Вы находитесь на странице: 1из 153

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK

DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL


ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Disusun Oleh:
Nama Peneliti Utama
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan

:
:
:
:

Agung Budilaksono
196710101997031001
Penata Tingkat I/III D
Widyaiswara Muda

Nama Peneliti
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan

:
:
:
:

Hanik Rustiningsih
197003051996032001
Penata Tingkat I/III D
Widyaiswara Muda

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


JAKARTA
2013

Analisis Kebijakan Tarif Cukai Rokok Dalam Menghadapi


Pasar Tunggal Asean Economic Community 2015
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah membantu Pemerintah khususnya Kementerian
Keuangan dalam rangka membuat kebijakan tariff cukai dan Harga Jual Eceran
Rokok ketika dilaksanakan ASEAN Economic Community 2015 yang tidak akan
lama lagi berjalan. Penelitian ini memfokuskan pada dampak selisih tariff cukai
rokok kretek dan putih dalam negeri dengan tariff impor Negara-negara anggota
ASEAN, dalam hal ini sampel difokuskan pada Negara Singapura dan Malaysia
yang mempunyai harga jual eceran dan tariff impor rokok putih yang cukup tinggi
dibandingkan dengan di Indonesia, sementara rokok kretek di dua Negara
tersebut tidak ada/sangat kecil. Metode penelitian ini menggunakan kombinasi
analisis path dan regresi sederhana rekursif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperkirakan pada pelaksanaan
AEC 2015 sensitif komoditas rokok terjadi pada rokok putih, sementara rokok
kretek yang dominan di dalam negeri kurang sensitive terhadap kebijakan tariff
Negara tetangga. Perbedaan tariff cukai maupun impor komoditas rokok di
Negara-negara ASEAN mendorong terciptanya nilai tambah komoditas rokok
mengingat akan terjadi peningkatan persaingan untuk memperebutkan pasar
rokok Negara dengan harga jual eceran rokok yang tinggi dan tariff cukai yang
rendah., sebagai dampaknya adalah peluang munculnya penyelundupan rokok
ke Negara-negara dengan HJE rokok tinggi.Biaya kesehatan ke depan perlu
menjadi perhatian pengambil kebijakan mengingat cukup besarnya biaya
kesehatan yang dikeluarkan oleh individu perokok untuk mengobati dirinya atas
dampak rokok yang mungkin ada. Kalangan penikmat rokok lebih banyak
didominasi oleh golongan bawah, yang pada gilirannya berpeluang menambah
jumlah orang miskin di Indonesia dan menurunkan produktivitas nasional.
Kekhawatiran adanya ledakan konsumsi rokok di Indonesia perlu diantisipasi
melalui program terencana road map yang ke depan diarahkan untuk
menurunkan konsumsi rokok masyarakat tanpa harus mengurangi penerimaan
cukai Negara.
Kata kunci: tariff cukai rokok, pasar tunggal, industri rokok, penyelundupan rokok

ii

Cigarette Excise Tax Policy Analysis in Facing


ASEAN Economic Community 2015
Abstract
The purpose of this study is to help the Government , especially the Ministry of
Finance in order to make customs tariff policy and Cigarettes retail prices when
implemented the ASEAN Economic Community 2015 which will no longer be
running . This study focuses on the impact of cigarette excise tariff increment and
white domestic with import tariffs of ASEAN member countries , in this case
focused on a sample of Singapore and Malaysia that have retail prices and
import tariffs white cigarettes are quite high compared to in Indonesia , while
cigarette in the two countries there is no / very little . This research method uses
a combination of simple regression analysis and recursive path .

The results of this study indicate that the implementation of the AEC in 2015 is
estimated at sensitive commodities cigarette smoking occurs in white , while the
dominant cigarette in the country less sensitive to the tariff policy of neighboring
countries . The difference tariff cigarette excise and import commodities in
ASEAN countries encourage non value -added commodities given the expected
increase in competition for state cigarette market with a retail selling price of
cigarettes high and low excise tariff . , As is the probability that the impact of
smuggling cigarettes into countries with high cigarette retail . The cost of future
health care policy makers need to be given sufficient amount of medical costs
incurred by an individual smoker to treat himself for the possible effects of
smoking . Among connoisseurs of cigarettes more dominated by lower classes ,
which in turn is likely to increase the number of poor people in Indonesia and
lower national productivity . Fears of an explosion in cigarette consumption in
Indonesia should be anticipated through a planned program road map forward is
directed to the public to reduce consumption without reducing state tax revenues
.
Keywords: cigarette excise tariff, the single market, the tobacco industry,
cigarette smuggling

iii

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur disampaikan ke hadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang karena atas berkah dan karuniaNya penulis
dapat menyelesaikan Kajian Akademis ini yang berjudul Analisis Kebijakan Tarif
Cukai Rokok Dalam Menghadapi Pasar Tunggal Asean Economic Community
2015.
Kajian Akademis ini disusun dan disajikan dalam rangka membantu
Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam rangka membuat
kebijakan tariff cukai dan Harga Jual Eceran Rokok ketika dilaksanakan ASEAN
Economic Community 2015 yang tidak akan lama lagi berjalan.
Kajian ini juga tersusun dengan bimbingan, bantuan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami sampaikan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan;


Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan;
Kepala Pusdiklat Bea dan Cukai;
Prof. Dr. Rina Oktaviani, selaku Pembimbing Akademis;
Dr. Riyanto, selaku Pembimbing Akademis
Ir. Sucipto, MM, Kepala Subdit Cukai Hasil Tembakau, selaku
Pembimbing Teknis
7. Akbar Harfianto, SE, ME, Kepala Seksi Cukai Hasil Tembakau II, atas
masukan-masukannya dalam Seminar Hasil Penelitian; dan
8. Pihak-pihak lain yang telah mendukung penyelesaian Kajian Akademis
ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.
Penulis menyadari bahwa Kajian Akademis ini masih memiliki beberapa
keterbatasan penelitian. Oleh karena itu penulis membuka kesempatan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan kajian ini dan menjadi lebih
bermanfaat.

Penulis

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


ABSTRAK ............................................................................................................ ii
ABSTRACT ......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ viii
DAFTAR GRAFIK ................................................................................................ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 20
1.3. Ruang Lingkup ............................................................................. 20
1.4. Tujuan .......................................................................................... 21
1.5. Manfaat ........................................................................................ 22
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Sejarah Integrasi Ekonomi Regional ............................................ 23
2.2. Konsep Integrasi Ekonomi ............................................................ 24
2.3. Dampak Liberalisasi Perdagangan ............................................... 30
2.4. Struktur Pasar, Kinerja dan Perilaku Industri Rokok di Indonesia . 33
2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 36
2.6. Komoditas Rokok Dalam Integrasi Ekonomi Regional .................. 37
2.7. Potensi Sengketa Dagang Antara Pemerintah dan
Industri Tembakau ........................................................................ 39
2.8. Keterjangkauan Rokok dan Konsumsi Yang Tinggi ...................... 40
2.9. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau ...................... 41
2.10. Hambatan Untuk Mencapai Implementasi FCTC Yang Efektif ...... 42
2.11. Sejarah Pengenaan Cukai ............................................................ 49
2.12. Teori Cukai Ramsey ..................................................................... 53
2.13. Teori Cukai Berdasarkan Ketergantungan Yang Rasional ............ 54
2.14. Teori Cukai Berdasarkan Ketidak-konsistenan Preferensi
dalam Waktu (Time-Inconsistent Preferences Theory ) ................ 56
2.15. Teori Cukai Berdasar Proses Keputusan Yang Dipicu Oleh
Signal (Theory of Cue -Triggered Decision Processes) ............... 57
2.16. Tingkat Ketepatan Cukai Rokok ................................................... 58
2.17. Biaya Eksternal Merokok .............................................................. 62
2.18. Kebijakan Harga jual Eceran dan Tarif Cukai Hasil Tembakau ..... 64
2.19. Penyelundupan Rokok Akibat Kebijakan Tarif Cukai Yang
Asimetri ......................................................................................... 54
2.20. KonsepTerjadinya Penyelundupan Rokok .................................... 74
2.21. Pungutan Cukai Berdasarkan UU No39 Tahun 2007 .................... 75
2.22. Pungutan Cukai Berdasarkan UU No28 Tahun 2009 ................... 76
2.23. Hipotesis ...................................................................................... 78
BAB 3 METODE KAJIAN AKADEMIS
3.1. Jenis Penelitian ............................................................................ 81
3.2. Definisi Operasional Variabel ....................................................... 81
3.3. Instrumen Penelitian ..................................................................... 83

3.4. Metode Analisis Data ................................................................... 84


3.5. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 87
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengolahan Data ................................................................. 88
4.2. Simulasi Tarif Cukai Optimal ....................................................... 104
4.3. Analisis Cost and Benefit Biaya Kesehatan Rokok ..................... 106
4.4. Strategi Memerangi Penyelundupan Rokok Sebagai Dampak
Adanya Perbedaan Tarif ............................................................. 115
4.5. Langkah-langkah untuk memperkuat penegakanhukum ............. 118
4.6. Langkah-langkah mengantisipasi ledakan konsumsi rokok di
Indonesia pada Pelaksanaan AEC 2015 ..................................... 123
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan ................................................................................. 127
5.2. Saran .......................................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 135
RIWAYAT HIDUP PENELITI

vi

DAFTAR TABEL

Tabel.1.1 Penerimaan negara dari cukai rokok periode 2005 2009 pada
negara-negara anggota ASEAN (dalam USD) ..................................... 5
Tabel.1.2 Rasio Ekspor Dan Impor Rokok Terhadap Produksi, Indonesia,
1995-2007 ........................................................................................... 8
Tabel.1.3 Penerimaan Cukai Hasil Tembakau periode 1991 2008 ................... 9
Tabel.1.4 Ringkasan Penelitian ........................................................................ 12
Tabel.1.5 Daftar Harga Jual Rokok Merk Asing tahun 2011 (USD) ................... 15
Tabel.1.6 Peta Penyebaran Merk Rokok Asing dan Lokal Yang Paling
Populer tahun 2011 ........................................................................... 15
Tabel.1.7 Fakta Terjadinya Penyelundupan Rokok ........................................... 16
Tabel.1.8 Biaya Perawatan Kesehatan Akibat Konsumsi Tembakau ................. 18
Tabel.1.9 Perubahan Konsumsi Rokok dan Kematian dan Pendapatan
Dengan Penambahan Harga Rokok Yang Bervariasi ........................ 19
Tabel.2.1 Beberapa Contoh Kasus Penyelundupan Terkini............................... 69
Tabel.2.2. Persentase Penyelundupan Rokok Tahun 2007 ............................... 69
Tabel.4.1 Simulasi Mencari Tarif Cukai Optimal .............................................. 105
Tabel.4.2 Ringkasan Perkiraan Biaya Kesehatan Akibat Merokok Per Individu
Tahun 1999 ..................................................................................... 112
Tabel.4.3 Inflasi Tahunan ................................................................................ 113
Tabel.4.4 Biaya Kesehatan Akibat Rokok Per Individu Setelah Penyesuaian
Inflasi ............................................................................................... 113
Tabel.4.5 Perkiraan Jumlah Konsumsi Rokok di Indonesia ............................. 114

vii

DAFTAR GAMBAR
Gambar.1.1

Negara-negara Potensi Target Penyelundupan dan


Negara Target Basis Produksi ......................................................... 16

Gambar.1.2

Peta Kemungkinan Pergerakan Penyelundupan Rokok ................... 16

Gambar.2.1

Kerangka Konseptual ....................................................................... 37

Gambar 4.1

Ringkasan Hasil Analisis Path ........................................................ 101

viii

DAFTAR GRAFIK
Grafik.1.1.

Harga Rokok Merk Asing dan Lokal Tahun 2011 (data


USD) .................................................................................................. 2

Grafik 1.2

Perbandingan Pasar Rokok tahun 2011 (miliar batang) ..................... 7

Grafik 1.3

Pajak Tembakau (persentase terhadap harga eceran


rokok) tahun 2011 ............................................................................ 17

Grafik.2.1.

Komposisi Pasar Rokok Malaysia (% dari pasar) ............................. 71

ix

Halaman ini sengaja dikosongkan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Perdagangan internasional telah dianggap sebagai mesin pertumbuhan

ekonomi yang memungkinkan suatu negara untuk menikmati kesejahteraan


ekonomi yang lebih baik melalui spesialisasi dan skala ekonomi. Disamping itu
juga diharapkan dapat membantu mengurangi defisit neraca pembayaran dan
melindungi industri dalam negeri terhadap persaingan asing, dalam kasus ini
banyak negara memilih dengan cara membatasi impor mereka dengan berbagai
hambatan perdagangan, misalnya dengan tarif yang sangat tinggi. Alasan
pengenaan tarif ini adalah untuk perlindungan sementara, juga untuk membantu
industri yang masih muda dalam bersaing dengan pesaing asing dan sekaligus
mengembangkan kekuatan industri muda

industri muda tersebut. Adanya

perlindungan tersebut memungkinkan industri muda dalam negeri memproduksi


barang dengan biaya yang lebih tinggi dan tidak efisien. Selain itu, karena harga
produk telah terdistorsi oleh perlindungan, maka sumber daya yang telah
dialokasikan perlu diarahkan kembali agar lebih produktif dalam penggunaannya.
Dalam

perkembangan

perjalanan

perdagangan

bebas

muncul

argumentasi bahwa tembakau atau produk dari tembakau tidak termasuk dalam
perjanjian perdagangan bebas ini

karena tembakau dan produk tembakau

dianggap menjadi penyebab utama munculnya penyakit, yang kemudian


dianggap dapat memperpendek kehidupan jutaanperokok. Harga rokok yang
rendahdalam perdagangan bebas, memungkinkan terjadinya konsumsi rokok
yang berlebihan, baik untuk rokok yang diproduksi secara lokal maupun yang

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

diperoleh melalui imporrokok. Akibatnya biaya kesehatan akibat merokok dan


jumlah kematian yang disebabkan oleh komoditas tembakaukemudian menjadi
meningkat. Dengan demikian, adanya spesialisasi dalam perdagangan bebas
menjadi tidak selalu menguntungkanbagi semua negara.
Grafik.1.1
Harga Rokok Merk Asing dan Lokal Tahun 2011 (data USD)

Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February
2012

Pada tahun 1992, selama Konfeensi Tingkat Tinggi (KTT) Keempat di


Singapura, negara-negara yang tergabung dalam

ASEAN telah memutuskan

untuk mendirikan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Dimana negara-negara


anggotanya sepakat untuk menghilangkan hambatan perdagangan barang dan
jasa, termasuk dalam hal ini adalah komoditas tembakau dan produk tembakau,
di

antara

mereka

sendiri,

walaupundalam

pelaksanaannya

mereka

masihmenerapkan hambatan khusus terhadap negara-negara di luar ASEAN.


Upaya Negara-negara ASEAN ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan

BAB I PENDAHULUAN

daya saing produk-produk dari Negara-negara ASEAN di pasar dunia. Untuk


mencapai tujuan ini, penghapusan tarif dan hambatan non-tarif menjadi hal yang
sangat penting.
Skema Common Effective Preferential Tarif (CEPT) AFTA akan
digunakan untuk mendukung liberalisasi produk pertanian dan manufaktur yang
memiliki setidaknya konten sebesar 40% dari negara-negara anggota ASEAN.
Tingkat tarif yang dikenakan atas produk yang diperdagangkan di kawasan ini
juga akan dikurangi sampai menjadi sebesar 0 sampai 5%. Demikian juga
hambatan non-tarif juga akan dihilangkan.
Tarif Bea Masuk CEPT untuk AFTA merupakan tarif bea masuk yang
dikenakan atas barang impor yang masuk ke Indonesia dari negara-negara
anggota ASEAN yang dilengkapi dengan Formulir-D (Certificate of Origin) yang
diterbitkan oleh lembagaPemerintah yang berwenang yang ditunjuk oleh Negara
Anggota pengekspor dandiberitahukan kepada Negara Anggota lainnya sesuai
dengan Prosedur SertifikasiOperasional. Untuk memenuhi kesepakatan tersebut,
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
28/PMK.010/2005 tanggal 18 Mei 2005. Dalam PMK tersebut dinyatakan bahwa
tarif bea masuk 1.571 pos tarif diturunkan dari 5% menjadi 0%, sehingga secara
keseluruhan saat ini telah terdapat 60,5% dari seluruh pos tarif yang memiliki tarif
CEPT 0%. Jumlah pos tarif dengan tarif CEPT 0% secara bertahap akan
bertambah sehingga ke depan perdagangan antar Negara-negara anggota
ASEAN sudah tidak terdapat lagi hambatan tarif bea masuk.
Beberapa negara-negara anggota ASEAN seperti Indonesia, Thailand,
dan Filipina memiliki perbedaan dalam hal keterbukaan perdagangan mereka,
struktur industri tembakau, ukuran populasi, prevalensi merokok, dan respon

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

harga terhadap permintaan rokok. Dalam hal keterbukaan perdagangan, mereka


memiliki tingkat tarif yang tinggi pada impor komoditi tembakau dan produk
tembakau. Selain itu sesuai dengan skema CEPT- AFTA, mereka juga memiliki
kewajiban untuk melakukan penyesuaian tarif secara bertahap dengan jadwal
pengurangan yang berbeda-beda di antara negara-negara tersebut.
Oleh karena itu, dampak dari skema CEPT- AFTA pada industri
tembakau di Negara-negara anggota ASEAN sangat perlu untuk dipelajari.
Tingkat dampak akan sangat tergantung pada latar belakang Negara-negara
tersebut. Namun, belum ada studi yang cukup kritis untuk meneliti masalah
penting ini. Penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan Saad (2006) untuk
Indonesia, Austria (2006) untuk Filipina, dan Isra Sarntisart (2005) untuk
Thailand.
Khusus

berkaitan

dengan

dampak

dari

liberalisasi

perdagangan

tembakau,n terdapat studiyang dilakuk oleh Taylor et al. (2000) yang menyelidiki
dampak liberalisasi perdagangan tembakau dengan menggunakan data tahunan
dari 42 negara selama periode antara tahun 1970 dan 1995, dan menemukan
bahwa liberalisasi perdagangan meningkatkan konsumsi merokok cukup
signifikan. Kondisi ini

sangat signifikan terjadi pada Negara-negara dengan

penghasilan rendah dan menengah, namun tidak signifikan di negara-negara


berpenghasilan tinggi. Studi ini memberikan penjelasan atas terjadinya
perbedaan ini dengan penjelasan sebagai berikut:

Keterbukaan perdagangan berhubungan positif dengan pertumbuhan


ekonomi danterjadinya penurunan keterbukaan pada pertumbuhan sejalan
dengan

peningkatan

liberalisasi

pendapatan.

perdagangan

Dengan

demikian,

terhadappertumbuhan

dampak
paling

dari
besar

BAB I PENDAHULUAN

terjadipadaNegara-negara

berpenghasilan

rendah,

kemudian

diikuti

dengan negara-negara berpendapatan menengah dan tinggi.

Elastisitas pendapatan atas permintaan rokok adalahpositif, yang berarti


bahwa

liberalisasi perdagangan yang tinggi akan menyebabkan

tingginyakonsumsi rokoknegara berpenghasilan rendah.


Bila dilihat dari ruang lingkup penerimaan negara dari sisi cukai rokok,
Indonesia menduduki peringkat pertama di kawasan ASEAN. Tabel.2.1 di bawah
ini memberikan gambaran tentang hal tersebut selama periode 2005 - 2009.
Tabel.1.1
Penerimaan negara dari cukai rokok periode 2005 2009 pada
negara-negara anggota ASEAN (dalam USD)

Semenjak tahun 2005 sampai 2009 penerimaan negara Indonesia dari


cukai dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya menduduki
peringkat pertama, diikuti dengan Thailand kemudian Malaysia, Singapura,
Philipina, Vietnam, Brunei, cambodia, dan Lao PDR.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008 mencatat bahwa jumlah
perokok di Indonesia adalah yang terbesar ketiga di dunia setelah China dan
India. Konsumsi rokok Indonesia tahun 2010 diperkirakan menembus angka 260

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

miliar batang. Pertumbuhan penjualan rokok ini sangat dipengaruhi oleh daya
beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang meningkat cenderung berkorelasi
positif terhadap konsumsi rokok. Selain itu, tingginya konsumsi rokok Indonesia
ikut dipicu oleh pertumbuhan perokok baru di kalangan generasi muda dan
peningkatan angka konsumsi rokok pada wanita. Adanya pergeseran perilaku
konsumen dari perokok batang besar (umumnya Sigaret Kretek Tangan/SKT) ke
batang kecil (mild and slim) juga mendorong volume konsumsi menjadi lebih
besar.
Gambaran di atas adalah gambaran dampak pendapatan dari liberalisasi
perdagangan tetapidampak penurunan harga juga perlu diperhatikan, karena
penurunan tarif dan penurunan harga rokok domestik tetap akan ada. Dampak
pada permintaan tergantung padatingkat respon permintaan terhadap perubahan
harga. Chaloupka et al. (2000)melakukan penelitian tentang konsumsi tembakau
untuk negara berpenghasilan rendah, berpenghasilan menengah dannegara
berpenghasilan tinggi, dan menemukanbahwa harga yang lebih rendah akan
menyebabkan kenaikankonsumsi tembakau, tetapi tingkat responsif harga untuk
negara berpenghasilan tinggiditemukan menjadi sekitar setengah dari negaranegara lainnya. Dengan mempertimbangkanpendapatan dan dampak harga,
serta dampak keseluruhan dari liberalisasi perdagangan terhadap rokok,
makapermintaan akanmenjadi lebih besar bagi negara-negara berpenghasilan
rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Isu mengenai tindakan pengendalian tembakau dibahas secara baik oleh
Jha danChaloupka(1999). Studi ini mengkaji masalah-masalah ekonomi yang
harus

ditanganijika

pembuat

kebijakan

ingin

melaksanakan

tindakan

pengendalian tembakau. Laporan ini meneliti trend merokok di seluruh dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN

ini

juga

membahas

konsekuensi

kesehatan

dari

merokok

danmenilai

konsekuensi dari pengendalian tembakau dalam berbagai aspek. Hal ini


menunjukkan bahwa banyakefek samping pengendalian tembakau tidak
signifikan.

Contoh

efek

ini

adalahhilangnya

pekerjaan

dan

penurunan

penerimaan pajak.
Apabila dilihat dari ruang lingkup konsumsi rokok di dunia, pada tahun
2011 Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Rusia. Konsumsi rokok
Indonesia sebesar 270,3 miliar batang sedangkan Rusia sebesar 385 miliar
batang.
Grafik.1.2.
Perbandingan Pasar Rokok tahun 2011 (miliar batang)

Sumber: estimasi Philip Morris International

Pangsa pasar dunia juga dimanfaatkan Indonesia untuk memperbesar


pangsa pasar rokoknya. Walaupun selama periode 1995-2006 kuantitas ekspor
rokok yang diekspor Indonesia mengalami fluktuasi dari minimal ekspor sebesar
11.500 juta batang pada tahun 1999 sampai 41.583 juta batang pada tahun
2006. Persentase ekspor rokok terhadap produksi berkisar antara 5% (tahun
1999) sampai 18% (tahun 2005). Pada tahun 2006 jumlah rokok yang diekspor
adalah sebanyak 41 juta batang dan yang diproduksi 244 juta batang. Dengan

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

demikian sebagian besar, yaitu 83%, produksi rokok Indonesia adalah untuk
konsumsi domestik (Tabel.1.2.).
Tabel.1.2
Rasio Ekspor Dan Impor Rokok Terhadap Produksi, Indonesia, 1995-2007
Tahun

1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Impor
(Juta
batang)
294
90
84
16
121
400
206
300
34
9
247
142
64
301
311
350
429

Ekspor
(Juta batang)

Produksi
(Juta batang)

21175
19225
23090
17080
11500
16052
22220
22000
22800
29154
41583
41583
48148
55572
54465
57191
58030

186200
211823
225385
216200
219700
232,724
221293
200000
201304
218654
235985
244463
231000
240000
245000
249100
279400

% Impor
terhadap
Produksi
0,2
0,0
0,0
0,0
0,1
0,2
0,1
0,2
0,0
0,0
0,1
0,1
0,03
0,13
0,13
0,14
0,15

% Ekspor
terhadap
Produksi
11,4
9,1
10,2
7,9
5,2
6,9
10,0
11,0
11,3
13,3
17,6
17,0
20,8
23,2
22,23
23
20,8

Sumber: - Ekspor dan impor: Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor dan Statistik
Perdagangan Luar Negeri Impor

Kenaikan tarif cukai rokok yang terjadi setiap tahun dalam beberapa
tahun terakhir ini, sebenarnya bukan menjadi suatu hal yang mengejutkan lagi.
Seperti diketahui bersama, sesuai dengan roadmap industri rokok jangka
menengah (2010-2014), pemerintah akan memfokuskan pada aspek penerimaan
negara, kemudian kesehatan, dan tenaga kerja. Dengan prioritas aspek tersebut,
besar kemungkinan pemerintah akan melakukan kenaikan tarif cukai rokok
kembali secara berkala untuk beberapa tahun ke depan. Dengan adanya
kenaikan tarif cukai rokok, maka penerimaan pemerintah dari cukai rokok juga
akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

BAB I PENDAHULUAN

Tabel.1.3
Penerimaan Cukai Hasil Tembakau periode 1991 - 2008

Penerimaan cukai pemerintah Indonesia tersebut diperkirakan akan


menghadapi tantangan yang sangat besar dengan semakin dekatnya penerapan
pasar

tunggal

ASEAN

Community

2015yangmerupakan

kelanjutan

dan

percepatan dari ASEAN Vision 2020 yang menjadi tujuan jangka panjang
ASEAN yakni: as a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living
in pecem stability and prosperity, bunded together in partnership in dynamic
development an in community of caring societies.
Asean Economic Comunity (AEC) sendiri merupakan salah satu pilar
utama dariASEAN Community 2015 yang bertujuan untuk mencapai pasar
tunggal dan kesatuan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing,
pertumbuhan ekonomi yang merata, dan terintegrasi dengan perekonomian
global.

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Berbekal dari pengalaman di Negara-negara Eropa yang telah terlebih


dahulu membentuk komunitas ekonomi Uni Eropa, menunjukkan bahwa telah
terjadi persaingan dalam penetapan tarif pajak khususnya pada komoditi minyak
diesel, bensin dan rokok. Persaingan tersebut disebabkan karena pertama,
bahan bakar motor dan rokok adalah merupakan komoditas yang dipajaki paling
banyak di negara-negara Eropa. Oleh karena itu, dengan sistem pajak berbasis
pembelian akan terdapat insentif bagi konsumen Eropa untuk membelikomoditas
dari negara-negara Uni Eropayang memiliki beban pajak konsumen lebih rendah.
Kedua, terjadinya asimetri yang besar dalam ukuran tarif di negara-negara Eropa
diperkirakan sebagai penyebab terjadinya persaingan pajak antar negara-negara
anggota.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Kanbur dan Keen (1993) dan
Wilson(1991)

dalam

penelitiannya

menemukan

bahwa

akibat

terjadinya

persaingan tarif pajak yang asimetris pada pasar tunggal Eropa, Negara-negara
anggota Uni Eropa cenderung memiliki persepsi untuk menetapkan tarif pajak
yang lebih rendah dibandingkan Negara-negara anggota lainnya karena negara
pembentuk substansial tarif tersebut,akan mengambil manfaat pajak lebih besar
jika terdapat perbedaan tarif yang cukup besar. Hal ini menunjukkan
bahwaukuran tarif pajak yang asimetri akan memfasilitasi terjadinya persaingan
tarif pajak, karena semakin besarnya perbedaan tarif yang ada, maka posisi
Negara dengan tarif pajak kecil akan memiliki posisi yang lebih baik dalam
persaingan pajak tersebut.
Pola perilaku penetapan tarif pajak pada komoditas dan bukti-bukti yang
tersedia pada toko-toko di perbatasan-perbatasan antar negara-negara Uni
Eropa, konsisten dengan temuan penelitian-penelitian di atas. Negara Eropa

10

BAB I PENDAHULUAN

yang kecil cenderung memungut tarif pajak yang lebih rendah pada komoditi
diesel, bensin dan rokok dibandingkan dengan yang dilakukan oleh negaranegara Eropa yang besar. Sebagai contoh, pada tahun 2005, tarif cukai komoditi
diesel pada negara-negara Eropa yang kecil rata-rata sebesar 15 persenlebih
rendah dari tingkat cukai komoditi diesel pada negara-negara Eropa berukuran
besar. Pada tahun yang sama, harga rata-rata satu pak rokok merk Marlboro
adalah sebesar 4 euro di negara-negara kecil, sementara itu di negara-negara
besar Eropa berharga 5 euro.
Bukti lain menunjukkan bahwa toko-toko di beberapa perbatasan negara
yang terkena pajak untuk bahan bakar motor danrokokmemiliki skala dalam
jumlah besar. Sebagai contoh misalnya, di negara Jerman harga komoditi diesel
lebih mahal daripada di Negara-negara tetangganya (karena cukai yang lebih
tinggi),

pada

tahun

2004,

dan

10

persen

dari

seluruh

konsumsi

dieseldomestikterdapat pada toko-toko diperbatasan. Hal ini berdampak pada


hilangnya pendapatan pajak sebesar Euro 2 miliar ke kas negara Jerman
(Komisi, 2007).
Sementara fakta lain diNegara Austria di mana harga komoditi diesel
relatif murah, diperkirakan sebesar 30 persen dari pembelian bahan bakar pada
pasar domestikNegara Austriadilakukan oleh kendaraan yang melakukan
pariwisata dari Negara-negara tetangga ke Negara Austria (Badan Energi
Austria, 2009).
Dalam penelitian terbaru di bidang perpajakan tembakau di Negaranegara Uni Eropa (Komisi, 2008), menemukan bahwa penyelundupan dan
penjualan produk tembakau pada perbatasan negara pada tahun 2004
diperkirakan mencapai sekitar 13 persen dari total pasar tembakau Uni Eropa.

