Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun Oleh:
Nama Peneliti Utama
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan
:
:
:
:
Agung Budilaksono
196710101997031001
Penata Tingkat I/III D
Widyaiswara Muda
Nama Peneliti
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan
:
:
:
:
Hanik Rustiningsih
197003051996032001
Penata Tingkat I/III D
Widyaiswara Muda
ii
The results of this study indicate that the implementation of the AEC in 2015 is
estimated at sensitive commodities cigarette smoking occurs in white , while the
dominant cigarette in the country less sensitive to the tariff policy of neighboring
countries . The difference tariff cigarette excise and import commodities in
ASEAN countries encourage non value -added commodities given the expected
increase in competition for state cigarette market with a retail selling price of
cigarettes high and low excise tariff . , As is the probability that the impact of
smuggling cigarettes into countries with high cigarette retail . The cost of future
health care policy makers need to be given sufficient amount of medical costs
incurred by an individual smoker to treat himself for the possible effects of
smoking . Among connoisseurs of cigarettes more dominated by lower classes ,
which in turn is likely to increase the number of poor people in Indonesia and
lower national productivity . Fears of an explosion in cigarette consumption in
Indonesia should be anticipated through a planned program road map forward is
directed to the public to reduce consumption without reducing state tax revenues
.
Keywords: cigarette excise tariff, the single market, the tobacco industry,
cigarette smuggling
iii
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur disampaikan ke hadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang karena atas berkah dan karuniaNya penulis
dapat menyelesaikan Kajian Akademis ini yang berjudul Analisis Kebijakan Tarif
Cukai Rokok Dalam Menghadapi Pasar Tunggal Asean Economic Community
2015.
Kajian Akademis ini disusun dan disajikan dalam rangka membantu
Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam rangka membuat
kebijakan tariff cukai dan Harga Jual Eceran Rokok ketika dilaksanakan ASEAN
Economic Community 2015 yang tidak akan lama lagi berjalan.
Kajian ini juga tersusun dengan bimbingan, bantuan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami sampaikan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
Tabel.1.1 Penerimaan negara dari cukai rokok periode 2005 2009 pada
negara-negara anggota ASEAN (dalam USD) ..................................... 5
Tabel.1.2 Rasio Ekspor Dan Impor Rokok Terhadap Produksi, Indonesia,
1995-2007 ........................................................................................... 8
Tabel.1.3 Penerimaan Cukai Hasil Tembakau periode 1991 2008 ................... 9
Tabel.1.4 Ringkasan Penelitian ........................................................................ 12
Tabel.1.5 Daftar Harga Jual Rokok Merk Asing tahun 2011 (USD) ................... 15
Tabel.1.6 Peta Penyebaran Merk Rokok Asing dan Lokal Yang Paling
Populer tahun 2011 ........................................................................... 15
Tabel.1.7 Fakta Terjadinya Penyelundupan Rokok ........................................... 16
Tabel.1.8 Biaya Perawatan Kesehatan Akibat Konsumsi Tembakau ................. 18
Tabel.1.9 Perubahan Konsumsi Rokok dan Kematian dan Pendapatan
Dengan Penambahan Harga Rokok Yang Bervariasi ........................ 19
Tabel.2.1 Beberapa Contoh Kasus Penyelundupan Terkini............................... 69
Tabel.2.2. Persentase Penyelundupan Rokok Tahun 2007 ............................... 69
Tabel.4.1 Simulasi Mencari Tarif Cukai Optimal .............................................. 105
Tabel.4.2 Ringkasan Perkiraan Biaya Kesehatan Akibat Merokok Per Individu
Tahun 1999 ..................................................................................... 112
Tabel.4.3 Inflasi Tahunan ................................................................................ 113
Tabel.4.4 Biaya Kesehatan Akibat Rokok Per Individu Setelah Penyesuaian
Inflasi ............................................................................................... 113
Tabel.4.5 Perkiraan Jumlah Konsumsi Rokok di Indonesia ............................. 114
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar.1.1
Gambar.1.2
Gambar.2.1
Gambar 4.1
viii
DAFTAR GRAFIK
Grafik.1.1.
Grafik 1.2
Grafik 1.3
Grafik.2.1.
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perdagangan internasional telah dianggap sebagai mesin pertumbuhan
perkembangan
perjalanan
perdagangan
bebas
muncul
argumentasi bahwa tembakau atau produk dari tembakau tidak termasuk dalam
perjanjian perdagangan bebas ini
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February
2012
antara
mereka
sendiri,
walaupundalam
pelaksanaannya
mereka
BAB I PENDAHULUAN
berkaitan
dengan
dampak
dari
liberalisasi
perdagangan
tembakau,n terdapat studiyang dilakuk oleh Taylor et al. (2000) yang menyelidiki
dampak liberalisasi perdagangan tembakau dengan menggunakan data tahunan
dari 42 negara selama periode antara tahun 1970 dan 1995, dan menemukan
bahwa liberalisasi perdagangan meningkatkan konsumsi merokok cukup
signifikan. Kondisi ini
peningkatan
liberalisasi
pendapatan.
perdagangan
Dengan
demikian,
terhadappertumbuhan
dampak
paling
dari
besar
BAB I PENDAHULUAN
terjadipadaNegara-negara
berpenghasilan
rendah,
kemudian
diikuti
miliar batang. Pertumbuhan penjualan rokok ini sangat dipengaruhi oleh daya
beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang meningkat cenderung berkorelasi
positif terhadap konsumsi rokok. Selain itu, tingginya konsumsi rokok Indonesia
ikut dipicu oleh pertumbuhan perokok baru di kalangan generasi muda dan
peningkatan angka konsumsi rokok pada wanita. Adanya pergeseran perilaku
konsumen dari perokok batang besar (umumnya Sigaret Kretek Tangan/SKT) ke
batang kecil (mild and slim) juga mendorong volume konsumsi menjadi lebih
besar.
Gambaran di atas adalah gambaran dampak pendapatan dari liberalisasi
perdagangan tetapidampak penurunan harga juga perlu diperhatikan, karena
penurunan tarif dan penurunan harga rokok domestik tetap akan ada. Dampak
pada permintaan tergantung padatingkat respon permintaan terhadap perubahan
harga. Chaloupka et al. (2000)melakukan penelitian tentang konsumsi tembakau
untuk negara berpenghasilan rendah, berpenghasilan menengah dannegara
berpenghasilan tinggi, dan menemukanbahwa harga yang lebih rendah akan
menyebabkan kenaikankonsumsi tembakau, tetapi tingkat responsif harga untuk
negara berpenghasilan tinggiditemukan menjadi sekitar setengah dari negaranegara lainnya. Dengan mempertimbangkanpendapatan dan dampak harga,
serta dampak keseluruhan dari liberalisasi perdagangan terhadap rokok,
makapermintaan akanmenjadi lebih besar bagi negara-negara berpenghasilan
rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Isu mengenai tindakan pengendalian tembakau dibahas secara baik oleh
Jha danChaloupka(1999). Studi ini mengkaji masalah-masalah ekonomi yang
harus
ditanganijika
pembuat
kebijakan
ingin
melaksanakan
tindakan
pengendalian tembakau. Laporan ini meneliti trend merokok di seluruh dunia. Hal
BAB I PENDAHULUAN
ini
juga
membahas
konsekuensi
kesehatan
dari
merokok
danmenilai
Contoh
efek
ini
adalahhilangnya
pekerjaan
dan
penurunan
penerimaan pajak.
Apabila dilihat dari ruang lingkup konsumsi rokok di dunia, pada tahun
2011 Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Rusia. Konsumsi rokok
Indonesia sebesar 270,3 miliar batang sedangkan Rusia sebesar 385 miliar
batang.
Grafik.1.2.
Perbandingan Pasar Rokok tahun 2011 (miliar batang)
demikian sebagian besar, yaitu 83%, produksi rokok Indonesia adalah untuk
konsumsi domestik (Tabel.1.2.).
Tabel.1.2
Rasio Ekspor Dan Impor Rokok Terhadap Produksi, Indonesia, 1995-2007
Tahun
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Impor
(Juta
batang)
294
90
84
16
121
400
206
300
34
9
247
142
64
301
311
350
429
Ekspor
(Juta batang)
Produksi
(Juta batang)
21175
19225
23090
17080
11500
16052
22220
22000
22800
29154
41583
41583
48148
55572
54465
57191
58030
186200
211823
225385
216200
219700
232,724
221293
200000
201304
218654
235985
244463
231000
240000
245000
249100
279400
% Impor
terhadap
Produksi
0,2
0,0
0,0
0,0
0,1
0,2
0,1
0,2
0,0
0,0
0,1
0,1
0,03
0,13
0,13
0,14
0,15
% Ekspor
terhadap
Produksi
11,4
9,1
10,2
7,9
5,2
6,9
10,0
11,0
11,3
13,3
17,6
17,0
20,8
23,2
22,23
23
20,8
Sumber: - Ekspor dan impor: Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor dan Statistik
Perdagangan Luar Negeri Impor
Kenaikan tarif cukai rokok yang terjadi setiap tahun dalam beberapa
tahun terakhir ini, sebenarnya bukan menjadi suatu hal yang mengejutkan lagi.
Seperti diketahui bersama, sesuai dengan roadmap industri rokok jangka
menengah (2010-2014), pemerintah akan memfokuskan pada aspek penerimaan
negara, kemudian kesehatan, dan tenaga kerja. Dengan prioritas aspek tersebut,
besar kemungkinan pemerintah akan melakukan kenaikan tarif cukai rokok
kembali secara berkala untuk beberapa tahun ke depan. Dengan adanya
kenaikan tarif cukai rokok, maka penerimaan pemerintah dari cukai rokok juga
akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
BAB I PENDAHULUAN
Tabel.1.3
Penerimaan Cukai Hasil Tembakau periode 1991 - 2008
tunggal
ASEAN
Community
2015yangmerupakan
kelanjutan
dan
percepatan dari ASEAN Vision 2020 yang menjadi tujuan jangka panjang
ASEAN yakni: as a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living
in pecem stability and prosperity, bunded together in partnership in dynamic
development an in community of caring societies.
Asean Economic Comunity (AEC) sendiri merupakan salah satu pilar
utama dariASEAN Community 2015 yang bertujuan untuk mencapai pasar
tunggal dan kesatuan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing,
pertumbuhan ekonomi yang merata, dan terintegrasi dengan perekonomian
global.
dalam
penelitiannya
menemukan
bahwa
akibat
terjadinya
persaingan tarif pajak yang asimetris pada pasar tunggal Eropa, Negara-negara
anggota Uni Eropa cenderung memiliki persepsi untuk menetapkan tarif pajak
yang lebih rendah dibandingkan Negara-negara anggota lainnya karena negara
pembentuk substansial tarif tersebut,akan mengambil manfaat pajak lebih besar
jika terdapat perbedaan tarif yang cukup besar. Hal ini menunjukkan
bahwaukuran tarif pajak yang asimetri akan memfasilitasi terjadinya persaingan
tarif pajak, karena semakin besarnya perbedaan tarif yang ada, maka posisi
Negara dengan tarif pajak kecil akan memiliki posisi yang lebih baik dalam
persaingan pajak tersebut.
