Вы находитесь на странице: 1из 23

LAPORAN KASUS

Tn.S 53 Tahun dengan Keluhan Kedua Mata Terbentuk Selaput


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Penyakit Mata
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Retno Wahyuningsih,Sp.M

Disusun Oleh :
Fitria Wijayanti

H2A010019

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD AMBARAWA
2015

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


ILMU PENYAKIT MATA

Presentasi kasus dengan judul :


Tn.S 53 Tahun dengan Keluhan Kedua Mata Terbentuk Selaput
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Penyakit Mata

Disusun Oleh:
Fitria Wijayanti

H2A010019

Telah disetujui oleh Pembimbing:


Nama pembimbing

Tanda Tangan

Tanggal

Dr. Retno W, Sp.M

.............................

.............................

Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata

Dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

BAB I
CATATAN MEDIS
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Agama
Alamat
Pekerjaan
Jaminan Kesehatan
No. CM
Tanggal periksa

: Tn. S
: 53 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Kandangan RT.04 RW.06, Bawen.
: Petani karet
: Umum
: 02089034-2015
: 27 Oktober 2015

ANAMNESE
Anamnese dilakukan secara autoanamnese di poli mata RSUD
Ambarawa pada tanggal 27 Oktober 2015 pukul 09.30 WIB.
Keluhan Utama :
Mata kanan dan kiri terdapat selaput.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik Kesehatan Mata RSUD Ambarawa dengan
keluhan mata kanan dan kiri terbentuk selaput sejak 3 bulan yang lalu.
Pasien mengeluh kedua matanya terasa mengganjal, sering nerocos,
kemerahan dan pedas dalam 2 hari ini. Sudah ditetesi obat mata insto
namun belum sembuh. Jika malam hari keluhan dirasa semakin
meningkat. Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menyangkal riwayat hipertensi, DM, alergi dan riwayat
operasi pada daerah mata.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien tidak mengetahui riwayat penyakit keluarganya.
Sosial Ekonomi :
Pasien seorang petani karet, sering terkena paparan sinar matahari
dan terkena debu pohon karet. Pasien tidak memiliki jaminan/asuransi
kesehatan, kesan ekonomi kurang.

III.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan di poli mata RSUD Ambarawa pada


tanggal 27 Oktober 2015 pukul 09.40 WIB.
1. KEADAAN UMUM DAN TANDA VITAL
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 80 kali/menit
Respiratory rate
: 20 kali/menit
Kesan gizi
: Kesan gizi cukup (normoweight)
2. STATUS GENERALIS
-

Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
Ekstremitas

: kesan mesosefal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal

3. STATUS OFTALMOLOGIS
pupil 3mm,

pupil 3mm,

Pterigium

6/6
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Bebas segala arah

VISUS
VISUS KOREKSI
SENSUS COLORIS
PERGERAKAN BOLA
MATA

6/15
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Bebas segala arah

Ortoforia

KEDUDUKAN BOLA

Ortoforia

Tumbuh penuh normal


Trikiasis (-)

MATA
SUPERSILIA
SILIA

Tumbuh penuh normal


Trikiasis (-)

PALPEBRA SUPERIOR

Distrikiasis (-)
Edema (-)

Distrikiasis (-)
Edema (-)
Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Spasme (-)

Spasme (-)

Massa (-)
Edema (-)

Massa (-)
Edema (-)

PALPEBRA INFERIOR

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Spasme (-)

Spasme (-)

Massa (-)

Massa (-)

Entropion (-)

MARGO PALPEBRA

Ektropion (-)

Entropion (-)
Ektropion (-)

Hiperemis (-)

KONJUNGTIVA

Hiperemis (-)

Folikel (-)

PALPEBRA SUPERIOR

Folikel (-)

Corpus alienum (-)

Corpus alienum (-)

Sekret (-)
Hiperemis (-)

KONJUNGTIVA

Sekret (-)
Hiperemis (-)

Folikel (-)

PALPEBRA INFERIOR

Folikel (-)

Corpus alienum (-)


Sekret (-)
Hiperemis (-)

Corpus alienum (-)


KONJUNGTIVA BULBI

Sekret (-)
Hiperemis (-)

Injeksi konjungtiva (-)

Injeksi konjungtiva (-)

Injeksi silier (-)

Injeksi silier (-)

Corpus alienum (-)

Corpus alienum (-)

Tampak selaput berbentuk

Tampak selaput berbentuk

segitiga pada bagian nasal

segitiga pada bagian nasal

dengan puncak 2mm

dengan puncak 1mm

melewati kornea, hiperemi.


Ikterik (-)

SKLERA

melewati kornea, hiperemi.


Ikterik (-)

Sklerektasis (-)
Arcus senilis (-)

KORNEA

Sklerektasis (-)
Arcus senilis (-)

Edem kornea (-)

Edem kornea (-)

Infilrat (-)

Infilrat (-)

Sikatriks (-)
Kedalaman cukup

COA

Sikatriks (-)
Kedalaman cukup

Tyndall effect (-)


Bulat, Sentral, Reguler

PUPIL

Tyndall effect (-)


Bulat, Sentral, Reguler

D: 3 mm

D: 3 mm

Refleks direk/indirek (+/+)

Refleks direk/indirek (+/+)

Kripte normal

IV.