11

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Pembelanjaan yang sah pada wilayah-wilayah perbatasan menyumbang sampai


sekitar 4 sampai 5 persen pasar tembakau Uni Eropa, sementara transaksi
penyelundupan diperkirakan sekitar 8 sampai 9 persen dari penjualan akhir.
Penelitian ini juga mencatat bahwa di sejumlah anggotanegara seperti di
Perancis, Jerman dan Inggris, konsumsi rokok yang tidak dipajaki secara
domestik terhadap total konsumsi domestiktercatat lebih dari 20 persen, yang
berarti berada di atasUni Eropa yang rata-ratanya 13 persen (Komisi, 2008).
Pergerakan menuju arah pasar tunggal ASEAN, akan memiliki potensi
masalah yang akan timbul dalam kebijakan produksi (atau impor) dari Barang
Kena Cukai yang terjadi dalam satu negara anggota, tetapi konsumsi yang terjadi
berada di tempat yang lain. Situasi ini akan muncul di pasar yang benar-benar
tunggal, dan industri terkait akan meletakkan basis produksinya (atau impor) ke
negara-negara yang memiliki tarif cukai rendah dibandingkan dengan negara
anggota yang memiliki tarif cukai lebih tinggi.
Tentu tidaklah berlebihan apabila pengalaman pasar tunggal Eropa dapat
dijadikan

pelajaran

bagi

pemerintah

Indonesia

khususnya

Kementerian

Keuangan Republik Indonesia dalam upaya merespon penerapan ASEAN


Community 2015 sekaligus mengamankan penerimaan negara dari sisi
penerimaan cukai khususnya komoditi rokok yang telah memberikan kontribusi
yang cukup signifikan bagi keberlangsungan pembiayaan APBN.

12

Tabel.1.4
Ringkasan Penelitian
Penelitian
Hasil Penelitian
Kanbur dan Keen Hasil studi:
(1993) dan
- Akibat terjadinya persaingan tarif
Wilson(1991)
pajak yang asimetris pada pasar
tunggal
Eropa,
negara-negara
anggota Uni Eropa cenderung
memiliki persepsi untuk menetapkan

BAB I PENDAHULUAN

Penelitian

Taylor et al.
(2000)

Hasil Penelitian
tarif pajak yang lebih rendah
dibandingkan
negara-negara
anggota lainnya
Ukuran tarif pajak yang asimetri
akan
memfasilitasi
terjadinya
persaingan tarif pajak, karena
semakin besarnya perbedaan tarif
yang ada, maka posisi negara
dengan tarif pajak kecil akan
memiliki posisi yang lebih baik
dalam persaingan pajak tersebut.

Menggunakan data tahunan dari 42


negara selama periode antara tahun
1970 dan 1995,
Hasil studi:
- Liberalisasi perdagangan
meningkatkan konsumsi merokok,
signifikan terjadi pada negaranegara dengan penghasilan rendah
dan menengah,
- Liberalisasi perdagangan tidak
signifikan meningkatkan konsumsi
merokok di negara-negara
berpenghasilan tinggi.
- Keterbukaan perdagangan
berhubungan positif dengan
pertumbuhan ekonomi dan
terjadinya penurunan keterbukaan
pada pertumbuhan sejalan dengan
peningkatan pendapatan. Dampak
dari liberalisasi perdagangan
terhadap pertumbuhan paling besar
terjadi pada negara-negara
berpenghasilan rendah, kemudian
diikuti dengan negara-negara
berpendapatan menengah dan
tinggi.
- Elastisitas pendapatan atas
permintaan rokok adalah positif,
yang berarti bahwa liberalisasi
perdagangan yang tinggi akan
menyebabkan tingginya konsumsi

13

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Penelitian

Komisi Komunitas
Eropa, 2008

Hasil Penelitian
rokok negara berpenghasilan
rendah.
Hasil studi:
- Penyelundupan
dan
penjualan
produk tembakau pada perbatasan
negara
pada
tahun
2004
diperkirakan mencapai sekitar 13%
dari total pasar tembakau Uni
Eropa.
- Pembelanjaan yang sah pada
wilayah-wilayah
perbatasan
menyumbang sampai sekitar 4
sampai 5 % pasar tembakau Uni
Eropa,
- Transaksi
penyelundupan
diperkirakan sekitar 8% sampai 9%
dari penjualan akhir.
- Di Perancis, Jerman dan Inggris,
konsumsi rokok yang tidak dipajaki
secara domestik terhadap total
konsumsi domestik tercatat lebih
dari 20%, yang berarti berada di
atas Uni Eropa yang rata-ratanya
13 persen

Dari uraian penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya kondisi


penetapan tarif cukai yang berbeda di negara-negara anggota ASEAN yang
kemudian berkomitmen untuk menciptakan pasar tunggal ASEAN, akan
menyebabkan terjadinya permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1.

Adanya

potensi

penyelundupankomoditas

rokok

di

daerah-daerah

perbatasan, dalam kasus Uni Eropa mencapai rata-rata 13%, bahkan untuk
beberapa negara Uni Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Inggris
mencapai 20% dari konsumsi domestik yang tidak dikenai pajak;
Kalau dilihat dari harga rokok merk asing populer yang menguasai
pasar di negara-negara ASEAN dengan komposisi yang ada, Indonesia

14

BAB I PENDAHULUAN

sangat mungkin menjadi negara pelaku penyelundupan sekaligus sebagai


negara yang akan menjadi target negara tujuan basis produksi rokok.

Tabel.1.5
Daftar Harga Jual Rokok Merk Asing tahun 2011 (USD)
No.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Negara

Singapura
Brunei
Malaysia
Myanmar
Thailand
Indonesia
Lao PDR
Cambodia
Vietnam
Philipine

Harga jual
rokok merk
asing

Merk Rokok Asing


Yang Populer

83
59
3,32
3,08
2,35
1,47
1,45
1,19
0,74
0,63

Marlboro
Marlboro
Dunhill
Marlboro
Marlboro
Marlboro
555 (BAT)
White Horse (BAT)
Marlboro

Pajak
Tembakau (%
harga eceran
rokok)
69
72
48
50
70
62
16-19,7
20-25%
45
41

Sumber:diolah dari ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends
February 2012

Tabel.1.6
Peta Penyebaran Merk Rokok Asing dan Lokal Yang Paling
Populer tahun 2011

Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012

15

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Gambar.1.1
Negara-negara Potensi Target Penyelundupan dan
Negara Target Basis Produksi
NEGARA-NEGARA POTENSITARGET PENYELUNDUPAN

Singapura, Brunei, Malaysia, Myanmar, Thailand

Indonesia, Lao PDR, Cambodia, Vietnam, Philipine


NEGARA-NEGARA POTENSI TARGET BASIS PRODUKSI
Gambar.1.2
Peta Kemungkinan Pergerakan Penyelundupan Rokok

Sumber: Ismail Rejab dan Zarihah Zain, 2006

Tabel. 1.7
Fakta Terjadinya Penyelundupan Rokok
Tahun

Indonesia

Indonesia

Malaysia

Malaysia

Export ke

Import dari

Export ke

Import dari

Malaysia

Malaysia

Indonesia

Indonesia

(US$)

(US$)

(US$)

(US$)

2003

1.899.000

37.000

41.476.146

4.281.518

2004

643.000

7.000

34.327.176

8.157.813

2005

1.087.000

2.000

29.161.781

6.028.793

76.000
41.222.327 6.419.796
2006 1.667.000
Sumber: LPEM UI (2011) dan Prosiding Persidangan Kebangsaan Ekonomi Malaysia ke VII
tahun 2012

16

BAB I PENDAHULUAN

Dalam kajian ini akan difokuskan pada interaksi perdagangan antara


Indonesia, Malaysia dan Singapura, mengingat ketiga negara tersebut
sangat berdekatan dengan Indonesia
2.

Terdapat kecenderungan negara-negara anggota untuk menetapkan tarif


yang rendah dengan demikian akan terjadi peningkatan konsumsi rokok
yang dapat menyebabkan tingginya biaya kesehatan bagi pengkonsumsi
rokok;
Grafik.1.3.
Pajak Tembakau (persentase terhadap harga eceran rokok) tahun 2011

Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February
2012

Namun demikian walaupun prosentase tarif cukai yang dikenakan


tinggi apabila harga jualnya rendah tentunya pengaruh tarif cukai tinggi
tersebut kurang akan memberikan dampak yang berarti bagi pengendalian
rokok, demikian juga bagi penerimaan negara kecuali dalam jumlah
komoditas yang sangat banyak sekali.
3.

Tingginya tingkat liberalisasi perdagangan akan berdampak pada tingginya


konsumsi rokok bagi negara-negara anggota berpenghasilan rendah;
Hal ini disebabkan karena arus perdagangan menjadi lancar dan
dampaknya biaya transaksi perdagangan menjadi lebih murah sehingga

17

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

harga barang lebih terjangkau oleh masyarakat berdaya beli murah.


Dengan demikian konsumsi rokok bagi Negara-negara berpenghasilan
rendah cenderung akan meningkat.
Tabel.1.8
Biaya Perawatan Kesehatan Akibat Konsumsi Tembakau

Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February
2012

Tingginya

konsumsi

rokok

belum

tentu

menguntungkan

apabila

penerimaan pajaknya lebih kecil dibandingkan dengan biaya kesehatan


yang dikeluarkannya. Sebagai contoh misalnya untuk Indonesia, rasio
antara biaya kesehatan yang dikeluarkan mencapai 772% hal ini berarti
bahwa

biaya

kesehatan

yang

dikeluarkan

dibandingkan

dengan

penerimaan pajak nya 7,7 kali lebih besar, demikian juga untuk megara
Philipine mencapai 6,47 sampai 13,68 kali lipatnya, sedangkan Malaysia
mencapai 12 kali lipatnya.
Namun demikian ada juga negara-negara yang rasio biaya kesehatan
terhadap penerimaan pajaknya masih di bawah 100% seperti Thailand

18

BAB I PENDAHULUAN

yang sebesar 20,37%, kemudian diikuti dengan Myanmar, Vietnam, dan


Lao PDR yang sebesar 31,62%; 36,2%; dan 68,1%. Negara-negara ini
masih memiliki selisih antara pendapatan pajaknya dengan biaya
kesehatan yang dikeluarkannya akibat konsumsi rokok penduduknya.
4.

Semakin tingginya tingkat liberalisasi perdagangan akan semakin tinggi


pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari meningkatnya pendapatan.
Tabel.1.9
Perubahan Konsumsi Rokok dan Kematian dan Pendapatan Dengan
Penambahan Harga Rokok Yang Bervariasi

Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012

Data di atas menunjukkan bahwa adanya penambahan harga rokok antara


25% - 100% akan menyebabkan penambahan Gross Domestic Bruto
sebesar rata-rata 0,3%. Disamping itu kenaikan harga rokok sebesar 50%
juga dapat menyebabkan 27,2 juta orang terhindarkan dari kemungkinan
kematian akibat rokok. Demikian juga apabila ditingkatkan sampai 100%
dapat menyebabkan 54,5 juta orang terhindarkan dari kemungkinan
kematian akibat rokok.
5.

Adanya trade off (pilihan) antara target finansial dan sasaran pencapaian
lapangan kerja sektor industri rokok dan sektor hulunya (petani tembakau

19

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

dan cengkih), merupakan dilema yang dihadapi dalam penetapan


kebijakan cukai hasil tembakau.
1.2.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dibuat

rumusan masalah sebagai berikut:


1.

Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


potensi terjadinya perbedaan tariff cukai dan impor pada pelaksanaan AEC
2015 yang dapat berpotensi memberi dampakmerugikan bagi penerimaan
negara dari sisi cukai rokok?

2.

Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


kemungkinan terjadinya lonjakan konsumsi rokok akibat terjadinya
pergerakan basis produksi rokok ke negara yang memiliki tarif cukai rendah
pada pelaksanaan AEC 2015?

3.

Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


kemungkinan terjadinya pengeluaran biaya kesehatan akibat rokok yang
lebih besar dibandingkan dengan perolehan cukai rokok pemerintah?

4.

Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


semakin tingginya liberalisasi perdagangan komoditas rokok?

5.

Bagaimana prioritas strategi kebijakan cukaidi Indonesia?

1.3. Ruang Lingkup


Kajian ini mencoba membatasi pada permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan

kebijakan cukai pemerintah dengan semakin terbukanya

ekonomi. Konsekuensi apa saja yang akan terjadi dengan semakin terbukanya
ekonomi dan semakin bebasnya perdagangan yang ditandai dengan adanya

20

BAB I PENDAHULUAN

berbagai perjanjian perdagangan bebas pada kawasan-kawasan tertentu, seperti


AFTA, AEC 2015, dsb.
Kajian ini memfokuskan kepada analisis kebijakan publik yang perlu
dilakukan pemerintah dalam mensikapi munculnya persaingan tarif pajak di
kawasan ASEAN agar tujuan kebijakan cukai yang sesungguhnya dapat berjalan
sesuai dengan rencananya.
Kajian kebijakan publik ini dalam pengambilan strateginya didukung kajian
analitis melalui pengujian hipotesis yang mendukung analisis kebijakan publik
utamanya.
1.4.

Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah untuk merumuskan strategi-strategi yang

perlu dilakukan oleh Dirjen Bea dan Cukai dalam mensikapi terjadinya
perkembangan persaingan perdagangan yang semakin kompleks, yaitu:
1.

Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


potensi terjadinya perbedaan tariff cukai dan impor pada pelaksanaan
AEC 2015 yang dapat berpotensi memberi dampak merugikan bagi
penerimaan negara dari sisi cukai rokok;

2.

Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


kemungkinan terjadinya lonjakan konsumsi rokok akibat terjadinya
pergerakan basis produksi rokok ke negara yang memiliki tarif cukai
rendah pada pelaksanaan AEC 2015?

3.

Mengidentifikasi strategi/menemukan

kebijakan tarif cukai dengan

mempertimbangkan aspek:
a.

Penerimaan negara;

b.

Lonjakan konsumsi rokok;

21

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

4.

c.

Biaya kesehatan rokok;

d.

Liberalisasi perdagangan.

Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


semakin tingginya liberalisasi perdagangan komoditas rokok;

5.
1.5.

Menganalisis prioritas kebijakan cukai di Indonesia;


Manfaat
Memberikan masukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

bagaimana strategi kebijakan cukai untuk mensikapi potensi terjadinya asimetri


tarif cukai `rokok di kawasan ASEAN pada penerapan pasar tunggal ASEAN
agar penerimaan negara dari sisi penerimaan cukai dapat diamankan, sekaligus
konsumsi rokok masyarakat dapat dikendalikan.

22

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.

Sejarah Integrasi Ekonomi Regional


Fenomena Integrasi ekonomi regional pasca Perang Dunia II (PD II)

bukanlah konsep baru. Konsep ini sebenarnya telah ada selama ratusan tahun
(Schiff danWinters, 2003). Paska Perang Dunia II terjadi peningkatan minat
Negara-negara di dunia untuk mengintegrasikan ekonomi nasionalnya di tingkat
regional, meskipun terkadang terkendala karena adanya perbedaan pandangan
politik dan ekonomi. Motivasi untuk melakukan

integrasi ekonomi regional

muncul karena adanya keterbatasan pada daerah-daerah perbatasan Negara


dan adanya harapan terjadinya perdagangan, investasi dan efisiensi ekonomi.
Hal ini kemudian berlanjut dengan gerakan-gerakan sukarela untuk melakukan
penggabungan sistem sosio-ekonomi dan politik dari Negara-negara Anggota.
Sebuah contoh bagaimana integrasi ekonomi regional mulai dapat dilihat adalah
dari sejarah Uni Eropa yang dimulai pada tahun 1951 dengan pembentukan
European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara saja, yaitu:
Belanda, Inggris, Italia, Luksemburg, Perancis dan kemudian Jerman Barat. Hal
ini kemudian diikuti dengan pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)
pada tahun 1957 dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) pada tahun
1960 (Daniels et al., 2004). Skema, kelangsungan hidup dan keberhasilan nyata
dari MEE kemudian memicu maraknya skema integrasi di Amerika Latin, Asia
dan Afrika (Schiff dan Winters, 2003).
Pengelompokan ekonomi regional dapat terjadi dalam beberapa bentuk
seperti Free Trade Area (FTA), Customs Union, Common Market, Economic

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Union and Political Federation. Daniels et al. (2004) mengatakan bahwa


kelompok perdagangan umumnyaberisiNegara-negara di daerah yang sama di
dunia

(meskipun

tidak

cenderungdiperpendek,

selalu),

jarak

perjalanan

barang

antar

Negara

preferensi konsumen cenderung mirip, dan saluran

distribusi dapat dengan mudah didirikan di negara-negara yang berdekatan


sehingga biaya distribusi dapat dikurangi. Alasan lainnya adalah bahwa negaranegara saling bertetangga cenderung memiliki sejarah dan kepentingan
bersama, dan mereka lebih bersedia untuk mengkoordinasikan kebijakan
mereka.
2.2.

Konsep Integrasi Ekonomi


Definisi integrasi ekonomi secara umum adalah pencabutan atau

penghapusan

hambatan-hambatan

perekonomian

suatu

pencabutan

atau

negara.

ekonomi

Secara

penghapusan

diantara

operasional,

diskriminasi

dan

dua

atau

didefinisikan

lebih

sebagai

penyatuan

politik

(kebijaksanaan) seperti, peraturan, dan prosedur. Instrumennya meliputi bea


masuk, pajak, mata uang, undang-undang, lembaga, standardisasi produk, dan
kebijaksanaan ekonomi.
United Nation Conference on Trade and Development. (UNCTAD)
mendefinisikan

integrasi

ekonomi

sebagai

kesepakatan

yang

dilakukan

untukmemfasilitasi perdagangan internasional dan pergerakan faktor produksi


lintas negara. Pelkman (2003) mendefinisikan integrasi ekonomi berupa
penghapusan hambatan-hambatan ekonomi (economic frontier) antara dua atau
lebih ekonomi atau negara. Hambatan-hambatan ekonomi tersebut meliputi
semua pembatasan yang menyebabkan mobilitas barang, jasa, faktor produksi,
dan juga aliran komunikasi, secara aktual maupun potensial relatif rendah.

24

BAB II LANDASAN TEORI

Ketika integrasi ekonomi berlangsung, terjadi perlakuan diskriminatif


antara negara anggota dengan negara-negara bukan anggota integrasi di dalam
pelaksanaan perdagangan, sehingga akan memberikan dampak kreasi dan
dampak diversi bagi negara-negara anggota. Krugman (1991) memperkenalkan
suatu anggapan bahwa secara alami blok perdagangan didasarkan pada
pendekatan geografis yang dapat memberikan efisiensi dan meningkatkan
kesejahteraan bagi anggotanya.
Solvatore (1997) menguraikan integrasi ekonomi atas beberapa bentuk :
1.

Pengaturan Perdagangan Preferensial (Preferential Trade Arragements)


dibentuk oleh negara- negara yang sepakat menurunkan hambatanhambatan perdagangan di antara mereka dan membedakannya dengan
negara-negara yang bukan anggota.

2.

Kawasan perdagangan bebas (free trade area) di mana semua hambatan


perdagangan baik tarif maupun non tarif di antara negara-negara anggota
dihilangkan sepenuhnya, namun masing- masing negara anggota masih
berhak menentukan sendiri apakah mempertahankan atau menghilangkan
hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkan terhadap negaranegara non- anggota.

3.

Persekutuan Pabean (Customs Union) mewajibkan semua negara anggota


untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di
antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan
mereka terhadap negara lain non-anggota.

4.

Pasar bersama (Common Market) yaitu suatu bentuk integrasi di mana


bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan namun arus

25

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal juga dibebaskan dari semua
hambatan.
Pelaksanaan integrasi ekonomi ASEAN melalui pasar tunggal dan basis
produksi akan memberikan peluang dan manfaat ekonomi yang besar jika
bangsa Indonesia cerdik dan cerdas menyikapi melalui peningkatan daya saing
produk unggulannya. Adanya pasar ASEAN yang semakin terbuka akan
mendorong Indonesia sebagai satu-satunya negara ASEAN yang memiliki jumlah
penduduk dan sumber daya terbesar melakukan penetrasi produk nasionalnya di
pasar ASEAN. Di sisi lain, pemerintah perlu melindungi masyarakat umum dari
serbuan masuknya produk asing yang membahayakan aspek keselamatan,
kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup (K3L) serta melindungi pula
produsen nasional dari masuknya produk bermutu rendah dan tidak aman yang
akan merusak

pasar nasional disebabkan harganya yang

murah jika

dibandingkan dengan produk nasional yang aman dan bermutu.


Menurut Viner (1950), dampak dari suatu integrasi ekonomi terhadap
tingkat kesejahteraan dijelaskan melalui konsep trade creation dan trade
diversion. Trade creation terjadi apabila suatu negara dapat mengimpor barang
dengan harga yang lebih murah dari negara lain dalam suatu kawasan integrasi
ekonomi,

sehingga

secara

keseluruhan

kesejahteraan

akan

meningkat.

Sementara itu, trade diversion terjadi apabila impor dari suatu negara yang
berada di luar kawasan digantikan oleh negara lain yang berada di dalam
kawasaan integrasi, karena produk dari negara lain dalam kawasan tersebut
menjadi lebih murah akibat adanya perlakuan khusus dalam penetapan tarif.
Dollar (1992), Sach, dan Warner (1995), Edwards (1998), dan Wacziarg
(2001)

26

mengatakan

bahwa

integrasi

ekonomi

dapat

menurunkan

atau

BAB II LANDASAN TEORI

menghilangkan semua hambatan perdagangan di antara negara-negara


anggota, dapat meningkatkan daya saing dan membuka besarnya pasar pada
negara anggota, meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat
memacu efisiensi produktif di antara produsen domestik, dan meningkatkan
kualitas dan kuantitas input dan barang dalam perekonomian. Produsen
domestik dapat meningkatkan profit dengan semakin besarnya pasar ekspor dan
meningkatkan kesempatan kerja.
Sumarno dan Kuncoro (2002), menganalisis hubungan antara struktur
dankinerja industri rokok kretek di Indonesia periode 1996-1999. Penelitian
inimenggunakan indikator CR4 dan jumlah perusahaan sebagai ukuran dari
struktur,sedangkan keuntungan sebagai indikator dari kinerja. Hasil analisis yang
didapatyaitu, keuntungan tiap perusahaan mempunyai korelasi yang positif
denganindikator turunnya nilai CR4. Sedangkan keuntungan tiap perusahaan
mempunyaikorelasi yang negatif terhadap jumlah perusahaan. Keuntungan per
output industry rokok kretek di Indonesia secara total pada tahun 1999
mengalami kenaikansebesar 4,1 persen bila dibandingkan dengan keuntungan
per output pada tahun1996. Keuntungan per output yang meningkat seiring
dengan bertambahnyajumlah perusahaan inilah yang menyebabkan keuntungan
tiap perusahaanmenurun.
Muslim dan Wardhani (2008), menganalisis tentang hubungan struktur
dankinerja industri rokok kretek dengan menggunakan tiga variabel. Variabel
tersebutterdiri dari CR4 dan MES (Minimum Efficiency of Scale) sebagai
indikatorstruktur, sedangkan PCM (Price Cost Margin) sebagai indikator
kinerja.Hasil

penelitian

positifterhadap

PCM.

yang

didapatkan

Konsentrasi

yang

yaitu

variabel

meningkat

akan

CR4

signifikan

mempengaruhi

27

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

peningkatanPCM atau sebaliknya. Hasil lainnya yaitu, variabel MES signifikan


negative terhadap PCM. Semakin tinggi hambatan masuk pasar maka semakin
menurunnilai PCM, atau sebaliknya. MES bernilai signifikan negatif karena pada
industry rokok kretek, orientasinya lebih mengacu pada produk efisiensi. Produk
efisiensidiukur berdasarkan peningkatan produktivitas tenaga kerja dalam
menghasilkanrokok kretek. Hal ini dilakukan karena industri rokok kretek lebih
bersifat padatkarya dibandingkan dengan orientasinya terhadap teknologi.
Mengacu pada Baldwin dan Wyplosz (2004),

dampak

ekonomi

pembentukan suatu kawasan dapat dikategorikan sebagai berikut.


1.

Dampak alokasi (allocation effect)


Integrasi ekonomi akan mendorong pelaku usaha di setiap negara untuk
melakukan alokasi sumber daya yang dimilikinya secara lebih efisien.
Kondisi ini akan tercapai melalui dua tahapan sebagai berikut :
a. Pro-competitive effect
Dihapuskannya berbagai hambatan dalam perdagangan maupun
mobilitas faktor produksi akan memicu persaingan dengan masuknya
produsen dari luar negeri ke pasar domestik. Kondisi persaingan
mendorong terciptanya pro-competitive effect, di mana perusahaan
dipaksa untuk terus menurunkan harga mark-up.
b. Industrial restructuring dan scale effect
Akibat persaingan yang makin ketat, perusahaan yang kalah efisien
pada akhirnya akan keluar dari pasar. Perusahaan yang masih
bertahan akan terus berusaha meningkatkan pangsa pasarnya,
sehingga akhirnya dapat meraih keuntungan.

28

BAB II LANDASAN TEORI

2.

Dampak akumulasi (accumulation effect)


Integrasi ekonomi akan mendorong terjadinya akumulasi kapital, baik fisik
maupun human capital, sehingga akan meningkatkan pertumbuhan output.
Dampak

akumulasi

sangat

terkait

dengan

dampak

alokasi

yang

memberikan dorongan bagi pengusaha untuk beroperasi secara lebih


efisian. Meningkatnya efisiensi menciptakan iklim yang kondusif bagi
penambahan investasi, sehingga pelaku ekonomi akan terdorong untuk
menambah akumulasi kapital. Di sisi lain, integrasi ekonomi juga akan
mempermudah

mobilitas

faktor

produksi,

sehingga

akan

semakin

meningkatkan suplai faktor produksi.


3.

Dampak lokasi (location effect)


Integrasi ekonomi akan mendorong suatu negara untuk melakukan
spesialisasi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki. Konsep
keunggulan

komparatif

ini

biasa

dikenal

sebagai

Heckscher-Ohlin

comparative advantage. Selain itu, integrasi ekonomi yang disertai dengan


mobilitas faktor produksi juga akan mendorong terkumpulnya aktivitas
ekonomi tertentu di suatu wilayah tertentu (agglomeration). Aglomerasi
yang terjadi ini dapat bekerja secara backward maupun forward linkage.
Aglomerasi yang terkait dengan forward linkage ialah aglomerasi yang
terjadi karena keinginan pengusaha untuk mendekati pasar yang lebih
besar. Sementara itu, aglomerasi backward linkage terjadi karena
keinginan pengusaha untuk mendekati pemasok agar dapat menekan
biaya.

29

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

2.3.

Dampak Liberalisasi Perdagangan


Terdapat dua dampak utama yang timbul dari adanya liberalisasi

perdagangan,

yaitu

dampak

terhadap

lingkungan

mikroekonomi

danmakroekonomi. Efek makroekonomi melibatkan aspek pertumbuhan Produk


Domestik Bruto (PDB),penciptaan lapangan kerja, pengurangan inflasi, dan
peningkatan saldo perdaganganinternasional. Efek pada ekonomi mikro erjadi
karena adanya dampak penghapusan hambatan perdagangan yang memaksa
perusahaan untuk memikirkan kembali strategi mereka dan untuk beradaptasi
dengan lingkungan baru yang ditandai oleh persaingan yang meningkat sehingga
memkasa adanya proses yang kompetitif, munculnya inovasi teknologi dan
peningkatan kualitas produk. Adanya persaingan dan interaksi efek ini,
menyebabkan adanya tekanan pada perusahaan-perusahaan untuk menjadi
produktif.
Dalam

literatur

teori,

terdapat

tiga jalur utama

dari liberalisasi

perdagangan yang mempengaruhi kinerja ekonomi suatu negara. Pertama,


adanya keuntungan yang timbul dari liberalisasi perdagangan dalam bentuk
perbaikan

alokasi

sumber

daya

dalam

industri.