Pola perilaku penetapan tarif pajak pada komoditas dan bukti-bukti yang
tersedia pada toko-toko di perbatasan-perbatasan antar negara-negara Uni
Eropa, konsisten dengan temuan penelitian-penelitian di atas. Negara Eropa
10
BAB I PENDAHULUAN
yang kecil cenderung memungut tarif pajak yang lebih rendah pada komoditi
diesel, bensin dan rokok dibandingkan dengan yang dilakukan oleh negaranegara Eropa yang besar. Sebagai contoh, pada tahun 2005, tarif cukai komoditi
diesel pada negara-negara Eropa yang kecil rata-rata sebesar 15 persenlebih
rendah dari tingkat cukai komoditi diesel pada negara-negara Eropa berukuran
besar. Pada tahun yang sama, harga rata-rata satu pak rokok merk Marlboro
adalah sebesar 4 euro di negara-negara kecil, sementara itu di negara-negara
besar Eropa berharga 5 euro.
Bukti lain menunjukkan bahwa toko-toko di beberapa perbatasan negara
yang terkena pajak untuk bahan bakar motor danrokokmemiliki skala dalam
jumlah besar. Sebagai contoh misalnya, di negara Jerman harga komoditi diesel
lebih mahal daripada di Negara-negara tetangganya (karena cukai yang lebih
tinggi),
pada
tahun
2004,
dan
10
persen
dari
seluruh
konsumsi
11
pelajaran
bagi
pemerintah
Indonesia
khususnya
Kementerian
12
Tabel.1.4
Ringkasan Penelitian
Penelitian
Hasil Penelitian
Kanbur dan Keen Hasil studi:
(1993) dan
- Akibat terjadinya persaingan tarif
Wilson(1991)
pajak yang asimetris pada pasar
tunggal
Eropa,
negara-negara
anggota Uni Eropa cenderung
memiliki persepsi untuk menetapkan
BAB I PENDAHULUAN
Penelitian
Taylor et al.
(2000)
Hasil Penelitian
tarif pajak yang lebih rendah
dibandingkan
negara-negara
anggota lainnya
Ukuran tarif pajak yang asimetri
akan
memfasilitasi
terjadinya
persaingan tarif pajak, karena
semakin besarnya perbedaan tarif
yang ada, maka posisi negara
dengan tarif pajak kecil akan
memiliki posisi yang lebih baik
dalam persaingan pajak tersebut.
13
Penelitian
Komisi Komunitas
Eropa, 2008
Hasil Penelitian
rokok negara berpenghasilan
rendah.
Hasil studi:
- Penyelundupan
dan
penjualan
produk tembakau pada perbatasan
negara
pada
tahun
2004
diperkirakan mencapai sekitar 13%
dari total pasar tembakau Uni
Eropa.
- Pembelanjaan yang sah pada
wilayah-wilayah
perbatasan
menyumbang sampai sekitar 4
sampai 5 % pasar tembakau Uni
Eropa,
- Transaksi
penyelundupan
diperkirakan sekitar 8% sampai 9%
dari penjualan akhir.
- Di Perancis, Jerman dan Inggris,
konsumsi rokok yang tidak dipajaki
secara domestik terhadap total
konsumsi domestik tercatat lebih
dari 20%, yang berarti berada di
atas Uni Eropa yang rata-ratanya
13 persen
Adanya
potensi
penyelundupankomoditas
rokok
di
daerah-daerah
perbatasan, dalam kasus Uni Eropa mencapai rata-rata 13%, bahkan untuk
beberapa negara Uni Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Inggris
mencapai 20% dari konsumsi domestik yang tidak dikenai pajak;
Kalau dilihat dari harga rokok merk asing populer yang menguasai
pasar di negara-negara ASEAN dengan komposisi yang ada, Indonesia
14
BAB I PENDAHULUAN
Tabel.1.5
Daftar Harga Jual Rokok Merk Asing tahun 2011 (USD)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Negara
Singapura
Brunei
Malaysia
Myanmar
Thailand
Indonesia
Lao PDR
Cambodia
Vietnam
Philipine
Harga jual
rokok merk
asing
83
59
3,32
3,08
2,35
1,47
1,45
1,19
0,74
0,63
Marlboro
Marlboro
Dunhill
Marlboro
Marlboro
Marlboro
555 (BAT)
White Horse (BAT)
Marlboro
Pajak
Tembakau (%
harga eceran
rokok)
69
72
48
50
70
62
16-19,7
20-25%
45
41
Sumber:diolah dari ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends
February 2012
Tabel.1.6
Peta Penyebaran Merk Rokok Asing dan Lokal Yang Paling
Populer tahun 2011
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
15
Gambar.1.1
Negara-negara Potensi Target Penyelundupan dan
Negara Target Basis Produksi
NEGARA-NEGARA POTENSITARGET PENYELUNDUPAN
Tabel. 1.7
Fakta Terjadinya Penyelundupan Rokok
Tahun
Indonesia
Indonesia
Malaysia
Malaysia
Export ke
Import dari
Export ke
Import dari
Malaysia
Malaysia
Indonesia
Indonesia
(US$)
(US$)
(US$)
(US$)
2003
1.899.000
37.000
41.476.146
4.281.518
2004
643.000
7.000
34.327.176
8.157.813
2005
1.087.000
2.000
29.161.781
6.028.793
76.000
41.222.327 6.419.796
2006 1.667.000
Sumber: LPEM UI (2011) dan Prosiding Persidangan Kebangsaan Ekonomi Malaysia ke VII
tahun 2012
16
BAB I PENDAHULUAN
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February
2012
17
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February
2012
Tingginya
konsumsi
rokok
belum
tentu
menguntungkan
apabila
biaya
kesehatan
yang
dikeluarkan
dibandingkan
dengan
penerimaan pajak nya 7,7 kali lebih besar, demikian juga untuk megara
Philipine mencapai 6,47 sampai 13,68 kali lipatnya, sedangkan Malaysia
mencapai 12 kali lipatnya.
Namun demikian ada juga negara-negara yang rasio biaya kesehatan
terhadap penerimaan pajaknya masih di bawah 100% seperti Thailand
18
BAB I PENDAHULUAN
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
Adanya trade off (pilihan) antara target finansial dan sasaran pencapaian
lapangan kerja sektor industri rokok dan sektor hulunya (petani tembakau
19
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dibuat
2.
3.
4.
5.
ekonomi. Konsekuensi apa saja yang akan terjadi dengan semakin terbukanya
ekonomi dan semakin bebasnya perdagangan yang ditandai dengan adanya
20
BAB I PENDAHULUAN
Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah untuk merumuskan strategi-strategi yang
perlu dilakukan oleh Dirjen Bea dan Cukai dalam mensikapi terjadinya
perkembangan persaingan perdagangan yang semakin kompleks, yaitu:
1.
2.
3.
Mengidentifikasi strategi/menemukan
mempertimbangkan aspek:
a.
Penerimaan negara;
b.
21
4.
c.
d.
Liberalisasi perdagangan.
5.
1.5.
22
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
bukanlah konsep baru. Konsep ini sebenarnya telah ada selama ratusan tahun
(Schiff danWinters, 2003). Paska Perang Dunia II terjadi peningkatan minat
Negara-negara di dunia untuk mengintegrasikan ekonomi nasionalnya di tingkat
regional, meskipun terkadang terkendala karena adanya perbedaan pandangan
politik dan ekonomi. Motivasi untuk melakukan
(meskipun
tidak
cenderungdiperpendek,
selalu),
jarak
perjalanan
barang
antar
Negara
penghapusan
hambatan-hambatan
perekonomian
suatu
pencabutan
atau
negara.
ekonomi
Secara
penghapusan
diantara
operasional,
diskriminasi
dan
dua
atau
didefinisikan
lebih
sebagai
penyatuan
politik
integrasi
ekonomi
sebagai
kesepakatan
yang
dilakukan
24
2.
3.
4.
25
faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal juga dibebaskan dari semua
hambatan.
Pelaksanaan integrasi ekonomi ASEAN melalui pasar tunggal dan basis
produksi akan memberikan peluang dan manfaat ekonomi yang besar jika
bangsa Indonesia cerdik dan cerdas menyikapi melalui peningkatan daya saing
produk unggulannya. Adanya pasar ASEAN yang semakin terbuka akan
mendorong Indonesia sebagai satu-satunya negara ASEAN yang memiliki jumlah
penduduk dan sumber daya terbesar melakukan penetrasi produk nasionalnya di
pasar ASEAN. Di sisi lain, pemerintah perlu melindungi masyarakat umum dari
serbuan masuknya produk asing yang membahayakan aspek keselamatan,
kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup (K3L) serta melindungi pula
produsen nasional dari masuknya produk bermutu rendah dan tidak aman yang
akan merusak
murah jika
sehingga
secara
keseluruhan
kesejahteraan
akan
meningkat.
Sementara itu, trade diversion terjadi apabila impor dari suatu negara yang
berada di luar kawasan digantikan oleh negara lain yang berada di dalam
kawasaan integrasi, karena produk dari negara lain dalam kawasan tersebut
menjadi lebih murah akibat adanya perlakuan khusus dalam penetapan tarif.
Dollar (1992), Sach, dan Warner (1995), Edwards (1998), dan Wacziarg
(2001)
26
mengatakan
bahwa
integrasi
ekonomi
dapat
menurunkan
atau
penelitian
positifterhadap
PCM.
yang
didapatkan
Konsentrasi
yang
yaitu
variabel
meningkat
akan
CR4
signifikan
mempengaruhi
27
dampak
ekonomi
28
2.
akumulasi
sangat
terkait
dengan
dampak
alokasi
yang
mobilitas
faktor
produksi,
sehingga
akan
semakin
komparatif
ini
biasa
dikenal
sebagai
Heckscher-Ohlin
29
2.3.
perdagangan,
yaitu
dampak
terhadap
lingkungan
mikroekonomi
literatur
teori,
terdapat
dari liberalisasi
alokasi
sumber
daya
dalam
industri.
