan eksplorasi seluas
600.000 hektar di Sumatera Tengah yang kemudian di dunia perminyakan dikenal
sebagai Rokan Block. Meskipun daerah Sumatera Tengah bukan daerah incaran,
karena belum banyak dieksplorasi dan dianggap kurang memberikan harapan,
tetapi tawaran Pemerintah Hindia Belanda akhirnya diterima juga oleh NPPM.

Setelah mendapatkan hak eksplorasi pada tahun 1935, NPPM segera melakukan
kegiatan secara sistemik di wilayah Sumatera Tengah yang dimulai dari daerah
aliran sungai Rokan. Hasil dari kegiatan penyelidikan geologi pada tahun 1936 dan
1937 memberikan keyakinan bagi pihak NPPM, bahwa cadangan minyak di
Sumatera Tengah letaknya lebih ke selatan. Akhirnya NPPM meminta kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk merubah daerah kerjanya sehingga berbentuk
seperti seekor kangguru menghadap ke barat.

Selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya NPPM giat melakukan kegiatan penelitian


geologik, geofisik serta melakukan pengeboran sumur di wilayah kerjanya. Sejak
tahun 1937 sampai dengan 1941 telah dilakukan penelitian seismik dengan luas
4.012 kilometer, termasuk melakukan pengeboran dengan sistem counterflush
sebanyak 34 sumur pada lokasi yang berbeda-beda.

Sepanjang tahun 1938-1944 dilakukan pengeboran eksplorasi sebanyak sembilan


sumur dengan temuan gas di Sebanga dan minyak di Duri dan Minas. Penemuan
tersebut merupakan tonggak terpenting dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas

bumi di Sumatera Tengah. Pertama, penemuan tersebut membuat kegiatan


eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi di Sumatera Tengah menjadi semakin
meningkat. Kedua, penemuan tersebut menjadi bukti bagi dunia minyak dan gas
bumi bahwa daerah Sumatera Tengah bukan merupakan daerah kering seperti
yang pernah diduga oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Menjelang kemerdekaan Republik Indonesia terdapat dua perusahaan besar minyak


asing yang beroperasi di wilayah Sumatera Tengah (baca:Riau). Perusahaan
pertama adalah NV. SVPM, yang kemudian dikenal STANVAC, yang merupakan
gabungan antara perusahaan Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij
(NKPM) dengan Standard Oil of New Jersey pada tahun 1933. Kelompok ini
beroperasi di Riau atau tepatnya sekitar Lirik.

Sedangkan perusahaan lainnya adalah NV Caltex Pacific Petroleum Maatschappij


yang merupakan gabungan usaha antara NV Nederlandsche Pacific Petroleum
Maatschappij (NPPM) dengan Texas Oil Company (TEXACO) pada tahun 1936.
Kelompok ini beroperasi di Sumatra bagian tengah (Blok Rokan, Sebanga, Duri,
Minas).

Zaman Penjajahan Jepang

Selama pendudukan Jepang, kegiatan pencarian minyak di Riau terhenti, karena


semua ladang minyak diambil alih oleh Jepang. Untuk kebutuhan bahan bakar
perang, tentara Jepang pada tahun 1944 melanjutkan kegiatan pemboran pada
sumur Minas. Dan akhirnya sumur Minas 1 berhasil diproduksi minyaknya untuk
pertama kali oleh tentara Jepang.

Tahun 1945 1960

Setelah Republik Indonesia merdeka, pelaku bisnis maupun tata cara pengelolaan
minyak dan gas bumi belum ada perubahan yang berarti. Dalam pasal 33 ayat (2)
dan (3) Undang Undang Dasar 1945 telah disebutkan dengan jelas tentang prinsip
pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia dimana hasil minyak bumi dikuasai
oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun
karena belum ada undang-undang yang mengatur maka, cara konsesi masih
diberlakukan sampai dengan tahun 1959.

Tahun 1960 2000

Selanjutnya dikeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 4 tahun 1960 tentang


Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, di mana antara lain diatur bahwa bahan
galian minyak dan gas bumi merupakan kekayaan nasional yang harus dikuasai
oleh negara. Dimana hak pengusahaannya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara.
Sedangkan kontraktor hanyalah pihak yang bekerja untuk membantu Perusahaan
Negara dan menerima imbalan untuk hasil kerja tersebut.

Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 44 Tahun 1960 praktis lndishce Mijn Wet
tidak berlaku lagi di Indonesia dan secara otomatis semua perusahaan asing yang
beroperasi di wilayah Riau harus mengembalikan seluruh wilayahnya kepada
Pemerintah Indonesia. Dan selanjutnya pengelolaan industri minyak dan gas bumi
dilanjutkan oleh Negara.

Pada tahun 1963 Perusahaan Negara yang ditunjuk untuk melanjutkan pengelolaan
minyak dan gas bumi di wilayah Riau membuat perjanjian kontrak karya dengan
kontraktor. PN Pertamina menandatangani perjanjian Kontrak Karya (KK = Contract
of work) untuk wilayah konsesi milik NPPM yaitu dengan PT Caltex Pacific Indonesia
(PT CPI). Dimana PT CPI yang didirikan pada bulan Pebruari 1963 yang dimiliki oleh
Chevron dan Texaco. Sedangkan PN Perniagaan sebagai Perusahaan Negara

menandatangani kontrak konsesi untuk wilayah milik NV. SVPM dengan PT Stanvac
Indonesia (PTSI).

Secara faktual PT CPI memegang hak pengelolaan yang paling besar di Riau.
Perjanjian Kontrak Karya PT CPI dengan PT Permina yang ditandatangani bulan
September 1963 meliputi Block Rokan I dan Rokan III dengan luas wilayah 9.030
km2. Dan pada tahun 1968 PT CPI juga mendapat tambahan empat daerah baru
( Sebanga, Minas Tenggara, Libo Tenggara dan Libo Barat Laut ) sehingga total
wilayah kerja PT CPI menjadi 9.898 km2. Luas wilayah pengelolaan PT CPI menjadi
semakin besar karena disamping melaksanakan kegiatan sebagai kontraktor, PT CPI
juga bertindak sebagai operator. Dalam hal ini PT CPI menjadi operator bagi wilayah
kerja Calasiatic/Chevron dan Topco/Texaco (C/T).

Tahun 2001 Sekarang

Dengan latar belakang gerakan reformasi dimana terdapat semangat untuk


melakukan perbaikan dalam tata kelola pemerintahan, maka dikeluarkan Undang
Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Bagi masyarakat daerah,
lahirnya undang-undang ini dapat memberikan harapan baru tentang kemandirian
pengelolaan industri hulu minyak dan gas bumi. Pengelolaan industri hulu minyak
dan gas bumi oleh daerah didasarkan pada ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diperbolehkan melakukan kegiatan usaha sektor
hulu dan hilir Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan Usaha Hulu bisa mencakup usaha di
bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Sedangkan kegiatan usaha
hilir mencakup kegiatan dalam bidang pengolahan, pengangkutan, penyimpanan
serta penjualan minyak dan gas bumi.

Masyarakat di Provinsi sejak awal reformasi sangat berkeinginan untuk mengelola


Blok Migas. Latar belakangnya adalah sebagai diantaranya adalah karena produksi
Crude Oil terbesar di Indonesia berada di Wilayah Provinsi Riau. Sementara itu
sebagian besar masyarakat Riau sebagai penonton di negeri sendiri. Dari jumlah
tenaga kerja yang terserap dalam industri hulu migas, jumlah pekerja lokal tidak

lebih dari 5 persen. Dalam hal ini masyarakat Riau berkeinginan ikut terlibat dalam
usaha kegiatan Hulu Migas, meliputi Investasi, SDM dan Teknologi, serta mendapat
manfaat lebih dari kehadiran kegiatan Hulu Migas. Tuntutan daerah Riau untuk
mengelola blok Minyak dan Gas Bumi mendapat dukungan dan aspirasi seluruh
lapisan Masyarakat dan Pemerintah Daerah Riau.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, masyarakat Riau akhirnya berhasil
mengambil alih pengelolaan 2 blok minyak yaitu Coastal Plain and Pekanbaru (CPP)
Block dan Mountain Front Kuantan (MFK) Block. Pengelolaan CPP Block pada tanggal
6 Agustus 2002, dialihkelolakan dari PT CPI kepada konsorsium BUMD (PT Bumi Siak
Pusako) dan BUMN (Pertamina Hulu). Sedangkan Blok Langgak (Mountain Front
Kuantan, MFK) dialihkan dari PT CPI kepada konsorsium BUMD Pemerintah Provinsi
Riau (PT Sarana Pembangunan Riau) dan Kingswood Capital Ltd mulai efektif
tanggal 20 April 2010.