Dengan

meningkatnya

persaingan dari barang impor, produsen dalam negeri dipaksa bersaing untuk
menjadi lebih efisien. Perusahaan akan menurunkan margin biaya mereka ke
bawah kurva biaya rata-rata mereka. Tekanan persaingan akan menurunkan
biaya dan harga. Ketika hambatan perdagangan dihapus, maka biaya bagi
eksportir dan importir menjadi berkurang, dan hal ini memberik keuntungan bagi
pembeli dan investasi barang karena harga yang lebih rendah. Konsumen adalah
penerima pertama keuntungan dari proses ini, karena adaya penurunan harga

30

BAB II LANDASAN TEORI

dan selanjutnya akan berlanjut pada perluasan perdagangan ke arah


peningkatan kualitas, kuantitas, dan pilihan produk yang tersedia.
Dengan adanya heterogenitas dalam industri, liberalisasi perdagangan
memungkinkan

perusahaan

menjadi

lebih

produktif

dengan

adanya

perluasanpasar sementara akibat keluarnya atau menyusutnya perusahaan yang


kurang efisien. Dengan keluarnya perusahaan yang tidak efisien, maka sumber
daya (tenaga kerja dan modal) akan bebas pindah ke industri yang lain di mana
mereka dapat digunakan dengan lebih produktif. Liberalisasi perdagangan dan
reformasi yang berorientasi pasar juga akan mendorong terjadinya proses
restrukturisasi dan pengalokasikan kembali sumber daya di sektor ekonomi
sehingga kontrak-kontrak yang tidak menguntungkan akan menyusut dan
kegiatan

yang

menguntungkan

akan

berkembang.

Hal

inimerupakan

konsekuensi dari sebuah peningkatan efisiensi alokatifyang diharapkandapat


memberikan kesejahteraan bagi seluruh perekonomian.
Kedua, adanya keuntungan dinamis akibat terjadinya perubahanperubahan dalam hal teknis, pembelajaran, dan pertumbuhan yangmenyebabkan
terjadinya peningkatan produktivitas. Efisiensi dinamis memberikan gambaran
bahwa ekonomi akan mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi secara
permanen. Adanya kompetisi dalam industri, menyiratkan adanya peluang pasar
yang lebih besar dan peningkatan skala perusahaan secara permanen melalui
upaya biaya yang lebih rendah, kualitas yang lebih tinggi, lebih spesialisasi, dan
inovasi melalui kegiatan R & D.
Ketiga, terdapat efek kompetitif yang timbul dari kompetisi pada pasar
domestik. Efek ekonomi mikro tidak akan tercapai dalam waktu singkat dan
akanmemerlukan cukup waktu untuk terwujud. Selama pada masa periode

31

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

penyesuaian, hal yang paling ditakutkan adalah adanya pengurangan tenaga


kerja.

Dengan

demikian,

diperlukan

langkah-langkah

tertentu

yang

menyertaiupaya mengurangi penyesuaian biaya-biaya, terutama berkaitan


dengan kalangan pekerja. Dalam upaya mewujudkan dampak yang diharapkan,
perusahaan perlu mengubah perilaku mereka dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan pasar yang baru. Keberhasilan reformasi perusahaanakan sangat
tergantung pada kemampuan perusahaan untuk mengeksploitasi potensi-potensi
terpendamnya pada persaingan di pasar yang baru dan sekaligus dapat
mengambil keuntungan dari banyaknyapeluang yang ditawarkan kepada mereka
pada pasar baru tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut tentu saja tidak
akan berani masuk ke dalam kondisi

yang mereka sendiri

tidak

mengetahuisecara jelas dan pasti. Tentunya mereka hanya akan mengambil


keuntungan dari peluang pasar yang baru hanya jika program reformasi
kebijakan perdagangan pemerintahdianggap kredibel oleh mereka. Perubahan
kebijakan, keterlambatan jadwal, dan pengambilan keputusan yang tidak
konsisten hanya akan merusak keberhasilan liberalisasi perdagangan.
Kekuatan kompetisi di pasar tidak hanya berasal dari perilaku perusahaan
tetapi juga berasal dari lingkungan eksternal di mana perusahaan-perusahaan
tersebut bersaing. Kondisi ini misalnya termasuk masalah transportasi dan
komunikasi,

aturan

hukum,

efektivitas

sistem

keuangan

untuk

dapat

mempertemukan antara sumber daya investasi dengan peluang kewirausahaan,


serta informasi yang tersedia bagi konsumen. Carlin dan Seabright (2000)
menyebut lingkungan eksternal sebagai

"infrastruktur yang kompetitif" baik

secara fisik maupun kelembagaan. Ketika "infrastruktur kompetitif" kurang


memadai, maka kompetisi akan menjadi lemah.

32

BAB II LANDASAN TEORI

2.4.

Struktur Pasar, Kinerja dan Perilaku Industri Rokok di Indonesia


Menurut Laporan Industry Update Bank Mandiri volume ke 3 bulan

Februari 2013, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlahperokok


terbesar di dunia setelah China, AS, danRusia. Jumlah batang rokok yang
dikonsumsi diIndonesia mengalami peningkatan dari 182 miliarbatang pada 2001
(Tobacco Atlas 2002) menjadi 260,8miliar batang pada 2009 (Tobacco Atlas
2012).Sementara itu, Gabungan Perserikatan Pabrik RokokIndonesia (Gappri)
memperkirakan konsumsi rokokpada 2012 telah mencapai 300 miliar batang.
Konsumsirokok tumbuh rata-rata 4,4% per tahun selama 2005-2012 dan
diperkirakan tumbuh 4%-5% di 2013. Global Adult Tobacco Survey (GATS)
Indonesia 2011 jugamenunjukkan bahwa prevalensi merokok di Indonesiasecara
umum meningkat dari 27% pada tahun 1995 menjadi36,1% pada tahun 2011.
Apabila dilihat lebih detail, prevalensimerokok pada laki-laki di Indonesia
meningkat dari53,4% pada tahun 1995 menjadi 67,4% pada tahun 2011.
Angkaprevalensi merokok pada laki-laki di Indonesia tahun2011 tersebut
sekaligus merupakan yang tertinggidibandingkan dengan Rusia (60,6%),
Banglades (58%),dan China (52,9%). Sedangkan pada perempuan diIndonesia,
angka prevalensi meningkat dari 1,7% pada1995 menjadi 4,5% di 2011.
Laporan Industry Update Bank Mandiri edisi Februari 2013

juga

menyatakan bahwa meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatantelah


menggeser pola konsumsi rokok dari heavier kelower tar lower nicotine format
cigarettes beberapatahun terakhir ini. Hal tersebut menjadikanpertumbuhan
pasar rokok Indonesia saat ini lebihdidorong oleh pertumbuhan segmen sigaret
kretekmesin jenis mild. Pada 2011, penjualan rokok mildtumbuh 22% menjadi
100 miliar batang. Penjualansigaret kretek tangan naik 4% menjadi 85 miliar

33

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

batangdi 2011. Penjualan sigaret kretek mesin filter naik 2%menjadi 87 miliar
batang. Sementara penjualan sigaretputih mesin naik 5% menjadi 22 miliar
batang.Pertumbuhan penjualan rokok mild di Indonesiaterutama didorong
kenaikan permintaan terutama didaerah perkotaan.
Laporan Industry Update Bank Mandiri juga menginformasikan bahwa
produksi rokok Indonesia meningkat dari 220 miliarbatang pada 2005 menjadi
300 miliar batang di 2011,atau tumbuh rata-rata 5,3% per tahun. Angka
produksitersebut telah melebihi target produksi rokok dalamroadmap Industri
Hasil Tembakau (IHT). Sesuai denganroadmap, pemerintah menargetkan
produksi rokokhanya sejumlah 240 miliar batang untuk sasaran jangkamenengah
(2010-2014) dan 260 miliar batang untuksasaran jangka panjang (2015-2025).
KementerianPerindustrian menargetkan pertumbuhan produksirokok 2011-2015
hanya berkisar rata-rata 3%-4% pertahun. Berdasarkan jenisnya, segmen Sigaret
KretekMesin (SKM) masih menjadi kontributor terbesar(63,6%), diikuti Sigaret
Kretek Tangan SKT (28,9%),dan Sigaret Putih Mesin SPM (7,5%). Sementara
darisisi produsen, industri rokok didominasi oleh tigapemain utama yang
menguasai sekitar 72% pangsapasar, yaitu Sampoerna (31,1%), Gudang
Garam(20,7%), dan Djarum (20,2%). Pemain besar lainnyaadalah Bentoel/BAT
(8,0%), dan Nojorono (5,8%).Jumlah perusahaan di industri pengolahan
tembakaubesar dan sedang nasional pada 2011 diperkirakan 897perusahaan
dimana sebaran terbesar terdapat di JawaTimur. Industri pengolahan tembakau
banyak jugaterdapat di Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat,dan DI
Yogyakarta.

Jika

dilihat

berdasarkan

jumlahnya,terdapat

kecenderungan

menurun pada industripengolahan tembakau besar dan sedang nasional


dari1.132 perusahaan pada tahun 2008 menjadi 978 perusahaanpada tahun2010

34

BAB II LANDASAN TEORI

meskipun sharegolongan ini mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkansemakin


kuatnya dominasi pemain besar di industri ini.
Struktur pasar ini dapat mempengaruhi persaingan dan tingkat harga.
Beberapa elemen penting untuk mengukurstruktur pasar diantaranya adalah
tingkat konsentrasi dan hambatan masuk pasar.Tingkat konsentrasi industri
merupakan salah satu variabel penting dalamstruktur pasar. Konsentrasi menurut
Jaya (2001), dapat diartikan sebagaikombinasi pangsa pasar dari perusahaanperusahaan oligopolis yang

terdapathubungan saling ketergantungan di

dalamnya. Konsentrasi juga menunjukantingkat produksi dari pasar yang


dibentuk oleh satu atau beberapaperusahaan terbesar. Semakin besar pangsa
pasar yang dikuasai oleh perusahaanrelatif terhadap pangsa pasar total, maka
semakin tinggi nilai konsentrasinya.
Kinerja pasar menurut Teguh (2006), merupakan hasil kerja atau
prestasiyang muncul sebagai reaksi akibat terjadinya tindakan-tindakan para
pesaingpasar yang menjalankan strategi perusahaannya guna bersaing dan
menguasaipasar. Kinerja dapat diukur melalui berbagai bentuk pencapaian yang
diraihperusahaan, beberapa diantaranya adalah keuntungan dan efisiensi.
Struktur

industri

yang

berbeda-beda

ditandai

oleh

keuntungan

yangditerima setiap perusahaan dalam industri yang berbeda-beda pula. Industri


yangberstruktur pasar persaingan sempurna, akan mendapatkan keuntungan
normal.
Produsen pada umumnya akan berproduksi pada saat harga sama
dengan

biayamarginal

dan

biaya

rata-rata.

Sebaliknya,

pasar

yang

berstrukturoligopoli/monopoli akan berproduksi pada saat tingkat harga melebihi

35

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

biaya rataratayang sedang menurun sehingga keuntungan yang didapat bersifat


supernormal profit
Menurut

Teguh

(2006),

struktur

pasar

yang

bersifat

oligopoli/

monopolipada umumnya berproduksi pada situasi penerimaan marginal sama


dengan biayamarginal. Oligopolis/monopolis tersebut akan berproduksi pada
saat kapasitasproduksi yang rendah sehingga mendapat keuntungan super
normal.
Perilaku pasar menurut Kuncoro (2007), diartikan sebagai pola
tanggapanyang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuannya dalam lingkup
persainganindustri. Aksi reaksi antar satu perusahaan terhadap perusahaan
lainnya diterapkandalam bentuk penetapan harga jual, serta promosi produk
(advertising).
Perilaku pasar digunakan untuk menentukan segala sesuatu yang
berkaitandengan kegiatan operasional perusahaan. Strategi pasar jenis ini
dilakukan

olehpelaku

pasar

beserta

pesaing-pesaingnya.

Masing-masing

tindakan yangdijalankan oleh perusahaan dalam industri memiliki ciri khas


tersendiri sebagailangkah untuk melakukan penetrasi pasar (Teguh, 2006).
Perilaku setiapperusahaan akan sulit diperkirakan untuk kondisi pasar oligopoli.
Tindakan yangdilakukan seringkali harus mengantisipasi tindakan dari pesaingpesaing terdekat.
2.5.

Kerangka Pemikiran Teoritis


Kebijakan tarif cukai diharapkan dapat menjadi instrumen pemerintah

dalam upaya mengelola penerimaan negara khususnya dari cukai, sekaligus


menjadi alat pengelola industri rokok di Indonesia untuk lebih meningkatkan nilai
tambah dan produktivitasnya khususnya ketika menghadapi integrasi ekonomi

36

BAB II LANDASAN TEORI

ASEAN tahun 2015. Pola perilaku ini diharapkan memberikan masukan kepada
pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam memaksimalkan target
penerimaannya.
Gambar. 2.1
Kerangka Konseptual

CR4 Rokok Kretek (X3)


H4
Output Rokok
Kretek (X1)

Selisih Tarif Rokok


Kretek Dengan Tarif
Import Singapura (X7)

H2
H5

Selisih Tarif Rokok


Kretek Dengan Tarif
Import Malaysia (X8)

Nilai Tambah Rokok Kretek (X4)


Penerimaan
Cukai (Y)

H1

CR4 Rokok Putih (X5)

Output Rokok
Putih (X2)

H6

Selisih Tarif Rokok


Putih Dengan Tarif
Import Singapura (X9)

H7

Selisih Tarif Rokok


Putih Dengan Tarif
Import Malaysia (X10)

H3

Nilai Tambah Rokok Putih (X6)

2.6.

Komoditas Rokok Dalam Integrasi Ekonomi Regional


Teori

perdagangan

klasik

dan

Teori

Perdagangan

Baru

tidak

menyebutkan dampak perdagangan internasional terhadap isu-isu sosial, seperti


kesehatan dan dalam kaitannya dengan produk yang berbahaya seperti
tembakau. Meskipun demikian, peningkatan perdagangan tembakau telah
menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang utama di abad 21 ini. Sementara
konsumsi tembakau telah menurun di negara-negara berpenghasilan tinggi, dan

37

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

terus meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah,


terutama karena adanya pembentukan perusahaan tembakau transnasional di
pasar negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tiga dekade
terakhir (Jha dan Chaloupka, 2000). Perusahaan tembakau transnasional adalah
pendukung kuat kebijakan penurunan tarif dan pasar perdagangan bebas, agar
mereka dapat bersaing dengan perusahaan rokok domestik. Semakin banyak
pasar dibuka untuk produsen asing, semakin tinggi produksi tembakau mereka
maka semakin agresif pemasaran tembakau mereka untukmeningkatkan
konsumsi tembakau tersebut. Misalnya, dalam tahun 1980-an, adanya perjanjian
perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan beberapa negara Asia telah
menaikkan permintaan tembakau di Asia. (WTO/WHO, 2002). Pemasaran yang
dilakukan

olehPerusahaan

Tembakau

Transnasional

telah

meningkatkan

konsumsi produk tembakau di negara-negara miskin lebih besar dibandingkan di


negara-negara yang tidak miskin(Bank Dunia 1999).
Dari perspektif kesehatan masyarakat, perdagangan pasar bebas
internasional dianggap akan merusak upaya pengendalian tembakau. Hal ini
disebabkan karena adanya perluasan produk tembakau publik yang dinggap
berbahaya. Beberapa perjanjian perdagangan seringkali menetapkan kebijakan
untuk melindungi investasi dan investor yang tidak memiliki pengecualian pada
produk tembakau. Sebagai akibatnya, muncul hambatan bagi Negara untuk
mengadopsi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat
dalam kegiatan perdagangan internasional. Kondisi ini memberikan kesempatan
bagi Perusahaan Tembakau Transnasional seperti Philip Morris, British American
Tobacco,

dan

Japan

Tobacco

International

untuk

secara

jeli

dapat

memanfaatkan hambatan ini dan mencari kompensasi atas keuntungan yang

38

BAB II LANDASAN TEORI

hilang akibat kebijakan pemerintah yang dianggap tidak mematuhi kebijakan


investasi (Weissman 2003).

2.7.

Potensi Sengketa Dagang Antara Pemerintah dan Industri Tembakau


Di bawah Komunitas Ekonomi ASEAN semua hambatan perdagangan

harus dihilangkan, langkah-langkah pengendalian tembakau yang kuat suatu


negara bisa menjadi subyek sengketa di WTO atau di bawah perjanjian investasi
bilateral. Hal ini terjadi di Australia. Dalam upaya melindungi kesehatan
masyarakat penduduknya, Australia telah mengesahkan peraturan yang
berkaitan dengan tembakau kemasan polos, yang melarang setiap pencitraan
merek (kecuali untuk nama merek dengan jenis font huruf dan ukuran yang
standar) dan mengatur penggunaan paket standar untuk warna gelapcoklatkehijauan untuk memperjelas peringatan kesehatan bergambar besar di bagian
depan dan belakang pada setiap bungkus rokoknya. Hal ini kemudian ditentang
oleh Ukraina di WTO dengan alasan bahwa undang-undang ini melanggar
Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS)
WTO Tahun 1994, serta Kesepakatan Hambatan Teknis Perdagangan dan
Perjanjian mengenai Tarif dan perdagangan (GATT). Philip Morris juga telah
mengajukan gugatan terhadap pemerintah Australia berdasarkan perjanjian
investasi bilateral antara Australia dan Hong Kong. Insiden ini tentunya
menghambat implementasi penuh FCTC untuk menempatkan peringatan
kesehatan yang lebih menonjol pada bungkus rokok, dalam rangka untuk
memperingatkan konsumen dan membatasi iklan rokok.

39

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

2.8.

Keterjangkauan Rokok dan Konsumsi Yang Tinggi


Dalam upaya untuk memperluas bisnis dan keuntungan perusahaan di

Asia Tenggara, maka Perusahaan Tembakau Transnasional seperti Philip Morris


dan British American Tobacco telah mendirikan fasilitas manufaktur dan usaha
patungan di hampir semua negara ASEAN, untuk mendapatkan keuntungan dari
pengurangan dan penghapusan tarif impor yang diberikan kepada produksi
dalam negeri Negara-negara anggota ASEAN di bawah AEC.
Di Indonesia, Philip Morris International (PMI) telah membeli Sampoera
Indonesia pada tahun 2005, dan saat ini menguasai 30% dari pasar rokok.
Perusahaan percaya pada prospek positif di Indonesia. Selain itu, British
American Tobacco telah membeli saham 85% di Bentoel pada tahun 2009.
Kedua perusahaan memperoleh peningkatan volume penjualan rokok di
Indonesia pada 2010terutama untuk rokok kretek kretek, yang menyumbang
lebih dari 90% dari pasar rokok di Indonesia. Di Filipina, PMI merupakan investor
besar di negara tersebut, telah membentuk perusahaan patungan dengan
Fortune Tobacco, yang memproduksi rokok untuk masyarakat berpenghasilan
rendak sampai menengah di Filipina. Kedua perusahaan kini memiliki pangsa
pasar sebesar 90% dari pasar rokok senilai $ 1,7 miliar. Kasus-kasus serupa ini
terjadi di seluruh negara-negara yang dipilih. Tidak diragukan lagi, bahwa
pengurangan dan penghapusan tarif di bawah AEC akan memberikan peluang
yang menguntungkan bagi perusahaan tembakau untuk memperluas pasar
mereka dan mendapatkan keuntungan lebih di wilayah regional.
FCTC memandang bahwa tindakan pengenaan pajak dan harga yang
dikenakan pada produk tembakau sebagai cara paling efektif untuk mengurangi
konsumsi tembakau. Dengan demikian prinsip-prinsip AEC yang berjalan pada

40

BAB II LANDASAN TEORI

konsep pengurangan/penghapusan tarif akan melemahkan pelaksanaan FCTC


yang berbasis pada pajak dan ukuran harga. Bukti-bukti yang ada menunjukkan
bahwa di antara lima negara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina dan
Vietnam, memiliki harga rokok yang sudah sangat murah. Tarif impor yang
rendah akan menyebabkan terjadinya aliran bebas rokok yang murah dari
negara-negara produsen seperti Indonesia dan Filipina ke seluruh negara-negara
di ASEAN. Meskipun negara mungkin ingin memaksakan pajak dalam negeri
pada rokok, namun aturan yang ada tidak memungkinkan negara-negara
tersebut untuk memaksakan penggunaan pajak ganda terhadap suatu
komoditas.
Saat ini, dataGlobal Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan bahwa
konsumsi rokok yang tinggi berada di kalangan kaum muda dengan usia antara
12-15 di lima negara terpilih, terutama di Filipina dan Indonesia (CDC, 2013).
Jika program AEC berhasil meningkatkan status ekonomi di tingkat mikro dan
makroNegara-negara anggotanya, maka kondisi ini dengan sendirinya

akan

meningkatkan pendapatan rumah tangga dan daya beliNegara-negara anggota


tersebut, dan kondisi ini akan lebih memungkinkan perokok yang ada dan baru
untuk membeli rokok lagi.
2.9.

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Konvensi


Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau
FCTC merupakan suatu perjanjian pertama berkaitan dengan kesehatan

masyarakat global yang dinegosiasikan di bawah naungan Organisasi Kesehatan


Dunia (WHO) untuk memerangi epidemi tembakau. Hal ini mulai berlaku pada
Februari 2005 dan sebanyak 175 negara anggota WHO (mewakili 87,8% dari
populasi dunia) telah menjadi Peserta konvensi ini. Kesepakatan dalam konvensi

41

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

tersebut mengharuskan para Pihak yang meratifikasi konvensi tersebut untuk


mengambil langkah-langkah, antara lain, 1) penggunaan instrumen pajak dan
harga untuk mengurangi konsumsi tembakau, 2) larangan melakukan iklan,
promosi dan sponsorshiptembakau, 3) menciptakan situasi kerjadan ruang publik
yang bebas asap rokok; 4) menempatkan peringatan kesehatan yang menonjol
pada bungkus tembakau, dan 5) memerangi perdagangan ilegal produk
tembakau (FCA 2012).
Wilayah Asia Pasifik mencatat 57,4% dari populasi dunia yang merokok
dengan konsumsi rokok per kapita sekitar 873 batang per tahun. Lima negara
seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina dan Vietnam, menghadapi tantangan
konsumsi tembakau yang tinggi. Prevalensi perokok dewasa (berusia 18 tahun
ke atas) adalah 19,5% di Kamboja, 34,7% di Indonesia, 40,3% di Lao PDR,
28,3% di Filipina dan 23,8% di Vietnam (SEATCA 2012).
Tarif pajak tembakau di kalangan negara-negara ASEAN, Negara Brunei
memiliki beban pajak tertinggi terhadap harga eceran yang dikenakan pada satu
pak rokok (72%) dan diikuti oleh Thailand (70%) dan Singapura (69%). Di antara
lima negara tersebut, beban pajak terhadap harga ritel dirasakan masih cukup
rendah, masih di bawah tingkat pajak tembakau yang direkomendasikan oleh
WHO 70% (SEATCA 2012).
2.10.

Hambatan Untuk Mencapai Implementasi FCTC Yang Efektif


Semua negara-negara ASEAN, dengan pengecualian Indonesia, telah

meratifikasi FCTC, mengikat mereka untuk melaksanakan ketentuan perjanjian


dan melaporkan kemajuannya. AEC memiliki potensi menghambat pelaksanaan
FCTC,selain itu memungkinkan terjadinya perdagangan gelap rokok. Meskipun
terdapat beberapa pendapat penelitian yang mengatakan bahwa tingkat cukai

42

BAB II LANDASAN TEORI

dan kenaikan pajak bukan merupakan pendorong utama terjadinya perdagangan


gelap tembakau, namun industri tembakau berpendapat bahwa kenaikan cukai
tembakau akan menghasilkan peningkatan perdagangan gelap rokok. Meskipun
demikian, beberapa penelitian juga membuktikan bahwa perdagangan gelap
tembakau terutama disebabkan oleh masalah penegakan hukum, perhatian pada
kesehatan masyarakat, harga produk tembakau yang tersedia secara murah.
Semakin bebas arus barang dalam AEC dapat meningkatkan tantangan
yang lebih berat yang dihadapi oleh negara-negara yang sudah mencoba
melaksanakan pengendalian perdagangan gelap tembakau. Selain itu, karena
terjadi aliran bebas dari gerakan manusia dalam wilayah ini, maka potensi
terjadinya penyelundupan walaupun mungkin terjadi dalam skala yang kecil
terjadi. Para wisatawan dapat membeli rokok dan produk tembakau lainnya di
satu negara untuk dijual kembali secara ilegal di negara lain.
Meskipun banyak negara mengadopsi langkah-langkah pengendalian
tembakau dengan menggunakan ukuran sebelum terjadinya AEC, namun
mereka akan terus dihadapkan oleh tekanan-tekanan dari industri tembakau
dengan dasar perjanjian investasi dan perdagangan kecualikomoditas tembakau
dimasukkan dalam perjanjian tersebut.
2.10.1. Substansi

Konsep

PemikiranKebijakan

Pengendalian

Rokok

Berdasarkan FCTC
Tembakau telah membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika
hal ini berlanjut, diproyeksikan akan membunuh 10 juta orang sampai tahun
2020, dengan 70% kematian terjadi di Negara berkembang. Penyakit yang
diakibatkan oleh rokok juga telah memakan biaya yang sangat besar dalam
pelayanan kesehatan, menyebabkan kehilangan produktifitas seseorang, dan

43

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

tentunya juga biaya yang tidak terlihat akibatpenyakit dan penderitaan yang
timbul terhadap perokok aktif, pasif dan keluarga mereka.
Sebagaimana

tertulis

dalam

pembukaanKerangka

Kerja

Konvensi

Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control FCTC),tujuan FCTC adalah untuk melindungi generasi saat ini dan mendatang
dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari
konsumsi tembakau serta asap tembakau. Konvensi ini menjadi hukum
internasional pada tanggal 27 Februari 2005.FCTC mendorong seluruh negara
peserta Konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dari standar
minimal yang ditentukan dalam Konvensi. Ketentuan-ketentuan yang dianggap
cukup penting khususnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut (fact sheet
TCSC IAKMI):

Pertanggungjawaban (Pasal 4.5)


Tindakan hukum perlu dilakukan sebagai strategi pengendalian dampak
tembakau. FCTC melihat bahwa pertanggungjawaban merupakan program
yang penting dalam pengendalian dampak tembakau. Negara-negara peserta
sepakat untuk melakukan pendekatan legislatif dan hukum dalam mencapai
tujuan pengendalian dampak tembakau dan bekerjasama dalam pengadilan
yang terkait dengan masalah tembakau.

Pajak dan Penjualan Bebas Bea (Pasal 6)


FCTC menghimbau negara-negara peserta untuk menaikkan pajak tembakau
dan mempertimbangkan tujuan kesehatan masyarakat dalam menetapkan
kebijakan cukai dan harga produk tembakau. Penjualan tembakau bebas bea
juga sebaiknya dilarang.

44

BAB II LANDASAN TEORI

Asap Rokok Bekas (Pasal 8)


Asap rokok telah terbukti secara ilmiah menyebabkan kematian, penyakit dan
cacat. FCTC mensyaratkan seluruh negara peserta untuk mengambil
langkah-langkah efektif dalam melindungi dampak dari asap rokok di tempattempat publik bagi bukan perokok, termasuk di tempat-tempat kerja,
kendaraan umum, serta ruangan-ruangan di tempat publik lainnya.

Pengungkapan dan Pengaturan Kandungan Produk (Pasal 9 dan 10)


Produk tembakau perlu diatur. Negara-negara peserta sepakat untuk
membentuk suatu acuan yang dapat digunakan seluruh negara-negara
dalam mengatur kandungan produk tembakau. Negara-negara peserta juga
harus mewajibkan pengusaha tembakau untuk mengungkapkan kandungan
produk tembakaunya kepada pemerintah.

Pengemasan dan Pelabelan (Pasal 11)


FCTC mensyaratkan agar sedikitnya 30% dari permukaan kemasan produk
digunakan untuk label peringatan kesehatan dalam kurun waktu 3 tahun
setelah ratifikasi FCTC.
Peringatan yang mengandung kata-kata yang menyesatkan seperti
light, mild, dan rendah tar dilarang. Penelitan membuktikan rokok yang
berlabel light, mild dan rendah tar sama bahayanya seperti rokok pada
umumnya. Negara-negara peserta sepakat untuk melarang segala kata-kata
yang menyesatkan dalam kurun waktu 3 tahun setelah menjadi anggota
FCTC.