Dengan
meningkatnya
persaingan dari barang impor, produsen dalam negeri dipaksa bersaing untuk
menjadi lebih efisien. Perusahaan akan menurunkan margin biaya mereka ke
bawah kurva biaya rata-rata mereka. Tekanan persaingan akan menurunkan
biaya dan harga. Ketika hambatan perdagangan dihapus, maka biaya bagi
eksportir dan importir menjadi berkurang, dan hal ini memberik keuntungan bagi
pembeli dan investasi barang karena harga yang lebih rendah. Konsumen adalah
penerima pertama keuntungan dari proses ini, karena adaya penurunan harga
30
perusahaan
menjadi
lebih
produktif
dengan
adanya
yang
menguntungkan
akan
berkembang.
Hal
inimerupakan
31
Dengan
demikian,
diperlukan
langkah-langkah
tertentu
yang
tidak
aturan
hukum,
efektivitas
sistem
keuangan
untuk
dapat
32
2.4.
juga
33
batangdi 2011. Penjualan sigaret kretek mesin filter naik 2%menjadi 87 miliar
batang. Sementara penjualan sigaretputih mesin naik 5% menjadi 22 miliar
batang.Pertumbuhan penjualan rokok mild di Indonesiaterutama didorong
kenaikan permintaan terutama didaerah perkotaan.
Laporan Industry Update Bank Mandiri juga menginformasikan bahwa
produksi rokok Indonesia meningkat dari 220 miliarbatang pada 2005 menjadi
300 miliar batang di 2011,atau tumbuh rata-rata 5,3% per tahun. Angka
produksitersebut telah melebihi target produksi rokok dalamroadmap Industri
Hasil Tembakau (IHT). Sesuai denganroadmap, pemerintah menargetkan
produksi rokokhanya sejumlah 240 miliar batang untuk sasaran jangkamenengah
(2010-2014) dan 260 miliar batang untuksasaran jangka panjang (2015-2025).
KementerianPerindustrian menargetkan pertumbuhan produksirokok 2011-2015
hanya berkisar rata-rata 3%-4% pertahun. Berdasarkan jenisnya, segmen Sigaret
KretekMesin (SKM) masih menjadi kontributor terbesar(63,6%), diikuti Sigaret
Kretek Tangan SKT (28,9%),dan Sigaret Putih Mesin SPM (7,5%). Sementara
darisisi produsen, industri rokok didominasi oleh tigapemain utama yang
menguasai sekitar 72% pangsapasar, yaitu Sampoerna (31,1%), Gudang
Garam(20,7%), dan Djarum (20,2%). Pemain besar lainnyaadalah Bentoel/BAT
(8,0%), dan Nojorono (5,8%).Jumlah perusahaan di industri pengolahan
tembakaubesar dan sedang nasional pada 2011 diperkirakan 897perusahaan
dimana sebaran terbesar terdapat di JawaTimur. Industri pengolahan tembakau
banyak jugaterdapat di Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat,dan DI
Yogyakarta.
Jika
dilihat
berdasarkan
jumlahnya,terdapat
kecenderungan
34
industri
yang
berbeda-beda
ditandai
oleh
keuntungan
biayamarginal
dan
biaya
rata-rata.
Sebaliknya,
pasar
yang
35
Teguh
(2006),
struktur
pasar
yang
bersifat
oligopoli/
olehpelaku
pasar
beserta
pesaing-pesaingnya.
Masing-masing
36
ASEAN tahun 2015. Pola perilaku ini diharapkan memberikan masukan kepada
pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam memaksimalkan target
penerimaannya.
Gambar. 2.1
Kerangka Konseptual
H2
H5
H1
Output Rokok
Putih (X2)
H6
H7
H3
2.6.
perdagangan
klasik
dan
Teori
Perdagangan
Baru
tidak
37
olehPerusahaan
Tembakau
Transnasional
telah
meningkatkan
dan
Japan
Tobacco
International
untuk
secara
jeli
dapat
38
2.7.
39
2.8.
40
akan
41
42
Konsep
PemikiranKebijakan
Pengendalian
Rokok
Berdasarkan FCTC
Tembakau telah membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika
hal ini berlanjut, diproyeksikan akan membunuh 10 juta orang sampai tahun
2020, dengan 70% kematian terjadi di Negara berkembang. Penyakit yang
diakibatkan oleh rokok juga telah memakan biaya yang sangat besar dalam
pelayanan kesehatan, menyebabkan kehilangan produktifitas seseorang, dan
43
tentunya juga biaya yang tidak terlihat akibatpenyakit dan penderitaan yang
timbul terhadap perokok aktif, pasif dan keluarga mereka.
Sebagaimana
tertulis
dalam
pembukaanKerangka
Kerja
Konvensi
Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control FCTC),tujuan FCTC adalah untuk melindungi generasi saat ini dan mendatang
dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari
konsumsi tembakau serta asap tembakau. Konvensi ini menjadi hukum
internasional pada tanggal 27 Februari 2005.FCTC mendorong seluruh negara
peserta Konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dari standar
minimal yang ditentukan dalam Konvensi. Ketentuan-ketentuan yang dianggap
cukup penting khususnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut (fact sheet
TCSC IAKMI):
44
45
produk tembakau baik secara langsung maupun tidak, dalam kurun waktu 5
tahun setelah dilakukannya ratifikasi Konvensi. Larangan ini juga termasuk
iklan lintas batas yang berasal dari salah satu negara peserta. Bagi negaranegara yang memiliki hambatan konsitusional, larangan total iklan,
pemberian sponsor dan promosi ini dilakukan dengan mempertimbangkan
hukum yang berlaku di negara tersebut.
46
Setiap satu varian rokok wajib mencantumkan gambar dan tulisan peringatan
kesehatan yang terdiri atas lima jenis yang berbeda, dengan porsi masingmasing 20%. Gambar dan tulisan peringatan kesehatan wajib dicantumkan pada
bagian atas depan dan belakang kemasan rokok masing-masing seluas 40%.
Produsen juga dilarang untuk mencantumkan keterangan atau tanda apa pun
yang
menyesatkan
atau
kata-kata
yang
bersifat
promotif,
misalnya
mencantumkan kata light, ultra light, mild, extra mild, low tar, slim, special, full
flavour, premium atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa
aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama.
Pemerintah juga mengendalikan promosi dan iklan rokok. Pengendalian iklan
rokok antara lain mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar
dan tulisan sebesar paling sedikit 10% dari total durasi iklan dan/atau 15% dari
total luas iklan.Pengendalian promosi rokok juga dilakukan dengan cara
melarang pemberian cuma-cuma, potongan harga, serta hadiah dalam bentuk
produk tembakau. Juga tidak diperbolehkan penggunaan logo atau merk rokok
pada suatu kegiatan lembaga atau perorangan.
Sponsor rokok dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan hanya dapat
dilakukan dengan ketentuan tidak menggunakan nama merk dagang dan logo
produk
tembakau
termasuk
brand
image
serta
tidak
bertujuan
untuk
mempromosikan.
Kebijakan PP 109 tahun 2012 secara umum sudah sejalan sesuai dengan
kesepakatan dalam FCTC. Apabila dirasakan masih ada perbedaan atau
kekurangan dapat disesuaikan dalam perjalanannya, namun semangatnya perlu
didukung secara maksimal.
47
mengurangi
permintaan
tembakau
yang
diselundupkan
dengan
awalnya pajak diarahkan untuk mengekang konsumsi dan dalam jangka panjang
diarahkan untuk mempertahankan kenaikan pajak untukmengontrol konsumsi
dan menghasilkan pendapatan pemerintah yang cukup besar. Produk-produk
tembakau perlu dikenakan pajak secara seragam untuk mencegah pengguna
beralih ke merk rokok dengan harga yang lebih rendah.
Pemerintah
perlu
memastikan
bahwa
sistem
pajaknya
telah
tembakau
mau
bertanggung
jawab
untuk
melaporkan
semua
48
pajak
agar
tidak
meningkatkan
tingkat
upah
buruh.
Smith
hargasubsistemnya
tersebutsangat
diperlukan
juga
akan
untuk
meningkat,
kelangsungan
karena
hidup.
barang-barang
Peningkatan
49
kenaikan
tingkatupah.Meskipun
Smith
tidak
secara
eksplisit
50
pajak tembakau
mendahului gagasan
pengenaan
pajak
tembakau
yang
lebih
tinggi
untuk
atas
kebutuhansebagai
pajak
atas
barang
mewah
yang
tidak
51
Jules Dupuit memperluas ide Ricardo tentang batas pajak pada tahun 1844
dalam uraiannya mengenai tingkat pajak optimal untuk jembatan dan pekerjaan
umum. Dupuit mengatakan bahwa jika pajak secara bertahap meningkat dari nol
sampai ke titik di mana ia menjadi penghalang, maka yield-nya adalah nol
pertama, kemudian meningkat secara bertahap nulai dari kecil sampai mencapai
maksimum, setelah itu secara bertahap menurun sampai menjadi nol lagi (Dupuit
1969, 278). Argumen ini bukan argumen yang sama sekali baru di bidang
ekonomi, baik Adam Smith dan Alexander Hamilton juga mengemukakan
masalah berkurangnya pendapatan atas perpajakan pemerintah dalam tulisan
mereka sebelumnya. Dalam Wealth of Nations, Smith mengklaim bahwa pajak
yang lebih tinggi sering menyebabkan pendapatan pemerintah lebih rendah
daripada yang dihasilkan oleh tingkat yang lebih moderat (Smith 1818, 78).
Demikian juga Alexander Hamiltondalam The Federalist Papers, mengemukakan
bahwa jika pajak terlalu tinggi maka kas yang dihasilkan akan tidak terlalu besar
dibandingkan bila berada dalam batas-batas yang tepat dan moderat (Hamilton
1993, 138). Dengan demikian pajak tembakau, seperti pajak atas barang-barang
lainnya, bisa secara teoritis mencapai titik di mana pendapatan pemerintah akan
menurun ketika tarif pajak dinaikkan. Teori dari Dupuit tentang perpajakan yang
optimal didukung oleh teori kurva permintaan diminishing marginal utility, dan hal
ini merupakan pertama kalinya sebuah kurva permintaan dijelaskan dengan
menggunakan teori utilitas marjinal. Teori itu
kemudiandikenal dengan
namaCurve Dupuit-Laffer (teori ini diperluas oleh ekonom abad kedua puluh
Alfred B. Laffer), yang mengemukakan bahwa peningkatan pajak dari komoditi
tertentu bukan merupakan sarana yang efektifbagi para pembuat kebijakan untuk
52
53
adanya keprihatinan akibat masalah kecanduan rokok. Dua ekonom yang telah
mempelajari kebiasaan konsumsi barang adiktif adalah Gary Becker dan Kevin
Murphy. Dalam tulisannya berjudul, A Theory of Addiction Rasional, Becker dan
Murphy(1988) menyatakan bahwa perilaku adiktif dapat dipelajari dalam konteks
ekonomi neoklasik, sebagai konsumen barang adiktif yang rasional yang
mencoba memaksimalkan utilitas mereka dari waktu ke waktu. Asumsi yang
mendasarinya adalah bahwa konsumen bertindak rasional, mereka tidak hanya
memiliki informasi yang sempurna tentang preferensi konsumsi mereka saat ini
dan masa depan, tetapi mereka juga mengetahui biaya penuh yang muncul
akibat mengonsumsi adiktif dan dampak bahayanya. Dengan demikian,
meskipun individu menyadari konsekuensi penuh dari mengkonsumsi rokok,
mereka mungkin masih memilih untuk merokok karena keuntungan dari merokok
melebihi biaya apapun termasuk kecanduan di masa depan (Botond dan Kszegi
2000, 1).