What Next?

Setidaknya terdapat dua PSC di wilayah Provinsi Riau yang akan habis masa
kontraknya dalam waktu dua tahun kedepan, yaitu Siak Block dengan operator PT
CPI dan South and Central Sumatera Block dengan operator Medco E&P Indonesia.
Ladang minyak Siak Block PSC terletak di lima Kabupaten yaitu Siak, Rokan Hulu,
Rokan Hilir, Kampar, dan Bengkalis. Eksploitasi Siak Block dimulai CPI pada tahun
1963, dan sejak tahun 1991 kontrak CPI diperbaharui dengan sistem bagi hasil.
Berdasar kontrak baru, penguasaan CPI di Siak Block akan berakhir pada 27
November 2013 nanti. Siak Block berlokasi di di Kabupaten Siak, Rokan Hulu, Rokan
Hilir, Kampar, dan Bengkalis, yang dikelola oleh Chevron Siak Incorporated dengan
luas areal 2.480,47 km2. Kontrak tersebut akan berakhir pada tanggal 27 November
2013. Menurut catatan yang ada, produksi tahunan Siak Block pada tahun 2007,
2008, dan 2009 adalah sebesar 462,2 ribu barrels, 771,2 barrels, dan 684,5 barrels.

Kontrak PSC lainnya yang akan segera berakhir adalah South and Central Sumatera
Block (S&C Sumatera). Total wilayah kerjanya meliputi areal seluas 5.493 km2.
Aktivitas produksi minyak bumi dari blok ini dimulai dari tahun 1971 dan 1972. Pada

waktu itu yang betindak sebagai operatornya adalah PT Stanvac Indonesia, yang
pada tahun 1995 diakuisisi oleh PT Medco Engery International Tbk. Kontrak
tersebut akan berakhir pada tanggal 1 Nopember 2013. Jumlah produksi tahunan
South and Central Sumatera Block pada tahun 2007,2008, dan 2009 adalah sebesar
9.914,8 ribu barrels, 8.270,9 barrels, dan 7.363,1 barrels. Secara geografis kontrak
tersebut dibagi menjadi dua lokasi yaitu di Sumatera Selatan (South Sumatra
Extension) dan Riau (Central Sumatra Kampar).

Seperti kita ketahui bersama, Pemerintah dan masyarakat Riau memiliki visi yaitu
Terwujudnya Provinsi Riau Sebagai Pusat Perekonomian Dan Kebudayaan Melayu
Dalam Lingkungan Masyarakat Yang Agamis, Sejahtera, Lahir Dan Bathin Di Asia
Tenggara Tahun 2020. Untuk mencapai Visi Riau 2020 maka Pemerintah daerah
harus melakukan transformasi pemerintahan (Reinventing Government). Menurut
Osborne dan Gaebler, salah satu kunci sukses untuk menerapkan reinventing
Government adalah adanya pola pemerintahan yang berorientasi wirausaha.
Dimana orientasi pendanaan pemerintah lebih menitikberatkan pada sumber
penghasilan dibandingkan dengan pembelanjaan pemerintah. Artinya pemerintah
harus lebih serius menciptakan sumber-sumber pendapatan baru dan tidak hanya
berorientasi pada bagaimana menghabiskan uang.Paradigma ini juga memaksa
Pemerintah Daerah untuk melihat peluang bisnis dan masuk ke dalam bisnis (antara
lain dalam bisnis migas) dalam rangka untuk meningkatkan kemakmuran
masyarakatnya.

(Penulis adala

Вам также может понравиться