Iklan, Promosi dan Pemberian Sponsor (Pasal 13)


FCTC mensyaratkan agar negara anggotanya melaksanakanlarangan total
terhadap berbagai jenis iklan, pemberian sponsor, dan promosi produk-

45

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

produk tembakau baik secara langsung maupun tidak, dalam kurun waktu 5
tahun setelah dilakukannya ratifikasi Konvensi. Larangan ini juga termasuk
iklan lintas batas yang berasal dari salah satu negara peserta. Bagi negaranegara yang memiliki hambatan konsitusional, larangan total iklan,
pemberian sponsor dan promosi ini dilakukan dengan mempertimbangkan
hukum yang berlaku di negara tersebut.

Penyelundupan (Pasal 15)


FCTC mensyaratkan dilakukannya suatu tindakan dalam rangka mengatasi
penyelundupan tembakau. Tindakan tersebut termasuk menuliskan asal
pengiriman serta tempat tujuan pengiriman di semua kemasan tembakau.
Selain itu, negara-negara peserta dihimbau untuk melakukan kerjasama
penegakan hukum dalam penyelundupan tembakau lintas negara.

2.10.2. Kebijakan Pengendalian Rokok di Indonesia


Dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk
tembakau bagi kesehatan, yang telah ditandatangani oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 24 Desember 2012 yang berlaku 12 bulan
mendatang, pemerintah telah mencoba memberlakukan pengendalian pada
produksi, impor, peredaran, promosi dan iklan, serta memberikan perlindungan
khusus bagi anak dan perempuan hamil serta pengaturan kawasan tanpa rokok.
Produsen juga dilarang menjual rokok menggunakan mesin layan diri,
menjual kepada anak di bawah usia 18 tahun serta kepada perempuan hamil.
Produsen juga wajib mencantumkan peringatan kesehatan dalam produk rokok
yang diedarkan di seluruh wilayah Indonesia.

46

BAB II LANDASAN TEORI

Setiap satu varian rokok wajib mencantumkan gambar dan tulisan peringatan
kesehatan yang terdiri atas lima jenis yang berbeda, dengan porsi masingmasing 20%. Gambar dan tulisan peringatan kesehatan wajib dicantumkan pada
bagian atas depan dan belakang kemasan rokok masing-masing seluas 40%.
Produsen juga dilarang untuk mencantumkan keterangan atau tanda apa pun
yang

menyesatkan

atau

kata-kata

yang

bersifat

promotif,

misalnya

mencantumkan kata light, ultra light, mild, extra mild, low tar, slim, special, full
flavour, premium atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa
aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama.
Pemerintah juga mengendalikan promosi dan iklan rokok. Pengendalian iklan
rokok antara lain mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar
dan tulisan sebesar paling sedikit 10% dari total durasi iklan dan/atau 15% dari
total luas iklan.Pengendalian promosi rokok juga dilakukan dengan cara
melarang pemberian cuma-cuma, potongan harga, serta hadiah dalam bentuk
produk tembakau. Juga tidak diperbolehkan penggunaan logo atau merk rokok
pada suatu kegiatan lembaga atau perorangan.
Sponsor rokok dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan hanya dapat
dilakukan dengan ketentuan tidak menggunakan nama merk dagang dan logo
produk

tembakau

termasuk

brand

image

serta

tidak

bertujuan

untuk

mempromosikan.
Kebijakan PP 109 tahun 2012 secara umum sudah sejalan sesuai dengan
kesepakatan dalam FCTC. Apabila dirasakan masih ada perbedaan atau
kekurangan dapat disesuaikan dalam perjalanannya, namun semangatnya perlu
didukung secara maksimal.

47

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Disamping itu juga dapat dilakukan kebijakan-kebijakan berikut untuk


memerangi penyelundupan, seperti misalnya:

mengurangi insentif untuk penyelundupan melalui kebijakan harga dan


harmonisasi pajak;

mengurangi pasokan tembakau yang diselundupkan dengan mengatur


transportasi dan penjualan ritelnya;

mengurangi

permintaan

tembakau

yang

diselundupkan

dengan

mempengaruhi perilaku konsumen untuk tidak membeli produk selundupan

meningkatkan kepastian hukum, penuntutan dan penegakkan hukum serta


pemberian hukuman yang berat.
Pajak perlu diarahkan untuk dapat meningkat secara tahunan. Pada

awalnya pajak diarahkan untuk mengekang konsumsi dan dalam jangka panjang
diarahkan untuk mempertahankan kenaikan pajak untukmengontrol konsumsi
dan menghasilkan pendapatan pemerintah yang cukup besar. Produk-produk
tembakau perlu dikenakan pajak secara seragam untuk mencegah pengguna
beralih ke merk rokok dengan harga yang lebih rendah.
Pemerintah

perlu

memastikan

bahwa

sistem

pajaknya

telah

disederhanakan dan tertutup dari berbagai celah yang memungkinkan industri


tembakau dapat mengambil keuntungan dari sistem pajak yang rumit. Oleh
karena itu sistem pajak harus dibuat sesederhana mungkin sehingga membuat
industri

tembakau

mau

bertanggung

jawab

untuk

melaporkan

semua

transaksinya kepada otoritas pajak, mengikuti semua kriteria dan persyaratan


yang ditetapkan pemerintah sehingga tidak tersedia ruang sedikitpun untuk
melakukansnegosiasi.

48

BAB II LANDASAN TEORI

Batas-batas hukum yang jelas perlu dibentuk agardapat didefinisikan


secara jelasbagaimana bentuk hubungan antara pemerintah dan industri
tembakau. Hal ini untuk memastikan bentuk hubungan formal interaksi seperti
apa yang akan dikedepankan dan bagaimana teknis pembayaran denda atas
penyimpangan dari hubungan formaltersebut. Pemerintah perlu menetapkan
kode etik dan moral yang jelas bagi aparat pemerintah ketika bekerja dengan
industri tembakau. Hal ini diperlukan agar petugas bea dan cukai dapat
mempertanggungjawabkan kinerja mereka sambil memastikan dipatuhinya
standar kode etik yang ada.
2.11.

Sejarah Pengenaan Cukai


Filsuf Barat pertama yang membahas mengenai penggunaan pajak

tembakau sebagai instrumen kebijakan ekonomi adalah Adam Smith. Dalam


bukunya berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations,Smith menjelaskan jenis pajak atas komoditas konsumsiyang harus
dikenakan

pajak

agar

tidak

meningkatkan

tingkat

upah

buruh.

Smith

mendefinisikan "kebutuhan barang" sebagai komoditas yang penting untuk


kelangsungan hidup,walaupun bagi orang-orang tertentu bukan merupakan
kebutuhan yang menjadi prioritas atau merupakan prioritas yang terendah (Smith
1818,287). Sepanjang pertengahan tahun 1700 ketika Smith menulis buku
tersebut, garam, lilin,dan sabun dianggap merupakan barang kebutuhan. Ketika
item kebutuhan dikenakan pajak, maka produsenkomoditas tersebut harus
membayar pajak, dan kemudian memasukkan biaya tersebutdalam kenaikan
harga komiditas mereka. Dengan menaikkan harga barang-barang tersebut,
maka

hargasubsistemnya

tersebutsangat

diperlukan

juga

akan

untuk

meningkat,
kelangsungan

karena
hidup.

barang-barang
Peningkatan

49

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

hargasubsistem ini akanmendorong terjadinya kenaikan upah, karena jika


perolehan dari buruh yang produktif ini berada di bawahtingkat subsistem yang
ada, maka akan terjadi penurunan jumlah pekerja yang tersedia, yangakan
mendorong produsen untuk membayar upah lebih tinggi sehingga membangun
kembali keseimbangan antarapasokan tenaga kerja dan permintaan (Smith
1818, 287-290). Dengan demikian, pajak atas kebutuhan yangdiinginkan
konsumen memaksa harga subsistem menjadi meningkat, namun di sisi lain
produsen tidak menginginkan adanya pajak tersebut menyebabkan biaya mereka
menjadi meningkat karena adanya tuntutan untuk menaikkan upah yang lebih
tinggi dan berkurangnya produk yang mereka jual.
Sebaliknya, Smith mendefinisikan "barang mewah" sebagai komoditas yang
tidakpenting untuk kelangsungan hidup. Tembakau, rum, dan gula merupakan
contoh barang mewah yang diuraikan dalam bukunya berjudulWealth of
Nations, ia mengklaim bahwa barang tersebut "sangat tepat untuk menjadi
subyek pajak"karena dikonsumsi secara luas (Smith 1818, 341).Ketika barang
mewah dikenakan pajak, maka pemerintah dapat meningkatkan pendapatan
yang mereka butuhkandengan sedikit hambatan, karena pajak tidak memaksa
terjadinya

kenaikan

tingkatupah.Meskipun

Smith

tidak

secara

eksplisit

mendukung pendapat pajak "dosa" dalam tulisan-tulisannya, ia tidakmendukung


pajak barang mewah yang

dikonsumsi secara luasyang dapat mengarahkan

konsumen membentukkebiasaan buruknya, seperti mengkonsumsi alkohol, yang


dapat menghasilkan eksternalitas negatif.
Smith menganggap pajak tembakaumerupakan sarana untuk menghasilkan
pendapatan pemerintah yang memiliki sedikit gangguan di pasarekonomi.
Meskipun argumen Smith untuk

50

pajak tembakau

mendahului gagasan

BAB II LANDASAN TEORI

mengkonsumsi tembakau sebagai "dosa,"namun pertumbuhan penerimaan


tembakau sebagai komoditas kena pajak menciptakan preseden yang
memungkinkan

pengenaan

pajak

tembakau

yang

lebih

tinggi

untuk

ditempatkanmenjadipajak tembakau sepanjang abad kedua puluh dengan


label"pajak dosa."
David Ricardo membantu memperluas teori Smith tentang perpajakan
dalam bukunya Principles of Political Economy dan Taxationtahun 1817 yang
mengatakan bahwa pajak barang mewah memiliki beberapa keuntungan atas
pajak

atas

kebutuhansebagai

pajak

atas

barang

mewah

yang

tidak

meningkatkan tingkat upah dan mengurangi keuntungan produsen. Ricardo juga


berpendapat bahwa konsumen akhirnya tetap akan memiliki "batas pajak" atas
pengenaan cukai pada komoditas tertentu yang terus meningkat. Setelah batas
pajak tercapai, konsumen akan berhenti atau mengurangi pembeliannya, bukan
karena ia tidak bisa lagi membelinya, tapi karena ia harus membayar harga yang
lebih tinggi daripada yang menurutnya layak (Ricardo 1996 , 167-168). Dengan
demikian, Ricardo mencapai kesimpulan penting bahwa konsumen akan
mencapai batas tertentuatas pengeluaran yang mereka bersedia bayarkan pada
item apapun, terlepas dari berapa banyak kenikmatan yang mereka peroleh
darinya. Pada beberapa kasus "titik langgar" ini lebih tinggi daripada titik yang
lain, sehingga faktor penentu kepuasan menjadi relatif terhadap persepsi
konsumen. Teori Ricardo juga menganggap bahwa zat yang paling adiktif juga
akan memiliki batas untuk berapa banyak mereka dapat dikenakan pajak, dan
setelah batas tersebut tercapai, konsumen akan membatasi atau berhenti
mengkonsumsinya.

51

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Jules Dupuit memperluas ide Ricardo tentang batas pajak pada tahun 1844
dalam uraiannya mengenai tingkat pajak optimal untuk jembatan dan pekerjaan
umum. Dupuit mengatakan bahwa jika pajak secara bertahap meningkat dari nol
sampai ke titik di mana ia menjadi penghalang, maka yield-nya adalah nol
pertama, kemudian meningkat secara bertahap nulai dari kecil sampai mencapai
maksimum, setelah itu secara bertahap menurun sampai menjadi nol lagi (Dupuit
1969, 278). Argumen ini bukan argumen yang sama sekali baru di bidang
ekonomi, baik Adam Smith dan Alexander Hamilton juga mengemukakan
masalah berkurangnya pendapatan atas perpajakan pemerintah dalam tulisan
mereka sebelumnya. Dalam Wealth of Nations, Smith mengklaim bahwa pajak
yang lebih tinggi sering menyebabkan pendapatan pemerintah lebih rendah
daripada yang dihasilkan oleh tingkat yang lebih moderat (Smith 1818, 78).
Demikian juga Alexander Hamiltondalam The Federalist Papers, mengemukakan
bahwa jika pajak terlalu tinggi maka kas yang dihasilkan akan tidak terlalu besar
dibandingkan bila berada dalam batas-batas yang tepat dan moderat (Hamilton
1993, 138). Dengan demikian pajak tembakau, seperti pajak atas barang-barang
lainnya, bisa secara teoritis mencapai titik di mana pendapatan pemerintah akan
menurun ketika tarif pajak dinaikkan. Teori dari Dupuit tentang perpajakan yang
optimal didukung oleh teori kurva permintaan diminishing marginal utility, dan hal
ini merupakan pertama kalinya sebuah kurva permintaan dijelaskan dengan
menggunakan teori utilitas marjinal. Teori itu

kemudiandikenal dengan

namaCurve Dupuit-Laffer (teori ini diperluas oleh ekonom abad kedua puluh
Alfred B. Laffer), yang mengemukakan bahwa peningkatan pajak dari komoditi
tertentu bukan merupakan sarana yang efektifbagi para pembuat kebijakan untuk

52

BAB II LANDASAN TEORI

meningkatkan pendapatan pemerintah, karena ada suatu titik di mana ketika


pajak begitu tinggi justru akan menurunkan pendapatan pemerintah.
2.12.

Teori Cukai Ramsey


Seorang ekonom dan ahli matematika Frank P. Ramsey mencoba

memperluas gagasan Marshall berkaitan dengan elastisitas harga terhadap


pajak. Menurut Ramsey, pemerintah dapat memaksimalkan efisiensi perpajakan
dengan pajak atas barang-barangdengan cara melihat kepada barang-barang
yang memiliki proporsi terbalik dengan elastisitas harga permintaan mereka
(Shughart 1998, 17). Dengan demikian, komoditas yang relatif inelastic maka
harganya harus dikenakan pajak lebih dari barang-barang yang memiliki
elastisitas harga lebih besar dari permintaannya. Bahkan, Ramsey menyatakan
bahwa jika ada barang yang memperlihatkan permintaan inelastis sempurna,
maka keseluruhan pendapatan pemerintah harus berasal dari pajak komoditas
tersebut. Sistem pajak memungkinkan pemerintah untuk menaikkan tingkat
pendapatan yang diinginkan, tetapi utilitas yang diperoleh konsumen tidak akan
mengurangi sama sekali jika pajak itu harus ditingkatkan (Ramsey tahun 1978,
254).
Ramsey mengatakan bahwa sistem perpajakan dapat efisien untuk
jumlah tertentu pendapatan yang diinginkan pemerintah untuk dinaikkan.
Ramsey tidak mengatakan bahwa sistem perpajakan akan tetap efisien jika
pemerintah berusaha untuk menaikkan pendapatan pajak sampai batas
maksimum. Geoffrey Brennan dan James Buchanan mengatakan bahwa
apabilakeinginan pemerintah ingin meningkatkan pendapatan pajakpemerintah
semaksimal mungkin menggunakan system pajak maka

tidak akan efisien.

Pemerintah akan menjadi kekuatan monopoli untuk mengeksploitasi barang-

53

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

barang dengan permintaan inelastis, dan tentunya akan menaikkan bobot


kerugian di masyarakat dengan menerapkan pajak yang lebih tinggi (Brennan
dan Buchanan 1980, 55-80). Dengan demikian, upaya perolehan pendapatan
pajak dengan mengikuti "Ramsey Rule"hanya memungkinkan pemerintah untuk
meningkatkan pendapatan pajak dalam jumlah yang terbatas, sekaligus dapat
meminimalkan gangguan dan hilangnya utilitas konsumen dalam masyarakat.
2.13.

Teori Cukai Berdasarkan Ketergantungan Yang Rasional


Literatur terbaruberkaitan dengan pajak rokokmenitikberatkan pada

adanya keprihatinan akibat masalah kecanduan rokok. Dua ekonom yang telah
mempelajari kebiasaan konsumsi barang adiktif adalah Gary Becker dan Kevin
Murphy. Dalam tulisannya berjudul, A Theory of Addiction Rasional, Becker dan
Murphy(1988) menyatakan bahwa perilaku adiktif dapat dipelajari dalam konteks
ekonomi neoklasik, sebagai konsumen barang adiktif yang rasional yang
mencoba memaksimalkan utilitas mereka dari waktu ke waktu. Asumsi yang
mendasarinya adalah bahwa konsumen bertindak rasional, mereka tidak hanya
memiliki informasi yang sempurna tentang preferensi konsumsi mereka saat ini
dan masa depan, tetapi mereka juga mengetahui biaya penuh yang muncul
akibat mengonsumsi adiktif dan dampak bahayanya. Dengan demikian,
meskipun individu menyadari konsekuensi penuh dari mengkonsumsi rokok,
mereka mungkin masih memilih untuk merokok karena keuntungan dari merokok
melebihi biaya apapun termasuk kecanduan di masa depan (Botond dan Kszegi
2000, 1).
Menurut model mereka, utilitas individu berasal dari konsumsi barang
adiktif saat ini yang merupakan fungsi konsumsi masa lalu dari barang tersebut.
Semakin banyak barang adiktif yang telah dikonsumsi seorang individu di masa

54

BAB II LANDASAN TEORI

lalu, semakin besar konsumsi dalam periode saat ini karena substansi sifat adiktif
tersebut dan konsumen dapat melakukan"learning by doing." Becker dan Murphy
(1988) menyimpulkan bahwa kenaikan harga yang dikompensasikan ke dalam
barang adiktif tersebut tidak hanya akan mengurangi konsumsi saat ini karena
kendala harga baru dan efek substitusi, tetapi konsumsi masa depan juga akan
terpengaruh dalam tingkat yang jauh lebih besar. Hal ini karena "stok" konsumsi
akan lebih rendah pada setiap periode waktu di masa mendatang mendatang
setelah terjadinya penurunan awal, dan menyebabkan peningkatan penurunan
konsumsi di masa depan pada setiap periode di masa depan. Mengingat adanya
sifat saling melengkapi konsumsi di lintas waktu, maka kenaikan pajak di masa
depan tetap akan memiliki efek pada konsumsi rokok saat ini. Jika konsumen
sangat rasional, maka mereka akan membatasi merokok saat ini dalam
menghadapi kenaikan pajak yang akan datang sehingga konsumsi rokok masa
depan mereka akan memaksimalkan utilitas merekadisebabkan karena adanya
kendala harga baru di masa depan (Becker dan Murphy 1988, 685-689). Jika
perilaku yang sebenarnya dilakukan oleh konsumen, maka konsumsi rokok akan
menurun bahkan sebelum pajak cukai baru diberlakukan.
Becker dan Murphy (1988)berargumen bahwa meskipun kenaikan pajak
pada barang adiktif dapat menghasilkan pengurangan konsumsi jangka pendek,
namun efek jangka panjang dari pajak kemungkinan akan lebih besar daripada
jika barang non-adiktif yangdipajaki (Becker dan Murphy 1988, 695). Penemuan
ini menunjukkan bahwa elastisitas jangka pendek dan jangka panjang barang
adiktif berbanding terbalik, dan pajak barang-barang adiktif yang bersifat inelastis
dalam jangka pendek bukan merupakanpengenaan pajak yang paling efisien
karena adanya gangguan pasar yang akan direalisasikan ke tingkat yang lebih

55

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

besar di masa mendatang. Argumentasi Becker dan Murphy berbeda dengan


konsep efisiensi pajakRamsey, yang mengasumsikan bahwa elastisitas harga
suatu barang akan tetap konstan terlepas dari konsumsi sebelumnya. Adanya
argumentasi Becker dan Murphy ini menyebabkan pajak rokok tidak boleh
dikenakan

untuk

maksud

meningkatkan

pendapatan

pemerintah,

tetapi

dikenakan untuk mengoreksi kesenjangan antara biaya publik dan swasta akibat
eksternalitas antarpribadi yang disebabkan oleh rokok (Gruber dan Kszegi
2002, 4).
2.14.

Teori Cukai Berdasarkan Ketidak-konsistenan Preferensi dalam


Waktu (Time-Inconsistent Preferences Theory )
Meskipun Becker dan Murphy berpendapat bahwa pajak atas barang

yang memiliki zat adiktif seperti rokok mungkin tidak efisien dalam jangka
panjang, namun telah ada beberapa argumen yang berbeda dengan asumsi
yang mendasari model mereka, khususnya asumsi bahwa konsumen berperilaku
rasional. Jonathan Gruber dan Botond Kszegi berpendapat bahwa konsumen
barang adiktif tidak bertindak secara rasional, dan sebagai gantinya memiliki
preferensi waktu yang tidak konsisten. Jadi, meskipun ada kebijakan yang ingin
membatasi konsumsi rokok mereka di masa depan, namun fakta yang ada
menunjukkan bahwa konsumen yang kecanduandalam jangka pendek tidak akan
dapat mengaktualisasikan mengurangi tingkat merokokdi masa depan (Gruber
dan Kszegi 2002,17). Gruber dan Kszegi berargumen bahwa perilaku
ketidakkonsistenan dalam waktu membenarkan adanya pajak rokok di luar
eksternalitas mereka, karena pandangan merokok berbahaya bagi konsumen
yang irasional dan tidak terkendali. Dengan argumen ini, pajak rokok akan
menguntungkan bagi masyarakat dengan cara mengurangi kerugian individu

56

BAB II LANDASAN TEORI

yang tidak rasional dalam merokok, dengan demikian menghasilkan utilitas yang
lebih besar bagi konsumen sekaligus meningkatkan pendapatan pemerintah
(Gruber dan Kszegi 2002, 35). Implikasi kebijakan penting yang disarankan oleh
Gruber dan Kszegi adalah bahwa biaya internal merokok perlu dipertimbangkan
bersama eksternalitas ketika membahas masalah perpajakan rokok. Jika
konsumen tidak mampu mencegah untuk mencelakai dirinya sendiri karena
kualitas adiktif yang kuat dari rokok, maka hal tersebut merupakan tanggung
jawab dari pemerintahan yang bijak untuk menggunakan pajak sebagai "pajak
pengendalian diri" (Gruber dan Kszegi 2000, 27-31).
2.15.

Teori Cukai Berdasar Proses Keputusan Yang Dipicu Oleh Signal


(Theory of Cue -Triggered Decision Processes)
Douglas Bernheim dan Antonio Rangel (2004) memperkenalkan sebuah

model yang melibatkan kegagalan psikologis kognitif dalam upaya untuk


menjelaskan perilaku konsumen rokok. Menurut Bernheim dan Rangel,
konsumen dapat mengambil keputusan yang bersifat

"panas" atau "dingin"

sehubungan dengan zat adiktif. Keputusan konsumen yang bersifat "panas"


menunjukkan adanya

kegagalan kognitif

dalam

pengambilan keputusan

mengkonsumsi terlepas dari preferensi yang mendasarinya. Sedangkan dalam


pengambilan keputusan "dingin" menunjukkan bahwa konsumen

menyadari

sepenuhnya keputusan konsumsi dan konsekuensi potensi yang ada, serta


kemungkinan efek dari pilihan yang ada untuk berpeluang memasuki kondisi
"panas" di masa depan (Bernheim dan Rangel 2004, 1559).Model

"Dingin"

menurut Bernheim dan Rangel akan sebanding dengan rasionalitas yang


mendasari individu dalam melakukan konsumsi. (Bernheim dan Rangel 2004,
1565-1568).

57

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

2.16. Tingkat KetepatanCukai Rokok


Seberapa tinggi seharusnya beban cukai pada rokok? Pajak rokok sering
dibenarkan dalam pembebanan untuk biaya eksternal dari merokok yang
memasukkan biaya eksternalitas langsungyang dialami oleh orang lain, seperti
gangguan kesehatan dan kerusakan yang disebabkan oleh merokokpasif, dan
biayaperawatan medis yang ditanggung secara bersama dan didanai publik
untuk kondisi-kondisi yang berkaitan dengan kegiatan merokok(Smith 2007).
Mengimbangi terjadinya eksternalitas negatif merupakan keuntungan
finansial masyarakatatas hidup yang lebih pendek dari perokok, dimana
keuntungan atas waktu hidup yang terkurangi diberikan kepada perokok melalui
skema pension publik atau asuransi sosial. Beberapa studi empiris menemukan
bahwapajak tembakau melebihi biaya eksternal kepada masyarakat (Gravelle
dan Zimmerman 1994). Sementara penelitian lain menemukan bahwa pajak
tembakau tidak menutupi biaya eksternal kepada masyarakat (Sloan et. al.2004).
Seseorang dapat saja tidak memiliki informasi yang baikmengenai sifat
adiktif tembakau, kondisi ini menjadi alasanperlunya pajak tembakau yang lebih
tinggi. Gruber dan Kszegi (2008) menemukan hasil penelitiannya bahwa pajak
tembakau harus melebihi tingkat eksternalitas murni karena kegagalan
seseorang mengendalikan diri mendorong untuk merokok secara berlebihan ke
taraf yang diinginkannya. Pajak tembakau dapat memerangi kegagalan
pengendalian diri ini.
Meskipun efek fiskal merokok sering dijadikan acuan ketika mengukur
biaya merokok, namun perlu juga digunakan acuan lain selain acuan ekonomi
ketika menentukan biaya eksternal merokok. Salah satu biaya yang penting yang
tidak akan langsung dimasukkan dalam argumen ekonomi adalah biaya untuk

58

BAB II LANDASAN TEORI

orang yang tidak menyadari dari sifat adiktif nikotin, dan yang tidak mengakui
atau benar-benar memahami risiko kesehatan masa depan merokok. Meskipun
sering diasumsikan bahwa perokok sadar akan risiko kesehatan yang
berhubungan dengan rokok, namun masih ada yang menyatakan bahwa asumsi
ini tidak dapat digunakan untuk remaja yang tidak cukup kemampuan untuk
bertanggung jawab membuat keputusan rasional yang negatif yang dapat
mempengaruhi kesehatannya di masa depan. Jika memang benar bahwa remaja
merokok dengan pemahaman yang tidak sempurna terhadap konsekuensi
kesehatan atas kebiasaan mereka tersebut, maka biaya internal rokok perlu
diperhitungkan sampai batas tertentu ketika menentukan tingkat yang tepat dari
cukai rokok. Pajak rokok yang lebih tinggi pada kondisi demikian bisa dibenarkan
dengan asumsi bahwa pajak yang lebih tinggi bertindak sebagai pencegah bagi
anak-anak untuk mulai merokok sebelum mereka menyadari konsekuensi negatif
terhadap kesehatan mereka.
Namun, temuan lain menemukan adanya ketidakpastian terhadap biaya
eksternal yang tinggi untuk memperkirakan biaya-biaya yang terkait dengan
rokok. Dalam Biaya Jaminan Sosial Merokok, Shoven, Sundberg, dan Bunker
(1987)

menemukan

bahwa

kematian

prematur

akibat

merokok

telah"menyelamatkan" sistem Jaminan Sosial ratusan miliar dolar, karena para


perokok hidup lebih pendek daripada rata-rata non-perokok, padahal perokok
membayar Sistim Jaminan Sosial , namun akhirnya mengumpulkan uang kurang
daripada yang diperoleh para non-perokok di kemudian hari. Dengan demikian,
sebenarnya perokok mensubsidi manfaat Jaminan Sosial non-perokok, dan
menghasilkan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Viscusi menemukan bahwa
untuk setiap bungkus rokok yang dihisap di Amerika Serikat ada penghematan

59

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

biaya bersih sebesar 32 sen dengan memperhatikan harapan hidup lebih pendek
dan mengurangi pembayaran Jaminan Sosial untuk perokok (Viscusi, 20022003). Namun ada beberapa peneliti yang mengkritik argumen ini, mereka
merasa keberatan bahwa kematian dini untuk perokok dapat dianggap sebagai
"keuntungan" dalam perhitungan ini (Evans, Ringel, dan Stech 1999, 44-45).
Beberapa

negara

Eropa

seperti

Inggris,

Irlandia

dan

Perancis

memberlakukan pajak cukai yang sangat tinggi padarokok, lebih dari 3,00 per
pak

20

batang

(Table.2.1).

Disamping

itu

rokok

jugadikenakan pajak

pertambahan nilai (PPN) dengan tarif standar, lebih dari tiga-perempat dari harga
eceranrokok di masing-masing negara. Beberapa negara anggota Uni Eropa
lainnya memilikipajak jauh lebih rendah, meskipun semua pungutan cukai pada
rokok

diatas

tingkat

standar

PPN.