Menurut model mereka, utilitas individu berasal dari konsumsi barang
adiktif saat ini yang merupakan fungsi konsumsi masa lalu dari barang tersebut.
Semakin banyak barang adiktif yang telah dikonsumsi seorang individu di masa
54
lalu, semakin besar konsumsi dalam periode saat ini karena substansi sifat adiktif
tersebut dan konsumen dapat melakukan"learning by doing." Becker dan Murphy
(1988) menyimpulkan bahwa kenaikan harga yang dikompensasikan ke dalam
barang adiktif tersebut tidak hanya akan mengurangi konsumsi saat ini karena
kendala harga baru dan efek substitusi, tetapi konsumsi masa depan juga akan
terpengaruh dalam tingkat yang jauh lebih besar. Hal ini karena "stok" konsumsi
akan lebih rendah pada setiap periode waktu di masa mendatang mendatang
setelah terjadinya penurunan awal, dan menyebabkan peningkatan penurunan
konsumsi di masa depan pada setiap periode di masa depan. Mengingat adanya
sifat saling melengkapi konsumsi di lintas waktu, maka kenaikan pajak di masa
depan tetap akan memiliki efek pada konsumsi rokok saat ini. Jika konsumen
sangat rasional, maka mereka akan membatasi merokok saat ini dalam
menghadapi kenaikan pajak yang akan datang sehingga konsumsi rokok masa
depan mereka akan memaksimalkan utilitas merekadisebabkan karena adanya
kendala harga baru di masa depan (Becker dan Murphy 1988, 685-689). Jika
perilaku yang sebenarnya dilakukan oleh konsumen, maka konsumsi rokok akan
menurun bahkan sebelum pajak cukai baru diberlakukan.
Becker dan Murphy (1988)berargumen bahwa meskipun kenaikan pajak
pada barang adiktif dapat menghasilkan pengurangan konsumsi jangka pendek,
namun efek jangka panjang dari pajak kemungkinan akan lebih besar daripada
jika barang non-adiktif yangdipajaki (Becker dan Murphy 1988, 695). Penemuan
ini menunjukkan bahwa elastisitas jangka pendek dan jangka panjang barang
adiktif berbanding terbalik, dan pajak barang-barang adiktif yang bersifat inelastis
dalam jangka pendek bukan merupakanpengenaan pajak yang paling efisien
karena adanya gangguan pasar yang akan direalisasikan ke tingkat yang lebih
55
untuk
maksud
meningkatkan
pendapatan
pemerintah,
tetapi
dikenakan untuk mengoreksi kesenjangan antara biaya publik dan swasta akibat
eksternalitas antarpribadi yang disebabkan oleh rokok (Gruber dan Kszegi
2002, 4).
2.14.
yang memiliki zat adiktif seperti rokok mungkin tidak efisien dalam jangka
panjang, namun telah ada beberapa argumen yang berbeda dengan asumsi
yang mendasari model mereka, khususnya asumsi bahwa konsumen berperilaku
rasional. Jonathan Gruber dan Botond Kszegi berpendapat bahwa konsumen
barang adiktif tidak bertindak secara rasional, dan sebagai gantinya memiliki
preferensi waktu yang tidak konsisten. Jadi, meskipun ada kebijakan yang ingin
membatasi konsumsi rokok mereka di masa depan, namun fakta yang ada
menunjukkan bahwa konsumen yang kecanduandalam jangka pendek tidak akan
dapat mengaktualisasikan mengurangi tingkat merokokdi masa depan (Gruber
dan Kszegi 2002,17). Gruber dan Kszegi berargumen bahwa perilaku
ketidakkonsistenan dalam waktu membenarkan adanya pajak rokok di luar
eksternalitas mereka, karena pandangan merokok berbahaya bagi konsumen
yang irasional dan tidak terkendali. Dengan argumen ini, pajak rokok akan
menguntungkan bagi masyarakat dengan cara mengurangi kerugian individu
56
yang tidak rasional dalam merokok, dengan demikian menghasilkan utilitas yang
lebih besar bagi konsumen sekaligus meningkatkan pendapatan pemerintah
(Gruber dan Kszegi 2002, 35). Implikasi kebijakan penting yang disarankan oleh
Gruber dan Kszegi adalah bahwa biaya internal merokok perlu dipertimbangkan
bersama eksternalitas ketika membahas masalah perpajakan rokok. Jika
konsumen tidak mampu mencegah untuk mencelakai dirinya sendiri karena
kualitas adiktif yang kuat dari rokok, maka hal tersebut merupakan tanggung
jawab dari pemerintahan yang bijak untuk menggunakan pajak sebagai "pajak
pengendalian diri" (Gruber dan Kszegi 2000, 27-31).
2.15.
kegagalan kognitif
dalam
pengambilan keputusan
menyadari
"Dingin"
57
58
orang yang tidak menyadari dari sifat adiktif nikotin, dan yang tidak mengakui
atau benar-benar memahami risiko kesehatan masa depan merokok. Meskipun
sering diasumsikan bahwa perokok sadar akan risiko kesehatan yang
berhubungan dengan rokok, namun masih ada yang menyatakan bahwa asumsi
ini tidak dapat digunakan untuk remaja yang tidak cukup kemampuan untuk
bertanggung jawab membuat keputusan rasional yang negatif yang dapat
mempengaruhi kesehatannya di masa depan. Jika memang benar bahwa remaja
merokok dengan pemahaman yang tidak sempurna terhadap konsekuensi
kesehatan atas kebiasaan mereka tersebut, maka biaya internal rokok perlu
diperhitungkan sampai batas tertentu ketika menentukan tingkat yang tepat dari
cukai rokok. Pajak rokok yang lebih tinggi pada kondisi demikian bisa dibenarkan
dengan asumsi bahwa pajak yang lebih tinggi bertindak sebagai pencegah bagi
anak-anak untuk mulai merokok sebelum mereka menyadari konsekuensi negatif
terhadap kesehatan mereka.
Namun, temuan lain menemukan adanya ketidakpastian terhadap biaya
eksternal yang tinggi untuk memperkirakan biaya-biaya yang terkait dengan
rokok. Dalam Biaya Jaminan Sosial Merokok, Shoven, Sundberg, dan Bunker
(1987)
menemukan
bahwa
kematian
prematur
akibat
merokok
59
biaya bersih sebesar 32 sen dengan memperhatikan harapan hidup lebih pendek
dan mengurangi pembayaran Jaminan Sosial untuk perokok (Viscusi, 20022003). Namun ada beberapa peneliti yang mengkritik argumen ini, mereka
merasa keberatan bahwa kematian dini untuk perokok dapat dianggap sebagai
"keuntungan" dalam perhitungan ini (Evans, Ringel, dan Stech 1999, 44-45).
Beberapa
negara
Eropa
seperti
Inggris,
Irlandia
dan
Perancis
memberlakukan pajak cukai yang sangat tinggi padarokok, lebih dari 3,00 per
pak
20
batang
(Table.2.1).
Disamping
itu
rokok
jugadikenakan pajak
pertambahan nilai (PPN) dengan tarif standar, lebih dari tiga-perempat dari harga
eceranrokok di masing-masing negara. Beberapa negara anggota Uni Eropa
lainnya memilikipajak jauh lebih rendah, meskipun semua pungutan cukai pada
rokok
diatas
tingkat
standar
PPN.
Rata-rata,
negara-negara
anggota
60
berkaitan dengan pajak tembakau dibatasi oleh perjanjian Tingkatan dan Struktur
CukaiUni Eropa, dengan aturan ini Uni Eropa mencoba mengatur pergerakan
barang dipasar internal. Aturan tentang cukai secara singkat dirangkum di bawah
ini, dan kebijakan pajak tembakau dan regulasinya ini memainkan peran penting
dalam menentukan agenda tindakan kebijakanNegara-negara Anggota Uni
Eropa.
Ringkasan Aturan tarif cukai pada rokok Uni Eropa
Selain itu, Negara-negara Anggota harus mengenakan PPN atas rokok dan
produk tembakau lainnya dengan tingkat standar mereka(aturan Uni Eropa
minimal 15%). PPN juga berlaku untuk tarif cukai yang inklusif.
Minimum Total cukai rokok di MPPC mulai 1 Juli 2006 harus menjadi 64,00
per seriburokok ( 1,28 per bungkus 20).
Selain itu, untuk negara-negara anggota yang memiliki tarif cukai dibawah
101,00 per seribu rokok, maka untuk rokok di MPPC total cukai harus
minimal 57% dari total pajak inklusif dari harga jual eceran.
61
Pajak tidak lagi didefinisikan dalam kaitannya dengan MPPC, tetapi dalam
kaitannya dengan Rata-rata Tertimbang Harga(Weighted Average PriceWAP) dari rokok yang dijual di setiap negara anggota.
Peningkatan akan dilakukan secara bertahap mulai dari tingkatan dan nilai
minimum selama periode sampai dengan Januari 2014 dengancukai
minimum naik dari 64,00 sampai 90,00 per seribu pada tahun 2014 dan
persentase minimum terhadap harga naik dari 57% menjadi 63% (dari WAP).
62
menambah
dimensi
masalah
yang
ada.
Konsumsi
rokok
dapat
meningkatkan risiko kecanduan di masa depan. Adanya informasi yang baik dan
konsumen
yang
rasional
akan
menurunkan
kesediaan
untuk
merokok
dibandingkan jika tidak ada risiko kecanduan di masa depan (Becker dan
Murphy, 1988; Chaloupka, 1991). Namun, hal itu dianggap tidak realistis untuk
berasumsi bahwa semua individu sepenuhnya diberitahu tentang risiko adiktif
yang ada ketika mengkonsumsi rokok(Orphanides dan Zervos, 1995).