IRIS

Kripte normal

Sinekia (-)
Kekeruhan (-)
Tidak dilakukan

LENSA
TEKANAN BOLAMATA

Sinekia (-)
Kekeruhan (-)
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

DIGITAL
UJI KONFRONTASI
KERATOPLACIDO

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

RESUME
Tn. S 53 tahun dengan keluhan mata kanan dan kiri terbentuk
selaput sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengeluh kedua matanya terasa
mengganjal, sering nerocos, kemerahan dan pedas dalam 2 hari ini. Sudah
ditetesi obat mata insto namun belum sembuh. Jika malam hari keluhan
dirasa semakin meningkat.
Riwayat kebiasaan dan sosial pasien seorang petani karet, sering
terkena paparan sinar matahari dan terkena debu pohon karet.
Pada pemeriksaan fisik ophthalmology ditemukan

selaput

berbentuk segitiga pada bagian nasal dengan puncak 2mm melewati


kornea, hiperemi.
V. DIAGNOSIS BANDING

Pterigium

Pseudopterigium

Pinguekula

VI. DIAGNOSIS
ODS Pterigium stadium II

VII.

INITIAL PLAN

Ip Dx : ODS pterigium stadium II


S:O : test sonde
Ip Tx :

Tobroson mini dose 4 x gtt I ODS

Ip Mx :
a. Keadaan umum
b. Gejala klinis
Ip Ex :
a. Memberitahukan pada pasien mengenai pterigium dan komplikasinya.
b. Menganjurkan kepada pasien untuk mengurangi paparan sinar matahari dan
debu
c. Memberitahu kepada pasien untuk menjaga hygine mata sebelum pemakaian
obat mata dan setelahnya dengan cara cuci tangan
d. Menganjurkan untuk tidak mengusap-usap mata.
VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam

: dubia ad bonam

Quo ad Sanam

: dubia ad bonam

Quo ad Visam

: dubia ad bonam

Quo ad Cosmeticam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PTERIGIUM
A. Pendahuluan
Mata adalah organ fotosensitif yang kompleks dan berkembang
lanjut yang memungkinkan analisis cermat tentang bentuk, intensitas
cahaya, dan warna yang dipantulkan obyek. Mata terletak di dalam
struktur tengkorak yang melindunginya, yaitu orbita. Setiap mata terdiri
atas 3 lapis konsentris yaitu lapisan luar terdiri atas sklera dan kornea,
lapisan tengah juga disebut lapisan vaskular atau traktus uveal yang terdiri
dari koroid, korpus siliar dan iris, serta lapisan dalam yang terdiri dari
jaringan saraf yaitu retina.
Pterigium merupakan kelainan bola mata yang umumnya terjadi di
wilayah beriklim tropis dan dialami oleh mereka yang bekerja atau
beraktifitas di bawah terik sinar matahari dan umumnya terjadi pada
usia 20-30 tahun. Penyebab paling sering adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang di terima oleh mata. Ultraviolet, baik
UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat allergen, kimia dan
pengiritasi lainnya.
Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang
yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang mengenai anak-anak.
Paparan sinar matahari dalam waktu lama, terutama sinar UV, serta iritasi
mata kronis oleh debu dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab
utama pterigium. Gejala-gejala pterigium biasanya berupa mata merah,
iritasi, inflamasi, dan penglihatan kabur.
Kondisi pterigium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih
mata, menjadi merah dan meradang. Pertumbuhan bisa mengganggu
proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang
terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan
lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita. Apabila

memiliki tingkat aktifitas luar ruangan yang cukup tinggi dan harus
berlama lama dibawah terik matahari, disarankan untuk melindungi aset
penting penglihatan juga dari debu dan angin yang bisa menyebabkan
iritasi mata baik ringan maupun berat.
B. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya
sayap (wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan
kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga
dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap
lipatan semilunar pada cantus.
Pterigium merupakan

suatu

pertumbuhan

fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini


biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna
merah.

Gambar 1. Pterigium

C. Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga


merupakan suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium
banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar
rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Penyebab paling umum
adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima
oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas)
yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain
itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain.
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 8
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara


autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium. 8
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium.

D. Patofisiologis
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan
sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,
inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UVB merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang
terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti
TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami
degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan
granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada


keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai
dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan
basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin,
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas.
Epitel

diatasnya

biasanya

normal,

tetapi

mungkin

acanthotic,

hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area


hiperplasia dari sel goblet.

E. Klasifikasi
Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh
darah episklera , yaitu:
1.
Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
Tipe I: Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
Tipe II: disebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4

mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear
film dan menimbulkan astigmat.
Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona
optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4
mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas
ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata
serta kebutaan.

2.
Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
Stadium II: jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
Stadium III: jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV: jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2
yaitu:
Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).
Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

F. Manifestasi Klinis

Mata irritatatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmatisme.

Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea


(Zone Optic).

Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering)


dan garis besi yang terletak di ujung pteregium.