Rata-rata,

negara-negara

anggota

meningkatkan pendapatan sekitar 160 perkepala penduduk dari cukai rokok,


dimana rokok dikonsumsi hampir semua negara anggota oleh sepertigapopulasi
orang dewasa.
Meskipun awalnya tembakau dikenakan pajak lebih tinggi daripada barang
yang lainkarena pengenaan pajak yang tinggi pada tembakau lebih murah untuk
mengumpulkannya dan lebih mudah untuk menegakkannya, dan juga sebagai
cara untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan merokok. Pertanyaannya
kemudian adalah seberapa jauh pajak yang tinggi pada rokok dibenarkan untuk
alasan adanya biaya eksternalmerokok, dan pertimbangan lain apa yang harus
ada dalam menetapkan kebijakan tentangtingkat cukai yang tepat dan struktur
perpajakan tembakau?
Bagi negara-negara anggota Uni Eropa, hal ini merupakan masalah
dengan dimensi kebijakan Uni Eropa yang penting. Kebijakan Nasionalyang

60

BAB II LANDASAN TEORI

berkaitan dengan pajak tembakau dibatasi oleh perjanjian Tingkatan dan Struktur
CukaiUni Eropa, dengan aturan ini Uni Eropa mencoba mengatur pergerakan
barang dipasar internal. Aturan tentang cukai secara singkat dirangkum di bawah
ini, dan kebijakan pajak tembakau dan regulasinya ini memainkan peran penting
dalam menentukan agenda tindakan kebijakanNegara-negara Anggota Uni
Eropa.
Ringkasan Aturan tarif cukai pada rokok Uni Eropa

Semua Negara Anggota diwajibkan memberlakukan tarif cukai rokok, yang


harus berisi mengenai harga ('advalorem') dan kuantitas komponen terkait.

Selain itu, Negara-negara Anggota harus mengenakan PPN atas rokok dan
produk tembakau lainnya dengan tingkat standar mereka(aturan Uni Eropa
minimal 15%). PPN juga berlaku untuk tarif cukai yang inklusif.

Untuk tujuan mendefinisikan tarif cukai dan struktur, harga referensi


didefinisikan berdasarkan pada kategori harga paling populer (Most Popular
Price Category - MPPC) di setiap Negara Anggota. Kondisi ini bervariasi
antara Negara Anggota tergantung padakondisi pasar, pola pembelian, dll

Minimum Total cukai rokok di MPPC mulai 1 Juli 2006 harus menjadi 64,00
per seriburokok ( 1,28 per bungkus 20).

Selain itu, untuk negara-negara anggota yang memiliki tarif cukai dibawah
101,00 per seribu rokok, maka untuk rokok di MPPC total cukai harus
minimal 57% dari total pajak inklusif dari harga jual eceran.

Keseimbangan antara tarif

ad valorem dan kuantitas komponen tertentu

dalam cukai rokok harus sedemikian rupa sehinggaelemen tertentu tersebut


adalah antara 5% dan 55% dari total pajak (termasuk PPN) dikenakan pada
MPPC.

61

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Bulan Juli 2008, Komisi mengusulkan akan membuat berbagai perubahan


terhadapaturan:

Pajak tidak lagi didefinisikan dalam kaitannya dengan MPPC, tetapi dalam
kaitannya dengan Rata-rata Tertimbang Harga(Weighted Average PriceWAP) dari rokok yang dijual di setiap negara anggota.

Peningkatan akan dilakukan secara bertahap mulai dari tingkatan dan nilai
minimum selama periode sampai dengan Januari 2014 dengancukai
minimum naik dari 64,00 sampai 90,00 per seribu pada tahun 2014 dan
persentase minimum terhadap harga naik dari 57% menjadi 63% (dari WAP).

Persyaratan keseimbangan antara komponen dan harga ad valorem akan


bergeser ke arah cukai spesifik,yang harus berada dalam kisaran 10-75%
dari total pajak.

2.17. Biaya Eksternal Merokok


Biaya eksternal terkait dengan konsumsi tembakauyang ditanggung oleh
orang-orang selain perokok merupakan suatu pembenaran kebijakan publikyang
paling kontroversial untuk mengatur dan membatasi konsumsi mereka. Biayabiaya eksternal termasuk efek langsung pada orang lain, seperti gangguan dan
kerusakan kesehatan yang disebabkan oleh merokok pasif, dan biaya
ditanggung secara kolektif seperti biaya-biaya yang didanai oleh perawatan
medis publik untuk kondisi yang berhubungan dengan merokok. Adanya efek ini
memberikan arti bahwa keputusan konsumsi individu tidak akan mencerminkan
biaya sosial, karena konsumen individu tidak menanggung biaya marjinal
perawatan medis atau eksternalitas langsung yang mengikuti dari perilaku
merokok mereka. Eksternalitas akan mengoreksi pajak atau dalam bentuk

62

BAB II LANDASAN TEORI

peraturan lainnya yang diperlukan untuk memastikan bahwa biaya tersebut


tercermin dalam keputusan konsumsi individu.
Biaya yang paling relevan menurut argumen ini adalah bahwa mereka
ditanggung oleh orang lain daripada individu perokok atau masyarakat secara
kolektif. Merokok melibatkan berbagai konsekuensi dimana fakta yang ada lebih
banyak yang merugikan dibandingkan dengan kesenangan langsung akibat
konsumsi tersebut terhadap individu konsumen.
Namun demikian, dalam kasus konsumsi tembakau, terdapat biaya individu
merokok yang timbul sebagai akibat dari sifat adiktif tembakau, dan hal ini tentu
saja

menambah

dimensi

masalah

yang

ada.

Konsumsi

rokok

dapat

meningkatkan risiko kecanduan di masa depan. Adanya informasi yang baik dan
konsumen

yang

rasional

akan

menurunkan

kesediaan

untuk

merokok

dibandingkan jika tidak ada risiko kecanduan di masa depan (Becker dan
Murphy, 1988; Chaloupka, 1991). Namun, hal itu dianggap tidak realistis untuk
berasumsi bahwa semua individu sepenuhnya diberitahu tentang risiko adiktif
yang ada ketika mengkonsumsi rokok(Orphanides dan Zervos, 1995).
Konsekuensi dari merokok yang dirasakan oleh individu selain perokok,
yang mungkin telah diperhitungkan oleh perokok ketika memilih berapa banyak
rokok, terdiri dari tiga kategori:

eksternalitas langsung yang dialami oleh orang lain, termasuk gangguan


yang disebabkan olehmerokok pasif dan efek kesehatan yang merugikan
yang dialami oleh mereka yang terkena lingkunganasap tembakau. Orangorang ini mungkin termasuk rekan kerja dan individu tidak terkait lainnya
(Misalnya, pelanggan lain dari sebuah bar atau restoran), tetapi proporsi yang
tinggi adalah temandan anggota keluarga.

63

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Biaya ditanggung secara kolektif, seperti biaya yang didanai publik untuk
perawatan medis akibat merokok dan belanja publik lainnya.

Pendapatan eksternalitas yang timbul melalui sistem pajak. Merokok dapat


memiliki konsekuensi pendapatan dan pengeluaran konsumen individu,
khususnya melalui penetapan tarif yang lebih tinggi.
Lightwood et al. (2000) menemukan dalam studinya bahwa biaya

kesehatan dan biaya lainnya akibat merokok dapat digunakan untuk beberapa
tujuan,termasuk perencanaan pengeluaran publik dan alokasi anggaran, dan
penilaiankompensasi dalam kasus litigasi, serta penilaian tentang manfaat dari
kebijakanperpajakan. Sebagian besar dariliteratur menemukan bahwa biaya
sosial merokok tidak secara langsung relevan dengan kasus eksternalitas
untukperpajakan dan regulasi, karena terdapat penggambaran yang kurang jelas
antara biaya yang dialami dan yang diinternalisasi konsumen individu dan biaya
eksternal yang dialami oleh pihak yang lain.
2.18. Kebijakan Harga jual Eceran dan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Kebijakan Harga Jual Eceran (HJE) ditentukan berdasarkan fungsi
pemungutan cukai yang antara lain mempertimbangkan:
1. Pendapatan bagi negara, dimana cukai merupakan salah satu sumber
penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2. Pembatasan pola konsumsi rokok, dimana dasar pengenaan cukai terhadap
barang-barang tertentu dikarenakan sifatnya yang dapat merugikan
konsumen.
Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan dua
cara, yaitu:

64

BAB II LANDASAN TEORI

1. Advarolem (tarif prosentase), dimana cukai dikenakan dengan cara


menetapkan besaran prosentase tarif terhadap harga jual barang kena cukai.
2. Spesifik (tarif nominal), dimana cukai dikenakan dengan menetapkan
besaran rupiah terhadap satuan volume barang kena cukai, seperti
Rp/batang dan Rp/liter.
Besarnya tarif cukai yang telah ditetapkan berdasarkan tarif prosentase atau tarif
nominal akan menentukan besarnya penerimaan cukai bagi pemerintah sebagai
berikut :
1. Pada sistem advarolem, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai sangat
tergantung pada ketepatan dalam memproyeksikan harga jual eceran (HJE)
dan besarnya volume penjualan. Dari dua variabel yang diproyeksikan
tersebut, maka dapat diperkirakan besarnya penerimaan negara dari cukai
adalah perkalian antara prosentase tarif cukai dengan HJE dan besarnya
volume penjualan.
2. Pada sistem tarif nominal atau spesifik, proyeksi pendapatan pemerintah dari
cukai hanya ditentukan dari ketepatan dalam memperkirakan besarnya
volume penjualan. Dengan variabel volume penjualan tersebut, maka
penerimaan cukai dapat diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan
tarif cukai untuk setiap batang rokok dengan besarnya volume penjualan
rokok.
Pemerintah menerapkan tarif cukai secara majemuk, artinya besarnya
tarif cukai dibedakan berdasarkan 3 hal, yaitu:
1. Proses produksi. Dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan
berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya, yaitu: sigaret
kretek tangan (SKT) yang merupakan produksi rokok padat karya, serta

65

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) yang keduanya
merupakan produksi rokok padat modal.
2. Besar kecilnya volume penjualan (strata volume). Kemampuan produksi
maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan banyaknya
jumlah rokok yang akan diproduksi. Besar kecilnya industri rokok ditentukan
dari jumlah rokok yang diproduksi oleh masing-masing industri rokok.
3. Harga jual eceran (strata harga). Penetapan harga jual eceran ditentukan
berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri
rokok. Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas
maksimal dan minimal dari suatu jenis rokok yang dihasilkan oleh suatu
industri rokok yang dapat dijual ke masyarakat.
Penetapan tarif cukai hasil tembakau tertera pada Surat Edaran Dirjen
Bea dan Cukai No. 52/BC/2012 dimana untuk penatapan tarif cukai hasil
tembakau merupakan keputusan kepalaKantor atas suatu Merek dalamrangka
menjalankan peraturan menteri keuangan yang mengaturtentang tarif cukai hasil
tembakau yang sifatnya administratif fiskaldan bukan merupakan perlindungan
kepemilikan atas suatu Merek
Kepala Kantor menetapkan tarif cukai hasil tembakau untukMerek baru
dan menetapkan penyesuaian tarif cukai hasiltembakau.Penetapan tarif cukai
hasil tembakau untuk Merek barudigunakanuntuk pemeriksaan laboratorium dan
penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dilakukan berdasarkan permohonandari
Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir.
Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir harusmengajukan
permohonan penetapan penyesuaian tarif cukaihasil tembakau dalam hal Harga
Transaksi Pasar:

66

BAB II LANDASAN TEORI

a. telah melampaui Batasan harga jual eceran per batang ataugram diatasnya;
atau
b. berada pada posisi Batasan harga jual eceran per batang ataugram tertinggi
pada masing-masing golongan PengusahaPabrik hasil tembakau telah
melampaui 5% (lima persen)dari harga jual eceran yang berlaku atau harga
yangtercantum dalam pita cukai.
Tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan menggunakanjumlah dalam
rupiah untuk setiap satuan batang atau gramhasil tembakau.Penetapan tarif
cukai hasil tembakau didasarkan:
a. golongan pengusaha berdasarkan atas jumlah dan jenis hasil tembakau,
sesuai Batasan Jumlah Produksi Pabrik; dan
b. Batasan Harga Jual Eceran per Batang atau Gram yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Batasan Harga Jual Eceran per Gram hanya berlaku bagi
jenis TIS dan HPTL.
Harga Jual Eceran per Batang atau Gram untuk setiap jenis
hasiltembakau untuk tujuan ekspor ditetapkan sama dengan harga jualeceran
per batang atau gram untuk setiap jenis hasil tembakau darijenis dan Merek yang
sama yang ditujukan untuk pemasaran didalam negeri.
Khusus mengenai cukai, pada awal November 2011pemerintah melalui
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)No.167/2011 melakukan kenaikan tarif cukai
rokok rata-rata sebesar 16% yang diberlakukan efektif per 1Januari 2012. Dalam
hal ini, persentase kenaikan cukai di atas30% terjadi untuk hasil tembakau
produksi dalam negerijenis SPM Golongan I dengan harga jual eceran
(HJE)paling rendah Rp375 per batang, yaitu sebesar 49%,kemudian jenis SKM
Golongan II dengan HJE palingrendah Rp374 sampai dengan Rp430 per batang,

67

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

yaitusebesar 38,2%, dan jenis SKT Filter atau SPT FilterGolongan II dengan HJE
lebih dari Rp374 sampaidengan Rp430 per batang, yaitu sebesar 38,2%.
Jikadilihat berdasarkan golongannya, komposisi persentasekenaikan tarif cukai
rokok

untuk

produsen

SKMberskala

besar

(Golongan

I)

lebih

kecil

dibandingkanprodusen rokok SKM berskala kecil. Hal ini diperkirakanmerupakan


salah satu cara pemerintah menahan upayaprodusen rokok skala besar
menghindarkan

bebancukai

yang

lebih

tinggi

dengan

memecah

perusahaanmenjadi beberapa perusahaan berskala kecil. Kenaikantarif cukai


rokok secara langsung akan meningkatkanbeban pokok penjualan dimana beban
cukai dan pajakpertambahan nilai (PPN) saat ini menyumbang sekitar55%-70%
dari total beban pokok penjualan beberapaemiten rokok.
2.19. Penyelundupan Rokok Akibat Kebijakan Tarif Cukai Yang Asimetri
Dengan harga jual rokok di Indonesia yang relatif rendah dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya, sangat mungkin Indonesia menjadi
negara tempat terjadinya penyelundupan rokok. Negara-negara yang berpotensi
terjadi penyelundupan komoditas rokok adalah Lao PDR, Cambodia, Vietnam
dan Philipine. Namun tentunya potensi terjadinya penyelundupan tersebut adalah
dengan

negara-negara

yang

berdekatan

yang

memungkinkan

masih

terjangkaunya biaya transportasi yang muncul.


Apabila dilihat dari peta negara Indonesia, Indonesia berbatasan dekat
dengan negara-negara seperti Malaysia, Singapura dan Philipina. Namun
apabila dilihat dari harga rokok di negara-negara tersebut kemungkinan
penyelundupan rokok dari Indonesia adalah ke negara-negara seperti Malaysia,
Singapura. Beberapa kasus penyelundupan dapat dilihat pada tabel.2.2. di
bawah ini:

68

BAB II LANDASAN TEORI

Tabel.2.1
Beberapa Contoh Kasus Penyelundupan Terkini
No.

Wilayah

Riau

Batam

Kejadian
Minggu, 24
Juni 2012
Rabu, 19
Desember
2012

Merk

Banyaknya

Nilai

John

500 bungkus/10
juta batang
1100
karton
rokok

Rp. 2,5
miliar

Sumber
www.mediaind
onesia.com
www.batamtoday.com

Target paling menarik adalah negara Singapura, Malaysia dan Brunei


karena negara-negara tersebut memiliki harga jual rokok yang berbeda sangat
signifikan

dengan

Indonesia.

Walaupun

tidak

menutup

kemungkinan

perdagangan rokok ilegal juga terjadi di dalam negeri melalui pemalsuan pita
cukai. Pengawasan yang lemah juga menjadi alasan semakin ramainya
perdagangan rokok ilegal.
Tabel.2.2.

Persentase Penyelundupan Rokok Tahun 2007

Sumber: Laporan Lembaga Demografi Indonesia (Ekonomi


Indonesia) 2007

Tembakau di

Apabila dilihat dari tabel.2.2. di atas memperlihatkan bahwa tahun 2007


persentase penyelundupan di negara Malaysia mencapai 24% sedangkan di
Indonesia hanya sebesar 6%. Hal ini disebabkan adanya perbedaan harga
eceran rokok antara Malaysia dengan Indonesia. Namun secara keseluruhan
terlihat bahwa semakin tinggi harga semakin semakin tinggi kecenderungan
terjadinya penyelundupan rokok.

69

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

2.19.1. Gambaran

Kebijakan

Tarif

Cukai

MalaysiaDalam

Merespon

Terjadinya Perdagangan Rokok Ilegal


Pada tahun 2002, cukai rokok atas 1000 rokok di Malaysia mencapai
MYR43.2. Selanjutnya, pemerintah Malaysia mulai menaikkan pajak cukai secara
tajam. Pada tahun 2010, cukai telah meningkat lebih dari 430%yaitu mencapai
MYR230 per 1.000 rokok. Sebagai akibat dari peningkatan cukai tersebut, tarif
cukai rokok meningkat dari 19% pada tahun 2001 menjadi 45% pada tahun
2010, dan harga rata-rata rokok resmimencapai lebih daridua kali lipat dari
MYR4.14 per bungkus di tahun 2001 menjadi MYR8.90 per bungkus pada tahun
2010.
Kenaikan harga rokok legal tersebut telah menyebabkan konsumen beralih
ke sumber-sumber pasokan rokok ilegal (lihat Grafik.1). Pada tahun 2002,
perokok Malaysia mengkonsumsi sebesar 19,5 miliar batang rokok legal. Pada
tahun 2010, kemudian turun sebesar 31% menjadi 13,5 miliar. Penurunan
penjualan legal terutama didorong oleh lonjakan konsumsirokok ilegal, yang
mencapai 8,8 miliar pada tahun 2010. Akibatnya terjadinya peningkatan pangsa
pasar rokok ilegal dari sebesar 21%pada tahun 2002 menjadi sebesar 39% pada
tahun 2010.

70

BAB II LANDASAN TEORI

Grafik. 2.1.
Komposisi Pasar Rokok Malaysia (% dari pasar)

Sumber: Nielsen, 2011

Diakui bahwa masalah perdagangan rokok ilegal dan tarif cukai rokok yang
berlebihan telah menyebabkan Pemerintah Malaysia memutuskan untuk
menghentikan tren kenaikan cukai secara tajam dengan caramembekukan
sementara tarif cukai pada anggaran tahun 2012. Perdana Menteri Malaysia
telah membuat pernyataan bahwa pada tanggal 9 Oktober 2011, sehari setelah
diumumkannya anggaran pemerintah, bahwa pemerintah tidak dapat menaikkan
harga rokok secara tajamkarena penggunaan rokok ilegal telahmencapai 40%.
Tingkat

kenaikan

ini

dianggap

terlalu

tinggi.

Jika

kemudian

terjadi

peningkatanharga rokok secara tajam, maka tentu persentasemereka yang


merokok secara ilegal akan terus meningkat.

71

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

2.19.2. Gambaran Kebijakan Tarif Cukai Singapura Dalam Merespon


Terjadinya Perdagangan Rokok Ilegal
Pengalaman negara Singapura berkaitan dengan pajak cukai rokokselama
sepuluh tahun terakhir ini dapat dibagi menjadidua periode yang berbeda, yaitu:

Periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 yang merupakan periode
kenaikan tarif cukai secaratajam;

Periode setelah tahun 2005 belum ada kenaikan cukai.


Antara tahun 2000 sampai 2005, pemerintah Singapura meningkatkan tarif

cukai rokok dari SGD150 per1.000 rokok menjadi SGD352 (tertinggi di Asia) peningkatan rata-rata sebesar 19% per tahun, kemudian pada tahun 2005 tarif
pajak cukai hampir mendekati 65%.Dengan kenaikan ini, harga rata-rata rokok
yang membayar cukai meningkat secara dramatis selama periode ini yaitu
sebesar 62%.
Akibat perubahan harga tersebut, volume rokok yang membayar cukai
turun dari 3,2 miliar batang pada tahun 2000 menjadi 2,0 miliarbatang pada
tahun 2005 (atau 37%). Penerimaan cukai awalnya naik sebesar 48%, tetapi
kemudian menurun sebesar 20% antara tahun 2003sampai tahun 2006. Secara
signifikanpertumbuhan perdagangan ilegalpun meningkat secara signifikan pula,
meskipun tidak ada statistik resmi yangtersedia, namun hal ini dapat dibuktikan
dengan responyang dilakukan oleh pemerintah selanjutnya terkait dengan
kondisi tersebut.
Untuk mengurangi pertumbuhan di pasar rokok ilegal, pemerintah
Singapura memilih untuk menahan secara konstan nominal cukai. Pada tahun
2006, Pidato Anggaran Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Lee Hsien
Loong mengatakan bahwa Pemerintah serius mempertimbangkan untuk

72

BAB II LANDASAN TEORI

meningkatkan

cukai

memutuskannya

tembakau,

tetapi

pemerintah

juga

bimbang

untuk

karena penerimaan negara sudah terlihat menurun, bukan

karena orang yang merokok kurang tetapi karena penyelundupan telah


meningkat (Loong 2006, paragraf 2,75).
Selain itu, pemerintah juga mulai menerapkan hukuman yang lebih berat
bagi mereka yang tertangkap memiliki kepemilikan rokok ilegal. Pada tahun
2008, Singapore Customs mulai menghukum dengan besaran minimal SGD500
per paket rokok ilegal yang ditemukan dalam kepemilikan konsumen. Singapore
Customs juga mengakui bahwa upaya pendidikan masyarakat harus dilakukan
berbarengan dengan penegakan hukum yang telah dilakukan, agar penegakkan
hukum dapat tetap berjalan secara berkelanjutan. Hal ini telah menunjukkan
hasilnya dengan adanya kesadaran masyarakatuntuk melawan perdagangan
rokok ilegaldalam bentuk berbagai kampanye pada berbagai

pertunjukkan-

pertunjukkandi negara ini (Singapore Customs, 2008).


Singapore Customs (2011) melaporkan bahwa rokok ilegal telah mencapai
puncak pada jumlah 5,3 juta paket dalam tahun 2006, kemudian jumlah
inimengalami tren menurun sampai menjadi sebesar 2,3 juta batang pada tahun
2010. Meskipun data yang ada masih menunjukkan sedikit yang diketahui
tentang tingkat keberhasilan upaya penegakan hukum, namun fakta yang ada
juga menunjukkan bahwa tren penurunan konsisten dengan penurunan ukuran
dari volume pasar ilegal rokok.
Volume yang berhasil

dibayar pada tahun 2006 mencapai 1,8 miliar

batang. Namun pembekuan pajak yang dilakukan pada tahun 2005,ditambah lagi
dengan investasi dalam penegakan hukum yang kuat, telah menyebabkan
terjadinya pemulihan volume pajak yang dibayar dan penurunanpenyelundupan.

73

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Pangsa pasar perdagangan rokok ilegal turun menjadi 15,9% pada tahun 2010
dari 22% pada tahun 2006. Walaupun hal tersebut masihjauh lebih tinggi dari
pada tahun-tahun sebelum kenaikan pajak.
2.20.

KonsepTerjadinya Penyelundupan Rokok


Penyelundup

itu

beroperasi

dengan

tujuan

untuk

mendapatkan

keuntungan. Adanya perbedaan harga memungkinkan penyelundup untuk


mendapatkan keuntungan denganmembeli produk tembakau di pasar dengan
harga yang rendah dan menjualnya kembalidi pasar ketika harga sedang tinggi.
Pergerakan

penyelundup

produk

tembakau

antar

pasar

dalam

rangka

penghindaran hukum dilakukan melalui kalkulasi penghitungan pajak dan tarif.


Kemudahan untuk melakukan penghindaran pajak akan sangat mempengaruhi
kecenderungan

individu

untuk

terlibat

dalam

penyelundupan

tembakau.

Pengawasan yang lemah atas terjadinya penggelapan di perbatasan juga


merupakan alasan utama terjadinya perdagangan ilegal antar negara, selain
karena perbedaan harga yang ada.
Bootlegging merupakan transaksi pembelian tembakau resmi di satu
negara, tetapi kemudian melakukan konsumsi atau penjualan kembali di negara
lain tanpa membayar pajak atau bea yang berlaku. Joossens et al (2000)
memberikan gambaran bahwa secara umum, bootlegging menggunakan
pengangkutan rokok yang jaraknya relatif pendek (misalnya, antar negaranegara tetangga atauyurisdiksi lain di dekatnya). Perbedaan harga yang
signifikan antar yurisdiksi menciptakan insentif untuk terjadinya bootlegging.
Sedangkan Wholesale smuggling merupakan tindakan untuk menghindari
pajak dengan cara menjual barang tanpa ada bukti pembayaran seperti
pelekatan pita cukai palsu.Tarif cukaiyang tinggi akan memberikan insentif untuk

74

BAB II LANDASAN TEORI

melakukan penyelundupan atau produksirokok dengan pelekatan pita cukai


palsu sehingga tidak ada kewajiban untuk membayarcukai yang terutang.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya penyelundupan,
bootlegging, dan wholesale smuggling. Diantaranya merupakan faktor yang
absolutdari

penyebab

terjadinya

penyelundupan.

Namun

ada

beberapa

diantaranya merupakan faktor yang membutuhkan suatu kondisi tertentu,


seperti: (Aldary, 2009)
-

Law enforcement (penegakan hukum) yang lemah

Kebijakan yang kurang tepat sasaran.

Tingginya harga jual rokok

Adanya keuntungan dari pihak produsen rokok jika dia melakukan tindakan
penyelundupan.

Perilaku konsumen rokok yang semakin terbiasa dengan kadar nikotin yang
tinggi sehingga meningkatkan pula sifat ketergantungan terhadap rokok.

Tingginya tarif cukai yang dibebankan, dan

Sistem administrasi cukai yang belum terintegrasi.

2.21.

Pungutan Cukai Berdasarkan UU No.39 Tahun 2007


Pengertian cukai berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007

tentang Cukai adalah sebagai berikut Cukai adalah pungutan negara yang
dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.Maksud dari barangbarang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik adalah barang yang:

konsumsinya perlu dikendalikan;

peredarannya perlu diawasi;

75

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau


lingkungan hidup; atau

pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan


keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.
Barang barang yang mempunyai sifat dan karakteristik tersebut diatas

dinamakanBarang Kena Cukai.Sedangkan sampai dengan saat ini, barang kena


cukai (objek cukai) yang dipungut cukainya terdiri atas:

etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan
dan proses pembuatannya;

minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan
tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya,
termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;

hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan
hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan
atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.

2.22.

Pungutan Pajak Rokok Berdasarkan UU No.28 Tahun 2009


Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1985 tentang Cukai dan UU No. 39

Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU
Cukai),rokok dikenakan tarif rokok yang cukup tinggi, baik bagi produk hasil
tembakau buatan Indonesia maupun tembakau yang diimpor. Dalam hal ini, jenis
sigaret dipandang tergolong barang terkena cukai berdasarkan Pasal 2 UU
Cukai.Oleh karena itu para perokok diakui haknya, karena mereka termasuk
pembayar pajak yang berhak atas kebersamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.

76

BAB II LANDASAN TEORI

Para perokok berhak atas pengakuan, jaminan, kepastian hukum yang


adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada saat ini telah dikeluarkan pula UU No. 28 Tahun 2009 tentang
PDRD, dan juga menjadi dasar pengenaan pajak rokok bagi konsumen sigaret,
setelah sebelumnya, berdasarkan UU Cukai, dikenakan cukai rokok. Menurut
konstitusi, cukai termasuk pajak dan termasuk kategori "pungutan lain yang
bersifat memaksa," (menurut Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang).
Berdasarkan UU No 28 tahun 2009 pasal 2 ayat 1 huruf e dinyatakan
bahwa pajak rokok juga termasuk dalam pajak propinsi. Objek Pajak Rokok
adalah konsumsi rokok yang meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.Pajak
Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yangberwenang memungut cukai
bersamaan denganpemungutan cukai rokok.Dasar pengenaan Pajak Rokok
adalah cukai yang ditetapkanoleh Pemerintah terhadap rokok.Pasal 29 UU No.28
tahun 2009 menyatakan bahwa Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen) daricukai rokok.Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi
maupun

bagiankabupaten/kota,

dialokasikan

paling

sedikit

50%

(lima

puluhpersen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat danpenegakan


hukum oleh aparat yang berwenang.

77

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

2.23.

Hipotesis

Hipotesis dalam kajian ini adalah sebagai berikut:


H1

Output rokok kretek (x1) dan rokok putih (x2)berpengaruh secara signifikan
terhadap penerimaan cukai negara secara bersama

Output rokok putih (X2) secara individu berpengaruh negative secara


signifikan terhadap penerimaan cukai negara.