Konsekuensi dari merokok yang dirasakan oleh individu selain perokok,
yang mungkin telah diperhitungkan oleh perokok ketika memilih berapa banyak
rokok, terdiri dari tiga kategori:
63
Biaya ditanggung secara kolektif, seperti biaya yang didanai publik untuk
perawatan medis akibat merokok dan belanja publik lainnya.
kesehatan dan biaya lainnya akibat merokok dapat digunakan untuk beberapa
tujuan,termasuk perencanaan pengeluaran publik dan alokasi anggaran, dan
penilaiankompensasi dalam kasus litigasi, serta penilaian tentang manfaat dari
kebijakanperpajakan. Sebagian besar dariliteratur menemukan bahwa biaya
sosial merokok tidak secara langsung relevan dengan kasus eksternalitas
untukperpajakan dan regulasi, karena terdapat penggambaran yang kurang jelas
antara biaya yang dialami dan yang diinternalisasi konsumen individu dan biaya
eksternal yang dialami oleh pihak yang lain.
2.18. Kebijakan Harga jual Eceran dan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Kebijakan Harga Jual Eceran (HJE) ditentukan berdasarkan fungsi
pemungutan cukai yang antara lain mempertimbangkan:
1. Pendapatan bagi negara, dimana cukai merupakan salah satu sumber
penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2. Pembatasan pola konsumsi rokok, dimana dasar pengenaan cukai terhadap
barang-barang tertentu dikarenakan sifatnya yang dapat merugikan
konsumen.
Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan dua
cara, yaitu:
64
65
sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) yang keduanya
merupakan produksi rokok padat modal.
2. Besar kecilnya volume penjualan (strata volume). Kemampuan produksi
maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan banyaknya
jumlah rokok yang akan diproduksi. Besar kecilnya industri rokok ditentukan
dari jumlah rokok yang diproduksi oleh masing-masing industri rokok.
3. Harga jual eceran (strata harga). Penetapan harga jual eceran ditentukan
berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri
rokok. Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas
maksimal dan minimal dari suatu jenis rokok yang dihasilkan oleh suatu
industri rokok yang dapat dijual ke masyarakat.
Penetapan tarif cukai hasil tembakau tertera pada Surat Edaran Dirjen
Bea dan Cukai No. 52/BC/2012 dimana untuk penatapan tarif cukai hasil
tembakau merupakan keputusan kepalaKantor atas suatu Merek dalamrangka
menjalankan peraturan menteri keuangan yang mengaturtentang tarif cukai hasil
tembakau yang sifatnya administratif fiskaldan bukan merupakan perlindungan
kepemilikan atas suatu Merek
Kepala Kantor menetapkan tarif cukai hasil tembakau untukMerek baru
dan menetapkan penyesuaian tarif cukai hasiltembakau.Penetapan tarif cukai
hasil tembakau untuk Merek barudigunakanuntuk pemeriksaan laboratorium dan
penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dilakukan berdasarkan permohonandari
Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir.
Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir harusmengajukan
permohonan penetapan penyesuaian tarif cukaihasil tembakau dalam hal Harga
Transaksi Pasar:
66
a. telah melampaui Batasan harga jual eceran per batang ataugram diatasnya;
atau
b. berada pada posisi Batasan harga jual eceran per batang ataugram tertinggi
pada masing-masing golongan PengusahaPabrik hasil tembakau telah
melampaui 5% (lima persen)dari harga jual eceran yang berlaku atau harga
yangtercantum dalam pita cukai.
Tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan menggunakanjumlah dalam
rupiah untuk setiap satuan batang atau gramhasil tembakau.Penetapan tarif
cukai hasil tembakau didasarkan:
a. golongan pengusaha berdasarkan atas jumlah dan jenis hasil tembakau,
sesuai Batasan Jumlah Produksi Pabrik; dan
b. Batasan Harga Jual Eceran per Batang atau Gram yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Batasan Harga Jual Eceran per Gram hanya berlaku bagi
jenis TIS dan HPTL.
Harga Jual Eceran per Batang atau Gram untuk setiap jenis
hasiltembakau untuk tujuan ekspor ditetapkan sama dengan harga jualeceran
per batang atau gram untuk setiap jenis hasil tembakau darijenis dan Merek yang
sama yang ditujukan untuk pemasaran didalam negeri.
Khusus mengenai cukai, pada awal November 2011pemerintah melalui
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)No.167/2011 melakukan kenaikan tarif cukai
rokok rata-rata sebesar 16% yang diberlakukan efektif per 1Januari 2012. Dalam
hal ini, persentase kenaikan cukai di atas30% terjadi untuk hasil tembakau
produksi dalam negerijenis SPM Golongan I dengan harga jual eceran
(HJE)paling rendah Rp375 per batang, yaitu sebesar 49%,kemudian jenis SKM
Golongan II dengan HJE palingrendah Rp374 sampai dengan Rp430 per batang,
67
yaitusebesar 38,2%, dan jenis SKT Filter atau SPT FilterGolongan II dengan HJE
lebih dari Rp374 sampaidengan Rp430 per batang, yaitu sebesar 38,2%.
Jikadilihat berdasarkan golongannya, komposisi persentasekenaikan tarif cukai
rokok
untuk
produsen
SKMberskala
besar
(Golongan
I)
lebih
kecil
bebancukai
yang
lebih
tinggi
dengan
memecah
negara-negara
yang
berdekatan
yang
memungkinkan
masih
68
Tabel.2.1
Beberapa Contoh Kasus Penyelundupan Terkini
No.
Wilayah
Riau
Batam
Kejadian
Minggu, 24
Juni 2012
Rabu, 19
Desember
2012
Merk
Banyaknya
Nilai
John
500 bungkus/10
juta batang
1100
karton
rokok
Rp. 2,5
miliar
Sumber
www.mediaind
onesia.com
www.batamtoday.com
dengan
Indonesia.
Walaupun
tidak
menutup
kemungkinan
perdagangan rokok ilegal juga terjadi di dalam negeri melalui pemalsuan pita
cukai. Pengawasan yang lemah juga menjadi alasan semakin ramainya
perdagangan rokok ilegal.
Tabel.2.2.
Tembakau di
69
2.19.1. Gambaran
Kebijakan
Tarif
Cukai
MalaysiaDalam
Merespon
70
Grafik. 2.1.
Komposisi Pasar Rokok Malaysia (% dari pasar)
Diakui bahwa masalah perdagangan rokok ilegal dan tarif cukai rokok yang
berlebihan telah menyebabkan Pemerintah Malaysia memutuskan untuk
menghentikan tren kenaikan cukai secara tajam dengan caramembekukan
sementara tarif cukai pada anggaran tahun 2012. Perdana Menteri Malaysia
telah membuat pernyataan bahwa pada tanggal 9 Oktober 2011, sehari setelah
diumumkannya anggaran pemerintah, bahwa pemerintah tidak dapat menaikkan
harga rokok secara tajamkarena penggunaan rokok ilegal telahmencapai 40%.
Tingkat
kenaikan
ini
dianggap
terlalu
tinggi.
Jika
kemudian
terjadi
71
Periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 yang merupakan periode
kenaikan tarif cukai secaratajam;
cukai rokok dari SGD150 per1.000 rokok menjadi SGD352 (tertinggi di Asia) peningkatan rata-rata sebesar 19% per tahun, kemudian pada tahun 2005 tarif
pajak cukai hampir mendekati 65%.Dengan kenaikan ini, harga rata-rata rokok
yang membayar cukai meningkat secara dramatis selama periode ini yaitu
sebesar 62%.
Akibat perubahan harga tersebut, volume rokok yang membayar cukai
turun dari 3,2 miliar batang pada tahun 2000 menjadi 2,0 miliarbatang pada
tahun 2005 (atau 37%). Penerimaan cukai awalnya naik sebesar 48%, tetapi
kemudian menurun sebesar 20% antara tahun 2003sampai tahun 2006. Secara
signifikanpertumbuhan perdagangan ilegalpun meningkat secara signifikan pula,
meskipun tidak ada statistik resmi yangtersedia, namun hal ini dapat dibuktikan
dengan responyang dilakukan oleh pemerintah selanjutnya terkait dengan
kondisi tersebut.
Untuk mengurangi pertumbuhan di pasar rokok ilegal, pemerintah
Singapura memilih untuk menahan secara konstan nominal cukai. Pada tahun
2006, Pidato Anggaran Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Lee Hsien
Loong mengatakan bahwa Pemerintah serius mempertimbangkan untuk
72
meningkatkan
cukai
memutuskannya
tembakau,
tetapi
pemerintah
juga
bimbang
untuk
pertunjukkan-
batang. Namun pembekuan pajak yang dilakukan pada tahun 2005,ditambah lagi
dengan investasi dalam penegakan hukum yang kuat, telah menyebabkan
terjadinya pemulihan volume pajak yang dibayar dan penurunanpenyelundupan.
73
Pangsa pasar perdagangan rokok ilegal turun menjadi 15,9% pada tahun 2010
dari 22% pada tahun 2006. Walaupun hal tersebut masihjauh lebih tinggi dari
pada tahun-tahun sebelum kenaikan pajak.
2.20.
itu
beroperasi
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan
penyelundup
produk
tembakau
antar
pasar
dalam
rangka
individu
untuk
terlibat
dalam
penyelundupan
tembakau.
74
penyebab
terjadinya
penyelundupan.
Namun
ada
beberapa
Adanya keuntungan dari pihak produsen rokok jika dia melakukan tindakan
penyelundupan.
Perilaku konsumen rokok yang semakin terbiasa dengan kadar nikotin yang
tinggi sehingga meningkatkan pula sifat ketergantungan terhadap rokok.
2.21.
tentang Cukai adalah sebagai berikut Cukai adalah pungutan negara yang
dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.Maksud dari barangbarang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik adalah barang yang:
75
etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan
dan proses pembuatannya;
minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan
tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya,
termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;
hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan
hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan
atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
2.22.
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU
Cukai),rokok dikenakan tarif rokok yang cukup tinggi, baik bagi produk hasil
tembakau buatan Indonesia maupun tembakau yang diimpor. Dalam hal ini, jenis
sigaret dipandang tergolong barang terkena cukai berdasarkan Pasal 2 UU
Cukai.Oleh karena itu para perokok diakui haknya, karena mereka termasuk
pembayar pajak yang berhak atas kebersamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
76
bagiankabupaten/kota,
dialokasikan
paling
sedikit
50%
(lima
77
2.23.