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
2. Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah
temporal.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.
H. Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata
dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau

dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya


astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara
kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata
buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea)
beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu
kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.
Tindakan Operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:

Menurut Ziegler:
1.
2.
3.
4.
5.

Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Berkembang progresif
Mendahului suatu operasi intraokuler
Kosmetik

Menurut Guilermo Pico:


1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtata
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi.


Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium
di antaranya adalah:

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan


permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman
teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada
bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya
Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterygium biasanya bisa dilakukan
pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila
diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien
biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau
salep mata antibiotika atau antiinflamasi.

Kategori Terapi Medikamentosa


a.

Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata)
untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada
lapisan air mata.
Nama obat

Merupakan obat tetes mata topikal


atau air mata artifisial (air mata
penyegar, Gen Teal (OTC)air mata
artifisial akan memberikan pelumasan
pada permukaan mata pada pasien
dengan permukaan kornea yang tak
teratur dan lapisan permukaan air

mata yang tak teratur. Keadaan ini


banyak
terjadi
pada
keadaan
pterygium.

b.

Dosis dewasa

1 gtt empat kali sehari dan prn untuk


irritasi

Dosis anak-anak

Berikan seperti pada orang dewasa

Kontra indikasi

Bisa menyebabkan hipersensitivitas

Interaksi

Tak ada (tak pernah dilaporkan ada


interaksi )

Untuk ibu hamil

Derajat keamanan A untuk ibu hamil

Perhatian

Bila gejala masih ada dan terus


berlanjut pemakaiannya

Salep untuk pelumas topikal suatu pelumas yang lebih kental pada
permukaan okular
Nama obat

Salep untuk pelumas mata topikal


(hypotears,P.M penyegar (OTC).
Suatu pelumas yang lebih kental untuk
permukaan
mata.
Sediaan
ini
cenderung menyebabkan kaburnya
penglihatan sementara; oleh karena itu
bahan ini sering dipergunakan pada
malam hari.

Dosis obatnya

Pergunakan pada cul de sac inferior


pada mata yang terserang. Hs

Dosis anak-anak

Sama dengan dewasa

Kontra indikasi

Bisa
menyebabkan
hipersensitivitas

terjadinya

c.

Interaksi

Tidak ada

Untuk ibu hamil

Tingkat keamanan A untuk ibu hamil

Perhatian

Karena
menyebabkan
kabur
penglihatan sementara dan harus
menghindari
aktivitas
yang
memerlukan penglihatan jelas sampai
kaburnya hilang.

Obat tetes mata anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada


permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan
sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygium yang inflamasi dengan
mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di
dekat jejasnya.
Nama obat

Prednisolon asetat (Pred Forte 1%)


suatu suspensi kortikosteroid
topikal yang dipergunakan untuk
mengu-rangi
inflamasi
mata.
Pemakaian obat ini harus dibatasi
untuk mata dengan inflamasi yang
sudah berat yang tak bisa
disembuhkan
dengan
pelumas
topikal lain.

Dosis dewasa

1 gtt empat kali sehari pada mata


yang terserang, biasanya hanya 1- 2
minggu dengan terapi yang terus
menerus.

Dosis anak-anak

Tidak boleh dipergunakan untuk


anak-anak oleh karena kasus
pterygia sangat jarang pada anakanak

Kontra indikasi

Pasien dengan riwayat kasus herpes


simpleks keratitis dentritis atau
glaukoma steroid yang responsif.

Interaksi

Tak ada laporan interaksi

Kehamilan

Tingkat keamanan B, biasanya aman


akan tetapi kegunaannya harus di
perhitungkan dengan resiko yang di
akibatkan

Perhatian

Bisa diserap secara sistemik akan


tetapi efek samping sistemik
biasanya tak diketemukan pada
pasien yang mempergunakan obat
tetes
mataprednisolon
asetat
topikal , yang bisa diekskresi pada
ASI yang sedang menyusui.

Perawatan Lanjut pada Pasien Rawat Jalan


Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di
tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati,
untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak.

Pencegahan Kekambuhan Pterygium


Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi
resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih
tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran,
sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata
pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting
untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang
memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet
(misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah
berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata
atau topi pelindung.

Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:

Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan


Kemerahan
Iritasi
Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan

memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot
rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang
belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat,
terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi postooperasi pterygium meliputi:

Infeksi

Reaksi material jahitan

Diplopia

Conjungtival graft dehiscence

Corneal scarring

Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan


vitreous, atau retinal detachment

I. Prognosis
Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna,
umumnya prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun
hal itu juga tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan.
Untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %) sebaiknya
dilakukan penyinaran dengan Strontium yang mengeluarkan sinar beta,
dan apabila residif maka dapat dilakukan pembedahan ulang. Pada
beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah
keganasan jaringan epitel.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi
Umum: edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
5. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
6. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].
Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available
from : http://www.dokter-online.org/index.php.htm .
8. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007.
[cited
2011
October
23].
Available
from
:
http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
9. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook
Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000
10. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
11. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available
from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/followup/complications.html

Вам также может понравиться