Output rokok kretek (X1) secara individu berpengaruh positif secara


signifikan terhadap penerimaan cukai negara.

H2

CR4 Rokok kretek (x3) dan nilai tambah rokok kretek (x4)secara bersama
berpengaruh berpengaruh signifikan terhadap output rokok kretek (X1)

CR4 Rokok kretek (x3)secara individu berpengaruh negative signifikan


terhadap output rokok kretek (X1)

CR4 Rokok kretek (x3)secara individu berpengaruh positif signifikan


terhadap output rokok kretek (X1)

H3

CR4 Rokok putih (x5) dan nilai tambah rokok putih (x6)secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada
signifikansi 10%

Nilai tambah rokok putih (x6)secara individu berpengaruh negative secara


signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 5%

78

BAB II LANDASAN TEORI

CR4 rokok putih (x5)secara individu berpengaruh positif secara signifikan


terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 5%

H4

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia (X8) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan
terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7)
secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4
Rokok Kretek (X3)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia (X8)
secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4
Rokok Kretek (X3)

H5

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia

(X8)

secara

bersama-samaberpengaruh

secara

signifikan

terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4) pada signifikansi 5%


-

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura


(X7)ecara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap Nilai
tambah Rokok Kretek (X4)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia (X8)
secara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap Nilai tambah
Rokok Kretek (X4)

79

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

H6

Variabel selisih tarif cukai rokok putih Indonesia dengan tarif impor
Singapura (X9) dan Malaysia (X10)secara bersama-sama signifikan
mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9)
secara individu signifikan mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan
Malaysia (X10)secara individu signifikan mempengaruhiterhadap CR4
Rokok Putih (X5)

H7

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan
Malaysia (X10)secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhi Nilai
tambah Rokok Putih (X6)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9)
secara individu signifikan mempengaruhi Nilai tambah Rokok Putih (X6)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia


(X10)masing-masing secara individu signifikan mempengaruhi Nilai tambah
Rokok Putih (X6)

80

BAB III
METODE KAJIAN AKADEMIS

3.1.

Jenis Penelitian
Kajian

ini

merupakan

kajian

deskriptif

yang

ditujukan

untuk

mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah


maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas,
karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena
yang satu dengan fenomena lainnya.
Kajian deskriptif juga merupakan kajian yang berusaha mendeskripsikan
dan menginterpretasikan sesuatu, misalnyakondisi atau hubungan yang ada,
pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek
yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.
Fenomena disajikan secara apa adanya, serta hasil penelitiannya
diuraikan secara jelas dan gamblang tanpa manipulasi. Analisis deskriptif dapat
juga menggunakan analisis distribusi frekuensi yang menyimpulkan berdasarkan
hasil rata-rata.
3.2.

Definisi Operasional Variabel


Adapun model tersebut dapat ditulis dalam persamaan berikut :

Yt =

t + 7t X7t + 8t X8t + 9t X9t + 10t X10t

Yt =

t + 1t X1t + 2t X2t

X1t =

t + 3t X3t + 4t X4t

X2t =

t + 5t X5t + 6t X6t

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

X3t =

t + 7t X7t + 8t X8t

X4t =

t + 7t X7t + 8t X8t

X5t =

t + 9t X9t + 10t X10t

X6t =

t + 9t X7t + 8t X10t

Keterangan :
t

: tahun ke-t

: Penerimaan Cukai Pemerintah (Rp)

X1

: Output Rokok Kretek (batang)

X2

: Output Rokok Putih(batang)

X3

: CR4 produk rokok kretek (%), merupakan rasio konsentrasi empat


perusahaan

terbesar

(CR4)

Rokok

Kretek

(%).

CR4

ini

merupakanindikator yang menunjukkan persentase penjualan rokok


kretek empat perusahaan terbesarterhadap penjualan total dalam
industri.
X4

: Nilai tambah produk rokok kretek (Rp)

X5

: CR4 produk rokok putih (%), merupakan rasio konsentrasi empat


perusahaan

terbesar

(CR4)

Rokok

Kretek

(%).

CR4

ini

merupakanindikator yang menunjukkan persentase penjualan rokok


putih empat perusahaan terbesarterhadap penjualan total dalam
industri.
X6

Nilai tambah produk rokok putih (Rp)

X7

: selisih tarif import rokok kretek Singapura dengan tarif cukai


Indonesia (Rp/batang)

82

BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS

X8

selisih tarif import rokok kretek Malaysia dengan tarif cukai Indonesia
(Rp/batang)

X9

: selisih tarif import rokok putih Singapura dengan tarif cukai Indonesia
(Rp/batang)

X10

: selisih tarif import rokok putih Malaysia dengan tarif cukai Indonesia
(Rp/batang)

: galat

3.3.

Instrumen Penelitian

Beberapa jenis instrumen yang digunakan dalam kajian ini

adalah sebagai

berikut :

Kuesioner
Pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden mengenai hal-hal yang diketahuinya terkait dengan kebijakan
Dirjen Bea dan Cukai.

Wawancara (Interview)
Untuk mencari data tentang variabel-variabel maupun kebijakan Dirjen Bea
dan Cukai

Observasi
Melakukan pengamatan secara langsung ataupun memanfaatkan kuesioner
yang berisi daftar kegiatan yang akan diamati.

Dokumentasi
Menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan, notulen rapat, dan sebagainya.

83

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

3.4.

Metode Analisis Data


Dalam kajian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan analisis

kebijakan publik atas kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam hal
ini Dirjen Bea dan Cukai dan Metode Analisis Path untuk menganalisisstruktur,
perilaku, dan kinerja industri rokok.
Analisis kebijakan publik merupakan kajian ilmu terapan yang mempunyai
tujuan memberikan rekomendasi kepada public policy maker dalam rangka
memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan terdapat
informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah kebijakan publik serta
argumen-argumen tentang

berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan

pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.


Sedangkan

metode

analisis

jalur

(path

analysis)

digunakan

untukmengetahui hubungan sebab akibat, dengan tujuan menerangkan akibat


langsung danakibat tidak langsung seperangkat variabel, sebagai variabel
penyebab terhadapvariabel lainnya yang merupakan variabel akibat.
William N. Dunn (2003) mengemukakan bahwa analisis kebijakan publik
adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam
metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan informasi yang relevan
untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Dalam menganalisis kebijakan
dibutuhkan metodologi, yaitu sistem standar, aturan dan prosedur untuk
menciptakan penilaian secara kritis dan mengkomunikasikan informasi dan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.
Metodologi analisis kebijakan harus menyediakan informasi yang dapat
menjawab 5 (lima) pertanyaan penting, yaitu apa hakekat permasalahan,
kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan

84

BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS

apa hasilnya, seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah,


alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa
yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaantersebut
membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masadepan kebijakan, aksi
kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan.
Willian N. Dunn (2003) mendefinisikan masalah kebijakan, masa depan
kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan sebagai berikut.
1.

Masalah kebijakan ialah nilai atau kebutuhan yang belum terpenuhi dan
dapatdiidentifikasi untuk diperbaiki atau dicapai melalui tindak publik.

2.

Masa depan kebijakan ialah konsekuensi dari serangkaian tindakan untuk


pencapaian nilai-nilai dan merupakan penyelesaian terhadap suatu
masalah kebijakan.

3.

Aksi kebijakan ialah gerakan atau serangkaian gerakan yang dituntun oleh
alternatif kebijakan yang dirancang untuk mencapai hasil masa depan yang
bernilai.

4.

Hasil kebijakan ialah konsekuensi yang teramati dari aksi kebijakan.

5.

Kinerja kebijakan ialah derajat di mana hasil kebijakan yang ada, memberi
kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai.
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang

lazim dipakai, yaitu perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan,


dan evaluasi. Berikut gambar prosedur analisis kebijakan.
Analisis kebijakan sangat penting karena bisa membantu pembuat
keputusan dengan memberikan informasi yang diperoleh melalui penelitian dan
analisis,

memisahkan

dan

mengklarifikasi

persoalan,

mengungkap

ketidakcocokan tujuan dan upayanya, memberikan alternatif-alternatif baru dan

85

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

mengusulkan cara-cara menterjemahkan ide-ide kedalam kebijakan-kebijakan


yang mudah diwujudkan dan direalisasikan. Kontribusi utamanya barangkali
untuk memberikan masukan-masukan terutama dengan memperhitungkan
keutamaan dan kepekaan parameternya. Analisis ini tidak lebih dari tambahan,
meskipun merupakan hal yang penting dalam rangka penilaian, intuisi dan
pengalaman pembuat keputusan (Quade, 1982-11).
Badjuri dan Yuwono (2002-66) mengemukakan lima argumen tentang arti
penting analisis kebijakan publik, yakni:
1.

Dengan analisis kebijakan maka pertimbangan yang scientifik, rasional dan


obyektif diharapkan dijadikan dasar bagi semua pembuatan kebijakan
publik. Ini artinya bahwa kebijakan publik dibuat berdasarkan pertimbangan
ilmiah yang rasional dan obyektif.

2.

Analisis kebijakan publik yang baik dan komprehensif memungkinkan


sebuah kebijakan didesain secara sempurna dalam rangka merealisasikan
tujuan berbangsa dan bernegara yaitu mewujudkan kesejahteraan umum
(public welfare)

3.

Analisis kebijakan menjadi sangat penting oleh karena persoalan bersifat


multidimensional, saling terkait (interdependent) dan berkorelasi satu
dengan lainnya.

4.

Analisis kebijakan memungkinkan tersedianya panduan yang komprehensif


bagi pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Hal ini disebabkan analisis
kebijakan juga mencakup dua hal pokok yaitu hal-hal yang bersifat
substansial saat ini dan hal-hal strategik yang mungkin akan terjadi pada
masa yang akan datang.

86

BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS

5.

Analisis

kebijakan

memberikan

peluang

yang

lebih

besar

untuk

meningkatkan partisipasi publik. Hal ini dikarenakan dalam metode analisis


kebijakan perlu melibatkan aspirasi masyarakat.

3.5.

Jenis dan Sumber Data


Jenis

data

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

adalah

data

sekunder.Sumber data utama berasal dari Statistik Industri Besar dan Sedang
dalam bentukbuku, Ditjen Bea Cukai, jurnal-jurnal ilmiah, serta literatur-literatur
terkait. Datayang digunakan adalah data time series dari tahun 1996 - 2008.
Data-data yangdiambil dalam penelitian ini terdiri dari:
(1) Data penerimaan cukai pemerintah
(2) Output rokok kretek nasional
(3) Output rokok putih
(4) CR4 Perusahaan Rokok Kretek dan Putih 4 yang terbesar dalam pasar
(5) Nilai tambah rokok kretek dan putih
(6) Data selisih tarif rokok kretek antara Indonesia dan Singapura
(7) Data selisih tarif rokok putih antara Indonesia dan Singapura
(8) Data selisih tarif rokok kretek antara Indonesia dan Malaysia
(9) Data selisih tarif rokok putih antara Indonesia dan Malaysia

87

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1.

Hasil Pengolahan Data


Pengolahan ini menggunakan analisis path, dimana akan dilakukan

regresi secara bertahap, yaitu:


a) Regresi X7 dan X8 terhadap X3
b) Regresi X7 dan X8 terhadap X4
c) Regresi X9 dan X10 terhadap X5
d) Regresi X9 dan X10 terhadap X6
e) Regresi X3 dan X4 terhadap X1
f)

Regresi X5 dan X6 terhadap X2

g) Regresi X1 dan X2 terhadap y

Regresi bertahap (recursive) dibuat untuk memudahkan pengambilan keputusan


kebijakan yang ingin dikeluarkan. Regresi ini menggunaan persamaan linier
berganda.

Sementara Diagram Path digunakan untuk mengetahui seberapa besar


keragaman variabel dapat menjelaskan variabel terikat (variabel penerimaan
cukai).

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

a) Hasil Regresi Regresi X7 dan X8 terhadap X3


Variables Entered/Removed
Variables

Variables

Entered

Removed

Model
1

Method

selisih_dgn_mal
aysia,

. Enter

selisih_dgn_sing
apura

a. All requested variables entered.


b. Dependent Variable: CR4_rokok_kretek

Model Summary
Change Statistics

Model

.704

Adjusted R

Std. Error of the

R Square

Square

Estimate

Change

R Square
a

.496

.395

6.899

Sig. F
F Change

.496

df1

4.911

df2
2

Change

10

.033

a. Predictors: (Constant), selisih_dgn_malaysia, selisih_dgn_singapura

ANOVA
Model
1

Sum of Squares

Df

Mean Square

Regression

467.436

233.718

Residual

475.916

10

47.592

Total

943.352

12

Sig.

4.911

.033

a. Predictors: (Constant), selisih_dgn_malaysia, selisih_dgn_singapura


b. Dependent Variable: CR4_rokok_kretek
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)

Std. Error
86.581

6.192

selisih_dgn_singapura

-.009

.003

selisih_dgn_malaysia

-.016

.015

Coefficients
Beta

Sig.

13.984

.000

-.739

-3.132

.011

-.253

-1.070

.310

a. Dependent Variable: CR4_rokok_kretek

89

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

b) Hasil Regresi X7 dan X8 terhadap X4


Variables Entered/Removed

Model
1

Variables

Variables

Entered

Removed

Method

selisih_dgn_mal
aysia,

. Enter

selisih_dgn_sing
apura

a. All requested variables entered.


b. Dependent
Variable:nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak

ANOVA
Model
1

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

3.138E26

1.569E26

Residual

1.903E26

10

1.903E25

Total

5.041E26

12

Sig.

8.244

.008

a. Predictors: (Constant), selisih_dgn_malaysia, selisih_dgn_singapura


b. Dependent Variable: nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)

Std. Error

1.562E12

3.915E12

selisih_dgn_singapura

7.292E9

1.844E9

selisih_dgn_malaysia

1.928E10

9.212E9

a. Dependent Variable: nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak

90

Coefficients
Beta

Sig.
.399

.698

.808

3.955

.003

.427

2.093

.063

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

c) Hasil Regresi Regresi X9 dan X10 terhadap X5


Variables Entered/Removed

Variables
Model
1

Variables Entered

Removed

Method

selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia,
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura

. Enter

a. All requested variables entered.


c.

Dependent Variable: cr4_rokok_putih

ANOVA
Model
1

Sum of Squares
Regression

Df

Mean Square

21.387

10.693

Residual

232.359

10

23.236

Total

253.746

12

Sig.
.460

.644

a. Predictors: (Constant), selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia,


selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
b. Dependent Variable: cr4_rokok_putih
Coefficients

Model
1

Unstandardized

Standardized

Coefficients

Coefficients

B
(Constant)

Std. Error

93.064

4.229

selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura

.000

.002

selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia

.009

.010

Beta

Sig.

22.008

.000

.036

.114

.912

.298

.946

.367

a. Dependent Variable: cr4_rokok_putih

91

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

d) Hasil Regresi X9 dan X10 terhadap X6


Variables Entered/Removed

Variables
Model
1

Variables Entered

Removed

selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia,
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura

Method
. Enter

a. All requested variables entered.


b. Dependent Variable: Nilai_tambah_rokok_putih

ANOVA
Model
1

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

5.359E24

2.679E24

Residual

2.479E24

10

2.479E23

Total

7.838E24

12

Sig.

10.808

.003

a. Predictors: (Constant), selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia,


selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
d.

Dependent Variable: Nilai_tambah_rokok_putih

Coefficients

Model
1

Unstandardized

Standardized

Coefficients

Coefficients

B
(Constant)

Std. Error

-5.289E10

4.368E11

selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura

9.122E8

2.080E8

selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia

2.825E9

1.038E9

a. Dependent Variable: Nilai_tambah_rokok_putih

92

Beta

Sig.

-.121

.906

.814

4.386

.001

.505

2.723

.021

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

e) Hasil Regresi X3 dan X4 terhadap X1


Variables Entered/Removed

Variables
Model
1

Variables Entered

Removed

nilai_tambah_kretek_stl_dikuran
g_pajak, CR4_rokok_kretek

Method
. Enter

a. All requested variables entered.


b. Dependent Variable: output_rokok_kretek

ANOVA
Model
1

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

1.162E21

5.810E20

Residual

1.124E21

10

1.124E20

Total

2.286E21

12

Sig.

5.171

.029

a. Predictors: (Constant), nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak, CR4_rokok_kretek


b. Dependent Variable: output_rokok_kretek

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

Std. Error

(Constant)

2.974E11

3.595E10

CR4_rokok_kretek

-1.256E9

4.199E8

.000

.001

nilai_tambah_kretek_stl_diku
rang_pajak

Coefficients
Beta

Sig.

8.272

.000

-.807

-2.992

.014

-.198

-.735

.480

a. Dependent Variable: output_rokok_kretek

93

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

f) Hasil Regresi X5 dan X6 terhadap X2


Variables Entered/Removed

Model
1

Variables

Variables

Entered

Removed

Method

Nilai_tambah_ro
kok_putih,
cr4_rokok_putih

. Enter
a

a. All requested variables entered.


b. Dependent Variable: output_rokok_putih

ANOVA
Model
1

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

2.178E20

1.089E20

Residual

2.799E20

10

2.799E19

Total

4.978E20

12

Sig.

3.890

.056

a. Predictors: (Constant), Nilai_tambah_rokok_putih, cr4_rokok_putih


b. Dependent Variable: output_rokok_putih

Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)
cr4_rokok_putih
Nilai_tambah_rokok_putih

a. Dependent Variable: output_rokok_putih

94

Std. Error

-4.423E9

3.353E10

3.886E8

3.632E8

-.006

.002

Coefficients
Beta

Sig.
-.132

.898

.277

1.070

.310

-.723

-2.789

.019

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

g) Hasil Regresi X1 dan X2 terhadap y

Variables Entered/Removed

Variables
Model
1

Variables Entered

Removed

Method

output_rokok_putih,
output_rokok_kretek

. Enter

a. All requested variables entered.


b. Dependent Variable: penerimaan_cukai

Model Summary

Model

.949

R Square
a

Adjusted R

Std. Error of the

Square

Estimate

.901

.881

5.156E12

a. Predictors: (Constant), output_rokok_putih, output_rokok_kretek

ANOVA
Model
1

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

2.411E27

1.205E27

Residual

2.659E26

10

2.659E25

Total

2.677E27

12

Sig.

45.343

.000

a. Predictors: (Constant), output_rokok_putih, output_rokok_kretek


b. Dependent Variable: penerimaan_cukai
Coefficients

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)
output_rokok_kretek
output_rokok_putih

Std. Error

-2.647E12

2.736E13

330.412

120.509

-1791.712

258.235

Coefficients
Beta

Sig.
-.097

.925

.305

2.742

.021

-.773

-6.938

.000

a. Dependent Variable: penerimaan_cukai

95

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Model yang dihasilkan dari hasil pengolahan data adalah sebagai berikut:

Y =

- 2,647. 1012 +

X1 =

2,974. 1011 - 1,256. 109X3+ 0 X4

X2 =

- 4,42. 109

X3 =

86.581

X4 =

1,562.1012 +7,292.109 X7+

X5 =

93.064

X6 =

- 5,289.1010+ 9,122.108 X9+ 2,82.109X10

Y =

- 9,977.1011 + 9,75. 1010 X8+2,06. 1010 X9-9,822. 1010 X10

330,412 X1 -1791,712 X2

+3,886. 108 X5-

0,006 X6

-0,009 X7-0,016 X8

+ 0,000

1,92 1010 X8
X9+ 0,000

X10

Y = Penerimaan Cukai
X1= Output Rokok Kretek
X2= Output Rokok Putih
X3= CR4 Rokok Kretek
X4=Nilai Tambah Rokok Kretek
X5= CR4 Rokok Putih
X6= Nilai Tambah Rokok Putih
X7= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Singapura
X8= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
X9= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Singapura
X10= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia

96

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

HASIL TEMUAN TERKAIT HIPOTESIS PENELITIAN:

H1

Output rokok kretek (x1) dan rokok putih (x2)berpengaruh secara signifikan
terhadap penerimaan cukai negara secara bersama

Output rokok putih SECARA INDIVIDUberpengaruh NEGATIF secara


signifikan terhadap penerimaan cukai negara.

H2

CR4 Rokok kretek (x3) dan nilai tambah rokok kretek (x4)secara bersama
berpengaruh berpengaruh signifikan terhadap output rokok kretek (X1)

CR4 Rokok kretek (x3)secara individu berpengaruh negative signifikan


terhadap output rokok kretek (X1)

H3

CR4 Rokok putih (x5) dan nilai tambah rokok putih (x6)secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada
signifikansi 10%

Nilai tambah rokok putih (x6)secara individu berpengaruh negative secara


signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 5%

H4

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia (X8) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan
terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)

97

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7)
secara individuberpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4
Rokok Kretek (X3)

H5

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia

(X8)

secara

bersama-samaberpengaruh

secara

signifikan

terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4) pada signifikansi 5%


-

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia (X8) masing-masing secara individu berpengaruh positif secara
signifikan terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4) pada signifikansi 10%

H6

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan
Malaysia secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhiterhadap
CR4 Rokok Putih (X5)

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan
Malaysia

masing-masing

secara

individu

tidak

signifikan

mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)

H7

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan
Malaysia (X10)secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhi Nilai
tambah Rokok Putih (X6)

98

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan
Malaysia (X10)masing-masing secara individu signifikan mempengaruhi
Nilai tambah Rokok Putih (X6)

Kebijakan tarif cukai rokok dalam negeri dipengaruhi oleh kebijakan


tarif impor rokok negara-negara tetangga khususnya yang memiliki tarif
cukai tinggi dan harga eceran rokok tinggi.

Dari hasil penelitian yang ada bila liberalisasi perdagangan diterapkan


dalam AEC 2015, maka kebijakan tarif cukai rokok putih memiliki
sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan rokok kretek pada
Penerimaan Cukai dalam negeri;

Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Singapura signifikan


mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Singapura tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai ROKOK PUTIH dengan Negara SINGAPURAsignifikan


mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia. Hal ini
disebabkan karena di Singapura merk rokok yang populer adalah rokok putih
merk asing yang perbedaan harga dan tarif cukainya dengan Indonesia
sangat mencolok.

99

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Y=

- 9,977.1011 + 9,75. 1010 X8+2,06. 1010X9-9,822. 1010 X10

Y = PENERIMAAN CUKAI;
X9= SELISIH TARIF CUKAI ROKOK PUTIH DGN SINGAPURA
-

Setiap penambahan (tarif impor Singapura) selisih sebesar Rp.10/batang,


maka Indonesia diperkirakan akan kehilangan penerimaan cukai sebesar
Rp. 791.700.000.000.

Penambahan (tarif impor Singapura) selisih sebesar Rp.20/batang


penerimaan cukai Indonesia berkurang sebesar Rp. 585.700.000.000. Hal
ini menandakan bahwa tarif impor Singapura cukup efektif menahan
masuknya rokok dari Indonesia dan kehilangan penerimaan cukai
pemerintah Indonesia semakin berkurang dibandingkan penambahan
sebesar Rp.10/batang

Penurunan (tarif cukai Indonesia dinaikkan) selisih tarif sebesar Rp.


10/batang, maka Indonesia diperkirakan akan kehilangan penerimaan
cukai sebesar Rp. 1.203.700.000.000.

Artinya SEMAKIN TINGGI TARIF IMPOR dan HARGA ECERAN ROKOK


suatu negara maka EFEKTIF untuk MENAHAN MASUKNYA ROKOK dari
luar negeri secara resmi, namun TIDAK UNTUK MASUK SECARA TIDAK
RESMI karena menawarkan KEUNTUNGAN yang sangat tinggi. Negara
dengan TARIF CUKAI lebih rendah dari TARIF IMPOR Negara lain maka
negara tersebut cenderung akan dijadikan basis produksi rokok.

100

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambar. 4.1
Ringkasan Hasil Analisis Path

= 0,938
p = 0,538

Output Rokok
Kretek (X1)

= -0,253
p = 0,310
H4
Adj R square = 0,395
Sig F = 0,033

Penerimaan
Cukai (Y)

= 0,996
p = 0,000

= 0,808
p = 0,083

Selisih Tarif Rokok


Kretek Dengan Tarif
Import Malaysia (X8)

H5
Adj R square = 0,547
Sig F = 0,008

Nilai Tambah Rokok Kretek (X4)

H1
Adj R square = 0,881
Sig F = 0,000

= 0,427
p = 0,063

= 0,036
p = 0,912

= 0,
p = 0,000

CR4 Rokok Putih (X5)

= 0,277
p = 0,31

Output Rokok
Putih (X2)

Selisih Tarif Rokok


Kretek Dengan Tarif
Import Singapura (X7)

H2
Adj R square = 0,41
Sig F = 0,029

= -0,198
p = 0,48
= 0,
p = 0,21

= -0,739
p = 0,011

CR4 Rokok Kretek (X3)

= -0,807
p = 0,014

H3
Adj R square = 0,438
Sig F = 0,056

= 0,208
p = 0,367
H6
Adj R square = 0,084
Sig F = 0,644

Selisih Tarif Rokok


Putih Dengan Tarif
Import Singapura (X9)

Dari gambar 4.1 di atas diperoleh


bahwa gambaran terdapat beberapa path yang
= -0,723
= -0,950
p = 0,530

p = 0,019

= 0,814
p = 0,001
H7
Adj R square = 0,084
Sig F = 0,644

signifikan. Koefisien diatas adalah pengaruh langsung

Selisih Tarif Rokok


Putih Dengan Tarif
masing-masing
variabel.
Import Malaysia (X10)

Pengaruh langsung kepada variabel


penerimaan
cukai yang
signifikan
Nilai Tambah
Rokok Putih (X6)
= 0,505
p = 0,021

adalah pada variabel selisih tarif rokok putih Indonesia dengan tarif impor
Singapura (X9) dengan besar pengaruh 0,996 atau 99,6%. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila tarif rokok putih di Singapura lebih tinggi dari di Indonesia dengan
asumsi daya beli konsumen dan biaya produksi tidak jauh berbeda maka akan
ada aliran masuk rokok putih dari Singapura ke Indonesia dengan cara
menjadikan Indonesia sebagai basis produksi produsen rokok putih. Dengan
demikian akan ada pemasukan cukai pemerintah Indonesia dari rokok putih ini.

101

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Namun dampak selanjutnya diperkirakan akan ada penyelundupan rokok putih


ke Singapura untuk menghindari pajak import Negara tersebut mengingat
adanya selisih tarif yang cukup signifikan.
Modus penyelundupan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti telah
dikemukakan dalam bab 2 landasan teori sebelumnya. Disamping itu apabila
dilihat dari teori pemasaran perbedaan harga yang cukup signifikan dengan
kualitas produk yang hampir sama akan mendorong konsumen untuk
mengkonsumsi barang tersebut.
Sedangkan pengaruh langsung dari variabel perbedaan tarif cukai rokok
putih di Indonesia dengan tarif impor rokok Malaysia menunjukkan pengaruh
yang tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan selisih perbedaan yang tidak
sebesar dengan selisih perbedaan Indonesia dengan Singapura.
Sedangkan pengaruh tidak langsung yangbisa diukur adalah:
a) Pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor
Singapura (X7) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel CR4
Rokok Kretek (X3) dan variabel output rokok kretek (X4) adalah: -0,709 0,807 x 0,35 = 0,2 signifikan. Maksudnya adanya selisih tarif rokok kretek
dengan tarif impor Singapura memberikan dampak tidak secara langsung
kepada penerimaan cukai Negara, namun memberikan dampak secara
langsung pada pangsa pasar 4 perusahaan rokok terbesar di Indonesia
dalam bentuk terjadinya potensi penurunan pangsa pasar akibat potensi
masuknya rokok kretek dari Negara Singapura yang disebabkan karena
adanya insentif tarif di Indonesia dibandingkan dengan di Singapura.
Masuknya rokok kretek dari Singapura ini berpeluang meningkatkan tingkat

102

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

persaingan di dalam negeri yang pada gilirannya dapat menurunkan produksi


produsen rokok kretek di dalam negeri (Indonesia).
b) Variabel selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Malaysia (X8) tidak
signifikan mempengaruhi variabel penerimaan cukai (Y)
c) Pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor
Singapura (X9) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel nilai
tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2) adalah: 0,814
-0,723x -0,773 = 0,455 signifikan. Variabel selisih tarif rokok putih dengan
tarif impor Singapura yang cukup tinggi juga memberikan dampak langsung
kepada nilai tambah produk rokok putih dalam negeri. Hal ini disebabkan
adanya dorongan bagi produsen rokok dalam negeri untuk lebih unggul
dalam nilai tambah produk untuk dapat bersaing dengan produk rokok putih
dari Singapura. Namun di sisi yang lain persaingan ini diperkirakan akan
menyebabkan turunnya produksi rokok putih di dalam negeri. Dengan terlihat
bahwa produsen rokok putih dalam negeri akan lebih meningkatkan nilai
tambah

rokoknya sekaligus mengurangi produksinya di dalam negeri

sebagai kekhawatiran akan tidak terserapnya produk mereka di pasar dalam


negeri.
d) Pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor
Malaysia (X10) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel nilai
tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2) adalah: 0,505
-0,723x -0,773 = 0,282 signifikan. Variabel selisih tarif rokok putih dengan
tarif import Malaysia berdampak langsung juga pada nilai tambah produk
rokok putih di dalam negeri. Reaksi ini sama seperti rekasi yang terjadi akibat
potensi masuknya rokok putih dari Singapura. Demikian juga respon

103

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

produsen rokok putih dalam negeri mengakibatkan menurunnya output rokok


putih di dalam negeri sebagai bentuk kehati-hatian para produsen dalam
negeri akibat kekhawatiran tidak terserapnya produk rokok putih mereka di
dalam negeri.
Berdasarkan model-model pengaruh tersebut, dapat disusun model lintasan
pengaruh sebagai berikut. Model lintasan ini disebut dengan analisis path,
dimana pengaruh error ditentukan sebagai berikut:
Regresi 1 Pe1 = 1 12 =

1 0,4962 = 0,868

Regresi 2Pe2 = 1 22 =

1 0,6222 = 0,783

Regresi 3Pe3 = 1 32 =

1 0,0842 = 0,996

Regresi 4Pe4 = 1 42 =

1 0,6842 = 0,729

Regresi 5Pe5 = 1 52 =

1 0,5282 = 0,849

Regresi 6Pe6 = 1 62 =

1 0,4382 = 0,899

Sehingga koefisien determinasi total adalah:


R2m = 1 Pe12x Pe22 x Pe32x Pe42 x Pe52x Pe62
R2m = 1 0,8682x 0,7832 x 0,9962x 0,7292 x 0,8492x 0,8992 = 0,858
Artinya keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model analisis path tersebut
adalah sebesar 0,858 atau 85,8% atau dengan kata lain informasi yang
terkandung dalam data 85,8% dapat dijelaskanoleh model tersebut. Sedangkan
yang 14,2% dijelaskan oleh variabel lain yang belum terdapat dalammodel dan
error.
4.2.