Hipotesis
Output rokok kretek (x1) dan rokok putih (x2)berpengaruh secara signifikan
terhadap penerimaan cukai negara secara bersama
H2
CR4 Rokok kretek (x3) dan nilai tambah rokok kretek (x4)secara bersama
berpengaruh berpengaruh signifikan terhadap output rokok kretek (X1)
H3
CR4 Rokok putih (x5) dan nilai tambah rokok putih (x6)secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada
signifikansi 10%
78
H4
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia (X8) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan
terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7)
secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4
Rokok Kretek (X3)
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia (X8)
secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4
Rokok Kretek (X3)
H5
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia
(X8)
secara
bersama-samaberpengaruh
secara
signifikan
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia (X8)
secara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap Nilai tambah
Rokok Kretek (X4)
79
H6
Variabel selisih tarif cukai rokok putih Indonesia dengan tarif impor
Singapura (X9) dan Malaysia (X10)secara bersama-sama signifikan
mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9)
secara individu signifikan mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan
Malaysia (X10)secara individu signifikan mempengaruhiterhadap CR4
Rokok Putih (X5)
H7
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan
Malaysia (X10)secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhi Nilai
tambah Rokok Putih (X6)
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9)
secara individu signifikan mempengaruhi Nilai tambah Rokok Putih (X6)
80
BAB III
METODE KAJIAN AKADEMIS
3.1.
Jenis Penelitian
Kajian
ini
merupakan
kajian
deskriptif
yang
ditujukan
untuk
Yt =
Yt =
t + 1t X1t + 2t X2t
X1t =
t + 3t X3t + 4t X4t
X2t =
t + 5t X5t + 6t X6t
X3t =
t + 7t X7t + 8t X8t
X4t =
t + 7t X7t + 8t X8t
X5t =
X6t =
t + 9t X7t + 8t X10t
Keterangan :
t
: tahun ke-t
X1
X2
X3
terbesar
(CR4)
Rokok
Kretek
(%).
CR4
ini
X5
terbesar
(CR4)
Rokok
Kretek
(%).
CR4
ini
X7
82
X8
selisih tarif import rokok kretek Malaysia dengan tarif cukai Indonesia
(Rp/batang)
X9
: selisih tarif import rokok putih Singapura dengan tarif cukai Indonesia
(Rp/batang)
X10
: selisih tarif import rokok putih Malaysia dengan tarif cukai Indonesia
(Rp/batang)
: galat
3.3.
Instrumen Penelitian
adalah sebagai
berikut :
Kuesioner
Pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden mengenai hal-hal yang diketahuinya terkait dengan kebijakan
Dirjen Bea dan Cukai.
Wawancara (Interview)
Untuk mencari data tentang variabel-variabel maupun kebijakan Dirjen Bea
dan Cukai
Observasi
Melakukan pengamatan secara langsung ataupun memanfaatkan kuesioner
yang berisi daftar kegiatan yang akan diamati.
Dokumentasi
Menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan, notulen rapat, dan sebagainya.
83
3.4.
kebijakan publik atas kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam hal
ini Dirjen Bea dan Cukai dan Metode Analisis Path untuk menganalisisstruktur,
perilaku, dan kinerja industri rokok.
Analisis kebijakan publik merupakan kajian ilmu terapan yang mempunyai
tujuan memberikan rekomendasi kepada public policy maker dalam rangka
memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan terdapat
informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah kebijakan publik serta
argumen-argumen tentang
metode
analisis
jalur
(path
analysis)
digunakan
84
Masalah kebijakan ialah nilai atau kebutuhan yang belum terpenuhi dan
dapatdiidentifikasi untuk diperbaiki atau dicapai melalui tindak publik.
2.
3.
Aksi kebijakan ialah gerakan atau serangkaian gerakan yang dituntun oleh
alternatif kebijakan yang dirancang untuk mencapai hasil masa depan yang
bernilai.
4.
5.
Kinerja kebijakan ialah derajat di mana hasil kebijakan yang ada, memberi
kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai.
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang
memisahkan
dan
mengklarifikasi
persoalan,
mengungkap
85
2.
3.
4.
86
5.
Analisis
kebijakan
memberikan
peluang
yang
lebih
besar
untuk
3.5.
data
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
data
sekunder.Sumber data utama berasal dari Statistik Industri Besar dan Sedang
dalam bentukbuku, Ditjen Bea Cukai, jurnal-jurnal ilmiah, serta literatur-literatur
terkait. Datayang digunakan adalah data time series dari tahun 1996 - 2008.
Data-data yangdiambil dalam penelitian ini terdiri dari:
(1) Data penerimaan cukai pemerintah
(2) Output rokok kretek nasional
(3) Output rokok putih
(4) CR4 Perusahaan Rokok Kretek dan Putih 4 yang terbesar dalam pasar
(5) Nilai tambah rokok kretek dan putih
(6) Data selisih tarif rokok kretek antara Indonesia dan Singapura
(7) Data selisih tarif rokok putih antara Indonesia dan Singapura
(8) Data selisih tarif rokok kretek antara Indonesia dan Malaysia
(9) Data selisih tarif rokok putih antara Indonesia dan Malaysia
87
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1.
Variables
Entered
Removed
Model
1
Method
selisih_dgn_mal
aysia,
. Enter
selisih_dgn_sing
apura
Model Summary
Change Statistics
Model
.704
Adjusted R
R Square
Square
Estimate
Change
R Square
a
.496
.395
6.899
Sig. F
F Change
.496
df1
4.911
df2
2
Change
10
.033
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
Df
Mean Square
Regression
467.436
233.718
Residual
475.916
10
47.592
Total
943.352
12
Sig.
4.911
.033
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
86.581
6.192
selisih_dgn_singapura
-.009
.003
selisih_dgn_malaysia
-.016
.015
Coefficients
Beta
Sig.
13.984
.000
-.739
-3.132
.011
-.253
-1.070
.310
89
Model
1
Variables
Variables
Entered
Removed
Method
selisih_dgn_mal
aysia,
. Enter
selisih_dgn_sing
apura
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
3.138E26
1.569E26
Residual
1.903E26
10
1.903E25
Total
5.041E26
12
Sig.
8.244
.008
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
1.562E12
3.915E12
selisih_dgn_singapura
7.292E9
1.844E9
selisih_dgn_malaysia
1.928E10
9.212E9
90
Coefficients
Beta
Sig.
.399
.698
.808
3.955
.003
.427
2.093
.063
Variables
Model
1
Variables Entered
Removed
Method
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia,
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
. Enter
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
Regression
Df
Mean Square
21.387
10.693
Residual
232.359
10
23.236
Total
253.746
12
Sig.
.460
.644
Model
1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
(Constant)
Std. Error
93.064
4.229
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
.000
.002
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia
.009
.010
Beta
Sig.
22.008
.000
.036
.114
.912
.298
.946
.367
91
Variables
Model
1
Variables Entered
Removed
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia,
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
Method
. Enter
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
5.359E24
2.679E24
Residual
2.479E24
10
2.479E23
Total
7.838E24
12
Sig.
10.808
.003
Coefficients
Model
1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
(Constant)
Std. Error
-5.289E10
4.368E11
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
9.122E8
2.080E8
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia
2.825E9
1.038E9
92
Beta
Sig.
-.121
.906
.814
4.386
.001
.505
2.723
.021
Variables
Model
1
Variables Entered
Removed
nilai_tambah_kretek_stl_dikuran
g_pajak, CR4_rokok_kretek
Method
. Enter
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
1.162E21
5.810E20
Residual
1.124E21
10
1.124E20
Total
2.286E21
12
Sig.
5.171
.029
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
Std. Error
(Constant)
2.974E11
3.595E10
CR4_rokok_kretek
-1.256E9
4.199E8
.000
.001
nilai_tambah_kretek_stl_diku
rang_pajak
Coefficients
Beta
Sig.
8.272
.000
-.807
-2.992
.014
-.198
-.735
.480
93
Model
1
Variables
Variables
Entered
Removed
Method
Nilai_tambah_ro
kok_putih,
cr4_rokok_putih
. Enter
a
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2.178E20
1.089E20
Residual
2.799E20
10
2.799E19
Total
4.978E20
12
Sig.
3.890
.056
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
cr4_rokok_putih
Nilai_tambah_rokok_putih
94
Std. Error
-4.423E9
3.353E10
3.886E8
3.632E8
-.006
.002
Coefficients
Beta
Sig.
-.132
.898
.277
1.070
.310
-.723
-2.789
.019
Variables Entered/Removed
Variables
Model
1
Variables Entered
Removed
Method
output_rokok_putih,
output_rokok_kretek
. Enter
Model Summary
Model
.949
R Square
a
Adjusted R
Square
Estimate
.901
.881
5.156E12
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2.411E27
1.205E27
Residual
2.659E26
10
2.659E25
Total
2.677E27
12
Sig.
45.343
.000
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
output_rokok_kretek
output_rokok_putih
Std. Error
-2.647E12
2.736E13
330.412
120.509
-1791.712
258.235
Coefficients
Beta
Sig.
-.097
.925
.305
2.742
.021
-.773
-6.938
.000
95
Model yang dihasilkan dari hasil pengolahan data adalah sebagai berikut:
Y =
- 2,647. 1012 +
X1 =
X2 =
- 4,42. 109
X3 =
86.581
X4 =
X5 =
93.064
X6 =
Y =
330,412 X1 -1791,712 X2
0,006 X6
-0,009 X7-0,016 X8
+ 0,000
1,92 1010 X8
X9+ 0,000
X10
Y = Penerimaan Cukai
X1= Output Rokok Kretek
X2= Output Rokok Putih
X3= CR4 Rokok Kretek
X4=Nilai Tambah Rokok Kretek
X5= CR4 Rokok Putih
X6= Nilai Tambah Rokok Putih
X7= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Singapura
X8= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
X9= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Singapura
X10= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
96
H1
Output rokok kretek (x1) dan rokok putih (x2)berpengaruh secara signifikan
terhadap penerimaan cukai negara secara bersama
H2
CR4 Rokok kretek (x3) dan nilai tambah rokok kretek (x4)secara bersama
berpengaruh berpengaruh signifikan terhadap output rokok kretek (X1)
H3
CR4 Rokok putih (x5) dan nilai tambah rokok putih (x6)secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada
signifikansi 10%
H4
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia (X8) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan
terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)
97
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7)
secara individuberpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4
Rokok Kretek (X3)
H5
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia
(X8)
secara
bersama-samaberpengaruh
secara
signifikan
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan
Malaysia (X8) masing-masing secara individu berpengaruh positif secara
signifikan terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4) pada signifikansi 10%
H6
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan
Malaysia secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhiterhadap
CR4 Rokok Putih (X5)
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan
Malaysia
masing-masing
secara
individu
tidak
signifikan
H7
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan
Malaysia (X10)secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhi Nilai
tambah Rokok Putih (X6)
98
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan
Malaysia (X10)masing-masing secara individu signifikan mempengaruhi
Nilai tambah Rokok Putih (X6)
Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Singapura tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
99
Y=
Y = PENERIMAAN CUKAI;
X9= SELISIH TARIF CUKAI ROKOK PUTIH DGN SINGAPURA
-
100
Gambar. 4.1
Ringkasan Hasil Analisis Path
= 0,938
p = 0,538
Output Rokok
Kretek (X1)
= -0,253
p = 0,310
H4
Adj R square = 0,395
Sig F = 0,033
Penerimaan
Cukai (Y)
= 0,996
p = 0,000
= 0,808
p = 0,083
H5
Adj R square = 0,547
Sig F = 0,008
H1
Adj R square = 0,881
Sig F = 0,000
= 0,427
p = 0,063
= 0,036
p = 0,912
= 0,
p = 0,000
= 0,277
p = 0,31
Output Rokok
Putih (X2)
H2
Adj R square = 0,41
Sig F = 0,029
= -0,198
p = 0,48
= 0,
p = 0,21
= -0,739
p = 0,011
= -0,807
p = 0,014
H3
Adj R square = 0,438
Sig F = 0,056
= 0,208
p = 0,367
H6
Adj R square = 0,084
Sig F = 0,644
p = 0,019
= 0,814
p = 0,001
H7
Adj R square = 0,084
Sig F = 0,644
adalah pada variabel selisih tarif rokok putih Indonesia dengan tarif impor
Singapura (X9) dengan besar pengaruh 0,996 atau 99,6%. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila tarif rokok putih di Singapura lebih tinggi dari di Indonesia dengan
asumsi daya beli konsumen dan biaya produksi tidak jauh berbeda maka akan
ada aliran masuk rokok putih dari Singapura ke Indonesia dengan cara
menjadikan Indonesia sebagai basis produksi produsen rokok putih. Dengan
demikian akan ada pemasukan cukai pemerintah Indonesia dari rokok putih ini.