Simulasi Tarif Cukai Optimal


Untuk memperoleh tarif cukai yang optimal dapat dibuat suatu simulasi

sebagai berikut:

104

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Y=

- 9,977.1011 + 9,75. 1010 X8+2,06. 1010X9-9,822. 1010 X10


P=0.538

P=0.000

P=0.530

X8= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
X9= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Singapura
X10= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
Variabel yang signifikanmempengaruhi penerimaan cukai hanya X9 karena
menunjukkan nilai p < 0.05. Oleh karena hanya X9 yang berpengaruh secara
signifikan, maka dilakukan simulasi dengan menganggap variabel lain yaitu X8
dan X10 dianggap konstan. Dari hasil simulasi didapat nilai seperti pada tabel.4.1
berikut ini:
Tabel.4.1
Simulasi Mencari Tarif Cukai Optimal

Penerimaan Cukai
(Rp)

-791.000.000.000
-585.000.000.000
-379.000.000.000
-173.000.000.000
32.300.000.000

Selisih Tarif Rokok


Kretek Indonesia
dengan Tarif Impor
Malaysia
(X8)
0
0
0
0
0

Selisih Tarif
Cukai Rokok
Putih Indonesia
dengan Tarif
Impor Singapura
(X9)
Rp.10/batang
Rp.20/batang
Rp.30/batang
Rp.40/batang
Rp.50/batang

Selisih Tarif
Rokok Putih
Indonesia
dengan Tarif
Impor Malaysia
(X10)
0
0
0
0
0

Berdasarkan simulasi yang ada di dapat bahwa variabel yang signifikan


mempengaruhi penerimaan cukai apabila integrasi ekonomi ASEAN 2015
dilaksanakan adalah variabel X9 (selisih tarif dengan Singapura khususnya rokok
putih). Apabila tarif cukai Indonesia untuk rokok putih yang telah dirata-ratakan
mempunyai selisih sebesar Rp. 10/batang dengan tarf impor Singapura yang
telah dikonversikan kepada rupiah, maka kehilangan penerimaan cukai
pemerintah sebesar Rp. 791 milyar, demikian seterusnya untuk nilai sampai

105

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

dengan selisih Rp.40/batang. Namun apabila selisihnya mencapai Rp. 50/batang


justru pemerintah memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp.32,3 milyar.
Hal ini menunjukkan bahwa sampai selisih Rp.50/batang peluang terjadinya
keuntungan arbitrage untuk eksportir dalam Negeri mengekspor ke Singapura
sudah kurang menjanjikan lagi, bahkan dapat terjadi kemungkinan justru rokok
dari luar negeri masuk ke Indonesia.
Tariff optimal ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Negara
sekaligus mengurangi konsumsi rokok oleh masyarakat bawah khususnya
remaja yang komposisinya sudah mulai mengkhawatirkan bagi kelangsungan
produktivitas nasional.

4.3.

Analisis Cost and Benefit Biaya Kesehatan Rokok


Analisis cost-benefit sering digunakan untuk memutuskan apakah suatu

proyek ataukebijakan mampu memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan


kesejahteraanmasyarakat. Analisis cost-benefit ini dijadikan suatu alat dalam
proses pengambilankeputusan guna mengevaluasi kelayakan suatu proyek atau
kebijakan yang akandilaksanakan dalam suatu negara, sehingga apabila
memberikan kontribusi negatif lebihbesar dari pada kontribusi positif terhadap
kesejahteraan masyarakat, maka hendaknyakelanjutan proyek atau kebijakan
tersebut dapat dipertimbangkan kembali untuk dicarikanalternatif lain atau
bahkan dihapus atau ditolak (Perkins, 1994).
Penilaian cost-benefit sosial dari suatu proyek memiliki fungsi yang lebih
dari padapenilaian ekonomi dalam memutuskan proyek manakah yang dapat
meningkatkankesejahteraan

masyarakat

saat

pengaruh

keberadaannya

dipertimbangkan. Dalammenentukan keputusan, penganalisis tidak hanya

106

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

memperhatikan besarnya cost danbenefit yang dapat disumbangkan dari suatu


proyek, melainkan harus memperhatikanpula mengenai siapa yang menerima
benefit dan siapa pula yang membayar ataumenanggung cost dari proyek atau
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, penilaian sosialmencakup dilema moral dan
teoritis, seperti yang diperkenalkan dalam kriteria pilihanHicks-Kaldor, bahwa
suatu

proyek

menghasilkan

berharga
suatu

untuk

Pareto

dilaksanakan

optimality dalam

jika

memiliki

kesejahteraan

potensiuntuk
masyarakat

suatunegara. Suatu kondisi Pareto optimality hanya akan terjadi apabila tidak
ditemukannyakebijakan baru yang dapat membuat kondisi kesejahteraan setiap
individu masyarakatmenjadi lebih baik atau sama dengan keadaannya seperti
pada kondisi kebijakan yanglama (Perkins, 1994).
Untuk mengetahui besarnya beban cost yang harus ditanggung
olehmasyarakatsebagai akibat pengkonsumsian rokok, maka di bawah ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Likke, Llewelyn, dan Musianto, 2000 terkait
dengan perhitungan biaya untuk limajenis penyakit terkait dengan aktivitas
merokok:
a)

Merokok dan Mengidap Penyakit Tumor Paru


Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok yang dilakukan oleh konsumen
aktif adalahsebanyak 20 batang per hari. Lama rawat inap setiap individu
dalam kondisi ini diperolehdari lama rawat inap rata-rata pasien kelas II
RSUD Dr. Soetomo Surabaya yangmengidap penyakit tumor paru yang
menjadi sumber data dari penelitian ini. Frekuensikambuhnya penyakit
tumor paru ini sampai pada tingkat yang membutuhkan rawat inapadalah
dua tahun sekali. Sedangkan frekuensi rawat jalan yang harus dijalani
olehpenderita penyakit ini adalah tiga kali per tahun. Dalam kondisi

107

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

tertentu, operasi atauradioterapi dapat dilakukan dan hal ini dilakukan


hanya satu kali seumur hidup. Adapunperhitungan biaya untuk kondisi ini
adalah sebagai berikut:
Lama rawat inap 10 hari ( 2 tahun sekali )
-

Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700,00 per hari = Rp.11.700,00 * 10 hari


=Rp.117.000,00

Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap = Rp.117.000,00 * 80%
=Rp. 93.600,00

Biaya obat rawat jalan = Rp. 4.900,00 * 20 hari * 3 kali per tahun
=Rp.294.000,00

Biaya operasi atau radioterapi 1 kali seumur hidup =Rp.210.850,00

Rawat inap = Rp. 5.500,00 * 10 hari =Rp. 55.000,00

Sekali operasi atau radioterapi = Rp. 5.500,00 * 14 hari =Rp. 77.000,00

Biaya rawat inap (operasi/radioterapi) = Rp. 11.700,00 * 8 hari =Rp.


93.600,00

Biaya obat operasi (80% dari biaya rawat inap) = Rp. 93.600,00 *80%=
Rp. 74.880,00

TOTAL BIAYA PER TAHUN = Rp. 507.965.

b)

Merokok dan Mengidap Penyakit Emphysema


Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok oleh konsumen aktif adalah
sebanyak 15batang per hari. Seperti pada kondisi-kondisi sebelumnya,
lama rawat inap setiap individu diperoleh dari lama rawat inap rata-rata
pasien kelas II RSUD Dr. Soetomo Surabayayang mengidap penyakit
emphysema yang menjadi sumber data dari penelitian ini. Frekuensi

108

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

kambuhnya penyakit ini sampai pada tingkat yang membutuhkan rawat


inapadalah dua kali per tahun. Sedangkan frekuensi rawat jalan yang harus
dijalani olehpenderita penyakit ini adalah empat kali per tahun. Perhitungan
biaya untuk kondisi iniadalah sebagai berikut:
Lama rawat inap 5 hari ( 2 kali per tahun )
-

Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari=Rp. 11.700 * 5 hari *2 kali
per tahun = Rp. 117.000,00

Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap =Rp.58.500,00*80% =


Rp. 93.600,00

Biaya obat rawat jalan = Rp. 6275 * 5 hari * 4 kali per tahun = Rp.
125.500,00

Biaya kehilangan pekerjaan=Rp. 5.500 * 5 hari * 2 kali per tahun =


Rp. 55.000,00

TOTAL BIAYA (DIAMBIL 1 kali PERTAHUN) = Rp. 195.550,-

c)

Merokok dan Mengidap Penyakit Bronchitis Chronis


Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok oleh konsumen aktif sebanyak 15
batang perhari. Lama rawat inap setiap individu diperoleh dari lama rawat
inap rata-rata pasienkelas II RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang mengidap
penyakit Bronchitis Chronis yangmenjadi sumber data dari penelitian ini.
Frekuensi kambuhnya penyakit ini sampai padatingkat yang membutuhkan
rawat inap adalah dua kali per tahun. Sedangkan frekuansirawat jalan yang
harus dijalani oleh penderita penyakit ini adalah empat kali per
tahun(berdasarkan hasil wawancara dengan para dokter di RSUD Dr.
Soetomo: 25 Mei 1999,Surabaya).Daya tahan hidup individu yang

109

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

mengidap penyakit bronchitis chronis dibagi dalamdua kelompok yaitu:


individu yang penyakitnya dapat sembuh dan dapat bertahan hidupsampai
usia 70 tahun dan untuk individu yang penyakitnya berkembang parah dan
dapatbertahan hidup sampai pada usia 55 tahun. Adapun perhitungan
biaya adalah sebagaiberikut:
Lama rawat inap 5 hari ( 2x per tahun )
-

Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari = Rp.11.700 * 5 hari *2 kali
per tahun = Rp. 117.000,00

Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap=Rp.117.000*80%= Rp.


93.600,00

Biaya obat rawat jalan= Rp. 6275 * 5 hari * 4 kali per tahun = Rp.
125.500,00

Biaya kehilangan pekerjaan=Rp.5.500*5 hari*2 kali per tahun = Rp.


55.000,00

Perhitungan di atas memberikan gambaran besarnya biaya yang harus


ditanggungsetiap tahunnya oleh individu karena penyakit bronchitis chronis
yang dideritanya sebagaiperokok aktif.
TOTAL BIAYA (DIAMBIL 1 kali PERTAHUN) = Rp. 195.550,-

d)

Merokok dan Mengidap Penyakit Jantung Koroner


Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok oleh konsumen aktif adalah
sebanyak 20batang per hari. Lama rawat inap setiap individu dalam asumsi
ini diperoleh dari lamarawat inap rata-rata pasien kelas II RSUD Dr.
Soetomo Surabaya yang mengidappenyakit jantung koroner yang menjadi
sumber data dari penelitian ini. Frekuensikambuhnya penyakit jantung

110

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

koroner ini sampai pada tingkat yang membutuhkan rawatinap adalah satu
kali per tahun. Sedangkan frekuensi rawat jalan yang harus dijalani
olehpenderita penyakit ini adalah setiap hari atau dengan kata lain selama
seumur hidup.Dalam kondisi tertentu, operasi dapat dilakukan pada
penderita penyakit jantung koronerdan 10 tahun setelah operasi pertama
dilakukan, bila dibutuhkan dan kondisi pasienmemungkinkan maka dapat
dilakukan operasi ulang atau ditiup jantung terhadap pasien(berdasarkan
hasil wawancara dengan para dokter di RSUD Dr. Soetomo: 25 Mei
1999,Surabaya).
Seperti sebelumnya, daya tahan hidup individu yang mengidap penyakit
jantungkoroner dibagi dalam dua kelompok yaitu: individu yang dapat
bertahan hidup sampaiusia 70 tahun dan individu yang dapat bertahan
hidup sampai pada usia 55 tahun.
Perhitungan biaya adalah sebagai berikut:
Lama rawat inap 18 hari per tahun
-

Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari= Rp. 11.700* 18 hariper
tahun =Rp. 210.600,00

Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap= Rp. 210.600,00 *80%
=Rp. 168.480,00

Biaya obat rawat jalan seumur hidup= Rp. 3.850,00 * 365 hariper tahun
=Rp. 1.405.250,00

Rawat inap= Rp. 5.500,00 * 18 hari per tahun =Rp. 99.000,00

Sekali Operasi = Rp. 5.500,00 * 20 hari =Rp. 110.000,00

Sekali Tiup atau Operasi ulang = Rp. 5.500,00 * 20 hari =Rp.


110.000,00

111

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Biaya rawat inap selama sekali operasi= Rp. 11.700,00 * 10 hari =Rp.
117.000,00

Biaya obat setelah operasi (80 % dari biaya rawat inap) =Rp.
117.000,00 * 80% =Rp. 93.600,00

Biaya 1 kali operasi =Rp.23.250.000,00

10

tahun

setelah

operasi

I,

sekali

tiup

atau

operasi

ulang

=Rp.19.640.000,00 per tahun Rp. 1.964.000


TOTAL BIAYA PER TAHUN (OPERASI 1 KALI) = Rp. 27.527.930,-

Tabel.4.2
Ringkasan Perkiraan Biaya Kesehatan
Akibat Merokok Per Individu Tahun 1999
No

Penyakit Yang Diderita

1
2
3
4

Merokok dan Mengidap Penyakit Tumor Paru


Merokok dan Mengidap Penyakit Emphysema
Merokok dan Mengidap Penyakit Bronchitis Chronis
Merokok dan Mengidap Penyakit Jantung Koroner

Perkiraan Biaya
Kesehatan Akibat
Merokok per
individu
(Tahun 1999)
Rp. 507.965
Rp. 195.550
Rp. 195.550
Rp. 27.527.930

Untuk menghitung total biaya kesehatan dalam 1 tahun maka populasi perokok
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok penyakit dengan bobot masing-masing
25%, 35%, 35% dan 5%. Contoh diberikan untuk perkiraan biaya kesehatan
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Total biaya kesehatan akibat rokok 1999 =
20%*145 juta x (25%*Rp.507.965 + 35%*Rp.195.550 + 35%*Rp.195.550
+5%*Rp.27.527.930) =Rp.47.567.909.750.000,-

Jumlah perokok yang peduli dengan kesehatannya dan memeriksakan


dirinya di rumah sakit diasumsikan 20% nya;

112

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 25% diasumsikan terkena penyakit
jenis-1

Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 35% diasumsikan terkena penyakit
jenis-2

Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 35% diasumsikan terkena penyakit
jenis-3;

Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 5% diasumsikan terkena penyakit


jenis-4

Kenaikan biaya kesehatan akibat merokok setiap tahunnya diperhitungkan


adanya kenaikan biaya akibat inflasi, dengan rincian inflasi sebagai berikut:
Tabel.4.3
Inflasi Tahunan
Tahun

Inflasi (%)

1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005

2
9,4
12,55
10,03
5,16
6,4
17,11

Tabel.4.4
Biaya Kesehatan Akibat Rokok Per Individu Setelah Penyesuaian Inflasi
Penyakit

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Jenis-1

507.965

518124

566828

637965

701953

738174

785417

Jenis-2

. 195.550

199461

218210

245596

270229

284173

302360

Jenis-3

195.550

199461

218210

245596

270229

284173

302360

Jenis-4

27.527.930

28078489

30717867

34717867

38040627

40003523

42563748

113

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Dengan demikian total biaya kesehatan akibat merokok:


Tabel.4.5
Perkiraan Jumlah Konsumsi Rokok di Indonesia
Tahun

Biaya Kesehatan
Yang
Dikeluarkan
Perokok
(Rp. Triliun)
47,6

Penerimaan
Cukai
(Rp. Triliun)

1999

Populasi
Perokok
umur > 15
tahun
(juta orang)
145

2000

149

49,9

13,8

2001

152

55,6

18,3

2002

155

63,9

23,08

2003

158

71,6

26,4

2004

160

76,3

28,64

2005

163

82,7

32,65

10,11

Sumber: Lembaga Demografi UI (2011) diolah


Tabel 4.5. ini dibuat hanya untuk menunjukkan bahwa biaya kesehatan
yang dikeluarkan oleh masyarakat cukup besar bila dibandingkan dengan
penerimaan cukai yang diterima pemerintah. Kondisi ini belum memperhitungkan
biaya yang dikeluarkan untuk membeli rokok oleh masyarakat tentunya akan
menjadi lebih besar lagi. Dengan kondisi yang demikian pemerintah perlu
mempertimbangkan konsep strategi pengendalian gerak industri rokok sesuai
dengan road map yang telah dicanangkan.
Pemerintah perlu lebih memperhatikan potensi penurunan produktivitas
nasional sebagai akibat daridampak merugikan merokok pada penduduk
produktif. Perlindungan masyarakat perlu lebih diutamakan, dengan demikian

114

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

kebijakan

memperbesar

ekspor

rokok

dapat

dipertimbangkan

dengan

memberikan insentif-insentif yangberkaitan dengan ekspor rokok.


Kebijakan pengendalian impor rokok perlu lebih diperketat kembali
mengingat konsumsi dalam negeri yang sudah cukup besar. Bagaimana
menciptakan kebijakan di satu sisi penerimaan pemerintah tetap tinggi namun di
sisi yang lain masyarakat bawah yang mendominasi konsumsi rokok dalam
negeri dapat dikurangi jumlahnya dengan cara memberikan sosialisasi yang
intensif.

4.4.

Strategi Memerangi Penyelundupan Rokok Sebagai Dampak Adanya


Perbedaan Tarif
Perdagangan ilegal rokok dirangsang oleh empat pendorong utama,

yaitu(1) insentif yang tinggi dan celah besar;(2) tindakan pengendalian rantai
pasokan yang tidak memadai sesuai dengan skala ancaman;(3) pihak penegak
hukum menghadapi tantangan yang sifatnya umum sampai yang khusus; dan (4)
faktor disinsentif dan sanksi rendah. Dengan demikian strategi untuk memerangi
penyelundupan rokok adalah dengan menghindari adanya insentif yang tinggi
dan melakukan kontrol secara bersamaan.
4.4.1. Insentif yang tinggi dan celah yang besar
Produk tembakau yang pada umumnya dikenakan pajak, bea masuk
yang tinggi. Permasalahan pajak umumnya terletak pada tingginya pajak
terhadap harga jual eceran. Perbedaan harga (yang dibayar oleh konsumen
akhir ) produk tembakau di antara Negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena
itu perlu diciptakan permintaan yang kuat dan insentif yang menarik untuk
distribusi yang dilakukan secara sah. Meskipun kesenjangan harga telah

115

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

menyempit di antara Negara-negara anggota ASEAN namun umumnya di


perbatasan cenderung menunjukkan tariff yang lebih rendah.
4.4.2 . Langkah-langkah untuk mengurangi insentif
Perlu dilakukan penyelarasan tariff cukai dengan Negara-negara tetangga
dan mendefinisikan kembali konsep cukai tembakau, untuk mendapatkan
keuntungan dari penyederhanaan yang akan dilakukan dengan menyelaraskan
definisi cukai dengan Negara-negara tetangga. Definisi yang tepat untuk produk
kena pajak adalah berdasarkan kriteria obyektif sebagai langkah awal untuk
menurunkan beban administrasi pada kedua operator ekonomi dan otoritas pajak
Negara, sehingga mengurangi celah dan memastikan tingkat yang lebih tinggi
sesuai dengan Undang-undang cukai .
Untuk wilayah abu-abu antara tindakan penyelundupan dan impor yang
sah oleh wisatawan perlu diperhatikan, diperlukan suatu elaborasi bimbingan
teknis untuk mendukung negara-negara anggota dalam menggunakan kriteria
obyektif ketika menerapkan ambang bantuan bagi wisatawan .
Berkaitan dengan tindakan pencegahan perlu diteliti apakah aturan dasar
umum dapat membatasi penghindaran pajak sambil menghindari distorsi
persaingan antara operator integrasi ekonomi yang didirikan di negara anggota
yang berbeda. Langkah-langkah tindakan anti pencegahan terkait dengan bukti
pembayaran cukai, maka operator yang telah menandatangani perjanjian
tersebut dapat memastikan standar kepatuhan yang lebih tinggi untuk bisa
mendapatkan keuntungan dari masa transisi untuk pembuktian pembayaran
cukai.
Insentif bagi penyelundup dan insentif bagi konsumen perlu dikurangi.
Untuk mencegah warga membeli rokok ilegal dan produk tembakau lainnya.

116

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Dampak negatif dari perdagangan gelap harus dibuat lebih dikenal oleh
masyarakat luas, khususnya dampak pada keuangan negara dan keterlibatannya
dengan kejahatan terorganisir, serta fakta bahwa produk ilegal tidak sesuai
dengan undang-undang produk tembakau, misalnya adanya ketentuan tampilan
pada bahan dan peringatan kesehatan pada kemasan.
4.4.3. Langkah-langkah untuk mengamankan rantai pasokan komoditi
Sebagai langkah pertama pengamanan rantai pasokan tembakau,
Negara

anggota

ASEAN

perlu

menandatangani,

meratifikasi

dan

mengimplementasikan Protokol FCTC secara efektif terlebih dahulu, termasuk


langkah-langkah menyangkut lisensi atas manufaktur peralatan, dan ketentuan
mengenai zona bebasnya.
Protokol mewajibkan para pihak untuk mendirikan sebuah sistem
pelacakan dan pelacakan untuk semua produk tembakau yang diproduksi atau
yang diimpor ke wilayah Negara anggota. Elemen kunci dari sistem tersebut
adalah diberikannya tanda-tanda identifikasi yang unik yang dapat membantu
dalam menentukan asal dan titik pengalihan produk tembakau ke perdagangan
gelap. Hal ini dapat membantu dilakukannya pemantauan dan pengendalian
pergerakan produk tembakau dan status hukum mereka oleh pejabat berwenang
dari Para Pihak dan juga termasuk pertukaran informasi dengan mitra
internasional melalui focal point di Sekretariat WHO FCTC.
Pelacakan dan Sistem pelacakan akan memungkinkan terjadinya
peningkatan pengendalian rantai pasokan secara signifikan dan memperkuat
langkah-langkah pergerakan produk kena pajak.Fitur dasar dari pelacakan
nasional dan sistem pelacakan harus ditentukan di tingkat ASEAN, untuk
menghindari adanya distorsi produk tembakau di pasar internal ASEAN. Dalam

117

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

rangka untuk memastikan bahwa hanya ada produk yang sesuai di pasar
ASEAN, maka perlu dilakukan pelacakan produk tembakau di seluruh rantai
suplai (termasuk di tingkat eceran). Produsen tembakau sementara itu perlu
menutup kontrak-kontrak

dengan pihak ketiga yang

independen untuk

memaastikan system berada dalam kapasitas transparan yang penuh oleh


pemerintah Negara-negara anggota ASEAN.Hal itu merupakan salah satu
bentuk tindakan pengamanan atas semua produk tembakau , untuk membantu
konsumen dan otoritas terkait untuk membedakan antara produk yang asli dan
palsu.
4.5.

Langkah-langkah untuk memperkuat penegakan hukum

4.5.1 . Manajemen risiko


Pelaksanaan tindakan yang diidentifikasi dalam manajemen risiko Bea
Cukai, khususnya pada kualitas data yang disediakan oleh operator ekonomi ,
untuk aksesibilitas dan berbagi informasi untuk tujuan manajemen risiko. Hal ini
akan memberikan kerangka kerja yang lebih kuat dan terkoordinasi untuk
melakukan manajemen risiko dan dapat meningkatkan target operasi yang
mencurigakan berkaitan dengan produk tembakau. Berbagi informasi untuk
dianalisis dengan kantor pabean Negara-negara anggota ASEAN dalam upaya
memerangi perdagangan internasional yang ilegal sehingga dapat membantu
meningkatkan kapasitas otoritas operasional. Kerangka kerja seperti ini akan
memberikan kontribusi yang signifikan untuk memerangi segala bentuk
perdagangan ilegal, termasuk penyelundupan tembakau.
4.5.2 . Tindakan operasional
Tindakan operasional dilakukan khususnya di perbatasan-perbatasan
antar Negara-negara anggota ASEAN

118

sebagai bagian dari Kerangka

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Manajemen Risiko ASEAN, wilayah penyelundupan rokok perlu ditetapkan


sebagai Control Priority Area ( PCA ) untuk memastikan manajemen risiko yang
lebih intensif berbasis koordinasi. Melengkapi PCA dalam sebuah koordinasi
kerjasama operasional. untuk memperkuat kapasitas ASEAN yang lebih
sistematis untuk mengidentifikasi dan menargetkan risiko-risiko di daerah-daerah
potensial rokok. Setelah hasil analisis akhir menunjukkan tanda-tanda yang
positif, tentunya dapat digunakan untuk mengatur lebih lanjut tindakan yang
ditargetkan pada perdagangan gelap tembakau, dengan kekhususan yang tinggi.
Apabila terdapat kelemahan dalam Operasi Bersama Bea Cukai maka harus
ditangani lebih lanjut oleh Kelompok Kerja Kerjasama Bea dan Cukai

dan

aktivitas berbagi informasi dalam konteks Kerjasama Operasi perlu lebih


ditingkatkan kembali khususnya berkaitan dengan informasi tentang asal
geografis kiriman tembakau ilegal melalui analisis teknis sampel dari produk yang
disita.
4.5.3 . Peralatan dan Perlengkapan Teknologi Informasi
Negara anggota harus didorong untuk menggunakan teknologi yang
tersedia dengan kapasitas penuh mereka . Pada saat yang sama , Negara
Anggota dapat mengeksplorasi penggunaan Kontainer untuk menargetkan
pengiriman mencurigakan terkait penyelundupan rokok. Agar lebih efektif dapat
menggunakan peralatan pendukung lainnya seperti plat otomatis dan alat
pemindai kode kontainer (dengan berbagi informasi yang diperoleh melalui alatalat lainnya di tingkat regional) yang nantinya juga akan dieksplorasi .
Modernisasi peralatan bea dan cukai, termasuk infrastruktur dan peralatan, perlu
didukung oleh otoritas regional ASEAN di masa depan jika negara-negara
anggota ASEAN menyadarinya

119

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Strategi Komprehensif untuk Memerangi Penyelundupan Rokok

Memahami dan memantau ukuran dansifat dari masalah .


Sebagai langkah awal, pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu
memahamiukuran dan implikasi dari perdagangan gelap produk tembakau,
mengidentifikasi mereka yang terlibat dan linkdengan perdagangan gelap
barang lainnya. Ada beberapaindikator keberadaan dan pertumbuhan
perdagangan produk tembakau yang terlarang, seperti:
Terjadinya penurunan penjualan pasar, hal ini umumnya terlihat oleh
kalangan industri dan perdagangan;
Terjadinya gangguan pada aliran penerimaan Pemerintah;
Terjadinya peningkatan produk ilegal -baik dalam frekuensi atau jumlah;
Munculnya merek yang tidak menampilkan tanda-tanda yang benar atau
yang tidak legal didistribusikan dan dijual di dalam negeri, dan
Terjadi perubahan dalam hasil survei anti perdagangan terlarang.