101
102
103
1 0,4962 = 0,868
Regresi 2Pe2 = 1 22 =
1 0,6222 = 0,783
Regresi 3Pe3 = 1 32 =
1 0,0842 = 0,996
Regresi 4Pe4 = 1 42 =
1 0,6842 = 0,729
Regresi 5Pe5 = 1 52 =
1 0,5282 = 0,849
Regresi 6Pe6 = 1 62 =
1 0,4382 = 0,899
sebagai berikut:
104
Y=
P=0.000
P=0.530
X8= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
X9= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Singapura
X10= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
Variabel yang signifikanmempengaruhi penerimaan cukai hanya X9 karena
menunjukkan nilai p < 0.05. Oleh karena hanya X9 yang berpengaruh secara
signifikan, maka dilakukan simulasi dengan menganggap variabel lain yaitu X8
dan X10 dianggap konstan. Dari hasil simulasi didapat nilai seperti pada tabel.4.1
berikut ini:
Tabel.4.1
Simulasi Mencari Tarif Cukai Optimal
Penerimaan Cukai
(Rp)
-791.000.000.000
-585.000.000.000
-379.000.000.000
-173.000.000.000
32.300.000.000
Selisih Tarif
Cukai Rokok
Putih Indonesia
dengan Tarif
Impor Singapura
(X9)
Rp.10/batang
Rp.20/batang
Rp.30/batang
Rp.40/batang
Rp.50/batang
Selisih Tarif
Rokok Putih
Indonesia
dengan Tarif
Impor Malaysia
(X10)
0
0
0
0
0
105
4.3.
masyarakat
saat
pengaruh
keberadaannya
106
proyek
menghasilkan
berharga
suatu
untuk
Pareto
dilaksanakan
optimality dalam
jika
memiliki
kesejahteraan
potensiuntuk
masyarakat
suatunegara. Suatu kondisi Pareto optimality hanya akan terjadi apabila tidak
ditemukannyakebijakan baru yang dapat membuat kondisi kesejahteraan setiap
individu masyarakatmenjadi lebih baik atau sama dengan keadaannya seperti
pada kondisi kebijakan yanglama (Perkins, 1994).
Untuk mengetahui besarnya beban cost yang harus ditanggung
olehmasyarakatsebagai akibat pengkonsumsian rokok, maka di bawah ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Likke, Llewelyn, dan Musianto, 2000 terkait
dengan perhitungan biaya untuk limajenis penyakit terkait dengan aktivitas
merokok:
a)
107
Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap = Rp.117.000,00 * 80%
=Rp. 93.600,00
Biaya obat rawat jalan = Rp. 4.900,00 * 20 hari * 3 kali per tahun
=Rp.294.000,00
Biaya obat operasi (80% dari biaya rawat inap) = Rp. 93.600,00 *80%=
Rp. 74.880,00
b)
108
Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari=Rp. 11.700 * 5 hari *2 kali
per tahun = Rp. 117.000,00
Biaya obat rawat jalan = Rp. 6275 * 5 hari * 4 kali per tahun = Rp.
125.500,00
c)
109
Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari = Rp.11.700 * 5 hari *2 kali
per tahun = Rp. 117.000,00
Biaya obat rawat jalan= Rp. 6275 * 5 hari * 4 kali per tahun = Rp.
125.500,00
d)
110
koroner ini sampai pada tingkat yang membutuhkan rawatinap adalah satu
kali per tahun. Sedangkan frekuensi rawat jalan yang harus dijalani
olehpenderita penyakit ini adalah setiap hari atau dengan kata lain selama
seumur hidup.Dalam kondisi tertentu, operasi dapat dilakukan pada
penderita penyakit jantung koronerdan 10 tahun setelah operasi pertama
dilakukan, bila dibutuhkan dan kondisi pasienmemungkinkan maka dapat
dilakukan operasi ulang atau ditiup jantung terhadap pasien(berdasarkan
hasil wawancara dengan para dokter di RSUD Dr. Soetomo: 25 Mei
1999,Surabaya).
Seperti sebelumnya, daya tahan hidup individu yang mengidap penyakit
jantungkoroner dibagi dalam dua kelompok yaitu: individu yang dapat
bertahan hidup sampaiusia 70 tahun dan individu yang dapat bertahan
hidup sampai pada usia 55 tahun.
Perhitungan biaya adalah sebagai berikut:
Lama rawat inap 18 hari per tahun
-
Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari= Rp. 11.700* 18 hariper
tahun =Rp. 210.600,00
Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap= Rp. 210.600,00 *80%
=Rp. 168.480,00
Biaya obat rawat jalan seumur hidup= Rp. 3.850,00 * 365 hariper tahun
=Rp. 1.405.250,00
111
Biaya rawat inap selama sekali operasi= Rp. 11.700,00 * 10 hari =Rp.
117.000,00
Biaya obat setelah operasi (80 % dari biaya rawat inap) =Rp.
117.000,00 * 80% =Rp. 93.600,00
10
tahun
setelah
operasi
I,
sekali
tiup
atau
operasi
ulang
Tabel.4.2
Ringkasan Perkiraan Biaya Kesehatan
Akibat Merokok Per Individu Tahun 1999
No
1
2
3
4
Perkiraan Biaya
Kesehatan Akibat
Merokok per
individu
(Tahun 1999)
Rp. 507.965
Rp. 195.550
Rp. 195.550
Rp. 27.527.930
Untuk menghitung total biaya kesehatan dalam 1 tahun maka populasi perokok
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok penyakit dengan bobot masing-masing
25%, 35%, 35% dan 5%. Contoh diberikan untuk perkiraan biaya kesehatan
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Total biaya kesehatan akibat rokok 1999 =
20%*145 juta x (25%*Rp.507.965 + 35%*Rp.195.550 + 35%*Rp.195.550
+5%*Rp.27.527.930) =Rp.47.567.909.750.000,-
112
Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 25% diasumsikan terkena penyakit
jenis-1
Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 35% diasumsikan terkena penyakit
jenis-2
Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 35% diasumsikan terkena penyakit
jenis-3;
Inflasi (%)
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2
9,4
12,55
10,03
5,16
6,4
17,11
Tabel.4.4
Biaya Kesehatan Akibat Rokok Per Individu Setelah Penyesuaian Inflasi
Penyakit
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Jenis-1
507.965
518124
566828
637965
701953
738174
785417
Jenis-2
. 195.550
199461
218210
245596
270229
284173
302360
Jenis-3
195.550
199461
218210
245596
270229
284173
302360
Jenis-4
27.527.930
28078489
30717867
34717867
38040627
40003523
42563748
113
Biaya Kesehatan
Yang
Dikeluarkan
Perokok
(Rp. Triliun)
47,6
Penerimaan
Cukai
(Rp. Triliun)
1999
Populasi
Perokok
umur > 15
tahun
(juta orang)
145
2000
149
49,9
13,8
2001
152
55,6
18,3
2002
155
63,9
23,08
2003
158
71,6
26,4
2004
160
76,3
28,64
2005
163
82,7
32,65
10,11
114
kebijakan
memperbesar
ekspor
rokok
dapat
dipertimbangkan
dengan
4.4.
yaitu(1) insentif yang tinggi dan celah besar;(2) tindakan pengendalian rantai
pasokan yang tidak memadai sesuai dengan skala ancaman;(3) pihak penegak
hukum menghadapi tantangan yang sifatnya umum sampai yang khusus; dan (4)
faktor disinsentif dan sanksi rendah. Dengan demikian strategi untuk memerangi
penyelundupan rokok adalah dengan menghindari adanya insentif yang tinggi
dan melakukan kontrol secara bersamaan.
4.4.1. Insentif yang tinggi dan celah yang besar
Produk tembakau yang pada umumnya dikenakan pajak, bea masuk
yang tinggi. Permasalahan pajak umumnya terletak pada tingginya pajak
terhadap harga jual eceran. Perbedaan harga (yang dibayar oleh konsumen
akhir ) produk tembakau di antara Negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena
itu perlu diciptakan permintaan yang kuat dan insentif yang menarik untuk
distribusi yang dilakukan secara sah. Meskipun kesenjangan harga telah
115
116
Dampak negatif dari perdagangan gelap harus dibuat lebih dikenal oleh
masyarakat luas, khususnya dampak pada keuangan negara dan keterlibatannya
dengan kejahatan terorganisir, serta fakta bahwa produk ilegal tidak sesuai
dengan undang-undang produk tembakau, misalnya adanya ketentuan tampilan
pada bahan dan peringatan kesehatan pada kemasan.
4.4.3. Langkah-langkah untuk mengamankan rantai pasokan komoditi
Sebagai langkah pertama pengamanan rantai pasokan tembakau,
Negara
anggota
ASEAN
perlu
menandatangani,
meratifikasi
dan
117
rangka untuk memastikan bahwa hanya ada produk yang sesuai di pasar
ASEAN, maka perlu dilakukan pelacakan produk tembakau di seluruh rantai
suplai (termasuk di tingkat eceran). Produsen tembakau sementara itu perlu
menutup kontrak-kontrak
independen untuk
118
dan
119
120
panjang.
Ketika
menetapkan
tarif
pajak,Pemerintah
perlu
radikalcenderung
gelap.Negara
harus
mengumpulkandan
mengarah
menggunakan
mengendalikan
pada
metode
penerimaan
munculnyaperdagangan
yang
berbeda
perpajakan
untuk
tembakau.
121
informasi
real-time
danaman berkaitan
dengan
volume
dan
kemudahan
untuk
pengadaan
jumlah
cukaiyang
harus
untuk
tembakauproduk
ini
sepenuhnya
sejalan
dengan
e-
kejahatan
yang
serius
dan
diperlukan
upaya
keras
untuk
122
Bekerja sama dengan pelaku industri yang sahuntuk membuat intelijen dan
sumber dayagabungan
4.6.
Langkah-langkah
mengantisipasi
ledakan
konsumsi
rokok
di
123
jumlah perokok dewasa. Jadi, dalam jangka panjang, kenaikan tarif pajak dapat
menyebabkan penurunan penerimaan pajak total.
Pemerintah menggunakan pajak rokok untuk melindungi kesejahteraan
rakyat. Gruber dan Mullainathan (2002) menemukan bahwa perpajakan berfungsi
sebagai kontrol diri melalui perangkat harga bagi perokok dewasa yang ingin
berhenti. Gruber dan Mullainathan (2002) juga menunjukkan bukti bahwa individu
yang mengkonsumsi zat adiktif seperti rokok tidak sepenuhnya memiliki
pemikiran yang rasional dalam keputusan mereka untuk merokok. Dengan
demikian,
perokok
muda
lebih
mungkin
untuk
tidak
sepenuhnya
memperhitungkan masa depan efek samping dari merokok. Dalam hal ini,
menaikkan pajak akan membantu mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan
baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Perokok dewasa dan pemuda
akan mengurangi jumlah rokok mereka apabila terdapat pemikiran untuk
memperpanjang hidup mereka. Oleh karena itu ditinjau dari sudut perspektif
kesejahteraan, kenaikan pajak cukai rokok harus terjadi.
Pada tahun 2013 konsumsi rokok Indonesia sudah mencapai 302 miliar
batang per tahun. Ekonom senior Emil Salim mengatakan, sebenarnya Indonesia
memiliki peluang mencapai kemajuan di tahun 2020 dengan adanya bonus
demografi berupa jumlah generasi muda yang banyak. Kesempatan ini untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi kesempatan itu menjadi menurun
oleh kebiasaan merokok generasi muda. Kebiasaan merokok dianggap akan
mengurangi produktivitas, menimbulkan ketergantungan, serta menambah beban
kesehatan negara.
Road Map industri rokok menjadi penting untuk melindungi generasi
muda dari bahaya rokok tersebut. Peredaran dan penggunaan rokok di berbagai
124
pengendalian
dampak
konsumsi
rokok
bagi
kesehatan
Nomor
Daerah,
28
juga
pemerintah.Terbentuknya
Tahun
2009
merupakan
Aliansi
tentang
kekuatan
Bupati/Walikota
Pajak
Daerah
yang
dimiliki
di
bidang
sejak
terdiri
tahun
dari
2011,
jejaring
organisasi
pengendalian
profesi,
tembakau
akademisi,
di
Lembaga
125
adanyakebutuhan
untuk
program
berhenti
merokok
di
antara
dan
pengembangan
program
dan
kegiatan
126
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Seperti sudah dikemukakan dalam tujuan penelitian ini ada 5 poin yang mejadi
tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi
potensi terjadinya perbedaan tariff cukai dan impor pada pelaksanaan AEC
2015 yang dapat berpotensi memberi dampak merugikan bagi penerimaan
negara dari sisi cukai rokok.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa:
Berapa besaran tariff dan harga jual eceran rokok putih di dalam negeri
akan sangat bergantung pada tariff impor dan tariff cukai di Negaranegara tetangga ASEAN.
terjadinya
lonjakan
konsumsi
rokok
akibat
terjadinya
pergerakan basis produksi rokok ke negara yang memiliki tarif cukai rendah
pada pelaksanaan AEC 2015?
Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:
mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan tariff cukai yang
cukup tinggi, agar konsumen lebih terarah pada kelas menengah ke atas
yang jumlahnya lebih sedikit dari kelas bawah. Dengan demikian jumlah
konsumen kelas menengah akan meningkat tidak sebesar jumlah
konsumen rokok kelas bawah yang akan menurun secara signifikan
sehingga secara keseluruhan lonjakan konsumsi rokok dapat diredam;
3. Mengidentifikasi
strategi/menemukan
kebijakan
tarif
cukai
dengan
mempertimbangkan aspek:
a. Penerimaan negara;
b. Lonjakan konsumsi rokok;
c. Biaya kesehatan rokok; dan
d. Liberalisasi perdagangan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:
128
BAB V PENUTUP
mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan tariff cukai yang
cukup tinggi agar konsumen lebih terarah pada kelas menengah ke atas
yang jumlahnya lebih sedikit dari kelas bawah. Dengan demikian jumlah
konsumen kelas menengah akan meningkat tidak sebesar jumlah
konsumen rokok kelas bawah yang akan menurun secara signifikan
sehingga secara keseluruhan lonjakan konsumsi rokok dapat diredam;;
129
Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Singapura tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Malaysia tidak signifikan
mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Adanya pengaruh tidak langsung akibat selisih tarif rokok kretek dengan
tarif impor Singapura (X7) terhadap variabel penerimaan cukai (Y).
melalui variabel CR4 Rokok Kretek (X3) dan Output rokok kretek (X1)
adalah: -0,709 -0,807 x 0,35 = 0,2 signifikan. Namun memberikan
dampak secara langsung pada pangsa pasar 4 perusahaan rokok
terbesar di Indonesia dalam bentuk terjadinya potensi penurunan pangsa
pasar akibat potensi masuknya rokok kretek dari Negara Singapura yang
130
BAB V PENUTUP
Variabel selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Malaysia (X8) tidak
signifikan mempengaruhi variabel penerimaan cukai (Y)
Adanya pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan
tarif impor Singapura (X9) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui
variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2)
adalah: 0,814 -0,723 x -0,773 = 0,455 signifikan. Variabel selisih tarif
rokok putih dengan tarif impor Singapura yang cukup tinggi juga
memberikan dampak langsung kepada nilai tambah produk rokok putih
dalam negeri dan dampak tidak langsung pada pengurangan produksi
rokok putih di dalam negeri sebagai kekhawatiran akan tidak terserapnya
produk mereka di pasar dalam negeri.
Adanya pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan
tarif impor Malaysia (X10) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui
variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2)
adalah: 0,505 -0,723 x -0,773 = 0,282 signifikan. Variabel selisih tarif
rokok putih dengan tarif import Malaysia berdampak langsung juga pada
nilai tambah produk rokok putih di dalam negeri dan berdampak tidak
langsung pada menurunnya output rokok putih di dalam negeri sebagai
bentuk kehati-hatian para produsen dalam negeri akibat kekhawatiran
tidak terserapnya produk rokok putih mereka di dalam negeri.
131
Keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model analisis path adalah
sebesar 0,858 atau 85,8% atau dengan kata lain informasi yang
terkandung dalam data 85,8% dapat dijelaskan oleh model tersebut.
Sedangkan yang 14,2% dijelaskan oleh variabel lain yang belum terdapat
dalam model dan error.
Lebih difokuskan kepada tariff cukai dan harga eceran rokok putih;
menyusun
strategi
industri,
perdagangan
dan
investasi
secara
132
BAB V PENUTUP
5.2.
1.
Saran
Kebijakan tarif cukai rokok ketika diterapkan AEC 2015 sebaiknya
bersifat dinamis mengikuti pergerakan kebijakan tariff impor dan
cukai Negara-negara tetangga;
2.
3.
4.
Pemerintah
perlu
secara
intensif
melakukan
pembicaraan
133
6.
134
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, Abdillah.,Wiyono Nur Hadi., Setyonaluri Diah Hadi,(2011), Illicit Cigarettes
in Indonesia, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Juni
Aldary, Idham Tamim (2009), Kajian Efektifitas Pengawasan Melalui Pelekatan
Pita Cukai Sebagai Tindakan Preventif Terhadap Penyelundupan dan
Produksi Rokok Ilegal. (Dikaitkan dengan kebijakan tariff dan perilaku
konsumen rokok di Indonesia), STAN
Austria, M.S. (2006). The Economic and Health Impact of Trade Liberalization in
AFTA: the Case of the Philippines, A Research Report Submitted to the
Southeast Asia Tobacco Alliance (SEATCA).
Austrian Energy Agency, 2009. Energy Efficiency Polices and Measure in
Austria.
Diunduh
dari
http://www.odysseeindicators.org/publications/PDF/austria_nr.pdf
Bunker, John P., John B. Shoven, and Jeffrey O. Sundberg (1987). The Social
Security Cost of Smoking. National Bureau of Economic Research.
Carlin, W. & P. Seabright, 2000, The Importance of Competition in Developing
Countriesfor Productivity and Innovation, Background Paper for World
Development Report2001.
Center
for
Disease
Control
and
Prevention
(CDC),
2013,
http://apps.nccd.cdc.gov/gtssdata/Ancillary/Documentation.aspx?SUID=1&
DOCT=1(diakses tanggal 7 Agustus 2013)
Chaloupka, F.J., Hu, T., Warner, W.M., Jacobs, R., and Yurekli, A. (2000). The
Taxation of Tobacco Products. in Jha, P. and Chaloupka F.J. (eds.).
Tobacco Control in Developing Countries, The World Bank and World
Health Organization,
Commission of the European Communities, 2007. Impact Assessment.
COM(2007)52 final SEC(2007)171. (Accompanying document to the
Proposal for a Council Directive amending Directive 2003/96/EC.)
Daniels, John D, Radebaugh, H. Lee, Sullivan, P. Daniel, 2004, International
BusinessEnvironments and Operations. 10th Ed, Pearson Education:
Upper SaddleRiver, New Jersey, United States.
Evans, William N., Jeanne S. Ringel, and Diana Stech (1999). Tobacco Taxes
and Public Policy to Discourage Smoking. Tax Policy and the Economy,
Vol. 13 : 1-56.
Gravelle, J. and Zimmerman, D. (1994): Cigarette Taxes to Fund Health Care
Reform: An Economic Analysis, CRS Report for Congress. Washington,
DC: U.S. Congress, Congressional Research Service.
Gruber, J. and K_szegi, B., (2008): A Modern Economic View of Tobacco
Taxation. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
135
136
DAFTAR PUSTAKA
137