Hasil metodologi yang solid dan kuatbiasanya

dapat berperan dalam

meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat umumnyauntuk lebih


serius menangani masalah yang ada dan dapat berfungsi untukmempengaruhi
alokasi sumber daya yang ada.

Mengevaluasi penyebab utama masalah, seperti pengendalian ekspor dan


pembuatannya, wilayah-wilayah zone bebas dan teknis pelaksanaan transit,
dll

Merancang kebijakan pajak yang seimbang dan efektif dalam mengumpulkan


pajak
Tarif cukairokok harus diatur untuk mengoptimalkan penerimaan pajakdalam
jangka

120

panjang.

Ketika

menetapkan

tarif

pajak,Pemerintah

perlu

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

mempertimbangkan tingkatpembangunan ekonomi, daya belidari konsumen


dan tarif pajak di negara tetangga. Pengalaman menunjukkan bahwa cukai
yang

radikalcenderung

gelap.Negara

harus

mengumpulkandan

mengarah

menggunakan

mengendalikan

pada
metode

penerimaan

munculnyaperdagangan
yang

berbeda

perpajakan

untuk

tembakau.

Sistem administrasicukai biasanya didasarkan untukmemeriksa produksi


pabrik, gudang berikat danvolume impor. Hal ini dapat dilengkapi
denganpenggunaan penanda fiskal (misalnya kertas perangko pajak
kertasatau digital coding) yang ditempelkan pada setiap penjualan paket
individu.
Tanda tersebut dapat digunakan baik sebagaimekanisme audit
tambahan atau sebagai sarana pembayaranpajak itu sendiri (mereka
menanggung pembayaran pajak untuk produk yang mereka gunakan).Namun
sayangnya sistem cap kertas pajak yang paling canggihsajasulit untuk
melindungi sepenuhnya pasarterhadap ancaman produk ilegal dan tentunya
juga kegagalan melindungi penerimaan cukai. Seperti rokok misalnya,pita
cukai rokok harus memiliki kualitas yang tinggi untuk menghindari
pemalsuan,
Pita cukai jugarentan terhadap pencurian dan penggunaan kembali
oleh penyelundup.Dengan teknologi yang ada saat ini verifikasi pajak secara
digital merupakan alternatifsolusi yang menawarkan pendekatan yang jauh
lebih aman dalam pelaksanaan pengumpulanpajak dan audit. Menggunakan
teknologi coding digital yang maju yang dapat dicetak langsung untuk
menggantikan baik pita cukaiatau penanda fiskal. Hal ini mudah dibaca dan
juga dapat berfungsi sebagai alat otentikasi sehingga duplikasi kode yang

121

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

terenkripsi asli hampir dapat dipastikanmustahil terjadi. Pemerintah sendiri


memperoleh

informasi

real-time

danaman berkaitan

dengan

volume

rokokyang diproduksi sehingga diharapkan dapatmenawarkan transparansi


penuh

dan

kemudahan

untuk

pengadaan

jumlah

cukaiyang

harus

dikumpulkan oleh masing-masing produsen danimportir. Verifikasi pajak


digital

untuk

tembakauproduk

ini

sepenuhnya

sejalan

dengan

e-

governmentyang sudah dicanangkan pemerintah daninisiatif e - customs.


Verifikasi pajak digital adalah cara maju dan merupakan sistem yang
menggunakan biaya yang efisien dan dapat diakses olehNegara-negara maju
dan maupun Negara-negara berkembang,

Menganalisis undang-undang dan peraturan yang adauntuk memastikan


penyelundup memperoleh ancaman hukuman yang memadai dan berfungsi
sebagai pencegah tindakan penyelundupan;

Memastikan bahwa pengadilan menyadari bahwa penyelundupan merupakan


suatu

kejahatan

yang

serius

dan

diperlukan

upaya

keras

untuk

menghancurkan produk dan peralatan ilegal pada waktu yang tepat

Melakukan penegakkan hukum secara bersama dari semua instansi terkait


dan memastikan bahwa mereka memiliki dan memastikan mereka memiliki
cukupkekuasaan untuk bertindak.

Menyediakan sumber daya keuangan yang cukup untuk mendukung


kapasitas penegakan hukum yang memadai .

Melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang implikasi


daripenyelundupan rokok.

Membangun dan memperkuat kemitraan antara instansi pemerintah terkat


dengan lembaga internasional terkait.

122

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bekerja sama dengan pelaku industri yang sahuntuk membuat intelijen dan
sumber dayagabungan

4.6.

Langkah-langkah

mengantisipasi

ledakan

konsumsi

rokok

di

Indonesia pada Pelaksanaan AEC 2015


Mengidentifikasi dampak dari kenaikan pajak cukai pada konsumsi rokok
sangat penting untuk menentukan kebijakan pemerintah di masa depan. Efek
samping kesehatan yang parah dari rokok dan mereka yang kecanduan dapat
membenarkan perlunya pajak. Di sisi lain, elastisitas pajak yang rendah
membenarkan kenaikan pajak untuk meningkatkan pendapatan.
Menurut merokok British Medical Journal, satu batang rokok menurunkan
harapan hidup seseorang sebelas minutes. Kebijakan pajak negara mengenai
tembakau memiliki dua tujuan, yaitu (i) mengumpulkan dana (untuk berkampanye
melawan penggunaan tembakau , dan banyak lainnya Beban negara ) . Menurut
hasil penelitian di atas, dalam jangka pendek, persentase perokok dewasa tidak
menurun ketika pajak meningkat. Jumlah penerimaan pajak yang dikumpulkan
dari para perokok dewasa meningkat, meskipun perokok dewasa mengurangi
sedikit jumlah rokok yang dikonsumsi, hal ini tidak cukup signifikan untuk
mengimbangi peningkatan penerimaan pajak. Demikian pula, penurunan perokok
di bawah umur (siswa SMA yang merokok ) tidak cukup besar untuk
mengimbangi kenaikan penerimaan pajak karena jumlah siswa sekolah tinggi di
setiap negara jauh lebih kecil dari jumlah penduduk dewasa. Dalam jangka
panjang, jumlah perokok dapat menurun secara substansi jika pajak meningkat
karena jumlah pemuda yang akan mulai merokok di sekolah tinggi sedikit, yang
pada gilirannya juga akan mengakibatkan penurunan yang jauh lebih besar pada

123

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

jumlah perokok dewasa. Jadi, dalam jangka panjang, kenaikan tarif pajak dapat
menyebabkan penurunan penerimaan pajak total.
Pemerintah menggunakan pajak rokok untuk melindungi kesejahteraan
rakyat. Gruber dan Mullainathan (2002) menemukan bahwa perpajakan berfungsi
sebagai kontrol diri melalui perangkat harga bagi perokok dewasa yang ingin
berhenti. Gruber dan Mullainathan (2002) juga menunjukkan bukti bahwa individu
yang mengkonsumsi zat adiktif seperti rokok tidak sepenuhnya memiliki
pemikiran yang rasional dalam keputusan mereka untuk merokok. Dengan
demikian,

perokok

muda

lebih

mungkin

untuk

tidak

sepenuhnya

memperhitungkan masa depan efek samping dari merokok. Dalam hal ini,
menaikkan pajak akan membantu mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan
baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Perokok dewasa dan pemuda
akan mengurangi jumlah rokok mereka apabila terdapat pemikiran untuk
memperpanjang hidup mereka. Oleh karena itu ditinjau dari sudut perspektif
kesejahteraan, kenaikan pajak cukai rokok harus terjadi.
Pada tahun 2013 konsumsi rokok Indonesia sudah mencapai 302 miliar
batang per tahun. Ekonom senior Emil Salim mengatakan, sebenarnya Indonesia
memiliki peluang mencapai kemajuan di tahun 2020 dengan adanya bonus
demografi berupa jumlah generasi muda yang banyak. Kesempatan ini untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi kesempatan itu menjadi menurun
oleh kebiasaan merokok generasi muda. Kebiasaan merokok dianggap akan
mengurangi produktivitas, menimbulkan ketergantungan, serta menambah beban
kesehatan negara.
Road Map industri rokok menjadi penting untuk melindungi generasi
muda dari bahaya rokok tersebut. Peredaran dan penggunaan rokok di berbagai

124

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

daerah harus dikendalikan salah satunya dengan menggunakan instrument road


map yang secara konsisten dijalankan. Road mapdapat menjadi rujukan para
pemangku kepentingan maupun masyarakat. Bagi pemangku kepentingan road
map akan menjadi rujukan pengembangan program dan aksi pengendalian
dampak produk tembakau. Diharapkan road map dapat menjadi ukuran kinerja
dan tingkat keberhasilan pemangku kepentingan.Sementara itu bagi masyarakat,
road mapdapat digunakan untuk sarana komunikasi, informasi, dan edukasi
tentang ancaman bahaya produk tembakau. Semua unsur masyarakat dan dunia
usaha harus sadar mengenai dampak bahaya merokok.
Upaya

pengendalian

dampak

konsumsi

rokok

bagi

kesehatan

diIndonesia, saat ini memiliki kekuatan berupa Undang-Undang Nomor36 Tahun


2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 109Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat AdiktifBerupa Produk Tembakau
Bagi Kesehatan serta Peraturan MenteriKesehatan Nomor 28 Tahun 2013
tentang Pencantuman PeringatanKesehatan Dan Informasi Kesehatan Pada
Kemasan Produk Tembakau.Selain itu kebijakan dalam penyediaan dana bagi
pengendaliantembakau yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun2007 tentang Cukai dan pengaturan pajak rokok yang tertuang
dalamUndang-Undang
danRetribusi

Nomor

Daerah,

28

juga

pemerintah.Terbentuknya

Tahun

2009

merupakan

Aliansi

tentang

kekuatan

Bupati/Walikota

Pajak

Daerah

yang

dimiliki

di

bidang

PengendalianMasalah Kesehatan Akibat Tembakau dan Penyakit Tidak


Menular(PTM)
Indonesiayang

sejak
terdiri

tahun
dari

2011,

jejaring

organisasi

pengendalian

profesi,

tembakau

akademisi,

di

Lembaga

SosialMasyarakat, Lembaga Internasional, Tokoh agama dan TokohMasyarakat

125

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

dan adanya dukungan masyarakat terhadap penerapankebijakan Kawasan


Tanpa Rokok (KTR) merupakan peluang yangdimiliki oleh pemerintah Indonesia
dalam pengendalian dampakkonsumsi rokok bagi kesehatan. Peluang lainnya
adalah

adanyakebutuhan

untuk

program

berhenti

merokok

di

antara

populasiperokok aktif (GATS 2011).


Oleh sebab itu, upaya pengendalian dampak konsumsi rokok diIndonesia
harus dilaksanakan secara komprehensif sebagai tanggungjawab bersama
antara Pemerintah dan masyarakat sehingga derajatkesehatan masyarakat yang
setinggi-tinginya dapat terwujud.Untuk itu, perlu dibuat kebijakan pengendalian
dampak konsumsirokok dalam bentuk peta jalan Pengendalian Dampak
Konsumsi RokokBagi Kesehatan (roadmap) yang menjadi acuan bersama
dalampenyusunan

dan

pengembangan

program

dan

kegiatan

upayapengendalian dampak konsumsi rokok oleh semua pemangkukepentingan.

126

BAB V
PENUTUP

5.1.

Kesimpulan

Seperti sudah dikemukakan dalam tujuan penelitian ini ada 5 poin yang mejadi
tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi
potensi terjadinya perbedaan tariff cukai dan impor pada pelaksanaan AEC
2015 yang dapat berpotensi memberi dampak merugikan bagi penerimaan
negara dari sisi cukai rokok.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa:

pemerintah perlu mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan


tariff cukai rokok putih yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar konsumen
rokok putih dapat diarahkan pada lapisan kelas menengah ke atas yang
secara kuantitas lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan lapisan
bawah perokok, namun di sisi yang lain penerimaan Negara dapat tetap
dijaga keberlangsungannya karena harga eceran dan tariff yang cukup
tinggi tersebut.

Dari sisi rokok kretek pelaksanaan AEC 2015 diperkirakan belum


memberikan dampak yang signifikan mengingat Negara-negara di
ASEAN lebih banyak mengkonsumsi rokok putih dibandingkan rokok
kretek. Konsumsi rokok didalam negeri lebih banyak konsumsi rokok
kretek.

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Berapa besaran tariff dan harga jual eceran rokok putih di dalam negeri
akan sangat bergantung pada tariff impor dan tariff cukai di Negaranegara tetangga ASEAN.

2. Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


kemungkinan

terjadinya

lonjakan

konsumsi

rokok

akibat

terjadinya

pergerakan basis produksi rokok ke negara yang memiliki tarif cukai rendah
pada pelaksanaan AEC 2015?
Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:

mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan tariff cukai yang
cukup tinggi, agar konsumen lebih terarah pada kelas menengah ke atas
yang jumlahnya lebih sedikit dari kelas bawah. Dengan demikian jumlah
konsumen kelas menengah akan meningkat tidak sebesar jumlah
konsumen rokok kelas bawah yang akan menurun secara signifikan
sehingga secara keseluruhan lonjakan konsumsi rokok dapat diredam;

basis produksi masih dimungkinkan dengan syarat rokok untuk diekpor.


Dengan demikian pemerintah masih memperoleh keuntungan dalam
bentuk devisa, penyerapan tenaga kerja dan penerimaan Negara bukan
dari cukai namun dari pajak penghasilan;

3. Mengidentifikasi

strategi/menemukan

kebijakan

tarif

cukai

dengan

mempertimbangkan aspek:
a. Penerimaan negara;
b. Lonjakan konsumsi rokok;
c. Biaya kesehatan rokok; dan
d. Liberalisasi perdagangan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:

128

BAB V PENUTUP

mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan tariff cukai yang
cukup tinggi agar konsumen lebih terarah pada kelas menengah ke atas
yang jumlahnya lebih sedikit dari kelas bawah. Dengan demikian jumlah
konsumen kelas menengah akan meningkat tidak sebesar jumlah
konsumen rokok kelas bawah yang akan menurun secara signifikan
sehingga secara keseluruhan lonjakan konsumsi rokok dapat diredam;;

mempertimbangkan biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh perokok


dibandingkan dengan penerimaan cukai yang di dapat oleh pemerintah,
walaupun apabila dikaitkan dengan pelaksanaan AEC 2015 pengaruh
tariff dan harga jual eceran lebih terarah pada rokok putih yang
konsumsinya masih lebih sedikit dibandingkan dengan rokok kretek,
namun biaya kesehatan yang dibayarkan perokok cukup besar;

4. Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi


semakin tingginya liberalisasi perdagangan komoditas rokok;
Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:

Kebijakan tarif cukai rokok dalam negeri dipengaruhi oleh kebijakan


tarif impor rokok negara-negara tetangga khususnya yang memiliki
tarif cukai tinggi dan harga eceran rokok tinggi. Oleh karena itu
kebijakan tariff cukai dan harga eceran rokok harus dilakukan
secara dinamis mengikuti pergerakan perubahan kebijakan tariff
cukai dan harga eceran Negara-negara tetangga;

Dari hasil penelitian yang ada bila liberalisasi perdagangan


diterapkan dalam AEC 2015, maka kebijakan tarif cukai rokok putih

129

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan rokok


kretek pada Penerimaan Cukai dalam negeri;

Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Singapura signifikan


mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Singapura tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia

Selisih tarif cukai ROKOK PUTIH dengan Negara SINGAPURAsignifikan


mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia. Hal ini
disebabkan karena di Singapura merk rokok yang populer adalah rokok
putih merk asing yang perbedaan harga dan tarif cukainya dengan
Indonesia sangat mencolok.

Adanya pengaruh langsung kepada variabel penerimaan cukai yang


signifikan akibat adanya selisih tarif rokok putih Indonesia dengan tarif
impor Singapura (X9) dengan besar pengaruh 0,996 atau 99,6%.

Adanya pengaruh tidak langsung akibat selisih tarif rokok kretek dengan
tarif impor Singapura (X7) terhadap variabel penerimaan cukai (Y).
melalui variabel CR4 Rokok Kretek (X3) dan Output rokok kretek (X1)
adalah: -0,709 -0,807 x 0,35 = 0,2 signifikan. Namun memberikan
dampak secara langsung pada pangsa pasar 4 perusahaan rokok
terbesar di Indonesia dalam bentuk terjadinya potensi penurunan pangsa
pasar akibat potensi masuknya rokok kretek dari Negara Singapura yang

130

BAB V PENUTUP

disebabkan karena adanya insentif tarif di Indonesia dibandingkan


dengan di Singapura. Masuknya rokok kretek dari Singapura ini
berpeluang meningkatkan tingkat persaingan di dalam negeri yang pada
gilirannya dapat menurunkan produksi produsen rokok kretek di dalam
negeri (Indonesia).

Variabel selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Malaysia (X8) tidak
signifikan mempengaruhi variabel penerimaan cukai (Y)

Adanya pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan
tarif impor Singapura (X9) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui
variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2)
adalah: 0,814 -0,723 x -0,773 = 0,455 signifikan. Variabel selisih tarif
rokok putih dengan tarif impor Singapura yang cukup tinggi juga
memberikan dampak langsung kepada nilai tambah produk rokok putih
dalam negeri dan dampak tidak langsung pada pengurangan produksi
rokok putih di dalam negeri sebagai kekhawatiran akan tidak terserapnya
produk mereka di pasar dalam negeri.

Adanya pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan
tarif impor Malaysia (X10) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui
variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2)
adalah: 0,505 -0,723 x -0,773 = 0,282 signifikan. Variabel selisih tarif
rokok putih dengan tarif import Malaysia berdampak langsung juga pada
nilai tambah produk rokok putih di dalam negeri dan berdampak tidak
langsung pada menurunnya output rokok putih di dalam negeri sebagai
bentuk kehati-hatian para produsen dalam negeri akibat kekhawatiran
tidak terserapnya produk rokok putih mereka di dalam negeri.

131

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model analisis path adalah
sebesar 0,858 atau 85,8% atau dengan kata lain informasi yang
terkandung dalam data 85,8% dapat dijelaskan oleh model tersebut.
Sedangkan yang 14,2% dijelaskan oleh variabel lain yang belum terdapat
dalam model dan error.

5. Menganalisis prioritas kebijakan cukai di Indonesia;


Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:

Prioritas kebijakan cukai di Indonesia diarahkan agar konsisten sejalan


road map yang telah ditetapkan pemerintah dan menjamin berjalan
sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan;

Lebih difokuskan kepada tariff cukai dan harga eceran rokok putih;

menyusun

strategi

industri,

perdagangan

dan

investasi

secara

terintegrasi, dalam konteks kerja sama AEC.

implementasi AEC berpotensi melebarkan defisit perdagangan barang


dan jasa seiring peningkatan perdagangan komoditas rokok.

menyiapkan strategi untuk mengantisipasi potensi membanjirnya Tenaga


Kerja Asing (TKA). Akibatnya, akan ada beban tambahan bagi Indonesia
dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah
pengangguran.

implementasi AEC akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia


dari dalam dan luar ASEAN. Indonesia harus bergegas menyiapkan
strategi dan kebijakan yang dapat memberi insentif bagi mitra
ekonominya untuk ikut membangun industri hulu pengolah sumber daya
alam, sehingga manfaat ekonomi dari investasi lebih besar, baik dari sisi

132

BAB V PENUTUP

nilai tambah, penciptaan lapangan kerja maupun terbangunnya industri


hulu;

5.2.
1.

Saran
Kebijakan tarif cukai rokok ketika diterapkan AEC 2015 sebaiknya
bersifat dinamis mengikuti pergerakan kebijakan tariff impor dan
cukai Negara-negara tetangga;

2.

Kebijakan tariff cukai yang sensitive terhadap kebijakan tariff cukai


dan impor Negara-negara tetangga adalah tariff cukai khusus untuk
rokok putih karena rokok jenis ini juga dikonsumsi di Negaranegara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia sehingga
memungkinkan untuk terjadi pergerakan konsumsi rokok;

3.

Pada Pelaksanaan integrasi ekonomi, terdapat kecenderungan


Negara yang memiliki tariff cukai rendah akan menjadi target basis
produksi rokok, sementara Negara dengan harga jual eceran tinggi
akan menjadi target ekspor;

4.

Pemerintah

perlu

secara

intensif

melakukan

pembicaraan

mengenai kesepakatan tariff dengan Negara-negara tetangga; dan


5.

Strategi antisipasi penyelundupan rokok perlu disiapkan sedini


mungkin agar pada saat pelaksanaan integrasi ekonomi Indonesia
telah siap dengan segala perangkat aturan, infrastruktur dan
kebijakan-kebijakan yang dapat merespon penyelundupan;

133

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

6.

Saran untuk penelitian berikutnya adalah perlunya dilakukan


analisis dinamika penentuan tarif cukai rokok dengan game theory,
karena kebijakannya sangat tergantung pada strategi kebijakan
rokok negara tetangga.

134

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, Abdillah.,Wiyono Nur Hadi., Setyonaluri Diah Hadi,(2011), Illicit Cigarettes
in Indonesia, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Juni
Aldary, Idham Tamim (2009), Kajian Efektifitas Pengawasan Melalui Pelekatan
Pita Cukai Sebagai Tindakan Preventif Terhadap Penyelundupan dan
Produksi Rokok Ilegal. (Dikaitkan dengan kebijakan tariff dan perilaku
konsumen rokok di Indonesia), STAN
Austria, M.S. (2006). The Economic and Health Impact of Trade Liberalization in
AFTA: the Case of the Philippines, A Research Report Submitted to the
Southeast Asia Tobacco Alliance (SEATCA).
Austrian Energy Agency, 2009. Energy Efficiency Polices and Measure in
Austria.
Diunduh
dari
http://www.odysseeindicators.org/publications/PDF/austria_nr.pdf
Bunker, John P., John B. Shoven, and Jeffrey O. Sundberg (1987). The Social
Security Cost of Smoking. National Bureau of Economic Research.
Carlin, W. & P. Seabright, 2000, The Importance of Competition in Developing
Countriesfor Productivity and Innovation, Background Paper for World
Development Report2001.
Center
for
Disease
Control
and
Prevention
(CDC),
2013,
http://apps.nccd.cdc.gov/gtssdata/Ancillary/Documentation.aspx?SUID=1&
DOCT=1(diakses tanggal 7 Agustus 2013)
Chaloupka, F.J., Hu, T., Warner, W.M., Jacobs, R., and Yurekli, A. (2000). The
Taxation of Tobacco Products. in Jha, P. and Chaloupka F.J. (eds.).
Tobacco Control in Developing Countries, The World Bank and World
Health Organization,
Commission of the European Communities, 2007. Impact Assessment.
COM(2007)52 final SEC(2007)171. (Accompanying document to the
Proposal for a Council Directive amending Directive 2003/96/EC.)
Daniels, John D, Radebaugh, H. Lee, Sullivan, P. Daniel, 2004, International
BusinessEnvironments and Operations. 10th Ed, Pearson Education:
Upper SaddleRiver, New Jersey, United States.
Evans, William N., Jeanne S. Ringel, and Diana Stech (1999). Tobacco Taxes
and Public Policy to Discourage Smoking. Tax Policy and the Economy,
Vol. 13 : 1-56.
Gravelle, J. and Zimmerman, D. (1994): Cigarette Taxes to Fund Health Care
Reform: An Economic Analysis, CRS Report for Congress. Washington,
DC: U.S. Congress, Congressional Research Service.
Gruber, J. and K_szegi, B., (2008): A Modern Economic View of Tobacco
Taxation. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

135

ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI


PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Gruber, Jonathan and Sendhil Mullainathan.(2002), Do Cigarette Taxes Make


SmokersHappier. NBER Working Paper No.8872 (2002).
Hoekman, Bernard, Matoo Aaditya and English Philip, 2002, Development, Trade
and theWTO, The World Bank.
Isra Sarntisart (2003). An Economic Analysis of Tobacco Control in Thailand,
HNP Discussion Paper: Economics of Tobacco Control Paper No. 15,
WHO: Tobacco Free Initiative and the World Bank: HNP, Washington D.C.
Jha, P. and Chaloupka, F.J. (1999). Curbing the Epidemic: Governments and the
Economics of Tobacco Control, World Bank Publication, Washington D.C.
Joossens, L. D. Merriman dan A. Yurekli (2000),Issues in Smuggling of Tobacco
Products, pp. 393 406 In Tobacco Control in Developing Countries (ed. P.
Jha and F. J. Chaloupka ), London, Oxford University Press.
Kanbur, R., Keen, M. 1993. Jeux Sans Frontiers: Tax Competition and Tax
Coordination When Countries Differ in Size. American Economic Review
83, 877-892.
KPMG (2012), Project STAR 2011 report, 19 June, KPMG, London
Lightwood, J., D. Collins, H. Lapsley and T.E. Novotny, 2000, Estimating the
Costs of Tobacco Use, in: P. Jha and F.J. Chaloupka (eds.), Tobacco
Control in Developing Countries, Oxford University Press, Oxford, pp. 63103.
Loong, L (2006), Budget Speech 2006, Ministry of Finance, Singapore
Government, 17 February, Singapore.
Maruping, Mothae, 2005, Africa in the World Economy-The National, Regional
and InternationalChallenges, FONDAD, The Hague.
Pangestu, Mari and Scollay, Robert, 2001, Regional Trading Arrangements:
Stocktake andNext Steps, Trade Policy Forum, Bangkok, Thailand.
Pannaadhy, S.D. 2010. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja
IndustriPengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia [skripsi]. Bogor:
InstitutPertanian Bogor.
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang
mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Perkins, F.C. 1994. Practical Cost Benefit Analysis: Basic, Concepts and
Applications.Macmillan Education Australia Pty Ltd, Melbourne.
Schiff, Maurice and Winters, L. Alan., 2003, Regional Integration and
Development, TheWorld Bank.
Singapore Customs (2008), Singapore Customs annual enforcement results,
Media Release, Singapore.

136

DAFTAR PUSTAKA

Singapore Customs (2011), Singapore Customs annual enforcement results


2010: contraband cigarettes situation improves with record low seizure and
continuous growth of revenue, 15 February, Singapore.
Sloan, F., Ostermann, J., Conover, C., Taylor, D., and Picone, G. (2004): The
Price of Smoking. Cambridge, MA: MIT Press.
Smith, S. (2007), Taxation and Regulation of Tobacco, Issues Paper prepared for
the seminar, Taxation and Regulation of Alcohol, Tobacco and Gambling,
at the Dutch Ministry of Economic Affairs.
Sunengcih. 2009. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri
MinumanRingan di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sunley E., Yurekli, A, and Chaloupka, F (2000): The Design, Administration, and
Potential Revenue of Tobacco Excises, in Jha P, Chaloupka F, eds.,
Tobacco Control in Developing Countries. New York: Oxford University
Press, 409-26.
Sunley, M. Emil, 2009, Taxation of Cigarettes in the Blomberg Initiative
Countries: Overview of Policy Issues and Proposals for Reform. Paper for
Bloomberg Initiative to reduce Tobacco Use under a Contract from the
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD)
Taylor, A., Chaloupka, F.J., Guindon E., and Corbett, M. (2000). The Impact of
Trade Liberalization on Tobacco Consumption. in Jha, P. and Chaloupka
F.J. (eds.). Tobacco Control in Developing Countries, The World Bank and
World Health Organization, Oxford University Press.
Teguh, M. 2006. Ekonomi Industri. Raja Graffindo, Jakarta.
Terra, B. (1996): Excises, in Thuronyi, V, ed., Tax Law Design and Drafting, vol.
1. Washington, D.C.: International Monetary Fund, 246-63.
The Star (2011), War against illicit cigarettes, Malaysia Online, 7 June,
http://thestar.com.my/news/story.asp?file=/2011/6/7/nation/8849098&sec=n
ation.
Todaro, M.P and Smith, S. Steven. 2006, Economic Development, 9th Ed,
Pearson Education:Upper Saddle River, New Jersey, United States.
Viscusi, W. Kip (1995). Cigarette Taxation and the Social Consequences of
Smoking. Tax Policy and the Economy. Vol. 9. Ed. James Poterba.
Cambridge, MA: MIT Press.
Viscusi, W. Kip (2002-2003). The New Cigarette Paternalism. Regulation.
Wibowo, T. 2003. Juni 2003. Potret Industri Rokok di Indonesia. Jurnal
KajianEkonomi dan Keuangan, 7: 2
Wilson, J. D., 1991. Tax Competition with Interregional Differences in Factor
Endowments, Regional Science and Urban Economics 21, 423-451.

137

Вам также может понравиться